Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 9 – Masa SMP dan Benang Takdir Yuzuha
Kelas 2 SMP, musim dingin.
Minggu setelah aku ditolak oleh Seto dan Miyabi, suasana kelas berubah drastis.
Tidak, mungkin bagi teman-teman sekelas suasananya tetap sama.
Yang berubah hanyalah jenis tatapan yang mengarah padaku.
Tatapan lengket yang terasa menempel dan menusuk kulit.
Sebelum aku menyatakan perasaan ke Seto, dia benar-benar menganggapku sebagai teman.
Dan sekarang, aku malah mendapatkan pembalasan seburuk ini.
— Dari dulu aku udah mikir sih, Yoshiki itu orangnya baik ya.
— Cowok-cowok di kelas kita kan isinya bego semua. Tapi kalo ngobrol sama Yoshiki, aku ngerasa tenang. Nggak kayak orang yang tiba-tiba bisa ngelakuin hal bodoh.
— Bener banget, padahal kita udah kelas 2 SMP lho? Malah makin parah kelakuan temen-temen.
— Nah kan. Jadi, jangan jadi bego juga ya, Yoshiki.
— Aku bersyukur kamu ada di kelas ini.
…Saat itu aku merasa kami sedang dalam hubungan yang baik, makanya aku nekat menyatakan perasaan. Dan sekarang, aku menyesal seumur hidup.
— Hah? Ogah banget. Emangnya kenapa bisa gitu sih?
— Baru aja aku bilang jangan ngelakuin hal bodoh, dan kamu malah langsung gini? Gila ya.
— Serius deh, kamu tuh terlalu GR, jijik banget.
Menurut kabar, Seto menyebarkan cerita palsu tentang pengakuanku.
Katanya aku mendorongnya dan memaksa melakukan hal yang nggak senonoh.
Awalnya teman-teman nggak percaya, malah menertawakannya.
Tapi, setelah muncul laporan anonim dan gambar palsu yang beredar, mereka mulai bersikap ragu.
Aku jadi benci melihat media sosial, sampai akhirnya menghapus akunku.
Begitu aku menghilang dari pengawasan langsung, linimasa jadi makin kacau.
Aku tak bisa menyadari seberapa parah situasinya, dan saat aku sadar, semuanya sudah terlambat.
Aku tidak punya bukti apa pun.
Tapi lingkungan di sekitarku semakin memburuk.
Saat naik ke kelas 3, tatapan orang-orang tetap sama.
Sepertinya cerita dari kelas 2 diteruskan dengan baik, dan sejak saat itu aku benar-benar menyerah pada kehidupan SMP.
SMP ini sudah tak ada artinya lagi.
Aku akan bertaruh di masa SMA. Untuk itu, aku harus belajar.
Kemungkinan cerita ini akan terbawa ke SMA juga, tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya.
***
Setelah ujian tengah semester semester pertama, ada masa selama seminggu di mana tidak ada makan siang dari sekolah.
Semua murid membawa bekal masing-masing dan mengikuti jadwal seperti biasa.
Saat masa bekal, murid tidak duduk berdasarkan kelompok, tapi bisa makan dengan siapa pun yang mereka mau.
Semua tampak antusias dengan perubahan ini, tapi bagiku yang terisolasi, ini seperti neraka.
Begitu bel istirahat siang berbunyi, aku keluar ke lorong membawa bekal.
Dengan langkah cepat aku pindah ke gedung sebelah, memastikan tak ada orang, dan hendak masuk ke toilet.
“Hey, kamu Yoshiki-kun, kan?”
Tiba-tiba aku disapa, dan mataku membelalak.
“…Yuzuha…san?”
“Kita sekelas, panggil Yuzuha aja, nggak usah formal.”
Si gadis gyaru berambut pirang tersenyum padaku.
…Apa yang dia rencanakan?
Yuzuha adalah sosok idola di angkatan kami.
Dengan kepribadian ceria, dia punya teman di semua kelompok dan selalu mendapat perlakuan baik di mana pun.
Di kelas 3 ini pun dia adalah yang paling populer.
Dengan kata lain, dia adalah kebalikan total dariku.
Orang seperti itu—kenapa…
“Ada apa, mau apa dariku?”
Saat aku melempar pertanyaan, Yuzuha memiringkan kepala.
“Hmm, aku mau nanya sesuatu. Katanya kamu maksa Seto-san waktu itu? Sampai nyaris maksa gitu?”
Mataku membelalak.
…Masih ada orang yang percaya ke tahap ini, ya?
