NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukouna kanojo to, Kanojo no Heya de shiteru koto [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 12

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 12

Identitas Asli Akira


Setelah itu, Kotori yang sudah menyelesaikan rutinitasnya dengan sempurna memutuskan untuk kembali dari sekolah ke kawasan pertokoan sambil tetap mengenakan kostum Frieze.


Saat Kotori berjalan dengan penampilan yang mencolok seperti itu, tentu saja ia sangat menarik perhatian.


Di jalan menuju sekolah, setiap orang yang lewat menoleh, dan ketika memasuki kawasan pertokoan, terdengar berbagai bisik penasaran dari berbagai arah.


Namun Kotori dengan tenang mengabaikannya, sambil membalas senyuman dan melambaikan tangan pada mereka.


Ia bahkan menyempatkan diri bertanya dengan nada nakal kepada Takumi yang berjalan di sampingnya, "Rutinitas tadi, bagian akhirnya kan cukup ekstrem. Rokku nggak jadi kusut, kan?"


Sebuah sikap yang sebelumnya tak pernah terlihat dari Kotori.


Perubahan drastisnya itu membuat Takumi tak bisa tidak merasa bingung.


Tampaknya Kotori telah membebaskan dirinya dari sesuatu yang membebani pikirannya.


Setelah berpisah dengan Kotori yang harus mempersiapkan band, Takumi bergabung dengan anggota klub kerajinan.


Bersama mereka, ia menunggu di belakang panggung untuk menyaksikan acara.


Di alun-alun, selain keluarga dengan anak-anak yang menjadi target utama, banyak orang dari berbagai usia terlihat terpikat dengan panggung.


Saat itu, klub rakugo (komedi tradisional Jepang) dari sekolah yang sama sedang menampilkan beberapa cerita rakugo klasik yang terkenal seperti "Manto Kowai", "Toki Soba", dan "Meguro no Sanma" dengan gaya sketsa.


Para pemeran berganti sesuai setiap pertunjukan, dan tampaknya mereka membuatnya menjadi sketsa agar lebih banyak anggota bisa tampil.


Bagaimanapun, pertunjukan yang dipilih adalah cerita yang dicintai selama bertahun-tahun.


Dengan interpretasi modern dan ekspresi yang berlebihan serta komikal, penonton pun tertawa.


Terutama anak-anak, mereka sangat menyukainya.

Takumi pun tersentuh dan tersenyum.


Saat pertunjukan klub rakugo selesai, tepuk tangan terdengar ramai.


Takumi ikut bertepuk tangan tanpa menahan diri.


Dari cerita para anggota klub kerajinan, setiap pertunjukan lain juga mendapat sambutan yang sama.


Sekarang giliran Kotori dan teman-temannya.


Suasana sudah hangat. Kalau sampai gagal sekarang, hasilnya bisa sangat memalukan. Bahkan Takumi sulit membayangkan seberapa besar tekanan yang dirasakan.


"Berikutnya, pertunjukan band oleh Klub Kerajinan Sekolah."


Tak lama kemudian, dengan pengumuman pembawa acara, anggota band yang mengenakan kostum "Okuribito Frieze" naik ke panggung.


Sorak sorai penuh antisipasi langsung terdengar dari penonton: "Frieze!", "Aku tadi lihat itu!", "Eh, klub kerajinan!?"


Di hadapan banyak penonton yang bersemangat, Kuroda pucat pasi.


Bahkan Akira yang biasanya tersenyum manis, kali ini tegang dan wajahnya kaku.


Namun Kotori tetap tegap, tampak tak terganggu.


Seolah meniru sifat tenang dan santai dari Frieze yang panjang umur, energi semua orang meningkat semakin tinggi.


Ketika anggota band menyiapkan alat musik dan Kotori berdiri di depan mikrofon, suasana langsung hening.


Keringat mulai muncul di kepalan tangan Takumi.


Ketegangan membentang di tempat itu, lalu Kotori tiba-tiba menoleh ke belakang.


Ia tersenyum lembut pada Akira dan anggota band lainnya, membuat sedikit tegang mereka sedikit mengendur.


Setelah memastikan ketegangan mereka sedikit mereda, Kotori berbalik ke arah penonton, menggenggam mikrofon, dan mulai menyanyi dengan suara yang jernih.


