NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V1 SS Chapter 3


Penerjemah: Sena
Proffreader: Sena

Kue Stroberi


“Kafe... Shinra Banshou? Eh!? Master, Anda membuka kafe!?”

Level 4, hunter. Usia 16. Perempuan. Tinggi 162 cm, berat 45 kg. Ukuran tiga lingkar—rahasia.

Tino Shade membelalak melihat papan nama itu.

Bangunannya tampak imut, dengan dinding putih dan atap merah. Kecil memang, tapi karena berada di lokasi paling strategis di ibu kota kekaisaran Zebrudia, jelas memerlukan biaya besar untuk mendirikannya.

Pintu yang tampak seperti terbuat dari kayu itu ternyata keras seperti logam saat disentuh. Saat pintu dibuka, lonceng kecil berbunyi “chirin-chirin” dengan suara yang menggemaskan.

Di dalam, ada lima meja kecil. Tidak ada menu.

Di balik konter berdiri seorang pria berambut hitam yang sudah sangat familiar bagi Tino—Master—dengan senyum ramah. Bukannya mengenakan apron, ia justru mengenakan kemeja bermotif mencolok yang benar-benar memperlihatkan betapa tidak seriusnya dia menjalankan ini.

Treasure Hunter—profesi bintang di zaman ini.

Mereka menyusup ke dalam reruntuhan yang diciptakan oleh dunia itu sendiri—Treasure Hall—menghindari serangan hebat dari phantom dan perangkap mematikan, lalu membawa pulang harta yang memiliki kemampuan aneh yang tidak bisa ditiru oleh teknologi modern.

Ini adalah pekerjaan paling berbahaya, dengan tidak sedikit orang yang kehilangan nyawa. Tapi bagi mereka yang berhasil, kekayaan, kehormatan, dan kekuatan menanti.

Di ibu kota kekaisaran Zebrudia, yang juga disebut sebagai tanah suci para hunter, setiap hari ada hunter baru yang lahir—dan banyak pula yang tumbang. Dan di antara mereka, muncullah seorang bintang yang melesat bagaikan komet.

Krai Andrey.

Seorang hunter jenius yang mencapai level 8—tingkatan yang disetarakan dengan pahlawan—di usia muda.

Di antara para hunter papan atas yang bermarkas di ibu kota, dia jelas masuk lima besar. Dia juga adalah Master Klan dari Klan First Step tempat Tino bergabung.

Dia dikenal dengan julukan Senpen Banka.

Kekuatannya mampu membelah langit dan memecah bumi. Dia punya banyak kisah legendaris, termasuk menghancurkan organisasi kriminal tanpa menggerakkan satu jari pun, sehingga dijuluki oleh Asosiasi Penjelajah sebagai Senpen Banka—salah satu hunter terkuat yang ada.

Seharusnya, dia adalah orang dari dunia atas yang tak terjangkau. Dia dengan mudah menuntaskan misi-misi yang dianggap mustahil, dan satu-satunya alasan Tino yang masih hunter kelas menengah bisa akrab dengannya adalah karena gurunya adalah teman masa kecil Krai Andrey. Kadang-kadang, dia bahkan diajak berpetualang bersama.

Tapi, hal-hal seperti itu sekarang tidak penting.

Julukan Senpen Banka diberikan karena Krai Andrey menguasai banyak bidang.

Namun, meski begitu, Tino belum pernah sekalipun melihat Master memasak.

Dengan cemas, ia melangkah pelan ke dalam kafe yang kosong. Dengan sedikit keberanian, ia bertanya:

“…Master… Anda bisa memasak?”

“Sebenarnya dari dulu aku memang ingin membuka kafe. Bahkan bisa dibilang, ini lebih penting bagiku daripada jadi hunter.”

“!? “

“Butuh waktu lama untuk membangun tempat ini. Tino adalah pelanggan pertamaku. Ayo duduk, duduk.”

“Y-ya… baik…”

Dengan dorongan dari Master, Tino duduk di salah satu kursi.

Dengan punggung tegak dan tangan rapi di atas pangkuan, Tino duduk dengan penuh tata krama. Master menatapnya sambil tersenyum cerah.

“Nah, pelanggan terhormat. Mau makan apa?”

“U-umm… apakah ada menu…?”

“Menunya belum ada, tapi semua bahan lengkap. Bukan sombong, tapi aku bisa buat apa saja.”

Dengan bangga, Master mengangkat sebuah pisau dapur.

Tino secara refleks menghela napas. Itu adalah pisau dapur paling indah yang pernah dilihatnya.

Bilah emasnya begitu mengilap sampai bisa memantulkan wajah Tino, dan memancarkan cahaya seakan menyedot mata yang melihatnya.

Tidak—itu bahkan sudah melampaui sekadar ‘pisau’.

Bahkan hunter kelas atas pun jarang memiliki senjata setajam itu.

Pisau itu benar-benar layak menjadi milik seorang pahlawan.

Dengan hanya memegang pisau itu, Master yang penampilannya sama sekali tidak seperti koki, tampak seperti chef kelas dunia.

“Apa saja, ya…”

“Benar! Kue! Aku akan buatkan kue! Ini kafe, kan? Kau suka, kan?”

“Y-ya… aku suka kue… eh?”

Tapi… bukankah membuat kue tidak butuh pisau?

Sebelum Tino sempat menyampaikan pikirannya, Master sudah melompat-lompat ringan menuju dapur di balik konter.

Treasure Hunter adalah profesi yang berat. Kadang harus berkemah di tanah yang dipenuhi monster, atau memasak dengan bahan seadanya seperti tanaman liar yang ditemukan di jalan.

Tino sendiri cukup pandai memasak, tapi seorang hunter kelas atas biasanya serba bisa.

Kalau begitu… bagaimana rasa kue buatan seorang hunter kelas dunia?

Dengan jantung berdebar dan tegang, Tino menunggu.

Tiba-tiba, telinganya menangkap suara aneh.

Ton, ton, ton, ton.

“Eh…………????”

To-to-to-to-to-to-to-to-to.

“?????”

Suara yang terdengar nyaman… tapi jelas suara pisau.

Bagian mana dari membuat kue yang butuh pisau? Apakah sedang memotong cokelat? Atau mungkin—memanggangnya dari awal…?

