NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 2 Chapter 3

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 3

 Tak Masalah Meski Sudah Terbiasa dengan Pakaian Tipis


“Plup” terdengar suara air yang terciprat.


Uap panas yang mengepul ikut bergoyang ketika aku menghembuskan napas, sementara tubuhku terendam sampai bahu di dalam air, melepaskan seluruh ketegangan.


"Enak sekali, ya."


"…Iya, benar."


Dengan suara riang, Mikami-san yang tersenyum lebar dalam balutan pakaian renang berkata begitu. Aku hanya menjawab sekenanya, tak sanggup menatap langsung sosoknya yang begitu menggoda di hadapanku, lalu menyelamkan wajah ke dalam air.


Aku mencoba meniupkan gelembung-gelembung kecil di dalam air untuk menenangkan hati yang gelisah, tapi justru detak jantungku semakin keras.


Ketika aku mengangkat wajah, Mikami-san sudah menciduk air hangat dan menyiramkannya ke wajahku. Aku mengibaskan kepala untuk menyingkirkan tetesan air yang menetes pelan, lalu menatap Mikami-san yang tersenyum penuh keceriaan. Melihat betapa ia begitu menikmatinya, aku pun kehilangan niat untuk marah. Namun—seriusan, kenapa bisa begini? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku.


"Ada apa? Kok wajahnya serius begitu?"


Mikami-san, tanpa peduli pada kebimbangan dalam diriku, menatap wajahku dari jarak dekat dengan ekspresi polos.

Terlalu dekat. Dengan wajah segar yang basah oleh air, ia menatapku begitu dekat hingga wajahku seperti akan mendidih kapan saja. Panas. Terlalu panas. Kalau ini kolam renang air hangat, aku pasti langsung berenang gaya kupu-kupu untuk kabur… meski aku sebenarnya tak bisa renang gaya kupu-kupu.


Singkatnya, ini bukan kolam renang air hangat.


"Haa… airnya enak sekali. Kirishima-san juga berpikir begitu, kan?"


"…Iya, benar."


Sebenarnya, tempat ini adalah… bathtub di rumahku.


…Tunggu dulu, kenapa bisa begini!?


"Ada apa?"


"Eh… aku cuma mau memastikan. Menurut Mikami-san, situasi kayak gini… boleh-boleh saja?"


"…? Ya, tak masalah."


"Begitu, ya… tak masalah, katanya."


"Ada apa? Memangnya ada yang perlu dipermasalahkan?"


"Bukan begitu. Kenapa kita dengan santainya mandi bersama, sih?"


"Itu karena… kolam renang air hangat letaknya terlalu jauh."


Ya, itu memang benar. Tapi yang kutanyakan bukan alasannya…


Kenapa dia selalu mengambil keputusan dengan cara berpikir yang aneh seperti ini? Bukannya menyerah saja, malah memutar otak ke arah yang tak terduga. Bagiku, situasi ini—bahkan dengan pakaian renang—tetap tidak wajar. Tapi sepertinya hanya aku yang berpikir begitu. Sampai rela melakukan ini hanya demi mengenakan pakaian renang… sudah seperti sebuah obsesi.


Meski kami sama-sama mengenakan pakaian renang, tetap saja kami duduk saling berhadapan di dalam bak mandi. Bisa bersikap "tak masalah" dalam situasi ini… aku hanya bisa kagum pada keberanian, atau mungkin keteguhan hati Mikami-san.


"Untung saja bathtub di apartemen ini besar sekali. Jadi meskipun berdua, masih lega dan sangat membantu."


"Itu benar sih, tapi… kalau kolam renang air hangat tidak memungkinkan, bukan berarti gantinya harus seperti ini, kan?"


"…Tidak ada yang aneh kok. Bisa main dengan pakaian renang, lalu Kirishima-san bisa mencuci rambut dan tubuhku, setelah itu mengeringkan rambutku, dan akhirnya menemani tidur. Lengkap, paket bahagia."


Banyak hal yang baru kudengar barusan, loh!?


Hanya dengan duduk berhadapan di bak mandi bersama Mikami-san yang mengenakan pakaian renang saja, rasionalitasku sudah hampir runtuh. Ternyata ia sudah punya rencana lengkap, bahkan ingin aku melakukan berbagai hal untuknya.


Tunggu dulu. Tadi dia bilang… mencuci tubuh? Tidak, tidak, tidak. Itu tidak mungkin!


"Kalau rambut masih oke lah… tapi tubuh, itu jelas harus kamu cuci sendiri."


"Eh? Jadi tubuh… tidak dicucikan?"

"Jelas tidak."


"Terima kasih. Mohon bantuannya, ya."


"Jelas tidak."


"Jangan keras kepala begitu."


"Tidak berarti tidak."


Kali ini aku tidak boleh kalah oleh "tuli sesuka hati" atau logika menyimpang ala Mikami-san. Dengan wajah tenang, ia berusaha menyulap penolakanku jadi persetujuan, tapi aku tetap menolak. Jadi berhentilah cemberut begitu. Jangan tatap aku dengan mata berkaca -kaca seolah-olah aku yang jahat. Mandi bersama saja sudah membuatku kewalahan, jangan tambah lagi permintaan yang macam-macam…


"Kalau Kirishima-san jahat begini… maka begini!"


"…Puuh! Hei, berhenti!"


"Serangan air! Heii, heii!"


Dengan riang, Mikami-san mencipratkan air berulang kali ke wajahku. Kesal juga kalau hanya jadi sasaran, jadi aku melawan dengan membuat pistol air dari tanganku. Teriakan kami bercampur dengan suara cipratan air yang menggema di kamar mandi.


Setelah beberapa lama saling serang seperti anak kecil, kami terengah-engah dan saling pandang, lalu tertawa keras. Kami sudah benar-benar basah kuyup. Untung—atau malang—karena ini kamar mandi, jadi tidak terlalu jadi masalah… meski sebenarnya, tetap saja masalah.


Saat kubandingkan dengan waktu ia kubantu pakai shower tadi—saat itu pandanganku terhalang—sekarang aku bisa melihat jelas. Dan basahnya Mikami-san terlihat… begitu memikat. 


Setelah berendam, lalu bercipratan dengan heboh, wajah dan bahunya jadi merona kemerahan, menambah pesonanya. Dengan rambut yang meneteskan air di ujungnya, tetesan mengalir dari telinga hingga dagu, sambil ia tersenyum padaku. 


Tak sanggup menatapnya, aku pun buru-buru memalingkan wajah.


"Kalau begitu… maaf, kesempatan terbuka."


"Hei… posisi ini jelas berbahaya."


"Tak masalah."


"Justru masalah!"


"Fufu… tak masalah."


Dalam sekejap aku memalingkan wajah—ia sudah memanfaatkan celah itu. Mikami-san menyelinap masuk dengan ringan lalu menempel padaku, seperti biasa menjadikanku sandaran punggungnya.


Jujur saja, hanya dengan seorang gadis yang bersandar padaku saja sudah cukup membuatku kewalahan, apalagi sekarang kami berada di kamar mandi, dan masing-masing hanya mengenakan pakaian renang.


