Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 2
Tidak Masalah Jika Harus Turut Membantu
Aku membuat janji untuk pergi membeli baju renang bersama Mikami-san—tidak, menyebutnya membuat janji terdengar aneh. Lebih tepatnya, aku dipaksa setengah memaksa untuk berjanji, lalu waktu berjalan sebagaimana mestinya, dan akhir pekan pun hampir tiba.
Hari Jumat sepulang sekolah. Mungkin sudah tidak perlu dijelaskan lagi, tapi seperti biasa Mikami-san bersantai di rumahku seolah itu hal yang wajar.
"Kirishima-san. Cepat selesaikan PR-mu."
"Aku tahu. Kalau kamu, PR apa saja?"
"Print out bahasa Inggris dan Matematika, serta latihan Bahasa Jepang. Ugh... karena akhir pekan, PR jadi banyak sekali. Aku tidak bisa membiarkan secarik kertas ini menghalangi kencan, jadi akan segera kuhancurkan!"
"…Oh, begitu. Semangat, ya."
Sebenarnya aku ingin menyoroti kenapa janji berbelanja tiba-tiba naik level jadi kencan, tapi lebih lucu melihat Mikami-san yang begitu serius, bahkan membara, saat menghadapi PR.
Memang, guru-guru cenderung memberi lebih banyak PR menjelang akhir pekan. Tidak heran Mikami-san kesal, apalagi soal print out bahasa Inggris yang memang banyak. Namun, ia mengerjakan PR dengan kecepatan luar biasa. Meski menulis secepat itu, tulisannya tetap rapi dan sejauh kulihat tidak ada kesalahan. Istilahnya menghancurkan PR mungkin tidak berlebihan.
"…Kalau menatapku terus begitu, paling-paling hanya sedikit saja yang kubiarkan kamu menyalin, tahu?"
"Sedikit tetap boleh, kan?"
"Hanya sedikit. Selebihnya konten berbayar. Silakan berlangganan."
"Berlangganan, ya…? Uangku sekarang tinggal segini. Ya sudahlah, demi bisa menyalin PR, aku bayar."
"Terima kasih banyak."
"Kalau begitu, karena dompetku jadi tipis, belanja besok kita batalkan."
"…Batalkan! Sistem error. Akan kukembalikan uangnya. Sebagai permintaan maaf atas bug, menyalinnya gratis. Silakan salin sepuasnya."
Tentu saja soal dompet tipis itu hanya bohong. Aku hanya ingin sedikit menggoda. Aku menampilkan wajah muram seakan benar-benar bangkrut, lengkap dengan desahan berat, dan Mikami-san langsung panik dengan wajah pucat.
Hasilnya, uang yang tadi kuberikan dikembalikan, bahkan konten berbayar jadi gratis. Begitu inginnya dia pergi belanja sampai rela begitu? Apalagi sampai hampir menitikkan air mata waktu menyerahkan uang itu. Malah membuatku merasa bersalah.
Aku, yang membuat gadis menangis lalu mengambil uangnya—komposisi yang terburuk.
"Maaf, tadi aku cuma bercanda. Jangan pasang wajah begitu, ya…"
"Kencannya benar-benar bisa terlaksana, kan?"
"Bisa kok."
Ia menatapku seperti sedang melihat orang tolol yang menghabiskan seluruh uang hidupnya untuk gacha. Aku tidak sebodoh itu. Tidak perlu khawatir. Walaupun sedikit malu menyebutnya kencan, memang benar aku akan menepatinya. Bahkan PR-mu tidak perlu kupinjam lagi. Itu hanya gurauan kecil.
"Syukurlah. Kalau sampai kupikir aku sudah merampas semua uang Kirishima-san, aku pasti akan sangat sedih."
"Aku tidak akan sampai menghambur-hamburkan uang penting. Apalagi kalau untuk keperluan pergi bersama Mikami-san… justru lebih kucadangkan."
"Begitu, ya. Itu… membuatku sangat senang."
Ia tersenyum lega sambil menghela napas, dan itu terlihat menggemaskan. Respon dengan daya hancur semacam itu wajar membuat dadaku berdebar.
Katanya, ada orang-orang yang menghabiskan uang untuk hal-hal yang seharusnya tidak boleh disentuh, seperti biaya sewa rumah atau listrik, lalu bangkrut karena judi atau gacha. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana denganku?
Sejauh ini aku tidak pernah kecanduan gacha atau semacamnya, tapi bukan tidak mungkin aku punya potensi itu. Bisa saja aku tiba-tiba menghamburkan semuanya untuk oshimen tanpa sadar. Aku harus hati-hati. Membayangkan kemungkinan kehancuran itu saja membuatku merinding.
Mikami-san menatapku heran sambil memiringkan kepala. Lucu sekali.
"Ngomong-ngomong, besok bagaimana? Kita janjian ketemu dulu atau bagaimana?"
"Kalau begitu, besok pagi kita janjian di tempat tidur, ya."
"…Artinya, saat aku bangun, janji ketemu sudah otomatis terlaksana?"
"Hampir benar. Tepatnya, sejak sebelum tidur janji itu sudah selesai."
"Eh… maksudnya?"
"Hari ini aku menginap di sini. Jadi janji itu sudah berstatus selesai. Present perfect, begitu istilahnya."
Pintar juga. Dia bisa menyelipkan pelajaran bahasa Inggris di sela print out yang sedang ia kerjakan. Tapi, tunggu dulu. Ia barusan mengatakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan.
Menginap, katanya. Mengatakannya dengan mudah sekali. Tapi apakah Mikami-san sudah memberitahu orang tuanya? Bagaimanapun juga, kalau dia menginap, berarti aku yang menanggung tanggung jawab besar. Kalau terjadi sesuatu, aku yang repot.
Tiap keluarga berbeda dalam mengatur soal izin anak menginap, tapi tetap saja—seharusnya perlu izin, kan?
"Ah… cuma mau memastikan, soal menginap ini kamu sudah bilang ke orang tua, kan?"
"Oh, soal itu jangan khawatir. Aku sudah minta izin, jadi aman."
Dengan bangga ia membusungkan dada. Memang lucu, tapi… apa benar? Apakah izin semudah itu bisa keluar? Jangan-jangan dia juga memaksa orang tuanya dengan jurus "tak usah khawatir"-nya?
"Benarkah? Tidak bohong, kan?"
"Benar. Aku bilang akan menginap di rumah Kirishima Rei-san yang tinggal di apartemen yang sama, dan besok kami akan pergi beli baju renang. Jadi, siapa, di mana, dan rencananya apa, semua sudah aku jelaskan. Aman, kan?"
Mungkin karena yang diinapi masih satu apartemen, jadi itu memudahkan keluarnya izin. Tapi tetap saja, apakah semudah itu orang tua mengizinkan anak gadisnya menginap…?
"Jadi, kamu benar-benar jujur jelaskan semuanya… kalau begitu, jangan-jangan…"
"Jangan-jangan apa?"
"Orang tua Mikami-san salah paham. Mereka kira aku ini teman perempuanmu."
"…Itu memang hal yang luput dari pikiranku."
Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi kalau dilihat dari tulisan namaku saja, sulit ditebak apakah itu nama laki-laki atau perempuan. Nama "Rei" sendiri juga cenderung terdengar seperti nama perempuan. Kalau memang orang tua Mikami-san mengira aku ini teman perempuan, maka wajar saja kalau izin untuk menginap itu diberikan dengan mudah.
"Kalau begitu, berdasarkan itu… apakah sebaiknya kamu konfirmasi lagi…?"
"Tak perlu. Fakta bahwa izin menginap sudah diberikan tidak berubah."
"…Benar-benar tak perlu?"
"Benar-benar tak perlu. Bedanya hanya apakah aku sudah datang lebih awal, atau baru datang tengah malam."
"Jawabanmu terdengar sangat meyakinkan, ya…"
Entah pengertian yang sebenarnya sama atau tidak, yang jelas izin menginap sudah keluar, jadi Mikami-san sepertinya tidak akan berubah pikiran. Kalaupun izin menginap itu ditolak, Mikami-san yang memegang kunci cadangan pasti akan melakukan yang ia sebut sebagai "yobai dengan dalih bangun pagi."
Meski agak meragukan apakah itu bisa dibilang masuk akal atau tidak, kalau Mikami-san sendiri bilang tidak masalah… ya sudah lah. Lagipula, apa pun yang kukatakan pasti akan berakhir dengan "tak perlu dipikirkan."
"Kalau begitu, setelah PR selesai kita makan, ya. Kirishima-san, ada permintaan khusus?"
"Apa saja boleh."
"Aduh… itu justru yang paling menyulitkan, lho. Kalau semuanya boleh, berarti menu makanmu malam ini adalah aku."
"Eh… maafkan aku."
"Kalau kita mandi bersama lalu makan diriku sebagai hidangan, bukankah itu sekali mendayung tiga pulau terlampaui?"
"…Ampun, tolong hentikan…"
Aku yang salah, jadi bisakah berhenti memaksaku memilih antara makan malam, mandi, atau dirimu yang digabungkan jadi satu opsi absurd itu?
"…Tadi bercanda. Setengahnya, sih."
"Berarti setengahnya lagi sungguhan, dong."
"…Hmm, siapa tahu?"
Sepertinya ini balasan karena aku sempat mengerjainya barusan. Benar-benar bikin jantung berdebar tak karuan. Candaan Mikami-san ini tipe yang berbahaya… meski sebenarnya aku juga tak jauh berbeda.
"Tapi serius, saat ditanya permintaan makan malam, jawaban 'apa saja boleh' itu kurang tepat. Aku kasih kesempatan kedua. Jadi, makan malam hari ini… aku?"
Hei, kenapa pilihan yang disediakan malah aneh begini.
"…Seingatku masih ada telur. Jadi, tolong buatkan omurice."
"…Kalau pencuci mulutnya aku?"
"Pencuci mulutnya sepertinya masih ada puding, jadi itu saja."
"Begitu ya… sayang sekali."
Padahal aku sudah memberikan permintaan yang jelas, tapi dia malah tampak kecewa. Meski begitu, aku tak punya cukup nyali untuk memilih "aku" sebagai opsi.
"Kalau begitu… ayo cepat kita 'musnahkan' PR ini."
"Setuju."
"Ngomong-ngomong, soal mandi…?"
"Mandilah sendiri."
"…Begitu ya. Kalau berubah pikiran, kabari aku kapan saja."
Aku bisa dengan mudah membayangkan betapa aku akan dibuat kelimpungan dalam "kencan" besok. Karena itu, sebisa mungkin aku ingin menyimpan tenaga… tapi masalahnya, "janji temu" itu katanya sudah dimulai sejak sekarang.
Apa jangan-jangan… kencan ini sudah berjalan dari kemarin? Kalau begitu… bisa jadi berbahaya? Apakah aku masih bernapas di hari esok? Entah kenapa, jadi merasa perlu meninggalkan pesan terakhir lebih awal.
Cahaya matahari masuk lewat celah tirai, tepat mengenai wajahku. Aku membalikkan badan untuk menghindarinya, lalu menoleh ke sisi lain… tapi wajah Mikami-san yang seharusnya tidur di sebelahku tidak ada.
"…Jarang-jarang terjadi hal seperti ini."
Kadang dia menyelinap masuk tengah malam untuk tidur di sampingku, kadang juga datang tepat sebelum aku bangun untuk menatap wajahku. Sejak ia kuberikan kunci cadangan, bangunku hampir selalu disertai kehadirannya. Jadi, pagi tanpa wajahnya di sisiku terasa agak janggal.
Bukannya aku merasa kesepian. Yah… mungkin sedikit saja…tidak, tunggu. Kenyataan bahwa kami—yang bahkan belum resmi berpacaran—sudah terbiasa tidur di ranjang yang sama, itu sendiri sudah cukup gila. Tapi jujur saja, menjadikan Mikami-san sebagai guling itu membuat tidurku lebih nyenyak, jadi wajar kalau rasa bersalahku sudah makin tumpul. Meski hubungan ini penuh "kesalahan," aku justru merasa tidak buruk sama sekali. Semua ini berkat dorongan tanpa henti dari Mikami-san.
…Aduh, melamun melarikan diri dari kenyataan sejak bangun tidur itu menyedihkan juga. Hari ini disebutnya "kencan," jadi aku juga harus cepat bangun dan bersiap. Tak boleh terlambat datang ke janji temu… eh, tunggu. Katanya janji temu sudah beres dari kemarin, ya.
Kupikir dia akan melakukan hal aneh seperti sebelumnya, menungguku bangun di tempat tidur. Tapi ternyata janji temu sehari sebelum kencan pun dianggap sah oleh Mikami-san.
Yah, dengan wajah secantik itu, kalau dia menunggu di luar sendirian, risiko digoda orang lain juga besar. Dan aku ragu dia akan datang pada jam yang wajar. Kalau kupikir lagi, janji temu di rumahku memang agak aneh, tapi justru masuk akal juga. Meski itu berarti beban pikiran, habisnya kesabaran, dan terkurasnya rasionalitasku… asal keselamatan Mikami-san terjaga, mungkin memang tidak ada pilihan lain. Tapi untuk persiapan tetap beda urusan. Dengan kondisi sekarang aku tidak bisa langsung keluar rumah. Bisa jadi dia bangun lebih dulu dan sedang bersiap.
Katanya, dandan bagi perempuan memang memakan waktu. Aku bangkit dari ranjang dan menuju ruang tamu, tempat suara-suara terdengar. Tanganku hampir menyentuh gagang pintu… lalu kutarik kembali, menarik napas panjang.
"Mikami-san, kamu ada di dalam?"
"Ya, ada. Ada apa?"
Suara jawabannya terdengar dari balik pintu setelah aku bertanya agak keras. Tapi aku belum lega. Ada satu hal penting yang harus kupastikan…
"…Kamu pakai baju, kan?"
"Keterlaluan. Memangnya kamu menganggapku apa?"
“Pelepas baju, ya?”
“…Kalau kamu bilang begitu, aku benar-benar akan melepasnya, lho?”
Hei. Jangan melepas baju.
Yang ingin kupastikan hanyalah apakah dia benar-benar berpakaian atau tidak. Jadi kalau sudah memakai pakaian, jangan sengaja berniat melepasnya.
