NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kokoroni Kizuwo Ottamonodoshi Bakkapuru Nintei V2 Chapter 6

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 6

Liburan ke Hakone Diputuskan


"Tak-kun..."


Setelah Hinata pulang, rasa takut sepertinya mulai muncul, dan Himeno pun memeluk Takashi erat-erat.


Meski tadi ia sudah memberanikan diri menghadapi orang yang selama ini ia takuti, setelah Hinata pergi dan suasana menjadi sepi, rasa takut itu muncul kembali.


Hinata memang sempat bilang kalau ia menyukai Takashi di depan Himeno sendiri. Jadi bisa dimengerti kalau sekarang Himeno takut akan hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan.


Walaupun saat menelepon Hinata bilang tidak akan menyakiti Himeno, tetap saja, dari sudut pandang Himeno, itu menakutkan.


"Kamu hebat, sudah berani menghadapi dia."


Takashi mengelus kepala Himeno yang sedang memeluknya dengan lembut.


"Terima kasih banyak."


Dengan tawa kecil dan senyum manis, Himeno tampak bahagia mendapat pujian.


Tidak banyak orang yang tidak senang saat keberaniannya diakui.


"Tapi... karena aku mungkin akan ketakutan kalau sendirian, bolehkah kamu menginap di rumah ini malam ini?"


Mungkin karena efek dari kedatangan Hinata tadi, dia takut akan terus mengingat-ingat kejadian itu bila sendirian.


"Baiklah."


Takashi tentu tidak akan menolak kesempatan untuk bersama orang yang disukainya, jadi dia mengangguk setuju.


"Terima kasih."


Himeno pun menunjukkan senyum paling cerah yang pernah ia tunjukkan, seolah tak mampu menahan kegembiraannya karena Takashi akan menginap.


Senyumnya begitu memesona hingga mungkin bisa membuat sebagian besar pria langsung jatuh cinta.


"Ah, tunggu sebentar ya."


Tiba-tiba seolah mendapat ide, Himeno berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.


Melihat tingkahnya, sepertinya bukan untuk menangis atau semacamnya. Mungkin hanya mengambil sesuatu.


"Maaf membuat menunggu."


Beberapa detik kemudian, Himeno kembali.


Sekilas tidak ada yang berubah, tapi di pergelangan tangan kirinya kini ada sebuah scrunchie (ikat rambut).


Himeno biasanya tidak pernah mengikat rambut, jadi agak jarang melihatnya mengenakan aksesori rambut seperti itu.


"Permisi ya…"


Himeno duduk di atas pangkuan Takashi yang duduk di sofa, lalu perlahan mulai mengikat rambutnya.


Scrunchie yang tadi ada di pergelangan tangannya digunakan untuk mengikat rambutnya menjadi gaya ponytail.


"Kamu jarang sekali mengikat rambut, ya."


"Benar juga. Soalnya… Shikibu-san juga ponytail…"


Bagian akhir kalimatnya terlalu pelan hingga Takashi tak bisa mendengarnya.


Seandainya suara Himeno bisa sedikit lebih keras, Takashi tidak akan merasa seperti protagonis di anime genre "cowok sulit mendengar".


Karena rambutnya diikat, bagian tengkuk Himeno yang biasanya tersembunyi kini terlihat jelas.


Biasanya tertutup rambut, jadi tengkuknya terasa sangat menggoda saat terlihat. Mungkin juga karena ketegangan dan rasa takut akibat kedatangan Hinata tadi, kini tengkuk Himeno tampak sedikit berkeringat.


"Kamu memperhatikan tengkukku, ya?"


"Karena aku memang sedang lihat."


Wajar saja kalau ketahuan karena Takashi terus memandangi leher bagian belakang itu.


Meskipun Marika sering meminta mengikat rambutnya, Takashi tak pernah terlalu tertarik dengan tengkuknya. Tapi tengkuk Himeno yang biasanya tersembunyi, justru terasa sangat menarik untuk dilihat.


"Memang agak malu, tapi kalau Tak-kun yang melihat, aku tidak keberatan."


