Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 7
Putri Salju dan Permainan Pengantin Baru
"Nih, silakan."
Sejak rencana liburan ke Hakone diputuskan, ini adalah makan malam pertama buatan Himeno.
Karena Himeno bilang ingin menghabiskan waktu bersama lagi hari ini, Takashi pun memutuskan untuk menginap.
Menu makan malam kali ini adalah nasi putih, salad, karaage (ayam goreng), dan miso sup.
Karena tidak ada sumpit untuk Takashi, bisa dipastikan ia akan disuapi langsung oleh Himeno, entah dengan "aa~n" atau lewat suapan mulut ke mulut.
"Aa~n."
Himeno langsung menyuapkan karaage yang ia pegang dengan sumpit ke mulut Takashi.
(Enak banget)
Masakan Himeno seperti biasa memang lezat. Rasanya dia bisa makan sebanyak mungkin hari ini. Dan dengan perlakuan manis seperti "aa~n" dan suapan langsung seperti itu, jelas saja sulit untuk tidak makan.
"Rasanya kayak pakai kecap, ya."
"Benar. Karena Tak-kun selalu makan dengan lahap, aku jadi sering bikin yang ini."
Takashi pernah merasa kalau Himeno cukup sering membuat karaage berbumbu kecap, dan ternyata alasannya adalah karena ia selalu terlihat menikmatinya.
Meski masakan lain juga enak, karaage buatan Himeno memang terasa istimewa.
"Makan bersama tiap hari kayak gini rasanya seperti pasangan pengantin baru, ya."
"Ah…"
Ucapan Takashi yang meluncur begitu saja membuat wajah Himeno memerah karena malu. Wajar saja jika mendadak dibilang seperti pengantin baru, dia jadi salah tingkah.
"Jadi pengantin barunya Tak-kun…"
Sepertinya Himeno membayangkan kehidupan pengantin baru, dan meskipun malu, ia tersenyum bahagia, "ehehe".
(Eh? Jangan-jangan… dia suka sama aku?)
Takashi mulai menyadari bahwa sikap aktif Himeno belakangan ini mungkin karena dia menyukai Takashi.
Ciuman tempo hari juga merupakan yang pertama bagi mereka berdua. Mustahil Himeno melakukan itu semata-mata demi mengusir Hinata.
Apalagi sekarang, dibilang seperti pengantin baru pun dia tidak keberatan. Kalau tidak suka, pasti dia sudah menunjukkan penolakan.
(Kenapa aku nggak sadar dari dulu… Minimal pas dicium, sadar kek!)
Faktanya, gadis sepolos seperti Himeno mencium dirinya. Normalnya, itu sudah cukup untuk menyadarkan siapa pun.
Takashi merasa dirinya seperti tokoh utama dalam anime romcom yang terlalu bebal untuk sadar perasaan si heroine.
(Berarti… kita saling suka, ya)
Menyadari kalau mereka saling menyukai membuat Takashi merasa bahagia. Wajar saja, siapa pun pasti senang tahu bahwa perasaannya terbalas.
"Ada apa?"
Karena asyik berpikir, Himeno menatap Takashi sambil memiringkan kepala dengan bingung.
"E-nggak, nggak ada apa-apa."
Meskipun ada orang yang langsung menyatakan cinta setelah tahu perasaan mereka berbalas, Takashi, yang bahkan pada sahabat masa kecilnya pun tidak bisa mengungkapkan perasaan selama bertahun-tahun, tentu tidak bisa melakukannya secepat itu.
Dan lagi, ada kemungkinan Himeno hanya merasa nyaman dan percaya padanya, bukan karena cinta.
Kalau sampai salah mengira dan mengaku suka, lalu ditolak, bisa-bisa rencana liburan ke Hakone jadi berantakan.
Kalau mau menyatakan perasaan, lebih baik saat mereka di Hakone nanti.
"Karena Tak-kun bilang rasanya seperti pengantin baru… apa kita main ‘pengantin baru’ saja?"
"...Hah?"
Karena terlalu di luar dugaan, Takashi sempat membeku dan mengeluarkan suara aneh.
Meskipun sekarang mereka berpura-pura jadi pasangan, mungkin Himeno ingin lebih jauh lagi dengan pura-pura jadi pengantin baru.
"Kita makan bareng tiap hari begini…"
"Ya, memang."
Apalagi sejak liburan Golden Week, mereka memang hampir selalu bersama.
