Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 4
Menunggu di Pagi Hari
"Fuwaa... ngantuk."
Sambil menguap, aku berjalan dengan langkah lesu.
Hari Senin, hari yang dibenci oleh para pelajar dan pekerja, telah tiba.
Memang menyebalkan. Akhir pekan yang menenangkan telah berakhir, dan kini saatnya kembali tenggelam dalam tugas sekolah dan pekerjaan. Tidak heran jika suasana hati jadi muram.
Baru saja memulai kehidupan SMA, rasanya aneh punya pikiran seperti ini. Tapi jujur saja, awal minggu memang terasa berat. Aku ingin percaya bahwa hanya sedikit orang yang pergi ke sekolah dengan penuh semangat...
Aku menghela napas dan mampir ke minimarket di perjalanan. Sudah jadi kebiasaanku untuk membeli makanan untuk hari ini. Berkat kebiasaan ini, aku masih bisa berjuang melewati Senin pagi yang suram. Memilih makanan itu menyenangkan, dan roti yang kupilih akan menjadi sumber energiku. Karena itu, aku harus memilih dengan hati-hati. Jika sampai salah pilih, bisa-bisa motivasiku untuk hari ini ikut terpengaruh.
Begitu pintu otomatis terbuka, seorang pegawai toko menyambut dengan malas, menyadari ada pelanggan yang datang. Pekerja keras sejak pagi, ya... Aku benar-benar salut.
Setelah melewati kasir yang terlihat masih mengantuk, aku belok ke kanan, tempat rak-rak roti berjajar rapi.
Tapi—begitu aku melangkah masuk, tubuhku langsung membeku. Di sana, Mikami Hina sedang berdiri, membandingkan roti di tangannya dengan gerakan yang menggemaskan.
Saat dia menyadari keberadaanku, dia meletakkan rotinya dan menoleh ke arahku.
"Selamat pagi, Kirishima-san."
"Ah... pagi. Kenapa kamu ada di sini?"
"Aku menunggumu di sini karena kupikir kau akan datang."
Jujur saja, aku kaget saat tiba-tiba melihat Mikami-san di tempat ini.
Memang sih, kemarin kami berjanji untuk bertemu lagi. Tapi kupikir itu akan terjadi di sekolah, jadi aku benar-benar tidak menyangka ini. Tapi... bagaimana dia bisa tahu? Aku memang pernah menyebut sekilas bahwa aku biasa membeli makan siang di minimarket saat berangkat sekolah... Ah, jadi itu alasannya.
Sejak kami tahu bahwa kami tinggal di apartemen yang sama, dia pasti bisa menebak rute sekolahku. Tapi tetap saja...
"Di dekat sini ada satu minimarket lagi, kan? Kalau aku pergi ke sana, bagaimana?"
"......Itu tidak terpikirkan olehku."
"Yah, kebetulan hari ini aku memang berniat ke sini, jadi tidak masalah."
"Sekali lagi... aku tertolong oleh kebiasaan spontan Kirishima-san, ya."
Tadi Mikami-san sempat menunjukkan ekspresi bangga sambil membusungkan dada, tapi sekarang dia terlihat sedikit murung. Melihat perubahan ekspresinya dari sikap cool menjadi lebih ekspresif, rasanya menggemaskan. Pagi-pagi begini, aku hampir silau karena aura kecantikannya.
"Umm... kita kan sudah bertukar kontak. Kenapa tidak bertanya saja?"
"Ah... benar juga. Mulai sekarang, aku akan bertanya dulu."
Mikami-san adalah orang pertama yang kutukar kontaknya sejak masuk SMA.
Meski kadang aku hanya iseng mengirim stiker saat bosan, seharusnya kontak itu dipakai untuk hal yang lebih berguna, seperti bertanya tentang rencana.
"Oke. Jadi, jangan terlalu lama menyesalinya... Sekarang, kira-kira aku mau pilih roti apa, ya?"
"Roti mana yang kamu rekomendasikan?"
"Eh, kenapa?"
"Hari ini aku ingin mencoba membeli roti juga. Aku sering melihatmu makan roti dengan lahap, jadi aku jadi penasaran."
Oh, ini hal yang luar biasa.
Biasanya Mikami-san selalu membawa bekal sendiri, tapi sekarang dia tertarik dengan roti minimarket gara-gara aku. Aku harus memastikan dia mendapatkan pengalaman terbaik.
"Mau yang manis atau asin? Atau mungkin roti tawar?"
"Bukan roti tawar. Aku ingin mencoba yang biasa kamu makan."
Roti tawar yang diam-diam kumasukkan ke pilihan langsung ditolak. Tapi kalau dia ingin makan yang sama denganku, berarti pilihannya sudah jelas.
"Kalau begitu, roti isi, ya... Hmm, pilihan yang sulit."
"Kamu selalu secermat ini memilih roti?"
"Biasanya sih enggak. Tapi kalau ini buatmu, aku harus lebih serius memilihnya."
"Eh... umm, kalau terlalu lama, kita bisa terlambat. Jadi jangan terlalu dipikirkan."
Mikami-san mulai gelisah, melihatku dan jam dinding bergantian. Karena dia menungguku, otomatis dia juga jadi lebih lama di sini. Dan sekarang kami hampir terlambat.
Aku masih ingin mempertimbangkan pilihan, tapi sepertinya tidak ada waktu lagi.
"Kalau begitu... kita beli beberapa macam saja dan coba semuanya. Biasanya aku tidak makan sebanyak ini, tapi bukan berarti aku punya nafsu makan kecil. Kalau ada yang tersisa, aku yang akan menghabiskannya."
"Eh, tunggu..."
"Oke, aku bayar dulu. Tunggu sebentar."
Karena terlalu banyak pilihan bagus, aku memutuskan untuk membeli semuanya.
Sebagai anak SMA yang sedang dalam masa pertumbuhan, aku pasti bisa menghabiskannya. Setelah mengambil beberapa roti dan minuman, aku menuju kasir. Begitu selesai membayar dan keluar, Mikami-san langsung menyambut dengan wajah panik.
"Kirishima-san, ayo cepat! Kita hampir telat!"
"Eh... Serius?"
Sepertinya aku terlalu lama memilih roti.
Mikami-san membuka ponselnya dan menunjukkan jam saat ini. Begitu melihatnya, aku langsung merinding.
"Ayo, kita berangkat!"
"Eh, tunggu, eh...!"
Di detik berikutnya, Mikami-san menarik tanganku dan mulai berlari.
"Kalau kita berlari, masih bisa sampai tepat waktu!"
"......Benar juga."
Sebenarnya, ada banyak hal yang bisa kupikirkan sekarang. Seperti fakta bahwa kami pergi ke sekolah bersama, atau bahwa dia sedang menggenggam tanganku.
Tapi sinar matahari yang menyengat dan senyum cerah Mikami-san...
Saat ini, yang paling terasa adalah momen di mana aku berlari bersamanya, nyaris terlambat di pagi yang cerah.
Situasi ini... entah kenapa terasa sangat seperti masa remaja.
Pada akhirnya, aku tidak terlambat. Memang, aku harus berlari sejak pagi dan berakhir dengan hiruk-pikuk, tapi ternyata rasanya tidak seburuk yang kukira.
Meskipun begitu, nyaris terlambat dan panik bukanlah sesuatu yang ingin kualami lagi. Coba bayangkan kalau aku telat walau hanya sedikit. Suasana kelas yang hening seketika, tatapan yang otomatis tertuju padaku. Sungguh sorotan yang tidak kuinginkan.
Aku harus mulai bertindak dengan lebih tenang dan tidak terburu-buru.
Bukan berarti aku selalu datang ke sekolah mepet waktu karena susah bangun pagi. Aku hanya ingin mempersingkat waktu berada di kelas yang ribut sebelum homeroom dimulai.
Hari ini, tanpa ada persiapan apa pun, kejutan yang direncanakan Mikami-san sukses besar. Mungkin hal seperti ini bisa terjadi lagi di lain waktu, jadi aku harus lebih berhati-hati.
Bukan berarti aku mengharapkannya. Kalau mengikuti gaya bicara Mikami-san beberapa hari yang lalu, ini cuma soal pola dan antisipasi.
Setelah itu, aku menjalani pelajaran seperti biasa tanpa masalah hingga jam pelajaran keempat. Kalau aku bisa melewati jam ini, maka tibalah waktu istirahat siang. Memikirkan hal itu saja langsung membuatku lebih bersemangat... tapi sayangnya, pelajaran kali ini menjadi jam belajar mandiri karena suatu urusan dari guru.
Setelah meninggalkan instruksi untuk tetap tenang dan tidak ribut, guru pun buru-buru pergi. Tentu saja, maksud dari "boleh melakukan apa saja" hanya berlaku dalam batas pelajaran, tapi tetap saja ada siswa yang memanfaatkan momen ini untuk bersenang-senang.
Ada yang dengan santainya membalikkan badan untuk mengobrol. Ada juga yang sama sekali tidak membuka buku catatan, langsung menjatuhkan kepala ke meja dan tidur. Sepertinya mereka memang tidak berniat belajar.
Sayangnya, aku tidak punya teman mengobrol, dan aku juga tidak cukup nekat untuk berbuat sesuka hati hanya karena guru tidak ada. Aku hanya bisa mengikuti instruksi dan belajar sendiri.
(Sial, aku lapar...)
Namun, perutku terasa jauh lebih kosong dari biasanya.
Mungkin ini efek dari berlari pagi tadi. Aku mati-matian menahan perutku yang hampir mengeluarkan suara.
Beberapa siswa memang sedikit berisik, tapi sebagian besar tetap diam mengikuti perintah guru. Kalau dalam situasi setenang ini perutku berbunyi... aku bahkan tidak mau membayangkannya.
Mungkin karena membayangkan situasi yang memalukan itu, wajahku terasa agak panas.
Aku berpikir kalau menghirup udara segar mungkin bisa sedikit menenangkan diri, jadi aku membuka jendela. Saat itu, terdengar suara dari lapangan—kelas lain sedang menjalani pelajaran olahraga.
Kelas mana, ya?
Padahal aku bahkan tidak tahu banyak tentang teman sekelasku sendiri, jadi jelas aku tidak punya harapan untuk mengenali orang-orang dari kelas lain. Namun, tanpa sadar aku tetap melihat-lihat ke arah mereka.
Setelah menatap sekeliling dan menyadari bahwa aku tidak mengenal siapa pun, aku hendak kembali fokus ke bukuku—dan saat itulah aku melihat satu-satunya orang yang bisa dibilang kukenal.
Mikami Hina.
Bahkan dalam seragam olahraga, dia tetap memancarkan aura gadis cantik yang mencolok. Saat aku terus menatapnya, tiba-tiba aku merasa kalau mata kami sempat bertemu.
Tapi dia langsung mengalihkan pandangan, jadi mungkin aku hanya salah lihat. Namun, tak lama kemudian, Mikami-san mulai menoleh ke sekeliling, lalu melambaikan tangan kecil ke arah sini.
Apa itu ditujukan padaku? Apa aku boleh sedikit kepedean?
Saat aku masih memproses kemungkinan itu dengan mata membelalak, Mikami-san tiba-tiba menggembungkan pipinya seolah-olah sedang kesal. Ah, sudahlah, terserah kalau ini hanya delusi. Dengan tekad bulat, aku juga melambaikan tangan kecil sebagai balasan.
Saat itu juga, Mikami-san tampak tersenyum bahagia... setidaknya, begitulah yang kurasakan. Tak lama kemudian, suara instruksi dari guru olahraga terdengar, dan Mikami-san bersama siswa lainnya mulai berkumpul di depan guru. Aku pun kembali menatap bukuku, mencoba untuk fokus belajar. Harusnya begitu. Tapi...
Tanpa sadar, aku kembali mengarahkan pandanganku ke luar jendela, mencari Mikami-san. Dan saat itu, aku sudah lupa kalau sebelumnya aku merasa lapar.
Waktu belajar mandiri yang kujalani tanpa konsentrasi pun akhirnya berakhir, dan tibalah saat istirahat siang yang kutunggu-tunggu.
Dengan kantong bekal yang lebih penuh dari biasanya, aku berjalan menuju tempat terbaikku.
Karena tadi Mikami-san ada di pelajaran olahraga, dia pasti harus berganti pakaian dulu, jadi mungkin dia akan sedikit terlambat.
Tapi... akhir-akhir ini, rasanya dia selalu lebih dulu sampai di tempat itu. Jangan-jangan dia akan datang masih dengan seragam olahraga...?
Tidak mungkin. Itu berlebihan. Dan benar saja, setelah aku melewati tikungan... tidak ada siapa-siapa.
"Rasanya sudah lama sejak aku makan sendirian begini."
Sebelum Mikami-san mulai ‘mengganggu’ rutinitas makan siangku sendirian, aku biasa menggunakan bangku ini sendirian. Aku bisa duduk di tengah tanpa perlu repot memikirkan apa pun, tapi sekarang, tanpa sadar aku menyisakan satu tempat kosong di sampingku. Sepertinya aku sudah benar-benar terbiasa dengannya.
Saat aku menikmati sinar matahari yang hangat dan hembusan angin, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat Mikami-san berlari kecil ke mari.
"A-Aku sudah kembali!"
"Nggak, aku juga baru saja sampai. Kamu buru-buru sekali habis olahraga, nggak capek?"
"Soalnya aku nggak sabar, jadi tanpa sadar malah terburu-buru."
Dia langsung ke sini begitu selesai ganti baju setelah olahraga. Aku bisa melihat jelas kalau dia benar-benar berusaha datang secepat mungkin.
"Kalau begitu, boleh aku mulai makan?"
"Silakan, pilih sesukamu."
Dengan gerakan yang sudah seperti kebiasaan, Mikami-san duduk di sampingku dan mengambil sesuatu dari kantong bekalku. Kalau soal makan setelah olahraga, ada dua tipe orang: yang makannya lahap, dan yang justru kehilangan nafsu makan. Sepertinya Mikami-san termasuk tipe pertama.
"Menurut Kirishima-san, yang paling enak yang mana?"
"Hmm... aku juga bingung waktu di konbini tadi... tapi kayaknya roti yakisoba tetap pilihan terbaik. Rotinya lembut, yakisobanya juga enak. Selain itu, isinya benar-benar penuh."
