NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 2 Chapter 4

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 4

Tidak Masalah Meskipun Persetujuannya Datang Belakangan


Bulan Juli pun dengan cepat memasuki penghujungnya, dan liburan musim panas yang dinanti-nantikan semua orang akhirnya akan segera tiba. Rintangan terbesar yang menghalangi liburan musim panas, yakni ujian akhir semester, berhasil dilewati, lalu tibalah hari upacara penutupan. Liburan tinggal selangkah lagi, semua orang pun merasa gembira.


Ngomong-ngomong, saat ujian akhir semester kali ini aku tidak melakukan taruhan dengan Mikami-san, melainkan menghadapinya secara wajar. Aku hanya menilai bahwa menantang Mikami-san—yang setiap kali ada taruhan entah mengapa mengaktifkan semacam “doping diri” misterius—adalah tindakan nekat.


Tanpa doping sekalipun, Mikami-san tetap berprestasi, kembali meraih peringkat pertama di seluruh angkatan. Yah, bukan untuk menyombongkan diri, tapi aku punya keyakinan bahwa akulah orang yang paling dekat menyaksikan usaha keras Mikami-san.


Karena berbeda kelas, aku tidak tahu bagaimana sikapnya saat pelajaran berlangsung, tapi yang bisa kubayangkan hanyalah dirinya yang selalu serius. Memang, itulah Mikami-san—disingkat jadi “Sasumika.”


Selain ujian, rintangan terbesar lainnya tentu saja pidato panjang membosankan kepala sekolah di upacara penutupan. Semua murid dikumpulkan di aula, suasana serasa pemandian uap, tapi entah kenapa beliau tidak juga menyudahi ceramahnya. Seakan-akan ia berniat menimbulkan korban sebelum liburan dimulai.


Saking panjangnya, aku sampai berpikir beliau punya target menjatuhkan sejumlah murid. Untung saja wakil kepala sekolah turun tangan dan menyeret kepala sekolah turun dari panggung. Saat itu juga aula meledak dengan tepuk tangan dan sorak sorai para murid.

Lewat upacara penuh perjuangan itu, semester pertama akhirnya berakhir dengan selamat.


Hari itu aku pulang sendirian, hal yang jarang terjadi. Sambil menata setumpuk pekerjaan rumah liburan, aku mulai membuat rencana bagaimana menyelesaikannya. Aku tidak pernah menyimpan pekerjaan rumah hingga akhir liburan. Hal-hal merepotkan lebih baik segera dibereskan.


“Baiklah… sebaiknya aku mandi dulu sebelum Mikami-san datang.”


Mikami-san… sekarang sedang apa, ya?


Dia sering meluangkan waktu bersamaku, tapi aku yakin dia juga punya banyak teman. Mungkin sedang ditanya tentang rencana liburan atau sudah diajak ke sana-sini. Tentu saja Mikami-san punya lingkaran pergaulan sendiri. Aku tidak dalam posisi untuk ikut campur, tapi membayangkan bahwa saat ini pun mungkin ada seseorang yang mendekatinya membuatku agak merasa rumit.


Pikiran cemburu yang kekanak-kanakan itu sebaiknya kualirkan bersama keringatku. Bagaimanapun, setelah Mikami-san datang, kesempatan untuk mandi dengan tenang hampir mustahil, jadi lebih baik aku manfaatkan saat ini.



“Fiuuuh, segar sekali.”


“Enak saja, mandi sendirian itu curang. Kenapa tidak menungguku?”


“…Misalnya pun aku menunggu, kita tidak akan mandi bersama.”

“Kita pernah janji kan, Kirishima-san akan mencuci rambut dan tubuhku?”


“Tidak pernah janji begitu. Jangan bikin-bikin ingatan palsu.”


Begitu selesai mandi, entah sejak kapan Mikami-san sudah duduk di sofa sambil memeluk lutut dengan wajah cemberut.


Aku tidak punya kewajiban menunggunya untuk mandi, apalagi aku tidak pernah berjanji akan mencucikan tubuhnya. Rambut saja belum pernah, tubuh apalagi. Jadi berhentilah menciptakan kenangan fiktif.


“Tapi serius… kau lebih cepat datang dari yang kuduga. Jadwal liburanmu sudah penuh?”


“Aku sengaja mengosongkannya, karena akan kuisi dengan jadwal bersama Kirishima-san.”


“Eh, apa kau yakin begitu baik-baik saja dengan pertemananmu?”


“Tidak semua pertemanan harus diisi dengan pergi bermain, kan?”


Benar-benar khas Mikami-san. Sikapnya yang teguh pada pendirian-nya itu juga… ya, Sasumika sekali.


“Ngomong-ngomong… koper besar sekali itu apa? Mau liburan ke suatu tempat?”


“Ya. Kupikir akan menyenangkan kalau kita pergi liburan ke pemandian air panas.”


“Itu baru aku dengar sekarang.”


“Ya jelas, baru saja kukatakan.”


Awalnya aku sengaja tidak menyinggung koper raksasa yang mencolok di sebelah Mikami-san. Tapi akhirnya aku tak tahan juga untuk bertanya. Lalu jawabannya malah tentang liburan ke pemandian air panas. Bukankah biasanya hal besar seperti itu perlu dibicarakan terlebih dahulu? Tapi kalau Mikami-san, ya wajar saja. Pasti, entah bagaimana, pada akhirnya akan benar-benar terjadi. Meski begitu… barang bawaannya terasa terlalu banyak.


“Jadi sebenarnya itu apa?”


“Perlengkapan menginap.”


“Eh… banyak sekali. Mau menginap berapa lama?”


“Untuk sementara aku pikir tiga tahun.”


“…Itu bercanda, kan?”


“Tidak, aku sangat serius. Memang aku masih banyak kekurangan, tapi mohon bimbingannya.”


Mikami-san membungkuk anggun, membuatku bingung. Jangan-jangan dia benar-benar serius?


“Kutanya lagi, ini sungguhan?”


