Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Kedatangan dan Masa Lalu Adik Putri Salju
"Aduh capek banget... Aku lapar..."
Begitu sesi belajar selesai, matahari pun sudah terbenam, dan perut Takashi—yang masih remaja dan penuh energi—berbunyi keras, mengeluarkan protes kelaparan. Saat ini, ia benar-benar ingin segera makan sesuatu.
Mungkin karena selama belajar tadi, mereka berdua juga sempat saling menyentuh kaki satu sama lain, jadi tubuhnya jadi lebih banyak membakar gula dari biasanya.
"Aku juga sebenarnya ingin masak sesuatu, tapi... hari ini lebih capek dari biasanya."
Karena mereka melakukan hal-hal yang tidak biasa, wajar kalau Himeno jadi kelelahan.
Ia menghela napas panjang—hal yang jarang ia lakukan—dan meregangkan punggungnya seolah ingin melonggarkan tubuh yang pegal.
Biasanya Himeno sangat rapi dan menjaga sikapnya di depan orang lain, tapi mungkin setelah membuka diri dan menceritakan masa lalunya tadi, ia merasa sudah bisa sedikit bersantai.
Melihat sisi dirinya yang tidak biasa itu membuat Takashi merasa senang. Dalam hati, ia tak bisa menahan senyuman.
Selama ini Himeno memang sangat mempercayainya, tapi rasanya lebih seperti karena ia tak ingin merasa kesepian. Namun sekarang, ia benar-benar mempercayai Takashi dan ingin bersamanya.
"Maaf ya, kamu lagi capek... tapi aku ada satu permintaan."
"Apa itu?"
Himeno sedikit memiringkan kepala dengan ekspresi penasaran.
"Aku pengen makan onigiri buatan Himeno. Tapi... aku pengen yang kamu buat pakai tangan langsung, bukan pakai sarung tangan plastik."
Meski tahu Himeno pasti sedang lelah setelah semua yang terjadi, entah kenapa Takashi benar-benar ingin makan onigiri buatan tangan Himeno saat ini.
Tentu saja, karena itu makanan, ia akan minta agar tangan dicuci dulu.
"Oke... Nggak masalah."
Himeno langsung menyetujui permintaannya.
"Tapi... aku juga ingin makan onigiri buatan Tak-kun. Yang kamu bentuk pakai tangan langsung, ya..."
Wajah Himeno langsung memerah karena malu mengatakan itu. Nada bicaranya terdengar agak menggoda—kalau cowok biasa yang mendengarnya, pasti langsung jatuh hati saat itu juga.
"Boleh. Aku juga sering dibuatin terus, jadi sesekali gantian juga nggak masalah. Kalau cuma onigiri sih, aku bisa."
Meski kemampuan masaknya payah, membuat onigiri bukan hal yang terlalu sulit. Asalkan tidak diminta membuat isiannya sendiri, ia masih sanggup.
"Onigiri buatan tangan Tak-kun... Aku pasti bisa merasakan kehangatan Tak-kun lewat mulutku juga."
Entah kenapa, ucapannya terdengar seperti punya makna lain. Tapi melihat Himeno tersenyum malu dan tertawa pelan, sepertinya dia memang tidak bermaksud gitu-gitu amat.
"Kalau gitu, aku harus segera mulai masak nasinya, ya!"
Seolah lelahnya hilang karena senang, Himeno langsung melangkah cepat ke dapur.
"Ah, panas!"
Begitu nasinya matang, mereka mulai membuat onigiri bersama. Namun karena sudah lama tidak melakukannya, Takashi langsung memegang nasi yang masih panas dan refleks menarik tangannya.
Selama ini, baik Marika yang ingin jadi kakak-kakakan maupun Himeno yang sering bersamanya, selalu yang memasak untuknya—jadi sudah bertahun-tahun ia tak menyentuh onigiri buatan sendiri.
Bukan cuma karena tidak bisa, tapi juga karena Marika sering melarangnya memasak.