"Makanya… aku ingin main pengantin baru…"
Himeno meletakkan tangannya di atas tangan Takashi, seolah sangat ingin melakukan permainan itu.
"Ba-baiklah. Ayo kita main."
Meski sekarang mereka sudah cukup sering dipanggil pasangan mesra oleh orang-orang, berpura-pura sebagai pasangan pengantin baru akan membuat hubungan mereka terlihat lebih dalam lagi.
Dengan begitu, keamanan Himeno juga makin terjaga.
Takashi tidak tahu bagaimana Hinata akan bereaksi, tapi dia yakin adiknya itu tak akan melakukan sesuatu yang membahayakan. Karena jika dia nekat, Takashi akan membencinya.
"Senang sekali…"
Dengan senyum manis "ehehe", Himeno tampak sangat gembira karena permintaannya dikabulkan.
Kalau tidak benar-benar ingin, dia tak akan mengusulkan hal seperti itu sejak awal.
"Nn…"
Kali ini, Himeno menggigit sepotong karaage dan mencoba menyuapkannya secara langsung dengan mulut.
Karena mereka sudah pernah berciuman, Takashi memakannya dengan sedikit malu.
Sebenarnya, dia ingin makan nasi putih, tapi mungkin karena terlalu sulit disuap mulut ke mulut, Himeno memilih karaage.
"Aam… nchu…"
Saat Takashi mengunyah, Himeno menggigit manja bibirnya.
Bahkan terasa seperti ia menyedotnya sedikit.
Karena Takashi nyaris yakin bahwa Himeno menyukainya, ia pun menyadari kalau Himeno ingin dirinya memandangnya, bukan Marika.
Dengan kata lain, Himeno juga memiliki rasa posesif.
"Bibir suamiku…"
Himeno tersenyum manis dan memanggil Takashi sebagai "suamiku" entah kenapa.
"Apa?"
Takashi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bukan hanya karena digigit manja, tapi karena disebut "suami".
"Soalnya ini permainan pengantin baru… Aku ingin memanggilmu begitu."
Meski suaranya terdengar malu, ekspresinya sangat serius, menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin memanggil Takashi begitu.
"Ba-baiklah."
Meski dipanggil seperti itu membuatnya malu, keinginan Himeno lebih kuat dari rasa malunya sendiri.
"Takakun… nn…"
Setelah makan malam selesai, mereka masuk ke kamar tidur dan saling berciuman.
Keinginan untuk manja dengan orang yang dicintai sudah tak tertahankan, jadi Takashi mencium Himeno.
Meski malu, rasa ingin memanjakan dan dimanja lebih kuat dari itu.
(Mungkin… aku paling suka ciuman)
Dari berbagai bentuk ekspresi cinta, momen saat berciuman terasa paling membahagiakan.
"Tiba-tiba nyium kayak gitu curang banget…"
Wajah Himeno bukan hanya memerah, tapi juga sedikit terlihat mabuk asmara.
Itu berarti dia benar-benar menikmati ciuman itu.
"Aku… bisa jadi benar-benar rusak…"
"Kalau gitu, rusaklah saja."
Semakin seseorang "rusak", semakin dia akan bergantung pada orang lain. Kalau Himeno sampai benar-benar rusak, maka dia akan terus berada di sisi Takashi.
Agar bisa terus bersama gadis cantik yang disebut-sebut sebagai "Putri Salju" ini, Takashi harus membuatnya semakin jatuh cinta.
Bahkan jika mereka jadian setelah tes nanti, tidak ada jaminan bahwa mereka akan selalu bersama selamanya.
Tapi jika perasaan cinta itu makin dalam, mungkin ada harapan untuk menikah di masa depan.
Itulah sebabnya… Takashi ingin Himeno benar-benar "rusak" karenanya.
"Kalau aku rusak lebih jauh lagi… aku mungkin tak akan bisa lepas darimu… ah…"
Dipeluk erat seolah ingin mengatakan "aku sangat menyambutmu".
Karena ingin menikah dengannya di masa depan, Takashi berharap Himeno tidak akan pergi darinya.
"Tak-kun bodoh... Padahal Tak-kun sukanya sama Shikibu-san, tapi kenapa malah membuatku jadi seperti ini…"
Dengan suara yang sangat kecil, ia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa Takashi dengar dengan jelas.