“Sungguh.”


“Eh… apa-apaan ini?”


“Sebetulnya, orang tuaku sudah berangkat ke luar negeri. Jadi aku ditinggal sendirian, dan karena merasa sangat kesepian, aku memutuskan untuk tinggal di rumah Kirishima-san.”


“Itu semua kau ucapkan dalam bentuk lampau.”

Fakta besar bahwa orang tua Mikami-san pergi ke luar negeri ia ucapkan dengan kata lampau, dan keputusannya untuk menetap di rumahku juga dengan kata lampau. Terlalu banyak hal aneh hingga aku tak tahu harus mulai dari mana.


“Singkatnya begini, aku akhirnya harus tinggal sendiri. Jadi aku memutuskan untuk menetap di rumah Kirishima-san.”


“Terima kasih atas pernyataan tekadmu. Jadi… aku paham, tapi sekaligus tidak paham.”


Aku mengerti apa yang dia maksud, tapi terlalu mendadak sampai sulit dicerna.


Baiklah, mari kupilah satu-satu. Orang tua Mikami-san ke luar negeri. Karena itu ia harus mulai hidup sendiri. Sampai di sini jelas. Lalu, ia akan tinggal di rumahku selama tiga tahun—artinya menetap. Apa itu sudah mutlak?


“Kirishima-san menolak kalau aku tinggal di sini?”


“Eh… aku tidak menolak. Lagipula menolak pun percuma, kan?”


“Betul sekali. Aku akan tinggal di sini bagaimanapun juga.”


Bagaimanapun, kalau Mikami-san sudah mengatakannya, tidak akan bisa dihentikan. Kalau pun aku menolak untuk ditinggali, karena aku sudah memberikan kunci cadangan padanya, secara praktis ia bisa menginap tanpa batas kapan saja.


Karena itu, aku tidak menentang atau menolak, tapi… setidaknya aku ingin diberi tahu sebelumnya. Tidak perlu sampai datang tiba-tiba dengan gaya seperti “kejutan tinggal bersama tanpa izin” begini.


“Yah, bagaimanapun, jelaskan dulu keadaannya. Kalau tidak, aku tidak 

bisa mengizinkanmu menginap.”


“Tidak usah dipikirkan.”


“Meskipun kau tidak memedulikannya, aku tetap peduli, Mikami-san.”


“...Baiklah, kalau begitu. Tapi sedikit saja, ya?”


“Kenapa kau seolah-olah yang sedang berkompromi? Padahal ini urusanku, tahu?”


Pokoknya, tanpa penjelasan yang jelas, semuanya tidak akan bisa dimulai. Musim panas yang kacau akibat paksaan Mikami-san untuk tinggal bersama… rasanya sejak awal sudah penuh tanda tanya.



Memang pernyataan untuk tinggal bersama itu mendadak, tapi ternyata tidak mendapat perlawanan yang berarti. Sepertinya ia sudah menerimanya, meski wajah Kirishima-san terlihat sangat bingung. Ia terus-menerus meminta penjelasan.


Bagiku, proses sampai ke titik ini sebenarnya tidak begitu penting. Yang penting hanyalah aku sudah memutuskan untuk tinggal di rumah Kirishima-san… yah, kira-kira selama tiga tahun. Itu berarti sekitar seribu seratus malam, seribu seratus satu hari menginap (dengan kemungkinan perpanjangan). Tapi… tolong, jangan tatap aku dengan sorot mata yang serius begitu. Itu tidak adil. Aku jadi malu.


Ehem… baiklah. Pertama, alasanku sampai pada keputusan ini. Seperti yang sudah kukatakan pada Kirishima-san, aku akhirnya harus tinggal sendiri.


Ayah—lebih tepatnya, ayahku—sejak dulu sudah ada kemungkinan ditempatkan kerja di luar negeri, dan pada akhirnya keluarga kami membicarakannya dalam sebuah pertemuan.

Pertanyaannya: bila benar ayah harus berangkat, apa yang akan kulakukan? Ikut serta, atau tetap tinggal sendirian di sini? Pilihannya hanya dua.


Ketika sudah pasti ayah akan berangkat ke luar negeri, ibu langsung memutuskan untuk ikut. Alasannya sederhana… sejak masih pacaran, ibu sudah terlalu memanjakan ayah, hingga menjadikannya orang yang tidak bisa apa-apa selain bekerja. Kata ayah sendiri, kalau ditinggalkan ibu, ia yakin akan mati kelaparan dalam seminggu.


Selain itu, keduanya juga sangat saling mencintai. Aku tahu mereka sangat menyayangiku, tapi pada saat keputusan besar seperti ini, yang muncul pertama adalah keinginan untuk tidak berpisah barang sedetik pun. Di depan anak sendiri pun mereka masih suka bermesraan, jadi hasilnya memang sudah bisa diduga.


Keputusan ibu pun sangat cepat. Bagi ibu yang entah kenapa begitu serba bisa, menemani ayah ke luar negeri mungkin terasa seperti jalan-jalan ke luar negeri saja. Meski suasana hidup akan berubah total, ia hanya melihat sisi positifnya dengan antusias. Karena itu, menurutku biarlah ibu tetap mendukung ayah di luar negeri, sambil terus memanjakannya.


…Eh, agak melantur. Kembali ke topik.


Pilihan yang tersisa untukku sudah jelas. Dan kenyataan bahwa aku ada di sini sekarang adalah buktinya. Aku baru saja masuk SMA, kehidupan baru ini belum lama kutempuh, dan mengubahnya secara drastis terasa berisiko. Tapi… itu hanya alasan formal. Satu-satunya alasan sebenarnya aku ingin tetap tinggal di apartemen ini adalah: ada seseorang yang tidak ingin kutinggalkan.


Ibu sepertinya sudah sedikit menyadarinya. Seperti biasa, mustahil menyembunyikan sesuatu darinya. Yah, wajar juga, karena aku sendiri tidak berusaha menutupinya.