Kulit yang bersentuhan langsung. Wajar saja bila rasionalitasku mulai goyah. Kenapa Mikami-san bisa sebegitu lengahnya? Padahal, hubungan kami sebenarnya masih… tidak, lebih baik aku tidak menyinggung kenyataan itu sekarang.


Itulah pertanyaan terbesar yang kadang juga aku pikirkan. 

Tapi memberi nama pada hubungan kami yang masih berbelit-belit ini… mungkin bukan untuk sekarang, melainkan sesuatu yang masih bisa kutunda. 


Untuk saat ini, aku hanya ingin terus larut dibawa arus. Ingin terus tenggelam dalam kenyamanan ini. Ingin terus berpura-pura tak melihatnya. Namun… suatu saat aku pasti harus menghadapi kenyataan itu dan memberi jawaban. Karena itu, untuk sekarang aku hanya mengaburkannya dengan kata samar: “Tidak buruk.”


Karena Mikami-san yang selalu memaksakan kehendak, dan aku yang terbawa arusnya—itu berarti aku “tidak buruk”. Hubungan yang samar-samar tanpa nama jelas ini—juga “tidak buruk”.


Untuk saat ini, biarlah begitu. Meski aku selalu terbawa arus Mikami-san, aku harap ia mau memaafkan diriku yang tidak sepenuhnya hanyut.


"Ada apa? Jangan diam saja, perhatikan aku lebih banyak lagi."


"…Bukannya tadi kamu bilang tak usah dipedulikan?"


"Kalau ini beda! Yang ini harus dipedulikan! Jadi bersiaplah, aku akan menempel terus sampai kita sama-sama kepanasan."


"…Tolong agak lembut, ya."


"Itu tidak bisa!"


Sambil berkata begitu, Mikami-san mengusap kepalanya padaku dan menatapku dari bawah dengan penuh manja. Senyumnya, kecantikan-nya, daya tariknya—semua yang mengelilingi dirinya menghantamku sekaligus, membuat kepalaku kosong dan pandanganku berkunang-kunang. Aku sudah hampir pusing kepanasan, tapi tetap saja… sungguh, aku tak bisa menang melawan Mikami-san.

Juli pun tiba, membawa hari-hari pengap yang lembap. Seragam musim panas sepenuhnya diberlakukan. Pelajaran renang dimulai.


Ujian akhir semester diumumkan. Kehidupan sekolah benar-benar mulai beralih ke nuansa musim panas, dan kami dipaksa menyesuaikan diri dengannya. Matahari memanggang aspal hingga terasa menyengat. Suara jangkrik terus-menerus terdengar dari segala arah. Namun, meski sepanas itu, pemandangan makan siangku—tidak, pemandangan kami—tidak banyak berubah. Posisiku di kelas masih sama seperti biasa, jadi aku tetap menghabiskan waktu di tempat yang sama. Tapi… dekatnya Mikami-san membuatku kepanasan. Sudah panas karena musim, ditambah lagi posisi kami seperti ini membuatku teringat banyak hal, sehingga terasa makin panas.


Sambil mengunyah roti isi lauk seadanya, aku tidak lupa menggunakan tangan satunya untuk mengusap kepala Mikami-san. Kalau aku berhenti, wajahnya akan langsung cemberut dan aku akan dimarahi habis-habisan.


"Kirishima-san, usapanmu hari ini terasa lebih enak dari biasanya. Apa ada rahasianya…?"


"Nggak tahu. Sepertinya biasa saja, menurutku. Memangnya berbeda jauh?"


"Ya. Kalau biasanya usapanmu nilainya seratus dua puluh, hari ini sekitar dua ratus lima puluh. Rasanya enak sekali."


"…Omong-omong, skornya dari berapa?"


"Seratus."


Jadi biasanya saja sudah melampaui nilai maksimal, ya?


Haruskah aku anggap ini pujian besar, atau justru berlebihan? 

Yah, kurasa jelas ini penilaian yang membanggakan. Tapi kalau begitu, aku malah penasaran apa yang membuat usapanku hari ini nilainya dua kali lipat lebih tinggi. Padahal, aku hanya mengusap kepalanya seperti biasa. Kalau dipikir-pikir, hal ini justru menegaskan betapa seringnya aku dipaksa untuk mengusap kepalanya.


Ya sudahlah. Rambut Mikami-san memang halus dan lembut, membuat tangan betah menyentuhnya terus. Maaf, sejujurnya bukan “terus-terusan”. Kalau aku benar-benar bilang begitu, Mikami-san bisa saja benar-benar meminta “tantangan usapan tujuh puluh dua jam non-stop”.


"Bagus, bagus."


"Mm~! Itu tiga ratus enam puluh poin!"


Betapa longgarnya standar penilaiannya… tapi entah kenapa, mendapat skor setinggi itu tetap membuatku merasa senang. Dan dengan duduk seperti ini, serta hawa panas yang menyelimuti, kurasa aku lama-lama akan terbiasa juga.



Sore harinya. 


Seperti biasa, sebelum terjebak di kerumunan orang, aku berusaha kabur dari kelas. Namun, aku dipanggil oleh wali kelasku—Satou-sensei.


"Kirishima, sebentar."


"…Ada apa, Sensei?"


"Kalau tidak salah, kamu tidak ikut klub, kan? Ada urusan mendesak?"


"Tidak ada, sih."

"Kalau begitu… aku ingin bicara sebentar."


Sambil berkata begitu, Satou-sensei mulai berjalan. Aku pun mengikutinya. Meskipun beliau wali kelasku, sebenarnya aku jarang sekali bicara dengannya. Tapi beliau rajin berkomunikasi dengan murid-murid, dan pelajaran bahasa Jepangnya sangat mudah dipahami. Menurutku, beliau guru yang baik. Tapi, kenapa tiba-tiba beliau ingin bicara?


Kalau sampai harus pindah tempat, berarti bukan sekadar permintaan kecil. Kalau sampai lama, aku harus mengabari Mikami-san dulu, kalau tidak nanti dia akan merajuk.


"Kalau obrolannya agak lama, bolehkah aku kirim pesan dulu ke teman yang sudah janji pulang bersama?"


Ketika aku berkata begitu, Satou-sensei menjatuhkan binder yang sedang dipegangnya, lalu menatapku dengan wajah tak percaya, seolah benar-benar terkejut dari hati.…Jangan-jangan alasan aku dipanggil memang soal itu?


Sambil penasaran dengan reaksi beliau, aku cepat-cepat mengirim pesan singkat pada Mikami-san. Setidaknya, dengan itu aku bisa menghindari dia ngambek. Setelah itu, aku dibawa ke ruang bimbingan konseling dan duduk berhadapan dengan Satou-sensei, membuat suasana agak menegangkan.


"…Begini. Jadi, kau… ternyata punya teman?"


"Jadi aku dipanggil ke sini, memang karena itu, Sensei?"


"Terus terang saja, memang begitu. Di kelas pun aku tidak pernah melihatmu berbicara dengan siapa pun, kamu juga tidak ikut kegiatan klub, dan selalu pulang langsung sepulang sekolah... jadi aku agak khawatir."

"…Begitu ya."


Memang, dari sudut pandang seorang guru, aku pasti terlihat seperti murid yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan sekolah maupun kelas. Bukan soal baik atau buruk, tapi kalau terus-menerus sendirian di kelas, tentu saja seorang wali kelas akan merasa khawatir.