Saat Tino masih berkedip-kedip bingung, Master keluar dari dapur.

Di atas nampan yang dibawanya, terdapat sebuah Shortcake stroberi yang megah—

“Eh???? Eh????”

Baru lima menit berlalu sejak masuk ke dapur.

Di hadapan Tino yang membelalak, sang Master meletakkan piring perak berisi kue sambil tersenyum memesona seakan ia pun terpesona oleh kreasinya sendiri.

“Sudah jadi. Silakan disantap.”

Semakin dilihat, semakin mengagumkan Shortcake stroberi itu. Tidak akan terlihat aneh jika disajikan di kafe biasa.

Master kelas satu. Peralatan makan kelas satu. Shortcake stroberi kelas satu.

Dengan ragu, Tino menyentuh stroberi di atas kue dengan garpu perak.

“……Umm, Master, tadi di dapur itu suara pisau──”

“Oh, iya, karena aku sedang membuat kue.”

“???? Dibuat dari awal?”

“Tentu saja. Ini kue yang baru jadi.”

Dengan percaya diri, Master menjawab. Tino kembali memeriksa piring di depannya.

Bagaimana caranya…?

Apakah mungkin membuat Shortcake stroberi dengan krim segar hanya dalam lima menit? Bahkan, apakah memang ada tahap yang memerlukan pisau dalam membuat kue seperti ini?

Tino juga bisa membuat kue manis. Tapi kalau diminta membuat tart stroberi dalam lima menit... pasti akan sangat kesulitan.

Tino menyukai makanan manis. Shortcake stroberi adalah salah satu kesukaannya.

Apalagi jika itu buatan tangan sang Master yang begitu dihormatinya, tentu saja ia tak bisa menolak.

Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa laparnya. Karena Tino terus diam tak menyentuh kue, Master memandangnya heran, lalu menepuk tangan.

“Ah, tehnya belum disajikan, ya. Maaf, aku kurang peka.”

“Eh?”

“Ini kafe, kan? Tunggu sebentar, ya.”

Master pun kembali ke dapur.

Sementara duduk terpaku dan terus menatap kue, suara itu terdengar lagi di telinga Tino.

Tok tok tok tok... tok-tok-tok-tok-tok-tok-tok-tok──

“!? !? !?”

Tidak. Mustahil.

Mungkin saja pisau digunakan saat membuat kue, tapi... tidak mungkin ada alasan untuk menggunakan pisau saat membuat teh──

Tino yang wajahnya mulai kaku karena bingung, hanya bisa terpaku saat Master kembali datang.

Di atas nampan yang dibawanya, ada secangkir teh yang masih mengepulkan uap.

Master meletakkan teh di hadapan Tino.

Cangkir perak yang indah. Cairan di dalamnya pun tampak secantik peralatannya.

Benar-benar… teh asli.

“Ma-Master? Untuk teh… Anda pakai pisau juga!?”

“Hm? Ya, benar.”

Ekspresi Master sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Tapi Tino tahu.

Orang seperti Master, seorang hunter terkuat, hidup di alam yang berbeda. Standar pemikirannya tidak sebanding dengan Tino yang baru level 4 dan hanya berbakat sedikit.

“……Kalau boleh tahu, bahan-bahannya… apa saja?”

“Hmm…? Aku juga tidak tahu.”

“Begitu ya. Tidak──Eh?”

Kata-kata yang tidak bisa dianggap remeh itu membuat Tino kembali menatap kue dengan penuh kecurigaan.

Krim putih yang lembut, dan sebuah stroberi yang berkilauan di atasnya.

Soal teh, mari abaikan dulu. Penggunaan pisau untuk membuat tart stroberi juga, mari anggap wajar.

Namun, jika ini tart stroberi, maka stroberi sudah seharusnya digunakan. Anak kecil pun tahu itu.

Tart stroberi harus ada stroberinya!

Dengan hati-hati, Tino bertanya pada Master.

“……Apakah Anda menggunakan stroberi?”

Dengan senyum lebar, Master menjawab.

“Tidak. Keren, kan!”

“!? Ba-baik… sa-sangat keren……………… luar biasa…”

Kalau begitu, stroberi besar yang tampak seperti permata merah cemerlang di atas kue yang begitu indah ini… sebenarnya apa!?

Pertanyaan itu memenuhi pikirannya. Tapi Master, yang sangat dihormatinya, kini memandangi Tino seolah menantikan momen saat Tino mencicipi kuenya.

Tino adalah anggota Klan elit yang dibentuk oleh Master. Ia bahkan mendapat guru luar biasa karena koneksi Master.

Selama ini pun, Master sudah banyak menolongnya. Tak mungkin ia mengkhianati senyum tulus itu.

Dengan tangan gemetar, Tino menggenggam garpu, perlahan menusukkan ke ‘stroberi’, dan mengangkatnya dengan hati-hati.
Setelah membulatkan tekad, ia pun memasukkannya ke dalam mulut.

──Tapi dari stroberi yang terlihat sangat manis itu, sama sekali tidak tercium aroma manis.

“…………kyuu”
(Tino pingsan).

◇◇◇

Kafe Shinra Banshou.

Ini adalah kisah tentang sebuah kafe di mana sang Master, yang sama sekali tidak bisa memasak, menyajikan hidangan tanpa pernah mencicipinya terlebih dahulu.








Beef Currry yang Tak Terlukiskan


Sebuah artefak berbentuk pisau dapur—disebut Tenhocho Silhouette.

Artefak yang tersebar di Treasure Hall, dikenal sebagai memori masa lalu yang terwujud kembali lewat akumulasi kekuatan misterius dunia: Mana Material.

Asal usul Tenhocho Silhouette dikatakan berasal dari masa silam yang begitu kuno hingga tak tersisa catatan apa pun, milik seorang lelaki yang menguasai negaranya hanya dengan keahlian memasak.

Pisau emas itu mampu memotong segala fenomena, memungkinkan penggunanya untuk mereproduksi semua jenis masakan.

Setelah menceritakan itu, Master mengangkat pisau emasnya dan berkata dengan senyum sendu di wajahnya:

“Karena aku mendapatkan pisau ini… aku jadi kepikiran ingin buka kafe.”

“……”

Tolong jangan kepikiran begitu, Master.