"Dengar ya, lagu ajaib yang bisa membuat semua orang tersenyum."


Dengan kata-kata itu, musik dimulai, dan begitu Kotori mulai bernyanyi, suasana berubah total.


Kagum, sedih, penyesalan.


Diikuti oleh harapan, ikatan, dan kesedihan.


Kotori berhasil menciptakan dunia Okuribito Frieze melalui lagu.


Keriuhan kecil di sekitar atau kebisingan pertokoan pun seolah hilang, semua mata tertuju padanya.


Beberapa jam sebelumnya, saat berdiri di panggung yang sama, ia tampak ragu—sekarang ia tampak seperti orang yang berbeda sama sekali.


Kotori yang tadi berada dalam pelukan Takumi kini bersinar di panggung besar, memukau semua orang.


Menyadari bahwa ia berhasil membuat Kotori menampilkan sisi yang tak akan dilihat orang lain, Takumi merasa bangga dan percaya diri.


Ah, kalau mau, aku juga bisa melakukannya.


Memberi hadiah kepada Akira-senpai terasa sepele dibandingkan hal ini—tak ada masalah lagi.


Tak lama kemudian, tiga lagu selesai.


"Terima kasih banyak."


Ketika Kotori menundukkan kepala, tepuk tangan membahana, menandai keberhasilan panggung.


Saat tatap mata mereka bertemu, Kotori tersenyum lega seakan berkata, "Kita berhasil."


Senyum tanpa kepura-puraan dan berbeda dari sebelumnya itu membuat jantung Takumi berdebar.


Setelah itu, Festival Hanabishi berakhir dengan sukses.


Jumlah pengunjung lebih banyak dari perkiraan, menyebabkan sedikit kemacetan di sekitar, tapi tidak ada masalah besar.


Pendapatan pertokoan ternyata melebihi ekspektasi, menjadikan festival ini sukses besar.


Setelah mengembalikan alat musik dan kostum ke ruang klub, Takumi dan Kotori diundang untuk ikut pesta penutup oleh asosiasi pengelola pertokoan.


Biasanya mereka tidak nyaman dengan acara semacam ini dan bahkan tidak akan diundang, tapi ketika Yagi bertanya, "Kalian ikut kan?", mereka langsung mengangguk. 


Mereka sendiri terkejut dengan keputusan itu.


Rangkaian kejadian ini sepertinya telah meningkatkan pengalaman remaja Takumi dan Kotori.


Dengan situasi ini, penampilan Kotori yang menawan membuat targetnya terasa semakin dekat, bahkan mungkin tak terlalu jauh lagi.


Seiring kebutuhan rutinitas berkurang, Takumi merasa sedikit kesepian meski seharusnya bahagia—dan tersenyum getir pada dirinya sendiri.


Menjelang sore, saat langit barat mulai berwarna, Takumi dan teman-temannya dibawa Yagi ke lokasi pesta penutup.


Sayangnya, tidak semua orang hadir; satu anggota klub kerajinan dan satu anggota band harus pulang karena urusan keluarga. Keduanya tampak menyesal.


Pesta penutup diadakan di restoran okonomiyaki milik pribadi di pertokoan, yang disewa seluruhnya untuk acara ini.


Menurut Yagi, restoran ini terkenal murah dan porsi banyak, sering dipakai anggota klub olahraga.


Tempat itu penuh dengan peserta, dan Takumi serta teman-temannya mengelilingi salah satu meja beserta panggangan.


Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya dengan perut besar muncul di tengah, dan keramaian mereda.


Ia mengangkat gelas bir di tangan dan berkata:


"Singkat saja. Terima kasih atas kesuksesan Festival Hanabishi!"

"Bersulang!"


Takumi pun ikut bersulang dengan orang-orang di sekitarnya.

Para dewasa cepat mabuk dan suasana menjadi riuh.


Biasanya okonomiyaki sudah matang dan disajikan, tapi hari itu karena kekurangan staf, setiap orang memanggang okonomiyaki mereka sendiri di meja masing-masing.


Kuroda memulai, "Oke, kita bikin seadanya dulu ya~" dan menyebarkan adonan di panggangan.