Kalau aku ikut klub dan berinteraksi dengan murid kelas lain atau kakak kelas, mungkin ceritanya berbeda. Tapi kenyataannya, dari mana pun dilihat aku memang hanya penyendiri. Sampai membuat guruku cukup resah hingga harus memanggilku seperti ini, mirip sebuah konseling pribadi.


"…Sebagai konfirmasi saja, ‘temanmu’ itu bukan teman imajiner, kan?"


"Bukan imaginary friend. Dia benar-benar murid sekolah ini."


"Begitu, syukurlah. Kirishima, sikapmu di kelas juga baik, hasil ujian tengah semester pun bagus, jadi aku tidak khawatir soal akademis. Hanya soal pergaulanmu saja yang sempat membuatku ragu. Tapi kalau memang kamu punya teman, berarti aku tidak perlu khawatir."


"Jadi Sensei benar-benar memperhatikan murid, ya."


"Tentu saja. Kalian adalah murid yang kuemban. Kalau ada kesulitan, aku ingin bisa membantu, kalau bisa juga ikut menyelesaikan."


Guru teladan macam apa ini…? 


Tak kusangka beliau begitu peduli pada murid. Aku benar-benar terkesan.


"Tapi memang… sepertinya wajahmu terlihat lebih segar, ya?"


"Wajahku?"

"Sejak awal masuk, kamu terlihat agak tidak sehat, itu yang membuatku khawatir. Tapi belakangan ini tidak begitu. Kamu makan dengan baik, kan?"


"Iya, lumayanlah."


Memang, dibanding waktu baru masuk sekolah, berkat ‘seseorang’ pola makanku jadi jauh lebih baik. Benar-benar jauh lebih baik… semua karena dia. Sampai sedetail itu pun beliau memperhatikan. Sungguh guru yang luar biasa.


"Ya… meski bukan dari kelas yang sama, asalkan ada orang yang bisa kamu andalkan, entah dari kelas lain, tingkat lain, atau bahkan sekolah lain, itu sudah cukup. Bisa memastikan hal itu saja sudah membuatku lega."


"…Maaf, membuat sensei khawatir."


"Anak-anak tak perlu merasa bersalah soal begitu. Kalau ada kesulitan, apa saja, jangan ragu untuk konsultasi."


Kesulitan ya.


Yang paling terasa sekarang adalah ponselku di saku, yang terus bergetar karena notifikasi meski sudah kusetel dalam mode senyap. Pasti dari Mikami-san. Padahal aku sudah memberi tahu kalau akan butuh waktu… benar-benar menyusahkan dia.


"Temanmu sedang menunggu, kan. Maaf sudah menyita waktumu."


"Tidak, justru aku yang minta maaf karena membuat Bapak khawatir. Kalau begitu aku pamit."


"Hati-hati jangan sampai kena heatstroke."


Guru itu memahami gelagatku yang gusar, lalu mengakhiri pembicaraan dan membiarkanku pergi. Aku menunduk memberi salam singkat, lalu bergegas menuju pintu keluar sekolah.



Tempat janjian sepulang sekolah adalah taman yang letaknya sedikit jauh dari sekolah. Arah yang berlawanan dengan stasiun terdekat, sehingga kecil kemungkinan bertemu dengan murid lain. Karena itulah kami menjadikannya tempat bertemu.


Aku sudah berusaha datang secepat mungkin, tapi seperti yang kuduga… Mikami-san berdiri menunggu dengan tangan terlipat, wajahnya jelas memperlihatkan kekesalan. Pipi bulatnya menggembung seolah-olah benar-benar marah.


"Kamu telat. Dari mana saja?"


"Aku kan sudah mengabari. Lagipula aku sudah memberimu kunci cadangan, jadi kalaupun aku telat, kamu bisa pulang duluan."


"Kamu sendiri yang bilang aku harus menunggu."


Seperti yang sudah kuduga dari notifikasi bertubi-tubi saat ‘wawancara’ tadi, Mikami-san kini cemberut sambil mencubit-cubit pinggangku.


"Guru memanggilku untuk bicara sebentar. Maafkan aku."


"Apa yang kamu lakukan sampai dipanggil?"


"Kenapa asumsinya aku pasti bikin masalah? Aku ini murid penyendiri yang tidak berbahaya, tahu."


"Kalau begitu, kenapa dipanggil?"


"…Karena terlalu menyendiri sampai-sampai guru khawatir apakah aku punya teman atau tidak."


"Jadi bukan bikin masalah, tapi gara-gara kamu penyendiri, kan."


Ia menatapku dengan mata menyipit penuh protes. Aku tak bisa membantah, karena memang benar.


"Itu saja? Padahal kamu cukup lama."


"Selain itu, beliau bilang wajahku terlihat lebih sehat dibanding waktu baru masuk sekolah."


"Ah, iya, aku juga merasa begitu. Saat pertama kali kita bertemu, kamu memang terlihat agak tidak sehat… pola makanmu juga berantakan, jadi wajar saja."


"Benar sekali…"


Waktu itu aku hanya makan roti dari minimarket, gizinya jelas tidak seimbang, masak sendiri pun malas, jadi seringnya mi instan.


Sekarang? Berkat masakan Mikami-san, perutku benar-benar dimanjakan. Aku makan makanan bergizi, tubuhku pun jadi lebih sehat.


"Kalau aku yang masak, tentu aku pastikan kamu dapat gizi seimbang. Tapi yang aku khawatirkan justru saat aku tidak masak. Kalau kamu hanya makan roti siap saji, nanti kena heatstroke."


"Benar sekali…"


Aku tak bisa membantah kata-kata Mikami-san yang terdengar seperti seorang ibu. Bagaimanapun, hampir setiap malam dia memasak untukku, bahkan saat libur ia memasak setiap waktu makan. 

Aku benar-benar harus berterima kasih. Terima kasih, Mikami-Mama.


"Kalau begitu… bagaimana kalau aku juga menyiapkan bekal untukmu?"


"…Boleh, ya?"


"Hmm… kalau ditanya boleh atau tidak, sebenarnya tidak terlalu boleh. Tapi kalau demi mencegah kamu kena heatstroke…"


Bagiku, itu tawaran yang tak bisa lebih baik lagi. Tapi melihat wajahnya yang agak tidak rela, sepertinya ia sendiri merasa keberatan. Seolah-olah ia berpikir memang repot, tapi mau bagaimana lagi, wajahnya penuh kebimbangan.


"Kelihatan sekali kamu bimbang. Kalau memang merepotkan, tidak usah dipaksakan. Membuat bekal itu juga cukup susah, dan aku tak enak kalau sampai harus merepotkanmu sejauh itu."


"Tidak, membuat bekal sebenarnya tidak terlalu merepotkan. Hanya jumlah masakan saja yang bertambah. Tapi kalau aku benar-benar memberikan bekal pada Kirishima-san… aku jadi tidak bisa melakukan gaya duduk favoritku. Itu yang membuatku sangat bimbang."


"…Itu yang kamu risaukan?"


"Bagiku itu masalah hidup dan mati."