Kata-kata itu berhasil ditahan oleh Tino, meski nyaris meluncur keluar.

Sejak sesaat setelah menyuapkan stroberi ke mulutnya, ingatannya menghilang. Ia tidak ingat rasanya, juga tidak tahu apa yang terjadi padanya. Padahal Tino sudah terbiasa dengan pelatihan berat hingga jarang terkejut oleh apa pun, namun kali ini ingatannya benar-benar terbang—berarti, Shortcake itu benar-benar monster.

Menurut Master, Tino langsung roboh setelah menggigit stroberi sambil mengeluarkan suara kecil “kyuu.”

Normalnya itu aib memalukan, tapi setelah melihat cara Master menceritakannya tanpa rasa bersalah, Tino jadi kehilangan hasrat untuk marah.

Lagipula, katanya bisa mereproduksi semua jenis masakan—padahal kenyataannya tidak sama sekali, kan?

Setidaknya, Shortcake tadi sama sekali tidak beraroma manis. Tidak ada wangi stroberi, tidak ada wangi krim. Tino yakin, karena indra penciumannya cukup tajam.

…Jangan-jangan, pisau itu hanya bisa mereproduksi bentuk masakan?

“Katanya, masih ada papan pemotong dan peralatan lain dalam satu seri… Tapi alat-alat masak dari seri ‘Penakluk Bangsa’ itu, sekali didapat, tak ada yang mau melepasnya. Susah sekali dicari.”

“…………Kalau dapat peralatan lainnya, rasanya bisa jadi lebih enak, kah?”

“Tentu saja… tergantung siapa yang memakainya.”

Tino yang menyindir bahwa makanannya tidak enak, dijawab Master dengan senyum cerah.

Tino hanya bisa menunduk melihat itu.

Master ini benar-benar tak bisa dibiarkan. Ia selalu memberikan cobaan-cobaan kejam (demi perkembangan Tino, tentu saja)—dan kali ini pun jelas dilakukan dengan sadar sepenuhnya.

“Waktu aku bilang mau buka kafe, Sitri langsung menyiapkan tempatnya… Luke dan yang lain bantu kumpulkan bahan-bahannya. Yah, teman-teman baik itu memang tak ternilai.”

Master adalah hunter terkuat. Dan sebagai hunter terkuat, Master memiliki rekan-rekan terkuat pula.

Partynya yang terdiri dari teman masa kecil sejak di kampung halaman, bernama—Strange Grief.

Gurunya Tino, Liz Smart, juga termasuk dalam party itu, dan kekuatan mereka begitu besar hingga tak tertandingi di sekitar daerah Zebrudia.

“…………Jadi, soal rasa tadi… itu tergantung bahan masakannya, ya?”

Tino bertanya dengan hati-hati. Master menatapnya seolah kasihan dan menjawab:

“Tino, makanan biasa memang begitu.”

“!?”

Itu memang benar sepenuhnya… Tapi kalau Master tahu itu, kenapa masih pakai bahan-bahan yang “tidak dikenal” untuk membuat Shortcake!?

Lagipula, masakan Master bukanlah “masakan biasa.”

Tidak bisa dibiarkan begitu saja. Shortcake tadi terlalu berbahaya.

Yang paling berbahaya: rasanya sama sekali tidak membekas di ingatan.

Kalau dibiarkan terus begini, bisa-bisa ada korban jiwa. Tapi Tino jelas tidak mungkin merampas pisau itu dari tangan Master.

Maka ia membuat keputusan. Sambil mengepalkan tangan yang masih kesemutan aneh, ia menyatakan:

“Master………… aku juga akan ikut mengumpulkan bahan masakan!”

“Eh!? Eh… tidak usah. Kan Liz dan yang lain juga sudah mengumpulkannya…”

Mana Material yang menyebar di dunia adalah kekuatan murni, dan diketahui mempercepat pertumbuhan makhluk hidup.

Wilayah yang dialiri Mana Material sering dikuasai oleh binatang buas atau monster, dan jasad mereka—yang tumbuh besar dan kuat karena Mana Material—dihargai sangat tinggi.

Sebagian besar diubah jadi senjata, baju zirah, ramuan, atau alat sihir… Tapi Tino tahu satu hal:

Daging makhluk-makhluk itu lezat luar biasa.

Saking berharganya, tak ada yang mau memakannya—tapi jika dibandingkan bahan makanan biasa, rasanya jauh melampaui.

Pasti para anggota party Master pun, setelah melihat “masakan dunia lain” Master, memutuskan untuk mencari bahan makanan super langka dengan rasa luar biasa itu.

Tak terbayangkan bahan apa yang bisa menghasilkan Shortcake seaneh itu, tapi korban berikutnya tak boleh ada lagi.

Kalau pakai bahan-bahan mahal itu, mungkin masakan Master bisa agak bisa dimakan.

Shortcake tadi sama beratnya dengan ‘Seribu Ujian’ hidup atau mati yang pernah ia lalui. Padahal hanya makan.

Lalu, Master yang dihormati berkata dengan sedih:

“Jadi rasanya tidak enak, ya… Maaf. Aku belum pernah masak sebelumnya soalnya…”

Master… menyebut benda itu “masakan” adalah penghinaan terhadap dunia kuliner.

Bahkan Tino tak bisa membelanya.

“Hmm… kurang manis, ya?”

“…………Aku tidak cukup kompeten, Master.”

Astaga. Tino bahkan tak bisa menyampaikan komentar rasa. Karena memang tidak ingat.

Satu hal yang bisa dikatakan: jika seorang hunter—yang terlatih untuk bisa makan hampir semua jenis makanan—pingsan hanya karena satu suapan, itu berarti makanan itu benar-benar gawat.

Apalagi, tampilan kafenya terlalu normal dan keren. Itu yang membuat makin mengerikan.

Tino memberanikan diri menasihati Master yang sedang menatap pisau itu dalam diam.

“Umm… Master. Bagaimana kalau mulai dari sesuatu yang mudah dulu?”

“Sesuatu yang… mudah?”

Segala sesuatu ada urutannya.

Shortcake stroberi sebenarnya bukan masakan yang sulit jika tahu resepnya. Tapi di dunia ini, ada yang jauh lebih mudah.