"Benar juga... sampai hampir luber dari rotinya."
Dari bungkus transparannya saja sudah terlihat bagaimana yakisoba dalam roti itu begitu padat, hampir seolah-olah hanya diletakkan di atas roti.
Roti × yakisoba. Karbohidrat × karbohidrat.
Setelah menyadari betapa ‘gila’ kombinasi kalorinya, aku mendadak sadar akan satu hal.
Apa ini kesalahan? Apa aku salah langkah dengan menawarkan ini ke seorang gadis...?
Saat sedikit kepanikan menyelinap dalam benakku, Mikami-san sudah lebih dulu membuka bungkusnya dan mulai makan. Melihatnya mengunyah pelan-pelan seperti seekor hewan kecil, aku malah terpesona tanpa sadar.
"Ini... sungguh enak sekali...!? Ah, a-anu... ini memalukan, jadi tolong jangan menatapku seperti itu..."
Sambil mengunyah seperti tupai, dia menatapku, dan mata kami bertemu. Merasa malu, dia segera memalingkan wajahnya, tetapi tetap melanjutkan makan roti yakisoba tanpa melepasnya dari mulut. Penampilannya itu sangat menggemaskan.
"Sudah, jangan hanya melihat ke arahku terus. Kirishima-san juga harus makan, atau waktu istirahat siang akan segera berakhir, lho?"
"Ah, iya juga."
"Aduh, kalau kau lambat seperti ini, aku akan menghabiskan semuanya sendiri, lho?"
Saat aku masih terpaku melihatnya, aku mendengar pernyataan yang tidak bisa diabaikan.
Akan merepotkan kalau semuanya dimakan olehnya. Aku juga lapar. Dari situ, berubah menjadi perebutan makanan. Kami masing-masing mengambil roti yang diinginkan dan melahapnya dengan lahap.
Padahal kami membeli lebih banyak roti daripada yang bisa dimakan berdua, tetapi saat sadar, kantongnya sudah kosong. Ketika kami berdua merogoh kantong kosong itu secara bersamaan... kami saling berpandangan dan tertawa.
Semua pelajaran telah selesai, jam pulang pun usai, dan tibalah waktu setelah sekolah. Seperti biasa, aku membereskan barang-barangku dan bersiap keluar dari kelas sebelum lorong menjadi ramai. Saat aku berdiri, ponsel di sakuku bergetar.
Jarang sekali ada notifikasi di jam seperti ini. Aku mengambilnya dengan rasa penasaran, menggeser layar, dan melihat bahwa itu dari Mikami-san.
"Mau pulang bersama?"
...Hah?
Saat aku masih terpaku menatap layar, sebuah notifikasi baru muncul, menampilkan pesan berikut:
"Kalau begitu, aku akan menunggumu di tempat terbaik seperti biasa."
...Menunggu, katanya...? Hei... kau tidak berniat menunggu jawabanku dulu, ya...?
Setelah menunggu sebentar hingga lorong agak sepi, aku pergi ke tempat yang dimaksud. Sepertinya ini pertama kalinya aku ke sana bukan untuk makan siang.
"Maaf, aku terlambat."
"Karena lama, aku sampai mengira kau tidak akan datang."
Mikami-san menutup buku yang sedang dibacanya, lalu menyimpannya ke dalam tas sambil menatapku dengan tatapan tajam. Aku terlambat karena kaget dan sampai harus melihat layar berkali-kali.
"Karena mendadak, aku jadi terkejut. Lagipula, kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menolak."
"Fufu, begitu ya?"
Taktik licik yang tidak memberiku pilihan lain. Entah seberapa jauh dia sudah merencanakannya, tapi pada akhirnya, aku tetap datang ke sini. Berarti, aku sudah ada di telapak tangannya, huh?
"Tapi, kenapa tiba-tiba...? Maksudku, kau tidak apa-apa hanya terus menghabiskan waktu denganku? Bukankah kau juga punya teman lain?"
"Benar juga. Karena itu, aku ingin pulang bersama Kirishima-san."
"...Begitu ya."
"Benar."
Dia mengatakannya tanpa sedikit pun rasa malu. Yah, kalau itu yang dia inginkan, aku tidak keberatan. Lagipula... aku juga tidak keberatan.
Tapi... teman, huh...?
Tak kusangka teman pertamaku adalah seorang gadis yang selama ini seperti bunga di puncak tebing. Hidup memang penuh kejutan.
"Kenapa? Ada yang salah?"
"Tidak, bukan apa-apa. Ayo pulang."
Aku merasa wajahku sedikit melunak.
Untuk menyembunyikannya, aku membalikkan badan, menunggu Mikami-san berdiri, lalu mulai berjalan.
Saat kami melewati gerbang sekolah, Mikami-san tiba-tiba berjalan ke arah yang berlawanan dengan rumahnya. Aku pun bertanya dengan ragu.
"Umm, Mikami-san? Itu arah yang salah, kau tersesat?"
"Aku tidak tersesat. Aku hanya ingin mampir sebentar."
Mendadak sekali.
Tapi... berkeliling tanpa tujuan seperti ini terasa... seperti suasana khas anak muda.
"Ngomong-ngomong, Kirishima-san tidak ikut klub, ya?"
"Iya. Kalau kau?"
"Aku juga tidak ikut."
"Oh? Padahal kau kelihatan atletis, sayang sekali."
"...Ah, ngomong-ngomong soal pelajaran olahraga... Jangan melamun saat jam pelajaran, ya?"
"Waktu itu aku sedang belajar mandiri. Lagipula, kau juga melambaikan tangan duluan, kan?"
"Benar juga."
Yah, kami berdua sama-sama melamun saat itu.
"Lalu, bagaimana denganmu? Tidak tertarik ikut klub?"
"Aku tinggal sendiri, jadi kalau terlalu sibuk dengan klub, pasti akan merepotkan. Untungnya, di sekolah ini tidak diwajibkan ikut klub."
Beberapa sekolah mewajibkan semua siswa untuk bergabung dengan klub, tapi sekolah ini bebas.
Sebagai seseorang yang hidup sendiri, aku bersyukur tidak harus ikut klub yang bisa membuatku kelelahan dan mengacaukan ritme hidupku.
Bayangkan kalau aku masuk klub olahraga. Aku pasti akan pulang dengan kelelahan, lalu pingsan sebelum sempat menyiapkan makan malam. Kalau sudah begitu, aku pasti juga ketiduran tanpa mengerjakan tugas, lalu bangun kesiangan dan menjadi siswa bermasalah.
"Oh iya, waktu itu kau keluar dari lift di lantai tiga, ya?"
"Iya, kenapa?"
"Apartemen itu lantai lima ke atas untuk keluarga, sedangkan lantai bawah untuk penyewa tunggal."
"Oh, begitu."
Aku paham sekarang.
Mikami-san pasti sudah tahu aku tinggal di lantai tiga sejak perpisahan kami hari Sabtu lalu. Itu sebabnya dia langsung mengerti kenapa aku tinggal sendiri.
"Kau mulai tinggal sendiri sejak SMA, kan? Sudah terbiasa?"
"Lumayan."
Aku baru mulai terbiasa, tapi awalnya aku sempat sakit karena perubahan lingkungan, sampai harus melewatkan upacara masuk sekolah.
Tidak ada lagi orang tua yang membangunkanku seperti dulu, jadi bangun pagi saja sudah jadi tantangan tersendiri.
"Kau tinggal sendiri di usia segini... Hebat juga, ya."
"Itu memang keputusan orang tuaku. Yah, kalau dipikir-pikir, terbiasa hidup sendiri akan berguna saat kuliah nanti, dan aku sendiri juga cukup antusias untuk tinggal sendiri, jadi aku tidak keberatan. Tapi ternyata lebih sulit dari yang aku kira, dan aku jadi lebih menghargai orang tuaku sekarang."
"Itu benar. Ini memang pengalaman yang bagus, tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri kalau sulit juga, ya."
"…Maaf. Aku tidak bermaksud mengeluh."
Aku berbicara dengan cepat, dan ekspresi Mikami-san terlihat sedikit bingung. Aku merasa bersalah karena seolah-olah aku melampiaskan kegelisahanku padanya.
"Kita kan tinggal berdekatan, jadi kalau ada masalah, jangan ragu untuk mengandalkanku, ya?"
"…Ah, terima kasih. Aku akan mengingatnya."
Nada suaranya yang lembut serta tatapan khawatirnya yang mengarah padaku terasa hangat dan menenangkan hatiku.
"Kalau dipikir-pikir, aku seharusnya bisa menebak kalau Kirishima-san tinggal sendiri, tapi aku malah tidak mempertimbangkannya dan terus menarikmu ke sana kemari. Maaf, ya."
"Tidak apa-apa. Justru aku berterima kasih padamu. Toh, kalau pulang juga aku hanya sendirian. Sesekali seperti ini juga tidak buruk, kan?"
Satu-satunya orang yang mengusik kehidupan soliterku sekaligus satu-satunya temanku.
Sejak awal aku tidak pernah membatasi diriku, jadi kalau dia ingin terus mengusikku, silakan saja.
"Karena ini waktu untuk bersantai, jangan bahas hal-hal yang suram. Jadi, ke mana kita akan pergi?"
"Aku mendengar ada toko crepes baru di jalan sebelah sana, jadi aku ingin mencobanya."
"Crepes, ya? Kedengarannya enak."
"Tadi siang kau sudah mentraktirku banyak roti, jadi kali ini biar aku yang mentraktir crepes-nya."
"Kalau begitu, aku menantikannya."
Sambil menikmati obrolan khas anak sekolah, kami terus berjalan ke arah yang berlawanan dari rumah. Sore yang dipenuhi gangguan terhadap kehidupan soliterku ini... ternyata tidak buruk juga.
Sambil menikmati crepes, aku berjalan pulang bersama Mikami-san. Meskipun tadi kami berjalan ke arah yang berlawanan dari rumah, jarak sekolah yang masih dalam jangkauan kaki membuat kami tetap bisa pulang cukup awal.
Setibanya di apartemen, kami masuk ke dalam lift. Seharusnya kami menekan tombol untuk lantai masing-masing, tapi anehnya, jariku dan Mikami-san malah bertumpuk saat menekan tombol.
"Eh?"
"Ah, jangan khawatir."
Entah apa yang dia maksud dengan 'jangan khawatir,' tapi ya sudahlah.
Lift berhenti di lantai tiga. Aku turun dari lift dan berniat untuk mengucapkan terima kasih padanya atas hari ini, tapi entah kenapa, Mikami-san juga ikut turun.
"Kau ada keperluan di lantai ini?"
"Tidak, jangan khawatir."
Dia hanya tersenyum tipis. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi aku merasa dia akan melakukan sesuatu yang tidak terduga lagi.
Saat kami berjalan sedikit lebih jauh, kami pun tiba di depan pintu apartemenku. Namun, Mikami-san masih menempel di sebelahku.
"Umm, kita sudah sampai di apartemenku, loh?"
"Jangan khawatir~"
"…Kau mau masuk, ya?"
"Iya."
"Itu sih aku peduli!"
Apa maksudnya "jangan khawatir"? Tentu saja aku peduli! Tadi aku memang curiga karena dia terus mengikutiku, tapi ternyata dia memang sudah berniat untuk masuk sejak awal! Anak ini, baik pagi maupun sore, benar-benar tidak tahu konsep 'minta izin' sebelumnya, ya...
Sial, kalau tahu dia mau mampir, aku pasti sudah membeli camilan atau sesuatu untuk disuguhkan... Tapi, bukan itu masalahnya sekarang. Yang lebih penting adalah kondisi dalam apartemenku. Aku tidak pernah berpikir akan menerima tamu, jadi ruanganku berantakan!
"Maaf, aku harus beres-beres dulu. Bisa tunggu sebentar?"
"Ah, jangan khawatir."
"Aku sih peduli! Tunggu sepuluh... tidak, lima belas menit!"
Aku merasa bersalah karena membuatnya menunggu, tapi ini darurat.
Aku buru-buru menutup pintu, melepas sepatu, dan langsung berlari membereskan apartemen yang berantakan.
"Haa... haa... Maaf membuatmu menunggu."
"Jangan khawatir. Tapi... ini pertama kalinya aku masuk ke kamar seorang pria, jadi aku sedikit gugup."
Hei, tadi kau terus-menerus bilang 'jangan khawatir,' tapi sekarang malah jadi malu-malu begitu? Aku sudah berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi sekarang malah jadi ikut gugup!
Teman pertamaku di SMA yang aku ajak masuk ke rumah ternyata seorang gadis. Dan bukan sembarang gadis, tapi Mikami-san, si gadis cantik yang baru masuk sekolah dan langsung dijuluki 'bunga di puncak tebing'.
Jika para cowok yang pernah menyatakan cinta padanya dan ditolak mentah-mentah tahu soal ini... aku mungkin bakal jadi target pembunuhan.
"Ada apa?"
"…Bukan apa-apa. Yah, silakan masuk."
"Permisi."
Begitulah caranya aku mengalami sebuah peristiwa besar dalam kehidupan seorang anak SMA: mengajak lawan jenis masuk ke rumah.
Karena Mikami-san terus mengucapkan kata-kata yang membuatku sadar akan situasi ini, aku jadi makin gugup dan tanganku mulai berkeringat.
Aku membawanya ke ruang tamu dan mempersilakannya duduk santai.
Dia melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu, membuatku sedikit geli, tapi tidak ada yang terlalu menarik di sini.
"Jadi, apartemen untuk orang yang tinggal sendiri seperti ini, ya?"
"Ya, ini hanya tipe 1LDK biasa."
Aku tidak tahu seperti apa tata letak rumah keluarganya, tapi dibandingkan dengan itu, apartemenku yang hanya untuk satu orang pasti jauh lebih kecil. Meskipun begitu, untuk tinggal sendiri, tipe 1LDK ini sebenarnya sudah cukup luas.
Namun, kalau diperhatikan terlalu lama, rasanya agak canggung juga. Meski aku sudah merapikannya cukup supaya bisa menerima tamu dalam keadaan darurat, aku tetap ingin berpikir tidak ada yang mencurigakan di sini…
Kalau ada hal yang mungkin menarik perhatian, mungkin jumlah furnitur yang minim. Bukan berarti aku tidak punya keinginan untuk membeli barang, tapi untuk sekarang, aku hanya memiliki perabotan yang benar-benar diperlukan. Setidaknya, aku bersyukur sudah memiliki meja dan sofa, jadi tidak perlu menyuruh Mikami-san duduk di lantai.