Gaya duduk favorit Mikami-san, yakni menggunakan tubuhku sebagai sandaran punggung. Itu bisa dilakukan karena makan siangku biasanya hanya berupa roti, yang bisa kumakan dengan satu tangan. Tapi kalau bekal, kedua tanganku akan sibuk dengan sumpit, dan pangkuanku pun tidak bisa dipakai. Itulah yang jadi masalah utama bagi Mikami-san. Padahal, itu jelas bukan sesuatu yang biasanya dipertimbangkan saat makan siang.


"Kirishima-san, tangan dominanmu yang mana?"


"Seperti yang kamu tahu, tangan kanan."


"Kalau begitu, apa kamu cukup percaya diri dengan tangan kirimu?"


"Tidak."


"…Begitu ya. Sayang sekali."


Pertanyaan yang begitu tiba-tiba. Aku tidak tahu apa maksudnya, jadi kujawab jujur saja. Namun seketika, sorot matanya yang penuh harapan berubah muram, seperti balon yang kempis. Sebenarnya kamu mengharapkan apa dariku, sih?


"Aku yakin ini ide yang tidak masuk akal. Jadi, ide gila apa yang sempat terpikirkan?"


"Aku yang memegang kotak bekal, lalu Kirishima-san memegang sumpit di tangan kanan dan kiri. Dengan satu tangan menyuapiku, dan dengan tangan satunya lagi kamu makan sendiri. Bukankah itu solusi yang sangat cemerlang?"


"…Kalau mengabaikan fakta bahwa itu mustahil, memang sempurna."


Mikami-san memang pintar, tapi kadang logikanya bisa turun drastis.


Pertama, aku jelas tidak bisa menggunakan sumpit dengan tangan kiri. Apalagi mengoperasikan dua sumpit sekaligus, itu sudah mustahil. Menyuapi dari arah belakang pun pasti merepotkan. Kalau mau menyuapi, tetap yang terbaik adalah dari depan. Lagipula, makanan buatan Mikami-san itu terlalu berharga untuk dimakan dengan cara berisiko jatuh berantakan begitu. Namun, Mikami-san tetap galau, ingin memberiku bekal tapi tidak mau melepaskan gaya duduk favoritnya. Roti isi memang paling cocok untuk posisi duduk itu.

"Uuh… aku tidak bisa mengabaikan kebutuhan gizi Kirishima-san, tapi aku juga tidak bisa mengorbankan sumber energiku sendiri."


"Jangan sebut gaya duduk itu ‘sumber energi’, dong."


"Itu… tak masalah."


"Begitu, ya."


"Ya, begitu."


Isi kebimbangannya memang absurd, tapi karena semua itu demi memikirkan kesehatanku, aku jadi tak bisa protes.


Padahal, ia bisa saja mendahulukan keinginannya sendiri. Mikami-san benar-benar anak baik. Namun, jika ia masih enggan melepaskan gaya duduk itu bahkan di puncak musim panas nanti, rasanya agak membuatku sedih juga.



Suatu pagi. Terdengar suara tirai dibuka, dan cahaya matahari menyorot masuk.


"Uuh… silau…"


"Kirishima-san, sudah pagi."


Suara yang mengguncang tubuhku agar segera bangun. Suara itu begitu lembut di telinga, membuatku merasa bahagia—suara Mikami-san. Tapi aku masih ingin tidur sedikit lagi. Kugumamkan suara samar sambil menarik selimut menutupi kepala, lalu terdengar helaan napas manis dari Mikami-san.


"…Haa, sarapan sudah siap, lho. Kalau tidak bangun… bagaimana kalau aku ikut tidur lagi, dan kita sama-sama terlambat?"

"…Itu masalah besar."


"Kalau aku sih tidak keberatan langsung menghubungi sekolah untuk izin libur."


"Hei, anak teladan. Jangan coba-coba ikut masuk ke selimut."


"Kalau begitu cepat bangunlah."


Sepertinya dia tidak akan membiarkanku tidur lagi. Kalau sampai kami berdua benar-benar terlambat atau absen, itu akan jadi masalah besar. Jadi sebelum Mikami-san benar-benar menyusup, aku cepat-cepat bangun dan meregangkan tubuh.


Saat itu aku baru sadar, ternyata Mikami-san membangunkanku dengan mengenakan celemek.


Ya, memang tadi dia bilang soal sarapan. Itu sangat membantu… tapi kesannya benar-benar seperti istri baru. Dibangunkan oleh teman sekelas perempuan, lalu dibuatkan sarapan… betapa buruknya aku terdengar. Namun, lebih dari itu. Lebih penting dari itu. Walau celemeknya tampak manis, ada yang aneh.


Untuk ukuran celemek, kulitnya terlalu banyak terlihat. Jujur saja, aku sampai bingung harus memandang ke mana. Kaki jenjangnya begitu menyilaukan, sampai aku sempat curiga dia hanya memakai celemek tanpa busana. Untunglah, ternyata ada pakaian di dalamnya.


Hanya saja… kain biru gelap yang tampak berkilau itu terlihat dari bahunya. Rasanya aku mengenali warna itu. Tapi yang jelas, tidak sesuai dengan suasana pagi di kamarku.


"Mikami-san, aku tanya saja… sebenarnya apa yang kamu pakai di balik celemek itu?"


"Oh? Ternyata kamu penasaran? Silakan, kalau mau, boleh kamu angkat sendiri untuk memastikan."


"Hei, jangan begitu."


"Eh, aah…"


Sambil berkata begitu, Mikami-san menggoyangkan celemeknya, lalu menggenggam tanganku untuk mengarahkannya. Gerakannya begitu natural, justru membuatku takut. Aku buru-buru menarik tanganku. Tapi Mikami-san yang tidak sempat melepaskan genggamannya malah terjatuh ke arahku. Aku tak punya pilihan selain menahan tubuhnya di atas ranjang.


"…Maaf."


"Kalau soal paksaan, aku tidak membencinya. Jadi… apa kamu ingin mengambil rute ‘bolos sekolah sambil berpelukan’?"


"Eh, bukan begitu maksudku…"


"Hm, tapi mumpung kita sudah terlanjur dalam posisi begini, bagaimana kalau sekalian satu pelukan dulu?"


"Kenapa harus begitu?"


"Alasannya tidak penting. Ayo cepat, sebelum makanannya dingin."


"…Astaga, baiklah, baiklah."


Aku terjatuh dalam posisi seolah-olah didorong oleh Mikami-san, dan dia yang kini berada di atasku tampaknya tidak berniat untuk bangun begitu saja. Kalau aku terus mengabaikan permintaannya, sarapan akan keburu dingin, dan paling buruk, kami bisa saja berakhir terlambat atau bahkan tidak masuk sekolah. 

Karena itu, aku pun mengalah, merangkul pinggang Mikami-san dan menariknya mendekat.


Biasanya aku hanya memeluknya dari belakang, jadi memeluknya dari depan seperti ini terasa cukup segar. Namun... posisi ini jelas tidak baik untuk jantungku. Kelembutan dadanya menekan dadaku. Aromanya harum, kepalaku pun terasa ringan.


Pagi-pagi sudah terlalu mengguncang, sampai-sampai aku sempat berpikir untuk benar-benar tidak masuk sekolah hari ini. Tapi kalau aku absen, bisa dipastikan Mikami-san juga akan ikut absen... Jadi, mau tak mau, aku harus memaksa akal sehatku tetap bekerja.