Mikami-san… di rumahku memang sering berpakaian tipis. Piyamanya jelas-jelas model transparan yang lebih cocok untuk dipamerkan, dan kalau memakai bajuku, ia merasa aman karena bagian atas tertutup, padahal bawahnya hanya celana dalam dan kaki telanjang.
Kurang sopan… atau lebih tepatnya, tak tahu malu. Tidak, sebenarnya itu lebih ke hiburan visual bagiku, tapi tetap saja, itulah alasanku khawatir apakah dia benar-benar berpakaian atau tidak. Bahkan sekarang pun, ada kemungkinan ketika aku membuka pintu, dia sedang berkeliaran dengan pakaian dalam atau hanya memakai bathrobe.
Meski otakku masih belum sepenuhnya bekerja karena baru bangun tidur, aku cukup bangga karena bisa menyadari kemungkinan itu lebih dulu. Maka dari itu, setelah memastikan Mikami-san memang berpakaian, barulah kubuka pintu.
Tak kusangka, untuk sekadar masuk ke ruang tamu rumahku sendiri, aku harus melakukan prosedur konfirmasi seperti ini…
“Selamat pagi. Aku sudah lebih dulu memakai shower-mu.”
“Pagi. Kalau begitu, aku juga mandi dulu.”
“Kalau begitu, aku akan menyiapkan sarapan. Sarapan roti tidak masalah, kan?”
“Boleh… ya, roti saja.”
“…Baiklah~”
Bahaya. Hampir saja aku mengulangi kesalahan kemarin dengan menjawab “apa saja boleh” di depan Mikami-san yang selalu mengincar kelengahanku. Untung aku bisa menahan diri. Jadi, Mikami-san… bisa tolong jangan pasang wajah tidak puas seperti itu?
Setelah mandi dan mengeringkan rambut, aku kembali ke ruang tamu. Sarapan sudah tersaji rapi di meja. Seperti biasa, dia cekatan sekali. Meski memakai hoodie-ku yang kebesaran hingga pahanya terlihat jelas, tetap saja, apron yang ia kenakan sangat cocok dengannya.
“Kebetulan sekali. Mari kita makan.”
“…Seperti biasa, terima kasih.”
“Eh? A-ada apa, tiba-tiba begitu?”
“Tidak, cuma merasa sangat berterima kasih karena kamu selalu memasakkan makanan.”
“Aku melakukannya karena memang mau, jadi kamu tak perlu terlalu memikirkannya. Tapi… kalau kamu benar-benar ingin mengungkapkan rasa terima kasih, satu-satunya cara adalah dengan menunjukkannya lewat tindakan.”
“…Baiklah, aku mengerti.”
Menunjukkan lewat tindakan, ya…kurang lebih aku bisa menebak apa yang dia maksud.
Seperti biasa, standarnya tinggi. Meski begitu, aku merasa harus menanggapinya. Karena Mikami-san yang menciptakan suasana ini—suasana hangat, penuh kebersamaan, meski terasa biasa, sebenarnya bukanlah hal yang lumrah—membuatku benar-benar berterima kasih.
“…Jangan menatapku dengan wajah selembut itu. Aku jadi malu.”
“Maaf, maaf. Habisnya kamu kelihatan manis sekali.”
“Ma-manis!? Aduh… padahal kencannya saja belum dimulai, tapi kamu sudah berkata begitu… taktik di luar arena itu curang.”
Aku tak sengaja mengucapkan isi hatiku, dan Mikami-san menutupi rasa malunya dengan menepuk-nepuk dadaku. Padahal dia sendiri yang bilang ingin rasa terima kasih diwujudkan lewat tindakan, tapi begitu mendengar sedikit ucapan jujur, dia malah jadi panik. Itu pun membuatnya semakin manis.
“Kan, janji temu kita sudah dimulai dari kemarin?”
“Ya… memang begitu, tapi…”
Pipinya merona, pandangannya berlari ke sana kemari, sementara kedua telunjuknya saling bertemu di depan dada. Penampilan Mikami-san saat ini benar-benar membuatku gemas.
“Ya-ya sudah, ayo kita makan cepat. Aku masih harus bersiap.”
“Tidak usah terburu-buru. Kita bisa santai.”
“Tidak boleh. Nanti waktu kencannya jadi berkurang. Aku juga masih ingin memilih baju lucu dan berdandan. Persiapan kencan bagi seorang gadis memang butuh waktu, tahu.”
Dengan mulut penuh roti, Mikami-san berkata sambil menunduk malu. Dia terus mengulang kata “kencan” sehingga rasa malu juga ikut menyerangku. Tapi, melihat kesungguhannya, aku tak bisa menahan diri untuk merasa…
“…Manis sekali, sumpah.”
“Eh!? Uuuh…”
Ups. Lagi-lagi isi hatiku keluar begitu saja.
Mikami-san menatapku dengan mata tajam penuh tekanan, seakan berkata “awas kalau berani ucapkan lagi.” Aku harus berhati-hati, kalau tidak, aku bisa kena balasan berkali lipat.
Meski begitu… kencan hari ini sudah terasa menyenangkan. Dan aku yakin, ke depannya akan lebih menyenangkan lagi.
Nah, saatnya masuk ke inti kencan hari ini: memilihkan baju renang untuk Mikami-san.
Sekarang, berdiri di depan toko khusus baju renang saja sudah cukup membuatku merasa gugup. Tidak mungkin aku bisa tetap tenang. Peluh mulai menetes, bahkan aku sampai menggunakan kalimat retoris dalam hati. Dan ini baru permulaan. Patung manekin dengan pakaian renang yang dipajang di depan toko saja sudah tampak begitu menggoda. Melihatnya saja membuat otot-ototku menegang dan langkahku nyaris berhenti.
“Kenapa, Kirishima-san?”
“Sepertinya… bisakah aku menunggu di luar saja?”
“Tidak boleh. Kamu harus ikut, setidaknya sampai depan ruang ganti… tidak, masuk ke dalam juga.”
“Itu aneh, tahu.”
Oke, kalau menunggu di depan ruang ganti mungkin masih bisa dimengerti. Tapi kalau harus masuk ke dalam ruang ganti… itu sungguh tak masuk akal.
Apa Mikami-san sendiri tidak masalah dengan itu? Mencoba baju renang berarti… ya, harus membuka pakaian dulu, kan?
Meski dia sering berpakaian tipis di rumah, tetap saja, ada perbedaan besar antara “masih berpakaian” dan “sama sekali tidak.” Aku tidak punya nyali untuk ikut campur sampai sejauh itu.
“Ayo, masuk.”
“Jangan tarik-tarik begitu, aku bisa jalan sendiri. Lepaskan tanganku.”
“Kalau kulepas, kamu pasti kabur.”
Tentu saja aku akan kabur. Kalau seorang gadis yang akan mencoba baju renang malah menarikku masuk ke bilik pasnya, jelas aku ingin lari sekencang mungkin. Tapi sayangnya, apalah daya. Dengan erat memeluk lenganku, Mikami-san berhasil menahan aku hingga akhirnya masuk ke dalam toko.
Untungnya, di dalam toko tidak ada pelanggan lain. Namun, di area baju renang wanita tentu saja ada staf perempuan, dan tatapan mata kami yang saling bertemu membuat suasana agak canggung. Seperti yang kuduga, sebagai laki-laki aku jelas merasa tidak pada tempatnya. Tapi Mikami-san sama sekali tidak peduli.