Ibu bahkan sempat meninggalkan “nasihat” yang sama sekali tidak terdengar seperti seorang ibu: “Sebagai perempuan keluarga Mikami, kalau sudah menargetkan seseorang, buat dia tidak berdaya dan biarkan jatuh padamu.” Aku… akan berusaha keras, kurasa.


Ayah hanya berkata: “Karena kau anak dari ibumu, pasti baik-baik saja.” Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi ujung-ujungnya pasti hanya jadi ajang pamer kemesraan, jadi kurelakan. Tapi, karena ayah pun sudah mengakui, aku akan percaya diri.


Akhirnya, hasil pembicaraan keluarga itu diputuskan: ayah dan ibu ke luar negeri, dan aku tinggal di sini.


Sebagai syarat minimum, aku harus bisa menyeimbangkan pelajaran dan kehidupan sehari-hari. Tapi aku yakin tidak akan ada masalah. Selain itu, ada juga kewajiban memberi laporan rutin, serta sesekali dicek oleh kerabat sebagai bentuk pengawasan. Tapi pada dasarnya mereka percaya dan menyerahkan semuanya padaku.


Nah, dengan begitu, dimulailah kehidupanku sendirian di apartemen ini. Dan kalau sudah begitu, ada satu hal yang harus dilakukan: membawa barang-barang dan langsung menetap.


Sebenarnya aku ingin lebih cepat memulai “arc menginap tanpa batas”, tapi ada banyak persiapan, ditambah ujian, jadi baru bisa kulaksanakan saat liburan musim panas. Lagipula, aku sudah sering berlama-lama di rumah Kirishima-san. Aku juga sudah diberi kunci cadangan, bebas keluar-masuk pagi maupun malam. Maka dari itu, kurasa akan lebih baik kalau sekalian saja tinggal menetap. Itu semacam “wahyu” yang kuterima.


Dasarnya, aku akan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah Kirishima-san, sementara rumahku sendiri akan kuurus secara berkala—dibersihkan dan dijaga. Itu tetap rumah bagi orang tuaku. 


Entah bagaimana ayah, tapi ibu bilang sesekali akan pulang untuk melihat keadaan, jadi rumah itu harus tetap terjaga.


Syukurlah, tidak ada masalah keuangan. Selain itu, rumah keluarga Mikami ini katanya bebas kupakai sesuka hati, jadi mungkin sekali-kali bisa kupakai untuk membawa Kirishima-san juga.


Ya, itu ide bagus. Mari lakukan begitu.


“Jadi, begitulah… kalau disingkat, penjelasannya seperti itu.”


Sambil berada dalam pelukan Kirishima-san, aku merangkum ceritaku, lalu kembali menunggu keputusannya. Kalau setelah mendengar penjelasan ini dia memutuskan bahwa aku tidak boleh menginap, ya mau bagaimana lagi. Kirishima-san punya kehidupannya sendiri. Tapi kalau bisa, aku tetap ingin memaksakan kehadiranku, lalu perlahan menciptakan fondasi untuk memanjakannya sampai rusak.


“Begitu ya. Ayahmu harus tugas ke luar negeri, ibumu ikut, dan kau akhirnya tinggal sendiri... Tidak ada penolakan dari mereka?”


“Mereka menghormati keputusanku. Aku memilih untuk tetap tinggal di sini... seperti yang bisa dilihat, aku cukup bisa diandalkan, jadi mereka tidak khawatir soal kemampuan hidupku.”


Selama nilai tetap terjaga, tidak ada masalah. Aku bisa membersih-kan rumah, mencuci, juga memasak sendiri. Semua itu adalah hasil dari pendidikan ibuku.


“Baiklah... aku mengerti alasanmu harus tinggal sendiri. Lalu... orang tuamu tahu soal situasi ini?”


“... Tak usah dipikirkan.”


“Jadi, artinya belum kau katakan. Menurutmu sendiri bagaimana 

dengan rencana ‘menginap jangka panjang tanpa izin’ ini?”


“Hm, begini. Kalau aku bisa tinggal di rumahmu, akan lebih praktis karena tidak perlu bolak-balik.”


“Aku bukan menanyakan itu... tapi ya, meski tidak kubiarkan tinggal, kau bakal tetap datang. Apalagi setelah kuberikan kunci duplikat.”


Sejak aku menerima kunci itu, sembilan puluh persen waktuku kuhabiskan di rumah Kirishima. Kalau aku benar-benar tinggal, jadinya seratus persen. Itu nyaris tak ada bedanya, kan? Jadi, menurutku tidak perlu ditolak.


“Tapi, begini... aku menyewa kamar untuk satu orang. Kalau tiba-tiba ada yang ikut tinggal tanpa izin, bukankah itu melanggar kontrak dan bisa berujung pengusiran?”


“Tak usah dipikirkan.”


“... Justru itu masalah besar.”


“Kalau orang luar yang sama sekali tak ada hubungannya ikut tinggal, memang masalah. Tapi aku toh juga penghuni resmi apartemen ini.”


“Itu kan hanya alasan yang dipaksakan.”


Kirishima-san tampak khawatir kalau kehadiranku dianggap melanggar kontrak sewa. Padahal, kalau dipikir sebagai ‘menginap agak lama antar sesama penghuni’, seharusnya tidak perlu sejauh itu. Tapi sebenarnya aku punya alasan kuat yang bisa membuat Kirishima-san tenang.


“Sungguh, tak usah dipikirkan. Soalnya apartemen ini milik ibuku.”


“... Hah?”

“Jadi, dengan alasan itu, boleh kan aku bilang tak usah dipikirkan?”


“Tunggu dulu.”


TLN : Mikami Soeltan juga woilah


Kupikir dengan ini Kirishima akan tenang dan menerima keberadaanku, tapi ternyata ia malah terlihat makin bingung. Ia bergumam pelan, mencoba merapikan inti dari pembicaraan ini.