Meski sempat pingsan karena Shortcake tadi, rasa hormat Tino terhadap Master tak akan hilang. Ia mengangkat satu jari dan berkata:

“Kari. Cukup potong bahan-bahan dan rebus pakai roux (bumbu padat buat kari) instan, bahkan orang bodoh pun bisa masak. Ini dasar para hunter.”

Kari itu hebat.

Kari adalah sahabat terbaik para hunter.

Pasti ada roux kari instan yang dijual di toko khusus hunter. Tinggal rebus dengan bahan yang dipungut di alam, dan bim salabim, jadi kari lezat. Bisa pakai ular, katak, kelinci, apa pun jadi kari.

Tino suka kari. Sangat suka.

Setiap pergi keluar, pasti makan kari.

Akhir-akhir ini mulai bosan, tapi tetap saja kari itu luar biasa.

Mendengar usulan Tino, mata Master membelalak. Dengan gaya hard-boiled, ia menjentikkan jarinya.

“Begitu ya………… itu ide bagus!”

“Aku suka kari.”

“Tak ada hunter yang benci kari!”

“Tidak ada!!”

Kini hati Tino dan Master telah menyatu.

Master yang dikagumi mengepalkan tangan dengan gagah.

“Tino, tunggu ya. Aku akan buatkan kari terbaik untukmu!”

“Yang biasa saja tidak apa-apa!”

Master masuk ke dapur.

Syukurlah… kari.

Roux kari untuk hunter itu salah satu penemuan terhebat di dunia—bahkan orang bodoh bisa memasak dengan itu.

Tino menutup mata dan menikmati kedamaian.

Terdengar suara yang menenangkan telinga:

tok tok tok…… tok-tok-tok-tok-tok-tok──

Memotong bahan adalah bagian dari memasak kari, jadi wajar kalau ada suara.

“Tino, sudah jadi! Beef Currry sapi penuh daging!”

………Master………… tidak terdengar suara merebus, loh?

Di depan Tino disodorkan piring perak berisi kari.

Sesuai kata Master, kari itu penuh potongan daging besar.

Dilihat saja sudah membuat perut keroncongan. Tapi perut Tino tak berbunyi.

Master memandanginya dengan senyum mengagumkan.

“Silakan makan!”

“……………………Ma-maaf, aku makan dulu.”

Tino menyerah untuk bertanya.

Ia melempar pertanyaan sekaligus melempar sendok—dan mengambil sendok peraknya.

Tidak apa-apa, ini kari.

Sayurannya terlihat matang, kuahnya pas kentalnya, dagingnya empuk.

Ia menyendok dan mendekatkannya ke hidung.

Aroma kari──

Tino menelan ludah, lalu bertanya pelan ke Master:

“…………Master, daging besar ini, benar-benar daging sapi, kan?”

Sebenarnya, ia ingin bertanya bukan soal sapi atau bukan.

Ia ingin bertanya: “Apa ini benar-benar daging?”

Tapi Tino menyerah.

Tino adalah hunter yang sangat berutang budi pada Master. Tanpa Master, tak akan ada Tino yang sekarang.

Kadang dalam hidup, kita harus maju menghadapi sesuatu yang mustahil untuk dimenangkan. Itu diajarkan oleh Master.

Ini kari.

Ini kari, dan ini daging sapi.

Ada wortel, bawang, kentang, dan nasi.

Ini Beef Currry sapi.

Dari manapun dilihat, ini Beef Currry sapi.

Tino adalah hunter. Tak ada hunter yang takut pada Beef Currry sapi.

Saat Tino membujuk dirinya sendiri, Master berkata sambil berkedip:

“Hmm… sepertinya, papan pemotong?”

Master, apakah Anda membenciku!?

“Aku makan sekarang hmm! ………………kyuu”

Pelajaran Hari Ini:

Tak peduli seberapa mirip papan pemotong dengan daging sapi… tetap saja tidak bisa dimakan.







Namelgon Bububerube


Langit di ibu kota kekaisaran hari ini kembali membentang jernih tanpa sehelai awan pun.

Kafe Shinra Banshou. Di pintu toko yang baru saja dibangun di salah satu lokasi paling bergengsi di ibu kota ini, tergantung papan bertuliskan “Tutup”.

Sebenarnya, Shinra Banshou belum resmi dibuka. Bahan makanan dan peralatan masih jauh dari cukup.

Alasan kenapa Tino bisa mencicipi hidangan di sana sampai sekarang hanyalah karena dia adalah orang dalam.

Kalau mau perlakuan khusus, tolong lakukan di tempat lain.

Persiapan pembukaan tampaknya sedang dilakukan dengan sangat cepat, tetapi Tino berharap kafe ini tidak akan pernah dibuka. Dan menurut sang pemilik sekaligus manajer—Master, katanya ingin menjadikan kafe ini sebagai tempat peristirahatan tersembunyi, dan Tino benar-benar berharap tempat ini tetap tersembunyi selamanya. Bagaimana harus mengungkapkannya... Meskipun tak pernah mengatakannya, Tino berpikir:

Makanan seharusnya membuat orang merasa bahagia. Bukan menjadi ujian hidup.

Yah, meskipun begitu, hari ini Tino datang ke kafe bukan untuk makan.

Sambil memandangi peralatan yang dibawa masuk ke dalam kafe, Tino bertanya kepada Master.

“? Apa ini, Master? Alat ini—”

“Ah, itu… mesin drink bar. Aku ingin menjadikan kafe ini tempat bersantai bagi semua orang.”

“Itu…”

Gagasannya sih luar biasa, tapi sebagai seseorang yang pernah mencicipi Beef Currry dan Shortcake stroberi di sini, Tino sulit untuk menyetujuinya.

Kotak mengilap dengan keran dipasang di atas meja. Desainnya modis dan bukanlah sesuatu yang biasanya ada di kafe biasa.

Tampaknya harganya pun pasti mahal. Dengan keuntungan dari kafe Master, sepertinya tidak akan cukup untuk membeli barang seperti itu.

Kenapa? Karena sebagian besar pelanggan kafe tidak datang untuk mencari penderitaan.

Tak peduli seberapa strategis letak kafenya, jika tidak ada pelanggan tetap, kafe ini cepat atau lambat akan mengalami kerugian dan tutup.

“Yah, aku merasa ada yang kurang. Hmm, ini bagus juga ya.”