"Seperti yang diharapkan dari toko khusus ya. Ada banyak sekali pilihan baju renang. Ah, bagaimana dengan yang ini?"
"Apa-apaan ini. Ini kan nyaris cuma tali."
Ke kanan baju renang. Ke kiri pun baju renang.
Dalam keadaan yang sama sekali tidak membuat hati tenang, Mikami-san dengan santai mengambil sebuah baju renang—atau lebih tepatnya, sesuatu yang nyaris hanya berupa tali dengan sedikit kain menempel.
Ini bahkan bukan sekadar terbuka atau berani. Aku sungguh meragukan apakah ini masih bisa disebut baju renang atau bukan.
"Balikkan itu."
"Eh, tidak perlu dicoba dulu?"
"Mikami-san itu… lebih cocok yang modelnya sopan dan anggun."
Jujur saja, aku tidak bisa bilang aku tidak ingin melihat Mikami-san memakai kain minim itu. Tapi menurutku, dibandingkan kesan sensual yang terlalu gamblang, Mikami-san lebih pantas dengan kesan manis, anggun, atau imut yang sederhana.
"Be-begitu ya…! Kalau Kirishima-san bilang begitu, ya sudah."
Mendengar pendapatku, Mikami-san tampak agak lega. Usahanya mencoba terlihat dewasa memang imut juga, tapi dia tidak perlu memaksakan diri.
Tentu saja, dengan posturnya, ia pasti bisa mengenakan bikini seksi yang tampak dewasa dengan sangat baik. Tapi toh dia masih anak SMA. Lebih baik pilih yang sedikit lebih sederhana.
"Ah, ada bilik pas. Aku tunggu di dalam, jadi… Kirishima-san, bawakan baju renang yang ingin kau pakaikan padaku."
"Eh, maksudnya apa? Aku ditinggal sendirian? Lagi pula, laki-laki mondar-mandir di depan bilik pas area baju renang wanita itu kan mencurigakan banget!"
Ditinggal sendirian di area ini, yang ke kanan dan ke kiri semuanya penuh dengan baju renang wanita, jelas membuatku sungguh tidak nyaman. Lebih dari itu, berada tepat di depan bilik pas sebagai laki-laki… kupikir itu sudah sangat bermasalah.
Mikami-san memang ingin menarikku masuk ke dalam bilik pas, tapi kurasa bahkan mendekati area bilik pas saja biasanya sudah dilarang oleh pihak toko. Yah, semoga memang begitu. Saat aku masih menyimpan harapan itu, Mikami-san malah menoleh ke sekeliling…
"Eh, ada staf… ah, permisi!"
Ia melambaikan tangan memanggil staf toko. Staf perempuan itu pun datang menghampiri, dan aku langsung merasa ruang gerakku makin sempit.
"Ya, terima kasih sudah menunggu. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ingin baju renang saya dipilihkan oleh orang ini, lalu dicoba, dan saya ingin dia melihatnya. Apakah tidak apa-apa kalau dia ikut sampai ke bilik pas?"
"Biasanya, pendamping yang tidak mencoba pakaian diminta menunggu agak jauh."
Tuh kan, benar. Pikirku, Mikami-san tentu tak bisa melawan aturan toko. Aku bisa patuh aturan dan menunggu agak jauh—malah lebih baik kalau bisa menunggu di luar toko.
"Tapi karena sekarang tidak ada pelanggan lain, sampai ada yang ingin menggunakan bilik pas, kami beri izin khusus. Lagipula, memilih baju renang memang lebih menyenangkan kalau dilihat langsung oleh pacar, bukan?"
"Betul! Aku harus diperlihatkan betul ke pacarku!"
"Kalau begitu, nanti kalau ada pelanggan lain yang ingin menggunakan bilik pas, akan kami beri tahu. Untuk sekarang, silakan saja."
"Terima kasih banyak!"
Ada yang aneh. Kukira arahnya bakal mengikuti aturan, tapi entah bagaimana Mikami-san dan staf toko malah sudah seperti bersekongkol, bahkan bersalaman erat seakan-akan sudah sepakat.
Tidak kusangka keadaan bisa berkembang sangat menguntungkan bagi Mikami-san. Apa jangan-jangan dia sudah menyuap staf ini sebelumnya? Dan hei, aku bukan pacarnya. Tolonglah, Mikami-san, sesekali bantah perkataan begitu.
Biasanya dia gampang malu, tapi justru di saat seperti ini, malah aku yang dibuat repot. Wajahku jadi panas sendiri.
"Syukurlah ya. Sudah dapat izin dari staf toko, jadi sekarang Kirishima-san bisa dengan tenang memilihkan baju renang untukku."
"Aku tidak tenang sama sekali, tahu."
"Justru sekarang waktunya. Mumpung tidak ada pelanggan lain."
"Kamu dengar tidak sih?"
"Kalau begitu, aku akan menunggu sambil melepas bajuku… tolong ya, pacarku?"
"Hei… serius?"
Dengan cepat, tirai bilik pas ditutup. Dari dalam, samar-samar terdengar suara kain bergesekan. Seolah-olah suaraku tak pernah sampai padanya, Mikami-san hanya mengucapkan apa yang dia mau sebelum mengurung diri di bilik pas.
Selama ini aku bisa bertahan karena ada Mikami-san di sisiku. Tapi begitu harus sendirian berjalan di sekitar sini… perutku benar-benar terasa sakit. Namun, kalau aku terlalu mencurigakan dan salah gerak sedikit saja, bisa-bisa malah dilaporkan. Jadi di sini aku harus… berani, bersikap tegas, dan terlihat wajar…!
Tapi sungguh memalukan, kakiku sampai gemetar begitu hendak melangkah. Rasanya seperti hanya di bawahku saja ada gempa.
"Uhm… yang tidak terlalu mencolok, agak kalem… ya semacam itu…"
Jujur saja, aku tidak tahu-menahu soal baju renang perempuan. Jadi saat diminta memilih, aku bingung harus pakai standar apa. Akhirnya, aku hanya mengambil beberapa yang menurutku warnanya bagus, lalu akan kuminta Mikami-san mencobanya. Lagipula, baju renang itu bukan hal terpenting. Soalnya, Mikami-san itu sendiri sudah seperti bahan baku paling berkelas. Apa pun yang dia kenakan pasti bisa terlihat menawan. Aku yakin itu.
"Mikami-san, aku sudah bawa. Harus aku lakukan apa sekarang?"
"Masuk saja ke dalam."
"Jangan sembarangan begitu."
"Kalau bisa aku ingin bilang 'tidak usah sungkan'… tapi, terus terang aku juga malu, jadi biar kuambil saja ya."
Dari ujung tirai hanya keluar tangannya, jadi aku menyerahkan baju renang yang kubawa. Mikami-san menerimanya, lalu dari dalam terdengar gumamannya tentang selera atau apa pun itu. Tapi, tolong jangan berharap padaku soal 'selera' macam itu.
Beberapa saat menunggu, tiba-tiba tirai bilik pas terbuka. Jantungku berdegup kencang saat berhadapan langsung dengan Mikami-san yang sudah berganti baju renang.