"Kamu nggak apa-apa?"
Himeno memegang tangan Takashi dengan penuh kekhawatiran.
Berbeda dengan nasi yang panas, tangan Himeno terasa hangat dan nyaman—Takashi ingin terus dipegang seperti itu.
"Gak apa-apa kok. Maaf bikin kamu khawatir."
"Kalau memang gak parah sih bagus. Tapi sebaiknya tetap didinginkan pakai air dulu, ya."
"Ya, aku tahu."
Takashi membuka keran dan menaruh tangannya yang panas karena nasi di bawah air dingin.
Meskipun bukan luka bakar serius, tetap lebih baik mendinginkannya secepat mungkin.
"Kalau mau bikin onigiri, nasinya harus agak didinginkan dulu, ya."
Bagi orang yang biasa masak, membuat onigiri dengan nasi panas bukan hal biasa. Selain bisa melukai tangan, bentuknya juga sulit dibentuk.
Karena kejadian ini membuat Himeno khawatir, Takashi merasa harus lebih hati-hati kalau nanti ada kesempatan lagi. Walaupun belum tentu akan ada.
"Iya... Aku nggak nyangka bakal sepanas itu."
"Kalau gak biasa, ya wajar sih. Tapi dulu kamu sering dibikinin sama Shikibu-san, kan?"
Himeno menyebut nama Marika dengan nada sedikit menekan, lalu menggembungkan pipinya seperti orang cemburu.
"Orang pertama yang aku ceritakan soal masa laluku... itu Tak-kun. Itu berarti aku benar-benar percaya sama kamu. Jadi..."
Himeno menyentuh lengan Takashi yang tidak terkena air. Tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya. Meski percaya, tetap saja rasanya malu mengatakannya secara langsung.
Takashi mengerti betul. Bahkan saat ia menyukai seseorang, ia pun butuh waktu lama untuk bisa menyatakan perasaannya.
Jadi apapun yang akan dikatakan Himeno sekarang pasti membutuhkan keberanian besar.
"Aku ingin tetap bersamamu... karena itu... aku tidak ingin hubungan nyaman kita yang sekarang ini berakhir."
Itulah kalimat terbaik yang bisa ia ucapkan. Wajah Himeno memerah sepenuhnya, dan ia mengatakannya sambil memejamkan mata.
Memang, berada di dekat seseorang yang bisa dipercaya adalah hal yang nyaman. Dan begitu hubungan itu terbentuk, sangat sulit untuk dilepaskan.
Takashi sendiri pernah merasa nyaman berada di dekat Marika sebagai teman masa kecil—mereka seperti kakak-adik. Ia pun takut, kalau sampai menyatakan perasaan dan ditolak, hubungan mereka akan hancur.
"Jadi... meski luka di hati kita sembuh sekalipun, aku ingin tetap bersama—"
"Aku juga ingin tetap bersamamu."
Meski sedang mendinginkan tangan karena nasi panas—yang jelas bukan momen keren—Takashi langsung memotong dan menjawabnya lebih dulu.
"Senangnya..."
Himeno tersenyum dengan bahagia. Rasanya jelas sekali—ia sangat senang karena tahu bahwa hubungan mereka tak akan berakhir begitu saja.
Hubungan yang dimulai dari saling menyembuhkan luka bisa jadi akan berakhir ketika luka itu sembuh.
Namun jika mereka berdua saling memilih untuk tetap bersama... maka itu akan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti dan langgeng.
"Mulai sekarang, aku akan terus berusaha merebut hati Tak-kun... seberapa lama pun itu."
"Eh? Kamu ngomong apa barusan?"
Takashi tidak mendengar dengan jelas karena suara Himeno terlalu pelan.
"Bukan apa-apa. Aku cuma berpikir... mungkin tanganmu udah cukup dingin ya."
"Oh... ya, sepertinya udah."
Karena tidak sampai luka bakar, Takashi pun menghentikan proses mendinginkan tangannya.