Takumi mengagumi kepintaran senior itu.


Yagi dan lainnya berseru, "Wow, kerjanya cepat!" "Kuroda bisa masak ya?"


Akira menambahkan, "Cowok yang bisa masak itu nilai plus, kan?"


Kuroda merah padam, menjawab dengan ragu, "Eh, ya…" dan semua tertawa. Takumi dan Kotori ikut tertawa bersama.


Saat batch pertama okonomiyaki matang, suasana semakin meriah.


Percakapan merambah ke klub rakugo yang duduk di sebelah, dan karena sama-sama berasal dari sekolah yang sama, mereka ikut bergabung.


Tentu, pusat perhatian adalah band Kotori.


"Bandnya keren banget! Kostumnya bikin sendiri? Kasih kontaknya dong!"


Pertanyaan hujan deras mengarah ke Kotori, yang menjawab datar seperti biasa, "Iya." "Hmm."


Sikapnya tetap dingin dan anggun.


Meski berani tampil di depan umum, kemampuan berkomunikasinya belum meningkat.


Hal yang sama berlaku pada Takumi, yang hanya menjawab datar soal kostum dan kerajinan: "Ya." "Hmm."


Namun hari itu mereka mendapat sambutan hangat dari orang yang baru ditemui, bukan takut-takut, dan mendengar pujian seperti "Tidak disangka!" "Kontras dengan penampilan!"


Langkah besar untuk mereka.


Tujuan berikutnya kemungkinan adalah bisa bercakap-cakap dengan orang lain dengan nyaman.


Semua ini berkat Akira.


Akira sendiri, dengan wajah manisnya, terkenal di sekolah.

Di pesta, orang-orang dari klub rakugo mendekat, meminta kontak, bahkan mencoba menyentuhnya—yang membuat Akira tersenyum pahit.


Kuroda tetap waspada, menegur mereka: 


"Jangan kelewat ya." 

"Jaraknya terlalu dekat."


Ia juga memastikan topik pembicaraan tetap aman: 


"Terima kasih banyak hari ini." 

"Mari kita kerjasama lagi di festival berikutnya."


Takumi kagum, sambil makan dan berpikir kapan ia bisa memberikan hadiah.


Memberikan ini di depan semua orang sekarang, bisa dibilang mungkin saja. Namun, jika ada orang di sekitar yang mengejek hal itu, perasaan yang tersimpan di dalamnya mungkin akan ternoda.


Tidak masalah jika diberikan besok atau setelahnya, tapi kalau bisa, aku ingin memberikannya hari ini juga sebelum panas di dadaku mereda.


Memang, sebaiknya setelah acara perayaan ini, membuat waktu khusus di tempat yang tidak ada orang lain untuk memberikannya. Apalagi kalau Kotori juga ikut, itu akan lebih baik lagi.


Untuk itu, aku perlu membuat janji. Tidak mungkin memberikannya di depan orang banyak.


Kalau sampai terjadi salah paham, itu akan merepotkan Akira. Itu akan menjadi kontraproduktif.


Takumi mencari kesempatan untuk berbicara diam-diam di suatu tempat, menunggu timing yang tepat.


Akira yang supel mondar-mandir dari satu tempat ke tempat lain. Meski begitu, kesempatan untuk berada sendirian tampaknya jarang muncul.


Saat Takumi mulai gelisah, tiba-tiba perutnya ditusuk dengan santai.


"Hoi, Hashio-kun!"

"Hyaa!? Yagi-senpai…?"


Takumi spontan mengeluarkan suara kaget yang aneh, dan dari sekitar terdengar beberapa orang menahan tawa.


Takumi menatap tajam ke Yagi, si pelaku, yang hanya mengangkat bahu sambil berkata dengan nada sedikit kesal.


"Ya, jadi maksudku soal tambahan porsi. Hashio-kun, setelah semuanya habis di depanmu, kamu masih tampak ingin terus makan dengan ekspresi tegang."


Lalu terdengar suara lain, "Aku juga merasa kurang sedikit," "Aku masih bisa makan lebih banyak," sepertinya mereka pikir Takumi belum makan cukup. 


Memikirkan kembali, memang tak mengherankan jika mereka menganggap begitu.


