NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 2

Cawan Suci

Beberapa hari setelah Yang Mulia menyebut Kuromari sebagai Cawan Suci.

Aku sedang makan di sebuah restoran keluarga. Di depanku duduk Yang Mulia, dan di sebelahku ada Hana. 

Di depanku ada satu set menu hamburger. Terdiri dari hamburger, nasi, salad, dan sup, dengan pisau, garpu, dan sendok yang telah ditata rapi oleh Yang Mulia di sekelilingnya. 

Aku menarik napas dalam-dalam di hadapan hamburger itu.

Satu momen penuh ketegangan. 

“Mau mulai dari mana?” tanya Yang Mulia, dan aku menjawab, “Aku mulai dari sup.” 

Setelah berkata begitu, aku mengambil sendok kecil dari sekian banyaknya sendok dan hendak meminumnya. Tapi.

“Berhenti.”

Yang Mulia menghentikanku. 

“Itu sendok teh. Untuk sup, pakailah sendok sup yang bulat itu. Ayo, ulangi.”

“Uh...”

Aku mengembalikan sendok teh itu dan mengambil sendok sup yang bulat, lalu mulai menyeruput sup. 

“Aku udah lapar, gimana kalau aku langsung ambil hamburger-nya?”

“Selama kamu tidak salah pilih alat makan, silakan.” 

Kulirik ke arah pisau. Ada dua di sana.

“Kamu sengaja naruh dua buat jebakan, kan?”

“Kalau lama-lama pilih, nanti keburu dingin.” 

“Ugh...”

Bagiku keduanya tampak sama. Tapi, kalau kemungkinannya satu dari dua, masih bisa dicoba. Aku ambil salah satunya dan hendak mulai makan.

“Oke, berhenti. Salah.”

“Aduh!!”

“Yang kamu ambil itu pisau ikan. Lihat baik-baik, bagian tajamnya halus, kan? Kalau untuk daging, pakai pisau steak yang bergerigi.”

“Boleh nggak sih aku makan hamburger ini dengan santai!?”

“Tidak boleh. Etika membentuk seseorang.” 

Di restoran keluarga yang ramai ini, aku dan Yang Mulia ribut sendiri.

Melihat kami, Hana yang duduk di sebelah berkata, “Senpai, kamu sedang diajarin etika ya?” 

“Yup. Selalu begini tiap kali makan.” 

Di sudut ruang tamu Toko Inggris, biasanya ada tumpukan barang-barang aneh. Ada bola dunia, teleskop, baju zirah, kompas yang sepertinya digunakan untuk pelayaran, dan banyak lagi.

Tak lama setelah kami bertemu, Yang Mulia menarik tongkat dari tumpukan itu dan mulai menusuk-nusukku kalau aku duduk membungkuk. Aku dipaksa untuk membetulkan posisi perut dan membusungkan dada, membenarkan postur tubuhku. 

Yang Mulia menyebutnya “Proyek Transformasi Shinichi Menjadi Seorang Pria Sejati.” 

Tapi rupanya menjadi seorang pria sejati bukan hanya soal postur. Kalau aku santai-santai di sofa, dia menyuruhku belajar bahasa Inggris (padahal dia sendiri asyik main ponsel). Dia juga memaksaku memakai jaket, bahkan memesan setelan jas bergaya Victoria atau Inggris di penjahit langganannya, Lavi. 

Memang, kombinasi antara aku yang santai dan Yang Mulia yang formal menciptakan kontras yang menarik. Tapi menurutnya, idealnya adalah formal bertemu formal, tanpa ada celah. 

Karena itu, bahkan saat makan di restoran keluarga pun, aku tetap dilatih dengan keras tentang etika makan demi menjadi seorang pria sejati. 

“Aku lapar!!”

“Hafalkan dulu nama-nama sendok dan pisau, baru boleh makan.”

“Padahal kamu sendiri makan kentang goreng pakai tangan!!”

“Kalau kamu ngomong gitu, ya begini jadinya.”

Yang Mulia mencoba mengambil hamburgerku dengan garpu. Aku menahan dengan pisau. Maka dimulailah pertarungan di atas piring antara pisau dan garpu. 

“Hei, Madarame, itu tidak sopan.”

“Yang Mulia juga sama aja, kan.”

Saat aku dan Yang Mulia bercanda seperti biasanya... 

“Hmph!”

Hana, yang duduk di sebelahku, menggembungkan pipinya. 

“Eh? Kenapa?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Hana membuang muka. 

“Aku hanya merasa bahwa Ellie dan kamu terlihat sangat dekat!” 

Memang, Yang Mulia sering mencolek dahiku atau menarik pipiku, jadi banyak kali dia sering menyentuhku. 

“Rapikan rambutmu,” katanya sambil merapikan rambutku.

“Kemejanya perlu disetrika,” katanya sambil menarik bajuku.

“Sepatunya harus dipoles,” katanya sambil menginjak-injak sepatuku.

“Kamu butuh pendidikan,” katanya sambil membawaku ke museum, dan saat aku hanya bisa bilang “gede banget, keren” seperti anak bodoh saat melihat lukisan besar, dia menempelkan jarinya ke bibirku dan berkata, “Di tempat seperti ini, jangan bicara keras-keras.” 

Saat ujung jarinya yang putih dan halus menyentuh bibirku, aku sempat merasa jantungku berdetak lebih cepat. 

Tapi...

“Itu nggak baik!”

Hana berseru setelah melihat sikap Yang Mulia yang sama seperti biasanya. 

“B-Bukan berarti Ellie salah, sih... Dia itu cantik, dan kamu bisa jadi salah paham, atau... B-Bukan, maksudku, kalau nggak hati-hati, kamu bisa nyerang karena salah paham, lalu dengan penuh nafsu menyerang tubuhku dan membuatku menderita! Jadi jangan sembarangan menyentuhnya!” 

“Menurutmu aku ini siapa sih?”

Yang Mulia menatap Hana dan berkata, “Aku hanya mencoba menjadikan Madarame seorang pria sejati. Bukankah itu bagus juga buatmu?” 

“Padahal aku nggak merasa ada masalah dengan diriku sekarang,” kataku. 

Yang Mulia pun cemberut.

“Hei, tunjukkan semangatmu. Etika itu penting.” 

“Kalau jadi pria sejati itu nggak ada untungnya, buat apa?”

“Kalau ada keuntungannya, kamu mau?”

“Yah, mungkin.” 

Yang Mulia berpikir sejenak, lalu berkata, “Kalau kamu melakukannya dengan benar, akan ada hadiah.” 

“Eh?”

“Ayo, sebut saja.”

“Boleh apa saja?”

“Iya. Aku ini tipe orang yang selalu memberi hadiah dengan layak.” 

Aku mulai memikirkan hadiah dari Yang Mulia. Toko Inggris menyimpan banyak barang aneh, tapi juga punya permata dan koin emas yang tampaknya mahal. Kalau begitu...

Saat itu, entah kenapa, yang terlintas di kepalaku adalah kenangan masa TK. 

Waktu itu, ada anak nakal di kelas yang terjatuh dan lututnya terluka. Dengan ekspresi penuh ide, dia lari ke guru muda nan cantik, pura-pura mengeluh kesakitan, lalu digendong dan dibelai kepalanya oleh sang guru. Dia lalu menyembunyikan wajahnya di dada guru itu, dan sambil tersenyum sinis, melirik ke arahku yang sedang bermain pasir. 

Aku pun sangat menyukai guru itu. 

Karena syok berat, aku hanya bisa terdiam dengan mulut menganga dan menjatuhkan sekop dari tanganku. 

Kenangan itu kembali dengan jelas.

Aku menatap dada Yang Mulia. 

“U-Untuk hadiahnya!”

“Apa?”

“K-K-K-K-K-Kayaknya ya, ciuman aja!” 

“Haaah!!”

Hana berteriak. Tapi Yang Mulia tetap tenang. 

“Hanya itu?”

“Tidak, jangan!!”

Hana mengibaskan kedua tangannya. 

“Aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana untuk mengoreksi ini semua, tapi yang jelas, ciuman itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan sembarangan!” 

“Begitu ya. Kalau kamu bilang begitu, mungkin memang begitu.”

“Ellie terlalu tidak membumi...”

“Aku akan hati-hati.” 

Setelah berkata demikian, Yang Mulia memandang Hana dengan tatapan penuh makna dan bertanya, “Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu kenal Madarame?” 

“Eh? K-Kapan ya...”

Karena dia tiba-tiba terdiam, aku pun menjawab menggantikannya.


“Itu sejak permintaan ini. Hana itu imut dan mencolok, jadi aku sudah sempat berpikir, oh, ada juga anak seperti itu di angkatan bawah. Jadi, yah, kurasa mulai dari SMA kita sudah bareng, ya?” 

“Mulai dari SMA...” 

Entah kenapa, Hana memasang wajah merengut. 

“Madarame itu bodoh soalnya. Hal-hal aneh malah diingat, tapi hal penting justru lupa, kan?” 

Yang Mulia berkata begitu sambil mengambil tisu kertas. 

“Kelas etika dimulai lagi. Nih, ada saus di mulutmu.” 

Yang Mulia menyeka sudut bibirku dengan tisu kertas. Tapi...

“Aduh!” 

Aku spontan berteriak.

Soalnya, Hana menendang tulang keringku dari bawah meja. 

“Kenapa, sih!?” 

“Entahlah?” 

Hana membuang muka dan menjawab, “Aku juga tak tahu!!” 

Akhirnya, setiap kali aku melakukan kesalahan etika, aku ditusuk-tusuk oleh Yang Mulia, dan setiap kali itu terjadi, entah kenapa, Hana menendangku juga.

Sambil begitu, aku menyelesaikan makan set hamburgerku.


* * *


Setelah makan di restoran keluarga selesai, Hana pulang sendirian dengan alasan ada les. 

Aku dan Yang Mulia mampir ke minimarket, membeli es krim cone, lalu berjalan menuju Toko Inggris sambil menjilat es krim kami pelan-pelan. Tiba-tiba, Yang Mulia berhenti melangkah, mengendus udara dengan hidungnya, lalu berkata, “Ada aroma dari neraka. Aroma ini kemungkinan besar iblis yang memiliki nama...” 