Aku pikir semua orang udah nerima cerita bohong itu mentah-mentah.
Tapi hasilnya tetap sama.
“Meski aku bilang itu nggak benar, kalian semua tetap nggak akan percaya, kan?”
Percakapan yang sudah sering kuulangi ini, sungguh melelahkan.
Aku sudah menyerah. Aku bahkan tak mau melawan lagi. Jadi setidaknya, tolong biarkan aku sendiri.
“Eh? Kenapa gitu? Aku justru pengen percaya sama kamu, Yoshiki.”
…Apa-apaan orang ini.
Kita nggak pernah akrab sebelumnya, kenapa tiba-tiba ingin percaya padaku?
Dan kenapa juga baru sekarang dia tahu soal aku dan Seto?
Alasan itu saja cukup bikin aku curiga.
Kenapa baru sekarang dia datang dan bertanya seolah ingin mencari kebenaran?
“Kalau kamu memang beneran ngelakuin itu, aku juga nggak akan maafin. Wajar banget kamu dijauhin. Soalnya, dari awal kelas 3 suasana kelas kayak… pengap gitu. Bikin risih banget.”
…Jadi, dia datang untuk menyingkirkan sumber masalah, yaitu aku?
Kalau begitu, masuk akal.
Balas dendam dengan balas dendam—aku juga ingin hidup dengan prinsip itu, tapi sekarang aku tak punya lagi kekuatan untuk membenci.
“Terserah deh. Mau dibilang pantas nerima semua ini juga nggak masalah. Tapi tolong, biarkan aku sendiri. Aku nggak bakal ganggu siapa-siapa lagi.”
“Jadi kamu beneran maksa dia?”
“Mana aku tahu. Tanya aja ke yang lain. Jangan ganggu aku lagi!”
Aku tanpa sadar membentak, lalu langsung menyesalinya.
Kalau aku terlihat marah di depan umum, posisiku bakal makin buruk.
Aku nggak tahu seberapa besar kekuatan sosial Yuzuha.
Dalam kehidupan sekolah, reputasi jauh lebih kuat dari kekuatan fisik.
Untungnya, sekarang semua orang lagi fokus menjaga nilai dan perilaku, jadi sejauh ini aku cuma diabaikan.
Tapi kalau suatu saat nanti mulai terjadi tindakan nyata, aku mungkin nggak akan kuat menahannya.
“Kalau bisa, tolong jangan bilang ke siapa-siapa soal barusan. Aku tahu ini juga mungkin percuma…”
“Nggak kok, nggak percuma. Maaf ya, aku nggak terlalu mikirin perasaanmu tadi.”
“…Eh?”
…Dia minta maaf.
Saking tulusnya, permintaan maaf itu bahkan nggak terdengar seperti kebohongan.
“Kalau kamu beneran nggak salah, aku bakal bantu sebisaku. Jadi, tolong jawab. Apa rumor itu bener? Aku pengen dengar langsung dari kamu.”
Yuzuha menatapku dengan sungguh-sungguh.
…Dia serius?
Apa untungnya buat dia, kalau dia nolongin aku?
Tapi… kalau cuma ngomong, nggak ada ruginya, kan?
Paling buruk, situasiku nggak akan lebih parah dari sekarang.
…Terserah deh.
Dengan keberanian yang kupaksakan, aku mulai bicara.
“Itu semua bohong. Cerita di Instagram yang katanya ada yang lihat aku dorong Seto, itu juga palsu.”
Yuzuha menatapku dengan sedih.
“…Gitu ya.”
“Awalnya, masih ada yang percaya sama aku. Masih ada juga yang ragu sama cerita Seto.”
Yuzuha mengangguk pelan.
“Mungkin Seto sadar juga soal itu. Sekarang kan masa penting buat nilai rapor, kan? Jadi dia nggak bisa mundur, dan akhirnya mulai nyari cara buat ngebuktiin kalo dia nggak bohong. Makanya dia bikin laporan palsu dan sebar cerita itu.”
Yuzuha mengernyit, tampak kesal.
“Kalau emang gitu, itu nggak adil banget, tahu. Yuk, kita balik ke kelas dan jelasin semuanya.”
Jelasin, ya.
Ada perasaan seperti benang laba-laba yang putus di dalam diriku.
Kalau penjelasan bisa menyelesaikan semuanya, kejadian ini nggak bakal berlarut kayak sekarang. Ketidakadilan ini mungkin nggak bisa dimengerti oleh orang sepertimu, Yuzuha, yang selalu jadi pusat perhatian.