"Yah, onigiriku bentuknya... nggak karuan ya."
Setelah selesai membuat onigiri, Takashi melihat hasil buatan Himeno dan mengomentari miliknya sendiri.
Bentuknya tidak jelas—antara segitiga dan bulat. Sedangkan onigiri buatan Himeno semuanya berbentuk segitiga yang indah.
Bagi orang yang tak biasa memasak, bahkan onigiri pun bisa terlihat kacau.
"Tidak apa-apa kok. Justru aku suka yang seperti itu, karena terasa sekali buatan tangan Tak-kun."
Meski bentuknya aneh, Himeno malah menyukainya karena terasa lebih ‘buatan sendiri’.
"Terima kasih. Tapi... onigiri rasa asin aja cukup gak?"
"Cukup kok. Aku juga akan buat lauk sederhana. Soalnya... kalau Tak-kun yang masak, nanti bisa-bisa kebakar atau malah keiris pisau, ya kan? Jadi santai aja di ruang tamu."
Melihat kegagalan kecil Takashi tadi, Himeno sepertinya tidak akan membiarkannya ikut memasak.
Lagipula, masakan buatan Himeno sudah pasti lebih enak—jadi Takashi pun memilih bersantai sambil nonton anime di ruang tengah.
Akhir-akhir ini, karena lebih sering menghabiskan waktu bersama Himeno, kesempatan Takashi untuk menonton anime jadi berkurang. Maka sekarang adalah momen yang pas.
"Yuk, kita lihat kelanjutannya gimana, ya?"
Ia mengeluarkan smartphone dari saku dan membuka aplikasi video. Yang ia tonton adalah anime baru musim ini tentang seorang gadis yang bereinkarnasi menjadi tokoh antagonis di dunia otome game.
Ia menganiaya heroine utama karena statusnya sebagai rakyat jelata, dan akhirnya diasingkan dari kerajaan.
Namun untuk menghindari nasib itu, si tokoh utama kini hidup jujur dan baik, hingga akhirnya mendapat perhatian dari sang pangeran dan karakter pria lain—alur cerita yang sering muncul dalam light novel.
Dulu ia sempat membaca volume pertamanya di kamar Marika, tapi karena anime ini sudah lebih jauh dari cerita yang ia baca, sekarang ia tak tahu pasti apa yang sedang terjadi.
"Kamu nonton apa tuh?"
Tiba-tiba saja, Himeno—yang seharusnya sedang memasak—menyembulkan wajahnya.
"Anime."
"Oh, begitu ya. Tokoh ceweknya berambut hitam…"
Sambil memegang rambutnya sendiri, Himeno bergumam dengan nada dalam. Tampaknya ia kepikiran soal tokoh utama yang punya rambut hitam—warna yang juga umum dimiliki orang Jepang di anime.
"Kalau begitu... kita nonton anime yang ada cewek berambut silver aja, yuk?"
"Eh? O-oh…"
Entah kenapa, permintaan Himeno kali ini terasa seperti tekanan, dan Takashi secara refleks langsung mengangguk.
Wajah Himeno memang tersenyum, tapi entah kenapa auranya tidak bisa dilawan.
"Ngomong-ngomong, ada apa? Bukannya kamu lagi masak?"
Takashi sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya. Soalnya tadi kita bareng-bareng bikin onigiri, jadi kupikir mau abadikan momennya."
Di tangannya ada smartphone dan sepiring onigiri. Sepertinya ia ingin foto bersama.
"Baiklah."
Takashi mengangguk, sambil dalam hati menyadari kalau selama ini belum pernah foto berdua dengan Himeno. Padahal sudah banyak waktu mereka habiskan bersama, tapi belum pernah mengabadikan momen itu.
"Biar aku yang fotoin, jadi... Tak-kun, bisa peluk pundakku ya…"
Sepertinya Himeno ingin foto sambil mesra. Wajahnya langsung memerah karena malu, meski dialah yang mengusulkannya.