“Benar… ya.”

Namun sayangnya, kemungkinan kafe ini tutup karena rugi itu hampir mustahil.

Menjadi Treasure Hunter memang pekerjaan berbahaya, tapi sangat menguntungkan.

Kalau sudah level 8, penghasilannya pasti sudah di luar nalar Tino.

Dulu Master pernah bilang dia punya utang sepuluh digit, tapi meskipun begitu, dia tetap bisa membangun kafe megah di area paling mahal di ibu kota. Itu sudah jadi bukti kekayaannya.

“Sitri membelikannya sebagai hadiah pembukaan. Namanya juga kafe, harus ada drink bar, kan?”

Selain itu, Master juga punya sponsor super kaya.

Sitri Smart, adik dari guru Tino, adalah salah satu anggota party Master sekaligus seorang alkemis kelas atas.

Alkemis memang terkenal kurang kuat dalam pertarungan, tapi dengan keahlian tinggi, mereka bisa menghasilkan kekayaan luar biasa.

Faktanya, Sitri Onee-sama lebih dari sekadar hunter—dia sangat kaya dan punya pengaruh di kalangan bangsawan, serta merupakan orang yang paling tidak boleh dimusuhi di party Strange Grief.

Dan orang seperti itu adalah ‘sahabat’ Master. Dan demi sahabatnya, dia akan menghamburkan uang tanpa pikir panjang.

Kadang-kadang Tino berpikir, mungkin bagi Sitri Onee-sama, Master adalah hobi termahal yang pernah dia miliki.

“……”

“Ada apa? Diam saja.”

“……Ti-tidak apa-apa.”

Tino menggeleng-geleng keras, menepis pikirannya, lalu menatap mesin drink bar yang bersih berkilau itu.

Drink bar. Kalau dipikir-pikir dengan kepala dingin, ini adalah ide yang sangat bagus.

“Bagus sekali. Drink bar. Drink bar itu luar biasa. Aku juga sangat menyukainya!”

“Begitu ya. Tino boleh gratis, lho. Datang kapan saja ya!”

“Tapi… perawatannya pasti merepotkan, bukan?”

“Tenang saja. Sitri yang urus dengan jasa servis.”

Master tampak sangat senang. Kalau Master senang, Tino juga ikut senang.

Drink bar. Ah, betapa indahnya bunyinya. Tino tidak tahu minuman apa yang akan tersedia di sana.

Tapi yang jelas, drink bar ini tidak akan melibatkan pisau dapur.

Tidak akan ada lagi suara ritmis “tok tok tok” itu!

Tino bisa minum teh enak seperti orang normal!

Teh dan kue pertama yang disuguhkan dulu… sampai sekarang Tino masih melihatnya dalam mimpi buruk.

Dia tidak ingat rasanya, tapi instingnya masih mengingat pengalaman itu sebagai penderitaan setara medan perang penuh mayat.

Tino mengepalkan tangan dan mengangkatnya penuh semangat.

“Aku ramalkan, Master! Drink bar ini akan jadi yang paling populer!”

“Benarkah? Hari ini aku jenius, ya?”

“Jenius sekali, Master! Omong-omong, isinya apa saja nanti?”

“Isinya akan disiapkan oleh Sitri. Eh… Potion penyembuh, potion penawar racun, potion pemulih Mana…”

“…………”

Tampaknya Sitri Onee-sama cukup memahami kenyataan sebenarnya dari kafe ini.

Kalau sudah sejauh itu, seharusnya dia mencegah pembukaannya.

Maksudku… potion penyembuh dan penawar racun masih bisa dimaklumi, tapi… potion pemulih Mana?

Master, apakah masakanmu menguras Mana juga……?

Dengan senyum polos yang tak mengerti arti sebenarnya dari dukungan sponsornya, Master berkata:

“Hahaha, sebenarnya aku ingin menyajikan kopi spesial, tapi Sitri bilang drink bar itu harus diperlakukan dengan hati-hati, jadi sebaiknya jangan. Tapi menurutku menyajikan potion juga cocok dengan konsep kafe mantan hunter, ya kan?”

“Be-benar juga……”

Tampaknya Master sudah merasa dirinya bukan lagi seorang hunter. Biasanya Tino akan menegurnya, tapi kali ini hatinya sudah patah.

Yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa agar potion di drink bar bisa mencegah kematian pelanggan.

Bagaimanapun juga, Tino datang hari ini untuk membantu.

Dia mendengarkan instruksi Master, memindahkan peralatan dan meja.

Menurut Tino, seharusnya Master lebih memprioritaskan memperbaiki rasa masakan ketimbang tata letak. Tapi dia tak mengatakannya.

Itu pasti sengaja. Itu pasti ujian bagi para hunter lemah zaman sekarang.

Kalau tidak, Master hanyalah sadis yang secara alami punya keahlian memasak yang mengerikan dan tega menyuguhkannya kepada Tino.

Peralatannya memang cukup berat, tapi bagi seorang hunter seperti Tino, itu bukan masalah.

Setelah cukup banyak peralatan dipindahkan, Master mengangguk puas.

“Ah, terima kasih. Sepertinya ini cukup. Kau sangat membantu.”

“Ah, tidak, tidak. Tidak perlu sampai berterima ka—”

Namun saat dia hendak menjawab, Master tiba-tiba bertepuk tangan seperti teringat sesuatu dan mengucapkan kalimat yang tak bisa dipercaya.

“Ah, iya! Tino, hari ini aku dapat bahan Namelgon yang bagus. Karena kau sudah datang dan membantu, ini sebagai ucapan terima kasih. Makanlah sebelum pulang.”

“!?”

Na... Namel… Na-apa?

Kata yang tak ada dalam kamus kepala Tino membuat pikirannya membeku sejenak.

Sementara itu, Master melenggang riang masuk ke dapur.

Namelgon… apa itu Namelgon?

Hewan? Monster? Tanaman? Rasanya tidak mungkin tanaman.

Padahal Tino sudah menjadi hunter tingkat menengah. Pengetahuan flora dan fauna adalah keharusan bagi seorang hunter yang sering menjelajah wilayah asing.

Tapi Namel…gon?

Tok tok tok tok tok… tok-tok-tok-tok-tok-tok-tok…

Dug! Jantung Tino berdetak keras.