Yang Mulia mengatakannya dengan wajah biasa saja, tetap sangat tenang.


“Mungkin akan ada banyak orang yang tewas.”


* * *


 Pada hari ketika Yang Mulia menyebut Kuromari sebagai Cawan Suci, kami pergi ke penjahit milik Lavi. 

Di ruang bawah tanah toko itu, Lavi menonton rekaman si Shapeshifter yang meniru wujudku dan menari dalam insiden pengeboman kantor pemerintah, lalu berkata, “Begitu ya, bagian mahkota di kepala Kuromari itu adalah Cawan Suci.” 

Banyak versi boneka Kuromari yang dijual, tapi tak ada satu pun yang memiliki mahkota logam di kepalanya. 

“Boneka Kuromari ini, seingatku hadiah dari ayahnya Hana, ya?” 

“Katanya dikirim oleh ayahnya dari luar negeri sebagai hadiah Natal lebih awal.” 

“Pasti, dalam perjalanan sampai ke tangan Hana, entah di atas laut atau di langit, boneka itu dirasuki sesuatu. Karena Cawan Suci itu semacam energi besar yang bisa berubah bentuk seiring zaman.” 

Menurut penjelasan Lavi, Cawan Suci adalah benda yang sangat bernilai. 

“Konon, banyak raja yang membangun zaman kejayaannya pernah memiliki Cawan Suci.” 

Tidak selalu berupa cawan, bentuknya bisa berbeda tergantung zaman, kadang berupa permata, kadang pula berupa permata kerajaan atau segel kekuasaan. 

“Jadi, dari Cawan Suci bisa mendirikan negara ya...” 

Aku menoleh ke arah Yang Mulia. Yang Mulia menangkap maksudku dan berkata, “Benar juga. Mendirikan negara dengan kekuatan Cawan Suci mungkin bukan ide buruk.” 

Tapi, kata Lavi, kekuatan Cawan Suci tidak berhenti sampai di situ. 

“Seperti yang tadi kusebut, Cawan Suci adalah energi yang melampaui akal manusia. Para iblis sudah lama mencarinya.” 

“Kenapa iblis menginginkannya? Mereka juga ingin bikin negara?” 

“Karena Cawan Suci memiliki kekuatan untuk menghancurkan batas antara dunia.” 

Dengan kata lain...

“Mereka ingin membawa tubuh mereka yang terus dibakar di neraka ke dunia ini. Dunia manusia jauh lebih nyaman.” 

Jadi, Cawan Suci adalah benda yang bernilai tinggi, baik bagi manusia maupun iblis. 

“Abe mencoba mencuri start. Meski hanya iblis kroco, kalau punya Cawan Suci, dia bisa menjadi sangat kuat.” 

Ia menyamar sebagai diriku dalam rekaman agar bisa menyembunyikan fakta bahwa ia yang menyimpan Cawan Suci. 

Karena rekaman itu tersebar, para iblis lain yang tidak tahu apa-apa mengira akulah yang menyimpan Cawan Suci. 

“Selain iblis, masih ada juga Immortal lainnya. Bisa jadi kamu juga akan diburu oleh mereka.” 

“Jadi aku bakal diburu oleh semua orang, ya...”

“Semua Immortal akan mengincarmu. Bahkan sesama manusia pun bisa jadi akan mengejarmu. Karena Cawan Suci bisa memberikan kekuatan luar biasa. Jika digunakan dengan benar, segalanya menjadi mungkin, mulai dari menguasai dunia, hingga mengabulkan segala keinginan. Kekuatan seperti itu.” 

Setelah mendengar penjelasan Lavi bahwa aku telah terseret ke dalam perebutan Cawan Suci, satu-satunya perasaanku hanyalah, “Padahal aku nggak punya itu!!”


* * *


Sejak terlibat dalam perebutan Cawan Suci hingga hari ini, hari-hari kami dipenuhi dengan kejadian yang pop, catchy, dan mengerikan. 

Bagian pop dan catchy-nya datang dari kegiatan Yang Mulia menerima permintaan di Toko Inggris dengan ritme santai seperti biasa, sedangkan bagian mengerikannya adalah serangan dari para iblis. 

Kami menerima permintaan dari sebuah taman kanak-kanak untuk menghadiri pesta Natal sebagai Santa dan Rusa. Saat kami sedang menghibur anak-anak, ada iblis menyerang. Di balik panggung yang tak terlihat oleh anak-anak, aku sebagai Santa dan Yang Mulia sebagai rusa bekerja sama menancapkan salib ke jantung iblis. 

Ada pula permintaan dari rumah hantu di taman hiburan agar kami menjadi aktor di sana. Kami berdandan menjadi zombie dan menakut-nakuti para pengunjung. Saat sedang melakukannya, iblis sungguhan menyerang kami, dan kami menembak kepalanya hingga hancur. Semuanya terjadi di depan para pengunjung, tapi kami pura-pura tenang dan menunjukkan bahwa itu semua bagian dari pertunjukan. 

Kami juga mendapat permintaan untuk mengisi kursi penonton di konser idol. Saat kami mengibaskan lightstick sebagai penonton bayaran, para idol ternyata semuanya iblis, dan kami menjatuhkan perlengkapan lampu panggung hingga seluruh grup mereka hancur seketika. 

Setelah melalui hari-hari seperti itu, akhirnya hari ini, Yang Mulia merasakan kehadiran iblis yang sangat kuat. 

“Akhirnya si iblis datang juga, ya...” aku mengucapkannya. 

Setelah pelajaran etika di restoran keluarga, kami kembali ke Toko Inggris, duduk di meja bundar favorit Yang Mulia dan menikmati teh sore. 

“Setelah teh, waktunya cari Kuromari,” ucap Yang Mulia sambil mengayun-ayunkan tongkatnya seperti anak kecil. 

Berkat kekuatan Cawan Suci, boneka Kuromari bisa bergerak sendiri. 

Terakhir kali kami melihatnya, ia masuk ke dalam lift gedung komersial, lalu menghilang. 

Tapi karena kaki Kuromari sangat pendek, kecepatan geraknya tidak cepat. Jadi, saat kami punya waktu luang, kami menyusuri kota sambil mencarinya. 

Namun...

“Yang Mulia, bukankah sudah waktunya untuk mundur?” kataku. 

“Aku juga ingin Kuromari kembali ke tangan Hana, tapi ini sudah di luar urusan Toko Inggris...” 

Pertarungan perebutan Cawan Suci semakin memanas. Kami menghabisi iblis dengan cara yang sangat menyeramkan, dan rasanya kematian manusia pun bisa terjadi sewaktu-waktu dengan santainya. 

Shapeshifter Abe saat ini dikurung di ruang bawah tanah penjahit. Jika kami umumkan bahwa dia pelakunya, dan menjelaskan kalau Cawan Suci tak ada pada kami, seharusnya kami bisa keluar dari masalah ini. 

“Itu benar,” ucap Yang Mulia. 

“Itu juga salah satu pilihan.” 

“Hah? Terdengar ringan sekali. Di luar dugaan, ya.” 

“Aku ini tipe penguasa yang paham bahwa segalanya tidak selalu berjalan sesuai keinginan.” 

Namun, jika benar-benar ingin mundur, Yang Mulia mengajukan satu syarat. 

“Kamu harus pergi berkencan dengan Hana.” 

“Berkencan? Itu syarat yang aneh lagi.” 

“Kamu harus menebus semuanya.” 

Kabarnya, Yang Mulia sudah punya rencana untuk mengadakan pesta gadis-gadis bersama Hana saat Natal nanti. 

“Datanglah sebagai kejutan, Madarame.” 

“Itu akan membuatnya tidak nyaman. Dia pasti ingin berpesta dengan Yang Mulia, bukan denganku...”

Saat itu, Yang Mulia menyipitkan mata dan memandangku. 

“Kamu ini benar-benar bodoh. Walau polisi tidak menanggapi kasusnya, kamu pikir gadis sejujur Hana akan datang ke tempat seaneh ini tanpa alasan?” 

“Kamu sendiri yang bilang ini tempat aneh...” 

“Pergilah dan hiburlah Hana.” 

Sepertinya Yang Mulia tak akan memberikan penjelasan lebih lanjut. 

Jika sudah begini, apa pun yang kukatakan tak akan membuatnya menjelaskan. Maka aku pun menjawab, “Baiklah, Yang Mulia.”


* * *


“Hoho!” Hana mengeluarkan suara aneh. 

Itu terjadi saat hari Natal, ketika kami berkumpul di stasiun dekat pelabuhan menjelang siang. Yang Mulia seharusnya yang datang, jadi dia tampaknya terkejut ketika yang muncul malah aku. 

“Yang Mulia katanya sedang flu.” 

“Padahal Ellie itu Immortal kan?” 

Kami pun mulai berjalan menuju pelabuhan. 

Dengan wajah memerah, Hana mulai mengeluarkan suara seperti anak anjing, “kuuun, kuuun,” sambil menahan poni, memegang kerah bajunya, dan bergumam, “Kalau bilang dari awal aku pasti berdandan lebih cantik! Ellie, dasar bodoh!” sambil meronta-ronta.

“Hana.” 

“...Ellie ternyata memang tahu segalanya... kuuunn...” 

“Hana, ehem.” 

Aku menyapa Hana yang masih gelisah. 

“Kamu sering jalan bareng Yang Mulia, ya?” 

“Ah, iya. Sering kok.” 

Katanya dia pernah diajak makan parfait musiman, dan juga berbelanja baju bersama. 

“Kalian benar-benar sudah jadi teman, ya.” 

“Hari ini juga, Ellie bilang ingin lihat kapal perang...” 

Itulah sebabnya ia memilih kota pelabuhan militer ini sebagai tempat pesta gadis mereka. 

Ngomong-ngomong, saat kami sedang bersantai di Toko Inggris, aku dan Yang Mulia pernah ngobrol seperti ini.