"Tapi… kalau ternyata Takakun mulai menyukaiku… aku senang."
Setelah bergumam pelan seperti itu, Himeno membalas pelukan Takashi.
Meskipun itu hanya perasaan Takashi semata, sepertinya Himeno mulai menyadari perasaan Takashi. Mereka bahkan sudah berciuman, jadi wajar kalau dia mulai sadar.
Namun, sepertinya Himeno belum yakin sepenuhnya.
Kalau sudah benar-benar yakin, dengan sikap Himeno yang belakangan ini makin aktif, dia pasti sudah mengungkapkan perasaannya duluan.
Tapi Takashi ingin dirinya yang menyatakan perasaan itu lebih dulu, jadi ia tidak mau membiarkan Himeno yang melakukannya.
Kalau Himeno masih salah paham dan mengira Takashi suka pada Marika, maka biarlah ia tetap salah paham untuk sementara waktu.
"Mau belajar lagi hari ini?"
"Mau. Tapi… sebentar lagi aja, aku masih mau seperti ini."
Takashi kembali menutup bibir Himeno dengan ciuman.
"Hmm…"
Dengan suara manis, Himeno membalas ciumannya. Karena suara manis itu, ciuman ringan pun tak bisa berhenti di situ.
Takashi menggigit manja dan merasakan kelembutan bibir Himeno.
Sambil berpikir betapa imutnya gadis ini, Takashi berharap waktu bisa berhenti di momen ini.
Ciuman adalah bentuk kebahagiaan tertinggi baginya, dan sangat wajar kalau ingin momen itu berlangsung selamanya.
Himeno pun pasti merasakan hal yang sama.
"Aku benar-benar… bisa rusak kalau terus begini sama Tak-kun. Padahal harus belajar, tapi nggak bisa berhenti…"
Saat Takashi melepaskan ciuman untuk bernapas, Himeno berbisik pelan.
Memang benar, ujian akan dimulai lusa. Seharusnya mereka belajar, bukan malah bermesraan. Namun meskipun tahu itu, tubuhnya tetap tidak bisa berhenti.
"Aku ingin kamu jadi lebih rusak lagi."
"Geez…"
Nada suara Himeno terdengar kesal, tapi senyumnya tetap cerah dan bahagia.
Selama ia hanya "rusak" di hadapan Takashi, tidak apa-apa.
"Kalau kamu terus ngomong begitu… aku beneran bakal rusak, tahu?"
"Gak apa-apa."
Takashi menyentuhkan dahinya ringan ke dahi Himeno, lalu mereka saling bertatapan.
Mata biru Himeno terlihat hangat dan sedikit mengandung gairah.
"Kalau kita saling menatap begini, aku jadi pengen lagi…"
"Kalau begitu, ayo lakukan lagi."
"Hmm…"
Mereka kembali berciuman, lalu menutup mata untuk tidur.
*
"Hmm…"
Disambut cahaya pagi dari sela-sela tirai dan kicauan burung, Takashi membuka mata.
Di pelukannya, seperti biasa, Himeno ada di sana dan sedang tersenyum padanya. Sepertinya dia bangun lebih dulu hari ini.
"Selamat pagi."
"Pagi. Kalau udah bangun duluan, kenapa nggak menjauh?"
"Karena Tak-kun nggak melepas pelukannya."
Himeno menjawab sambil tertawa kecil, ehehe.
Kalau dipikir-pikir, meskipun dia bisa saja lepas dari pelukan Takashi, Himeno tidak pernah melakukannya.
Mungkin dia memang suka dipeluk.
"Kalau kamu suka, ya udah… aku gak akan melepaskanmu."
Takashi pun memeluk Himeno lebih erat dari pagi-pagi.
Himeno mengeluarkan suara manis, "Nn~…" dan membenamkan wajahnya ke dada Takashi tanpa perlawanan sedikit pun.
Takashi menikmati keberadaan gadis yang paling ia cintai sejak pagi hari.
"Kalau kamu terus peluk kayak gini, aku beneran bakal jadi cewek yang gak berguna, loh…"
"Nggak apa-apa."
Bahkan dia ingin Himeno jadi seperti itu—seseorang yang bergantung sepenuhnya padanya.
Toh Himeno sudah sering membantu Takashi belajar dan memasak. Kalau dia juga mulai mengandalkan Takashi dalam hal-hal lain, tentu Takashi akan merasa senang.