"Ufufufu, harum sekali.”


"Itu seharusnya giliranku yang bilang.”


"Kirishima-san juga wangi. Aromanya menenangkan."


"Jangan cium-cium begitu, memalukan."


"Tak apa."


"Tak apa-apanya. Jangan begitu."


"... Pelit." 


Karena aku merasa tak akan sanggup menahan lebih lama, aku pun menjauhkan Mikami-san.


Saat itu, sekilas aku melihat apa yang ada di balik apron yang dikenakannya.


"Jangan-jangan... baju renang?"


"Benar sekali. Karena berhasil menebak, aku hadiahkan hak untuk menatap sepuasnya. Kalau mau... menyentuh sedikit pun boleh, kok?"


"Heh, jangan seenaknya angkat-angkat begitu. Yah... setidaknya aku lega karena kau benar-benar mengenakan sesuatu."


Aku segera mengalihkan pandangan dari Mikami-san yang sambil tersenyum menggoyang-goyangkan ujung apron itu.


Aku ini laki-laki, tapi anak ini... benar-benar ceroboh, tanpa pertahanan, tanpa kewaspadaan, membuatku khawatir. Tapi, untungnya dia tidak benar-benar telanjang di balik apron itu. Meskipun... baju renang juga hampir sama saja dengan pakaian dalam. 


Kalau ditanya pantaskah dipakai di depan laki-laki, tentu aku akan ragu menjawab. Namun, kombinasi apron dan baju renang sekolah, bagi Mikami-san, bisa dibilang cukup menutup tubuh dibanding biasanya. Tetap saja... mataku bingung harus melihat ke mana. Karena sebagian besar baju renang tertutup apron, kalau dilihat dari depan, itu benar-benar terlihat seperti naked apron.


Baru sekarang aku sadar, tapi... pakaian macam apa ini untuk dipakai di pagi hari?


"Ayo, sarapan sudah siap. Jadi cepat ganti baju dan cuci muka dulu. Atau... perlu aku bantu juga?"


"Sudahlah, kau duluan saja. Tunggu aku di meja."


"Fufu, baiklah."


Mengatakan itu, Mikami-san pun berbalik.


Aku, yang tanpa sadar terpukau oleh punggungnya, hanya bisa terdiam dan tak bergerak untuk beberapa saat.


Setelah bersiap-siap dan menuju meja makan, aku mendapati Mikami-san yang sudah berganti ke seragam sekolah sedang menunggu. Aku bertanya-tanya, bagaimana dengan baju renang sekolah yang tadi dipakainya di balik apron?


Jangan-jangan dia benar-benar hanya melepasnya demi membuatku berdebar. Kalau itu memang alasannya, Mikami-san bukan tipe yang mustahil melakukannya. Karena itu, lebih baik aku tidak menggali lebih jauh.


Bagaimanapun juga, sarapan yang tersaji begitu mewah. Terima kasih, Dewa, Buddha, dan Mikami-sama.


"Mari kita makan.”


"Hari ini juga terima kasih. Maaf, merepotkanmu terus."


"Menopang kehidupan Kirishima-san itu terasa sangat berharga. Kalau dibiarkan, aku tahu Kirishima-san hanya akan menggigit roti tawar, jadi aku merasa harus menyiapkan sarapan seperti ini. Lagi pula, aku juga senang bisa makan pagi bersama."


Yah, memang benar. Kemungkinan itu bukan sekadar ada, tapi justru besar. Menyedihkan memang, tapi aku sangat bersyukur karena dia mau mengurus kebutuhan giziku.


"Ngomong-ngomong... tidak ada komentar lain?"


"Soal makanannya? Hari ini juga enak."


"Itu bagus... tapi bukan itu maksudku. Tadi kan sudah lihat? Bagaimana menurutmu, apron dengan baju renang sekolah?"


"… Sejujurnya, sangat imut."


"Nfufu, kalau begitu baguslah. Nanti akan aku lakukan lagi, jadi harap ditunggu."


"Tidak perlu. Maksudku, kenapa kau pakai begitu?"


"Hari ini jadwal pelajaran berubah, jadi jam pertama akan ada renang. Untuk menghemat waktu ganti baju, aku sudah memakainya sejak awal."


"Eh, jadi di balik seragam itu kau pakai baju renang sekolah?"


"Ya, mau aku tunjukkan?"


"Tidak usah."


Jangan dengan santainya berdiri lalu hendak mengangkat rok! Punya rasa malu sedikit, dong...


"... Tapi pelajaran pertama renang. Sehabis itu pasti capek dan ngantuk."


"Renang memang menguras tenaga. Tapi kalau aku mengantuk, aku tinggal tidur siang sebentar di pangkuan Kirishima-san, jadi tidak masalah."


Aku sudah tak mau berkomentar apa-apa lagi. Aku sadar betul kalau aku makin lama makin lunak terhadap Mikami-san. Sampai-sampai, hal-hal seperti itu kini terasa, yah... masih bisa ditoleransi. 


Rupanya trik door-in-the-face yang terus-menerus dipakainya benar-benar efektif.


"Walaupun agak menyebalkan renang di pagi hari, tapi karena Kirishima-san sudah melihat aku dengan apron dan baju renang, rasanya aku bisa semangat."

"Begitu ya. Baguslah kalau begitu."


"Dan sekarang aku juga tahu kalau Kirishima-san menyukai kombinasi apron dan baju renang, jadi kalau ada pelajaran renang, aku akan lebih sering melakukannya."


"... Jangan lakukan itu."


"Tidak akan berhenti."


Wah, gawat. Sepertinya aku memberikan informasi yang seharusnya tidak kukatakan. Tapi mau bagaimana lagi, lelaki mana pun pasti suka dengan gaya sekeren itu. Terlalu berbahaya kalau dilakukan tiap pagi, jadi tolong hentikan... meskipun senyum nakalnya sudah jelas-jelas menunjukkan kalau kata-kataku tak akan digubris.


Yah, sudahlah. 


Sejujurnya, ini menyenangkan dilihat. Selama aku bisa menahan diri, semuanya baik-baik saja. Hanya saja... aku merasa ada sesuatu yang terlupakan, semacam firasat buruk. Tapi kalau tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata, mungkin memang tidak terlalu penting.


Untuk sekarang, lebih baik kulupakan soal apron dan baju renang Mikami-san, lalu fokus menikmati sarapan lezat ini.



"Ah..."


Usai pelajaran renang. Di dalam ruang ganti putri, aku baru saja menyadari sesuatu, dan seketika darahku terasa surut. Suara kecil seperti jeritan yang tak sengaja keluar tertelan oleh hiruk-pikuk suara teman-teman, jadi sepertinya tak seorang pun menyadarinya. Namun, kegelisahan segera menyergapku.


(Aku... lupa membawa pakaian dalam...)


Memang ide memakai baju renang sekolah sejak pagi tidak salah. Tapi aku melakukan kesalahan fatal: lupa membawa pakaian dalam, yang seharusnya kupakai setelah berganti.


