Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Selingan
Gadis Itu Tertarik pada Anak Laki-Laki
Semua bermula dari sebuah kebetulan.
Sekitar dua minggu setelah masuk sekolah, aku mulai terbiasa dengan orang-orang yang tertarik pada penampilanku, bahkan sampai ada yang menyatakan perasaan mereka padaku.
Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi aku sadar kalau wajahku memang cukup menawan. Tak heran jika meskipun baru masuk, aku sudah cukup dikenal di sekolah ini.
Banyak orang yang ingin mendekatiku, berharap bisa berkenalan lebih jauh, atau kalau bisa, sampai berpacaran denganku. Niat mereka yang begitu transparan itu sudah bisa kutebak dari awal.
Terlebih lagi, di awal masa SMA seperti ini, saat semua orang masih bersemangat mencari pengalaman baru. Ini adalah masa di mana pertemanan baru terjalin, dan menjalin hubungan romantis dianggap sebagai bagian dari masa muda.
Aku mengerti hal itu. Tapi tetap saja, saat semua perhatian itu tertuju kepadaku, aku merasa sedikit jengah.
Hari itu, aku kembali dipanggil oleh seseorang. Karena sedang istirahat siang, aku berpikir untuk segera menolaknya dan kembali melanjutkan makan siangku.
Namun, saat aku terjebak dalam situasi yang sulit, dia tiba-tiba muncul dengan begitu gagah dan penuh percaya diri.
Saat aku benar-benar kehabisan akal dan hampir putus asa, dia—Kirishima-san—mengulurkan tangan untuk menolongku.
Dengan kepintarannya, dia berhasil mengusir para pengganggu itu tanpa meminta imbalan apa pun, lalu pergi begitu saja entah ke mana.
Wajahnya yang pucat, seolah tidak memiliki ketertarikan sedikit pun padaku, terus terbayang di kepalaku.
Adalah hal yang wajar jika aku ingin berterima kasih kepadanya. Bagaimanapun juga, dia telah menolongku, sementara aku bahkan belum sempat mengucapkan terima kasih.
Jadi, aku mulai mencari Kirishima-san di berbagai kesempatan—sebelum kelas dimulai, saat jam istirahat, dan setelah sekolah.
Namun, tidak peduli seberapa keras aku mencarinya, sosoknya tetap tidak ditemukan.
Aku tahu dia pasti bersekolah di sini karena warna lambang sekolahnya sama denganku, menandakan kami berada di tahun ajaran yang sama. Tapi meskipun begitu, aku tetap tidak bisa menemukannya. Seolah dia hanyalah sosok hantu yang sekilas muncul lalu menghilang begitu saja.
Aku kemudian mencoba mengingat kembali tempat pertama kali aku bertemu dengannya. Tempat di mana dia menolongku. Ke arah mana dia pergi setelah itu.
Di suatu siang, aku membawa bekal makan siang dan pergi ke tempat tersebut. Di sana, aku menemukan sebuah bangku yang cukup untuk diduduki dua orang, di bawah sinar matahari yang hangat.
Aku duduk dan menunggu.
Beberapa menit kemudian, seseorang yang selama ini kucari akhirnya muncul. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali bertemu dengan Kirishima Rei.
Setelah memperkenalkan diri secara singkat, aku langsung ke pokok pembicaraan. Akhirnya, aku bisa mengucapkan terima kasih karena telah menyelamatkanku.
Aku sempat penasaran seperti apa reaksinya, tapi ternyata dia hanya menanggapinya dengan santai, seolah itu bukan hal yang perlu dipikirkan lebih jauh. Bahkan, dia berusaha mengakhiri percakapan kami secepat mungkin.
Hal itu cukup membuatku terkejut. Aku sampai tanpa sadar memanggilnya kembali dengan suara yang sedikit bergetar.
Memang, aku sudah berhasil mengucapkan terima kasih.
Namun, bagiku, kebaikan yang telah dia tunjukkan tidaklah cukup dibalas hanya dengan kata-kata.
Meski begitu, Kirishima-san tidak terlihat ingin mempermasalahkan hal itu. Dia benar-benar tampak seperti seseorang yang tidak mengharapkan imbalan atas perbuatannya.
Mungkin sejak saat itu, aku mulai tertarik padanya.
Ketika kami kembali bertemu dan aku melihat matanya, aku semakin yakin—dia benar-benar tidak melihatku seperti laki-laki lain yang pernah mendekatiku. Tidak ada tatapan penuh maksud tersembunyi, tidak ada perasaan tertekan seperti yang biasa kurasakan dari mereka yang mengaku menyukaiku.
Mungkin karena itulah, tanpa sadar aku mulai ingin mengenalnya lebih jauh.
Awalnya, aku hanya ingin menanyakan apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan sebagai bentuk terima kasih. Tapi sebelum aku menyadarinya, aku malah mengajaknya makan siang bersama.
Aku menepuk bangku di sampingku, mengisyaratkan agar dia duduk di sana. Saat itu, mungkin aku sudah mulai berharap bisa lebih dekat dengannya.



Post a Comment