“Aku jadi ingin punya angkatan laut.”

“Padahal wilayah kekuasaanmu cuma apartemen 3LDK yang dipinjam. Mau kuasai laut juga?”

Waktu itu kupikir itu hanya lelucon. Tapi kalau sampai ingin jalan-jalan ke kota pelabuhan militer, mungkin saja dia benar-benar serius. Dia bahkan sempat bilang ingin merebut pangkalan militer AS, benar-benar penguasa yang penuh kenekatan. 

Dan karena kota ini ada pangkalan militer AS-nya, tentu saja ada burger asli gaya Amerika. Aku dan Hana pun memutuskan untuk mencicipinya. 

Kami masuk ke restoran dan duduk. Saat itulah Hana tersenyum kecil. 

“Madarame-senpai, kamu mulai kelihatan seperti itu ya.” 

“Seperti apa?” 

“Kamu membukakan pintu untukku, dan menyuruhku duduk di sisi yang lebih lega.” 

“Ini semua hasil pendidikan Yang Mulia, sih” 

Sambil melihat menu, kami memesan burger. 

“Yang Mulia selalu bilang, ada enam hal yang penting untuk dijaga dalam hidup.” 

“Apa saja enam hal itu?” 

Aku menyebutkannya satu per satu. 

“Etika, kasih sayang, tanggung jawab, rasa hormat, disiplin...”

Di situ aku mengerutkan kening. 

“Apa satu lagi ya?” 

“Ehh?”

“Padahal sering banget diomongin, tapi aku lupa.” 

Saat kami masih bercakap, pelayan datang membawa sepiring burger raksasa. 

“Kalau Ellie makan burger kayak gini, pakai pisau sama garpu juga?” 

“Dia pakai kertas pembungkus, ditekan sampai pipih, lalu dimakan.” 

Iya, Yang Mulia termasuk tipe yang menekan burger sebelum makan. 

“Katanya begitu caranya di tempat asalnya. ‘Aku dulu pernah tinggal di New York,’ katanya dengan bangga.” 

Saat aku nonton siaran baseball, dia juga bilang, “Aku kenal dengan Babe Ruth,” padahal nggak ditanya. 

“Ellie emang suka begitu, ya.” 

Hana juga tertawa. 

“Kalau aku lihat poster kosmetik, dia bilang, ‘Aku dulu pernah jadi model.’ Kalau aku cerita lihat artis, dia langsung nyelutuk, ‘Aku juga pernah jadi aktris!’”

“Memang suka pamer, sih.”

Setelah makan burger, kami melihat kapal perang yang berlabuh di pelabuhan. Di sana juga, kami ngobrol tentang Yang Mulia. Entah kenapa, aku merasa ini bukan hal yang baik. 

Soalnya aku sedang bersama Hana, tapi yang dibicarakan cuma Yang Mulia. 

Aku dan Hana baru kenal karena suatu permintaan. Kami belum begitu dekat. Jadi, mencoba mengisi percakapan dengan topik kenalan bersama bisa dimaklumi. 

Tapi, rasanya itu agak kurang sopan juga. 

Mumpung lagi bersama, aku seharusnya berusaha membuatnya senang. Saat perasaan itu muncul, aku teringat bahwa hari ini adalah hari Natal. 

Aku sempat berpikir, seandainya aku menyiapkan hadiah, pasti bagus. Tapi belum terlambat juga. Maka, saat kami berjalan di jalan utama, aku bertanya, “Hana, ada yang kamu inginkan?” 

“Eh?” 

“Kan ini hari Natal.” 

“Ehh!?” 

Hana bingung, menolak sambil berkata tidak enak. Tapi setelah aku bersikeras, dia menunduk dengan wajah memerah. 

“K-Kalau begitu, aku mau sesuatu yang bisa jadi kenang-kenangan hari ini... dari kencan, eh, jalan bareng kita...” 

“Kenang-kenangan, ya...” 

Di kota pelabuhan ini, yang terkenal tentu saja burger tadi. Tapi kalau soal barang, yang khas di sini adalah... 

Aku menatap etalase toko di sepanjang jalan. 

“Sukajan?”

Jaket satin khas Jepang. Tapi kurasa itu bukan gayanya Hana. Dia biasanya bergaya anggun, seperti putri bangsawan. Tapi...

“S-Sukajan, aku mau!” kata Hana. 

“Soalnya kamu pakai pakaian santai... Kalau aku juga pakai sukajan, kita berdua kelihatan serasi atau gimana gitu...” 

Akhirnya, kami masuk ke toko. Pegawai toko membawa jaket sukajan berwarna pink dan putih yang lucu. Hana langsung menyukainya. 

Dia melepas mantel yang ia pakai sejak pagi, memasukkannya ke tas, dan langsung mengenakan sukajan itu. 

Dari kepala sampai kaki dia terlihat formal, tapi bagian luarnya super kasual. Kombinasi itu justru terlihat sangat pas, seperti model sungguhan. 

“Yuk, lanjut jalan.” 

Setelah itu, kami naik bianglala untuk menikmati pemandangan, lalu makan malam di restoran yang agak mewah untuk ukuran anak SMA. 

Lama-kelamaan, Hana jadi lebih pendiam. Dengan wajah memerah, ia sesekali memandangku seolah ingin bicara. Ketika tiba waktunya pulang, kami naik kereta bersama, dan dia benar-benar diam. 

Di dalam kereta, berdiri berdampingan, aku memutar otak, mencari topik pembicaraan. 

Tapi sebelum aku bicara, Hana mendahului sambil memerah sekujur wajah. 

“U-Uh... Madarame-senpai, kamu tahu nggak?” 

“Apa?” 

“Aku dan kamu, waktu SD, sekolahnya sama...” 

“Masa iya?” 

Setelah dia sebutkan nama sekolahnya, ternyata memang benar. 

“Eh, kebetulan banget, ya.” 

“I-Iya. Terus... Kamu ingat anak perempuan yang suka banget Kuromari?” 

“Ingat. Cukup membekas, sih. Anak yang lucu itu, kan?” 

“L-Lucu banget katanya!!” 

Hana mengipas wajahnya yang merah dengan tangannya. 

“T-Terus, anak itu sering diganggu anak-anak cowok, kan?” 

“Ya, aku ingat.” 

“Tapi ada juga kakak kelas cowok yang melindungi anak itu. Dia ngembaliin Kuromari yang diambil waktu digodain...” 

“Oh ya? Ada yang begitu, ya.” 

“Kalau anak perempuan itu jatuh cinta sama orang itu, itu wajar, kan? Dari SD sampai SMA, tiap malam mikirin orang itu, itu nggak bikin dia jadi cewek aneh atau gimana gitu, kan?” 

Saat Hana mengucapkan itu.

Kereta berhenti dan orang-orang mulai masuk. 

Agar tidak terdorong orang lain, aku menarik Hana mendekat. Lalu...

Hana justru mendekat lebih jauh, memegangi ujung bajuku dengan kedua tangan, nyaris memelukku. 

“H-Hana...” 

“Senpai... Apa kamu... Ingin melakukan hal-hal seperti itu dengan seorang gadis?” 

Hana-chan berkata lirih sambil merapatkan tubuhnya. 

“Eh?” 

“Soalnya, waktu di restoran keluarga, kamu bilang mau minta c-ciuman sebagai hadiah...” 

“Oh itu, ya. Hmm, iya, itu karena aku belum pernah, jadi aku penasaran...” 

“A-Aku pikir itu nggak bagus. Ciuman itu harusnya sama orang yang saling suka... Sesuatu yang harusnya lebih berharga... Bukan sesuatu yang diminta sebagai hadiah...” 

“Iya, benar juga...”

“T-Tapi!” 

Hana menoleh sambil malu. 

“Kalau sama orang yang habis kencan bareng atau yang ngasih hadiah... m-mungkin nggak apa-apa jug ciuman...” 

“Berarti, maksudmu...”

Aku berpikir sejenak. Kencan, hadiah, itu berarti...

Hana! 

“Hah!?”

Aku terkejut. Wajah Hana jadi makin merah dan berkata, “Hari ini aku harus pulang karena ada jam malam... tapi kalau lain kali nggak harus pulang... dan kamu mau minta s-seperti yang kamu minta ke Ellie sebelumnya... a-aku mungkin... nggak apa-apa juga...” 

Hana sedikit menekan tubuhnya ke arahku. 

Hari ini dia pulang, tapi lain kali tidak apa-apa!? 

Ini luar biasa. 

Jadi aku harus bagaimana? Haruskah aku langsung maju dan membalas perasaannya? Atau menghindar secara elegan seperti seorang pria sejati? Tapi Hana sudah berani mendekat walau malu. Mungkin, membalas perasaannya dengan baik adalah bentuk sikap pria yang sejati? 

Tolong ajari aku, Yang Mulia!! Yang mana yang pria sejati!? 

Saat aku sedang berpikir seperti itu... 

“Woah, Madarame, kan!” Seseorang seumuranku menyapaku. 

Dia melihat ke arahku dan Hana bergantian, lalu tersenyum lebar dan berkata, “Kamu tuh benar-benar sampah, ya.”


* * *


Takayama Kenji. 

Teman sekelas sekaligus ketua OSIS. Dia unggul dalam segala bidang, baik di akademik maupun olahraga. Dia memiliki kepribadian yang ramah, jadi pemersatu semua orang, dan sangat dipercaya oleh para guru. 

Karena Hana juga memiliki sifat teladan yang serupa, tampaknya mereka pernah bekerja sama dalam kegiatan sekolah dan cukup saling mengenal. 

Ketika aku sedang jalan-jalan bersama Hana di hari Natal, secara kebetulan kami bertemu dengan Kenji, teman sekelas dan juga ketua OSIS, di dalam kereta. 

“Madarame dan Amami?” 

Setelah naik ke kereta dan melihat kami, Kenji menyapa seperti itu. 

Begitu namanya dipanggil, Hana buru-buru menjauh dariku, menyapa sambil berpura-pura merapikan poni. 

“H-Ha-Halo, Ketua.” 