Kecerobohan paling klasik, tapi sekaligus kesalahan terburuk. Semua ini gara-gara aku terlalu senang karena bisa memperlihatkan penampilan dengan baju renang sekolah yang biasanya tidak bisa kulihatkan pada Kirishima-san. Benar-benar ceroboh.


Aku mengangkat tas renang yang tersimpan di loker, terasa ringan sekali, dan hanya bisa menghela napas lemah sembari menaruhnya kembali, lalu melirik sekeliling.


"Hina-chan, kamu belum ganti? Kita ada pindah kelas, jadi cepatlah. Aku duluan ke kelas, ya."


"Ah, iya. Aku akan segera menyusul."


Seorang teman yang sudah selesai berganti menegurku. 


Aku sadar, aku juga harus segera berganti. Tapi... aku tidak tahu harus bagaimana, jadi hanya bisa terpaku berdiri.


"… Untuk sementara, harus lepas dulu…"


Tidak mungkin aku tetap mengenakan baju renang basah di bawah seragam. Walaupun ini musim panas, tubuh tetap terasa dingin setelah renang, apalagi di kelas ada pendingin udara. Selain itu, jelas tidak nyaman, dan kalau seragam sampai basah tembus pandang, itu bisa jadi masalah besar.


Masalahnya, barang-barangku sama sekali tidak bisa membantuku. Kalau aku membawa seragam olahraga, mungkin bisa kugunakan sebagai pengganti sementara, tapi pelajaran renang tidak membutuhkan seragam olahraga, jadi aku tidak membawanya. Benar-benar gawat.


"Ah, waktunya… harus cepat."


Sementara aku terus ragu-ragu, waktu istirahat terus berkurang. Memang guru biasanya lebih longgar kalau ada keterlambatan setelah pelajaran olahraga karena ada waktu berganti baju, tapi kalau terlalu lama, pasti akan dimarahi.


Pada akhirnya, pilihanku hanya satu. Karena tidak ada pilihan lain... aku pun memutuskan untuk kembali mengenakan seragam tanpa pakaian dalam.


...Uuh, rasanya dingin menusuk. Karena jam pertama adalah pelajaran renang, akhirnya aku harus menjalani hari ini sejak pagi dalam keadaan seperti ini. Namun, entah bagaimana, aku berhasil bertahan sampai waktu istirahat siang. Meskipun begitu... mungkin karena aku berpakaian begini, aku jadi terlalu peka terhadap tatapan orang-orang di sekitarku.


Bukan untuk menyombongkan diri, tapi berbeda dengan seseorang yang menyebut dirinya penyendiri tak berbahaya, aku punya banyak teman, dan aku juga paham kalau aku cukup populer. Justru karena itulah, satu kesalahan kecil saja dalam keadaan berbahaya seperti ini bisa menimbulkan masalah besar, sehingga aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi di kelas. Bahkan, aku merasa gerak-gerikku mungkin terlihat agak mencurigakan, jadi aku sangat khawatir jangan-jangan orang-orang mulai menaruh curiga.


Untuk sementara, karena sudah masuk jam istirahat siang, aku harus mencari tempat yang lebih sepi agar bisa melepaskan ketegangan ini, kalau tidak jantungku rasanya tidak akan kuat.


(Akhirnya, waktu untuk beristirahat. Sedikit saja aku ingin dimanja, sekaligus mengisi kembali tenaga...)


Untungnya, kantuk sama sekali tidak datang. 


Memang, dalam keadaan berpakaian seperti ini tidak mungkin aku bisa tertidur. Tapi di luar itu, kalau aku tidak menyandarkan diri sejenak, aku merasa tak akan sanggup melewati sisa hari ini. 


Aku berdiri sambil membawa bekal, lalu cepat-cepat meninggalkan kelas. Bahkan untuk sekadar berjalan pun aku harus berhati-hati. Seragam musim panas sekolah ini memiliki rok yang cukup pendek. Sedikit saja lengah bisa berakibat fatal.


Di ruang ganti sepatu, aku mengambil sepatu loafers, memastikan tidak ada orang di sekitarku, lalu memakainya. Aku sempat takut harus membungkuk, tapi setelah sampai di sini aku merasa lebih lega... atau setidaknya begitu kukira. Begitu melangkah keluar gedung sekolah, tiba-tiba angin kencang menerpaku.


"Kyaa!"


Dengan panik aku menahan rokku, segera menoleh ke sekeliling, dan setelah memastikan tidak ada siapa pun, aku bisa bernapas lega. Ngomong-ngomong, selama ini aku hanya fokus pada bagian bawah, padahal bagian atas juga tidak bisa diabaikan.


Untungnya aku mengenakan kamisol untuk mencegah pakaian dalam tembus pandang, jadi dibanding bawah, setidaknya ada sedikit perlindungan. Tapi tetap saja rasanya tidak cukup aman. Dan... membayangkan harus pergi menemui Kirishima-san dalam keadaan seperti ini membuatku terasa sangat malu. Tubuhku seakan memanas dan dadaku berdebar kencang.


"Kenapa kebetulan hari ini anginnya cukup kencang..."

Aku berjalan sambil menahan rok, dengan langkah kikuk, hingga akhirnya kulihat sosok Kirishima-san.


Sepertinya dia menyadari kehadiranku, wajahnya terangkat, dan tatapan kami pun bertemu dengan jelas. Dia melihatku. Dia memperhatikanku. Menyadari itu... membuatku gemetar, seakan ada sensasi dingin sekaligus hangat yang menjalar di tubuhku.


"Agak lama ya."


"…Yah, ada kalanya begitu."


Percakapan ringan seperti biasa pun terasa membuatku gugup. Entah kenapa lidahku seringkali terbata, membuatku tidak bisa mengalirkan percakapan dengan baik. Namun, meski hening, tidak terasa canggung. Itu karena suasana tenang dari Kirishima-san membuatku nyaman.


"Kalau begitu... aku duduk di sebelahmu."


"Hari ini di sisi itu, ya?"


"Yah... iya. Hanya karena suasana hati."


"Jarang juga."


Uuh, dia memperhatikanku. 


Aku duduk di sisi yang berbeda dari biasanya, dan tatapan Kirishima-san terasa meneliti seluruh tubuhku, membuatku sulit tenang. 


Apa tindakan yang berbeda dari kebiasaan memang mudah menimbulkan kecurigaan? Tapi... kalau aku duduk dengan cara biasa dalam keadaan seperti ini... aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Padahal aku sadar wajahku memerah, napasku agak berat, dan tubuhku kaku karena tegang.

"Untuk memastikan saja... kau tidak sedang sakit kan?"


"Eh!? T-tidak... seharusnya tidak..."


"Kalau begitu syukurlah. Tapi maaf... kalau aku salah paham tak masalah, tapi mungkin... kau butuh ini?"


Sambil berkata begitu, Kirishima-san merogoh tas sekolahnya, mengeluarkan sebuah kantong kertas kecil, lalu menyodorkannya padaku. Wajahnya tampak tegang, bahkan agak memerah. Sebenarnya... apa isinya? 


Aku pun mengintip ke dalam... ah.


"Ini... pakaian dalamku?"


"Maaf karena sudah mengacak-acak laci tanpa izin. Tapi aku hanya mengambil yang ada di depan, dan berusaha tidak melihat terlalu jelas isinya, jadi... kumohon maklumi."