"Model one-piece yang tidak terlalu terbuka, ya. Warna hitam, kesukaan Kirishima-san. Bagaimana? Cocok tidak?"
Sambil berkata begitu, Mikami-san merentangkan tangannya dan berputar satu kali di hadapanku. Singkatnya, dia terlalu imut. Tenang, tapi tetap memancarkan pesona, dan memang jauh lebih mengena daripada daya tarik yang terlalu vulgar.
Tanpa sadar aku terdiam, hanya bisa terpaku menatapnya.
"Um… kalau diam saja sambil menatapku begitu, aku jadi malu. Katakan sesuatu dong."
"Ah, iya… sangat imut… sekali…"
"Syukurlah kalau begitu."
Mendengar komentarku yang sederhana tapi tulus, Mikami-san tersenyum puas, lalu kembali masuk ke bilik pas. Kali ini ia keluar dengan baju renang lain.
"Ini model bikini high-neck. Sama-sama tidak terlalu terbuka, kan?"
"Yang ini juga bagus. Terlihat sehat… dan sangat cocok."
Belahan dadanya tertutup rapat, tapi tulang selangka, perut, dan kakinya terlihat begitu indah. Saking cocoknya, aku tidak bisa menemukan kata lain. Lagi-lagi aku terdiam menatap.
Setelah memperlihatkan sebentar, Mikami-san kembali masuk untuk mencoba yang berikutnya. Tapi di situlah masalah muncul.
"Kirishima-san, Kirishima-san."
"Apa?"
"Bisa tolong masuk sebentar?"
"Tidak mau."
"Terima kasih. Sebenarnya aku ingin minta tolong mengikat tali bikini ini."
"Tidak mau."
"Sendiri agak susah… kumohon ya."
Kenapa begini? Padahal tadi berjalan lancar, tapi pada akhirnya aku memang ditakdirkan ditarik masuk ke bilik pas rupanya…
Aku memastikan tidak ada orang di sekitar, lalu dengan hati-hati melangkah masuk ke bilik pas tempat Mikami-san menungguku. Di sana, ia berdiri dengan punggung terbuka, tali bikini terjuntai sambil digoyang-goyangkan. Karena ada cermin di dalam, meski ia membelakangiku, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana posisinya. Itu malah membuatku semakin gugup.
"Jadi, tinggal kuikat saja, kan?"
"Ya, tolong."
Aku pun memegang tali bikini itu dan mencoba mengikatnya seperti yang dia minta. Tapi karena terlalu gugup melihatnya begitu tidak berdaya, jemariku yang gemetar justru menyentuh punggung mulusnya.
"Hyah!"
Terdengar pekikan mungil bersamaan dengan suara kain jatuh. Di kaki Mikami-san, bikini yang tadinya hendak kuikat kini terlepas dan terjatuh.
"…Mesum."
Kami bertatapan lewat pantulan cermin. Dengan wajah memerah, Mikami-san menatap tajam, kedua tangannya menutupi dada sambil tubuhnya bergetar.
Beberapa detik saling menatap tanpa kata. Di depanku kini terbentang punggung putih mulus tanpa penghalang. Karena aku lebih tinggi, bayangan Mikami-san yang menutupi dadanya dengan kedua tangan terlihat jelas di cermin. Tatapanku tertarik ke arahnya, membuatku menelan ludah. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Dengan segera aku berpaling, berusaha tidak melihatnya atau cermin, lalu bicara untuk menjelaskan.
"Maaf… sungguh tidak sengaja."
"Kalau tidak sengaja, berarti boleh meraba-raba punggung dengan cara mesum begitu?"
"…Aku tidak meraba-raba, kan."
"Tidak, itu jelas sentuhan yang mesum sekali."
Seolah-olah aku dengan sengaja mempermainkan tubuhnya. Sama sekali tidak. Itu fitnah. Tapi, meski tak disengaja, aku memang menyentuh kulit lembutnya. Lebih tepatnya, jemariku hanya sedikit bergeser menyentuh.
Tetap saja, reaksi Mikami-san menunjukkan betapa malunya dia, dan akibatnya sekarang ia berada dalam keadaan yang memalukan. Rasa bersalah itu ada. Aku tahu aku pantas dihukum. Tapi firasat buruk menjalari dadaku.
"Lalu… apa yang harus kulakukan? Apa aku boleh keluar sebentar?"
"Menurutmu itu boleh?"
Ya, aku tahu itu pasti tidak boleh.
Aku hanya bertanya untuk memastikan, tapi sudah jelas Mikami-san tidak akan membiarkanku pergi. Tetap saja, meskipun ini bukan benar-benar ruang tertutup, berada di bilik sempit ini berdua dengan Mikami-san yang setengah telanjang… tidak, jangan dipikirkan. Semakin kupikirkan, semakin gugup.
"Uhm… tolong menghadap ke sini."
Suara lembutnya terdengar dari balik punggungnya. Nada suaranya penuh rasa malu, membuat hatiku yang goyah terasa tertarik kuat. Apa ini artinya mencoba lagi? Pikirku, lalu aku menoleh. Namun, di cermin, yang kulihat masih punggung terbuka, dada yang ditutupi tangan, dan wajah Mikami-san yang memerah penuh rasa malu.
Kupikir ia sudah mengenakan kembali baju renangnya, tinggal mengikat tali saja. Tapi ternyata aku kecolongan. Wajahku memanas begitu cepat, rasanya seperti mendidih.
"…Kenapa masih begitu? Aku memang mengganggu. Lebih baik aku keluar, jadi cepatlah pakai baju lagi…"
"Jangan sungkan. Itu tidak penting. Yang lebih penting adalah…"
"‘Tidak penting’!?"
Gadis ini… hanya dengan menyeret orang ke ruang ganti saja sudah bisa dibilang cukup parah, tapi memperlihatkan tubuh setengah telanjang di depan laki-laki lalu menyelesaikannya dengan kata “hal sepele” itu…!
Entah kenapa… aku jadi takut pada Mikami-san. Dalam situasi di mana ada gadis cantik setengah telanjang dengan hanya menutupi dada dengan tangan—yang seharusnya sudah cukup untuk memicu gairah—dia justru menanamkan rasa takut alih-alih memancing nafsu. Itu benar-benar luar biasa. Dan meski dalam keadaan setengah telanjang itu dianggap “hal sepele,” aku penasaran apa yang akan diucapkannya.
Dengan wajah memerah dan gerakan gelisah, dia sesekali melirikku lewat pantulan cermin. Hanya itu saja sudah membuatku ingin segera kabur dari sini.
"Umm… bisa tolong sentuh sekali lagi?"
"…Hah?"
"Aku ingin Kirishima-san menyentuh punggungku dengan jarinya."
"…Uhh, kenapa?"
"Tadi aku kaget karena tiba-tiba disentuh, jadi keluar suara aneh. Itu karena tidak siap. Aku harus menunjukkan bahwa kalau aku sudah tahu akan disentuh, aku bisa menahannya."
Oh, begitu. Jadi maksudnya, reaksi tadi muncul karena tidak siap. Kalau sudah tahu lebih dulu, dia bisa mengendalikan diri. Tapi… hanya untuk membuktikan itu, harus dilakukan sekali lagi? Apa-apaan sih.