Himeno dengan lembut meletakkan tangannya di atas tangan Takashi dan dengan tangan satunya lagi, ia mengangkat rambutnya, membuat tengkuknya terlihat sepenuhnya.


Bagian tubuh yang jarang terlihat dari orang yang disukai pasti membuat mata susah beralih.


Memang seperti itulah naluri laki-laki—sulit dilawan.


Sejak tadi, logika dan akal sehat Takashi terasa terus digerus oleh dorongan naluri. Tapi karena Himeno telah menaruh kepercayaan begitu besar padanya, dia tak boleh bertindak sembarangan.


Tengkuk itu indah, hingga dia bisa mengerti mengapa ada pria yang sangat menyukainya.


"Aku tak menyangka kamu bakal memandanginya selama ini. Tapi memang sih, cewek berambut pendek atau yang mengikat rambut memang tengkuknya kelihatan…"


"Aku ingin melihatnya… karena itu tengkuk Himeno."


Tanpa sadar Takashi mengucapkan isi hatinya, dan tetap saja tak bisa melepaskan pandangannya. Saking menariknya, dan juga karena dia memang menyukai Himeno.


"Terima kasih… ya."


Meski malu, Himeno terlihat senang karena orang yang dia percaya memandangi tengkuknya, sampai dia tertawa pelan sambil menunduk malu.


"Luka hati Himeno pasti akan aku sembuhkan. Dan biarkan aku satu-satunya yang boleh melihat ini."


Takashi memeluk Himeno erat-erat karena muncul rasa ingin memiliki, meski mereka belum benar-benar berpacaran.


Wajar saja jika tidak ingin orang lain melihat bagian tubuh dari orang yang disukai.


"Iya. Satu-satunya orang yang boleh melihat dan menyentuhku, cuma Tak-kun."


Ucapan yang hanya bisa keluar dari orang yang benar-benar percaya dan mempercayakan segalanya. Kalau sudah begini, sulit untuk tidak salah mengira kalau dia benar-benar jatuh cinta.


Meskipun Takashi tahu Himeno menyukainya dan mempercayainya, belum tentu perasaan itu sudah sampai ke level cinta sejati.


"Kalau… kalau Tak-kun mau… kamu boleh… mencium tengkukku…"


Ciuman di pipi, dahi, bahkan bibir sudah terjadi tadi. Tapi mencium tengkuk? Bahkan pasangan kekasih pun jarang melakukannya.


Meski Takashi pernah main game simulasi kencan untuk pelajar SMA, dia belum pernah melihat adegan seperti itu.


"Ciuman…"


Takashi sampai menelan ludah. Wajahnya mungkin memerah karena Himeno mengatakan itu dengan malu-malu.


"Jadi… kamu mau?"


Nadanya seakan berkata: "Sekarang rambutku lagi diikat, jadi ini kesempatan langka."


Himeno jarang mengikat rambutnya. Kalau bukan sekarang, entah kapan lagi bisa seperti ini.


"A-aku mau…"


Rasanya memang sedikit aneh dan agak fetish, tapi dorongan untuk melakukannya jauh lebih besar. Lagi pula Himeno sendiri yang memberinya izin. Tak ada alasan untuk menolak.


Tentu saja, rasa malu tetap besar.


"Ah…"


Saat Takashi mendekat, Himeno tampaknya merasakan hembusan napas di tengkuknya dan mengeluarkan suara manja.


Aroma manis dari tengkuknya membuat kepala Takashi terasa ringan, tapi dia tetap perlahan mendekatkan bibirnya.


"Ah… nn…"


Begitu bibir Takashi menyentuh tengkuknya, tubuh Himeno sedikit gemetar, mungkin karena itu bagian yang sangat jarang disentuh.



"Ciumannya tadi… enak…"


Saat Himeno sedang mandi, Takashi duduk di sofa ruang tamu dan menyentuh bibirnya, mengingat ciuman tadi.