"Ah… aku minta tambahan porsi."

"Baiklah~. Permisi──"


Takumi menjawab dengan malu-malu, dan Yagi mengangkat tangan sambil memanggil dari arah dapur.


Ketika ia menoleh kembali dengan wajah canggung, Akira tidak ada di tempat itu.


(...Eh?)


Takumi tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.


Sepertinya saat ia lengah, Akira telah berpindah ke suatu tempat. Meski matanya menyapu sekeliling—ke klub kerajinan, anggota band, hingga kursi klub drama—tak tampak seorang pun.


Jantung Takumi menciut. Saat panik semakin menjadi, ia mendengar suara pintu yang dibuka perlahan dengan tajam.


Secara refleks, ia menoleh dan melihat Akira berjalan keluar dari toko.


"Aku, aku cuma ke toilet sebentar—"


Ini kesempatan!


Dengan pikiran itu, Takumi segera meraih tas yang berisi hadiah, meninggalkan alasan singkat, dan buru-buru mengejar Akira.


Setelah keluar toko, langit sudah gelap sepenuhnya.


Hampir semua toko di sekitar sudah tutup, lampu pun jarang.

Keheningan merata, seolah keributan siang hari hanyalah mimpi.


Ternyata, waktu telah berjalan lebih lama dari yang ia kira.


Takumi terkejut, tapi terus memandang sekeliling untuk mencari Akira.


Tak jauh dari sana, ia melihat punggung Akira yang hendak memasuki gang sempit.


Apa yang ia lakukan di tempat seperti itu?


Meski bertanya-tanya, yang pertama harus dilakukan adalah membuat janji.


Kalau mendekat, ia akan tahu alasannya.


Dengan langkah cepat, Takumi mengejar.


"Akira──!?"


Saat ia berusaha memanggil Akira di tikungan gang, ia terkejut dan mundur, bersembunyi.


(...!?...)


Di sana, beberapa pria berpakaian jas mahal, tampak sangat berkelas sekaligus menakutkan.


Semua memancarkan aura kekerasan; jelas mereka bukan orang yang muncul di permukaan, orang-orang yang tak boleh disentuh.


Sekadar menatap saja berbeda dari manusia biasa.


Jika dibandingkan dengan mereka, penampilan Takumi yang sedikit nakal tampak lucu.


Keringat dingin tak berhenti. Instingnya terus memberi peringatan.


Sekali lagi mengintip, mereka masih ada di sana.


Ia juga melihat punggung Akira yang berdiri di depan mereka, membuatnya menahan napas.


Pemandangan Akira, yang populer di sekolah, berdiri menghadapi orang-orang dunia bawah ini, sangat aneh.


Kenapa bisa begini? Apakah dia terseret ke masalah?


Saat ia panik dan bingung, salah satu dari mereka menatapnya.


"Siapa kau!?"

"!? "


Semua menoleh ke arahnya serentak. Tatapan tajam mereka sudah terbiasa menakut-nakuti orang lain.


Dihadapkan dengan semua tatapan itu, kaki Takumi membeku, tulang punggungnya kaku, rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya muncul.


Ia menahan teriakan yang hampir keluar, dan hampir ingin memuji dirinya sendiri karena bisa mengendalikannya.


Jelas mereka memandang Takumi dengan permusuhan.

Jika salah bertindak, siapa tahu apa yang terjadi.


Takumi mengerahkan otak untuk memikirkan apa yang harus dilakukan.


Tidak ada orang yang lewat, tidak mungkin minta pertolongan.


Bahkan jika berteriak, suara tak akan sampai ke toko; semua toko terdekat sudah tutup.


Memanggil polisi dengan ponsel juga memerlukan waktu.


Melarikan diri secepatnya tampaknya keputusan tepat.


Tapi, bagaimana dengan Akira? Jika ia lari meninggalkan Akira di depan mereka, itu seperti meninggalkan domba di hadapan serigala.


Akira adalah orang yang menyelamatkan Takumi.


Sejak bertemu, berapa banyak hidupnya berubah dan terselamatkan.


Takumi tidak bisa membiarkan dirinya lari meninggalkan orang yang telah menolongnya.