“Berdua keluar bareng di hari Natal?” tanya Kenji, dan Hana menjawab dengan sedikit malu, “Iya.” Melihatnya seperti itu, Kenji tersenyum lembut pada Hana, lalu, masih dengan sikap ramah yang sama, menatapku dan berkata dengan nada yang sangat lembut, “Madarame benar-benar sampah, ya.” 

Aku dan Hana, terbawa oleh suasana lembut Kenji, sempat mengangguk sambil bergumam, “Hmm.” Tapi segera setelah itu, kami berseru, “Eh!?” 

Kenji, mengabaikan keterkejutan kami, melanjutkan dengan tenang dan tetap tersenyum. 

“Kamu nggak pernah datang ke sekolah, tapi bisa-bisanya jalan-jalan sama cewek.” 

“Bukan gitu...”

Aku mencoba membela diri, tapi Kenji lebih dulu menyela. 

“Kenapa nggak sekolah? Mau hidup bebas katanya? Itu cuma alasan manja buat lari dari kenyataan, kan?” 

“Bukan begitu...”

“Kamu sadar nggak kalau semua orang hidup dengan mengikuti aturan? Tapi kamu cuma mau tunduk kalau yang nyuruh itu cewek cantik? Itu namanya cuma gaya-gayaan doang.” 

“Kenapa kamu tahu itu...”

Aku tak pernah bilang hal itu ke siapa pun. Termasuk ke Kenji. 

Kenji mendekatkan wajah sempurnanya ke telingaku dan berbisik, “Kamu sebenarnya takut, kan? Waktu lihat ayahmu dimarahi kliennya dan harus membungkuk minta maaf.” 

Kamu memang buruk dalam bersosialisasi, katanya. 

“Kamu mengidolakan ayahmu, dan kalau bahkan dia bisa seperti itu, kamu mikir kamu pasti bakal lebih parah, ya? Kamu bayangin masa depanmu, penuh dengan permintaan maaf terus-menerus.” 

Kamu lari dari semua itu, Kenji berbisik. 

Kemudian dia mulai menyebutkan kegagalanku di sekolah satu per satu. 

Waktu SD, aku terlalu sering berkelahi sampai dicap anak bermasalah. 

Waktu SMP, aku sering terlambat sampai nyaris nggak naik kelas. 

Waktu festival budaya di SMA, aku menumpahkan cat ke papan yang disiapkan bersama sekelas, membuat semua orang kehilangan semangat. 

“Kamu takut sama orang, sama masyarakat, sama kenyataan, kan? Makanya kamu kabur dan ngumpet di bioskop. Bukankah itu kebenaran tentang dirimu? Semua pembenaranmu itu cuma omong kosong belaka.” 

“Cukup, Ketua!” 

Hana maju dan membentaknya. Tapi Kenji juga menyasar ke Hana. 

“Kamu itu anak teladan, bukan?” 

“E-Eh? Ya, itu yang dibilang orang-orang...”

“Ngajarin anak SD yang tinggal di sebelah rumahmu juga, kan?” 

“K-Kenapa kamu tahu itu? Aku nggak pernah cerita ke...”

“Tapi kamu anak yang nakal.” 

Kenji berbisik di telinga Hana, seperti yang dia lakukan padaku. 

“Tadi malam, kamu ngapain sendirian?” 

“Eh?” 

“Di ranjang, sebelum tidur. Kamu tekanin wajah ke bantal, kan...”

“E-Eh! T-Tunggu, aku...”

“Padahal kamu kelihatan suci dan rajin di sekolah, ngajarin anak kecil segala. Tapi kamu ternyata anak cewek yang nakal, ya.” 

“Ugh...” 

Hana hampir menangis, ditekan terus oleh Kenji. 

Kenji lalu menatap wajah Hana, seolah mencoba membaca pikirannya. 

“Begitu ya. Jadi kamu membayangkan cowok yang kamu suka. Hmm, namanya itu pasti...”

“Berhenti, berhenti, tolong hentikan!” 

Tepat saat itu, kereta tiba. Aku menggenggam tangan Hana dan menariknya turun dari gerbong. 

“Hana, istirahat aja di kafe, ya. Aku mau ngobrol sama Kenji soal kelas dan lainnya untuk sekian lamanya.” 

“U-Uh...”

Hana menangis deras. 

“Senpai, bukan gitu... Memang, mungkin aku... pernah melakukan hal seperti itu... Tapi aku nggak melakukannya dengan sengaja... dan aku juga nggak tiap hari mikirin hal-hal seperti itu... Cuma, waktu mikirin orang yang aku suka...”

“Aku tahu. Aku tahu kamu bukan tipe anak kayak gitu.” 

“Uwaaa...”

Meski menangis, dia tetap anak yang baik. Ia menuruti permintaanku dan naik tangga menuju kafe di gedung stasiun. 

“Kamu...!”

Aku berbalik menghadapi Kenji, yang baru saja melangkah turun dari kereta. 

“Kamu pasti iblis, ya!” 

Kenji menyeringai tipis. 

Matanya sepenuhnya hitam.


* * *


Kenji dan aku saling berhadapan di peron stasiun. 

Permintaannya sangat sederhana. 

“Bisakah kamu memberikan Cawan Suci padaku?” 

Namun...

“Aku tidak memilikinya. Lagipula, Kenji, ternyata kamu adalah iblis, ya?” 

“Kamu tidak menyadarinya, kan? Sejak SD aku sudah seperti ini.” 

Tampaknya Kenji telah lama hidup menyamar di antara manusia sebagai iblis. 

“Aku harus hidup dengan hati-hati,” kata Kenji. 

“Jika terlalu mencolok, para eksorsis akan datang, dan tubuh asliku akan terbakar di neraka, itu menyakitkan.” 

Oleh karena itu, biasanya dia bersikap tenang. Tapi jika menyangkut Cawan Suci, ceritanya berbeda. 

“Jika aku menggunakan Cawan Suci untuk menarik tubuh asliku ke sini, tidak akan ada yang bisa menakutiku.” 

“Aku benar-benar tidak memilikinya.”

“Jangan pura-pura bodoh. Aku memang berniat menggunakan kekerasan sejak awal.” 

“Jadi kita akan bertarung?” 

Aku mengambil posisi bertarung menghadap Kenji. Namun, pada saat itu juga, seorang ibu rumah tangga tiba-tiba memelukku dari belakang. 

“Eh, apa ini!? 

Aku terkejut, dan wanita itu tersenyum tipis sambil berkata, “Maaf, ya.” 

“Apa maksudnya ini?” 

Saat aku bertanya, seorang anak SD berpakaian tim baseball menyerangku dengan tongkat. Aku dipukul tepat di lengan atas. 

“Aduh!”

Aku melepaskan diri dari wanita itu dan menjauh dari anak itu, tapi kemudian seorang pegawai kantor menyerang dengan tasnya, dan seorang wanita sporty menyerang dengan tongkat golf. Orang-orang di peron mulai menyerangku satu per satu. 

Dan semuanya tersenyum tipis sambil berkata, “Maaf, ya.” 

“Apa ini!?” 

“Aku adalah iblis tradisional. Aku bisa mengendalikan manusia.” 

Seperti di film yang sering kamu tonton, kata Kenji.

“Pertama, aku membaca pikiran mereka. Lalu, aku menyebutkan ketakutan mereka. Siapa pun yang merasa takut padaku akan menjadi boneka iblis. Bedanya dengan film-film itu, aku lebih dinamis. Seperti ini.” 

Stasiun tempat kami berada adalah terminal dengan beberapa jalur. 

Kenji bertepuk tangan ke arah peron sebelah. Lalu...

Orang-orang yang menunggu kereta mulai melompat ke rel dengan senyum di wajah mereka. 

“Ah.” Saat aku menyadarinya, kereta masuk ke peron. 

Pemandangan yang mengerikan. Seperti atraksi horor terburuk. 

"Kamu benar-benar melakukan hal yang mengerikan...” 

“Aku kan iblis,” kata Kenji dengan wajah tenang. 

“Serahkan cepat. Kalau tidak, aku akan melakukan hal yang sama di peron ini.” 

Meskipun dia berkata begitu, aku tidak memiliki Cawan Suci. Tapi jika tidak menyerahkannya, akan terjadi hal yang mengerikan. Apa yang harus kulakukan? 

“Hmm?” 

Kenji memiringkan kepalanya. 

Kulihat, dari dadanya tiba-tiba muncul pedang Jepang. 

Eh? Saat aku melihat lebih dekat, seorang pria berjanggut dengan aura karismatik menusukkan pedang Jepang dari belakang Kenji. 

“Anak muda, kamu sekarang aman,” kata pria itu. 

“Namaku Jin, dikenal sebagai Pedang Pertama di kalangan Immortal Hunter. Aku menerima permintaan dari pemerintah, pernah berlatih di gereja, mengalahkan banyak iblis, dan saat muda pernah menjadi model majalah...”

Ucapan pria itu terputus. 

Kenji mematahkan leher pria itu. Meskipun ditusuk dengan pedang Jepang, Kenji tetap segar bugar, dan lukanya sembuh dengan cepat. 

“Tidak banyak waktu sebelum kereta ekspres lewat.” 

“Kenji, kamu benar-benar jahat!” 

Namun...

“Berkat pria yang suka bercerita itu, aku menyadari sesuatu.” 

Aku merebut tongkat besi dari tangan anak SD. 

Cara menyelamatkan orang-orang di peron. Itu adalah...

“Jika aku mengalahkanmu, semuanya akan selesai!” 

Aku menyerang Kenji dengan tongkat. 

Akan tetapi...

Tepat sebelum tongkat mengenai Kenji, tubuhku tiba-tiba berhenti bergerak. 

“Eh?” 

Aku bingung, dan Kenji berkata, “Aku sudah bilang, siapa pun yang merasa takut padaku tidak bisa menyakitiku. Di dalam kereta, kamu merasa takut saat aku menyebutkan masa lalumu.” 

Lalu, Kenji melanjutkan, “Sejak awal, kamu sudah takut padaku. Kamu tidak bisa membaca situasi, dan tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa dilakukan orang lain.” 