"U-uh, oke…"
Meski mereka sudah cukup sering bermesraan, fakta bahwa kali ini mereka akan memotretnya membuat wajah Takashi panas. Mungkin wajahnya sama merahnya dengan Himeno sekarang.
"Kalau begitu, aku ambil, ya?"
Takashi pun memeluk pundak Himeno dan menarik tubuhnya mendekat. Karena pakai kamera depan, wajah mereka langsung terlihat di layar, membuat rasa gugupnya makin menjadi.
Himeno juga tampak malu-malu seperti biasanya, lalu mereka masing-masing memegang piring berisi onigiri dan Himeno menekan tombol shutter.
"Foto bareng Tak-kun…"
Ia terlihat sangat senang saat menatap hasil fotonya.
"Ku jadiin wallpaper ya."
Sikap malu-malu tadi langsung hilang, dan layar Himeno kini menampilkan foto mereka sebagai latar belakang.
"Aku kirim ke Tak-kun juga. Aku akan senang kalau kamu juga jadikan itu wallpaper-mu…"
"Wallpaper, ya…"
Takashi menelan ludah mendengar permintaan yang tak terduga itu.
"Yup. Dengan hubungan kita sekarang, rasanya gak aneh kok."
Memang benar, orang-orang di sekitar mereka pasti sudah menganggap mereka pasangan. Kalau sampai tidak menjadikan foto itu sebagai wallpaper, malah bisa terlihat mencurigakan.
"Baiklah."
Setelah menerima fotonya, Takashi menyimpannya dan langsung menjadikannya sebagai wallpaper juga.
"Kalau begitu, aku lanjut masak dulu ya."
"Iya."
Dengan wajah bahagia, Himeno kembali ke dapur.
"Onigiri buatan tangan Tak-kun… enak banget."
Setelah makan malam dihidangkan di meja, Himeno langsung menyantap onigiri buatan Takashi.
Ia menyebut "buatan tangan" seperti menekankan hal itu, tapi tampaknya ia benar-benar senang karena dibuatkan onigiri oleh Takashi.
Meski hanya onigiri rasa asin biasa, rasanya bisa jadi lebih enak tergantung siapa yang membuatnya.
Akhir-akhir ini mereka lebih sering duduk berdampingan daripada saling berhadapan saat makan. Mungkin karena posisi itu lebih dekat, Takashi pun tak mengomentari hal itu.
"Onigiri buatan tangan Himeno juga enak banget."
Begitu Takashi memakan onigiri buatan Himeno, ia sempat meragukan apakah ini benar-benar hanya onigiri rasa asin biasa.
Hanya karena itu buatan orang yang disukai, rasanya bisa berubah.
Tepatnya, bukan benar-benar berubah, tapi terasa jauh lebih lezat. Entah kenapa Himeno juga merasakan hal yang sama, mungkin karena onigiri itu dibuat oleh seseorang yang ia percaya sepenuh hati.
Padahal ini hanya onigiri polos tanpa nori sama sekali.
"Makasih, ya."
Melihat Himeno tersenyum bahagia sambil berkata "ehehe", hati Takashi terasa tenang.
Ia sudah tahu sejak dulu bahwa senyum orang yang disukai itu membahagiakan, tapi entah mengapa, senyum Himeno terasa sangat spesial—karena ia tahu senyum itu hanya ditunjukkan untuk dirinya.
"Aku rasa banyak banget cowok yang pengen makan masakan buatan Himeno."
Himeno, yang dikenal sebagai gadis tercantik di sekolah dan dijuluki Putri Salju, pasti punya banyak penggemar yang rela melakukan apa saja untuk mencicipi masakannya. Meskipun hanya onigiri sekalipun.
"Yang bisa makan masakanku cuma Tak-kun, kok."
Nada bicaranya seolah menekankan bahwa Takashi adalah orang spesial, dan hal itu membuat jantung Takashi berdebar kencang.