Meski awalnya dilakukan untuk mengusir Hinata, dia tetap merasa sangat bahagia bisa melakukannya dengan orang yang dia suka.


(Kalau Himeno juga merasa bahagia seperti aku, pasti senang banget.)


Takashi berharap perasaan Himeno juga seperti itu.


Kalau Himeno melakukannya bukan hanya karena situasi, tapi karena menyimpan perasaan padanya, tentu sangat membahagiakan.


"Ta…Tak-kun…"


"Eh!? K-kenapa kamu…"


Himeno keluar dari kamar mandi hanya mengenakan selembar handuk. Saking tak masuk akalnya, otak Takashi seperti langsung membeku.


Mungkin karena baru selesai mandi, kulit Himeno tampak sedikit kemerahan.


"Soalnya… aku ingin Tak-kun yang mengeringkan rambutku…"


Tapi meski begitu, normalnya orang tidak akan keluar dengan hanya sehelai handuk di depan lawan jenis yang bahkan belum resmi menjadi pacarnya.


Namun Himeno bukanlah tipe gadis genit, dan jelas dia tidak akan melakukan hal seperti ini di hadapan orang yang tidak dia percayai.


Itu berarti dia benar-benar menaruh kepercayaan penuh pada Takashi.


"A-a… aku mengerti…"


Tentu saja, kalau diminta dengan penampilan seperti ini, Takashi tak bisa menolak meski malu bukan main.


"Kalau begitu… mohon bantuannya ya."


Baru disadari saat itu, ternyata Himeno membawa hair dryer di tangannya dan menyerahkannya pada Takashi.


Setelah menerima hair dryer itu dan mencolokkannya, Takashi menyuruh Himeno duduk di sofa, lalu berdiri di belakangnya.


"Kalau kelamaan nanti bisa masuk angin, jadi harus cepat selesai."


Walau rambutnya sudah dikeringkan sebagian, tapi karena hanya pakai handuk, tetap ada kemungkinan terkena flu. Jadi walau gugup, Takashi tahu harus segera menyelesaikannya.


"Padahal yang kena air dan masuk angin dulu itu Tak-kun, lho."


Dia menjawab tepat sasaran, sampai Takashi tak bisa membalas. Memang, waktu itu bukan Himeno, tapi dirinya sendiri yang basah kuyup karena memeluk Himeno.


"Tapi… karena Tak-kun yang menghangatkanku waktu itu, aku jadi merasa aman, kok."


Wajah Himeno memerah seolah teringat saat ia dipeluk dalam keadaan hanya mengenakan pakaian dalam. Tapi meski begitu, dia tetap merasa aman saat itu.


(Wangi banget…)


Karena baru selesai mandi, tubuh Himeno mengeluarkan aroma manis yang cukup untuk menggerus logika Takashi. Jika ia terbawa suasana dan menyerangnya, mungkin Himeno tak akan protes sedikit pun.


Tapi dia hanya seperti ini karena percaya. Karena itu, Takashi tak boleh melanggar kepercayaan itu.


"Kalau begitu, aku mulai ya."


"Iya."


Takashi menyalakan hair dryer dan mulai mengarahkan angin hangat ke rambut Himeno.


Dia memang belum pernah mengeringkan rambut orang lain selain Marika, jadi agak canggung, tapi dia ingin merawat rambut indah Himeno sebaik mungkin.


"Wah, rambutnya halus banget, Kak~"


"Ke-kenapa mendadak jadi kayak tukang salon…?"


"U-untuk mengalihkan rasa malu aja…"


Sebenarnya ia hanya ingin menyembunyikan rasa malu, makanya bicara dengan gaya pegawai salon.


"Aku nggak mau kamu manggil aku ‘Kak’ dengan nada kayak orang asing gitu…"


Kata-katanya langsung menghantam jantung Takashi. Efek ciuman tadi mungkin masih membekas, sehingga tiap ucapan Himeno terasa semakin manis dan menusuk.


"Rambut ini peninggalan berharga dari Ibuku. Jadi orang yang boleh menyentuhnya… cuma Tak-kun."