"Nn…"
Takashi mengusap kepala Himeno dengan lembut.
Sebenarnya mereka harus bangun dan bersiap untuk sekolah, tapi saat bersama Himeno, rasanya dia juga ikut jadi malas. Dia ingin terus seperti ini bersamanya tanpa harus memikirkan waktu.
"Ah…"
Saat akhirnya mereka berpisah karena harus bangun, Himeno mengeluarkan suara kecewa.
Karena mereka harus pergi ke sekolah, mereka tidak bisa terus bersama seperti ini.
"Ayo siap-siap buat sekolah."
"Iya. Hmm…"
Melihat Himeno yang tampak sedih, Takashi langsung mencium bibirnya.
Meskipun baru pagi, bibir Himeno tetap lembut dan lembap, membuatnya ingin mencium lebih lama.
"Suamiku…"
Dengan ekspresi mabuk asmara, Himeno tampak ingin dicium lagi. Mungkin karena dulu pernah merasakannya, kini dia jadi ketagihan berciuman.
Ciuman dengan orang yang disukai adalah kebahagiaan tertinggi, jadi wajar kalau dia ketagihan.
"Nn…"
Sebenarnya mereka harus berhenti dan bersiap ke sekolah, tapi karena Himeno tampak ingin dicium, Takashi pun kembali mencium bibirnya.
Sepertinya mereka berdua benar-benar ketagihan ciuman.
Waktu ini terasa sangat membahagiakan. Kalau mereka benar-benar jadi pasangan, pasti akan lebih bahagia lagi.
Suara manis dari Himeno terus bergema di kamar karena ciuman mereka.
"Ini benar-benar… bahaya…"
"Bahaya?"
Takashi memiringkan kepala, tidak mengerti.
"Tolong, ngerti sendiri dong…"
Himeno mencubit pipi Takashi dengan jari telunjuknya.
Dengan itu saja Takashi bisa menebak.
Mungkin Himeno sedang takut kalau dirinya terlalu hanyut dalam kebahagiaan berciuman dengan orang yang dia suka.
Dan sebenarnya, Takashi pun merasa hampir tenggelam dalam perasaan itu. Meskipun masih merasa malu, dia tidak bisa menahan keinginannya untuk terus mencium.
(Kalau kita benar-benar jadian, ini nggak bakal berhenti di sini aja…)
Kalau belum pacaran aja sudah seperti ini, apalagi kalau nanti mereka benar-benar jadian.
Pasti akan ada pelukan, tidur bersama, ciuman—dan mungkin lebih dari itu.
Meskipun tak masalah untuk dilakukan oleh pasangan, rasa malu dan gugup pasti akan membuatnya sulit dilakukan di awal.
Kalaupun terjadi, itu masih lama.
"Suamiku…"
Himeno memeluknya erat, dan mereka terus bermesraan di atas ranjang sampai waktu benar-benar mepet untuk berangkat sekolah.
*
"Kalau begitu… ayo masuk."
Malam sebelum ujian dimulai, Takashi masuk ke kamar mandi bersama Himeno yang pipinya memerah hingga telinga.
Tentu saja, Himeno memakai bikini.
Ini pertama kalinya dia memakai bikini di depan lawan jenis, dan wajahnya menunjukkan betapa malunya dia.
Alasan mereka mandi bersama, tentu saja karena ingin menghabiskan waktu bersama lebih lama.
Karena di rumah Himeno tak ada pakaian renang pria, Takashi hanya menutupi bagian depannya dengan handuk.
"A-ak-aku pakai baju renang kok, jadi aku bisa bantu keramasin dan cuci bagian depan juga."
"Kalau kamu malu, nggak usah maksa kok."
Takashi tidak memaksa Himeno untuk melakukannya.
"Tidak apa-apa… biarkan aku yang mencucikan badan Tak-kun," kata Himeno sambil meletakkan tangannya di dada Takashi, meski wajahnya tetap memerah karena malu.
Tangannya masih hangat, seperti biasa.
"Tak-kun juga… boleh mencuci bagian depanku, kok."
"Eh, itu… tunggu sebentar…"
Membiarkan seorang perempuan mencuci bagian depan tubuh laki-laki dan sebaliknya—itu jelas berbeda.
Memang, sebelumnya Takashi pernah memeluk Himeno yang hanya memakai pakaian dalam, tapi itu dalam kondisi darurat untuk menghangatkannya yang kedinginan.