Menjadi "satu-satunya" di mata orang yang disukai memang sebegitu membahagiakannya.
"Orang lain gak akan kuberi."
"Makasih, ya."
Dengan tangan yang tidak sedang memegang onigiri, Takashi mengelus kepala Himeno.
Bahkan sebelum menyukainya pun, Takashi selalu merasa masakan Himeno enak. Tapi setelah menyukainya, keinginan untuk makan masakan Himeno jadi makin kuat.
"Lauknya juga enak banget."
Ia menyendok lauk ke mulutnya.
Sosis gurita yang dibumbui garam dan merica pas banget dengan selera cowok, dan tamagoyaki-nya pun punya rasa asin karena diberi kecap—benar-benar lezat.
"Makasih… Tapi, ehm… aku tetap ingin kamu lebih banyak makan onigiri buatanku…"
Wajahnya memerah, tapi ekspresinya menunjukkan kalau ia benar-benar ingin Takashi menikmati onigiri buatannya.
"Gimana ya, Himeno sekarang bener-bener berubah."
"Berubah…?"
Himeno memiringkan kepala dengan ekspresi bingung—dan tetap terlihat sangat imut. Tapi perubahan dirinya memang sangat mencolok sampai Takashi spontan mengatakannya.
"Iya. Kamu jadi lebih aktif."
Meski Takashi sendiri juga jadi lebih terbuka, tapi ketika gadis secantik Himeno menunjukkan sikap seperti itu, rasanya jauh lebih berdampak.
Waktu belajar tadi, Himeno sampai menyentuh kaki Takashi karena ingin ada kontak fisik—kalau itu belum dianggap ‘aktif’, entah apa lagi namanya.
"Mungkin, ya. Soalnya Tak-kun terlalu baik... jadi aku jadi manja gitu deh."
Padahal hubungan mereka hanya sebatas pacar palsu. Tapi Himeno tetap ingin dekat dan menyentuh Takashi, bahkan saat di rumah, yang artinya ia benar-benar ingin dimanja.
Bisa dimanja oleh orang yang disukai adalah hal yang sangat menyenangkan. Bahkan saat tidak perlu pun, Takashi ingin Himeno terus memanjakan dirinya.
"Rasanya… aku jadi pengen manja sekarang."
Bahkan saat sedang makan pun, Himeno mendekatkan kursinya hingga bahu mereka bersentuhan.
Sepertinya sekarang hatinya penuh dengan keinginan untuk dimanja dan bersentuhan.
"Ah…"
Takashi tidak akan mungkin menolak keinginan Himeno yang semakin aktif. Ia pun merangkul pundaknya dengan lembut.
Suara manja Himeno yang terdengar di tengah makan malam jelas tidak pantas, tapi senyumnya menunjukkan betapa bahagianya ia sekarang.
"Tapi jadi susah makan gini, ya."
Meskipun masih bisa makan, menggunakan satu tangan saja memang agak merepotkan. Kalau hanya makan onigiri, sih, masih bisa dilakukan. Tapi karena ada lauk juga, jadi agak sulit.
"Kalau begitu, biar aku yang menyuapi."
Mungkin seperti sebelumnya, Himeno akan menyuapi dengan "aa~n".
"Hmm…"
"Himeno?"
Tapi dugaannya meleset total—Himeno malah menggigit sosis gurita dan menatap Takashi.
Kalau begini caranya, bukannya disuapi, melainkan jadi makan lewat mulut—alias suapan langsung.
Memang akhir-akhir ini Himeno jadi lebih aktif, tapi Takashi tak menyangka dia akan sejauh ini.
"Hmm…"
Wajahnya benar-benar merah padam, tapi Himeno tetap menatap Takashi dengan mata biru bening, seakan memintanya untuk menerima suapan itu.
Kalau dimakan langsung dari mulut, bisa saja bibir mereka bersentuhan, dan itu berarti dia akan mengambil ciuman pertama Himeno.