Dengarnya saja sudah membuat jantung serasa mau meledak.


"Aku mengerti."


Diberi kepercayaan sebesar itu membuatnya merasa terhormat. Takashi pun mengeringkan rambut itu dengan hati-hati.


Sejak mereka mulai sering bicara, ia memang kadang-kadang menyentuh rambut Himeno saat membelai kepalanya, dan rambut itu memang sehalus yang dia duga.


Himeno tersenyum, "Ehehe," saat rambutnya selesai dikeringkan dengan rapi.


"Sekarang aku dibungkus aroma Tak-kun~"


Pakaian tidur yang dikenakan Himeno adalah piyama yang sebelumnya dipakai oleh Takashi.


Karena ini piyama pria, ukurannya agak longgar di tubuh Himeno, bahkan sedikit memperlihatkan bahunya.


"Kamu nggak pakai celana?"


Yang Himeno kenakan hanyalah atasan piyama seperti kemeja longgar. Entah kenapa, dia tak mengenakan bagian bawahnya.


Meski tentu saja dia memakai pakaian dalam, celana dalamnya tidak terlihat hanya karena panjang piyamanya menutupi.


Namun, jika Himeno sedikit membungkuk atau jika Takashi melihat dari sudut bawah, jelas akan terlihat.


"Celana Tak-kun terlalu besar… jadi aku nggak bisa pakai…"


Awalnya Himeno ingin mengenakan celana piyama Takashi juga, tapi terlalu besar dan dia menyerah.


Meski begitu, dia tak mengganti dengan celana miliknya. Akibatnya, paha mulus yang biasanya tertutup kini terlihat jelas.


"Aku nggak keberatan kalau Tak-kun yang melihat… tapi tetap saja malu…"


Himeno berusaha menarik ujung piyamanya untuk menutupi pahanya, tapi tetap saja panjangnya tak cukup.


(Ini… terlalu mematikan…)


Hanya dengan mengenakan piyama Takashi saja sudah membuat detak jantung meningkat. Tapi Himeno yang malu dan berusaha menutupi tubuhnya malah membuatnya tambah memikat.


Sampai-sampai bisa salah mengira seolah-olah dia ingin menggoda Takashi.


Terlebih lagi, Himeno bilang "nggak keberatan dilihat" yang membuat imajinasi Takashi makin liar.


"Aku bisa menghadapi Hinata karena Tak-kun ada di sana. Jadi… sekarang aku ingin memberimu bantal paha."


"Hah?"


Sebenarnya Takashi sudah pernah mendapatkan bantal paha darinya, tapi tidak dalam situasi se-provokatif ini. Saking kagetnya, dia sampai mengeluarkan suara aneh.


Dengan piyama sepanjang itu dan tanpa celana, kalau sedikit membungkuk saja bisa terlihat semuanya—dan sekarang dia mau memberikan bantal paha?


"Dulu kamu bilang bantal paha itu yang terbaik, kan? Pasti kamu pengen, kan?"


"Y-ya… pengen sih…"


Siapa yang nggak senang dapat bantal paha dari orang yang disukai? Tapi kali ini situasinya terlalu ekstrim.


Tapi kalau Himeno menawarkan ini meski dengan pakaian seperti itu, berarti dia benar-benar ingin menunjukkan rasa terima kasih karena keberadaan Takashi telah memberinya keberanian.


"Kalau begitu… aku terima tawarannya…"


Meski masih ada sedikit keraguan, Takashi akhirnya menerimanya.


"Silahkan."


Himeno duduk di sofa dan menepuk-nepuk pahanya pelan.


Himeno tak pernah mengekspos pahanya sejauh ini. Mendapat kesempatan menikmati bantal paha dengan kulit asli begini mungkin tak akan bisa dialami oleh siapa pun selain Takashi.


"Kalau begitu, permisi…"


Takashi pun memiringkan tubuhnya dan menyandarkan kepala di paha Himeno yang mulus.


Aroma manis, kelembutan, dan hangat tubuhnya membuat akalnya makin hilang.