"Karena memang aku menaruhnya di tempat yang terlihat, itu tidak masalah. Tapi... kenapa kau membawanya?"


"Karena... aku tahu Mikami-san terkadang agak ceroboh. Jadi aku pikir mungkin saja ini terjadi."


"Barusan kau memanggilku ceroboh, kan?"


"...Tidak."


Aku menatapnya kesal, dan dia buru-buru mengalihkan pandangan. Tapi... dalam kondisi sekarang, aku tidak bisa membantah tuduhan itu.


"Kalau ternyata tidak diperlukan, ya tidak apa-apa. Aku tinggal mengembalikannya secara diam-diam nanti. Karena Mikami-san tidak menghubungiku, aku kira semua baik-baik saja. Maaf... aku seharusnya lebih memperhatikan. Aku juga tidak punya cukup keberanian untuk menanyakannya langsung."


"Jangan minta maaf. Justru itu sikap yang wajar."


Benar juga. Waktu aku menyadari kalau aku tidak membawa pakaian dalam, sempat terlintas untuk meminta bantuan pada Kirishima-san. Tapi malu membuatku menghapus pilihan itu. Sama halnya, bagi Kirishima-san, menanyakan apakah aku membawa atau mengenakan pakaian dalam juga pasti hal yang memalukan.


Lagipula, membiarkan laki-laki menanyakan hal seperti itu pada seorang perempuan memang jelas tidak pantas. Karena itu, meskipun dalam hati sempat terpikir "seandainya dia memberitahu sejak di rumah" atau "seandainya dia memberikannya lebih cepat," aku tidak bisa menyalahkannya. Karena kali ini jelas-jelas kesalahanku.


"Hehe, kalau hanya mendengar kalimat 'seharusnya aku lebih memperhatikan apakah seorang gadis mengenakan pakaian dalam atau tidak', kedengarannya seperti omongan orang mesum ya."


"...Berisik. Kalau tidak mau, kembalikan saja."


"Waa, aku mau, aku mau! Aku sedang benar-benar tanpa bra dan celana dalam, jadi jangan ambil dariku."


Aku hanya sedikit menggoda, tapi Kirishima-san malah marah dan hampir saja merebut kantong kertas itu dariku.


Jujur saja, ketahuan tidak mengenakan pakaian dalam, apalagi sampai diperhatikan, benar-benar memalukan. Tapi, aku bersyukur dia menyiapkan pakaian dalam sebagai langkah berjaga-jaga.


"Aku mau ganti, jadi bisakah kau membalikkan badan sebentar? 

Ah, kalau hanya mengintip sedikit saja sih, boleh kok?"


"Aku tidak akan mengintip, jadi cepat ganti. Kalau tidak, waktu makan kita habis."


Sikapnya yang seperti itu... tidak buruk sama sekali. Dan sepertinya benar juga bahwa dia tidak banyak melihat saat mengambilnya. 


Pakaian dalam yang kupersiapkan di rumah Kirishima-san sebenarnya ada yang biasa, tapi kebanyakan memang untuk menggoda... agak sedikit menggoda, bisa dibilang. Dia sampai repot-repot mengambil yang tipis dan menggoda seperti ini, berarti memang asal ambil tanpa banyak melihat, atau Kirishima-san sebenarnya orang yang diam-diam mesum. Bagiku keduanya tidak masalah... tapi sepertinya memang seperti kata-katanya.


Memang agak ceroboh, tapi karena sudah tidak benar-benar tanpa apa pun, aku merasa lebih lega. Meski begitu... tetap saja tipis, dan rasanya dingin menusuk.



Sepulang sekolah. Tanpa berganti pakaian, aku menjatuhkan tubuh ke sofa. Hari ini memang hari biasa, tapi entah kenapa aku merasa sangat lelah. Terutama secara mental.


Tenggelam di sofa empuk, kantuk pun menyerang. Rasa lembut yang menyelimuti tubuh ini sungguh menenangkan. Namun, bayangan seseorang tiba-tiba mengganggu waktu istirahatku. Seperti biasa, Mikami-san masuk seenaknya ke rumahku, lalu duduk bersandar padaku seakan aku adalah sandarannya.


Oh iya, hari ini kami belum melakukannya. Biasanya paling lambat saat istirahat siang, kami sudah saling berpelukan dari belakang. Jadi rasanya aneh juga kalau baru pertama kali di sore hari. Tapi... sekarang sih, rasanya agak berbeda.

"Tunggu sebentar... tubuhku bau keringat, jadi jangan sekarang, ya."


"Aku, maksudnya?"


"Aku yang bau. Mikami-san tetap wangi seperti biasa, jadi jangan khawatir."


Jelas saja itu bukan maksudku padanya. 


Memang, Mikami-san selalu harum. Hari ini juga panas, aku banyak berkeringat, jadi jujur saja, aku tidak nyaman kalau dia menempel terlalu dekat.


Hei, sudah kubilang aku bau keringat, jadi jangan mendekat lalu menghirup begitu.


"Kirishima-san juga wangi. Wanginya enak sekali, sampai aku ingin segera merebut kemeja ini darimu. Ayo, cepat lepaskan."


"Hei, kau perampok jalanan, kah? Jangan sungguh-sungguh mencoba melepasnya!"


Mikami-san berdiri, lalu dengan cekatan berbalik ke arahku dan mulai membuka kancing kemejaku.


"Ini punyaku."


"Bukan, ini punyaku."


"Punyaku, pokoknya punyaku."


Dalam sekejap, dia membuka semua kancing dan menarik kemejaku. Karena dia terus-menerus menuntut "punyaku, punyaku," seperti radio rusak, akhirnya aku menyerah dan melepasnya untuk diberikan padanya.

Tapi karena kejadian "perampokan" semacam ini, aku jadi merasa ada maksud terselubung di balik kebiasaannya mencuci pakaianku.


Padahal, kesepakatannya adalah urusan pakaian pribadi kami cuci masing-masing. Tapi Mikami-san sering dengan santai mencucikan pakaianku juga...


Ah, lebih baik jangan kupikirkan terlalu dalam.


"Kalau begitu, aku mandi sebentar lalu ganti pakaian."


"Kalau begitu, aku juga mandi."


"Jangan ikut-ikutan begitu saja."


"Kebetulan tujuan kita sama, ya."


"Itu jelas disengaja."


Sekalipun kebetulan, kau tetap perempuan. Jangan asal masuk ke kamar mandi laki-laki begitu saja.


Sungguh... ini bisa membahayakan diriku. Bukankah biasanya justru perempuan yang memperingatkan, "jangan mengintip ya"?


Kalau Mikami-san... sepertinya meski diperingatkan, dia tetap akan melakukannya. Itu yang membuatku takut.


"Jangan benar-benar ikut, ya."


"...Apa itu kode untuk memintaku ikut? Seperti bilang 'jangan dorong,' padahal maksudnya suruh dorong?"


"...Apa ada sesuatu yang bisa kupakai untuk mengikatmu?"


"Eh, permainan ikat-mengikat? A-aku baru pertama kali, jadi tolong perlahan, ya?"


Jangan berwajah merah lalu menggeliat seperti itu. Sungguh bukan itu maksudku. Dan jangan menatapku dengan penuh harap begitu. Apa jangan-jangan dia masokis?