Tentu saja, Himeno pun pasti menyadari itu.
Meski begitu, dia tetap mencoba menyuapinya lewat mulut. Mungkin karena dia memang memiliki rasa yang begitu besar sampai bisa menyebut Takashi sebagai orang penting baginya.
Itu tidak serta-merta berarti dia sedang jatuh cinta, tapi setidaknya bisa dipastikan Himeno bukan tipe gadis murahan yang bisa ciuman dengan siapa saja. Walaupun mulai aktif, dia tetap punya rasa malu.
"Hn… ah…"
Meski sangat malu, Takashi tidak bisa menolak permintaan Himeno yang sampai segitunya.
Begitu sosis gurita lepas dari mulut Himeno, terdengar suara manis dari bibirnya, dan wajahnya memerah sambil buru-buru makan onigiri.
(Padahal cuma sosis gurita, tapi rasanya manis seperti Himeno…)
Takashi mengunyah sambil berpikir seperti itu, bahkan rasanya ingin terus mengunyahnya di mulut.
"Yang berikutnya… aku gigit tamagoyaki, lalu Tak-kun juga gigit… dan kita saling suapin, ya?"
Tingkat kesulitan permintaannya tiba-tiba meningkat. Mungkin dia juga ingin merasakan sensasi saling suapi secara langsung.
"Hmm…"
Seolah tak bisa menunggu jawaban, Himeno langsung menggigit tamagoyaki dan menatap Takashi.
"Ah…"
Takashi menelan sosis gurita, lalu menggigit ujung tamagoyaki yang Himeno gigit dari sisi sebaliknya. Untuk menenangkan diri, ia mundur sedikit setelah itu.
Di anime atau manga memang kadang ada adegan saling suap, tapi jarang sekali ada adegan di mana makanan digigit dari dua arah seperti ini.
"Amm… amm…"
Tamagoyaki masuk ke mulut Himeno sedikit demi sedikit, tapi entah kenapa dia tidak menjauhkan wajah.
Justru jaraknya semakin dekat—seolah tinggal selangkah lagi dari ciuman sungguhan.
Wajar jika seseorang ingin mencium orang yang disukainya. Tapi kalau sampai menciumnya sekarang, itu berarti ia telah mengambil ciuman pertama Himeno.
Karena rasa bersalah itu, Takashi tak bisa melakukannya.
Kalau ia sudah pernah jadi pasangan sungguhan dengan Marika, mungkin perasaan seperti ini tak sekuat sekarang. Tapi karena belum pernah sekalipun, ia tidak sanggup.
"Chuu…"
Tiba-tiba, Himeno mengecup pipi Takashi.
Meski ciuman di pipi sudah pernah beberapa kali, tapi karena kali ini benar-benar tidak disangka-sangka, jantung Takashi berdetak sangat kencang.
"Itu… batas kemampuanku untuk sekarang…"
Makan malam pun berubah jadi momen manis di mana mereka saling menyuapi makanan lewat mulut.
"Jadi benar kamu di sini."
Sesaat setelah makan malam selesai dan Takashi berpikir untuk pulang ke rumah, Hinata muncul di rumah Himeno.
Meski beda ibu, mereka tetap saudara, jadi mungkin Hinata memang memegang kunci rumah ini.
Ia mengenakan atasan putih off-shoulder, celana pendek, dan kaus kaki hitam panjang—gaya yang berbeda jauh dari Himeno yang lebih sering memakai dress atau rok panjang.
"Geh…"
Takashi secara refleks mengeluarkan suara aneh.
"Karena ini Onii-san, aku maafkan. Tapi bilang ‘geh’ ke cewek itu tidak sopan, tahu!"
"Itu keluar begitu saja…"
Takashi menjawab jujur pada Hinata yang kini menggembungkan pipi karena kesal.
