Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Afterword
Catatan Penulis
Terima kasih banyak telah mengambil dan membaca karya ini. Saya, Omiya Yuu, sangat menghargai hal itu.
Saya juga merasa sangat senang bisa bertemu Anda kembali.
Volume kedua ini berfokus pada hubungan yang melampaui sekadar “terlihat cocok”, dengan sorotan utama pada Hanazono Yuuka.
Bagaimana kesan Anda terhadap dirinya?
Saya juga berharap, meski cerita berpusat pada hubungan Yuuka dengan Ryouta, pembaca tetap bisa merasakan pesona Reimi dan Yui yang hanya bisa ditampilkan dalam situasi seperti ini.
Ngomong-ngomong, di tengah populernya Nikaidou Reimi dan Yuzuha Yui, saya sangat penasaran seberapa banyak dari kalian yang benar-benar sangat mendukung Hanazono Yuuka dalam wujudnya saat ini.
Bukan karena maksud tertentu, tapi saya sungguh ingin tahu bagian mana dari dirinya yang kalian sukai.
Saya merasa, bagi kalian yang menyukai Shichino Yuuka dari Konohana no, mungkin akan tertarik juga dengan karakter ini.
Berikutnya, izinkan saya menyampaikan rasa terima kasih.
Kepada editor penanggung jawab, K-sama. Terima kasih banyak karena selalu memberikan arahan yang penuh perhatian dan tulus. Berkat Anda, saya bisa menulis dengan penuh semangat.
Saya selalu menantikan sinopsis dan tulisan di sampul yang luar biasa menarik dari Anda. Kini sudah menjadi buku ke-12 sejak kita bekerja sama, dan saya tetap merasa berdebar tiap kali memeriksanya. Terima kasih selalu atas dukungan Anda.
Kepada ilustrator Eeru-sama. Terima kasih atas ilustrasi yang luar biasa indah, sekali lagi di volume ini. Saat pertama melihat para heroine dalam baju renang sekolah, saya hampir jatuh dari kursi. Dari desain baju renang hingga ekspresi para heroine—semuanya sungguh luar biasa! Saya ingin memajang ilustrasi sampul ini di suatu tempat.
Ilustrasi pembuka dan sisipan juga sungguh luar biasa…
Dan akhirnya, kepada para pembaca.
Bisa menerbitkan volume kedua ini dengan lancar semua berkat Anda. Saya benar-benar sangat bersyukur atas hal itu.
Saya menulis buku ini dengan penuh rasa syukur atas kesempatan untuk melanjutkan cerita, dan saya akan sangat senang jika Anda menikmatinya.
Jika volume ketiga mendapat lampu hijau, saya ingin memberikan peran besar pada heroine yang itu.
Mohon nantikan bagaimana kelanjutan dari perebutan hati heroine ini.
Bagi Anda yang merasa ingin membaca lanjutannya, saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia menyebarkan karya ini melalui media sosial atau ulasan. Seperti halnya KanoUwa, karya ini sangat terbantu oleh ulasan dari para pembaca.
(Nama singkatan dari karya ini adalah “Anojo”!)
Baiklah, saya akhiri catatan penulis ini sampai di sini.
Semoga kita bisa berjumpa kembali.
— Omiya Yuu
Bonus Edisi Digital – Cerita Pendek Baru: "Dinding di Dalam Hati"
Aku tahu betul, kalau aku bukan tipe orang yang ceria dan polos.
Itulah kenapa, saat temanku, Takano Youko, bilang “Gimana kalau kita berhenti ngajak Nikaidou-san makan siang bareng?”, aku nggak bisa langsung menolak.
“Berhenti ngajak maksudnya kenapa?”
“Soalnya, Nikaidou-san jelas-jelas belum terbuka sama kita.”
“Masa? Bisa aja itu emang sifat aslinya.”
“Enggak lah. Di zaman sekarang, kelakuan seanggun itu bakal luntur kena pengaruh SNS.”
Mendengar kata-kata Youko, Sudou Maki—yang juga teman dekatku—langsung setuju.
“Bener, bener. Dunia ini penuh sama niat buruk. Nikaidou-san juga pasti main SNS, nggak mungkin nggak kebawa.”
“Lagian, kalau dia belum terbuka, bisa jadi kita malah ganggu. Makanya aku bilang begitu.”