Kenji selalu berhasil dalam segala hal. Bukan hanya dalam pelajaran, tapi juga dalam berinteraksi dan hubungan dengan teman sekelas, dan mungkin dia juga tidak pernah malu atau gagal. 

Sebaliknya, aku sering gagal dibandingkan orang lain. 

Seperti yang Kenji katakan, saat SD aku sering terlibat dalam perkelahian yang memalukan, sering terlambat saat SMP, dan saat SMA, aku dicemooh karena merusak papan festival budaya. 

“Kamu adalah orang setengah-setengah yang merepotkan karena tidak bisa melakukan hal-hal biasa. Karena itu, kamu melarikan diri dari sekolah. Dari sudut pandangmu, aku yang bisa melakukan hal-hal biasa terlihat menakutkan sejak awal.” 

“Jangan bilang kamu orang biasa setelah membunuh banyak orang seperti itu!” 

Aku mencoba menyerang Kenji lagi. Tapi tetap saja, tubuhku lemas dan tidak bisa mengerahkan tenaga. 

“Orang yang merasa takut padaku tidak bisa menyakitiku,” kata Kenji sambil mengambil pedang Jepang milik pria karismatik itu. Lalu, dia perlahan menusukkan pedang itu ke perutku yang tidak bisa bergerak. 

“Aduh, sakit, sakit, sakit!” 

Aku jatuh berlutut karena rasa sakit yang luar biasa. Saat itu, pandanganku menjadi rendah, dan aku melihatnya. 

Di bangku peron, Kuromari duduk dengan tenang. 

Mengikuti pandanganku, Kenji juga menyadari keberadaannya. 

“Jadi, kamu benar-benar tidak memilikinya.” 

Kenji kehilangan minat padaku dan berjalan menuju bangku. 

Kuromari mencoba bergerak menjauh seperti saat bersama Abe, tapi karena dia adalah boneka dua dimensi, kecepatannya sangat lambat. Akhirnya, dia diambil oleh Kenji. 

Kenji memegang Kuromari dan menunjukkan ekspresi bahagia. 

“Akhirnya Cawan Suci ada di tanganku... Seperti mimpi...” 

Kenji menaiki tangga peron dan hendak pergi. 

Namun, di tengah tangga, dia berhenti seolah mengingat sesuatu, dan menoleh ke arahku. 

“Benar, apa yang sudah dimulai harus diselesaikan. Meskipun kamu tidak akan mengerti, orang sepertimu yang setengah-setengah, tapi akumulasi usaha itu penting.” 

Saat Kenji berkata begitu, orang-orang di sekitarku menyeret tubuhku yang kesakitan dan melemparkanku ke rel. Mereka juga turun ke rel dan menahanku. 

Bukan hanya itu. 

Orang-orang di peron juga mulai melompat ke rel satu per satu. 

“Kenji...”

Dari kejauhan, kereta ekspres mendekat. 

“Selamat tinggal. Datanglah ke sekolah. Meskipun mungkin kamu tidak bisa lagi.” 

Kenji pergi sambil berkata begitu. 

Kereta masuk ke peron dengan kecepatan penuh.


* * *


Satu jam setelah aku dilemparkan ke atas rel, aku berdiri di depan apartemen tempat tinggal Hana. 

“Terima kasih banyak untuk hari ini! B-Bisa naik bianglala bersamamu, rasanya seperti, uh... Pokoknya terima kasih banyak!” 

Di depan pintu masuk, Hana menundukkan kepalanya. 

“Sempat kaget waktu tiba-tiba muncul lagi dalam keadaan agak berantakan, sih.” 

Aku ditekan oleh banyak orang di atas rel. 

Saat kereta ekspres mulai masuk ke peron dan aku merasa aku akan dilindas, pada saat itu, sebuah kekuatan bangkit dari dalam tubuhku. Aku melepaskan diri dari cengkeraman orang-orang itu dan berhasil melarikan diri dalam detik-detik terakhir. 

Itu bukan gerakan manusia biasa. 

Aku teringat ucapan Yang Mulia ketika aku akan pergi berkencan dengan Hana. 

“Buat Hana senang, ya.” 

Saat itu, Yang Mulia telah mengerahkan kekuatannya. Perintah itu teraktivasi. Karena jika aku mati saat kencan, aku tidak akan bisa membuat Hana bahagia. 

Perutku memang telah ditembus pedang Jepang, tapi itu bukan masalah. Meskipun sakit, tubuhku bergerak sendiri, lalu masuk ke sebuah minimarket. 

“Jangan-jangan, ini kayak beli peralatan jahit dan menjahit sendiri, ya!” 

Begitu aku pikir, ternyata yang dibeli tubuhku adalah stapler dan lakban. 

“Apa?” 

Tubuhku membayar sendiri. Setelah keluar dari minimarket, tubuhku berjalan terhuyung ke toilet dan masuk ke salah satu bilik. Saat aku merasa, “Masa sih...” tubuhku menaikkan bajuku, memperlihatkan perut, dan menempelkan stapler ke luka. 

“Eh, tunggu, aku tahu ini dari film sih, tapi sial, sakit banget!” 

Aku menstapler luka di perutku satu demi satu. 

Yang Mulia pernah berkata. Ketika menerima perintah dari Yang Mulia, tubuhku akan bergerak sendiri untuk mencapai tujuan itu. Tapi detail dari tindakannya tergantung pada imajinasiku. 

Tampaknya aku terlalu banyak menonton film aksi yang brutal. 

“Aku bakal nonton Dr. House aja mulai sekarang!” 

Dengan pertolongan pertama ala kadarnya, aku menghentikan pendarahan dan menjemput Hana yang masih menunggu. Karena kekacauan di peron, kereta tertunda, jadi kami berjalan cukup jauh, dan aku mengantarkannya sampai ke depan apartemen. 

Saat kami saling mengucapkan terima kasih dan hendak berpisah. 

“Umm...” 

Hana berkata sambil menundukkan pandangan. 

“M-Madarame-senpai itu orang yang hebat!” 

“Kenapa tiba-tiba?” 

“Omongan Ketua OSIS tidak perlu kamu pikirkan.” 

Di dalam kereta, Kenji telah menyebutkan semua kegagalanku sejak SD. Tapi...

“Kamu berkelahi waktu SD karena melindungi anak perempuan,” katanya dengan wajah memerah. 

“Karena ada gadis kecil penggemar Kuromari yang diejek.”

“Tidak...”

“Di SMP, kamu sering terlambat karena mengurus kucing yang dibuang di tepi sungai. Setelah menemukan pemiliknya, kamu tidak pernah terlambat lagi.” 

“Yah, benar sih...”

“Dan saat di festival budaya SMA, kamu bilang itu perbuatannya sendiri, padahal itu karena seorang siswi tanpa sengaja menodai papan dan menangis, kan?” 

“Itu benar, tapi...” 

Aku menggaruk kepalaku karena malu. 

“Hana, kamu memperhatikanku terlalu banyak, tahu.” 

“Eh, t-tidak! Bukan begitu!” 

Hana mengibaskan tangannya dengan wajah merah padam. 

Lalu, dengan wajah agak merengut, ia berkata, “Itu karena kamu tidak pernah bilang sendiri. Jadi aku yang bilang.” 

Aku, merasa sedikit malu, kembali menggaruk kepala. 

“Kamu pikir kalau diam-diam begitu itu keren, ya?” 

“Mungkin.” 

“Mirip dengan Ellie, ya?” 

“Eh?” 

“Soalnya, beliau juga nggak pernah mau menjelaskan apa-apa. Sepertinya beliau merasa menjelaskan itu nggak elegan.”

Memang, Yang Mulia sangat seperti itu. 

Hana melanjutkan, “Kamu pasti akan cepat menguasai etiket.”

“Masa sih?” 

“Iya. Soalnya kamu sama seperti Ellie. Bukan dari ucapan, tapi dari tindakan. Etiket juga kan begitu.” 

“Mungkin aku dan Yang Mulia cuma keras kepala saja.” 

“Bukan begitu,” jawab Hana. 

“Sudah biasa seperti itu.” 

Aku terdiam sejenak. Lalu... 

“Hana, jam malamnya aman?” 

Karena pujian dari Hana membuatku geli sendiri, aku mengalihkan pembicaraan. 

“Ayahmu tidak khawatir?” 

Lalu...

“Ayahku tinggal jauh dariku.” 

Nada bicara Hana sedikit menurun. 

“Benar ya, dia di luar negeri? Tapi ini akhir tahun, dia nggak pulang?” 

Saat aku tanya begitu, Hana menjawab dengan ekspresi sedikit canggung. 

“Sebenarnya... Ayah sudah meninggal.” 

“Eh?” 

“Aku ingin mengatakannya sejak dulu tapi...” 

Ayahnya Hana, sejak dia kecil, sering berpindah-pindah negara karena pekerjaan. 

“Beliau bukan orang yang peduli keluarga, tapi hanya satu hal yang selalu dia ingat, yaitu aku suka Kuromari.” 

Karena itu, setiap ulang tahun dan Natal, beliau selalu mengirimkan barang-barang Kuromari sebagai hadiah. 

“Meskipun seleraku sudah berubah seiring waktu. Tapi mungkin, beliau selalu menganggapku tetap anak kecil. Itu khas Ayah.” 

Ayahnya jatuh sakit pada musim gugur. Saat diperiksa, penyakitnya sudah terlalu parah untuk ditangani. Sebelum meninggal, beliau menulis surat untuk Hana dan mengirimnya bersama gantungan boneka Kuromari. Dan beliau pun meninggal di tempat tugasnya. 

“Maaf. Aku menanyakan hal aneh.” 

Saat aku meminta maaf, Hana menggeleng kepalanya. 

“Tidak, aku yang salah karena tidak mengatakannya.” 

Karena dia anak baik, dia berusaha agar suasananya tidak menjadi muram. 

Dan perhatiannya berlanjut. 

“Ayah sudah memberikan banyak Kuromari selama ini. Jadi, untuk yang sekarang ini, tak usah repot mencarinya. Kamu juga sudah mengalami hal yang sulit.” 