“…Aku udah nyerah, makanya aku sampai makan di toilet kayak gini. Jadi tolong, biarin aku sendiri.”
Aku menghela napas panjang.
Memang, Yuzuha bukan orang yang gampang terpengaruh rumor.
Pantas aja dia disukai banyak orang.
Meski penampilannya gyaru, dia menghargai komunikasi antarmanusia.
Dengan kepribadian seperti itu, siapa pun pasti suka padanya.
Tapi…
“Aku berterima kasih kamu mau nyoba nolongin aku. Tapi tetap aja, kamu juga selama ini ngeliat semua yang terjadi dan cuma diam. Jadi maaf, aku udah nggak bisa percaya siapa pun di sekolah ini lagi.”
"Ayo makan siang bareng aku. Kurasa kita bakal cocok, deh!"
"Dengerin dulu!"
"Eeh~"
Jawaban yang terlalu ceria itu bikin aku makin kesal.
Kemungkinan kalau Yuzuha sudah jadi anteknya Seto juga nggak bisa disangkal.
Kalau emang begitu—
"Aku lebih milih makan di toilet daripada makan bareng kamu."
Mata Yuzuha berkedip-kedip.
"Emang enak makan di sini? Itu toilet, lho?"
"Aku bilang, lebih baik makan di toilet daripada bareng kamu."
Makan di toilet memang nggak enak. Tapi itu cuma gambaran umum aja.
Makan bekal sendirian di toilet lebih baik daripada makan di kelas sambil dengerin bisik-bisik orang.
Selama nggak ada yang buang air di sebelah, malah lebih nyaman dari kelas.
"Hmm, walaupun kamu ngomong gitu, aku udah mutusin buat makan siang bareng kamu. Aku agak ragu masuk toilet cowok sih."
"...Kamu waras nggak sih? Apa Seto yang nyuruh kamu ngomong kayak gitu?"
"Nggak, kok."
"Kalau gitu, kamu lagi menjebak aku, ya?"
"Ahaha, masa aku? Aku nggak sejahat itu."
Senyumannya yang polos banget bikin aku kehabisan kata-kata.
"Yasudah, emang agak mendadak sih. Kalau gitu besok aja ya, jam yang sama ketemuan di sini. Aku tahu tempat bagus, lho."
Yuzuha tersenyum polos.
Istirahat siang keesokan harinya.
Yuzuha benar-benar menungguku di depan toilet gedung utara.
Begitu melihat aku datang, dia langsung tersenyum senang.
"Ah, kamu datang!"
"...Kamu beneran di sini, serius?"
Orang yang mau repot-repot deketin orang yang dianggap aib, pasti aneh.
Tapi, aku sedikit berterima kasih.
Hari ini, aku nggak terlalu benci datang ke sekolah.
Walaupun mulai terbiasa dijauhi orang, rasanya ini pertama kalinya dalam waktu lama aku merasa seperti ini.
"Aku ogah banget makan di toilet. Ayo ke tangga yang menuju atap, yuk?"
"Hah? Atap kan nggak boleh dimasukin."
"Makanya nggak ada yang ke sana. Kadang aku bolos di sana kalau telat dan males masuk kelas. Itu tempat yang aku maksud kemarin."
Yuzuha bicara santai, lalu tersenyum, "Ini rahasia ya."
Selama makan bekal, kami saling tanya-jawab.
Yuzuha ngasih banyak pertanyaan seakan ingin tahu lebih banyak tentang aku.
Kalau dilihat dari luar, kayak interogasi buat ngecek apakah aku beneran nyoba nyerang Seto atau nggak.
Tapi nada bicara Yuzuha ceria, bikin aku nggak merasa tertekan.
"Ngomong-ngomong, kamu dulu anak klub handball ya?"
"Iya. Tapi aku udah keluar."
Aku menjawab sambil memasukkan lauk terakhir ke mulut.
Bekal buatan Ibu terasa enak banget hari ini, sampai rasanya mau nangis.
Setidaknya hari ini, aku bisa makan dalam suasana yang normal.
"Eh, kamu keluar? Padahal badannya bagus, ya. Aku denger dari Joukido kamu jago banget, lho."
Begitu nama mantan temanku disebut, aku menunduk.
Orang yang bahkan di akhir pun nggak mau percaya padaku.
"Walau jago, katanya sih nggak berguna di pertandingan."
"Serius?"
"Iya."
Aku menutup kotak bekal dan menatap langit.
Langit mendung abu-abu seakan siap menangis kapan saja.
