Penerjemah: Ikaruga Jo
Proffreader: Ikaruga Jo
Chapter 1 - Bagian 2 Bertemu Muka
Orang yang tidak bekerja tidak boleh makan.
Sebagai seorang pelajar, aku tidak terlalu memahami ungkapan ini. Itu karena aku masih di bawah asuhan orang tua, seorang "anak" yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi yang menyangkut kehidupan.
Tapi ada satu orang yang tidak bisa seenaknya berpikir begitu.
Dia adalah Yua.
Yua tinggal sendiri, terpisah dari orang tuanya yang tidak akur, dan dia memutuskan untuk menanggung semua biaya hidupnya sendiri, kecuali biaya hidup paling dasar.
Dulu, saat kelas satu, Yua sepertinya hampir terus-menerus bekerja paruh waktu. Tapi sejak dia mulai berhubungan dengan keluarga Nagumo, dia tidak bekerja paruh waktu karena meluangkan waktunya untukku dan Tsugumi.
Aku juga setuju kalau Yua mulai bekerja paruh waktu lagi untuk kehidupannya sendiri.
Meskipun dia tinggal di keluarga Nagumo dengan alasan membantuku yang cedera, aku sudah memakai gips saja dan lebih leluasa bergerak, jadi aku juga tidak bisa terus-menerus bergantung pada Yua. Aku yang tahu kondisi Yua tidak ingin menghalangi dia.
Sejak sedikit sebelum liburan musim panas, Yua sepertinya sudah mengikuti beberapa wawancara kerja paruh waktu.
"Lolos!"
Dengan ponsel di tangan, Yua masuk ke ruang tamu.
"Dengan ini, aku menang semua pertarungan!"
Dia membentuk huruf V dengan jari ke arahku dan Tsugumi yang sedang bersantai di sofa.
"Yua, kamu memulai pertarungan lain ya?"
Aku berkata pada Yua yang duduk di sampingku, memancarkan aura juara mutlak.
"Tapi, kok bisa semudah itu diterima ya..."
Aku sedikit terkejut dengan rekor kemenangan Yua, sampai-sampai agak kaget.
Diterima di semua wawancara yang dia ikuti... Meskipun ini pekerjaan paruh waktu, kudengar ini cukup sulit dan orang yang punya kemampuan komunikasi bagus pun bisa gagal. Kira-kira trik apa yang Yua gunakan ya?
"Jangan-jangan kamu ditembak pas wawancara?"
Aku terlalu didominasi pikiran bahwa apa pun bisa terjadi dengan Yua, jadi terlambat sudah saat pertanyaan bodoh itu keluar dari mulutku.
"Shinji~, cemburu ya?"
Yua menyeringai dan mendekatkan wajahnya kepadaku.
Nah, kan, jadi begini.
"Bukan, aku cuma sedikit khawatir. Begini, wawancara itu kan pertarungan diterima atau tidaknya, kan? Dalam arti tertentu, itu mirip pernyataan cinta. Aku cuma khawatir kalau-kalau mereka salah paham dan kamu jadi terlibat masalah."
Padahal sudah tahu bakal begitu, aku malah mengatakan hal yang tidak perlu.
Aku mengalihkan pandanganku, dan di sana ada Tsugumi.
"Shin nii, kamu kepikiran kalau Yua-san diambil orang lain kan?"
Menghindari satu seringai, malah bertemu seringai baru.
"Cuma wawancara saja sudah segitunya khawatir, Shin nii posesif juga ya."
Tsugumi ini, malah meniru kebiasaan aneh Yua saja...
Aku ingin bilang, 'Jangan meniru semuanya hanya karena mengagumi,' tapi di depan Tsugumi yang terlihat senang, aku tidak bisa menegurnya.
"Lihat kan Shinji, memang begitu kan~"
"Itu kan cuma kesan Tsugumi ya? Bukan pendapatku lho."
Yua yang salah paham, matanya berbinar dan mendekatiku.
"Oh iya, Shin nii. Kalau cemburu segitunya, kenapa Shin nii tidak ikut wawancara Yua-san saja?"
Tiba-tiba Tsugumi mulai memberikan saran aneh.
"Itu ide bagus! Shinji, mau ya?"
Yua yang setuju dengan Tsugumi, menggenggam tangan kananku dan memiringkan kepalanya.
Mereka bersekongkol hanya dengan feeling cewek-cewek. Aku takut karena tidak mengerti kenapa bisa begitu.
"Wawancara Yua... maksudnya apa ya?"
"Gampang kok. Shinji tinggal bilang saja kenapa Shinji menyukai Yua-san."
Tsugumi mengisyaratkan bahwa wawancara itu sangat sulit.
"Oke, mulai!"
Tsugumi menepuk kedua tangannya dan masuk mode penonton.
"Apa alasan Shinji menginginkan Ku?"
Yua langsung melontarkan pertanyaan. Ini gila. Seharusnya dia lebih merasa aneh. Kenapa dia memulainya tanpa ragu sama sekali? Aku jadi merasa diriku yang aneh.
Meskipun hanya bercanda, jika aku melakukan tindakan yang mencurigakan, Tsugumi akan mencurigai hubunganku dan Yua.
Lagipula, hubunganku dengan Yua sudah tidak sedalam itu sampai aku harus menolak atau melarikan diri hanya karena malu.
"...Alasan kenapa aku menginginkan Yua adalah karena dia rumahan padahal penampilannya mencolok, dia perhatian pada hal-hal yang tidak kusadari, dia juga baik pada Tsugumi, dan bersamanya aku bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak bisa kulakukan. Jadi, bagaimana pun juga, dia adalah orang yang kubutuhkan..."