"Itu perlu dilakukan?"
"Itu hal yang penting. Aku tidak mau Kirishima-san mengira punggungku adalah titik lemahnya aku."
Kenapa dia harus menantang hal-hal seperti ini? Aku sama sekali tidak pernah berpikir menemukan kelemahan baru Mikami-san.
"…Omong-omong, ada hak untuk menolak?"
"Tentu saja tidak ada. Kali ini, sentuhlah sepuasnya. Ayo."
Mengucapkan itu, Mikami-san melangkah mendekat, lalu menutup mata seakan sedang memusatkan konsentrasi, menarik napas dalam-dalam seperti sedang bersiap diri. Kalau sampai segitunya, sebenarnya lebih baik tidak usah dilakukan. Tapi entah kenapa, tanganku secara refleks terulur ke arah garis indah dari punggung sampai pinggangnya.
"Kalau begitu… aku akan sentuh ya."
Suara ludahku tertelan bergema di tenggorokan. Tadi itu murni tidak sengaja, aku hanya menyenggol. Itu sejujurnya. Tapi sekarang… meski setengah dipaksa, aku sendiri yang memutuskan untuk melakukannya. Dengan niat penuh untuk menyentuh. Dalam situasi ini, jantungku berdebar keras seolah alarm terus berbunyi.
Kulit putih Mikami-san. Tinggal beberapa sentimeter lagi jariku bisa merasakan hangatnya. Aku tidak berniat menggantungkan suasana, tapi jari yang gemetar ini tetap saja bergerak ragu tanpa sadar.
"A-apakah… belum juga? Apa kau sengaja ingin membuat kejutan dengan menunda?"
"Aku tidak bermaksud begitu, cuma… aku gugup, jadi tidak bisa cepat."
Baru kusadari sekarang, apa yang sedang kulakukan di ruang ganti toko khusus pakaian renang ini?
Sial, kalau cuma diseret ke sini, aku bisa saja bergaya korban. Tapi sekarang setelah begini, rasanya menyebalkan. Menyebalkan, tapi kalau aku membantah terus, Mikami-san hanya akan makin lama berada dalam kondisi setengah telanjang. Pada akhirnya aku juga harus bersiap diri.
"…Kalau begitu, permisi."
".......!"
Jari-jariku menempel pada kulit Mikami-san. Sepertinya tubuhnya sedikit bergetar, tapi dia hampir tidak bersuara, jadi… sepertinya masih baik-baik saja.
Saat jariku meluncur pelan, punggungnya bergidik halus. Ketika kukerakkan membentuk lingkaran kecil, suara napas manis mulai lolos bersama dengan sedikit suara lirih.
"Nn… fuh…"
Aku mempercepat gerakan.
Entah bagaimana… rasanya aku sedang melakukan sesuatu yang benar-benar tidak pantas. Tapi, kan yang memintanya Mikami-san sendiri. Dia bahkan bilang boleh kusentuh sepuasnya… tapi aku harus bagaimana?
"Haa… haa… nngh, ah…"
Dia menutup mulut dengan satu tangan. Namun, sepertinya tetap tak bisa menahan suaranya. Walau berusaha keras, suara lirih dan napasnya semakin cepat dan berat.
"Umm… Mikami-san?"
"Tidak usah… khawatir. Aku masih… belum kalah."
Hah, tunggu dulu. Apa ini memang soal menang atau kalah?
Seingatku, tujuannya hanya untuk memastikan apakah dia bisa bertahan kalau tidak kena serangan mendadak. Tapi sepertinya, Mikami-san tetap saja tidak sanggup walaupun bukan serangan mendadak. Buktinya… dia sama sekali tidak bisa menahannya. Bukannya mencabut pengakuan kelemahan, malah justru semakin memperjelas titik lemahnya.
Siksaan setengah mati macam ini… sampai kapan akan berlanjut, ya?
Yah… sudahlah. Kalau dipikirkan terlalu dalam, berarti aku kalah.
Untuk sekarang, biarkan saja. Sampai Mikami-san merasa puas, aku akan mengosongkan pikiran dan melanjutkan begini saja. Jadi… lupakan saja kalau ini sebenarnya sedang mencoba pakaian renang. Kalau tidak, aku sendiri bisa ikut jadi gila.
◇
“...Aku benar-benar kalah telak.”
Aku menatap wajahku yang terpantul di cermin sambil menghela napas. Pipi yang memerah, ekspresi yang meleleh, sisa-sisa sensasi di punggungku—semua itu adalah bukti bahwa aku sudah benar-benar ditaklukkan oleh Kirishima-san.
Ternyata, meski sudah tahu akan disentuh, aku tetap tidak bisa menahan diri… benar-benar kelalaian yang memalukan. Itu salahku karena meremehkan jari-jari Kirishima-san. Padahal sebenarnya aku sudah tahu betapa hebatnya jari-jari itu…
Waktu dipijat, waktu rambutku dicuci, waktu rambutku dikeringkan, waktu telingaku disentuh… ujung jarinya yang hangat, kuat namun lembut, begitu halus dan penuh perhatian, telah membuatku… sepenuhnya terpikat.
Tapi aku melupakan hal itu, nekat mencoba membalas, dan sudah bisa ditebak—aku malah berbalik dikalahkan. Sungguh memalukan.
Apa artinya bilang “kalau tahu lebih dulu aku bisa menahan”? Yang menyentuhku itu jari-jari Kirishima-san, mana mungkin aku bisa menahan. Aku mencoba menasihati “pecundang” di balik cermin, tapi rasanya tidak banyak berguna. Aku yakin aku akan mengulang kesalahan yang sama lagi. Memang begitulah aku. Namun… hanya disentuh punggungnya saja, tapi rasanya luar biasa.
Aku sama sekali tidak bisa menahan suara. Aku ingin menutup mulut dengan tanganku, tapi tanganku juga harus menutupi dada, jadi tidak bisa menekan dengan kuat. Beberapa kali aku bahkan hampir menyerah untuk menutupi dada… sampai aku benar-benar bimbang.
“Kalau sampai di depan cermin begitu… uuhh…”
Aku menurunkan pandangan dari wajah memerahku yang terlihat di cermin, lalu mataku jatuh pada bagian dadaku yang kini dibalut bikini segitiga hitam pilihan Kirishima-san. Karena Kirishima-san lebih tinggi dariku, meski dia berdiri di belakangku, dia tetap bisa melihat tubuhku lewat pantulan cermin. Itu sebabnya aku tidak bisa melepaskan tangan dari dadaku.
Tapi tetap saja… itu sangat berbahaya. Aku sibuk menahan suara, bahkan tidak sempat mengucapkan kata menyerah. Kalau Kirishima-san tidak menghentikannya atas inisiatif sendiri, mungkin tadi sudah ketahuan oleh pegawai toko atau pelanggan lain yang lewat.
Yah, bagaimanapun aku yang menyeretnya masuk ke sini, jadi kalaupun harus menjelaskan, aku yang akan lakukan. Untunglah tidak terjadi apa-apa.
Ngomong-ngomong soal Kirishima-san, sekarang dia masih terus sibuk memilihkan pakaian renang untukku.