"Nggak ada satu pun operan yang dikasih ke aku. Maksudnya, mereka dilarang ngoper ke aku. Kalau ada pemain yang nggak bisa dioperin, ya cuma jadi beban tim."
Pertandingan terakhir itu benar-benar parah.
Nggak masuk akal ada pemain yang sepuluh menit nggak megang bola sama sekali. Tapi mereka sengaja bikin itu terjadi. Hasilnya? Kalah dua kali lipat skor.
Pertandingan yang sama sekali nggak punya harga diri.
"Eh, aneh banget. Kan mereka pengen menang. Kenapa malah begitu?"
"Soalnya Seto jadi manajer, jadi semuanya takut. Dia kan pemimpin di balik kelompok cewek. Aku baru tahu itu juga belakangan."
Kalau mereka ngoper ke aku, berarti mereka dukung cowok yang katanya nyerang cewek. Anak-anak klub handball percaya itu bakal jadi imej mereka.
Dan pada akhirnya, mereka malah kalah. Jadi sebenarnya mereka juga korban.
Tapi aku nggak simpati.
Teman satu klub yang udah dua tahun bareng, malah ngelakuin itu pas pertandingan penting.
Tim? Kerja sama? Omong kosong semua itu.
Semuanya cuma sandiwara. Waktu yang aku habisin di klub, semuanya sia-sia.
Ada ungkapan, “akhir yang baik akan menutup semuanya dengan baik.”
Kalau begitu, akhir yang buruk akan merusak semuanya juga, kan?
Orang-orang yang bikin akhir seperti itu nggak pantas dikasihani. Aku bahkan berharap mereka kalah terus selamanya.
"Waktu aku ngajuin surat pengunduran diri, temanku malah ketawa."
"...Hmm. Denger itu aja aku jadi ikutan kesel."
"Hah?"
"Dari obrolan kita sejak kemarin, aku bisa tahu kok kamu nggak bohong. Soalnya kemarin pas aku tanya Seto, dia kelihatan gugup. Aku emang bodoh, tapi aku tahu kalau Seto bohong. Orang-orang cuma termakan gosip."
Amarah Yuzuha itu tulus.
Dia ngerti perasaan marah yang nggak bisa diungkapin dan nggak ada yang bisa ngerti.
Walau cuma satu orang yang ngerti, rasanya seperti ditarik keluar dari dunia yang sepi ini.
Aku balas pelan, dengan rasa terima kasih.
"...Lebih gampang buat ikut arus. Lawan kekuasaan cuma bisa pakai kepercayaan dari orang lain. Kalau nggak punya itu, ya udah selesai."
"Aku nggak ngerti kamu ngomong apa."
"Haha, iya sih. Aku juga bingung pas ngomong barusan."
Saat aku menjawab, Yuzuha tersenyum lembut.
"Ah, kamu senyum. Itu tadi semacam lelucon yang bahasanya ribet, ya?"
"Bukan!"
"Eeeh~"
Yuzuha sempat manyun, tapi langsung ganti senyum lagi.
"Kamu pikir aku punya kepercayaan orang banyak?"
"Hah? Ya, dibanding aku sih... Malah kayaknya kamu termasuk top."
"Hehe~ seneng denger itu."
Senyumnya polos, nggak kelihatan ada niat tersembunyi.
"Baiklah, kalau gitu aku coba percaya deh sama tatapanmu yang kayak ngerti semuanya itu."
Yuzuha melirik aku dan memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Dia juga menutup kotak bekalnya dan membungkusnya dengan kain.
"Aku emang nggak pinter, Seto juga sering bilang gitu. Katanya, ‘hidup yang pintar dikit, dong’."
...Ternyata Seto ngomong kayak gitu juga ke Yuzuha, ya.
Waktu mereka masih temenan, Seto emang sering sok paling bener.
"Tapi, kalau orang yang hidupnya ‘pintar’ malah bikin kamu kayak gitu, rasanya aneh juga, ya?"
Perkataannya bikin aku melotot.
Aku sekarang lagi pakai wajah kayak gimana, ya?
Wajah yang akhirnya bisa senyum lagi setelah sekian lama—
"Aku pengen coba hidup dengan cara ‘bodoh’ sekali aja. Kalau itu bisa bantu seseorang, kenapa nggak?"
"...Aku cuma teman sekelas, kamu nggak harus sampe segitunya."
"Kalau udah makan bareng, ya udah temenan, dong."
"Standar kamu buat jadi teman rendah banget, ya."
"Ahaha."
Senyumannya menular, bikin aku ikut tersenyum kecil.