"Mikami-san mau minum apa? Teh, jus jeruk, kopi, atau kakao?"
"Boleh aku minta kopi?"
"Oke. Mau panas atau dingin?"
"Panas, tolong."
"Mau pakai susu dan gula?"
"Hitam saja."
Setelah menerima pesanannya, aku menyeduh dua cangkir kopi panas.
Entah kenapa, percakapan barusan terasa seperti di kafe. Aku membawa dua mug ke ruang tamu, lalu meletakkan salah satunya di depan Mikami-san.
"Fufu, tadi kamu seperti pegawai kafe, ya."
Sepertinya dia juga berpikiran sama, karena dia terkikik kecil.
Setelah menyeruput kopi instan buatanku dan mengambil napas sejenak, aku pun bertanya.
"Jadi… kenapa tiba-tiba kepikiran mampir ke rumahku?"
"Entahlah, hanya iseng saja."
"Iseng? Masa ada orang yang masuk ke rumah laki-laki cuma karena iseng?"
"Sudah terlambat untuk berpikir begitu, bukan? Kita sudah beberapa kali berdua saja sebelumnya."
"Iya, sih… Tapi ini rumah, bukan sekolah atau tempat umum. Kalau terjadi sesuatu, bakal gawat, kan?"
Mikami-san sebaiknya lebih memikirkan batasan saat berinteraksi dengan laki-laki. Saat aku kebetulan menolongnya waktu itu, dia sempat ditangkap oleh pria yang lebih kuat darinya dan mungkin saja mengalami kekerasan. Apa dia sudah lupa? Atau… jangan-jangan, aku sudah tidak masuk dalam kategori 'laki-laki' di matanya?
"Aku percaya sama Kirishima-san, kok."
"Hubungan kita masih singkat. Apa yang jadi dasarnya?"
"Kalau harus dijelaskan… mungkin firasat perempuan. Firasat perempuan itu sering kali benar, loh."
"Ya ya."
"Selain itu, kalau Kirishima-san memang punya niat seperti itu, kamu pasti akan berpikir lebih panjang ketika aku bilang ingin membalas budi. Kamu pasti tidak akan langsung menolak, kan?"
Hn, masuk akal juga.
Tapi tetap saja. Mikami-san itu super cantik, jadi dia seharusnya sadar dan tidak mengatakan hal-hal yang bisa bikin laki-laki salah paham.
"Atau… jangan-jangan Kirishima-san deg-degan karena sendirian denganku, terus mulai kepikiran hal aneh?"
Mikami-san menundukkan kepala sedikit, tampak malu-malu, tapi dengan senyum tipis yang seolah sedang menggoda. Aku tidak tahu dia berkata begitu dengan maksud apa.
"Aku… memang deg-degan, tapi… nggak ada niatan aneh… untuk saat ini."
"Fufu, begitu, ya. Berarti firasatku benar."
"Udahlah, aku kalah. Terserah kamu saja."
"Baik, aku akan sesuka hatiku."
Dengan ekspresi puas, Mikami-san kembali menyeruput kopinya.
Sial, gadis super cantik jangan mempermainkan perasaan seorang bocah penyendiri seperti ini.
"Tapi ya, rumah Kirishima-san rasanya nyaman, ya."
"Serius? Bukannya cuma beda sedikit dari rumahmu?"
"Mungkin karena ada aroma kopi dan suasananya tenang seperti kafe favoritku. Rasanya, kalau mengerjakan PR di sini pasti sangat lancar. Kalau besok ada PR, boleh aku ke sini lagi?"
"Boleh aja, tapi kasih tahu dulu sebelumnya, ya? Biar aku bisa siapin camilan atau semacamnya."
Kalau datang mendadak, aku tidak bisa merapikan rumah atau menyiapkan apa pun.
Hari ini saja, aku sampai panik merapikan semuanya.
"Baiklah, kalau begitu, besok aku akan mampir lagi."
Eh, cepat banget! Jadi mau sering-sering datang ke sini, ya?
Yah… asal kasih tahu dulu, sih, aku tidak keberatan.
Pagi hari, aku tidak bangun terlalu cepat, tapi juga tidak terlambat.
Apartemen ini cukup dekat dengan sekolahku, jadi sebenarnya aku bisa saja tidur lebih lama, tapi aku tetap berusaha bangun dengan waktu yang cukup. Ada alasan besar di baliknya: aku tidak bisa mengandalkan siapa pun jika terjadi hal tak terduga.
Sekarang aku tinggal sendiri, jauh dari orang tua. Kalau aku sampai kesiangan, sudah pasti bakal telat. Aku tidak bisa meminta orang untuk mengantarku naik mobil. Tidak ada juga yang membangunkan, jadi kalau sampai tidur lagi, tamat sudah.
Karena itu, aku tidak mau terlena dengan jarak sekolah yang dekat lalu tidur sampai mepet waktu berangkat. Meski mengantuk, aku harus segera bangun dan meninggalkan selimut hangat yang menggoda untuk kembali tidur. Aku mencuci muka, menggosok gigi, lalu menyiapkan kopi pagi sambil menunggu tubuhku benar-benar sadar.
"Oke, sekarang sudah segar."
Aku meregangkan tubuh dan merasa lega karena sudah sepenuhnya bangun. Meski aku bangun lebih awal, bukan berarti aku langsung berangkat ke sekolah. Aku lebih suka menyiapkan diri sepenuhnya, lalu menikmati waktu santai sebelum berangkat.
Tapi, tetap saja, waktu yang kumiliki hanya cukup untuk bersiap dan sarapan ringan. Tidak cukup untuk masak sarapan mewah, apalagi membuat bekal seperti Mikami-san.
Yah, intinya, orang-orang yang bangun pagi dan masih sempat menyiapkan banyak hal itu luar biasa. Aku menyelesaikan sarapanku—menyeruput kopi, menggigit roti panggang—dan meraih remote untuk menyalakan TV, berniat menonton berita pagi.
Saat itulah bel pintu berbunyi.
"Hah? Siapa yang datang pagi-pagi begini?"
Jarang sekali ada orang yang datang ke rumah di pagi hari pada hari kerja. Apa ada sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar?
Ketika aku melihat monitor interkom yang terpasang di dinding, dengan niat mengabaikannya jika itu hanya semacam orang yang ingin menyebarkan agama, yang muncul di layar adalah wajah tersenyum Mikami-san.
Aku begitu terkejut hingga hampir menjatuhkan roti yang sedang kugigit, tapi buru-buru menangkapnya kembali. Saat aku masih sibuk dengan itu, monitor menjadi gelap dan mati.
Baiklah, aku akan berpura-pura tidak melihat apa-apa.
Namun, saat aku hendak kembali ke ruang tamu, bel pintu berbunyi lagi, dan di layar muncul wajah Mikami-san yang kini tampak sedikit kesal dengan pipi menggembung. Aku merasa gambarnya lebih dekat dari sebelumnya.
Aku penasaran apa yang akan terjadi jika aku mengabaikannya saja, tapi dia tampak seperti hampir menangis, jadi akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya.
"Tunggu sebentar," kataku.
Daripada berbicara lewat interkom, lebih baik langsung berbicara tatap muka. Aku mematikan interkom dan menuju pintu masuk. Ketika aku membukanya, di hadapanku Mikami-san sedang menggembungkan pipinya seperti ikan buntal, mencoba terlihat galak tapi malah terlihat menggemaskan.
"Kenapa kau tidak membukanya saat pertama kali kupanggil?"
"Maaf, aku terkejut dan hampir menjatuhkan rotiku, jadi aku sibuk menangkapnya."
"Hmm, kalau begitu, aku maklum."
Bukti paling kuat adalah roti yang masih ada di tanganku, sudah tergigit sebagian.
"Oh, selamat pagi."
"Oh, pagi."
"Aku datang seperti yang sudah kujanjikan."
"Janji...? Kita membuat janji?"
Setelah salam yang sedikit terlambat, Mikami-san membusungkan dadanya dengan bangga.
Tolong hentikan. Cahaya kecantikanmu terlalu menyilaukan di pagi hari.
Tapi, aku benar-benar tidak ingat pernah membuat janji dengannya. Aku bahkan mengecek ponselku untuk memastikan tidak ada pesan yang terlewat, tapi memang tidak ada notifikasi. Apa maksudnya dengan janji ini?
"Kau lupa? Aku bilang akan datang lagi besok, kan?"
"Oh... iya, iya."
Tapi aku tidak menyangka yang dimaksud adalah pagi hari!
Kupikir dia akan mampir sepulang sekolah dan makin betah di sini, tapi ternyata dia juga memasukkan pagi dalam janji itu...?
"Ya sudah. Kalau aku tidak membiarkanmu masuk, kau pasti akan terus menunggu di depan pintu, kan? Masuklah."
"Terima kasih. Oh, Master, aku pesan kopi pagi, ya?"
"Baiklah."
Sambil menghabiskan roti yang tersisa, aku mulai membuat kopi untuknya.
Dia tiba-tiba memanggilku "Master", tapi anehnya aku tidak keberatan. Kemarin aku hanya seorang pelayan kafe, tapi hari ini naik pangkat menjadi Master.
"Ngomong-ngomong... kau benar-benar nekat datang tanpa janji. Tidak terpikirkan kalau aku mungkin sudah berangkat?"
"Tidak, aku yakin kau masih di rumah. Aku sudah menghitung waktu dari saat kau tiba di minimarket kemarin. Selain itu... aku juga sudah menyelidiki kebiasaanmu yang selalu datang ke sekolah hampir telat."
"Sungguh luar biasa."
Dia berbicara dengan penuh percaya diri, tapi sebenarnya ada satu skenario yang tidak dia pertimbangkan. Terkadang aku pergi ke minimarket untuk membuang waktu sebelum berangkat sekolah.
Tapi melihat betapa bangganya dia, aku memutuskan untuk diam saja.
"Nih, kopi pagimu sudah siap."
"Terima kasih. Eh, suhunya..."
"Oh, kemarin kau mendinginkan kopimu sebelum meminumnya, jadi kupikir kau mungkin tidak tahan panas. Makanya kubuat agak hangat."
"…Kau memperhatikannya dengan baik, ya. Memang benar, aku tidak terlalu tahan panas. Kau hebat, Master. Aku akan datang setiap hari."
"Heh?"
"Dan aku tidak bercanda."
Luar biasa.
Sepertinya Mikami-san sudah naik level menjadi pelanggan tetap. Wilayah kesendirianku sebagai bocah penyendiri semakin terkikis oleh kehadirannya. Dia seperti seorang penyerbu.
Setelah menunggu Mikami-san menghabiskan kopinya sedikit demi sedikit, akhirnya kami berangkat ke sekolah.
"Serius nih… kita berangkat bersama?"
"Tentu saja. Ada masalah?"
"Kalau aku jalan bareng Mikami-san, kita bakal jadi pusat perhatian... Gimana kalau nanti dekat sekolah kita berpisah dan masuk gerbang dengan jeda waktu? Seperti di lomba maraton, saat kau berjanji akan menyelesaikan lomba bersama temanmu, tapi ternyata dia berlari lebih dulu meninggalkanmu."
"Oh, aku ingat. Itu semacam acara penghancur pertemanan, kan?"
"Ya, jadi gimana?"
"Hmm… Aku akan bilang tidak."
"Begitu ya... Jadi kau menolak."
Padahal aku merasa ini ide bagus, tapi ditolak mentah-mentah dengan wajah serius. Kemarin aku hampir terlambat, jadi tidak sempat memikirkan hal ini, tapi sekarang aku bisa dengan jelas merasakan aura kecantikan Mikami-san yang begitu luar biasa di sebelahku.
Sebenarnya, aku tidak keberatan. Bagaimanapun, Mikami-san tetap akan mengusik kesendirianku. Aku hanya berharap pada akhirnya aku bisa terbiasa dengan aura kecantikannya yang menyilaukan ini.
Tapi masalahnya, kami jadi sangat mencolok. Seorang siswa biasa seperti aku, yang berada di ujung hirarki kelas, berjalan bersama Mikami-san, yang ada di puncak kasta sosial. Bagaimana orang-orang akan menilai ini?
Mikami-san mungkin tidak peduli dengan pandangan orang lain, tapi sebagai penyendiri, aku sangat sensitif terhadap tatapan sekitar dan tidak bisa begitu saja mengabaikannya.
"Tak apa. Malah lebih baik kalau kita pamer saja. Kalau mereka melihat kita sering bersama, mungkin mereka akan menyerah dan diam saja."
"…Tolong jangan. Jantungku mungkin tidak akan kuat."
Saat Mikami-san dengan lembut mendekat, aku segera menghindar dan menjaga jarak.
Kenapa Mikami-san selalu mendekat tanpa ragu? Seperti ada bug dalam pemahamannya tentang jarak personal.
"Serius, kita cuma berangkat bersama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bukankah biasa saja kalau dua murid dari sekolah yang sama dan kelas yang sama kebetulan berjalan bersama sampai gerbang sekolah?"
"Wow, betapa meyakinkannya kebohongan itu."
Apa yang dimaksud dengan kebetulan? Sudah keterlaluan kalau setelah datang ke rumahku pagi-pagi buta, dia masih berani mengklaim ini sebagai kebetulan.
“Tidak apa-apa, kan? Kebetulan aku mengunjungi rumah Kirishima-san pagi ini, dan kebetulan juga kita mampir ke konbini bersama setelah ini.”
“Cari tahu arti kata ‘kebetulan’ di kamus.”
Mikami-san membuang muka dengan ekspresi merajuk.
Yah, sudahlah. Ada kalanya seseorang harus menyerah. Memang kami akan menarik perhatian, tapi untungnya, saat kami tiba di sekolah, waktunya sudah nyaris masuk jam pelajaran. Seharusnya tidak banyak siswa yang bisa melihat kami datang bersama... seharusnya.
“Oh iya, kalau pagi-pagi kau datang seperti ini, bagaimana dengan sore nanti?”
“Boleh juga kalau aku mampir setelah pulang sekolah?”