Meskipun tadi sempat terjadi hal seperti itu, sesi coba pakaian masih berlanjut. Untuk saat ini, aku merasa rugi karena hanya aku yang dipermalukan, jadi aku harus membalasnya dengan membuat jantungnya berdebar lewat penampilan dalam pakaian renang yang sesuai seleranya.
“Sepertinya Kirishima-san memang lebih suka warna-warna kalem. Biru atau hitam… pilihannya kebanyakan seperti itu.”
Yang kupakai sekarang juga begitu, dan sebelumnya—baik yang model one-piece maupun high-neck—semuanya bernuansa tenang. Aku sendiri sebenarnya suka juga dengan warna yang lebih mencolok seperti merah atau putih, tapi yang terpenting adalah keinginan orang yang ingin kutunjukkan. Jadi, aku ingin benar-benar menyesuaikan dengan selera Kirishima-san.
“Mikami-san, coba pakai yang ini selanjutnya.”
“Terima kasih. Akan aku coba.”
Sambil sedikit berpose di depan cermin, aku menunggu Kirishima-san datang membawakan pakaian renang berikutnya. Sepertinya dia mulai terbiasa, kini ia bisa membawanya dengan lebih percaya diri, dan ucapannya “aku ingin kamu mencoba ini” membuatku merasa seakan sedang diwarnai oleh seleranya sendiri. Entah kenapa itu membuatku senang.
Kali ini… bikini model one-shoulder, ya. Dengan bahu yang terbuka, kesannya sedikit lebih dewasa. Tapi pilihan Kirishima-san justru tipe yang bagian dada tertutup rapat…
Jangan-jangan Kirishima-san… tidak suka bagian dada? Padahal tadi aku sudah sampai menutup dada dengan tangan, tapi reaksi yang kudapat tidak terlalu terasa. Ah, atau jangan-jangan… ukuran dadaku tidak cukup baginya?
Jujur saja, untuk ukuran siswi kelas satu SMA, aku rasa perkembanganku cukup baik. Tapi bagaimana kalau Kirishima-san ternyata hanya menyukai yang benar-benar besar, sehingga tidak melirikku sama sekali? Itu akan jadi masalah.
Uhh, untuk memperbesar dada… apakah harus dipijat? Meskipun itu sangat memalukan… tapi kalau tidak ada cara lain, mungkin harus dilakukan.
“Halo? Kau baik-baik saja?”
“…Tolong jangan membunuhku sepihak.”
“Kau terlalu diam, jadi aku khawatir.”
Oh, benar juga. Aku sampai lupa berganti pakaian karena sibuk melamun. Sekarang yang harus kulakukan adalah mencoba pakaian renang pilihan Kirishima-san ini, lalu meminta pendapatnya.
“Maaf membuat menunggu. Bagaimana menurutmu?”
Model one-shoulder dengan tali hanya di satu sisi. Bagian bahunya dihiasi frill yang manis, sementara bagian lainnya tetap tertutup rapi.
“Bagus. Kelihatan sangat imut.”
“Terima kasih. Tapi… boleh aku tanya sesuatu? Apakah Kirishima-san kurang menyukai pakaian renang yang mencolok… maksudku, yang lebih terbuka? Atau menurutmu aku memang tidak cocok dengan itu?”
Soalnya, reaksinya terhadap pakaian renang yang agak ekstrem tadi juga biasa saja. Apakah karena tubuhku tidak menarik, makanya dia selalu memilihkan pakaian dengan sedikit bukaan? Kalau itu pilihannya… meski dengan kain seminim apa pun, aku tetap akan memakainya untuknya…
“Bukan begitu. Kalau Mikami-san, dengan bentuk tubuhmu, apapun yang kau pakai pasti cocok.”
“Kalau begitu, kenapa selalu pakaian renang yang kalem…”
“……kau tidak akan menertawakan, kan?”
“……? Tidak, aku tidak akan menertawakan.”
“Maksudku, kalau terlalu terbuka, jantungku bisa terlalu berdebar sampai-sampai mungkin ada yang mati… Jujur saja, yang kupilih selama ini sudah cukup sederhana menurutku, tapi begitu Mikami-san memakainya, semuanya jadi terlihat manis, cantik… dan benar-benar membuatku deg-degan.”
“Ah… ya… aku mengerti betul.”
Aku terbelalak mendengar penjelasan Kirishima-san yang terbata-bata sambil menggaruk kepalanya. Singkatnya… kalau aku mengenakan pakaian renang yang lebih terbuka lagi, Kirishima-san bisa "terbunuh" karena terlalu terpesona? Begitu ya… ehehehe. Baiklah, kalau begitu aku ingin sekali membuatnya "terbunuh" oleh pesonaku.
“Ah, tapi… begitu ya. Sebenarnya aku memang ingin melihat juga… yang agak terbuka. Tapi karena ini untuk dipakai ke laut… kurasa aku tidak ingin terlalu banyak orang lain melihat Mikami-san dengan pakaian renang yang terlalu berani…”
Kirishima-san memalingkan wajahnya, terlihat malu saat bergumam begitu.
Ucapan seperti itu… sungguh curang. Tapi… rasa cemburu atau keinginan untuk memiliki diriku hanya untuk dirinya saja, justru membuatku senang.
“Kalau begitu, tidak boleh kulihatkan pada orang lain ya. Pakaian renang yang agak nakal hanya akan kutunjukkan pada Kirishima-san saja… di rumahmu.”
“Eh, tidak usah begitu…”
“Jangan bilang tidak usah. Aku akan mengenakan apa saja, jadi bawakan saja yang kau suka, lalu puas-puaslah mendandani aku.”
Hari ini aku adalah boneka berpakaianmu. Apa pun model pakaian renangnya, aku akan memakainya dengan baik.
Hiasi aku sesuai seleramu, lalu pandangi aku sampai puas… puji aku, manja aku, dan bilang kalau aku imut…!
◇
Akhirnya belanja Mikami-san selesai. Termasuk pakaian renang untuk pelajaran, semua sudah dibayar.
“…kau membeli banyak sekali. Memangnya pakaian renang sebanyak itu perlu?”
“Tentu saja. Sedia payung sebelum hujan. Pakaian renang sebanyak apa pun tidak akan sia-sia.”
Tas kertas yang digenggam Mikami-san tampak penuh sesak.
Wajar saja, karena hampir semua pakaian renang yang dicobanya dia beli. Katanya, khususnya yang menurutku bagus. Tapi jujur saja, menurutku semua yang dipakainya terlihat imut, jadi reaksiku mungkin hampir sama. Namun… sampai sebanyak itu dibeli. Kupikir paling banyak hanya cadangan, tapi ini sudah kelewatan.
Awalnya kan tujuan utamanya pakaian renang sekolah, sedang yang ini
hanya tambahan. Tapi dengan begini malah jadi tidak jelas mana yang utama.
“Tapi bukankah ini terlalu banyak?”
“Tidak sama sekali. Kita tidak boleh sampai bosan. Karena itu, semakin banyak variasi pakaian renang semakin baik.”
“Bosan?”
“Aku ingin pergi ke laut dan kolam renang berkali-kali. Kalau selalu memakai yang sama, Kirishima-san mungkin akan kecewa. Jadi variasi itu penting.”
Apa-apaan itu. Jadi semua ini demi aku?