Aku tidak bisa berkata apa-apa. 

Aku belum bisa menguasai cara bersikap elegan dalam situasi seperti ini. 

Namun Hana tetap tersenyum ceria dan melanjutkan, “Kenangan lebih penting daripada benda, kan? Kehilangan satu pun bukan masalah.” 

Setelah banyak mengucapkan terima kasih untuk hari ini, ia melambaikan tangan dan masuk ke dalam apartemennya.


* * *


Setelah menyelesaikan kencan dengan Hana, aku kembali ke Toko Inggris.

Yang Mulia duduk di sofa, membaca manga sambil memakan cokelat.

“Mau teh atau kopi, Yang Mulia?”

Saat aku bertanya, Yang Mulia menjawab, “Kopi.” Maka aku menggiling biji kopi yang kubeli dari kedai kopi di bawah lantai satu, dan menyeduhnya dengan metode siphon, pelan-pelan, penuh kesabaran. 

Begitu aku meletakkan cangkir di meja, Yang Mulia bertanya, “Kamu sudah berhasil menghibur Hana?”

“Ya.”

“Bagus.”

Yang Mulia mengangguk puas, lalu memandangku. 

Pakaianku agak robek, dan rambutku acak-acakan.

“Ada sesuatu yang terjadi?”

Dengan wajah datar seperti biasa, Yang Mulia bertanya. Aku berpikir sejenak, lalu menjawab, “Tidak ada yang berarti.” 

Setelah itu, aku duduk di sampingnya, minum kopi, makan cokelat, dan membaca manga. Yang terdengar hanyalah suara halaman yang dibalik dan detik jam tiang antik di sudut ruangan. 

Waktu tenang bersama Yang Mulia. 

Tapi tak lama kemudian, suasana di luar mulai gaduh. Sirine meraung, dan sesekali terdengar jeritan.

Saat aku memeriksa media sosial di ponsel, tampaknya di berbagai tempat di Tokyo sedang terjadi gelombang bunuh diri massal. Banyak siaran langsung bunuh diri juga beredar, situasi menjadi kacau. 

“Jangan-jangan ini...”

“Perayaan malam para iblis,” kata Yang Mulia, tanpa mengalihkan pandangan dari manga.

“Aku mendapat kabar dari Lavi. Sepertinya ada iblis bernama Asmodeus yang berhasil mendapatkan Cawan Suci.” 

Dengan kekuatan Cawan Suci, tubuh asli yang berada di neraka bisa dipanggil ke dunia manusia.

Iblis yang diliputi euforia itu, mungkin sedang merayakannya dengan meresahkan dunia. 

“Yang si Asmo ini, dia bisa membaca pikiran?”

“Ia membaca hati dan masa lalu, lalu menebak objek ketakutan lawannya. Jika kamu tak bisa mengatasi ketakutan itu, kamu akan berada di bawah kendali Asmodeus.” 

“Ngomong-ngomong, ini apa?”

Aku mengarahkan pandangan ke atas meja. Selain manga, ada beberapa pucuk pistol dan tumpukan peluru yang berserakan. Peluru emas yang diukir dengan simbol salib. 

Selain itu, ada botol kecil berisi air yang tampak mencurigakan, salib, dan buku yang menyerupai Alkitab. 

“Benda-benda ini dikirim oleh Friday atas perintah Lavi.” 

Aku mengambil salah satu revolver.

“Aku sebenarnya sudah nggak harus merebut kembali Kuromari, kan?”

“Karena kamu sudah mengajak Hana berkencan. Aku menepati janjiku.” 

Aku mengayunkan revolver dan membuka silindernya.

“Hari ini aku bertemu dengan Immortal Hunter. Pasti masih banyak orang seperti itu, dan beberapa di antaranya sangat kuat, ya?”

“Benar.”

Yang Mulia tetap membaca manga seperti biasa. 

“Nanti juga para eksorsis akan datang. Negara ini pun punya lembaga resmi yang mengawasi para Immortal.”

“Hmm...”

Aku memasukkan satu peluru ke dalam silinder. 

“Mungkin, segala hal tentang iblis dan Cawan Suci, tanpa aku melakukan apa pun, semua akan dibereskan oleh mereka. Sama seperti banyak hal di dunia ini yang tetap berjalan meskipun aku tidak campur tangan.”

“Mungkin begitu.”

Yang Mulia tetap tidak memalingkan pandangan dari manga. 

“Pahlawan selalu berada di tempat yang seharusnya. Rakyat biasa tidak perlu repot-repot memikirkan urusan besar. Begitulah kenyataan.”

Aku memasukkan satu peluru lagi ke dalam silinder. Terus kulakukan hingga silinder itu penuh dengan peluru emas. 

“Iblis bernama pasti kuat sekali, ya?”

“Sangat kuat. Meski bisa dikalahkan jika cukup banyak petarung berpengalaman yang bergabung, tapi tidak akan berakhir tanpa korban.”

“Menakutkan juga, ya.” 

Aku memutar silinder revolver yang kini penuh peluru.

“Yang Mulia, waktu memberi perintah, kamu selalu menekan dengan kuat, ya?”

“Ya, aku menekannya dengan sungguh-sungguh.”

“Kalau ditekan lebih kuat lagi, apa yang terjadi?” 

Saat itu, Yang Mulia menutup manga.

“Gampang saja.”

Dengan wajah tenang dan indahnya, ia memandangku. 

“Asmodeus bisa ditumbangkan dengan mudah. Jangan ragu untuk percaya diri. Tak perlu rendah hati. Sebagai prajurit tajam Sang Ratu, kamu bisa bertindak sesukamu.”

“Sungguh?”

Aku mengayunkan pistol, menutup silinder, dan menyelesaikan pengisian peluru. Kini aku siap menarik pelatuk kapan saja. 

“Sejujurnya, aku belum terlalu merasa nyata. Soal Cawan Suci, soal iblis, semuanya terasa terlalu besar. Aku memang mengerti kalau iblis muncul di dunia manusia, itu akan jadi masalah besar, tapi entah kenapa, di dalam hatiku tetap ada keyakinan bahwa orang lain akan mengurusnya, seperti berita yang lewat begitu saja. Tapi...”

Aku teringat.

Hana yang memperhatikan tindakanku, meski aku tak pernah mengatakannya.

Senyumnya saat perpisahan, agar aku tidak merasa terbebani. 

Itulah sebabnya, aku berkata, “Aku suka banget film-film di mana tokohnya pakai jas, ngerokok banyak-banyak, terus tembak-tembakin iblis pakai pistol.”

“Dasar penggemar film.” 

Tak perlu lagi banyak bicara. Yang kami percayai adalah tindakan. Kata-kata cukup yang sederhana saja. 

Yang Mulia berdiri dari sofa dan berkata, “Kalahkan mereka. Demi Yang Mulia Ratu.” 

Aku berlutut.

“Baik, Yang Mulia.”


* * *


Malam tanpa bulan, aku berdiri bersama Yang Mulia di depan pintu masuk hotel mewah Roppongi.

Hotel ini dikelola oleh iblis, dan konon si Kenji, alias iblis Asmodeus, juga berada di sini. 

Melalui kaca, tampak lobi yang luas.

Lantai marmer, lampu gantung yang elegan, karpet merah, serta tangga besar yang mengarah ke promenade lantai dua. 

Di setiap sudut, pria dan wanita yang berdandan mewah tampak bercengkerama riang sambil memegang gelas di tangan mereka. 

“Mereka benar-benar sedang bersenang-senang, ya.”

“Mereka pikir dunia manusia akan segera jadi milik mereka.”

“Tanpa tahu ada dua gangster siap tempur yang sudah menanti di sini.”

“Tepat sekali.” 

Aku dan Yang Mulia mengenakan kemeja putih dengan dasi hitam, setelan jas hitam serasi, dan masing-masing mengulum permen lolipop di mulut kami.


“Tentu, mari kita bereskan dengan cepat.”

“Yuk kita mulai.”

Saat aku dan Yang Mulia mendekat ke pintu masuk, seorang penjaga pintu yang mengira kami tamu, membuka pintu besar itu.

Kami melangkah masuk ke lobi tanpa menunjukkan ekspresi apa-apa, lalu berjalan hingga ke bawah lampu gantung. 

Seorang pelayan datang, mengira kami tamu juga, dan menyerahkan segelas sampanye dari nampannya kepada Yang Mulia. Yang Mulia menenggak habis isinya, lalu melemparkan gelas itu ke lantai. Dan bersamaan dengan suara pecahannya, ia mencabut pistolnya dan menembak dahi si pelayan. 

“Pesta sudah selesai,” ucap Yang Mulia dengan gaya, berdiri di bawah lampu gantung. 

“Mulai sekarang, biarlah jeritan yang mengalunkan musik klasik.”

“Yang Mulia, Anda benar-benar terdengar seperti penjahat.”

“Malam ini aku adalah penjahat yang bergaya.” 

Dengan tembakan Yang Mulia sebagai isyarat, para pria dan wanita elegan di lobi segera mengeluarkan senjata mereka. Tentu saja, mata mereka hitam legam. Seorang wanita berbaju merah mengacungkan pistol kecil berwarna perak dan berteriak sambil menyerang Yang Mulia.

Yang Mulia tanpa ampun menembak tepat di kepala wanita itu. 

Itu seperti sinyal, para iblis langsung menyerbu Yang Mulia.

Yang Mulia menembaki mereka satu per satu dengan tempo yang mantap. Ia melempar, mengisi peluru kembali, menembak dari belakang, bahkan memutar pistolnya dengan gaya. 

“Aku juga pernah berada di Amerika pada masa Wild West.”

“Seriusan?”

Saat kami bercanda seperti itu, dua pria besar berpakaian hitam seperti pengawal pribadi berlari turun dari promenade lantai dua dengan senjata kaliber besar di tangan.

Tubuhku langsung berlari menaiki tangga besar, menembak ujung sepatu mereka agar tersandung, lalu menembak dahi dan dada kiri mereka. 