“Bukan, bukan itu maksudku… Kalau kau mau datang, kasih tahu aku dulu supaya aku bisa bersiap.”
“… Persiapan seperti apa?”
“Misalnya, menyiapkan camilan yang cocok dengan kopi?”
“Itu ide yang bagus. Kalau begitu, aku tidak bisa tidak mampir, kan?”
Baiklah. Setidaknya aku sudah menanyakannya.
Awalnya, aku memang mengira dia akan datang saat pulang sekolah. Aku tidak menyangka dia akan menyerbu rumahku pagi-pagi seperti ini, dan karena kejadian kemarin masih segar di ingatan, aku bahkan tidak punya camilan yang bisa kusajikan.
Tapi kalau percakapan ini dipotong dan diambil begitu saja, seakan-akan Mikami-san hanyalah gadis yang mudah tergoda oleh camilan dan rela masuk ke rumah seorang laki-laki karenanya.
Aku jadi penasaran, bagaimana perasaan para lelaki yang pernah mengungkapkan cintanya kepada Mikami-san, hanya untuk ditolak mentah-mentah? Jika mereka melihat ini, apakah mereka akan langsung naik pitam dan mencoba membunuhku? Yah, kurasa selama tidak ketahuan, itu bukan masalah. Yang jadi persoalan adalah kehidupanku di sekolah nanti.
“Kau sedang memikirkan sesuatu? Kalau tidak melihat ke depan saat berjalan, nanti bisa bahaya, loh.”
“…Ah, maaf.”
Mikami-san menatapku dari bawah dengan sorot mata penuh perhatian, dan jantungku tiba-tiba berdegup kencang.
Gadis ini terlalu cantik, sampai-sampai hal sekecil itu pun membuatku terkejut. Entah kenapa, aku mulai memahami perasaan para lelaki yang dulu pernah tertarik padanya.
Dulu aku pikir mereka bodoh karena dengan nekat menyatakan cinta kepada bunga di puncak gunung, meski tahu akan ditolak. Tapi sekarang… sepertinya aku sedikit mengerti.
“Oh iya… kau masih sering mendapat pengakuan cinta?”
“Yah, lumayanlah. Karena aku sudah menolak banyak orang, rumor tentang itu pun sudah menyebar, jadi jumlahnya memang mulai berkurang. Tapi tetap saja, masih ada beberapa yang datang.”
“Serius? Benar-benar bunga di puncak gunung. Gila juga.”
Bahkan aku, yang jarang berinteraksi dengan orang lain, sering mendengar cerita tentang para lelaki yang menyatakan cinta pada Mikami-san dan ditolak.
Seharusnya itu cukup sebagai sinyal bahwa dia tidak tertarik untuk berkencan, tapi tetap saja, jumlah pengakuan yang datang tidak ada habisnya.
“Tapi kalau terus-terusan ditaksir, bukankah melelahkan harus terus menolak mereka?”
“Sekarang sudah tidak begitu berat. Berkat pelajaran dari saat Kirishima-san menolongku, aku tidak lagi mendatangi tempat-tempat sepi saat dipanggil. Jadi kebanyakan sekarang aku bahkan tidak perlu repot-repot memberi jawaban.”
“Oh, jadi kau benar-benar memikirkannya, ya?”
Kupikir karena dia terlalu blak-blakan dan kurang peka terhadap batasan orang lain, dia tidak akan berhati-hati soal ini.
“Aku juga sudah meminta bantuan teman-teman sekelas untuk selalu menemani, agar aku tidak sendirian.”
“…Tapi kalau begitu, kenapa kau malah duluan datang ke tempat favoritku yang sepi?”
“Itu… Karena begitu Kirishima-san datang, kita jadi berdua, jadi tidak ada masalah!”
Tentu saja ada masalah. Atau mungkin, aku memang tidak dihitung sebagai laki-laki olehnya?
“Apa kau… khawatir tentang aku?”
“Ya… dalam berbagai hal. Terutama soal rumor yang pernah kita bicarakan. Aku hanya berpikir, bagaimana kalau ada orang yang diam-diam mengikutimu?”
“Kalau ada orang yang bertingkah mencurigakan, aku pasti langsung menyadarinya. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi aku cukup peka terhadap tatapan orang lain.”
Wajar saja. Dengan parasnya yang seperti itu, dia pasti sudah sering menjadi pusat perhatian.
“Tapi tetap saja, terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Aku akan tetap waspada, tapi… kalau terjadi sesuatu, aku harap kau bisa—secara kebetulan—menolongku lagi.”
“…Baiklah.”
Apa maksudnya ‘secara kebetulan menolong’?
Tapi aku tidak menanyakannya lebih jauh.
Mikami-san mungkin mengalami banyak hal tidak menyenangkan karena terlalu populer, tapi setidaknya dia sudah memikirkan langkah-langkah pencegahan.
Memang, dia memiliki kebiasaan melanggar batasan pribadi orang lain, tapi sepertinya dia lebih berhati-hati daripada yang kuduga.
“Oh iya, aku mau mampir ke konbini dulu buat beli makan siang.”
“Silakan. Kebetulan aku juga ingin mampir ke konbini. Ya kan, Kirishima-san? Kebetulan kita bertemu, dan kebetulan kita berjalan ke sekolah bersama.”
… Tapi tetap saja, aku rasa dia harus mencari tahu lagi arti kata ‘kebetulan’.
Seperti biasa, aku tiba di kelas tepat sebelum pelajaran dimulai. Dengan hati-hati, aku membuka pintu belakang, masuk ke dalam kelas, dan duduk di tempatku, berusaha sebisa mungkin menghilangkan kehadiranku.
Tidak masalah. Tidak ada yang akan memperhatikanku.
Meski kedengarannya menyedihkan, ini adalah kenyataan. Kadang aku berpikir, bagaimana jika aku tidak gagal melakukan ‘debut’ saat masuk SMA?
Mungkin aku bisa masuk ke dalam kelompok pertemanan, punya teman dekat, dan menjalani kehidupan sekolah yang lebih normal. Atau mungkin, karena auraku yang terlalu kuat sebagai anak penyendiri, keadaannya tidak akan jauh berbeda dengan sekarang.
Saat SMP, aku sebenarnya bukan tipe orang yang sengaja menghindari pergaulan. Seharusnya, kalau aku ingin, aku bisa memilih jalan yang berbeda. Tapi sayangnya, aku terlalu nyaman dengan kesendirian.
Jadi, meskipun aku merasa gagal dalam ‘debut’ SMA-ku, pada akhirnya aku malah menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak buruk.
(… Seharusnya begitu.)
Tapi, setidaknya satu orang. Satu orang muncul dalam hidupku dan tidak mau membiarkanku sendirian.
Menyebutnya sebagai ‘teman’ mungkin agak aneh, karena hubungan kami sedikit aneh dan tidak biasa. Tapi mungkin… seperti yang sering dia katakan, ini hanyalah sebuah kebetulan.
Memikirkan itu, aku merasa—sedikit saja—bahwa kehidupanku di sekolah yang datar ini mulai memiliki warna.
Hari ini, pelajaran pertama adalah kelas berpindah, jadi aku membawa buku pelajaran dan catatanku, berjalan melewati kelas 1-2—kelasnya Mikami-san.
Aku sedikit memperlambat langkah dan melirik ke dalam kelas. Seketika, aku langsung menemukan sosoknya yang memancarkan kehadiran yang luar biasa. Karena ini waktu istirahat, dia tampak mengobrol dengan sesama siswi.
Sepertinya benar bahwa dia dibantu oleh teman-teman sekelasnya, seperti yang dia katakan pagi tadi. Yah, ini Mikami-san, bagaimanapun juga. Tidak seperti aku, memiliki teman sekelas adalah hal yang wajar baginya.
Melihat Mikami-san berbincang dengan teman-temannya dan merasa lega karenanya memang terdengar aneh, tapi aku merasa tenang karena dia punya teman.
Yah, dari sudut pandangnya, aku sama sekali tidak berhak untuk khawatir tentangnya. Sebaliknya, mungkin akulah yang lebih pantas dikhawatirkan karena tidak punya teman. Saat aku memikirkan hal itu dengan sedikit nada menyindir diri sendiri dan melangkah melewati kelasnya, aku merasa seolah-olah Mikami-san sempat melihat ke arahku sekejap… Tapi kurasa itu hanya perasaanku saja.
Waktu istirahat siang.
Kami sudah tidak perlu berjanji terlebih dahulu. Seperti biasa, Mikami-san telah menguasai setengah dari tempat terbaikku.
Tatapan yang aku arahkan padanya mungkin sedikit tajam.
Bukan berarti aku marah. Atau mungkin, aku memang agak marah.
Perasaan terima kasih atau rasa syukur yang kurasakan padanya sampai pagi tadi… entah kenapa terasa sedikit memudar.
Kalau diibaratkan dalam sebuah game, mungkin ‘tingkat kesukaannya sedikit menurun.’
Mungkin karena menangkap auraku yang sedang tidak senang, ekspresi Mikami-san yang duduk di bangku dan menatap ke arahku tampak sedikit tegang. Karena posisi matahari, bayanganku menutupi dirinya, menciptakan suasana seolah-olah dia sedang terpojok.
"Ada sesuatu yang ingin kamu jelaskan?"
"…T-tidak ada, khususnya."
"Begitu ya. Ya sudah, aku duduk di sebelahmu."
"A-ah, baik."
Aku duduk di samping Mikami-san, memejamkan mata, dan menghela napas panjang.
Apa, sih, ini? Aku tadi seharusnya agak marah, tapi entah kenapa aku malah merasa tenang.
Ini adalah tempat terbaik yang kutemukan untuk melarikan diri dari sesak napas kehidupan sekolah. Meskipun Mikami-san telah menyerobotnya, efek menenangkannya bukannya hilang, malah sepertinya meningkat.
Sinar matahari juga terasa hangat. Rasanya jadi malas untuk terus kesal.
Saat aku mulai berpikir untuk melupakan saja semuanya, Mikami-san yang menunduk berbisik pelan.
"Um… soal waktu istirahat tadi… apakah kamu marah?"
"Aku tidak marah."
"Bohong. Kamu marah."
"Kalau begitu, ya, aku marah. Kenapa kamu melakukan hal yang mencolok begitu?"
Semuanya bermula beberapa jam yang lalu, saat waktu istirahat.
Kebetulan, kelas Mikami-san sedang pindah ke ruang lain, jadi dia melewati depan kelasku. Entah apa yang dipikirkannya, dia tersenyum dan melambai dengan semangat ke arah kelasku—atau lebih tepatnya, ke arahku.
Bahkan, dia sampai memberi isyarat mata. Meski agak gagal, sih.
Akibatnya, kelasku langsung heboh.
"Serius, Mikami-san melambai ke arahmu?!"
"Bidadari itu tersenyum padamu?!"
Kelas berubah jadi sangat riuh.
Para cowok bodoh yang terlalu sederhana mulai berdebat, mengklaim bahwa lambaian itu ditujukan kepada mereka. Bahkan beberapa cewek juga terpanah, sampai-sampai ada yang berteriak histeris.
Kehebohan itu sampai membuat guru yang lewat menegur kami.
Sungguh luar biasa. Aku sekali lagi merasakan betapa dahsyatnya pengaruh seorang gadis cantik. Namun, tindakan itu terlalu sembrono.
Apakah dia sadar bahwa dia sangat populer?
"Gimana, nih? Anak-anak kelasku, baik cowok maupun cewek, ada yang udah bertekad mau nembak kamu, lho."
"Oh ya? Itu cukup merepotkan. Padahal aku hanya bermaksud melambai kepada Kirishima-san."
"Meski itu hanya salah paham atau dugaan, begitu kamu melakukan hal seperti itu, anak-anak pasti langsung heboh. Bahkan cewek-cewek juga bereaksi, jadi dampaknya cukup besar."
"Lalu, bagaimana caranya aku bisa sekadar menyapa Kirishima-san?"
Dari sudut pandangnya, ini mungkin sama saja dengan menyapa teman yang kebetulan lewat di lorong dengan, "Hei, apa kabar? Kapan-kapan main, ya." Aku mengerti… Atau tidak, sih. Aku kan nggak punya teman.
"Aku pikir kamu bakal merasa terganggu kalau aku langsung menyapa, jadi aku coba cara itu… Tapi ternyata tidak semudah yang kubayangkan."
Kalau dipikir-pikir, Mikami-san sudah cukup menahan diri.
Dia tidak memanggil namaku sembarangan, tidak sengaja datang ke mejaku, dan hal-hal lain yang lebih mencolok. Jadi, mungkin ini sudah bentuk perhatian maksimalnya.
"Kamu nggak perlu repot menyapaku waktu istirahat. Kita udah ketemu di pagi hari, siang, dan bahkan setelah pulang sekolah. Gunakanlah waktu istirahatmu buat ngobrol sama teman-temanmu."
"…Jadi, bukan berarti aku nggak boleh menyapamu?"
"Ya udah, nggak boleh. Jangan. Dilarang selamanya."
"Aku menolak. Aku melarang larangan itu."
Sudah kuduga. Aku tidak pernah berharap Mikami-san akan langsung menuruti perkataanku.
"Baiklah. Aku juga tidak ingin menimbulkan keributan lagi, jadi untuk sementara aku akan bersikap lebih tenang. Tapi… di luar waktu istirahat, aku tidak akan menahan diri, ya."
"Tahan diri, dong."
"Nggak mau."
Tentu saja. Yah, selama dia tidak terlalu mencolok, mungkin tidak masalah… Meskipun sebenarnya, tetap saja masalah.
"Ngomong-ngomong, bagaimana tadi menurutmu?"
"Hm? Apa?"
"Wink-ku tadi. Apakah berhasil?"
"Nggak, agak aneh."
"Eh?"
Aku agak terkejut melihat dia justru fokus pada hal itu. Tapi karena dia sudah bertanya, aku akan menjawab.
Sejujurnya, wink Mikami-san tadi tidak begitu rapi.
Begitu aku mengatakan itu, Mikami-san terdiam dengan mulut sedikit terbuka. Tapi, justru karena wink-nya yang agak canggung itu, banyak orang menganggapnya imut dan terpana melihatnya.
"Eh, lain kali aku akan berlatih di depan cermin. Eii, eii."