Aku mengatakan fakta itu apa adanya.
Aku menyatakannya seolah sedang menulis komentar di buku laporan, mengatakan bahwa ini adalah hasil pengamatan dan evaluasi objektif. Dengan begitu, aku bisa sedikit terhindar dari rasa malu.
"He, hee~, lumayan juga ya."
Yua menjawab dengan nada acuh tak acuh, tapi pipinya merona dan tubuhnya melengkung, kepalanya miring ke arah berlawanan dari sandaran sofa.
"Shinji juga sudah pintar bicara ya."
"Hei, hati-hati jatuh..."
Karena punggungnya melengkung, dia hampir saja jatuh kepala duluan ke lantai, jadi aku buru-buru menopang lehernya dengan tangan kananku. Panas dari lehernya merambat ke telapak tanganku, dan sensasi rambut dingin yang datang belakangan terasa nyaman.
"Shin nii, kamu sangat menyukai Yua-san sampai Yua-san jadi melengkung begitu ya."
Tsugumi tampak senang seolah itu adalah hal yang terjadi padanya.
Sekarang, aku tidak punya niat untuk membantah, 'Aku tidak menyukai Yua atau apa pun!'
Terlepas dari apakah itu 'suka' dalam arti romantis atau tidak, Yua memang orang yang penting bagiku. Sejak aku mulai berinteraksi dengan Yua, perubahan baik yang tak terhitung jumlahnya telah terjadi.
Aku juga merasa yakin bahwa di antara semua cowok yang dekat dengan Yua, akulah yang paling dekat untuk memahaminya.
Meskipun hanya sementara, kami tinggal bersama. Aku melihat pemandangan yang tidak bisa dilihat oleh teman sekelas biasa.
Yang terpenting, masalah keluarga Yua, selain Ousaki, mungkin hanya aku yang tahu.
Mengingat betapa banyak yang aku tahu tentang Yua, aku tidak bisa membantah pendapat Tsugumi.
"Shinji, kamu boleh bilang sekali lagi lho?"
Yua terlihat sangat santai, badannya hanya bertumpu di sofa sementara bagian bawahnya terjuntai di lantai. Aduh, pusarnya kelihatan tuh.
Kalau diminta mengulang pujian lagi, rasanya malu. Ada hal-hal yang hanya bisa diucapkan karena terbawa suasana saat itu.
"Jadi, bagaimana hasil wawancaraku?"
Sambil mengalihkan pembicaraan, aku buru-buru menanyakan hasilnya.
"Shin nii, hasilnya belum keluar kok. Yang tadi itu kan baru wawancara pertama."
Adik ipar yang jadi penonton itu malah menambah masalah.
"Wawancara kedua itu, Shin nii harus mencium Yua-san."
"Tsugumi sepertinya salah paham dengan arti wawancara ya."
Dia pasti mengira 'wawancara' (面接 - mensetsu) yang secara harfiah berarti 'bertemu muka' itu adalah mendekatkan wajah secara fisik.
"Lagipula, kalaupun jadi, itu baru yang kedua? Lalu, hal gila apa yang menunggu di akhir nanti?"
"Wawancara terakhir itu, Shin nii harus bilang 'Menikahlah denganku' ke Yua-san."
"Jangan mencoba membuatku melamar di tengah-tengah proses wawancara!"
Gawat. Kalau aku terus-terusan menuruti, bisa-bisa berakhir dengan hal gila.
"Soalnya, itu baru dianggap lulus kalau Yua-san menerimanya!"
Kata Tsugumi.
Kami memulainya seperti bermain rumah-rumahan, tapi ternyata Tsugumi cukup serius.
"Hal seperti itu, nanti saja ya..."
"Eh~, Shinji~, kamu nggak mau menikah denganku ya~?"
Yua memprotes dengan nada menggoda. Suaranya manis sekali.
"Agak susah ya dengan cewek yang pakai sofa buat matrix dodge gitu."
"Lihat tuh, aku nggak begitu lagi kan?"
Yua mencondongkan badannya, menopang tubuhnya dengan kedua tangan di pahaku. Kaosnya kalah oleh gravitasi, jadi belahan dadanya kelihatan dari kerah.
Meski dadanya ditarik ke bawah oleh gravitasi, Yua mendekatkan bibirnya ke telingaku.
"Sekarang kita bisa menikah ya?"
Dia berbisik, membuatku kelabakan.
Volume suaranya yang tidak dimaksudkan untuk didengar Tsugumi membuatku hampir menganggapnya serius.
Ditambah lagi, Yua sampai duduk mengangkangi paha kananku, membuatku makin bingung.
"Wawancara kedua saja belum selesai!"
"Oh, jadi kalau ciuman berarti menikah, oke?"
"Nggak oke dong."
"Aduh, Shin nii, wawancaranya yang serius dong!"
Omelan Tsugumi melayang.
Sepertinya Tsugumi perlu sekali mencari tahu arti wawancara di kamus.
"Kalau begitu Shinji, cepat lakukan wawancaranya?"
Yua yang ikut-ikutan iseng, melingkarkan lengannya ke leherku, dan akhirnya mulai menimpa makna wawancara dengan nuansa seksual. Tolong, hargai lagi kata-kata itu.
Tentu saja, di depan Tsugumi, aku tidak mungkin berciuman atau memutuskan untuk menikah.
"Daripada itu Yua, kamu memutuskan kerja paruh waktu di mana? Sekarang itu lebih penting daripada wawancaraku, kan?"
Aku mengalihkan pembicaraan, berusaha mencari tahu keputusan Yua yang tidak bisa dibilang tidak berhubungan dengan keluarga Nagumo saat ini.



Post a Comment