Kalau suatu saat dia tak bisa menahan diri lagi, mungkin dia benar-benar akan menabrak batasnya.


"Gimana?"


Sepertinya penasaran, Himeno menunduk dan menatap wajah Takashi.


"Ini… luar biasa…"


Kalau ini bukan bantal paha terbaik, lalu apa lagi yang bisa disebut begitu?


"Aku senang~. Karena bantal pahaku ini khusus untuk Tak-kun saja."


Cara bicaranya benar-benar membuatnya terasa spesial.


Bagi Himeno, Takashi adalah satu-satunya yang tidak ingin dia lepaskan, dan itu wajar jika ia ingin membuatnya merasa istimewa.


"Saking nyamannya… aku nggak mau lepas…"


Takashi merasa tak ingin hari ini berakhir.


Lagipula, ini bukan sekadar bantal paha biasa, tapi bantal paha dengan paha mulus yang jarang terekspos.


"Kapanpun kalau kamu mau, bilang saja. Tapi kalau di luar rumah, tentu aku harus pakai tights, ya."


"Gak apa-apa. Aku lebih suka kalau aku satu-satunya yang bisa lihat kaki Himeno."


Dia mengatakan itu sebagai bentuk keinginan agar paha Himeno hanya boleh terlihat olehnya saat berdua saja.


Di luar, tentu Himeno akan memakai pakaian yang menutupi, tapi Takashi ingin tetap menjadi satu-satunya yang bisa menikmati keindahan kakinya.


Sampai muncul rasa ingin memiliki yang kuat dalam dirinya.


"Sepertinya ini perkembangan yang bagus, ya."


"Eh? Kamu bilang apa tadi?"


Karena suaranya terlalu pelan, Takashi pun bertanya ulang.


"A-aku nggak bilang apa-apa, kok. Yang penting, sekarang aku kasih bantal paha dengan sepenuh hati."


Takashi tak sepenuhnya paham maksud ucapan sebelumnya, tapi dia tetap menikmati bantal paha dari kaki polos Himeno.


"Nn…"


Cahaya matahari yang menyusup di antara celah tirai dan kicauan burung membuat Takashi terbangun.


"Selamat pagi."


Himeno sudah bangun lebih dulu, menyambutnya dengan senyuman.


"Selamat pagi. Kalau kamu bangun duluan, bangunin aku aja, nggak apa-apa, kok."


"Aku lagi ingin menikmati wajah tidur Tak-kun."


Mungkin dia ingin melihat wajah orang yang ia percaya saat sedang tidur.


Takashi merasa malu karena wajah tidurnya dilihat, tapi di sisi lain, Himeno yang tersenyum begitu manis juga terlihat sangat imut.


Lagi pula, Takashi tak tahu seperti apa ekspresi tidurnya karena tak bisa melihatnya sendiri.


"Sepertinya kamu terus memelukku, nggak apa-apa ya?"


"Nggak apa-apa kok. Karena pelukan Tak-kun terasa sangat menenangkan."


Saat bangun, mereka memang saling berpelukan, dan kemungkinan saat tidur pun begitu.


Walau mungkin saja sempat menjauh sedikit karena bergerak dalam tidur, tampaknya secara naluriah Takashi tetap ingin memeluk Himeno.


Bahkan sekarang pun, dia sama sekali tidak merasa ingin melepaskan pelukan itu.


"Kalau terus-terusan dipeluk begini, aku bisa jadi manusia yang rusak, lho…"


Kalau memang rusak karena pelukan, Takashi pun tak keberatan, tapi dia tak sampai hati untuk mengatakan itu.


"Mungkin Tak-kun itu mesin pembuat manusia rusak."


"Nggak mungkinlah."


Meski begitu, Takashi merasa ucapan itu ada benarnya.


Karena dia juga sempat membuat Marika "rusak", terikat dalam perasaan sebagai kakak perempuan dan tidak bisa melepaskan diri.


Kalau saja Marika tidak mengalami guncangan besar yang membuatnya sampai tak bisa makan, mungkin dia tidak akan sampai separah itu.