"Hi-Hinata…"
Melihat Hinata, Himeno langsung bersembunyi di belakang Takashi seolah takut. Sepertinya dulu Hinata pernah mengatakan hal yang sangat menyakitinya.
"Ngapain kamu ke sini?"
"Hampir semua biaya hidup Himeno dibayar Ayah, jadi aku ke sini buat memastikan dia hidup dengan baik—bukannya itu hal yang wajar?"
Pendapatnya memang masuk akal. Wajar kalau keluarga ingin mengecek bagaimana keadaan salah satu anggotanya. Jadi, mungkin saja itu alasan resmi Hinata datang.
Tapi dari kata-katanya tadi, "jadi benar kamu di sini", bisa disimpulkan kalau itu bukan satu-satunya alasan.
Dia pernah bilang lewat telepon kalau mau mendekati Takashi. Kemungkinan besar, Hinata datang ke sini memang ingin bertemu dengannya.
Bisa jadi, setelah mencari ke rumah Takashi berdasarkan alamat dari Miki dan tidak menemukannya, dia pun menyimpulkan bahwa Takashi ada di rumah Himeno.
"Ruang tamunya memang rapi, tapi kamar tidurnya… nggak bau aneh, kan?"
Mempertimbangkan bahwa dua remaja berlainan jenis sedang tinggal berdua, tentu Hinata akan memikirkan hal-hal semacam itu.
"Aroma manis Himeno memenuhi seluruh ruangan, loh."
"Auuh…"
Mendengar kata "aroma manis", Himeno mengeluarkan suara malu. Memang benar, ruangan itu benar-benar dipenuhi aroma manis yang membuat kepala Takashi sempat berputar.
"Dari ucapannya barusan… berarti setidaknya Onii-san pernah masuk ke kamar orang ini, ya?"
"Yah, soalnya kami pacaran."
Meskipun Hinata bersekolah di tempat berbeda, dia tak boleh tahu kalau hubungan mereka sebenarnya hanya hubungan pura-pura, bukan hubungan sungguhan.
Justru kalau sampai Hinata tahu, besar kemungkinan dia akan memanfaatkan celah "hubungan palsu" itu untuk mendekati Takashi.
Meski Himeno mengatakan bahwa Takashi adalah orang penting baginya dan mempercayainya, kalau dia sampai melihat Takashi bermesraan dengan gadis lain, kepercayaan itu pasti akan runtuh.
Kalau itu terjadi, hubungan mereka sekarang pasti akan berakhir. Dan kalaupun ingin bermesraan, Takashi harus melakukannya hanya dengan Himeno.
"Aku sudah bilang lewat telepon, kan? Aku tertarik sama Onii-san. Kalau Onii-san mesra-mesraan dengan cewek lain, ya wajar dong kalau aku cemburu."
Memang, sebelumnya dia sudah bilang hal semacam itu. Entah dia benar-benar cemburu atau tidak, yang jelas sekarang pipinya mengembung seolah sedang cemburu.
"Aku sih nggak ngerti kenapa kamu bisa tertarik…"
Kemungkinan besar, Hinata hanya mengatakannya karena ingin merebut Takashi dari Himeno.
Kalau tidak begitu, mana mungkin dia tertarik pada cowok seperti Takashi yang baru dia temui sekali dan hanya pernah ngobrol lewat telepon?
Memang tinggi badan Takashi sedikit di bawah rata-rata, tapi wajahnya cukup menarik. Dia mungkin sudah beberapa kali menerima pernyataan cinta.
"Aku udah bilang kan, karena intuisi. Dan juga, wajah Onii-san itu imut."
Takashi memang mengakui wajahnya lebih ke arah baby face dibanding pria lain, mungkin juga memicu naluri keibuan.
Tapi tetap saja, ada kemungkinan Hinata sebenarnya ingin merebut Takashi dari Himeno hanya untuk membuat Himeno putus asa.
"Tak-kun tidak akan aku serahkan pada Hinata."