“Ehm... sebenarnya aku ingin mendengar lebih detail. Tapi kalau kebanyakan, aku malah tambah bingung. Jadi singkat saja: maksudmu, karena apartemen ini milik orang tuamu, jadi kalau kau tinggal di kamarku tidak akan melanggar kontrak. Benar begitu?”


“Benar sekali.”


Kirishima-san memang bisa menangkap pokoknya. Dengan begitu, kekhawatiran utamanya seharusnya sudah hilang. Sekarang tinggal menunggu jawaban akhirnya...


“... Yah, kalau begitu, tidak apa-apa.”


“Aku sendiri yang membujukmu, tapi apa benar ini baik-baik saja?”


“Lihat saja, kau sudah benar-benar siap dan langsung datang begini. Mau aku cari alasan apa pun, toh kau pasti tetap akan bertahan, kan?”


“Itu betul sekali. Kau benar-benar memahamiku. Hebat sekali.”


“Ya, begitulah.”


Seperti yang kuduga dari Kirishima-san. Ia sangat paham diriku.


“Kalau begitu... senang bekerja sama, ya?”

“Ya. Meski aku masih banyak kekurangan, mohon bimbingannya.”


Aku diterima olehnya. Itu sudah sangat melegakan. Tapi... ketika dipeluk, dielus, lalu dibisikkan kata-kata keren di telingaku, rasanya aku sendiri bisa jadi lemah. Jadi ini semacam pertandingan... siapa yang lebih dulu membuat yang lain menjadi tak berdaya. 


Baiklah, aku terima tantangan itu. Selama liburan musim panas ini... aku akan benar-benar melelehkanmu. Bersiaplah, Kirishima-san.



Awal liburan musim panas dibuka dengan pernyataan tinggal bersama dari Mikami-san. Seharusnya aku menolak mentah-mentah. Kami masih SMA. Masih belum pacaran. Kalau sampai ada hal yang salah, itu berbahaya. 


Ada banyak alasan untuk menolak. Tapi... aku sudah memberikan kunci duplikat padanya. Ia bebas keluar masuk sesuka hati, pagi maupun malam. Kalau pun kutolak untuk tinggal bersama, bedanya hanya apakah dia pulang sebentar atau tidak. Itu saja.


Kalau masih ada keluarga menunggunya di rumah, aku bisa memaksa-nya pulang dengan alasan orang tua khawatir. Tapi sekarang, karena alasan keluarga, Mikami-san hidup sendiri. Singkatnya, aku sudah tidak punya alasan untuk memaksanya pulang.


Selain itu, ada pengakuan mengejutkan: apartemen ini ternyata milik orang tua Mikami-san. Jadi aku juga tidak bisa menggunakan alasan pelanggaran kontrak sewa untuk menolak.


Entah kenapa, mendengar cerita soal keluarganya membuatku paham kenapa Mikami-san sering boros. Mungkin benar dia gadis dari keluarga berada.


(Tapi... berani sekali dia melakukan ini...)


Berbeda dengan acara menginap sebelumnya, kali ini tanpa laporan atau izin orang tua. Itu yang membuatku agak khawatir. Tapi kalau orang tua tidak mengawasi, percuma juga aku bicara. Pada akhirnya, aku hanya bisa pasrah menerima.


Yah, meskipun disebut tinggal bersama, kenyataannya tidak jauh berbeda dengan menginap jangka panjang. Lagi pula, Mikami-san masih punya rumah untuk kembali jika perlu. Jadi setidaknya, dari sisi itu aku bisa merasa sedikit tenang.


Meski begitu── siapa sangka aku akan berakhir tinggal serumah dengan gadis secantik ini. Hidup memang tak bisa ditebak. Mungkin kebetulan, tapi caranya terlalu rapi sampai-sampai aku merasa ada sesuatu yang terencana. Jangan-jangan, Mikami-san sudah memodifikasi rumahku diam-diam agar sesuai dengan seleranya, untuk berjaga-jaga ketika saat tinggal bersama tiba.


“Sejak kapan... kau merencanakan semua ini?”


“Merencanakan? Kedengarannya buruk sekali.”


“Persiapanmu terlalu sempurna. Kau datang hanya dengan satu koper, tapi entah bagaimana semua sudah siap agar kau bisa hidup nyaman di sini. Bukankah kau sudah menyusun rencana dari awal, lalu diam-diam mempersiapkannya sedikit demi sedikit supaya aku tidak sadar?”


“Hehe, kalau aku sudah tahu lebih dulu bahwa aku akan tinggal sendiri, aku tak akan repot-repot melakukannya perlahan. Aku akan menuntaskannya dalam satu gebrakan.”


Menuntaskan dalam satu gebrakan? Itu terdengar menyeramkan. Kita sebenarnya sedang bicara soal apa sih?


Ya sudahlah. Untuk sekarang, yang perlu kupikirkan adalah memastikan Mikami-san punya tempat tidur.


“Aku tanyakan saja: Mikami-san, kau mau tidur di mana? Kalau perlu aku tidur di sofa, biar kau pakai kamar pribadiku.”


“Mau kita buat jadi tebak-tebakan? Kira-kira apa jawaban yang akan kukatakan?”


“... Pasti kau akan bilang ‘tak usah dipikirkan’, kan?”


“Benar sekali. Karena berhasil menebak, Kirishima-san berhak tidur bersamaku.”


Sudah kuduga. Mau kuberikan kamar tidurku sekalipun, toh dia tetap akan memaksa untuk tidur bersamaku. Lagipula, apa-apaan dengan ‘hak untuk tidur bersama’? Bukannya itu justru haknya Mikami-san, bukan hakku. Tanpa izin pun dia pasti sudah menyelinap ke tempat tidurku.


“Yah... aku memang tidak tahu apa saja yang kau bawa dalam kopermu, tapi anehnya, meski tanpa itu pun, semua kebutuhan sudah tersedia di sini.”


“Memang aneh, ya.”


“Kalau begitu, setidaknya tampakkan rasa heranmu.”