"Kalau begitu, Tak-kun adalah mesin pembuat manusia rusak khusus untukku."


Dengan pipi yang memerah, Himeno jelas sedang menggoda.


Meski frasa itu terdengar aneh, dia hanya ingin menyampaikan bahwa Takashi itu spesial baginya.


"Kamu cuma boleh membuatku rusak, ya."


Ucapan itu manis sekali sampai membuat Takashi merasa dirinya yang akan rusak.


"Iya…"


Dia menjawab sambil mengangguk, tapi dalam hati degup jantungnya tak karuan.


Tak ada laki-laki yang tidak bereaksi saat gadis secantik Himeno berbisik semanis itu. Kalau ada, Takashi ingin bertemu dengannya secara langsung.


"Dan hanya saat aku ada di sisi Tak-kun yang telah kubuka hatiku, aku akan jadi rusak."


Tentu, kecuali ibunya.


Himeno menggosokkan wajahnya ke dada Takashi, seakan-akan ingin sepenuhnya bersandar padanya.


Takashi tak keberatan kalau Himeno rusak, tapi yang terjadi malah dirinya yang makin rusak karena manisnya perlakuan Himeno.


"Kalau Tak-kun sedang kesepian, kamu boleh rusak, kok. Aku akan menghiburmu."


Dari pagi saja Himeno sudah agresif banget. Perilakunya yang selama ini kalem, jadi seaktif ini pasti karena pengaruh dari Hinata.


Meskipun malu, dibanding kehilangan orang yang dia percayai, Himeno lebih memilih untuk maju dan menunjukkan perasaannya secara langsung.


(Ini beneran gawat…)


Hari demi hari—tidak, bahkan setiap detik—Takashi merasa dirinya semakin jatuh cinta.


Perasaan ini tidak pernah dia rasakan waktu bersama Marika. Sampai-sampai dia merasa seperti dilahirkan hanya untuk bisa bersama Himeno.


(Aku nggak mau pisah dengannya selamanya.)


Dia merasa tak bisa hidup tanpa Himeno. Dirinya pun seolah sudah "rusak" karena terlalu jatuh hati.


"Meski bilang rusak, bukan berarti aku mau hidup sembarangan, lho."


"Iya, aku tahu."


Himeno yang punya kepribadian serius tentu tidak akan membiarkan dirinya hidup dalam kemalasan.


"Tapi kalau Tak-kun jadi malas pun, aku tetap akan berada di sisimu."


Takashi merasa masa depan mereka hanya akan diisi dengan "kerusakan" manis seperti ini.




"Mari kita tidur, yuk."


Waktu sudah hampir tengah malam. Takashi menggenggam tangan Himeno dan mengajaknya ke tempat tidur.


Besok sekolah, jadi mereka memang seharusnya tidur sekarang.


"Iya."


Himeno mengangguk, lalu mereka naik ke tempat tidur dan berbaring berdampingan sambil saling menatap.


Meskipun sudah beberapa kali tidur bersama, tetap saja ada rasa canggung. Itu juga berlaku untuk Himeno, yang pipinya kini memerah karena malu.


"Kalau terus tidur bareng Tak-kun begini, kayaknya aku bakal ketagihan, deh…"


Tangan kiri Himeno, yang tidak sedang bergandengan, diletakkan di dada Takashi. Pasti dia bisa merasakan degup jantung Takashi yang berdetak cepat.


Dengan ucapan seperti itu, siapa yang tak merasa jantungnya berdebar?


"Kalau memang jadi kebiasaan, ya nggak apa-apa."


Meski malu, Takashi berkata begitu sambil meletakkan tangannya di atas tangan kiri Himeno.


Kalau Himeno benar-benar terbiasa tidur bersamanya, mereka tak akan terpisahkan.


Takashi tak berniat melepaskannya sedikit pun.


"Kalau kamu ngomong gitu… aku bisa salah paham, tahu…"


"Eh?"