Berbeda dengan sekarang. Dibanding sekadar memeluk, menyentuh dan mencuci tubuh dengan tangan jauh lebih memalukan.
Faktanya, meski belum masuk ke dalam air hangat, tubuh Takashi sudah terasa panas.
"Tidak apa-apa kok. Karena ini Tak-kun."
Suara manis Himeno berbisik di telinga Takashi.
(Sial… Aku benar-benar gak bisa menahan perasaan ini lagi.)
Perasaan bahwa hanya dirinya yang mendapat perlakuan khusus membuat Takashi semakin jatuh cinta.
Tak ada yang lebih membahagiakan dari menghabiskan waktu bersama orang yang dicintai. Dan waktu yang ia habiskan bersama Himeno adalah sesuatu yang tak tergantikan.
"Ka-kalau begitu… aku serahkan padamu, ya…"
"Serahkan padaku."
Meski malu, kalau Himeno ingin melakukannya, Takashi tak akan menolak.
"Kalau begitu, aku mulai dari punggung dulu, ya."
"Hmm."
Takashi duduk dan membalikkan badan, memperlihatkan punggungnya.
"Permisi…"
Himeno menuangkan sabun mandi ke tangannya, lalu mulai menggosok punggung Takashi.
Ini kali kedua punggungnya dicuci, tapi tetap saja dia tak bisa terbiasa. Atau lebih tepatnya, mungkin hampir tidak ada orang yang bisa langsung terbiasa hanya dengan dua kali.
"Ada bagian yang gatal atau tidak nyaman?"
"Tidak, semuanya baik-baik saja."
Tidak hanya tidak gatal—bahkan terasa enak.
Meski sedikit malu, rasanya ia ingin ini terus berlangsung.
"Sekarang, aku lanjut ke lengan, ya."
Setelah selesai dengan punggung, Himeno mulai mencuci lengan Takashi.
Sentuhan di bagian lengan atas yang jarang disentuh membuatnya sedikit geli, tapi tetap terasa nyaman.
"Se-sekarang bagian depan…"
"U-uh, iya…"
Meski malu, Takashi akhirnya membalikkan badan untuk menghadap ke Himeno.
Wajah Himeno yang memerah hingga ke telinganya terlihat sangat imut, dan Takashi ingin segera bisa menjadikannya pacar. Namun, ia sudah memutuskan bahwa ia akan menyatakan perasaannya saat perjalanan ke Hakone.
"Dada ini… sudah beberapa kali menyelamatkanku, ya."
Dengan lembut, Himeno menyentuhkan telapak tangannya ke dada Takashi.
Memang bukan "beberapa kali" dalam jumlah banyak, tapi ada beberapa momen saat Takashi menyelamatkannya. Berkat itu, sekarang mereka bisa berada di sini bersama.
"Aku juga diselamatkan, kok. Meski… aku nggak akan berani menyentuh punyamu."
Menyentuh dada laki-laki dan dada perempuan jelas berbeda. Apalagi, menyentuhnya dengan tangan secara langsung—itu terlalu memalukan.
"Kalau dipikir-pikir, meskipun baru kenal, dulu aku sudah melakukan hal yang sangat memalukan, ya…"
"Iya juga."
Himeno tampaknya teringat pada malam pertama mereka saling menghibur satu sama lain.
Wajahnya kembali memerah karena malu.
Tak banyak pasangan laki-laki dan perempuan yang di hari pertama mereka mulai berbicara, langsung saling menghibur dengan bersandar di dada masing-masing.
"Tapi, aku sama sekali nggak menyesal pernah meminjamkan dadaku ke Tak-kun."
Sambil menutup mata, Himeno tampak mengingat kembali kejadian saat itu.
Bagi Himeno, Takashi adalah orang pertama selain ibunya yang bisa ia percayai. Setidaknya, dia pasti ingin menjalin hubungan yang lebih dekat lagi.
Mungkin… dia ingin jadi kekasih.
"Makasih ya. Kelembutan itu nggak bisa kulupakan."
"Jangan ngomong hal-hal seperti itu…"
Pipinya menggembung seperti tupai, tapi tidak tampak marah.
"Kalau yang ngomong itu bukan Tak-kun, aku pasti sudah kabur."
Dengan kata lain, kalau yang bicara itu Takashi, bahkan obrolan yang agak mesum pun masih bisa diterima.