Sambil berkata begitu, Mikami-san kembali mencoba mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Kalau efek suara untuk kedipan yang sempurna adalah "pach!", maka kedipan Mikami-san lebih seperti "shobo-shobo~n."
Namun, meskipun begitu, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Mau diakui atau tidak—aku mungkin termasuk salah satu orang yang terpikat oleh kedipan canggungnya itu.
Sepulang sekolah, aku menunggu Mikami Hina di tempat biasa—yang dulunya adalah "spot terbaikku," tapi sekarang sudah menjadi "spot terbaik kami."
Hari ini, aku bisa keluar kelas lebih cepat, jadi aku tiba lebih dulu… tapi orang yang kutunggu tak kunjung datang.
"Jangan-jangan… aku cuma menunggu sendirian?"
Kalau dipikir lagi, tadi kami memang berjanji untuk pergi ke rumahku, tapi tidak ada kesepakatan untuk pulang bersama. Berbeda dari sebelumnya, Mikami-san juga tidak mengirim pesan, dan kami tidak pernah menentukan tempat untuk bertemu.
Dengan kata lain, ini berarti aku hanya duduk di sini… menunggu seseorang yang mungkin tidak akan datang? Menyadari hal itu membuatku merasa sedikit malu. Sepertinya aku terlalu menganggap kalau kami akan pulang bersama, dan sekarang rasanya canggung sekali…
"Aku harus buru-buru pulang…!"
Aku tak bisa diam di sini.
Aku bisa membayangkan Mikami-san yang tiba lebih dulu di depan rumahku, berkali-kali menekan bel, lalu cemberut dengan mata berkaca-kaca karena tidak dibukakan pintu.
Jujur, aku sedikit ingin melihat itu… tapi kalau ada siswi SMA menangis di depan rumahku, itu bisa menjadi masalah besar.
Aku bangkit dari bangku, lalu mulai berjalan sedikit lebih cepat. Mungkin karena terburu-buru, aku lengah. Aku mengira tak ada orang lain yang akan lewat tempat ini, dan akibatnya—
"Uwah!"
"Kya!"
Di tikungan, aku menabrak seseorang. Refleks, sebelum sempat berpikir, aku langsung bertindak.
Aku meraih tangannya, lalu menahan tubuhnya dengan lenganku yang melingkar di pinggangnya. Aku berhasil menangkapnya.
Rasa lembut yang kurasakan.
Aroma harum yang melintas di hidungku.
Karena tertarik terlalu kuat, tubuh kami menjadi sangat dekat, membuat kehangatan tubuhnya terasa begitu jelas.
"A-anu…"
"Ma-maaf!"
Begitu sadar betapa berbahayanya situasi ini—hampir seperti tindakan tak senonoh—aku langsung melepaskan Mikami Hina dengan tergesa-gesa.
"Maaf! Aku nggak sengaja! Aku akan melakukan apa saja, tolong maafkan aku!"
"Fufu, aku mengerti kok. Lagipula, justru aku yang terbantu, jadi kau tak perlu minta maaf sebanyak itu."
Mikami-san tidak marah karena aku menyentuhnya. Dengan hati yang lapang, dia memaafkanku.
"Aku yang harusnya minta maaf. Aku terburu-buru, jadi kurang hati-hati. Kau tidak terluka, Kirishima-san?"
"A-aku baik-baik saja. Kau sendiri?"
"Aku juga baik-baik saja. Berkat Kirishima-san yang menangkapku dengan penuh… gairah…"
"Jangan merona seperti itu!"
Aku benar-benar panik saat itu!
"Tapi… Kirishima-san mau ke mana, sih? Jangan bilang… kau mau pulang tanpa aku?"
"Ehh, yaah… mungkin?"
"Jahat sekali. Kalau kau meninggalkanku, aku akan menangis sekencang-kencangnya, lho?"
"Jangan! Aku bisa tamat secara sosial!"
Bayangkan kalau di tempat sepi seperti ini, ada siswi SMA super cantik menangis tersedu-sedu di hadapan seorang laki-laki. Ditambah lagi, karena aku tadi menangkapnya dengan terburu-buru, seragamnya jadi agak berantakan. Kalau ada yang melihat, jelas aku akan dicurigai.
Terlebih, ini terjadi di tempat yang tidak banyak orang lewat.
Mikami-san adalah siswi yang berada di puncak kasta sekolah, sementara aku hanyalah siswa yang nyaris tak dianggap.
Perbedaan pengaruh kami sangat jauh.
Kalau Mikami-san bilang gagak itu berwarna putih, mungkin orang-orang tidak akan langsung percaya, tapi setidaknya, omongannya akan didengar.
"Sebetulnya, aku tidak benar-benar ingin meninggalkanmu. Aku cuma sadar kalau kita tidak pernah berjanji untuk bertemu di sini, jadi kupikir… mungkin aku saja yang menunggu sendirian."
"…Eh? Memangnya begitu?"
"Iya, coba dipikir lagi, kita memang tidak janjian."
"Tapi, lihatlah… pada akhirnya kita tetap berkumpul di sini, kan? Aku sendiri tidak terlalu memikirkan hal ini, tapi aku juga merasa harus segera ke sini."
Jadi, Mikami-san pun berpikir kalau kami akan bertemu di "spot terbaik" ini, ya?
Benar-benar sebuah kebetulan… ya, ini murni kebetulan.
"Kalau begitu, kita anggap saja ini bukti kalau pikiran kita sudah terhubung."
"Iya, boleh juga."
Aku yang menunggu di sini tanpa berpikir, dan Mikami-san yang juga datang ke sini tanpa sengaja. Seakan saling menarik, kami berdua tiba di tempat yang sama.
"Tapi… kau datang lebih lama dari yang kuduga."
"Itu memang salahku. Aku tadi sempat tertahan sebentar."
"Tertahan…? Oh, kau didatangi orang yang mau menembakmu lagi?"
"Iya. Seperti yang Kirishima-san bilang, sepertinya aku memang harus lebih hati-hati dalam bertindak."
"Berat, ya. Tapi ya, itu konsekuensi dari tindakanmu sendiri. Semangat, deh."
"Dasar, bicara seakan ini bukan urusanmu saja."
"Memang bukan urusanku."
Saat kami mulai melangkah pulang bersama, Mikami-san menatapku dengan ekspresi sedikit jengkel.
Jelas sudah, apa yang dia lakukan tadi berdampak besar. Dia menatapku dengan kesal, tapi aku tidak ada hubungannya dengan popularitasnya.
"Lagipula… tadi kau bilang 'aku akan melakukan apa saja, tolong maafkan aku,' ya?"
"…Aku tidak bilang begitu."
"Kau bilang, kan?"
"Nggak…"
"Kurasa aku harus mulai memikirkan permintaan apa yang akan kuminta nanti."
Sial, aku terlalu gegabah. Tapi, masih lebih baik daripada dilaporkan oleh Mikami-san dan terpaksa dikeluarkan dari sekolah... meskipun aku takut akan seperti apa "menuruti perkataannya" nanti.
"Oh iya! Ayo kencan akhir pekan ini. Katanya mau menuruti semua perkataanku, kan?"
"Hah?"
"Kalau begitu, sudah diputuskan, ya. Aku mengandalkanmu."
Dengan senyuman paling cerah hari ini dan sebuah kedipan yang akhirnya berhasil dieksekusi dengan sempurna, Mikami-san menjatuhkan sebuah bom. Aku tidak bisa memproses informasi ini, dan kepalaku benar-benar kosong sampai aku tiba di rumah. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa pulang.
Saat aku sadar kembali, aku sudah berada di rumah. Entah sejak kapan aku duduk di sofa, dan aku mencoba mengingat kembali kejadian yang terjadi. Aku sama sekali tidak ingat kapan dan bagaimana aku pulang, tapi satu hal yang pasti: Mikami-san sedang mengerjaiku saat ini. Duduk di sebelahku, dia mencubit pipiku dan menariknya ke sana kemari. Ketika aku menoleh, mata kami bertemu—dia tampak sangat menikmati keisengannya.
"Ah..."
"Apa maksudnya tangan ini?"
"Tidak ada, abaikan saja."
"Berhenti."
"Abaikan saja."
TIDAK BISA.
Aku kesulitan memahami situasi ini, tapi satu hal yang jelas: Mikami-san benar-benar tidak mendengarkan orang lain.
Bukankah sebagai seorang gadis, dia seharusnya sedikit lebih berhati-hati saat menyentuh laki-laki? Padahal sebelumnya dia bilang akan menghindari tindakan gegabah setelah mendengar peringatanku... tapi apakah ini tidak termasuk sebagai tindakan gegabah? Juga, dia terlalu dekat. Bau parfumnya enak. Jari-jarinya halus. Kulitnya lembut dengan cara yang mengusik ketenanganku.
Kurasa jarak kami memang sudah lama bermasalah, tapi... aku mulai khawatir dengan banyak hal lainnya.
"Ya sudahlah. Ngomong-ngomong, kapan aku pulang?"
"Kirishima-san terus melamun dan hanya menjawab seadanya. Tapi meskipun begitu, kamu masih bisa berjalan lurus, jadi aku merasa itu cukup menghibur."
"Begitu ya... Jadi aku pulang dengan kakiku sendiri, ya. Aku benar-benar tidak ingat."
"Penilaianmu ternyata cukup baik. Memang sih, kamu hanya menjawab seadanya, tapi ketika aku bertanya, 'Mampir ke minimarket dulu, yuk?' kamu menjawab, 'Ah, oke.' Tapi pas aku bilang, 'Boleh minta kunci cadangan rumahmu?' kamu langsung menolak, 'Tidak, itu mustahil.'"
"Heh?"
Gadis ini. Saat aku masih dalam keadaan linglung, dia mencoba meminta hal yang gila seperti itu?!
Aku ingin memberi diriku sendiri pujian karena masih bisa menolak dalam keadaan setengah sadar. Namun, melihat bagaimana aku sampai melamun dan bahkan kehilangan ingatan karena kebingungan, itu berarti Mikami-san benar-benar sukses membuatku kehabisan akal.
Dan penyebabnya adalah satu kalimatnya tadi—
"Umm, cuma mau memastikan aja..."
"Kita kencan."
"Ah, baik."
Dia langsung memotong omonganku. Baiklah, ini bukan salah dengar.
Jadi... kencan, ya?
Aku mengerti, tapi sekaligus tidak mengerti. Aku ingin menenangkan diri dan menganalisisnya, tapi Mikami-san masih saja sibuk mencolek-colekku, membuatku sulit berkonsentrasi. Sudah cukup, hentikan itu.
"Oke, cukup. Kalau mau lebih, bayar."
"...Berapa?"
Aku menepis tangannya, tapi dia malah mengeluarkan dompetnya dan menatapku dengan wajah serius. Seriusan?! Ini bagian di mana kamu harus menyerah, tahu!
Eh, tunggu, kenapa kamu mulai mengeluarkan lembaran uang seribuan yen?!
"Berhenti. Simpan itu."
"Jadi ini belum cukup, ya...? Hmm, kalau begitu aku akan berhutang dulu—"
"Jangan!"
Aku benar-benar tidak bisa memahami bagaimana cara kerja otaknya.
Aku ingin menganggapnya bercanda, tapi entah kenapa aku merasa dia serius.
Aku tidak bisa membiarkan satu-satunya temanku terlibat dalam hutang demi hal bodoh seperti ini. Memang aku salah karena asal bicara soal "berbayar," tapi jangan ditanggapi seserius ini!
Dengan semua kelakuannya ini, aku merasa otakku akan segera overheating lagi.
Apa dia sengaja membuatku kebingungan sampai aku melamun lagi?!
"Kamu bilang bakal menghindari tindakan gegabah, kan? Kalau begini terus, nanti kamu bakal disalahpahami lagi dan malah bikin masalah."
"…Tapi aku hanya melakukan ini pada Kirishima-san, jadi tidak apa-apa."
Aku menegurnya lagi, tapi Mikami-san hanya menatapku dengan polos dan mengatakannya begitu saja.
Hanya padaku, ya…? Itu curang. Itu membuatnya terlihat seperti seorang femme fatale.
"Ya sudahlah, aku memang bilang bakal menuruti perkataanmu, jadi apa boleh buat. Lagipula, aku juga merasa aku bakal kalah kalau terus melawan..."
"Jadi boleh, ya?"
"…Oke, tidak boleh."
"Tidak boleh itu tidak boleh."
"Ya kan, akhirnya begini juga. Ada gunanya nggak sih percakapan barusan?"
Mau bagaimana lagi. Mikami-san itu tipe orang yang kalau sudah bilang sesuatu, tidak akan menarik ucapannya.
Aku harus belajar untuk menerima kenyataan. Menyedihkan sekali.
Tapi, akibat ucapanku yang gegabah, aku akhirnya terpaksa pergi kencan dengannya.
Aku memperingatkannya untuk tidak gegabah, tapi aku sendiri yang justru ceroboh.
Aku benar-benar idiot karena bilang "aku akan menuruti perkataanmu." Seharusnya aku tahu kalau itu adalah pantangan terbesar saat berbicara dengan gadis ini.
"Ngomong-ngomong, kenapa tiba-tiba ngajak kencan?"
"Aku ingin belanja bersama."
"Oh, memangnya ada sesuatu yang ingin kamu beli?"
"Begitulah. Aku rasa rumah ini sederhana dan bersih, tapi agak terlalu sepi, jadi aku ingin menambahkan sedikit barang," kata Mikami-san.
Eh? Mikami-san? Jangan-jangan dia berniat membeli barang untuk diletakkan di rumahku?
"Aku ingin mug pasangan, celemek, dan yang lainnya... Aku juga ingin meletakkan boneka yang lucu."
Tidak perlu bertanya lagi, dia memang berniat meletakkan berbagai barang di sini. Yang disebutnya sebagai "kencan belanja" ini sebenarnya lebih seperti aksi invasi.
"Oh iya... Secara pribadi, aku ingin menaruh oven microwave di ruang kosong di dapur. Boleh?"
"Oven microwave... maksudmu oven microwave yang itu?"
"Kurasa yang itu."
Yah, wajar saja. Seharusnya tidak ada perbedaan persepsi di antara kami soal ini.
"Kenapa tiba-tiba ingin beli itu?"