"Ti-tidak, tidak ada apa-apa…"


Suaranya terlalu pelan untuk didengar jelas, tapi Takashi sudah bisa menebaknya.


Mungkin saja Himeno masih salah paham, mengira bahwa Takashi masih menyimpan perasaan pada Marika. Makanya aku bilang, aku bisa salah paham dan mengira sedang disukai.


Meski agak aneh mengatakannya sendiri, aku sempat bergumam dengan suara pelan, "Cepat sadar…".


Karena terlalu malu untuk menyatakan perasaan secara langsung, itu saja sudah merupakan batas usahaku saat ini.


Tapi, aku sudah memutuskan akan mengungkapkan perasaan setelah ujian selesai.


Aku tidak bisa terus-terusan berada dalam hubungan yang hanya saling menghibur. Meski sebenarnya, aku sendiri sekarang sudah tidak butuh dihibur lagi.


"Tak-kun…"


Himeno memelukku erat seolah ingin bilang "gyuu~".


Sensasi lembut dari tubuh Himeno yang mengenakan piyama laki-laki dan aroma manisnya membuat kepalaku berputar. Rasanya seperti akal sehatku terkikis habis.


Tak mungkin logika bertahan saat sedang dipeluk gadis secantik ini, apalagi oleh seseorang yang kusukai.


Tentu saja, Himeno bukan memeluk untuk memancingku jadi "serigala" Kalau sudah pacaran sih, bisa saja lain ceritanya…


"Mungkin sekarang aku nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk Tak-kun… Rasanya cemas kalau nggak bersamamu…"


Karena sudah banyak ditekan oleh adiknya, Hinata, mungkin Himeno memang merasa cemas saat sendirian.


Pelukannya jadi makin erat.


"Kalau gitu, kita bareng terus aja."


Aku melingkarkan lenganku di punggung Himeno dan mengelus kepalanya. Aku ingin menghapus sedikit saja rasa cemas dari orang yang kusukai.


"Aku suka kalau Tak-kun mengelus kepalaku."


Dia seperti meminta lebih dengan nada manja.


Rambutnya indah seperti milik ibunya. Kalau bukan orang yang benar-benar dia percayai, dia pasti tak akan mengizinkan menyentuhnya.


"Kalau begitu, ayo benar-benar tidur sekarang."


Kurang tidur bisa buruk untuk kesehatan, dan bagi seorang gadis, itu juga musuh besar untuk kecantikan.


"Iya… Tapi, sebelum tidur… tolong cium aku…"


Wajah Himeno muncul dari dadaku, dan kelopaknya tertutup rapat.


"Nn…"


Tak mungkin aku menolak permintaan orang yang kusukai. Aku pun segera menempelkan bibirku ke bibir Himeno.


"Selamat tidur."


"Selamat malam."


Kami pun tidur setelah ciuman selamat malam.



"Apa ya, yang mau kita beli?"


Beberapa hari menjelang ujian, sepulang sekolah, Takashi datang bersama Himeno ke kawasan pertokoan untuk belanja makan malam.


Belakangan ini, Takashi lebih banyak menghabiskan waktu bersama Himeno dibanding Marika. Belanja makanan pun jadi kegiatan mereka bersama.


Karena urusan memasak sepenuhnya diserahkan pada Himeno, setidaknya urusan bawa belanjaan harus dia tanggung.


"Hm, aku mau yang gampang untuk ‘aa~n’ atau nyuapin langsung."


Akhir-akhir ini, demi tetap dekat, Himeno jadi jauh lebih aktif—sering menyuapi Takashi dengan gaya manja.


Termasuk sup dan miso pun disuapi.


(Terlalu imut…)


Wajahnya memerah karena malu tapi tetap bersikap aktif. Itu sangat menggemaskan.


Karena itulah, para pria yang lewat di sekitar mereka di kawasan pertokoan menatap dengan pandangan "semoga kalian para pasangan meledak".


"Iya."


Tentu saja Takashi tak mungkin menolak dan langsung mengangguk.


"Kupon undian, ya."