"...Aku bercanda kok. Aku akan menunggu dengan tenang, jadi silakan mandi duluan."


"...Tidak, sebaiknya tidak usah."


Senyum mencurigakan Mikami-san sama sekali tidak membuatku tenang. Jadi aku urungkan niat mandi, dan memutuskan cukup memakai deodoran saja. Dengan menyemprotkan deodoran, lalu berganti dari seragam ke pakaian santai, setidaknya rasanya lebih baik.


Setelah selesai berganti di kamar, aku kembali ke ruang tamu, dan ternyata Mikami-san juga sudah berganti pakaian. Dia mengenakan kemeja yang tadi direbut dariku, lalu bersantai. Pasti dia tidak mengenakan bawahan lagi. Dari bawah kemeja terlihat jelas kaki telanjangnya, dan bra tipisnya samar-samar terlihat menembus kain.


Hei, kau itu siswi SMA. Punya rasa malu sedikitlah. Jangan bersantai dengan kaki bergoyang begitu dalam keadaan nyaris tanpa perlindungan. Pantas saja, karena sudah terbiasa berpakaian minim, dia sampai lupa mengenakan pakaian dalam.


"Hei, itu agak tembus pandang. Pakailah baju yang benar."


"Ah, benar juga. Bagaimana menurutmu? Itu kan pakaian dalam yang kau pilihkan untukku."


"Aku tidak memilihnya. Sungguh, aku asal ambil tanpa banyak melihat."


"Fufu, sudah kuduga. Kalau tidak, tidak mungkin Kirishima-san memberiku pakaian dalam yang... pertahanannya setipis ini."


Ya... karena aku memang tidak benar-benar memilih, jadi dari segi perlindungan memang kurang tepat. Apa ini kesalahanku juga karena tidak mempertimbangkan bahwa Mikami-san punya pakaian dalam model seperti itu...?


Tidak, aku tidak salah. Ya, semua ini salahnya Mikami-san.


"Berisik. Lebih baik ada daripada tidak sama sekali, kan."


"Itu benar juga. Sekali lagi… terima kasih banyak. Tapi… bagaimana bisa sampai terpikir sejauh itu?"


"…Kebetulan saja."


Saat sarapan, aku sama sekali tidak bisa mengingatnya, tapi di suatu momen tiba-tiba aku tersadar akan kemungkinan itu.


Mikami-san yang tadinya memakai celemek baju renang lalu berganti ke seragam baju renang, mungkin saja tidak menyiapkan pakaian dalam. Namun, aku tidak punya kepastian. Kupikir seharusnya tidak masalah, tapi karena ini Mikami-san, selalu ada kemungkinan.


Kalau sampai segitu bingungnya, seharusnya aku bertanya saja terus terang. Tapi, masalahnya ini menyangkut pakaian dalam, dan sebagai laki-laki, aku sulit memulainya.


Jadi, agar bagaimana pun hasilnya tidak merepotkan, aku memilih cara: diam-diam "meminjam" pakaian dalam Mikami-san. Tanpa banyak melihat, aku mengambil satu set atasan dan bawahan dari lemari Mikami-san, memasukkannya ke dalam kantong kertas, dan membawanya.


Jika setelah pelajaran renang Mikami-san melakukan sesuatu, maka cadangan itu bisa kugunakan. Jika tidak, tinggal kukembalikan diam-diam nanti. Namun, aku melupakan hal mendasar: sama seperti aku enggan bertanya langsung, begitu pula halnya dengan perempuan—sulit untuk membicarakan hal seperti itu kepada lawan jenis.


"Tapi tetap saja, aku memang salah. Karena Mikami-san tidak menghubungiku, aku sempat merasa tenang dan mengira kamu sudah menyiapkan semuanya dengan baik. Aku lupa bahwa Mikami-san ini ceroboh. Itu kesalahanku. Maaf."


"Tadi kamu bilang 'ceroboh' lagi, kan? Cara meminta maaf seperti itu rasanya sangat rumit bagiku…"


Aku berasumsi, kalau ada masalah, Mikami-san pasti akan mengadu padaku. Karena tidak ada kabar, aku pun menghentikan kekhawatiranku. Padahal, mana mungkin seorang gadis bisa dengan mudah bilang kepada laki-laki bahwa dia lupa membawa pakaian dalam? Logika itu benar-benar luput dari pikiranku.


Terutama Mikami-san, meski biasanya tanpa banyak pertahanan—bahkan sekarang pun berpenampilan sangat berani—tetap saja dia punya rasa malu. Walaupun hanya kadang-kadang muncul. Aku benar-benar salah karena melupakan itu.


"Kamu tidak perlu merasa bersalah… karena terlalu bersemangat, aku jadi lupa membawa pakaian dalam. Itu memang kesalahanku. Tapi, Kirishima-san sudah menolongku. Aku benar-benar senang."


"Kalau begitu syukurlah."


"…Kalau begitu, agar tidak terjadi lagi, bagaimana kalau aku masukkan beberapa set cadangan ke dalam tas Kirishima-san?"


"Hei, jangan. Kalau ketahuan, aku bisa mati secara sosial. Lebih baik kamu berusaha agar tidak menciptakan situasi seperti itu lagi."


"…Aku akan berusaha sebisanya."


Jawaban itu sangat tidak meyakinkan…


Menyimpan pakaian dalam perempuan di tas sendiri jelas terlalu berisiko. Itu jangan sampai terjadi.

"Ngomong-ngomong… mau berdiri terus sampai kapan? Cepatlah hangatkan aku."


"Sudah cukup panas, kan."


"…Pakaian dalamnya terlalu tipis, jadi terasa dingin sekali."


"Kalau begitu, berhentilah memakai hanya kemejaku. Pakailah sesuatu yang lain."


"Tidak perlu, biarkan saja."


"Hei."


"Aku sudah memutuskan untuk menghangatkan diri dengan tubuh Kirishima-san… perlawanan tidak ada gunanya!"


Apa tekad macam itu…


Aku sendiri kepanasan, tapi dia justru sengaja berpakaian tipis dan ingin menghangatkan diri dengan tubuh manusia. Benar-benar manja.


"…Baiklah, sebentar saja ya."


"Sebentar? Maksudnya tujuh puluh dua jam?"


"Terlalu lama! Mana mungkin aku tahan ditahan selama itu."


"Padahal yang terikat di dalam pelukan Kirishima-san adalah aku, lho."


"Berisik. Sudahlah… kemarilah."


Entah kenapa, aku merasa baru saja dipermainkan. Tapi sekarang sudah terlambat untuk menolak.


Aku duduk di sofa dan merentangkan tangan. Mikami-san pun langsung meloncat ke dalam pelukanku.


"Hari ini ganti untuk jam istirahat siang yang terlewat, jadi tolong manjakan aku banyak-banyak!"


"Iya, iya."


Padahal musim panas, dia tetap saja tidak kapok untuk selalu menempel. Aku merasa kagum juga, sambil menuruti keinginannya, memanjakan "putri manja" ini seakan membuatnya larut.


Aroma samar keringat manis dan asam itu, tanpa kusadari, terasa begitu candu… sampai kepalaku berkunang-kunang.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close