“Tak perlu begitu. Kalau aku baru mulai bersiap sekarang, itu akan lebih merepotkan. Justru, Kirishima-san seharusnya memuji dan memanjakan aku karena sudah siap sejak awal.”


Setelah berkata dengan nada datar yang jelas-jelas pura-pura, Mikami-san lalu menggembungkan pipinya dan merajuk dengan manja, seolah menuntut dimanja.

Benar-benar serangan khas Mikami.


“Nanti saja.”


“Nanti itu kapan? Lima detik lagi boleh?”


“Tidak boleh.”


Sikap manjanya memang sangat menggemaskan, sampai aku ingin terus meladeni, tapi aku rasa belum saatnya.


“Oh, itu PR liburan ya. Banyak sekali.”


“Mikami-san juga dapat PR sebanyak itu, kan.”


“Benar. Mari kita selesaikan secara terencana.”


“Lalu Mikami-san mau belajar di mana?”


“Di pangkuan Kirishima-san, tentu saja.”


“... Apa bisa berkonsentrasi begitu?”


“Bisa. Itu tempat tidur paling nyaman.”


Jawabannya penuh percaya diri, tapi jelas-jelas ia hanya berniat tidur. Apa dia mau belajar sambil tidur?


Sepertinya memang lebih baik membiarkannya memakai kamarku. Mikami-san boleh saja bilang ‘tak usah dipikirkan’, tapi tetap saja, punya ruang pribadi itu penting.


“Mikami-san tetap saja harus pakai kamar pribadiku. Kalau tidak punya ruang pribadi sama sekali, akan melelahkan juga, kan.”


“... Begitu ya. Karena Kirishima-san laki-laki, tentu.”


“Hei, hentikan. Memang benar, tapi jangan salah paham.”


“Eh? Aku hanya bilang Kirishima-san itu laki-laki. Kalau kamu menganggapnya salah paham, berarti apa yang sebenarnya ada di pikiranmu?”


Kalau Mikami-san tak punya ruang pribadi, itu berarti aku juga kehilangan ruang pribadiku. Dari sisi itu saja, wajah nakalnya memang menyebalkan, tapi aku tidak bisa membantah.


Aku memang laki-laki, dan jelas ada saat-saat di mana sulit rasanya selalu bersama gadis secantik ini tanpa jeda. Entah ia menyadari atau tidak, tapi aku ingin bilang: jangan meremehkan keinginan seorang remaja laki-laki.


Kupikir ucapanku tadi adalah bentuk perhatian, tapi ternyata malah berbalik menjadi serangan balik. Walau begitu, meski benar, tetap saja menyebalkan. Jadi aku pun memutuskan untuk memberi balasan kecil.


“... Nanti tidak ada manja-manjain, loh.”


“Maaf! Aku akan melakukan apa saja, jadi jangan itu saja...!”


“Ugh.”


Cepat sekali ia minta maaf.


Dengan kecepatan tinggi, ia menunduk dan menabrakkan kepalanya ke dadaku. 


Ya sudah, aku akan memanjakanmu nanti. Tapi hei, jangan asal bicara ‘akan melakukan apa saja’. Itu berbahaya.

Kadang Mikami-san terlalu polos, atau lebih tepatnya terlalu ceroboh.


“Kalau begitu... setelah ini kau ada waktu luang?”


“...? Ya, tidak ada rencana khusus.”


“Kalau begitu, ayo kita belanja.”


“Belanja? Tidak masalah, tapi apa ada sesuatu yang ingin kau beli?”


“Tidak, hanya menambah stok bahan makanan. Aku ingin membuat makan malam yang lebih mewah hari ini.”


“Ada hal baik terjadi, ya?”


“... Siapa tahu.”


Memang, rasanya ada sesuatu yang menyenangkan. Tapi kalau kukatakan, Mikami pasti jadi besar kepala. Jadi lebih baik ku simpan saja.


“Kau tadi bilang akan melakukan apa saja, kan? Kalau begitu, malam ini buatlah masakan yang mewah.”


“Baik. Aku akan mengerahkan semua kemampuan. Akan ku rebut perut Kirishima-san, kugenggam erat, lalu kuperas habis-habisan.”


Menyeramkan, tahu. Lagipula, perutku sudah sejak lama digenggam habis-habisan, jadi tolong jangan tekan lebih kuat lagi.


"Uhm… cukup digenggam saja, boleh?"


"Akan aku perlakukan dengan baik. Jadi, tolong bantu aku membawa belanjaan dan jadi asisten memasak, ya."


"Kalau soal bawa belanjaan sih oke, tapi urusan masak… aku masih belum bisa diandalkan."


"Cukup peluk aku dari belakang saja, itu sudah cukup."


"Itu asisten masak? Lagi masak kan, bahaya itu."


"Fufu, tak usah khawatir."


"Harus khawatir. Bahaya, jadi aku nggak bakal lakukan itu."


Awalnya aku hanya ingin merayakan sedikit untuk menandai awal liburan musim panas ini, tapi usulan berbahaya yang dilontarkan Mikami-san membuatku agak deg-degan.


Ya, memang khas Mikami-san sih. Dan aku yang begitu saja menerima sikapnya itu, rasanya sadar kalau aku sudah cukup banyak teracuni akhir-akhir ini.



Di antara suara pensil mekanik yang menggores kertas, terdengar juga bunyi ketukan teratur di meja. Duduk di hadapanku adalah Mikami Hina, yang mulai tinggal serumah denganku sejak kemarin. Kalau harus menggambarkan keadaannya sekarang… bisa dibilang agak kesal. Ia mengembungkan pipinya dengan wajah masam. 


Saat kutempelkan ujung belakang pensil mekanik ke pipinya, terdengar suara imut seperti udara yang keluar, "psuu." Mikami-san tampak terkejut, bergantian menatap lenganku yang terjulur dan pensil di dekat mulutnya sambil berkedip cepat.


"Mau istirahat sebentar?"


Sekarang kami sedang mengerjakan PR liburan musim panas. Sudah sekitar dua jam sejak kami membentangkan PR di meja dan mulai 

mengerjakannya masing-masing. 