Himeno yang selama ini selalu terlihat ragu, akhirnya mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
Padahal dulunya dia sempat diperlakukan buruk dan diganggu oleh Hinata, hingga merasa takut padanya.
Tapi karena tetap mengatakan hal itu sekarang, artinya Himeno benar-benar ingin terus bersama Takashi.
Kalau dia sampai tidak bisa bersama Takashi lagi, bisa saja dia kembali jadi sasaran perundungan dari para gadis. Jadi sangat wajar kalau dia tak mau berpisah.
"Aku akan tetap bersama Himeno."
Takashi merangkul pundak Himeno dan menariknya mendekat.
Wajar kalau seseorang ingin bersama orang yang disukainya. Takashi ingin bersama Himeno.
Dia juga ingin menyembuhkan luka di hati Himeno dengan sepenuh hati.
"Begitu sukanya sama orang ini, ya?"
"Iya. Aku memang lebih suka Himeno."
Mengungkapkan perasaan sejujurnya memang memalukan, tapi kalau tidak dilakukan, Hinata tidak akan mundur. Atau bahkan, meski sudah diungkapkan, dia belum tentu akan mundur.
"Aku dan Tak-kun terikat oleh ikatan yang kuat dan keras kepala… jadi, kami bisa melakukan ini juga. Nchu..."
Begitu Himeno muncul di depan matanya, bibir Takashi langsung dibungkam oleh sesuatu yang hangat dan lembut.
Tidak salah lagi, itu adalah bibir Himeno—berarti mereka baru saja berbagi ciuman pertama.
Meski akhir-akhir ini Himeno jadi lebih aktif, Takashi sama sekali tak menyangka gadis pemalu itu akan mencium duluan.
Itu menunjukkan betapa Himeno tidak ingin kehilangan Takashi, bahkan sampai harus melakukan hal sejauh ini.
"Nn… chuu..."
Dan bukan hanya ciuman ringan. Ciuman itu cukup dalam, seperti yang biasa dilakukan pasangan sejati.
Mungkin memang harus sejauh ini kalau mau membuat Hinata benar-benar menyerah.
"Hmmmm… kalian udah masuk ke dunia berdua, ya…"
Terdengar suara Hinata seolah sedang cemburu.
"Nn... jangan…"
Takashi sempat hendak melepas ciuman karena terlalu malu, tapi Himeno menahan kepalanya dengan kedua tangan, tak membiarkannya pergi.
"Kalau begitu… aku pulang dulu hari ini."
Hinata menghela napas dan memutuskan untuk pergi. Sepertinya dia memang datang hanya untuk "melihat-lihat" keadaan hari ini.
Tapi melihat Hinata yang biasanya ceria malah menghela napas seperti itu, mungkin dia benar-benar kecewa dan jengah.
"Nnn… nchuu..."
Meski terdengar suara pintu depan ditutup dan Hinata sudah pergi, Himeno tetap tidak melepaskan ciumannya.
Karena bibir adalah bagian tubuh yang sensitif, napas terasa sangat panas, dan bibir Himeno yang lembut membuat Takashi ingin terus mencium.
"Aku… sudah memberikan ciuman pertamaku…"
Akhirnya bibir mereka terpisah.
Himeno tersenyum malu sambil terengah-engah.
Mungkin karena efek dari ciuman, atau karena susah bernapas selama berciuman.
Bagi orang yang sudah terbiasa, mungkin bisa tetap tenang meski berciuman lama, tapi bagi yang pertama kali, tentu itu sangat sulit.
"Tapi, um… aku juga sudah merebut ciuman pertama Tak-kun. Maaf ya…"
Meski dia melakukannya demi mengusir Hinata, Himeno tampak merasa bersalah.
"Nggak apa. Aku malah senang karena kamu bisa berani begitu."
Kalau ini Himeno yang dulu, dia pasti tidak akan punya keberanian melakukan itu. Tapi kali ini dia berhasil mengumpulkan keberanian dan melakukannya.




Post a Comment