“Kalau pun ditanya, dia pasti jawab yang baik-baik aja. Jadi gimana kalau kita coba makan siang bertiga aja dulu?”
Youko dan Maki kelihatannya sepakat banget soal ini.
Sebenernya, aku juga agak bisa ngerti sih.
Hari saat Yoshiki jadian sama Hanazono-san, kita ketemuan sama Nikaidou-san di game center.
Kita sempat berharap, ini bisa jadi momen buat lebih akrab sama dia.
Tapi waktu itu, Nikaidou-san kelihatan kayak nggak sepenuhnya hadir di situ.
Dia terus pasang senyum palsu dan jalan setengah langkah di belakang kami.
Tatapannya selalu menghindar, seolah nggak mau wajahnya kelihatan.
Youko dan Maki mungkin merasa kayak ditolak.
Dan itu bukan cuma hari itu aja—beberapa kali setelahnya pun, dia tetap sama. Tapi…
“Yah, cara kayak gitu tetap nggak benar.”
Waktu aku ngomong begitu, Maki menunduk, kelihatan agak kecewa.
“Jadi kita bertiga langsung tanya aja gitu? Kenapa dia terus nolak ajakan kita? Menurutku malah bakal bikin dia makin tertekan.”
“Enggak, bukan gitu.”
Aku menggeleng, dan Maki memandangku dengan tatapan bingung.
“Biar aku aja yang ngomong langsung.”
Youko dan Maki saling pandang.
Lalu, suasana serius yang barusan sempat terasa pun seketika menghilang, mereka terkikik pelan.
“Aduh, kamu memang baik banget sih.”
“Yui, lakuin yang terbaik ya? Jangan sampai nyakitin dia.”
Aku berkedip bingung.
“Kalian yakin? Kalian beneran nurutin pendapatku?”
“Yakin. Kalau temen kita bilang dia nggak bisa mundur, ya kita yang masih bisa ngalah harusnya ngalah.”
Beda pendapat, tapi dibahas baik-baik.
Itulah yang bikin kita jadi makin dekat dan saling percaya.
Kalau Nikaidou-san bisa ngerasain hal yang sama, aku pasti seneng banget. Sama kayak kita bertiga.
“Makanya, tolong percaya dikit aja sama kita!”
...Entah sejak kapan, aku malah udah mulai membujuk Nikaidou-san.
—Lho, kok jadi begini?
Dari sudut pandangku, senyum Nikaidou-san makin kelihatan dipaksakan.
Ternyata, seperti kata Youko dan Maki, dia memang punya dinding besar dalam dirinya.
Walaupun kelihatan nggak sepenuhnya kokoh, tetap aja aku belum bisa ngehancurin itu sepenuhnya.
—Sekarang tinggal adu ketahanan.
Awalnya dia tetap senyum-senyum kayak “ngomongin apa sih ini?”, tapi setelah lima, sepuluh menit aku terus bertahan, dia mulai kelihatan capek, dan sorot matanya makin tajam.
“Eh, gimana kalau kita sudahi aja pembicaraan ini? Aku percaya kok sama kalian, Yuzuha-san dan yang lain.”
“Masa sih? Nikaidou-san kelihatan beda banget waktu ngobrol sama Yoshiki dibanding waktu ngobrol sama aku. Aku nggak minta disamain kayak Yoshiki kok, cuma jangan maksain diri buat nyesuaiin obrolan aja.”
“Ngobrol sambil menyesuaikan diri tuh hal biasa antar teman, kan? Aku juga nggak mau bikin Yuzuha-san curiga, tapi ini emang bagian dari kepribadianku—”
“Tuh, denger sendiri kan? Itu bukti kamu belum ngomong jujur. Soal kepribadian, tanya Yoshiki juga pasti ketahuan, walaupun aku nggak bakal tanya sih!”
Waktu aku makin nekat, Nikaidou-san menghela napas panjang.
Pasti di dalam napas itu, ada uneg-uneg yang udah lama dia pendam.
“Kalau begini terus, Nikaidou-san yang bakal capek sendiri. Masa iya selama SMA kamu mau terus nutupin perasaan? Masa bisa pake seragam SMA juga nggak lama lho!”
“Masih kelas satu loh…”
“Tapi dalam hidup, masa SMA itu cuma sekejap!”
“Iya, iya… makasih ya. Senang sih, kamu mikirin aku sejauh itu.”