Awalnya konsentrasi terjaga dengan baik, tapi setelah lewat satu jam, fokus Mikami-san mulai buyar. Pensilnya tidak lagi meluncur di atas kertas, malah beralih jadi stik drum untuk mengetuk meja mengikuti irama, hingga jadilah begini.


Kalau aku sih bisa saja lanjut mengerjakan PR sambil melihat Mikami-san mengetuk meja begitu. Tapi waktu yang terbuang tanpa konsentrasi sama saja sia-sia.


Ya, seperti di kelas biasa, ada jam istirahat tiap sekitar satu jam untuk menjaga fokus. Jadi sekarang sudah waktunya juga kami istirahat sebentar.


"Mau makan cokelat?"


"Aaah."


Aku menyiapkan dua cangkir kopi, lalu mengobrak-abrik kulkas dan menemukan cokelat kemasan kecil.


Kuambil beberapa, lalu kutawarkan pada Mikami-san. Tapi bukannya menerima dengan tangan, ia malah membuka mulutnya, menunggu. Dengan hati-hati kusuapkan agar jariku tidak ikut tergigit, lalu cepat-cepat kutarik tanganku. Pasti dia sengaja tadi. Aku sudah tahu serangan "jilat jari" Mikami-san, jadi harus waspada.


"Mm."


Dengan wajah kurang puas, ia mengunyah cokelat, menelannya, lalu membuka mulut lagi. Entah minta tambah, atau malah menganggap jariku sebagai camilan. Kubuka bungkus cokelat lagi, kupegang dengan jari, dan kudekatkan ke mulutnya. Seperti ikan yang melihat kail tepat di depannya, ia langsung menyambar.

Ikan yang kudapat kali ini besar sekali… tapi hei, jangan gigit jariku.


Akhirnya, sampai Mikami-san puas, jariku digigit-gigit juga. Membayangkan harus menulis dengan pensil pakai jari yang lembek begini agak bikin malas.


Ya, semoga setelah istirahat sedikit, jarinya bisa kembali normal.

Sambil menunggu jari-jari ini pulih dan meneguk kopi, Mikami-san dengan wajah serius bertanya:


"Kirishima-san, menurutmu liburan musim panas itu apa?"


"Apa-apaan itu, pertanyaan sulit begitu?"


"Hanya pertanyaan sederhana. Namanya liburan musim panas, harusnya libur panjang. Tapi tugasnya sebanyak ini, rasanya aneh. Tidak ada niat untuk benar-benar meliburkan. Ini penipuan."


"…Jadi itu yang bikin kamu kesal tadi?"


"Aku tidak marah. Hanya saja, melihat PR yang tidak habis-habis meskipun sudah dikerjakan, rasanya aneh sekali."


Yah, aku bisa paham sih. Banyak siswa pasti berpikir, kalau liburan ya harusnya betul-betul liburan tanpa PR.


Dengan panas terik begini, berhadapan dengan setumpuk tugas bisa bikin mental drop. Tapi bilang "tak habis-habis" itu agak berlebihan. Mikami-san kan dasarnya pintar. Dia juga tak punya kelemahan berarti dalam belajar. Dalam satu jam pertama tadi, saat masih fokus, dia sudah mengerjakan dengan kecepatan bagus.


Liburan musim panas itu sekitar empat puluh hari. Kalau dilihat menumpuk dari awal, PR empat puluh hari jelas terasa tak berkurang meski sudah dikerjakan. Tapi kenyataannya, dia mengurangi dengan kecepatan di atas rata-rata. Malah, rasanya dalam dua jam ini, Mikami-san yang sempat jadi "drummer" masih lebih banyak menyelesaikan daripada aku. Namun, wajah Mikami-san tetap masam, penuh keluhan, dan jelas kehilangan fokus.


"Haa, aku jadi malas. Andai saja ada Kirishima-san yang memberi hadiah tiap aku berusaha, entah muncul dari mana begitu, pasti semangatku balik lagi."


"Apa itu maksudnya minta sesuatu?"


"Aduh, jangan salah paham. Aku cuma berharap ada, lalu mencarinya. Itu saja."


"Tapi kok tatapanmu kayaknya ke arah aku?"


"Itu cuma perasaanmu. Tak usah khawatir."


Kalau sudah menatap tepat ke arahku begitu, mana bisa dibilang cuma kebetulan. Tapi ya… hadiah, huh. Memang itu cara paling efektif untuk memotivasi Mikami-san. Meski begitu, kalau kebanyakan memanjakan dia juga bisa runyam, karena rasa manjanya tanpa batas.


Tetap saja… aku tidak tahan dengan mata bulat beningnya itu. Ada tekad kuat terpancar, jelas kalau dia tidak akan berhenti merengek sampai hadiah diberi.


"Mau apa?"


"Kalau begitu… tolong kasih bantal paha."


"Ya nggak masalah sih…tapi apa ada yang butuh bantal paha laki-laki?"


"Ada, kok. Kalau ada sistem perpanjangan, untuk awal aku akan langsung top up ke Goeiichi-san."

"Jangan top up. Ya sudah, pokoknya begitu saja. Jadi, kerjakan PR-mu baik-baik, ya."


"Termasuk layanan bonus dielus-elus juga, kan?"


"Baiklah, baiklah. Sudah, ayo. Waktu istirahatnya selesai. Semangat."


Setelah isi hadiah sudah ditentukan, saatnya beralih dan berusaha keras. Kalau bisa menyelesaikan PR di awal liburan musim panas, surga menanti di depannya.


Hei, jangan begitu. Aku mengerti kamu masih ingin istirahat, tapi jangan tarik-tarik lengan bajuku dan mencoba menyeretku ke sofa.


"Hmm, sebentar lagi saja."


"'Sebentar' versi Mikami-san itu lama, jadi aku tidak mau."


"Aku kekurangan energi. Kalau tidak mengisi daya Kirishimanium, kepalaku tidak bisa bekerja."