"Kalau begitu… aku juga mau kamu cuciin, ya."
"Iya."
Dengan tangan Himeno, busa sabun mulai memenuhi dada dan perut Takashi. Rasanya sangat nyaman, seakan ingin terus dicucikan seperti ini selamanya.
Namun tentu saja, ini gak bisa begini terus. Busa pun akhirnya dibilas dengan shower. Sedikit disayangkan, tapi tak ada yang bisa dilakukan soal itu.
"Sekarang, tolong cuci badanku, ya."
"A-aku yang cuci, beneran?"
Meskipun Himeno mengenakan pakaian renang, hanya dengan melihat tubuhnya saja sudah membuat jantung Takashi berdebar.
Ia khawatir apakah bisa mencucinya dengan baik. Siapa pun pasti gugup saat pertama kali melakukan sesuatu.
"Iya. Aku ingin Takakun yang mencucinya."
"B-baiklah…"
Setelah dibisikkan dengan suara manis di telinga, Takashi tak bisa menolak. Meski malu, dia jadi ingin mencucinya untuk Himeno.
Takashi mengoleskan sabun ke telapak tangannya, lalu mulai mencuci punggung Himeno yang kini duduk membelakanginya.
"Nn…"
Seperti dugaan, punggung Himeno tampaknya cukup sensitif karena dia mengeluarkan suara manja.
Karena jarang melihat punggung seseorang, Takashi tak yakin, tapi dia bisa tahu kalau punggung Himeno putih, bersih, dan sangat lembut.
Aneh rasanya, karena punggung seharusnya tidak selembut ini. Tubuh perempuan benar-benar lembut di semua bagian.
Takashi berhati-hati agar tali bikini Himeno tidak terlepas, lalu mencucinya dengan pelan dan teliti.
"Dicuciin sama Tak-kun rasanya enak banget. Apa kamu sudah terbiasa sama Shikibu-san?"
"Nggak, Himeno yang pertama."
Waktu masih SD sih mungkin, tapi setelah masuk usia remaja, Himeno adalah yang pertama. Lagipula, Marika tidak pernah mandi di rumah ini.
"Kalau kayak gini, kita benar-benar kayak pasangan yang tinggal bareng, ya."
"Ti-tinggal bareng…"
Takashi tak sengaja mengucapkannya karena terpikir begitu saja, dan sekarang sudah telanjur.
Karena Himeno membelakanginya, dia tidak bisa melihat ekspresinya, tapi bisa ditebak bahwa wajah Himeno pasti memerah.
Pasangan yang tinggal bareng mungkin mandi telanjang bareng, tapi buat Takashi, itu level yang terlalu tinggi. Bisa mati karena malu.
Toh mereka bahkan belum resmi pacaran.
"Benar juga… dengan hubungan kita sekarang, mandi bareng kayak gini bukan sesuatu yang biasa, ya…"
Suara Himeno terdengar sedikit sedih.
"Maaf. Bukannya aku nggak suka, kok. Aku senang kamu cukup percaya padaku sampai mau mandi bareng kayak gini."
Sebagai bukti bahwa dia tidak keberatan, Takashi meletakkan tangannya di atas tangan Himeno.
Mandi bareng dengan orang yang disukai memang memalukan, tapi juga membuat bahagia. Karena bisa merasakan kebahagiaan itu.
"Syukurlah… Kalau begitu, tolong cuci bagian depanku juga."
Himeno berbalik ke arah Takashi.
(Akhirnya datang juga saatnya…)
Kalau hanya punggung masih bisa ditoleransi, tapi mencuci bagian depan jelas jauh lebih sulit.
Apalagi pakaian renangnya menonjolkan bagian dada, jadi mata Takashi sulit berpaling.
Tampaknya naluri laki-laki tak bisa dilawan.
"Da-dadaku biar aku sendiri yang cuci, ya."
Menyadari tatapan Takashi, Himeno buru-buru menutupi dadanya dengan tangannya.
"Maaf…"
"Enggak apa-apa. Kalau yang ngelihatin itu orang lain, aku pasti risih. Tapi kalau Tak-kun… aku nggak keberatan, kok."
Efek dari perasaan suka, sepertinya.
Hal yang tidak nyaman jika dilakukan oleh orang lain bisa terasa boleh-boleh saja jika dari orang yang disukai.