Entah kenapa, tangan dan kakinya bergetar. Nafasnya memburu seolah habis berlari sepuluh jam.

Pikiran Tino kacau. Dia ingin waktu berhenti.

Suara pisau dapur berhenti. Pintu dapur terbuka.

Master keluar membawa piring perak mewah.

Master menaruh piring di depan Tino dengan penuh percaya diri.

Piring itu ditutup penutup perak menggembung—apa namanya, Cloche?—jadi isi makanannya tidak terlihat.

Sungguh presentasi yang licik. Jantung Tino hampir berhenti. Master berkata dengan senyum memukau:

“Maaf menunggu! Menu hari ini adalah Namelgon Bububerube… Ayo disantap sebelum dingin!”

!? ?? !? Namel… Bubu… A-apa?

Master perlahan mengangkat penutup piring.

Tidak, Master… belum! Drink bar potionnya belum dipasang—

“………………………………kyuu.”

Pelajaran hari ini:

Jangan makan masakan kreasi tanpa drink bar.
















Platinum Pepper yang Membumbung ke Langit


Sejak bangun tidur, suasana hati Tino sudah muram.

Bahkan lebih parah dibandingkan sehari sebelum ia dibawa ke Treasure Hall, atau sehari sebelum dijatuhi pelatihan keras.

Tino sangat menghormati Masternya. Ia sangat menyukainya. Jika dipanggil, ia akan segera meninggalkan latihan mandirinya dan bergegas ke sisi Master. Jika diminta bantuan, apa pun akan ia lakukan. Namun, suasana hati Tino saat ini benar-benar mendekati titik terendah.

Penyebab utamanya adalah Shinra Banshou—sebuah nama yang sama sekali tak terdengar seperti kafe, namun itulah nama tempat yang dibuka oleh Master.

Resep-resep dunia lain ciptaan Master telah menghancurkan mental Tino hanya dalam beberapa kali percobaan.

Lebih dari rasa sakit atau ketakutan, Tino kini mengalami sendiri bahwa rasa yang benar-benar tak bisa dimengerti bisa menggerogoti jiwa seseorang.

Namun, karena sudah dipanggil, ia tak mungkin tidak datang. Master memanggil Tino sepenuhnya karena niat baik. Jika ia menolak (tentu saja, kalau menolak, ia akan dihajar habis-habisan oleh Onee-sama), lalu tidak dipanggil lagi di kemudian hari, maka untuk apa lagi ia menjadi hunter?

Menyeret langkah beratnya, Tino menuju kafe milik Master. Hari ini, Tino datang dengan persiapan matang.

Ia sudah minum obat maag, membawa potion penyembuh sebagai penawar, dan bahkan sengaja tidak makan sejak semalam demi “bumbu kelaparan”. Dengan ini, mungkin hari ini ia bisa menghabiskan masakan Master sampai habis.

Di depan kafe Shinra Banshou, papan menu bertambah banyak. Bangunan yang berdiri di lokasi terbaik ibu kota kekaisaran ini tampak semakin lengkap setiap kali dikunjungi, menandakan bahwa hari pembukaan resmi sudah dekat.

Kafe yang akan dibuka di pusat ibu kota—pasti banyak orang yang akan datang. Tapi mereka, yang perutnya mungkin tak sekuat Tino, pasti tidak akan mampu bertahan menghadapi “ujian” dari Master.

Hari kiamat sudah dekat.

Tino menarik napas dalam-dalam dan menguatkan tekad, lalu perlahan membuka pintu. Denting lonceng yang nyaring dan indah—yang mulai menjadi sumber trauma—menyambutnya.

“Selamat pagi, Master.”

“...Ah, selamat pagi, Tino. Maaf ya, sedang agak berantakan karena aku sedang menyiapkan pembukaan toko.”

Isi toko berubah total dibandingkan kunjungan terakhirnya.

Lampu gantung kristal yang indah tergantung dari langit-langit, lukisan mahal tergantung di dinding,

Mesin drink bar berkilau berjejer di atas meja kayu. Rak di belakang konter yang dulunya kosong kini penuh dengan botol-botol, dan meskipun hidangan yang akan disajikan pasti menggunakan pisau, bahkan coffee mill pun ada di sana.

Satu-satunya hal yang menunjukkan toko ini masih dalam proses renovasi hanyalah tumpukan peti kayu di sana-sini.

...Andai saja renovasi ini tidak pernah selesai.

“Akhirnya menunya selesai! Aku ingin anak-anak seusia seperti Tino datang banyak-banyak ke sini, jadi boleh aku minta tolong untuk periksa menunya?”

“…………”

Sudah jelas bahwa ia berniat menyaring para hunter muda di ibu kota kekaisaran.

Master menyerahkan menu dengan senyum lebar kepada Tino yang sepenuhnya pasrah.

Menu tersebut ditulis di atas papan kayu yang bergaya trendi. Jumlah hidangan yang tertera cukup banyak dibandingkan kafe biasa, namun—(meskipun bahan-bahannya meragukan)—tak ada nama menu yang tampak aneh secara mencolok.

Dengan tatapan kosong, Tino menelusuri daftar menu dan bertanya dengan takut-takut.

“Master... tidak ada Namelgon Bububerube di sini……”

Namelgon Bububerube.

Itulah masakan yang disajikan kepada Tino beberapa hari lalu.

Baik “Namelgon” maupun “Bububerube”, tak satupun kata itu tercantum dalam kamus pengetahuan terbatas milik Tino.

Dan—bahkan setelah memakannya, Tino tetap tidak tahu apa itu sebenarnya. Karena ia kehilangan ingatan setelahnya!

Menanggapi pertanyaan Tino, Master menjawab dengan senyum memesona seperti biasa:

“Ah, itu hanya bisa disajikan kalau dapat bahan Namelgon yang segar... Kau ingin makan lagi? Maaf ya, hari ini tidak ada.”

“...Bukankah Beef Curry juga tidak bisa dibuat tanpa papan pemotong yang segar?”

Ucapan sinis itu meluncur tanpa sadar.

Begitu sadar, Tino menyesalinya, tapi Master hanya terbelalak dan membalas tanpa terlihat tersinggung:

“Ah, Beef Curry bisa dibuat tanpa papan pemotong kok.”