"Aku tidak tahu zat misterius macam apa itu."


"Hmm, kalau begitu aku isi sendiri!"


Mikami-san yang sadar tidak bisa menyeretku ke sofa, akhirnya menyerah dan berlari keluar ruang tamu entah ke mana. Aku merasa mendengar suara keras bosun dari kejauhan… sebenarnya apa yang dia lakukan?


Saat aku pergi melihat keadaannya… ternyata Mikami-san menelungkup di atas ranjang di kamarku.


Yah, aku sudah tidak mau berkomentar lagi soal dia yang selalu ada di sana, tapi entah kenapa tetap terasa memalukan.

Hanya saja, lebih dari itu, melihat dia bernapas dalam-dalam dengan wajah tanpa ekspresi malah terasa menyeramkan. Jangan-jangan aku sedang mengintip sesuatu yang tidak seharusnya kulihat…?


"…Haa, aku sudah tenang."


"Benarkah? Rasanya matamu justru terlihat melotot agak berlebihan, deh…"


"Ini legal, jadi tidak masalah. Selanjutnya tolong langsung berikan secara oral, ya."


"…Akan kupikirkan."


Hanya dengan rebahan di ranjang, Mikami-san bisa membuat orang merasa ngeri seperti ini… aku rasa itu malah semacam bakat. 


Meskipun dia tampak sangat bersemangat kembali, aku jadi sedikit khawatir apakah dia tidak akan menunjukkan gejala kecanduan.



"…Karena pertama kali, aku jadi gugup."


"Aku juga. Tolong bersikap lembut, ya?"


"Akan kuusahakan. Kalau sakit, bilang saja."


"Baik…."


"Kalau begitu… aku masukkan, ya."


Bisikan lembut itu membuat punggungku merinding, dan aku bisa merasakan dada ini berdebar karena rasa harap. 


Aku memejamkan mata, menghembuskan napas yang mulai tak beraturan, lalu Kirishima-san menyelipkan batang kerasnya ke dalam lubangku.


"Ah…n."


"Tidak apa-apa?"


"Ti-tidak apa-apa…"


Baru sebagian kecil yang masuk. Namun, tanpa sadar suara aneh keluar dari mulutku. Mungkin karena memikirkan aku, Kirishima-san tidak bergerak lebih jauh dan hanya mengamati reaksiku.


Dalam waktu itu aku menenangkan diri, mengatur napas, dan berusaha membiasakan diri dengan benda asing yang mulai memasuki tubuhku.


"Haa… haa… sudah boleh digerakkan."


"Aku ulangi lagi, kalau sakit, bilang, ya."


"Tidak… a-apa…."


"…Baiklah. Kalau begitu, aku mulai gerakkan."


"Nn… ah…"


Dengan perlahan, dia menggerakkannya seakan menyusuri tiap sudut bagian dalamku, membuat suaraku lolos begitu saja meski aku berusaha menahannya.


Dia seperti mencari titik yang membuatku nyaman, mengaduk-aduk dengan gerakan yang lengket dan gigih, keluar masuk berulang kali, menyiksaku dengan kejam namun manis.


"Ah… di sini enak, kan?"


"A-ah… iya, di situ…"


"Jangan terburu-buru. Aku akan benar-benar membuatmu merasa enak."


Cepat… cepatlah.


Seakan bisa membaca rasa tidak sabarku, Kirishima-san tetap tenang dengan ritme yang konstan. Menyiksa. Tapi nikmat. Dibiarkan tergantung, ditahan-tahan, sampai rasanya kepalaku bisa gila karenanya. Namun dia justru terus menghindari titik itu, hanya menyisir di sekelilingnya… ah, benar-benar menyebalkan.


"Ah… hya… ahh."


Dan saat titik itu yang sudah sangat sensitif akhirnya tersentuh tanpa terduga, lalu ditekan-tekan kuat, rasa nikmat yang jauh lebih besar berlari melalui punggungku.


Kepalaku jadi kosong, penglihatanku berkunang-kunang, tubuhku melayang dalam sensasi nikmat yang menumpuk. Sebelum rasa itu sempat reda, dia terus melakukannya, keluar masuk, menggoreskan nikmat baru berulang kali, membuatnya terus berlanjut tanpa henti.


Aku hanya bisa menahan diri dengan mata terpejam rapat, tubuh menegang, gemetar tak berdaya, sampai semuanya mereda dengan sendirinya.


"Haa… haa…"


"Enak, kan?"


"Jangan… jangan tanyakan itu… memalukan…"

Padahal rasa nikmatnya masih tersisa, tapi mendengar suara lembut itu di telingaku, aku jadi teringat lagi pada sensasi sebelumnya.


Selain itu… dari reaksiku saja dia pasti sudah tahu. Tapi dia masih memaksaku untuk mengatakannya sendiri… sungguh licik.


"Kalau begitu, kupikir kamu sudah mulai terbiasa… sekarang aku akan masukkan sampai dalam."


"Sampai… dalam…?"


Be-benar. Aku sampai lupa karena terlalu larut dalam kenikmatan, padahal tadi baru digerakkan sebatas bagian dangkal di dekat pintu masuk saja…


Padahal keadaanku sudah seperti ini, kalau sampai masuk ke bagian terdalam… apa yang akan terjadi padaku?


Hanya membayangkannya saja membuat tubuhku bergetar dan napasku semakin berat. Menakutkan, tapi aku justru menantikannya. Aku menginginkannya, sampai dada ini terasa nyeri menunggu.


"Aku mulai, ya."


"Ah… ah… nngh…."


Bagian dangkal di sekitar pintu masuk yang selama ini hanya digesek perlahan kini dilewati, menelusuri dinding bagian dalam dan menyentuh titik-titik nikmat, lalu terus, terus, semakin dalam menembusku.


"Sudah masuk cukup dalam juga. Tidak apa-apa? Tidak sakit, kan?"