Mana mungkin aku kecewa dengan Mikami-san dalam pakaian renang… sungguh polos, tapi menggemaskan sekali.
“Tapi tetap saja, ini kebanyakan, kan? Kalau ada yang tidak sempat dipakai, bagaimana? Disimpan untuk tahun depan?”
“Tahun depan pasti ada tren baru, jadi kita akan belanja lagi. Yang kubeli hari ini akan kupakai semua selama musim panas, jadi jangan khawatir.”
“Kau akan sering sekali ke laut atau kolam, begitu?”
“Itu sudah pasti, tapi selain itu aku juga akan memakainya sebagai pakaian santai di rumahmu. Seperti cool biz, kira-kira.”
Hei? Barusan aku dengar sesuatu yang tidak bisa diabaikan.
Mikami-san yang biasanya saja sudah sering berpakaian minim, kalau sekarang menjadikan pakaian renang sebagai pakaian sehari-hari…?
“Apa itu boleh? Bisa ada yang mati. Orang itu aku sendiri.”
“Berlebihan sekali.”
“Itu tidak berlebihan.”
“Pakaian renang dan pakaian dalam tidak jauh berbeda kok, dari segi luas kainnya.”
Maksudnya, karena biasanya pun dia sudah sering hanya mengenakan pakaian tipis layaknya pakaian dalam, maka kalau diganti dengan pakaian renang pun tak ada bedanya?
Kalau kupikir-pikir, memang itu ciri khas Mikami-san… tapi tetap saja menyulitkan.
“Aku juga membeli pakaian renang khusus untuk dipakai di rumahmu. Bukan yang kau pilih, melainkan yang kubeli diam-diam. Tidak tahu apakah sesuai seleramu, tapi aku akan senang kalau kau menyukainya.”
“…talinya?”
“Betul. Lebih tepatnya, micro.”
Ah, sudah jelas.Kenapa anak ini selalu punya keberanian begitu besar? Memang benar, aku sempat bilang aku tak ingin orang lain melihatnya dengan pakaian renang terlalu berani… tapi kupikir dia tidak akan sampai benar-benar membelinya. Tapi ya… mungkin ini lebih baik daripada tidak mengenakan apa-apa.
Kalau dibandingkan dengan pakaian tipis atau pakaian dalam yang biasa dipakainya, paling hanya selisih sedikit, bahkan mungkin lebih tertutup. Apa jangan-jangan ini adalah trik door-in-the-face tanpa kusadari…? Dengan membandingkan pakaian tipis sehari-hari dengan pakaian renang, aku jadi merasa pakaian renang justru terlihat lebih pantas. Lalu secara tidak sadar aku menyerah begitu saja. Benar-benar menakutkan, Mikami-san.
Tapi kalau kupikir lagi, fakta bahwa aku merasa “lebih baik karena setidaknya dia berpakaian” itu artinya aku sudah terlalu banyak berkompromi.
Pada dasarnya, seorang gadis tidak akan seenaknya melepaskan pakaian di depan laki-laki. Mikami-san-lah yang aneh. Dan aku yang mulai terbiasa dengan itu… juga sama anehnya.
“Fufufu, aku tidak sabar menunggu liburan musim panas. Pergi ke laut dengan pakaian renang pilihan Kirishima-san… sungguh menyenangkan. Bagaimana kalau kita pergi sekarang?”
“…tidak, tidak akan pergi.”
“…Begitu ya. Yah, memang masih terlalu awal untuk musimnya. Mari kita jadikan laut sebagai kesenangan di musim panas yang benar-benar panas nanti.”
“Iya, begitu saja.”
Mungkin Mikami-san sudah puas karena berhasil membeli banyak pakaian renang, tapi tujuan utama hari ini sebenarnya adalah membeli perlengkapan untuk pelajaran renang.
Kalau dihitung dari segi waktu, sudah cukup lama kami berkeliling, tapi hampir semuanya habis hanya untuk menjadikan Mikami-san boneka ganti baju. Sementara itu, belanjaanku sendiri belum ada yang selesai. Lagipula, meski pakaian renang sudah siap, bukan berarti kami bisa langsung berangkat ke laut. Ucapan Mikami-san seakan pergi ke laut semudah jalan-jalan ke dekat rumah, padahal tidak seperti itu.
Sayangnya, aku tidak sefleksibel itu. Terlepas dari itu, seperti yang
dikatakan Mikami-san, memang belum musimnya. Air laut masih dingin, dan bermain-main secara serius akan sulit. Jadi, menyimpannya sebagai kesenangan nanti jelas lebih bijak.
“Kirishima-san, setelah ini rencana kencannya apa?”
“Untuk sekarang, aku ingin cepat menyelesaikan belanjaanku. Setelah itu… hmm, apa ya. Mikami-san mau melakukan sesuatu?”
“Aku ingin pergi ke kolam renang air hangat. Aku benar-benar sudah tidak sabar ingin memakai pakaian renang.”
“Kalau begitu, coba aku cari dulu apakah ada yang dekat di sini.”
Permintaan yang tiba-tiba, tapi Mikami-san sudah benar-benar ingin bermain dengan pakaian renang. Kalau laut tidak memungkinkan, kolam renang air hangat memang ada yang buka sepanjang tahun. Jadi mungkin permintaan Mikami-san bisa dipenuhi.
“Kalau begitu… berarti aku juga harus cepat memilihkan pakaian renang untuk Kirishima-san ya. Boleh aku yang memilihkannya?”
“Eh, jangan.”
“Begitu ya. Terima kasih. Aku akan berusaha memilihkan pakaian renang yang paling cocok untukmu.”
“Aku barusan bilang jangan… kau dengar kan?”
“Aku dengar, tapi tidak kudengar.”
“Itu berarti kau dengar.”
“Tidak, aku tidak dengar.”
Haa… keluar lagi penyakitnya, "tuli sesuai kebutuhan."
Aku memang diberi kebebasan memilih pakaian renang Mikami-san tadi, jadi agak tidak enak hati. Tapi kalau dia yang memilihkan untukku, jujur aku agak takut.
Secara pribadi aku tidak suka pakaian renang yang terlalu ketat. Kalau dia tiba-tiba memilihkan celana renang model boomerang, aku pasti hanya bisa berdiri bengong dalam kehampaan.
“Jadi, kau memilihkan pakaianku, tapi tidak membiarkanku memilihkan punyamu, Kirishima-san?”
“Ya, tidak bisa.”
“…pelit.”
“Nanti kubelikan es krim. Jadi tahanlah.”
“Yah, baiklah. Tapi harus ada sesi ‘suapin’ juga ya.”
Baiklah, untuk itu aku masih bisa mengalah. Dari segi rasa malu, justru bagian “disuapin” itu masih lebih baik. Kalau dengan cara itu dia bisa memaafkanku, aku bahkan rela menyuapinya berkali-kali.
“Sekalian tambahkan juga sesi gendong dan dielus ya.”
“…Nanti, setelah pulang.”
Permintaan Mikami-san semakin lama semakin menjadi-jadi, membuatku hampir menghela napas panjang. Tapi entah mengapa, aku merasa tidak masalah mengabulkannya.
Mungkin… ya, itu memang tanda-tandanya.




Post a Comment