"Nggak apa-apa. Teman yang banyak itu enak, lho. Jadi mending turunin standar. Tapi ya, kalau aku lagi dalam bahaya, kamu bantuin aku, ya?"
"Aku sih nggak bisa ngebayangin kamu dalam bahaya."
"Aku juga!"
Lalu dia berdiri tegak dan bilang, "Yuk, balik?"
"Kenapa kamu sampai segitunya ke aku?"
"Harus ada alasannya?"
"Aku tenang kalau tahu alasannya."
"Huh, kamu nih... ribet banget."
"Yah, soalnya ada alasannya aku jadi begini."
Aku jawab sambil menyindir diri sendiri, dan Yuzuha cuma ketawa ringan, "Oh iya, bener juga."
Sama sekali nggak bikin kesal.
Kayaknya otakku yang terlalu gampang percaya ini udah nganggep Yuzuha sebagai teman.
Kayaknya aku udah pengen percaya dia.
Saking tulusnya dia pengen nolong aku, sampai rasanya dosa kalau curiga sama niat baiknya.
“Hmm… aku bisa merasakan genangan di kelas, gitu lho.”
“Genangan?”
“Kayak, siapa yang kelihatan nggak senang, siapa yang kelihatan terisolasi, itu langsung kelihatan di mataku. Soalnya waktu kecil aku terbiasa hidup dengan menebak-nebak ekspresi orang, mungkin jadi kebiasaan, ya.”
Bayangan masa kecilku langsung terlintas, tumpang tindih dengan sosok teman masa kecilku.
“…Kamu hebat, ya. Cocok banget jadi pemimpin kelas, Yuzuha.”
“Eh?”
“Makasih, ya… udah nemuin aku.”
Tanpa sadar, aku mengucapkannya begitu saja.
Selama ini, nggak ada satu pun orang yang benar-benar mau ngobrol denganku.
Aku pun akhirnya menyerah dan membatasi diriku untuk bicara seminimal mungkin.
Aku pikir udah nggak ada satu pun orang di dunia ini yang mau bicara denganku lagi.
Tapi kalau ada orang yang bahkan bisa menjangkau hati orang kayak aku, dia pasti pantas jadi pemimpin.
“Kalau kamu yang jadi pemimpin kelas, aku bakal senang banget.”
Yuzuha mengedipkan mata beberapa kali.
Lalu, dia tersenyum lebar, wajahnya tampak benar-benar senang.
“Aduh, aku jadi malu. Tapi boleh juga, ya, jadi pemimpin. Kayaknya aku nggak cocok sih, tapi ya udah deh… demi permintaan dari teman?”
***
Begitu kembali ke depan kelas, jantungku berdetak kencang.
Akhir-akhir ini, aku selalu berusaha masuk dan keluar kelas di waktu yang nggak menarik perhatian.
Kalau aku masuk bareng cewek paling mencolok di angkatan, pasti semua tatapan itu bakal menempel lagi padaku.
Tapi—
“Gak apa-apa, kok.”
Yuzuha menoleh dan tersenyum lembut.
Punggungnya memberikan rasa tenang buatku.
Punggung Yuzuha saat itu… sudah punya aura pemimpin yang menenangkan.
Pintu kelas terbuka.
Tatapan mata langsung menghujani kami satu per satu.
“Kalau ada yang masih suka main belakang dan ngelakuin hal pengecut, denger ya! Yoshiki itu temanku. Kalau ada yang mau protes, ngomong lewat aku dulu, ngerti?!”
Kebenaran yang sudah lama aku pikir sia-sia untuk disuarakan—
Kini terucap dari mulut Yuzuha.
Dan itu menyebar ke seluruh kelas hanya dalam sekejap.
***
Kenangan itu berakhir. Aku membuka mata.
Kalau dipikir sekarang, mungkin tindakan Yuzuha waktu itu bukan cuma buat aku.
Mungkin juga itu untuk membuka mata teman masa kecilnya, Seto Miyabi.
Tapi, hasilnya tetap sama.
Aku diselamatkan oleh Yuzuha, seseorang yang bahkan nyaris nggak kukenal.
Berkat dia, waktu kelas 3 SMP-ku nggak terbuang sia-sia, dan aku bisa lanjut ke SMA tanpa dihantui ketakutan akan gosip.
Sebagai pemimpin “buatan”, dia juga menenangkan anak-anak yang suka bikin rusuh di kelas.
Sekarang giliranku.
Aku yang akan menolongnya.
Sekalipun seperti kata Remi, aku bakal dibenci sama seluruh “Taman Bunga” sekalipun.
Post a Comment