Bayangan Akira disakiti oleh mereka, membuat gemetar di kakinya berhenti. Ia menahan diri dan menggigit gigi, menyiapkan diri menghadapi risiko.


Dengan berani, ia melompat ke depan, memisahkan Akira dan para pria itu, dan membuka tangan sambil berteriak.


"Akira-senpai, lari sekarang!"

"Hah, Hashio-kun!?"

"Siapa kau?"

"Hei, maksudmu apa?"


Reaksi Akira adalah terkejut, sementara para pria tampak bingung.


"Senpai, cepat!"

"Eh, ah…"


Takumi berteriak lagi agar Akira lari, tapi ia hanya mendapat suara ragu.


Saat Takumi mulai panik, seorang pria dengan bekas luka besar di wajah, yang tampak seperti pimpinan, maju dan berkata dengan malas.


"Hoi, budak, kalau mau main hero, mainlah di tempat lain."

"Tidak!"

"Haaah, aku beri kelonggaran, jadi cepat pergi sana."

"Tidak mau!"


Saat bahunya ditodong, Takumi menatap balik dengan tegas, menepis tangan pria itu.


Merasa diremehkan, pria itu marah dan meraih kerahnya.


Takumi hampir kehilangan nyali, tapi matanya tak lepas dari pria itu.


"Hoi, bocah ini mulai berani──"

"Berhenti, Shinomiya!"


Tepat saat pria itu hendak meninju, suara Akira terdengar, rendah dan penuh wibawa.


Pria yang dipanggil Shinomiya itu menghentikan pukulannya, ragu-ragu menatap Akira.


"Tapi, nona──"

"Nona juga berhenti."

"──…Akira-san, dia ini…"

"Dia… Hashio-kun, mencoba menolongku. Dan kalau keluargaku sampai menyakiti dia… Shinomiya, kau ingin mempermalukanku?"

"…Cih, beruntung saja, bocah."

"…Eh?"


Shinomiya melepaskan tangannya.


Pria-pria lain pun, sepertinya menyerah pada keadaan, dengan enggan mengangguk.


Takumi, yang belum sepenuhnya memahami situasinya, hanya bisa menatap Akira dan mereka bergantian dengan wajah bingung.


Lalu Akira menempelkan tangan di pelipisnya seolah mengatakan “sudah menyerah”, tersenyum canggung.


"Maaf ya, Hashio-kun. Keluargaku merepotkanmu."

"Hah? Keluarga? Ehm… sepertinya tidak terlalu mirip ya?"

"Ya, memang tidak ada hubungan darah."

"Ehm…?"


Takumi semakin bingung, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Akira lalu menghela napas seolah menyerah, dan mulai berbicara dengan nada seperti ada sesuatu yang tersangkut di giginya.


"Kau tahu Dairanda-gumi?"

"Ah, itu… rumah Jepang besar di pinggiran kota, yang katanya Yakuza?"


Mendengar kata Yakuza, Shinomiya langsung bereaksi, suaranya berat dan berwibawa.


"Kami bukan Yakuza! Kami adalah orang yang menghormati kehormatan──"

"Shinomiya, diam saja."

"──Ya."


Dengan satu kata dari Akira, Shinomiya langsung menurunkan pedangnya.


Melihat interaksi itu, Takumi bisa memahami hierarki kekuatan mereka, meski bukan orang yang biasa membaca situasi.


Dengan hati-hati, ia bertanya.


"Apakah… Akira-senpai…"

"Ya. Nama asliku Dairanda Akira. Aku satu-satunya putri Dairanda-gumi. Ikoma itu nama ibu. Hari ini aku bilang pulang malam, tapi mereka tetap menjemputku."


Takumi terkejut, matanya terbelalak.


Shinomiya, yang mendapat tatapan dari Akira, menjelaskan.


"Kakek juga khawatir sama Akira-san…"

"Kakek terlalu protektif! Bahkan belum jam delapan. Ah, dan akhirnya ketahuan juga."

"Ma-maaf… eh, berarti ketahuan kan?"

"Ya, sebaiknya cepat selesai. Urusannya. Kali ini mungkin keluar prefektur."

"Ya."


Takumi hanya bisa menatap interaksi itu dengan ternganga.


Ia tidak tahu persis apa itu Dairanda-gumi dan apa yang mereka lakukan.