"Aku minta maaf karena melihat-lihat tanpa izin saat Kirishima-san sedang linglung, tapi aku rasa pola makanmu sangat buruk. Di tempat sampah, aku hanya melihat bungkus roti dan sampah dari mi instan. Dapurnya memang bersih, tapi lebih terlihat seperti tidak pernah digunakan daripada rutin dirawat."
"... Itu memang benar. Tapi apa hubungannya dengan oven microwave?"
"Sejauh yang kulihat, microwave biasa pun tidak ada, dan bukti makanan hangat yang kumaksud hanya mi instan. Itu membuatku khawatir. Kalau ada oven microwave, selain untuk menghangatkan makanan, juga bisa digunakan untuk memasak dan membuat kue. Aku pribadi akan lebih senang begitu."
Begitu, ya. Dugaan Mikami-san tentang pola makanku tepat sekali.
"Tentu saja, aku yang akan membayar. Tapi karena akan digunakan di sini, biaya listriknya akan ditanggung oleh Kirishima-san... bagaimana?"
"Walaupun kamu bilang akan membayar, oven microwave harganya sekitar dua sampai tiga juta yen, kan? Itu bukan barang yang bisa dibeli dengan uang saku anak SMA..."
Begitu aku mengatakan itu, Mikami-san langsung mengeluarkan dompetnya tanpa berkata apa-apa... Tunggu, aku merasa pernah melihat pemandangan ini sebelumnya.
"Jangan khawatir soal uang. Sekarang tinggal menunggu izin dari Kirishima-san saja."
"... Kalau aku sih tidak keberatan, malah merasa diuntungkan... Tapi kamu sendiri tidak masalah?"
"Aku juga merasa diuntungkan jika lingkungan dapur di rumah Kirishima-san menjadi lebih baik."
Dari cara dia berbicara dan fakta bahwa celemek ada di daftar belanjaannya, rasanya tidak perlu bertanya lagi—dia memang berniat memasak di sini. Yah, aku tidak masalah sih. Lagi pula, dapur ini juga pasti lebih senang jika akhirnya bisa dipakai untuk tujuan aslinya. Tapi... bukankah ini terlalu mendadak?
"Jadi, boleh, kan?"
"Kalau aku sih tidak masalah, tapi kamu sendiri tidak apa-apa? Ini bukan rumahmu, tapi kamu mau membeli barang sebesar itu?"
"Menurutku wajar saja jika seseorang ingin membuat tempat yang sering dikunjunginya menjadi lebih nyaman."
...Tunggu, ini rumahku, kan?
Tapi dia menyebutnya sebagai "tempat yang sering dikunjunginya."
Jelas sekali dia berencana untuk sering berada di sini.
Yah, aku juga tidak menentangnya. Nyaman itu penting.
"... Yah, memang tempat yang nyaman itu penting."
"Benar, kan?! Yuk, kita usaha bersama untuk membuat tempat kita lebih nyaman!"
"... Terserah kamu deh."
Dia bilang "tempat kita."
Oke, invasi ini sudah dikonfirmasi. Kalau sudah begini, Mikami-san tidak akan berhenti hanya dengan kata-kata. Lebih baik aku menyerah saja.
Bahkan setelah itu, sampai waktunya pulang, Mikami-san terus berbicara dengan gembira tentang rencana invasinya. Sementara itu, aku hanya menanggapinya seadanya sambil menyadari satu hal—
Memang, Mikami Hina itu punya tekad yang kuat.
Hari yang dijanjikan pun tiba. Seperti yang sudah kuduga, Mikami-san sangat bersemangat dengan invasinya.
Setiap pagi dan sore, dia datang tanpa ragu, bersikap seolah rumahku adalah rumahnya sendiri.
Sebagai bagian dari itu, dia mengukur berbagai bagian ruangan dengan meteran dan mengomentari minimnya peralatan dapur.
Dia bahkan merencanakan secara terbuka barang-barang apa saja yang ingin dibelinya.
Dan kini, saat hari kencan itu tiba, entah kenapa kami justru membuat janji untuk bertemu di depan stasiun. Padahal, meskipun di lantai yang berbeda, kami tinggal di apartemen yang sama.
Kalau mau menyesuaikan waktu, kami sebenarnya bisa saja bertemu di dalam lift. Lagipula, kalau itu Mikami-san, dia pasti tidak akan ragu untuk membunyikan bel pintu berkali-kali sejak pagi. Tapi kalau dia memilih untuk bertemu di tempat yang ditentukan, aku tidak punya alasan untuk menolak.
Janji kami adalah pukul sepuluh pagi. Aku bangun pada waktu yang sama seperti saat berangkat sekolah dan bersiap dengan cukup santai.
Buatku, pergi keluar dengan seorang gadis saja sudah cukup membuatku gugup. Tapi karena dalam beberapa hari terakhir Mikami-san terus-menerus menyebutnya sebagai "kencan," aku jadi makin sadar akan hal itu.
Tapi ya... kalau ini memang disebut kencan, wajar saja kalau aku harus bersiap dengan baik. Aku tidak boleh sampai terlambat, apalagi ketiduran. Karena itu, aku malah selesai bersiap lebih cepat dari perkiraanku. Masih ada banyak waktu sebelum jam yang dijanjikan.
"Sedikit... atau lebih tepatnya, masih sangat awal, tapi lebih baik aku berangkat sekarang saja."
Aku melirik jam. Bahkan belum pukul setengah sembilan. Jika aku langsung pergi ke stasiun sekarang, aku akan tiba di sana satu jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan.
Tapi tetap lebih baik tiba lebih awal daripada terlambat. Untuk berjaga-jaga, aku memasukkan sebuah buku ke dalam tas agar bisa menghabiskan waktu sambil menunggu, lalu berangkat menuju tempat pertemuan.
Sesampainya di depan stasiun, tempat yang ditentukan untuk bertemu, aku melihat sekeliling. Karena ini hari Sabtu, cukup banyak orang berlalu-lalang. Aku mencari tempat yang tidak mengganggu orang lain untuk menunggu—
Lalu aku membeku.
Ada. Mikami-san sudah ada di sana. Kalau hanya itu, aku tidak akan terlalu terkejut. Tapi situasinya saat ini berbeda. Mikami-san sedang didekati oleh dua orang pria.
"Nona, kamu manis sekali. Lagi sendirian?"
"Aku sedang menunggu seseorang."
"Tinggalkan saja dia dan ikut bersenang-senang dengan kami."
"Tidak, terima kasih."
"Jangan begitu, dong. Aku jamin lebih seru kalau bareng kami. Kami bisa menunjukkan hal-hal yang menyenangkan, lho."
"…Kalau begitu, lakukan saja di tempat lain. Kalian mengganggu."
Percakapan mereka terdengar jelas. Ini jelas-jelas modus godaan di jalan.
Dilihat dari penampilan mereka, pria-pria itu sepertinya lebih tua. Dari cara berpakaian dan gaya mereka, mereka tampak seperti mahasiswa yang suka bersenang-senang.
Mikami-san menolak mereka dengan nada sedingin saat dia menolak pernyataan cinta seseorang.
Namun, para pria itu sama sekali tidak terganggu dan terus berusaha merayunya. Dia menatap mereka dengan tajam, mencoba mengintimidasi mereka, tetapi mereka justru terlihat menikmati reaksinya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyerah.
(Aku tidak bisa terus diam melihat ini.)
Dua pria dewasa melawan seorang gadis sendirian. Mikami-san mungkin terlihat tegar, tapi dalam hatinya pasti merasa takut.
"Sudahlah, ayo kita pergi saja," kata salah satu pria.
"Ya, sudah waktunya," jawab yang lain.
Salah satu dari mereka mengulurkan tangan ke arah Mikami-san. Tubuh Mikami-san bergetar, dan dia refleks memejamkan matanya karena ketakutan.
Saat tangan pria itu hampir menyentuhnya, aku segera menepisnya dan menarik Mikami-san ke dalam pelukanku, berdiri di antara mereka.
"Heh? Siapa lo?" tanya salah satu pria dengan nada tidak senang.
"Kelihatan, kan? Aku orang yang dia tunggu."
"Sial, ternyata dia punya pacar..."
"Ayo cari tempat lain."
Sesaat, tatapan penuh permusuhan mengarah padaku, tetapi karena ini di depan stasiun dan banyak orang yang berlalu-lalang, mereka sepertinya tidak ingin membuat keributan. Dengan dengusan kesal, kedua pria itu mengklik lidah dan pergi meninggalkan kami.
Jujur saja, dadaku masih berdebar kencang.
Aku tidak bisa memakai trik yang kugunakan saat pertama kali melihat Mikami-san. Tapi tubuhku bergerak begitu saja tanpa berpikir. Suaraku juga keluar lebih dalam dari yang kuduga, dan aku melampiaskan kejengkelanku begitu saja... Namun, karena lawan memilih mundur, hasilnya bisa dibilang memuaskan.
Ketika aku mulai tenang, tiba-tiba muncul perasaan malu yang luar biasa. Aku benar-benar melakukannya tanpa sadar. Kalau saja aku sadar, aku tidak mungkin mengeluarkan kata-kata sekonyol itu.
Aku berniat untuk menjauh dari Mikami-san, yang tanpa sadar kupeluk saat tadi mencoba melindunginya. Namun, aku tidak bisa bergerak karena dia mencengkeram bajuku dengan erat.
"Ehh, Mikami-san...?"
"Maaf... Biarkan aku seperti ini sebentar lagi..."
Suaranya terdengar serak dan bergetar karena menahan tangis.
Dia menundukkan kepalanya di dadaku, tubuhnya sedikit gemetar.
Benar juga. Dia pasti ketakutan.
Dikepung oleh dua orang pria, mana mungkin dia tidak merasa takut?
Meskipun rasanya agak memalukan, saat ini yang terpenting adalah menenangkan Mikami-san. Karena ini tempat umum dan cukup banyak orang yang memperhatikan, seorang gadis yang menangis di tengah keramaian tentu akan menarik perhatian yang tidak diinginkan.
Aku mengajaknya ke tempat yang lebih sepi dan ada tempat duduk. Di sana, aku tetap berada di sisinya, menggenggam tangannya, dan membiarkannya bersandar padaku sampai dia merasa lebih tenang.
"Maaf... Aku sudah tenang sekarang."
"Syukurlah."
Setelah beberapa saat, Mikami-san akhirnya melepasku.
Aku pergi ke vending machine, membeli dua minuman, lalu memberikan salah satunya padanya.
"Pertama-tama... sekali lagi, terima kasih. Aku sudah dibantu lagi. Aku benar-benar berterima kasih padamu."
"Ah... Tapi kau tidak perlu repot-repot memberikan sesuatu sebagai balasannya seperti sebelumnya. Yang penting kau baik-baik saja."
"…Iya."
"Justru aku yang terlambat membantu. Maaf soal itu."
"Tidak… Kau datang satu jam lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Itu sudah lebih dari cukup."
Benar juga. Tapi justru karena itu aku bisa menyelamatkannya tepat waktu. Karena kebetulan aku berangkat lebih awal, aku tiba di tempat ini lebih cepat dari yang seharusnya.
"Sebenarnya aku ingin bertanya kenapa, tapi... kurasa kita impas ya?"
"Ya, sepertinya begitu."
"Jadi... ini juga kebetulan?"
"Sebagian, mungkin. Tapi aku rasa aku juga datang lebih cepat karena aku menantikannya."
Karena Mikami-san terus-menerus menyebut ini sebagai "kencan," aku jadi benar-benar mempersiapkan diri dengan serius dan berangkat lebih awal. Meskipun pada akhirnya, dia tetap tiba lebih dulu dariku.
Aku sengaja tidak terlalu memikirkannya, tapi kalau dipikir-pikir lagi... mungkin aku juga sebenarnya menantikan kencan ini.
"Aku juga terlalu bersemangat sampai berangkat lebih awal. Meskipun akibatnya aku mendapat musibah... tapi karena kau juga merasakan hal yang sama, aku jadi terselamatkan."
"Syukurlah kalau begitu."
Mungkin ini adalah hasil dari berbagai kebetulan yang terjalin bersama.
Lagipula... sebelumnya dia pernah bilang kalau ada apa-apa, aku harus datang menolongnya. Dan sekarang, aku benar-benar bisa melakukannya.
"Ngomong-ngomong, aku mau tanya… Apa kita perlu membatalkan rencana hari ini dan menjadwal ulang?"
"Tidak perlu... Aku baik-baik saja. Lagi pula, kalau sesuatu terjadi lagi, aku percaya Kirishima-san pasti akan melindungiku."
"…Baiklah."
"Itu benar. Kau benar-benar keren tadi. 'Milikku'... begitu, kan?"
"Ehh... Itu... Aku sedang dalam keadaan terdesak dan berbicara tanpa berpikir… Tolong, lupakan saja!"
"Tidak mau, tidak bisa, mustahil. Ayo pergi. Kencan kita baru saja dimulai. Sekarang, tolong pimpin perjalanan kencan ini dengan baik, Tuan Kirishima."
"…Baiklah, jadi tolong berhenti menggodaku..."
Mikami-san sudah kembali ceria, dan kami melanjutkan kencan. Tapi... aku hampir mati karena malu karena dia terus mengungkit perkataanku tadi.
Meski begitu, aku tetap berpikir bahwa ekspresi cerah Mikami-san adalah yang paling cocok untuknya.
Setelah insiden kecil tadi, kami melanjutkan kencan.
Kami naik kereta menuju pusat perbelanjaan besar yang terletak tiga stasiun dari sini.
Di dalam kereta, kursinya berbentuk panjang memanjang ke samping.
Kebetulan, ada beberapa kursi kosong di pojok, jadi aku membiarkan Mikami-san duduk di sisi paling pinggir, lalu duduk di sebelahnya.
Berbeda dengan kursi berhadapan yang memiliki pemisah antar kursi, kursi panjang ini memungkinkan kami duduk berdekatan tanpa ada sekat. Asalkan duduk tegak, seharusnya kami tidak akan bersentuhan satu sama lain…
Tapi, Mikami-san? Kenapa kau menyandarkan dirimu ke arahku?
Kepalanya bersandar di bahuku, dan tubuhnya—dari bahu, lengan, hingga kaki—nyaris menempel denganku.
Bukannya merasa senang atau tergoda karena bisa merasakan sesuatu yang lembut atau mencium aroma harum… tapi aku lebih merasa malu. Ini tempat umum, banyak orang yang bisa melihat kami.