...Sebenarnya, justru kebanyakan orang tidak membuatnya dengan papan pemotong, Master.

Tino tak habis pikir bagaimana Master yang dulu duduk makan bersamanya di kafe, mengucap “enak” bersama-sama, bisa punya ide mengerikan untuk membuka kafe yang “mendidik orang”.

“Hari ini aku rencananya ingin beres-beres dapur. Bisa bantu?”

“Tentu saja.”

Dapur—itu adalah dunia yang masih asing bagi Tino.

Tentu, rumah Tino juga punya dapur, dan ia pernah melihat dapur di kafe atau restoran biasa, tapi belum pernah masuk ke dapur di balik konter Shinra Banshou.

Dengan gaya hard-boiled, Master mengangkat jari dan berkata pada Tino:

“Dapur itu tempat suci dalam toko. Tempat khusus, tahu?”

“…Sekarang aku mengerti kenapa Lucia Onee-sama sering memukul Master.”

Lucia Onee-sama adalah rekan satu tim Master dan juga adik perempuannya.

Seorang Magi ulung dan salah satu dari segelintir orang waras di Strange Grief, yang akan langsung memberikan pukulan jika Master berbuat ulah.

Lagian Anda bahkan tidak pakai celemek, Master! Apa pantas bicara soal dapur!?

Seruan protes terhadap dewa pun terlintas dalam benak Tino, tak mau pergi.

Meski kakinya terasa melayang, Tino mengikuti Master masuk ke dapur—

Dan begitu melihat pemandangannya, matanya membelalak.

“Bagaimana? Keren, kan?”

“Y-ya... seperti yang diharapkan dari Master...”

Suara Tino mengecil tanpa sadar. Dapur Master jauh lebih hebat dari yang pernah ia lihat.

Dapurnya mengilap, hampir sebesar ruang utama toko. Raknya penuh sesak dengan beragam bumbu. Kulkas besar kelas industri, oven megah, lemari makan yang dipenuhi peralatan makan perak tersusun rapi.

Sungguh pemborosan. Ini jelas bukan dapur untuk dioperasikan satu orang.

Namun yang paling mencolok adalah meja raksasa yang memenuhi sebagian besar dapur. Meja itu memiliki saluran air agar mudah dibersihkan.

“Soalnya buruan yang dibawa oleh Luke dan lainnya itu besar-besar... jadi butuh ruang luas untuk menguliti dan memotongnya.”

“A-aku mengerti...?”

Master, kalau dari dapur ini tidak lahir makanan yang benar-benar layak disebut masakan, maka itu adalah kebohongan.

Hewan-hewan buas yang diburu oleh Strange Grief pasti adalah bahan masakan yang sangat diidamkan oleh para koki kelas dunia—mungkin malah belum pernah disentuh oleh mereka.

Dan dari bahan-bahan super mahal itu, Master menciptakan masakan dari dunia lain.

Menu milik Master bahkan mencantumkan nama-nama monster dan makhluk buas sebagai bahan, dengan harga yang ditulis “sesuai pasar.”

Kafe dengan harga pasar... Master, sebenarnya Anda ini sedang mengejar apa?

Dan tampaknya, meskipun aku bersusah payah memburu makhluk kelas tinggi yang lezat, itu tidak akan banyak berguna di sini...

Dengan bangga, Master menunjukkan kompor khusus yang baru saja dibersihkan.

“Lihat ini, baru saja dipasang! Kompor khusus buatan sendiri! Sekarang aku bisa pakai api!”

Master, kenapa Anda tidak merasa aneh sebelumnya bisa masak Beef Curry tanpa api...!?

Tino menahan semua pertanyaan yang melintas di otaknya dan menoleh ke sekeliling dapur.

“Master, apakah ada resepnya?”

“Resepnya semua ada di sini.”

Tok tok—Master mengetuk pelan pelipisnya dengan telunjuk.

Tidak, Master… benar-benar berniat membunuh orang.

Dengan wajah kaku, Tino menatap Master yang tersenyum bercanda.

“Bercanda kok. Tapi aku kan punya Tenhocho Silhouette, jadi tidak butuh resep.”

“Be-begitu ya...”

“Koki yang bisa masak apa saja dengan satu pisau. Itu keren, kan?”

“!? Mereka itu bukannya cuma punya satu pisau saja, mereka juga pakai panci dan alat lain seperti biasa, Master!!”

Awalnya, Master bukan sedang memasak makanan, melainkan menciptakan ujian. …Tidak, justru sebaliknya, bahkan koki profesional pun mungkin tidak bisa membuat masakan yang bisa menghapus ingatan, bukan? Seperti yang diduga, Master memang luar biasa.

Mendengar perkataan Tino, Master tersenyum dengan rona sendu di wajahnya.

“Kalau hanya koki biasa, iya. Tenhocho Silhouette adalah Pisau Negara yang Tumbang. Maksudnya, pisau yang cukup hebat untuk menjatuhkan sebuah negara. Artefak ini berasal dari pisau yang dulunya digunakan oleh koki legendaris yang keterampilannya bisa mengguncang negeri. Konon, orang itu bisa menciptakan segala jenis masakan hanya dengan satu pisau.”

…Tapi, itu maksudnya menjatuhkan negara dalam artian seperti apa?

Tino cepat-cepat menggelengkan kepalanya dengan keras dan berusaha mengganti topik.

“Namun, dapur ini cukup luas, ya…”

“Aku berniat merekrut orang kalau aku mulai bosan.”

“!?”

Ucapan Master itu membuatnya tak bisa memastikan apakah ia serius atau bercanda. Kalau ternyata itu serius, Tino hanya bisa berharap Master akan cepat bosan, walau hanya satu hari lebih cepat pun tak apa.

Tino pun menjalankan pekerjaan kasarnya sesuai instruksi Master. Ia terkejut melihat bongkahan daging yang memenuhi lemari es, dan matanya terbelalak melihat kotak berisi sayuran segar yang dijejalkan penuh. Pilihan minumannya pun sangat banyak. Kabarnya, bahkan ada ruang penyimpanan anggur. Padahal tidak ada jaminan kafe ini akan menghasilkan untung. Sitri Onee-sama benar-benar terlalu boros.