Setelah selesai belanja, Takashi memegang kupon undian.


Kalau belanja lebih dari 3000 yen, bisa undi 10 kali. Hadiah utamanya adalah perjalanan ke Hakone.


"Karena sudah dikasih, ayo kita coba undiannya."


Meskipun kemungkinan besar isinya hanya tisu hadiah hiburan, kalau tak dicoba malah rugi.


"Iya juga."


Sambil bergandengan tangan, mereka berjalan menuju tempat undian.


"Baiklah~ Ini hadiahnya: tisu."


Tak jauh dari situ, terdengar suara seperti itu. Orang yang lebih dulu melakukan undian ternyata mendapat hadiah hiburan berupa tisu.


Wajar. Mana mungkin dapat hadiah besar dengan mudah? Semua ini soal keberuntungan.


Karena akhir-akhir ini hidup Takashi dipenuhi momen manis bersama Himeno, mungkin keberuntungannya sudah mau habis. Tapi tetap saja dia ingin mencoba.


"Mau undiannya."


Takashi menyerahkan kupon yang ia dapat saat belanja.


"Silahkan."


Setelah diberi isyarat untuk memutar alat undian, Takashi mengambil napas dalam-dalam dan memutar tuasnya.


"Sesuai dugaan… tisu."


Bola putih keluar di putaran pertama—berarti hanya dapat tisu. Sebagian besar memang begitu. Harapan untuk dapat hadiah utama sangat kecil.


"Ayo kita putar bareng."


Himeno meraih pegangan alat undian bersama Takashi, dan mereka memutar tuas bersamaan.


Kalau tidak salah, alat undian itu namanya "Arai-shiki Kaiten Chūsenki". Aku sempat cari di ponsel karena penasaran. Dunia memang jadi gampang dengan smartphone.


"Selamat! Kalian dapat hadiah utama: perjalanan ke Hakone!"


Bola yang keluar berwarna emas. Orang dari pusat perbelanjaan membunyikan lonceng dengan semangat.


"Hakone… perjalanan?"


Takashi menoleh pada Himeno yang tampak kebingungan.


Kelihatannya Himeno juga belum bisa percaya. Wajar saja, dapat hadiah utama dari undian seperti ini sangat langka.


Takashi melihat lagi bola emas yang keluar dari alat undian. Tidak peduli dilihat berapa kali, warnanya tetap emas. Jelas berbeda dengan bola putih sebelumnya.


"Selamat ya. Ini tiket perjalanan ke Hakone."


Tiket itu diberikan dalam amplop oleh petugas toko.


Begitu menerima amplop itu, Takashi baru merasa semuanya nyata. Tapi karena terlalu kaget, kepalanya rasanya masih melayang.


"Tak-kun, ini hadiah utama yang kita dapatkan bersama, ya."


Suara manis Himeno terdengar di telinganya.


"I-iya, benar."


Memang benar mereka dapatkan bersama.


Tapi, ada satu masalah. Siapa yang akan memakai tiket ini? Di papan pengumuman tertulis "dua malam tiga hari untuk dua orang", jadi hanya bisa dipakai berdua.


Masalahnya, apakah mereka bisa menginap di penginapan hanya berdua sebagai siswa SMA?


"Kalau penginapannya bisa menghubungi orang tua, siswa SMA juga boleh menginap, lho."


Seolah membaca pikiran mereka, petugas toko bicara duluan. Sepertinya ekspresi mereka tadi terlalu mudah dibaca.


Ternyata ada penginapan yang memperbolehkan siswa SMA menginap, asalkan sudah mendapat izin dari orang tua.


Tentunya, dengan syarat tidak melakukan hal-hal tidak senonoh.


"Tes selesai hari Jumat siang, kan? Setelah itu kita berangkat, yuk?"


"Boleh aja, tapi kamu siapin semuanya?"


"Iya. Kita juga harus segera konfirmasi ke penginapannya, ya."


Kelihatannya Himeno benar-benar niat ingin pergi.


Oh ya, sisa undiannya semuanya dapat tisu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close