"Ehh, Mikami-san?"
"Jangan pedulikan aku."
"Tunggu—"
"Jangan pedulikan aku."
"Ehh…"
"Jangan pedulikan aku."
"……"
"Jangan pedulikan aku."
Aku mencoba berbicara dengannya dengan suara kecil agar tidak mengganggu penumpang lain. Tapi yang kudapat hanyalah kalimat andalan Mikami-san saat dia masuk ke mode "tidak mendengarkan orang lain."
Ketika dia mengucapkan itu berulang kali, artinya dia benar-benar tidak berniat mundur dan akan tetap bersikeras pada keinginannya.
Sejujurnya, ini agak merepotkan, tapi kalau dia bisa bersikap seperti ini, berarti rasa takutnya terhadap kejadian tadi sudah mulai mereda. Itu hal yang baik. Namun, kalau sudah seperti ini, tidak peduli apa yang kulakukan, pasti dia tidak akan mau bergerak. Aku hanya bisa pasrah menerimanya... Tapi kalau terlalu sering menggesek-gesekkan diri seperti itu, aku jadi geli.
Rambut indahnya menyentuh wajahku saat dia bergerak di pundakku, membuatku merasa geli dan geli.
"Uh, Mi—Mikami-san? Aku nggak keberatan sih, tapi kalau bisa jangan banyak bergerak, itu akan sangat membantuku..."
"…Tidak usah pedulikan aku."
Aku bertanya hanya untuk memastikan, tapi jawabannya tetaplah penolakan halus. Akhirnya, aku memutuskan untuk pura-pura tidur agar bisa melewatinya tanpa terlalu memikirkan rasa maluku.
Pada akhirnya, Mikami-san tetap dalam posisi itu sampai kami turun dari kereta. Bahkan saat turun, dia tampak sedikit enggan, seolah ingin tetap bertahan di dalam. Hampir saja kami kelewatan stasiun tujuan.
Tapi anehnya, sekarang dia terlihat jauh lebih tenang dan berwibawa dibandingkan sebelumnya. Aku bisa melihat sedikit ketegangan dalam ekspresinya, dan kalau aku tidak salah lihat, telinganya tampak agak merah.
Saat aku terus memperhatikannya, sepertinya dia menyadari tatapanku dan mata kami bertemu sesaat—hanya untuknya segera memalingkan wajah.
"…Ehm… Malu rasanya kalau kamu menatapku seperti itu."
Tunggu, apa dia benar-benar merasa malu atas semua yang dia lakukan tadi? Sejujurnya, aku cukup terkejut. Bahkan seseorang seperti dia, yang sering mengancam ketahanan mental dan batas kesabaranku, ternyata punya rasa malu juga…
Biasanya, dia selalu bertingkah tanpa memikirkan batasan, tapi begitu kembali ke mode ‘normal’, reaksinya jadi seperti ini… Agak menyegarkan juga melihatnya. Namun, justru karena itu, aku ingin memberinya kata-kata ini sebagai balasan.
"Tidak usah pedulikan aku."
"…Jahat."
Kamu juga nggak ada hak buat ngomong begitu. Biar dia juga merasakan bagaimana rasanya kata-kata seseorang tidak bisa ditolak.
Tapi sudahlah, sedikit ‘balas dendam’ ini sudah cukup. Sekarang waktunya belanja.
Kami tiba di pusat perbelanjaan besar, tempat di mana hampir semua kebutuhan bisa didapatkan. Karena ini hari libur, tempat ini sangat ramai, membuatku sedikit pusing melihat lautan manusia.
"Jadi, pertama kita mau ke mana?"
"Kita lihat dulu perabotan dan barang elektronik. Setelah itu kita makan siang dan beristirahat sebentar, baru kemudian belanja barang-barang kebutuhan sehari-hari. Lebih praktis seperti itu, supaya tidak membawa barang berat sejak awal."
Jadi mulai dari situ, ya?
Benar juga, perabotan dan barang elektronik bisa diantar langsung ke rumah, jadi tidak akan merepotkan. Sementara barang kebutuhan sehari-hari, tergantung seberapa banyak yang dibeli, bisa saja merepotkan kalau dibawa sejak awal. Lebih baik mengatur belanja sesuai urutan prioritas.
Oh, dan ngomong-ngomong, Mikami-san sudah dengan santainya berencana mengirimkan perabotan dan barang elektronik itu ke rumahku. Jujur saja, aku sudah mendengar ‘rencana invasi’ ini berkali-kali dalam beberapa hari terakhir, sampai telingaku terasa sakit. Jadi aku sudah pasrah.
Bahkan kupikir dia cukup baik karena masih mau mempertimbangkan kenyamanan si pemilik rumah. Ya, meskipun kalau ditanya pendapatku, aku hanya bisa memberikan jawaban setengah hati seperti, "Terserah saja, sih…"
Jadi, kami pun masuk ke toko elektronik besar. Yang kutahu, Mikami-san berencana memasak dan membuat kue di rumahku.
Buktinya, dia langsung menuju bagian peralatan dapur dan mulai membandingkan berbagai model oven microwave yang dia inginkan.
"…Sulit memilihnya."
"Serius? Menurutku semuanya terlihat sama saja."
"Sama sekali tidak. Masing-masing punya fitur yang berbeda, belum lagi ukurannya, arah bukaan pintu, dan hal-hal lain yang harus diperhitungkan. Untuk apa aku mengukur tempatnya di dapur kalau tidak memperhitungkan hal-hal seperti ini?"
Saat aku hanya menatap kosong ke arah oven-oven tersebut tanpa memahami perbedaannya, Mikami-san menegurku. Dia mulai menjelaskan berbagai hal seperti kapasitas, bentuk interior, kemudahan pembersihan, dan sebagainya dengan sangat cepat…
Sayangnya, otakku tidak bisa sepenuhnya mengikutinya. Ya sudahlah, biarkan dia memilih yang dia suka. Lagipula, yang akan paling sering menggunakannya adalah dia.
"Kirishima-san, dari dua ini, menurutmu yang mana yang lebih bagus desainnya?"
"Umm… yang ini, mungkin?"
"Baiklah, kita jadikan ini kandidat utama dan lihat beberapa lagi. Setelah itu, kita ke bagian tempat tidur, yuk?"
"Mikami-san?"
"…Bercanda kok."
Astaga, tolong jangan buat lelucon seperti itu. Suaramu barusan terdengar terlalu serius, aku nyaris percaya kalau kau benar-benar mau melakukannya. Meskipun dia bilang bercanda, aku masih bisa mendengarnya bergumam sesuatu pelan-pelan…
"Baiklah, kita lanjut! Demi menciptakan ruang yang nyaman, ayo semangat!"
"…Mohon perlakukan aku dengan lembut."
Mikami-san yang penuh semangat mulai menyeretku dari satu tempat ke tempat lain. Melihat dia menikmati ini memang membuatku senang… Tapi dia terlalu serius. Aku jadi khawatir seberapa jauh ‘invasi’-nya akan berlanjut. Seberapa banyak dia akan ‘menguasai’ rumahku, ya…?
…Yah, sudahlah. Meskipun tidak baik juga.
Setelah selesai melihat perabotan dan barang elektronik serta mengurus semua prosedurnya, aku hanya bisa terdiam melihat jumlah barang yang dia beli. Jumlahnya cukup banyak… dan harganya juga tidak main-main. Ini bukan jumlah yang biasanya dikeluarkan oleh seorang siswi SMA kelas satu.
Dulu waktu dia mengeluarkan dompetnya di rumahku, aku juga melihat sekilas banyak lembaran uang seratus ribuan di dalamnya. Jangan-jangan, bukan cuma batasan jaraknya yang bermasalah, tapi juga cara dia mengelola keuangan…? Yah, sudahlah. Yang lebih mengkhawatirkanku adalah jenis barang yang dia beli.
Oven microwave dan peralatan dapur lainnya memang sudah kupasrahkan sejak awal. Tapi dia juga membeli lemari dan perabot penyimpanan lain…
Belum lagi, meskipun tidak sampai membelinya, dia tetap menyeretku ke bagian perlengkapan tidur.
Aku melirik ke arahnya. Dia terlihat sangat puas. Jangan bilang… dia berencana tinggal di rumahku?
"Kenapa? Tatapanmu aneh begitu. Aku tidak akan terpengaruh meskipun kau menatapku seperti itu."
"Ah, tidak… Aku hanya berpikir kau terlihat sangat menikmati ini."
"Aku memang sangat menikmatinya! Tapi ini masih belum selesai, loh?"
Yah, ini kan juga bagian dari ‘kencan’ kami.
Yang terpenting adalah membuat pasangan menikmatinya. Meskipun aku yang lebih sering dipermainkan olehnya, dan rasanya dia lebih seperti ‘mengamuk’ daripada sekadar menikmati…
Tapi pada akhirnya, aku juga menikmati waktu bersamanya. Kalau kita berdua menikmatinya, berarti sejauh ini berjalan lancar. Tapi, Mikami-san masih punya energi berlebih, ya. Sepertinya aku masih akan terus terbawa arus.
"Tapi, ini waktu yang pas. Bagaimana kalau kita makan siang dulu?"
"Sudah jam segini, ya? Benar juga, aku mulai agak lapar."
Saat melihat jam di pergelangan tanganku, waktu sudah melewati pukul dua belas tiga puluh.
Awalnya, kami berencana bertemu pukul sepuluh, tapi sebenarnya kami bertemu lebih awal, lalu berpindah lokasi, dan sampai di sini sebelum pukul sepuluh.
Sejak saat itu, aku terus menemani Mikami-san melihat-lihat perabotan dan peralatan elektronik.
Kalau dipikir-pikir, aku sudah lama juga ditarik ke sana kemari olehnya. Tapi, aku tak merasa keberatan, bahkan sampai lupa waktu. Itu berarti... aku juga menikmatinya. Memang benar kalau waktu terasa berlalu lebih cepat saat kita bersenang-senang.
"Di sini banyak tempat makan, jadi kita pasti akan kebingungan memilih."
"Benar juga. Seperti yang diharapkan dari pusat perbelanjaan besar."
"Kirishima-san ingin makan sesuatu?"
"Hmm... Aku tidak ingin makan berat, yang penting cukup mengenyangkan saja. Kalau Mikami-san?"
"Mungkin karena banyak berpikir, tubuhku jadi ingin sesuatu yang manis. Aku ingin makan makanan manis."
Rasanya aneh mengatakan kalau berbelanja bisa menguras pikiran, tapi Mikami-san memang tadi sempat lama menatap barang-barang sambil membandingkannya. Bahkan, aku melihat catatannya penuh dengan angka-angka. Sepertinya, ada banyak hal yang ia pertimbangkan.
"Begitu ya. Kalau begitu... sepertinya pilihan kita sudah jelas."
"Iya."
Tepat di depan kami ada papan informasi restoran. Di sana tertulis nama-nama restoran, lantai tempatnya berada, serta jenis makanan yang mereka sajikan. Banyak orang yang menentukan tempat makan mereka setelah melihat papan ini.
Aku meliriknya sekilas dan langsung tahu Mikami-san akan memilih tempat mana. Aku ingin makan yang ringan, sementara Mikami-san ingin makan yang manis. Ditambah lagi, aku sudah beberapa kali makan bersamanya, jadi aku cukup memahami seleranya.
Kami saling bertukar pandang, lalu menunjuk papan informasi secara bersamaan. Seperti yang kuduga, jari kami menunjuk tempat yang sama.
Kami akhirnya masuk ke sebuah kafe yang jadi pilihan bersama, lalu membuka menu. Sejujurnya, aku tidak terlalu pilih-pilih soal makanan ringan, tapi Mikami-san pasti sudah bisa menebak apa yang akan kupesan.
"Kirishima-san akan pesan seperti biasa?"
"Bukan seperti biasa sih... tapi ya, aku pesan sandwich dan kopi."
"Kamu suka sekali, ya. Aku hampir tidak pernah melihatmu makan yang bukan roti. Kamu pernah makan nasi?"
"Tentu saja pernah. Aku juga pernah makan bekal yang kamu buat, kan? Lagipula, kamu tahu aku punya rice cooker di rumah, kan?"
"...Tunggu, ternyata itu bukan sekadar pajangan?"
Sungguh kabar buruk. Rice cooker yang berada di dapur rumahku ternyata dikira cuma pajangan. Padahal benda itu ada di sana untuk menanak nasi, bukan sekadar untuk mengisi kekosongan dapur.
Dan pertanyaannya tadi juga cukup kasar. Saat dia membuatkan bekal untukku dulu, dia juga bertanya apakah aku mengenal nasi atau tidak. Sebenarnya, dia menganggapku sebagai apa, sih?
"...Ini membingungkan."
"Kamu bingung memilih menu?"
"Aku ingin memesan set menu yang sama dengan Kirishima-san, tapi semua dessert di sini terlihat enak. Aku kesulitan memilih satu."
Sambil berkata begitu, Mikami-san menatap menu dengan serius.
Ekspresinya yang terus berubah saat bimbang sebenarnya cukup menghiburku, tapi kalau dia tidak segera memutuskan, kami tidak bisa memesan.
Kenapa dia hanya ingin memilih satu? Kalau dia ingin makan banyak tapi tidak bisa, kemungkinan alasannya adalah karena uang... atau kalori. Melihat dia tidak ragu-ragu saat berbelanja tadi, sepertinya alasan yang lebih masuk akal adalah yang kedua. Tapi, bertanya langsung soal itu rasanya terlalu tidak peka.
"Hmm... bagaimana ya. Aku juga tiba-tiba ingin makan yang manis. Mumpung di sini, bagaimana kalau kita pesan yang berbeda lalu saling berbagi?"
"Wah! Mari kita lakukan itu!"
Ekspresi Mikami-san yang tadinya mengerut berubah cerah. Sepertinya dugaanku benar. Yah... aku memang kebetulan ingin makan yang manis, jadi itu bukan alasan yang terlalu mencolok.
"Jadi, kamu bingung antara yang mana?"
"Semuanya terlihat enak, tapi pilihan terkuatku adalah cheesecake dan gâteau au chocolat."
"Kalau begitu, kita pesan itu saja. Yang lain memang terlihat enak, tapi kita bisa kembali lagi lain kali."