Marika pun tidak pernah bergandengan tangan dengan laki-laki, kecuali dengan Takashi yang dia anggap seperti adik.
"Jadi… tolong cuci bagian depanku juga."
"O-oke…"
Karena Himeno bilang bagian dada biar dia yang cuci sendiri, Takashi mulai mengusap sabun ke perut Himeno.
Meski ramping dan tanpa lemak berlebih, perut Himeno terasa sangat lembut.
"Hyann… geli…"
Ya, semua orang pasti merasa geli kalau bagian perutnya dicuci.
"Maaf…"
Takashi meminta maaf karena malu, tapi dia juga tidak bisa menghentikan tangannya.
Kesempatan untuk menyentuh perut orang yang disukai bukan sesuatu yang bisa terjadi setiap hari, jadi dia ingin sedikit lebih lama.
"Gak apa-apa, kok. Selama bukan bagian yang tertutup baju renang, kamu boleh mencucinya."
Itu berarti sampai pangkal paha pun boleh.
"Ehh… Itu terlalu memalukan…"
Baru mencuci perut saja sudah bikin malu, apalagi sampai paha. Dia bisa pingsan karena malu.
Mereka memang sudah pernah berciuman, tapi mencuci dengan tangan adalah hal yang berbeda.
"Padahal kamu bareng Shikibu-san, tapi ternyata masih polos juga ya, suamiku."
"Walau bareng, kami nggak pernah melakukan hal semacam ini."
Memang, baju tidur Marika sering memperlihatkan paha, jadi dia sering melihatnya. Tapi tetap beda konteksnya.
"Kalau begitu, aku jadi orang pertama… ya."
"Kuh…!"
Kata "pertama" itu membuat jantungnya bereaksi dan berdegup semakin cepat. Ia bisa merasakan tubuhnya memanas.
"Ka-kalau begitu… aku cuci kakinya juga, ya."
"Y-ya… tolong…"
Himeno mengangkat kaki kanannya sedikit ke depan, dan Takashi mulai mencucinya sambil menahan rasa malu.
Ia kembali mengoleskan sabun ke tangannya.
"Nn…"
Ia mulai dari betis yang lebih mudah dijangkau, dan suara manis kembali terdengar dari mulut Himeno. Karena bagian kaki jarang disentuh, tampaknya area itu cukup sensitif.
Saat mereka pernah bermain-main dengan kaki sebelumnya, Himeno juga mengeluarkan suara, jadi tidak salah kalau kaki memang titik lemahnya.
"Hyaa…"
Ketika Takashi mencuci bagian bawah pergelangan kaki untuk menghindari paha, suara manis kembali terdengar. Bahkan lebih keras dari sebelumnya—berarti bagian bawah pergelangan kaki lebih sensitif.
Mendengar suara manis dari orang yang disukai sambil mencuci kakinya benar-benar membuat akal sehat jadi terkikis.
"Hyann…"
Meski tahu dia harus menahan nalurinya, Takashi tetap tanpa sadar mencuci sela-sela jari kaki Himeno. Itu bagian yang hampir pasti sensitif untuk semua orang, dan Himeno pun tampaknya begitu.
Suaranya semakin manis, tubuhnya sedikit gemetar, tapi dia tak menolak.
"Kalau aku sendiri yang cuci sih… biasa aja. Tapi kalau suamiku yang cuci… rasanya enak… nnn…"
Memang, kalau mencuci sendiri, tidak akan selembut dan sepeka ini.
"Paha juga… tolong dicuci oleh suamiku…"
(Akhirnya juga…)
Takashi menarik napas panjang, karena dia sudah bisa menebak Himeno yang makin agresif akan memintanya.
"O-oke, aku cuci."
"Iya…"
Pelan-pelan, tangan Takashi mendekati paha Himeno.
"Hyahh…"
Begitu tangannya menyentuh paha, seperti yang diduga, Himeno mengeluarkan suara manja dan tubuhnya bergetar.
Pasangan pengantin baru mungkin memang mandi bareng dan saling mencucikan tubuh tanpa menahan diri. Tapi karena mereka belum pacaran, mencuci paha sambil menahan diri benar-benar menyiksa.
"Bagian dalam juga… tolong, ya…"
Paha yang tadinya tertutup kini terbuka sedikit.
"I-iya…"
Dengan sekuat tenaga menjaga akalnya, Takashi mulai mencuci bagian dalam paha Himeno.



Post a Comment