“Gaya membunuhku sangat sadis ya... Ngeri juga.” 

Tanpa waktu untuk mengagumi diri sendiri, aku melanjutkan naik ke promenade lantai dua dan menembaki iblis yang datang, aku menembak tepat di dahi, leher, dada, dan perut, mengikuti garis tengah tubuh. 

Setelah hampir semua berhasil diatasi, aku menengok ke lobi, di sana Yang Mulia sedang dikepung.

“Uwooh! Seperti adegan dari Chushingura!” 

Untuk melindungi Yang Mulia, aku menendang pagar balkon dan melompat ke lampu gantung tepat di atas kepala Yang Mulia. Aku bertumpu di sana, lalu sambil tergantung terbalik dari langit-langit, aku menembaki para musuh di belakang Yang Mulia. Lalu aku mendarat di sampingnya. 

“Madarame!”

“Yang Mulia!” 

Kami berdiri saling membelakangi dan menembaki para iblis pria dan wanita yang mengerubungi kami.

Sampai akhirnya hanya kami yang masih berdiri. 

“Yang Mulia.”

Aku menatap tumpukan tubuh iblis yang tergeletak di lobi.

“Benar-benar semangat sekali.”

“Aku memang tipe Yang Mulia yang antusias.” 

Ia mengucapkannya dengan wajah seperti biasa, sulit dibedakan apakah serius atau bercanda.

Lalu, tiba-tiba, Yang Mulia mengarahkan pistol ke arahku. 

“Eh? A-Apakah aku terlalu percaya diri?” 

Suara tembakan terdengar. Tapi aku baik-baik saja.

Di belakangku, suara kaca pecah terdengar. Seorang iblis yang mengarahkan pistol ke arahku telah tumbang di bawah pecahan lampu gantung. 

“Oh, terima kasih.”

“Kamu hanya punya sepuluh menit.” 

Yang Mulia mengeluarkan jam saku dari saku dadanya dan menggantungkannya di leherku.

Jarumnya menunjukkan pukul 23:50. 

“Hingga pukul titik itu.”

“Eh? Jadi kekuatan Yang Muli. kayak Cinderella gitu?”

“Tak ada yang seromantis itu.” 

Ia menyipitkan mata dan memandangi perutku.

Di kemeja putihku, noda darah terlihat mengalir. Luka yang dijepit dengan stapler. Darahnya mengalir cukup parah, dan kini aku baru menyadari penglihatanku sudah mulai goyah. 

“Jadi, aku akan tumbang dalam sepuluh menit?”

“Benar.” 

Kekuatanku muncul karena setiap kali aku menerima perintah, kekuatan Yang Mulia mengalir masuk. Karena itu, Yang Mulia bisa memahami kondisi tubuhku secara presisi karena koneksi itu. 

“Lavi bilang, empat iblis bernama telah berkumpul untuk melindungi Cawan Suci.”

“Jadi jam saku ini adalah batas waktunya, ya.” 

Yah, kurasa tidak masalah, kataku. 

“Kalau pahlawan punya tiga menit, bukankah sepuluh menit itu cukup untuk gangster bergaya?”

“Aku tidak pernah berpikir soal durasi. Aku selalu punya waktu sebanyak yang kubutuhkan.”

“Lelucon keabadian Yang Mulia itu susah dibalas, tahu.”

Akhirnya kami sampai di aula utama di lantai paling atas.

Begitu membuka pintu berat dan masuk ke dalam, ternyata sedang ada pesta makan berdiri. Banyak iblis tertawa dan bercakap-cakap. Di bagian paling belakang ada sebuah panggung, dan Kenji berdiri di sana sambil memegang mikrofon. 

“Kenji!!”

“Madarame!” 

Kenji tersenyum padaku.

“Wajahmu tampak pucat. Rasanya bisa lihat pemandangan di balik perutmu tuh.”

“Sial!! Kenapa sih kamu selalu bisa ngomong dengan kalimat yang pintar dan menusuk sambil tetap kelihatan keren dan bikin orang terintimidasi!? Nilai senimu tinggi banget!” 

Karena aku tahu aku takkan menang lewat adu mulut, aku mulai melangkah menuju panggung untuk menghajarnya.

Tapi para iblis langsung membidik dan melepaskan tembakan dengan senjata besar dan kecil. 

Aku segera tiarap, menembaki kaki para iblis dari balik meja satu per satu. Aku menembak kepala mereka saat mereka berjongkok.

Yang Mulia mencicipi wine dari meja, mengangguk-angguk puas. Namun, ada peluru yang menghantam gelasnya dan memecahkannya. Ia pun berkerut kesal. 

Para iblis membalikkan meja dan menggunakannya sebagai perisai sambil menembaki kami. 

“Hei, Madarame.” Yang Mulia menunjuk jam saku yang tergantung di dadaku.

“Waktunya hampir habis. Mungkin tersisa lima menit?”

“Eh? Kamu yang minum wine malah bilang begitu!?”

Kami berdua berlari menerobos ke balik barikade meja dan menembaki para musuh.

Begitu peluruku habis, aku berjongkok, dan Yang Mulia melompati punggungku dan maju sambil menembak. Saat pelurunya habis, aku yang maju ke depan. 

Mengisi peluru dan maju silih berganti. 

Namun aku berpikir.

“Yang Mulia.” Sambil mengisi silinder revolver, aku bertanya.

“Kenapa sih kita pakai revolver?” 

Padahal revolver itu sudah ketinggalan zaman. Zaman sekarang, pistol otomatis lebih banyak digunakan karena lebih banyak kapasitas peluru dan bisa menembak lebih cepat. 

Tapi kenapa kami memakai revolver yang jelas-jelas punya banyak celah?

Yang Mulia menjawab sambil tetap tenang menembak. 

“Pistol otomatis itu tidak elegan.”

“Walaupun ribet banget, ya!!”

Sambil bercanda begitu, kami akhirnya mencapai panggung. Kondisiku makin parah dan pandanganku berkunang-kunang. 

Bagian bawah kemeja putihku sudah merah penuh darah. Meski adrenalin masih membuatku bertahan, secara normal aku mungkin sudah tumbang. 

“Sisa waktu tiga menit.” kata Yang Mulia. 

“Waktunya untuk pahlawan.”

Aku melangkah ke arah Kenji. Tapi dia tetap memasukkan tangan ke saku dan terlihat santai. 

“Madarame, bunuh wanita itu.”

“Hah?” 

Aku tentu tidak mungkin membunuh Yang Mulia. Tapi tubuhku bergerak sendiri dan menodongkan pistol ke arahnya. 

“Kamu lupa? Kamu pernah merasa takut padaku. Itu artinya kamu berada dalam kendaliku.” 

Kenji menoleh ke arah Yang Mulia. 

“Kamu juga menggunakan Madarame, tapi aku yang akan menang. Karena kamu masih membiarkannya punya kehendak bebas. Sedangkan aku? Aku mengendalikannya sepenuhnya. Jika ingin menaklukkan umat manusia, patahkan dulu hati mereka agar tak bisa melawan.” 

Pistolku masih terarah ke Yang Mulia, meski sedikit gemetar.

Yang Mulia diam saja. 

“Madarame, cepat tembak.”

Kenji mendekat dan berbisik di telingaku.

“Orang setengah-setengah sepertimu cuma bisa mengikuti perintah.” 

Tanganku bergetar. Walau bergetar, jariku tetap menarik pelatuk...

Suara tembakan terdengar. 

“Hahaha, Madarame, kamu benar-benar menyedihkan. Kamu tembak temanmu sen... Eh?” 

Kenji melihat perutnya, terkejut.

Darah mengalir dari bajunya, sama seperti bajuku. 

“Apa? Kenapa!?”

Aku menembak Kenji. 

“Kenapa kamu masih bisa bergerak bebas!?” 

“Karena aku tidak takut padamu lagi,” jawabku.

“Awalnya, saat kamu bilang begitu, aku sempat berpikir mungkin kamu benar. Mungkin aku kabur dari sekolah karena aku takut pada orang-orang dan masyarakat. Tapi sebenarnya, aku nggak sebenci itu sama sekolah.” 

Lalu aku menyadari satu hal...

“Yang benar-benar kutakutkan adalah hal yang aku percaya, tidak akan pernah dimengerti siapa pun.” 

Ketika aku melindungi seorang gadis kecil yang sangat menyukai Kuromari, ketika aku datang ke sekolah setelah mengurus kucing liar, atau ketika aku membela teman sekelas yang lemah, aku malah dianggap anak bermasalah.

Mungkin kalau aku menjelaskan alasannya, semuanya akan jadi berbeda.

Tapi, berkoar-koar menjelaskan hal itu sendiri pun rasanya salah. 

“Soalnya, itu bukan sesuatu yang elegan.” 

Di media sosial, banyak orang memamerkan, “Aku pernah melakukan hal hebat ini”, “Aku berhasil melakukan ini”, dan sebagainya.

Dengan taburan tipis kerendahan hati di permukaannya, mereka tetap memamerkan betapa hebat dan benarnya diri mereka. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata juga begitu. 

“Hal-hal seperti itu, bagiku sangat tidak elegan. Itu sebabnya aku nggak mau melakukannya. Aku nggak mau bilang apa-apa.” 

“Berharap orang lain mengerti tanpa mengatakan apa-apa, itu pemikiran anak kecil.” 

“Benar. Seharusnya aku memang menunjukkan dan menyuarakannya. Karena sebagian besar orang memang melakukannya seperti itu, dan jika berdasarkan suara mayoritas, pasti cara itu yang menang. Makanya aku takut. Takut hal yang kupercaya tidak akan pernah bisa dipahami siapa pun.” 

“Lalu kenapa sekarang kamu bisa mengatasi itu?” 

“Karena ada seseorang yang memahamiku.” 

Hana selalu memperhatikan aku. Dan sikapku ini, yang mungkin bagi sebagian orang dianggap terlalu mengikuti aturan sendiri, atau dianggap harus lebih menyesuaikan diri, ia sebut sebagai sesuatu yang klasik. 