"...Iya!"
Setelah melalui sedikit drama, akhirnya pesanan kami diputuskan. Sambil menunggu makanan datang, Mikami-san tampak sangat bersemangat.
Tak lama, pesanan kami pun tiba, dan kami menikmati makan siang yang luar biasa. Makan sandwich yang lezat sambil sesekali mencuri pandang ke arah Mikami-san yang duduk di depanku adalah kenikmatan tersendiri.
Setelah selesai makan, piring yang kosong diangkat, lalu dessert yang kami pesan diantarkan ke meja. Mikami-san memesan cheesecake, sedangkan aku gâteau au chocolat. Dengan berbagi, kami bisa mencicipi keduanya.
Sebelum mulai makan, aku memotong gâteau au chocolat dengan hati-hati menggunakan garpu yang masih bersih, lalu menyisihkan potongan untuk Mikami-san.
"Mikami-san, bisa dekatkan sedikit?"
"Ah, baik."
Kupikir dia akan mendekatkan piringnya, tapi ternyata yang mendekat adalah wajahnya. Dengan mata terpejam dan mulut terbuka, dia menunggu. Eh, apa? Dia mau aku menyuapinya?
"Ah, eh, um?"
Sepertinya dia tidak sabar dan menunggu aku segera menyuapinya.
Dia tampak sangat teguh untuk tidak menerima potongan kue itu di piringnya.
Sepertinya aku tidak punya pilihan selain menyuapinya langsung. Tapi... ini berarti ciuman tidak langsung, kan?
"Benarkah tidak apa-apa?"
"Hm? Ya."
"Begitu… Baiklah."
Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi ada batasnya juga. Sementara itu, Mikami-san tetap menunggu dengan mulut terbuka. Ditambah lagi, aku sama sekali tidak diberi hak untuk menolak. Sudahlah, aku hanya bisa pasrah dan melakukannya.
Aku memotongnya menjadi ukuran yang mudah dimakan, menusukkan ke garpu, lalu dengan tangan gemetar, aku mengarahkan potongan itu ke mulut Mikami-san. Bibirnya yang lembut menelan garpu, dan dia mulai mengunyah dengan pelan. Tidak hanya tidak peduli dengan ciuman tidak langsung, dia bahkan memaksaku untuk menyuapinya. Sampai sejauh mana dia akan terus menunjukkan kelalaiannya?
"Bagaimana rasanya, Tuan Putri?"
"Manis, tapi ada sedikit rasa pahit... Sangat enak."
"Syukurlah."
"Baiklah, sekarang giliran Anda."
Setelah Mikami-san selesai mengunyah dan menelannya, aku bertanya tentang kesannya. Yah, melihatnya menikmati makanan itu, rasanya sepadan dengan penderitaan jantungku yang menjerit... atau begitulah yang kupikir, sampai dia melancarkan serangan balik.
Dengan segera, dia menusukkan garpu ke cheesecake dan mengulurkannya ke depan mulutku. Jadi ini juga salah satu hal yang tidak bisa kutolak, ya? Dengan ragu-ragu, aku membuka mulut. Begitu aku menggigitnya, aroma cheesecake yang lembut langsung menyebar di mulutku.
"Bagaimana rasanya?"
"...Enak."
Walaupun aku mengatakan begitu, sejujurnya aku hampir tidak bisa merasakan rasanya. Malu karena disuapi, malu karena menyuapi, dan malu karena ciuman tidak langsung. Semua itu menyerangku sekaligus, membuatku tidak bisa benar-benar menikmati makanan ini.
"Bisakah aku meminta satu gigitan lagi dari gâteau au chocolat?"
Aku menelan cheesecake yang seret di tenggorokan karena gugup, lalu membasuhnya dengan es kopi. Sementara itu, Mikami-san kembali meminta tambahan, membuka mulutnya lebar-lebar.
Sungguh... dia benar-benar seorang putri yang ceroboh dan manja.
Setelah istirahat makan siang yang entah kenapa malah membuatku kelelahan, kini saatnya lanjut ke babak kedua.
Bukan lagi barang-barang besar seperti furnitur dan peralatan rumah tangga yang tidak bisa dibawa pulang, melainkan barang-barang yang bisa dibawa langsung dengan tangan. Mikami-san tampak sangat senang, bahkan berjalan sambil bersenandung dan terus-menerus menggumamkan kata "celemek, celemek".
Oh iya, dia pernah bilang sesuatu tentang celemek yang serasi, kan?
Sejauh ini, barang-barang yang sudah dipastikan adalah celemek dan mug. Mikami-san ingin mengubah dapurku menjadi "markas" untuk membuat kue, jadi celemek itu jelas penting. Dan mug itu, tentu saja, adalah mug pribadinya yang akan dia gunakan setiap kali datang ke rumahku.
Mungkin sekalian beli beberapa gelas untuk minuman dingin juga. Tapi... aku ragu hanya akan berhenti di situ. Mikami-san adalah tipe orang yang bisa menghabiskan dua jam hanya untuk melihat-lihat furnitur dan peralatan rumah tangga. Berharap dia akan berhenti hanya di barang-barang kecil seperti ini adalah pemikiran yang terlalu naif.
"Kirishima-san! Ayo cepat! Kalau tidak, mug kembar kita akan kabur!"
"Mug tidak bisa kabur."
"Tapi bisa kehabisan!"
Mug memang tidak bisa kabur, dan aku juga tidak yakin kalau barang ini akan cepat terjual habis... Tapi melihat betapa senangnya Mikami-san, kurasa tidak ada salahnya ikut saja dalam alurnya.
"Baiklah, ayo pergi. Di mana bagian penjualannya?"
"Mungkin di sana."
Sambil berkata begitu, Mikami-san tanpa sadar menggenggam tanganku dan mulai berjalan.
Seharusnya aku menghentikannya, tapi... kalau hanya ini, kurasa masih bisa dianggap lucu. Apakah aku mulai terbiasa dengan semua ini?
Aku mengikuti ke mana pun Mikami-san tertarik, menikmati belanja bersamanya.
Sejujurnya, awalnya aku hanya berpikir untuk menjadi pembawa barang belanjaannya saja, tapi ternyata ada juga beberapa barang yang menarik perhatianku.
Saat aku mulai tinggal sendiri, aku hanya membeli barang-barang yang benar-benar diperlukan. Tidak heran jika Mikami-san berkata rumahku terasa sepi dan sedang dalam proses "perombakan total" olehnya.
Tapi melihat-lihat seperti ini juga membuatku berpikir bahwa ada banyak barang yang, meskipun tidak wajib, akan sangat berguna kalau aku memilikinya.
Mikami-san lebih banyak memilih peralatan memasak, serta berbagai barang yang akan membuatnya nyaman saat berada di rumahku.
Sekilas, aku bahkan melihat beberapa perlengkapan makan seperti sumpit. Kurasa dia benar-benar berencana untuk memasak di rumahku. Dan jika sudah sampai di titik itu... dia mungkin juga akan mulai makan di rumahku secara rutin.
Yah, aku tidak keberatan kalau dia sering datang, tapi aku merasa barang-barang pribadinya akan semakin bertambah di sana.
"Bagaimana? Masih lama?"
"Barang-barang yang sudah kupastikan ingin kubeli sudah aman, tapi semakin kulihat, semakin banyak yang kuinginkan."
"Aku paham. Kalau datang ke tempat seperti ini, pasti jadi kepikiran banyak hal."
"Kalau begitu, kenapa rumah Kirishima-san begitu kosong? Apa kamu tidak punya keinginan untuk memiliki barang-barang tertentu?"
"Aku punya, kok."
Memang, sejak awal tinggal sendiri, ada beberapa barang yang kupikir sebaiknya kubeli, tapi aku malas untuk belanja. Jadi, kurasa ini adalah kesempatan yang baik karena Mikami-san mengajakku.
"Ngomong-ngomong, kamu yakin uangmu cukup? Kamu sudah banyak menghabiskan uang untuk peralatan rumah tadi... Haruskah aku ikut membantu bayar?"
"Tidak masalah. Ini investasi untuk kehidupan yang lebih baik."
"...Begitu ya."
"Benar sekali."
Meskipun sudah menghabiskan cukup banyak uang untuk furnitur dan peralatan rumah tangga, Mikami-san tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti berbelanja. Dia bahkan tidak terlihat berpikir panjang atau mengecek dompetnya, jadi mungkin memang tidak ada masalah dengan keuangannya.
Siapa sebenarnya Mikami-san ini...?
Saat aku memikirkannya, aku menyadari sesuatu. Aku sebenarnya tidak tahu banyak tentang Mikami-san.
Yang aku tahu hanyalah bahwa dia tinggal di apartemen yang sama denganku dan bersekolah di SMA yang sama. Dia sangat populer hingga disebut sebagai "bunga di puncak tebing". Dia pandai memasak. Dia sering mengabaikan apa yang dikatakan orang lain. Dan... dia sangat manja.
Selain itu... aku hampir tidak tahu apa-apa tentangnya.
Itu juga benar. Karena jarak yang aneh antara aku dan Mikami-san, aku jadi hampir melupakan kenyataan bahwa kami baru menghabiskan waktu sebagai kenalan.
Kami bukan teman lama atau semacamnya, hanya teman sekelas yang kebetulan memiliki hubungan karena suatu keadaan… seharusnya begitu. Tapi entah sejak kapan, Mikami-san mulai menjadi bagian dari keseharianku.
"Kenapa?"
"Tidak… aku hanya berpikir kalau aku ternyata tidak tahu apa-apa tentangmu, Mikami-san."
"Aku juga masih banyak hal yang belum kuketahui tentang Kirishima-san. Jadi… aku akan menghabiskan waktu bersamamu dan mengenalmu lebih banyak lagi."
"…Begitu ya. Mulai dari sekarang, huh."
"Kita punya banyak waktu. Tidak perlu terburu-buru."
Ya, benar juga. Bagaimanapun, Mikami-san pasti akan terus mengusik kehidupanku yang sepi ini. Dia akan terus melibatkanku. Seiring waktu, yang awalnya tidak kuketahui akan berubah menjadi sesuatu yang aku pahami.
Mudah saja. Aku hanya perlu menerima keberadaannya dalam hidupku, dan Mikami-san sendiri yang akan mendekat dengan sendirinya.
Saat turun dari kereta, langit senja terbentang luas.
Karena aku cukup menikmatinya, aku sampai lupa waktu… tapi akhirnya aku sadar kalau berbelanja dengan seorang gadis memang memakan waktu lebih lama dari yang kuduga.
"Tidak apa-apa? Tidak berat?"
"Aku baik-baik saja. Aku ini laki-laki, kok."
Belanjaan Mikami-san cukup banyak. Kalau dia membawanya sendiri, pasti akan sangat merepotkan.
Aku membagi belanjaan menjadi barang pecah belah dan barang biasa, lalu mengambil yang lebih berat. Tapi sejujurnya, tidak terlalu merepotkan.
Mikami-san menyebut belanjaannya sebagai ‘investasi kenyamanan’ untuk dirinya sendiri, tapi pada akhirnya, yang mendapat manfaat justru aku. Meski memang, ruang tempat tinggalnya di rumahku akan bertambah, tapi keuntunganku jauh lebih besar daripada ruginya. Rasanya aku harus membantu membawa barang belanjaannya agar tidak merasa terlalu beruntung.
"Kirishima-san, apa kau bersenang-senang hari ini?"
Nada suaranya terdengar sedikit cemas saat menanyakannya.
Aku mengira dia akan mengatakan sesuatu seperti "Menyenangkan, bukan?" dengan senyum cerah yang tak kalah dengan langit senja. Tapi ternyata tidak.
"Aku senang kok. Tapi, kenapa?"
"Aku baru menyadari… mungkin aku terlalu bersemangat dan malah menyeretmu ke sana kemari…"
"Itu baru kau sadari sekarang?"
"Ugh…"
"Tapi… termasuk itu pun, aku tetap menikmatinya."
Memang benar bahwa aku terbawa arus oleh Mikami-san, tapi aku sama sekali tidak keberatan. Sebaliknya, aku menerimanya dengan sadar. Itu adalah keputusanku sendiri untuk ikut terseret olehnya.
Jadi, Mikami-san tidak perlu merasa bersalah. Meskipun, aku tetap berharap dia sedikit lebih sadar dengan batasan ruang pribadinya.
"Terima kasih… Aku juga senang. Tapi… aku masih punya satu penyesalan."
"Penyesalan?"
"Saat kita janjian tadi, aku ingin datang lebih dulu, lalu ketika kau bertanya ‘Sudah lama menunggu?’ aku ingin menjawab ‘Aku juga baru datang’."
Begitu rupanya. Sekarang aku paham kenapa dia memilih bertemu di depan stasiun, dan kenapa dia tiba jauh lebih awal dari waktu yang disepakati.
Itu adalah adegan klasik dalam kencan.
Tapi karena kami tinggal di apartemen yang sama, jika kami bertemu seperti biasa, momen itu akan hilang begitu saja.
Sayangnya, harapannya itu akhirnya hancur karena insiden tak terduga yang terjadi tadi. Alih-alih mendapatkan suasana yang diinginkan, yang ada dia malah mengalami ketakutan.
"Mau janjian lagi lain kali? Memang sayang sekali hari ini tidak berjalan sesuai harapan, tapi bukan berarti kita tidak bisa mencobanya lagi, kan?"
"…Serius? Kau mau berkencan denganku lagi?"
"…Kalau aku sedang ingin."
Dibilang ‘kencan’ secara terang-terangan begini masih membuatku sedikit malu. Tapi kalau itu sesuatu yang Mikami-san inginkan, maka aku ingin menemaninya.
"Aku tidak sabar menunggu kencan berikutnya!"
"Ya, kita lihat saja nanti."
"Kali ini, Kirishima-san yang harus mengajakku. Aku ingin kau merancang kencan terbaik untuk kita!"
…Itu tidak terduga. Tapi dengan tatapan penuh harapan seperti itu, mana mungkin aku bisa menolak? Tidak, bahkan jika aku menolak, Mikami-san pasti akan mengabaikan penolakanku begitu saja.
Tak ada pilihan lain. Aku harus memikirkan rencana yang bisa membuat Mikami-san senang. Untuk itu… aku harus mengenalnya lebih jauh lagi.




Post a Comment