"Haa… haa… tida…k… apa-apa…"


Karena Kirishima-san melakukannya dengan penuh perhatian dan kelembutan, tidak ada rasa sakit sama sekali, hanya kenikmatan yang semakin bertambah. Namun, ini baru sekadar dimasukkan sampai dalam. Jika mulai digerakkan… hanya membayangkannya saja membuatku hampir gila.


"Boleh aku mulai menggerakkannya?"


Kirishima-san, yang begitu lembut, menanyakan persetujuanku. Artinya, tanpa kata dariku, dia tidak akan bergerak. Tapi… sekali aku memberi lampu hijau, itu akan menjadi pertanda—awal dari penaklukan yang tak terelakkan.


Aku takut. Namun, rasa harap di dadaku mengembang begitu besar hingga hampir meledak. Aku tahu, aku hanya akan bisa mengeluarkan suara memalukan lagi nanti… tapi jawabanku sudah pasti.


"…Iya."


Aku mengatakannya. Sudah terlanjur kuucapkan. 


Sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah bersiap menerima gelombang kenikmatan yang akan segera datang. Namun, seolah menertawakan tekadku, tubuhku kembali… dipaksa meluruhkan suara.


Perlahan, bagian dalam tubuhku digores, diusap sepanjang jalurnya. Dengan gesekan kasar pada dinding, ditarik keluar, lalu dimasukkan kembali.


"Nn… ah… haan…"


Karena dimasukkan sampai dalam, sisa rasa nikmat saat ditarik keluar menjadi lebih panjang… dan sebelum itu sempat reda, ia kembali menyentuh bagian terdalam, membuat sensasi menumpuk dan menyambar kepalaku layaknya aliran listrik.

"Hya… ah… nngh…"


Digesek seperti sedang mencungkil sepanjang dinding dalam, suaraku yang meninggi tidak bisa lagi kutahan.


Meski aku sudah begitu kacau, Kirishima-san tetap tampak tenang, seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan sesekali berkata dengan nada menggoda sambil menikmati reaksiku… mana mungkin aku bisa tahan lama dengan ini.


"Ah… ah… aah… Ki…ri…shi…ma-san…"


"Sedikit lagi."


"A-aku… sudah… tidak sanggup…"


"…Kamu sudah berusaha keras."


Mungkin suaraku yang memohon sudah sampai kepadanya, karena Kirishima-san berhenti menyiksa bagian dalamku. Ia perlahan menarik benda keras itu keluar.


Sesaat kemudian, suara lembutnya berbisik di telingaku, diiringi belaian penuh kasih, membuat hangat dan nyaman menyebar di seluruh tubuhku. Dan ketika aku sudah benar-benar lemas, larut dalam sensasi, wajah Kirishima-san mendekat ke telingaku. Aku sudah bersiap menerima bisikan nakal yang akan mempermalukanku lagi. Dugaanku… tidak sepenuhnya salah.


"Ini tahap akhir."


"Hyaaah…!?"


"Baiklah, sekarang giliran sisi satunya."


Kirishima-san meniup lembut telingaku… lalu dengan kalimat dingin yang membekukanku, ia mulai mempermainkan telingaku dengan penuh kelembutan.


"Suaramu banyak sekali tadi… tapi, sungguh tidak sakit?"


"…Itu luar biasa nikmat."


Bersandar lemah dengan kepala di pangkuan Kirishima-san, aku membiarkan telingaku dielus lembut sambil larut dalam sisa kenikmatan.


Akhirnya, telingaku yang sebelah lagi juga digoda habis-habisan, dan aku hanya bisa menyerahkan tubuh dan hati ini pada gelombang kenikmatan, mengikuti setiap perlakuan Kirishima-san.


Sebagai hadiah karena sudah rajin mengerjakan PR hari ini, aku mendapat pangkuan Kirishima-san. Tidak hanya itu, aku juga diberi tambahan opsional berupa elusan dan pembersihan telinga, membuat waktu ini benar-benar menjadi surga bagiku.


"Aku baru pertama kali melakukannya pada orang lain, jadi agak khawatir akan menyakitkan… tapi syukurlah ternyata berhasil dengan baik."


"Benarkah ini pertama kali? Rasanya terlalu nikmat sampai aku hampir melayang ke langit."


"Karena kamu banyak bersuara, jadi aku bisa tahu bagian mana yang membuatmu nyaman. Itu sangat membantuku."


"Uuh… jangan terlalu banyak mengatakannya, aku malu…"


Dielus dan dimainkan di telinga oleh Kirishima-san terasa begitu nikmat… sampai aku benar-benar tidak bisa menahan suaraku keluar.


Sungguh terasa meragukan kalau itu benar-benar pertama kalinya baginya, karena begitu mahir… aku sampai benar-benar terpikat.


Memang sudah kuduga kalau jari-jari Kirishima-san yang cekatan pasti akan terampil, tapi… sensasi yang kurasakan bukanlah sekadar "nikmat" yang ringan. Itu sudah seperti kekerasan dalam bentuk kenikmatan. Tidak mungkin ada yang sanggup menahannya.


"…Bolehkah aku memintanya lagi nanti?"


"Begitu sukakah kamu?"


"Setelah dibuat merasa senikmat ini… tidak mungkin aku tidak ketagihan."


Bahkan sekarang pun, Kirishima-san masih menempelkan jarinya di telingaku, memainkannya dengan gerakan lembut dan menggeliat. Hanya dengan itu saja, sensasi sisa dari sentuhan sebelumnya hidup kembali, membuat tubuhku panas. Aku sudah benar-benar… terhanyut.


"Tolong buat aku merasa nikmat lagi dengan jari itu."


"Pilih kata-katamu."


"Tolong sakiti aku lagi dengan manis seperti tadi."


"…Baiklah, kalau itu yang kamu mau."


Setelah merasakan itu sekali saja, aku sudah tidak bisa kembali seperti semula. Tubuhku sudah diracuni oleh kenikmatan, dan Kirishima-san harus bertanggung jawab… atas perubahan diriku yang seperti ini…!


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close