Tapi jelas, orang-orang seperti Shinomiya berada di dalamnya, dan Akira berada di atas mereka.


Kini Takumi mengerti mengapa Akira bisa bersikap biasa padanya di sekolah.


Dibandingkan dengan keluarga seperti mereka, Takumi hanyalah anak kecil yang lucu.


Melihat Akira yang terbiasa memberi perintah pada Shinomiya, ia sadar Akira juga berasal dari dunia itu.


Namun, sosok Akira yang ceria, selalu tersenyum dan disukai semua orang di sekolah, sulit untuk dibayangkan bersamaan dengan dunia itu.


Melihat ekspresi Takumi yang tak bisa dijelaskan, Akira berkata dengan suara sedikit sedih.


"Setelah rahasiaku terbongkar, kita tak bisa seperti dulu lagi. Tapi aku tetap senang bisa bersama Hashio-kun dan Nabata-san sampai hari ini."

"........"


Akira tersenyum canggung, tapi bagi Takumi, ia terlihat sedih, seperti gadis biasa.


“──Sekarang, aku tidak bisa bermain dengan mereka lagi.”


Wajahnya mirip sekali dengan waktu Atcchan mengakhiri pertemanan dulu.


Takumi, didorong oleh rasa menyesal dan cemas, mengambil sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya ke Akira sambil berteriak.


"Aku juga senang, terima ini!"

"──Hah?" 

"!?!"


Akira, yang tiba-tiba diberi hadiah, terkejut. Shinomiya dan yang lain pun tercengang. Takumi terus bicara dengan cepat.


"Terima kasih sudah membiarkanku masuk klub sukarelawan, membuat kostum, ikut event… ini pertama kalinya dan aku senang, ingin menyampaikan perasaanku, jadi aku pilih bersama Kotori!"

"Ah, tadi juga sudah kukatakan, aku anak tunggal Dairanda-gumi…"

"Sekarang tidak penting! Aku hanya ingin berterima kasih pada Akira-senpai yang sudah memasukkan aku ke lingkaran kalian!"

"──!"


Takumi sadar apa yang dilakukannya agak tidak sesuai situasi. Namun Akira, yang tadi tampak sedikit kesepian, bukan putri Dairanda-gumi, tapi senior sekolah yang dikagumi.


Itulah sebabnya ia begitu ingin memberikan hadiah itu. Namun Akira menundukkan wajah dan gemetar melihat hadiah itu.


Apakah ini merepotkan baginya?


Takumi, yang belum berpengalaman, merasa cemas.

Ia juga merasakan kebingungan di sekitar mereka.


"Ehm…?"


Saat mencoba melihat wajah Akira dengan hati-hati, Akira menahan perutnya dan tertawa terbahak-bahak.


"Ahahahaha!"

"Akira-senpai!?" 

"Nona!?"


Takumi dan Shinomiya bingung, tidak tahu mengapa Akira bisa tertawa seperti itu.


Setelah tertawa cukup lama, Akira menghapus air mata di sudut matanya, lalu menatap Shinomiya dengan wajah cerah.


"Ya, baik. Hashio-kun, kau boleh. Benar-benar boleh. Shinomiya, batalkan prosedur tadi. Kali ini tidak akan ada pindah sekolah atau apapun."

"Tapi, Nona…"

"Aku sudah bilang jangan panggil 'Nona'. Tenang saja, dan jika ada apa-apa, aku yang bertanggung jawab."

"…Ya."


Lalu Akira menoleh ke Takumi, tersenyum dengan cerah dan memberitahukan keputusannya.


"Hashio-kun, kau akan menjadi rekan kerjaku."

"Rekan… kerja?"

"Iya, rekan yang membantuku menjalani hari-hari sebagai gadis biasa. Kau tidak akan menolak, kan?"


Dengan Shinomiya dan yang lain sebagai latar belakang, cara Akira bicara seolah menolak sama sekali bukan pilihan—benar-benar seperti tiran yang memimpin Dairanda-gumi.


Namun anehnya, Takumi sama sekali tidak merasa tidak nyaman. Malah, ia merasakan sesuatu yang akrab dan hangat. Tanpa ragu, ia mengangguk.


"Baik."


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close