“Ya iyalah. Kita kan teman.”
Jawaban santainya aku balas dengan kata-kata tulus.
Sepertinya, mata Nikaidou-san sedikit membelalak.
“Kamu masih nganggep aku teman, padahal kamu yakin aku nggak ngomong jujur?”
“Iya. Emang nggak bertentangan kok. Kalau kami nganggep kamu teman, ya kamu teman kami.”
Aku yakin, Youko dan Maki juga peduli sama Nikaidou-san.
Justru karena nggak dapet balasan dari dia, mereka jadi sedih dan sempat pengen mundur.
Tapi karena peduli juga, akhirnya mereka mendukungku.
Dan itu artinya, mereka juga udah nganggep Nikaidou-san sebagai teman.
“Kami juga nggak sepenuhnya polos, semua orang pasti punya sisi lain. Tapi sekarang setelah kita ngobrol, aku nggak bakal biarin kamu kena masalah atau jadi bahan gosip atau semacamnya.”
Aku akan lindungi dia.
Sama seperti dulu aku pernah melindungi Yoshiki—tentu saja, Nikaidou-san juga.
“…Jadi Ryouta bakal diselamatkan juga, ya.”
Seketika, suasananya berubah.
Dari yang lembut dan anggun, jadi aura yang tajam dan sulit didekati.
“Baiklah. Kalau begitu, setidaknya di depan kalian bertiga, aku bakal berusaha seperti ini.”
“…Serius? Eh, padahal setelah ngomong sebanyak ini, aku jadi takut kita malah nyebelin. Soalnya Youko dan Maki juga khawatir banget jangan-jangan perhatian kami malah jadi beban.”
“Nyebelin, tentu aja. Orang biasa mah udah nyerah sejak awal.”
“Pedes banget! Nikaidou-san, jujurnya nyakitin!”
Waktu aku refleks mundur, dia tetap santai nyaut.
“Tapi, karena aku udah gabung sama grup kalian juga, ya mau gimana lagi. Dari dalam sih aku bisa lihat kalian tuh anaknya baik.”
“Eh? Jadi RemiRemi ternyata mikir gitu? So sweet banget sih…”
“Berisik. Dan itu apaan coba, RemiRemi?”
Dia nyipitkan mata, kayak orang yang lagi malu-malu.
Ini dia Nikaidou-san yang asli.
Youko dan Maki pasti bakal senang banget.
Waktu aku lagi mikir gitu, Nikaidou-san tiba-tiba buka suara, kayak baru nyadar sesuatu.
“Tapi… tolong biarkan aku tetap seperti biasa di depan orang lain. Termasuk di depan Ryō—teman masa kecilku. Aku bakal berusaha hanya kalau bareng kalian bertiga.”
“…Oke. Aku ngerti. Aku nggak bakal tanya alasannya.”
Bisa dengar suara hatinya aja udah cukup banget buatku.
Youko dan Maki pasti bakal ngerti juga. Lagipula, punya rahasia di dalam grup tuh seru juga. Meskipun agak nggak murni sih, tapi justru karena itu jadi bikin mulut makin rapat.
“Makasih ya, udah ngomong jujur!”
Saking senangnya, aku langsung mengucapkan terima kasih.
Nikaidou-san kelihatan sedikit kaget, tapi aku lanjut bicara tanpa peduli.
Kalau itu Nikaidou-san yang biasanya, dia pasti cuma senyum.
Makanya, ini pasti sisi aslinya.
“Yuzuha-san. Boleh nanya satu hal?”
“Hmm?”
“Waktu di game center, aku kelihatan ngelamun parah, ya?”
Hari Yoshiki jadian sama Hanazono-san. Hari di mana atas permintaan Yoshiki, kami "menukar" posisi dan bertemu Nikaidou-san di game center.
Harusnya semua udah disepakati juga sama dia.
“Ah, hari itu sih parah banget. Ada saat kamu bahkan nggak jawab waktu ditanya.”
“…Begitu ya.”
“Tapi santai aja, abis itu kamu udah balik normal kok! Namanya juga hidup, pasti ada aja momen kayak gitu~”
Nikaidou-san menunduk dan sempat terpaku menatap kehampaan.
Alasan dari ekspresinya itu—baru kusadari keesokan harinya.
Di koridor tempat Yoshiki dan Nikaidou-san bertengkar.
Previous Chapter | ToC |
Post a Comment