Dan seperti yang dikatakan Hana, aku dan Yang Mulia memang agak mirip.

Yang Mulia juga sangat percaya pada selera estetikanya dan prinsip tindakannya sendiri. Meskipun aku bahkan belum menguasai tata krama makan di meja, Yang Mulia tetap menempatkanku di sisinya.

“Begitu ada orang yang mengerti diriku di sisiku, rasanya segalanya jadi nggak menakutkan lagi.” 

“Nah...”

Kenji menatapku dengan wajah sebal dan berkata sesuatu yang sangat biasa.

“Cuma dua orang, kan...” 

“Kamu nggak ngerti, ya.”

Aku menjawab, “Kalau yang ada di pihakku itu seorang kakak cantik dan adik kelas yang imut, ya semua jadi oke aja, dong!” 

“Dasar sumbu pendek!”

“Itu pujian, bro. Aku ini nggak mau jadi orang sok pintar yang kepalanya penuh perhitungan seperti dirimu!!” 

Aku mengarahkan moncong pistol ke Kenji dan mulai mendekat. Saat itu, iblis-iblis yang masih tersisa di hotel mulai masuk ke ruangan. 

“Heh, kalian! Cepat bunuh dia!”

Kenji berteriak. 

“Kamu ini, benar-benar nggak pernah mau menggerakkan tanganmu sendiri, ya.”

“Terus kenapa kalau aku begitu?”

“Karena lawan orang sepertimu itu, bikin semangatku naik gila-gilaan!” 

Aku menendang iblis yang naik ke panggung sambil terus maju ke arah Kenji. 

“Sebaiknya cepat diselesaikan.”

Yang Mulia ikut berbicara sambil tetap bertarung.

“Kamu tidak punya banyak waktu.” 

Aku melihat ke arah jam saku yang tergantung di leherku. Waktu tersisa tak sampai satu menit. Kakiku mulai terseret, membuka mata pun mulai terasa berat. 

“Berhenti! Jangan datang ke sini!”

Kenji berkata dengan nada panik.

“Aku ini iblis, tahu! Harusnya kamu takut! Gemetar, dong!” 

“Udah nggak ngaruh. Aku lagi marah sekarang.” 

Siang tadi, Kenji menyakiti Hana, dan membunuh begitu banyak orang. 

“Aku ini biasanya sok gaya dan bertingkah norak terus, tapi...”

Aku berseru, “Sebenarnya! Aku itu! Nggak tahan lihat orang disakiti tanpa alasan! Kenji, kamu sudah kelewatan! Dasar brengsek!!” 

Aku mengarahkan moncong pistol padanya. Tapi saat itu juga, Kenji tersenyum mengejek. 

“Jadi kamu itu moralis yang sok anarkis, ya. Kalau begitu, bagaimana dengan ini?” 

Beberapa orang sipil tak bersenjata masuk dan berdiri di antara kami. Mereka tampak seperti manusia biasa, dan sambil berkata “Maaf ya,” mereka mulai mendekat. 

“Mereka itu manusia, tahu,” ucap Kenji.

“Lalu apa yang akan dilakukan pahlawan keadilan kita? Atau kamu cuma pandai bicara saja?”

“Kenji, liciknya kamu!” 

Aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang-orang itu. Mereka merengkuhku, membuatku kehilangan senjata. 

Meskipun begitu, aku tetap menyeret tubuhku dan memukul Kenji hingga tersungkur.

Kenji tertawa sambil menutup pipinya. 

“Mana bisa manusia mengalahkan iblis dengan tangan kosong.” 

Saat itu aku teringat bahwa aku masih menyimpan sebuah Alkitab di saku. Kalau nggak ada senjata, ya sudah, saatnya pakai metode pengusiran iblis tradisional! Aku membuka Alkitab, ingin membaca sesuatu, tapi ternyata itu bukan bahasa Inggris, bahkan entah tulisan apa, dan aku sama sekali nggak bisa membacanya. 

“Kamu bukan pastor, kan?”

Kenji membalas sambil memukulku. 

“Kalau begitu, ini saja!”

Aku menghantamkan Alkitab ke kepala Kenji, dan dia bersuara, “Aw!”

“Sepertinya ngefek juga, ya!!”

“Karena itu menyakitkan secara manusiawi, dasar bodoh!” 

Kami pun bergulat.

Waktunya nyaris habis. Kurasa tak sampai sepuluh detik lagi. Darah mengalir deras dari perutku seperti orang bodoh. 

Kenji menendang luka di perutku. 

“Aduuuuuuh!!!”

Aku menjerit sambil mendorong Alkitab masuk ke dalam mulut Kenji. 

“Kalau iblis dimasukin Alkitab ke perutnya, pasti timbul reaksi alergi yang parah banget, kan!” 

Kenji mencoba berkata-kata, tapi mulutnya sudah dijejali Alkitab, jadi nggak jelas apa yang dia katakan. 

Melanjutkan momentum yang kupunya, aku menekan tubuh Kenji ke dinding dan terus mendorong Alkitab itu. 

Kenji menendang dan memukul luka di perutku. 

Dan ketika waktu di jam saku hampir habis... 

“Madarame!”

Yang Mulia, yang sedang melawan iblis lain, melemparkan pistolnya ke arahku. 

Aku menangkapnya...

Dan menembak tepat ke dahi Kenji.


* * *


“Yang Mulia, tahu tidak?” 

Aku tergeletak telentang di lantai. 

“Ternyata langit-langitnya dari kaca patri, ya.” 

Di aula lantai paling atas terdapat jendela atap, dan pada kacanya tergambar sosok malaikat turun dari langit. 

“Kayaknya iblis itu memang suka banget sama lelucon bergaya gini. Bikin kesal, tahu.” 

Mayat-mayat iblis berserakan di mana-mana. 

Yang Mulia menarik sebuah kursi dan duduk. 

“Ayo kita minta Lavi dan Friday untuk menjemput kita.” 

Saat kami berbincang begitu, suara langkah kaki yang ramai mulai mendekat. Yang masuk ke aula adalah para iblis. Pasukan baru telah tiba. Pria-pria berpakaian jas elegan dan wanita dengan gaun merah mencolok yang anggun, melangkah dengan penuh percaya diri dan mengepung kami. 

“Jangan-jangan, ini yang disebut empat iblis pemilik nama yang katanya menuju ke sini?” 

“Sepertinya begitu.”

Kupikir itu pasti mereka. Di antara keempat pemimpin para iblis, ada satu orang yang sering muncul di televisi sebagai politisi. Benar-benar berperan seperti dalang kejahatan. 

Yang Mulia menatap mereka dan menyebutkan, “Abaddon, Zamiel, Mammon, Libezal.” 

Pasti itu nama-nama iblis. 

“Yang Mulia.” 

“Apa?” 

“Bisa nggak, perintahkan aku dan paksa tubuhku buat bergerak?” 

“Tak bisa,” jawab Yang Mulia. 

“Kekuatanku bergantung pada kesetiaanmu.” 

“Begitu, ya?” 

Yang Mulia mengangguk. 

“Semakin besar sumpah kesetiaanmu, semakin besar kekuatan yang bisa kuterima. Dan saat kekuatanku membesar, maka kekuatan yang bisa kuturunkan padamu pun ikut membesar.” 

“Berarti, ini kayak mesin abadi antara aku dan Yang Mulia, ya?” 

“Itu jelas salah kaprah.” 

Yang Mulia menunjukku dengan wajah jengkel. 

“Sebentar lagi kamu akan kehilangan kesadaran, dan yang disebut kesetiaan itu pun tak bisa lagi teramati.” 

Dan jika itu terjadi...

“Aku cuma akan jadi Yang Mulia yang punya selera bagus. Bertarung sudah tidak mungkin lagi.” 

Sepertinya kami tak bisa melawan. 

Iblis berpakaian jas menjentikkan jarinya. 

Di saat yang sama, para iblis yang mengepung kami serentak menyerbu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku, tapi tak ada tenaga yang tersisa. Kupikir, ini akhirku. Namun, saat itu terjadi. 

Dari jendela atap, cahaya menerobos masuk. 

Sekejap, kaca patri itu pecah, dan seorang wanita berjas putih melayang turun bersama pecahan kaca berwarna-warni. 

Namun, pecahan kaca berhenti di udara sebelum menghujaniku. 

Wanita itu mendarat di sisiku tanpa suara. 

“Kamu punya hati yang sangat besar untuk keadilan,” ucapnya sambil menyentuh dahiku. 

“Kamu luar biasa.” 

Lalu dengan tenang, ia memandang sekeliling. Para iblis yang tadinya hendak menyerang, kini membeku seperti pecahan kaca yang mengambang. 

“Bukannya waktunya yang berhenti, hanya saja saat aku bergerak cepat, jadinya begini. Progresi waktu menjadi terdistorsi.” 

Memang ada beberapa iblis yang masih bisa bergerak, meski sangat lambat. 

“Baiklah, mari kita mulai.” 

Wanita itu mencabut pedangnya. Sebilah pedang putih bersih dari gagang hingga mata pisaunya. 

Dan dalam sekejap, sosoknya menghilang, sebuah cahaya kilat melintas di sekeliling. 

Wanita itu muncul kembali dan menyarungkan pedangnya. 

Pada saat yang sama, para iblis ambruk ke lantai. Termasuk keempat iblis bernama. 

Masih ada beberapa iblis yang selamat, tapi tangan mereka telah terpotong atau terluka parah. 

Lalu, dari pintu aula, muncul sekelompok orang dengan jas putih yang sama seperti wanita itu, mengepung sisa-sisa iblis. 

Sebuah organisasi. 

Ada beberapa orang yang terlihat seperti pemimpin di antara anggota kelompok itu. 

“Namaku Shirakawa Kyoko, Kapten Regu Satu, Divisi Satu Penindakan Khusus, Kementerian Pusat.” 

Wanita dengan pedang putih itu memperkenalkan diri kepada para iblis yang tersisa. 

“Kami akan mengirim kalian kembali ke neraka.” 

“Atas nama Malaikat Agung Michael.”



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close