Jumlah bumbu dapurnya pun mencengangkan. Jumlah botol yang tersusun di rak benar-benar tidak masuk akal. Masing-masing dilabeli dengan rapi. Ada bumbu-bumbu umum seperti garam, gula, dan merica yang juga sering dipakai Tino, namun sebagian besar adalah bumbu yang bahkan belum pernah ia lihat seumur hidupnya.

Apakah semua ini benar-benar diperlukan untuk masakan di warung kopi?

“Master, Anda mengumpulkan begitu banyak bumbu ya…”

“Karena dalam memasak, bumbu adalah segalanya.”

…Tapi, apakah Anda benar-benar menggunakan semua ini?

“Lagipula, melihat botol-botol bumbu tersusun seperti ini terasa menyenangkan, bukan? Yah, memang sebagian besar tidak kupakai sih!”

“Be-benarkah…”

Sepertinya Master memang tipe yang menilai sesuatu dari penampilan. Mungkin itulah sebabnya meski bernama Shinra Banshou, kafe ini tampak bergaya dari luar.

Di saat itulah, sebotol bumbu menarik perhatian Tino dari atas rak.

Botol besar yang berisi bubuk berwarna perak cemerlang. Di labelnya tertulis Platinum Pepper.

Tino sontak melotot. Lalu berkedip beberapa kali, dan mencubit pipinya sendiri. Sakit. Bukan mimpi.

“…………!? Eh!? Platinum Pepper?? Bumbu yang lebih mahal dari emas dengan berat yang sama itu, sebanyak ini!?”

“Ah—hebat, kan?”

“Sa-sangat hebat………………dan sangat… sangat disayangkan…”

Botol besar setinggi sekitar 30 sentimeter itu terisi sekitar 70%.

Platinum Pepper adalah bumbu paling mahal di dunia.

Seperti namanya, ia berupa bubuk berwarna platinum. Meskipun disebut “pepper” (lada), sebenarnya bukan merica.

Bahan aslinya adalah—penyedap rasa. Hanya dengan satu sendok, bumbu ini bisa meningkatkan kualitas sebuah masakan sampai tiga tingkat, bahkan masakan buatan amatir pun bisa naik menjadi setara dengan masakan koki profesional. Benar-benar bubuk ajaib.

Karena itu pula, permintaan dan penawarannya tidak seimbang. Bahkan di restoran mewah pun bumbu ini jarang digunakan.

Konon, kemampuan seorang bangsawan bisa diukur dari apakah mereka bisa menggunakan Platinum Pepper dalam makanan sehari-hari. Itulah betapa langka dan mahalnya benda ini. Mungkin, bahkan hanya dengan jumlah sebanyak ini pun sudah cukup untuk membeli sebuah vila kecil.

Aslinya, ini bukanlah barang yang layak dipakai di kafe.

Namun, entah kenapa Tino bisa menerimanya.

Platinum Pepper bukanlah benda yang bisa diperoleh hanya dengan uang. Bahkan Sitri Onee-sama yang kaya raya pun pasti kesulitan mendapatkannya. Justru karena itulah, Tino bisa merasakan betapa besar upaya yang terkandung di balik botol itu.

Platinum Pepper adalah bubuk sihir.

Jika digunakan dengan baik oleh koki hebat, bisa menghasilkan masakan yang membawa seseorang ke surga. Namun bahkan amatir sekalipun bisa menghasilkan makanan yang layak santap hanya dengan menaburkan sedikit saja.

Sungguh suatu pemborosan luar biasa. Rasanya tidak mungkin kafe ini bisa mendapatkan keuntungan dengan menggunakannya. Tapi tetap saja, perhatian dari Sitri Onee-sama itu mungkin akan menyelamatkan masakan Master dari level “membunuh orang”.

Bahkan ada pepatah yang mengatakan: “Jika ditaburi Platinum Pepper, meja pun bisa dimakan.” Tino malah ingin menjilat bubuk itu secara langsung.

Kalau memang punya bumbu sebagus ini, kenapa tidak digunakan saja?

Dengan wajah serius, Tino menghadap Master yang tersenyum riang dan menyarankan,

“Master, itu adalah bentuk kasih sayang dari Sitri Onee-sama. Memang sedikit disayangkan, tapi mari kita buang harga diri dan gunakan saja! …………Masakan Master pasti akan jadi lebih enak lagi!”

Walaupun ada koki yang tidak suka penyedap rasa biasa, tidak ada koki yang menolak Platinum Pepper. Bedanya terlalu jauh dari segi rasa.

Mungkin saja Master tidak menggunakannya karena ingin mengandalkan cita rasa bahan dasar. Tapi siapa juga yang mau menikmati rasa dasar dari papan pemotong? Idealnya, Platinum Pepper baru digunakan setelah seseorang bisa memasak dengan cukup baik, tapi ini bukan saatnya berpikir ideal. Lupakan soal ujian. Yang penting sekarang, bagaimana caranya agar Master mau menggunakannya!

Namun, kepada Tino yang begitu bersemangat, Master menjawab,

“Sudah tentu. Aku sudah memakainya, kok.”

“…………Eh?”

Tino tak bisa mempercayai kata-kata itu dan menatap Master. Tapi Master tetap tersenyum seperti biasa.

Sudah dipakai? Kalau begitu, kenapa Tino tidak bisa mengingat rasa Shortcake, Beef Curry, ataupun Bububerube?

Ini Platinum Pepper, lho. Bumbu legendaris yang mengubah sejarah dunia kuliner. Rasanya membuat dewa pun menitikkan air mata. Konon, pernah ada raja yang memberikan gelar bangsawan kepada pedagang hanya karena membawa satu kantong Platinum Pepper. Restoran yang menggunakan bumbu ini kabarnya penuh reservasi sampai setahun ke depan!!

Ketika Tino masih tidak mengerti apa yang sedang terjadi, Master berkata dengan senyum polos tanpa niat jahat sedikit pun,

“Menguasai bumbu juga bagian dari kemampuan koki, lho. Lihat, isinya sudah berkurang sekitar 30%, kan? Awalnya botol itu penuh. Aku pakai sedikit demi sedikit supaya masakan bisa sedikit lebih enak dan pelanggan bisa menikmatinya.”

Tino tidak mengerti apa-apa lagi. Meski tidak punya ingatan tentang rasa makanannya, naluri Tino dengan jelas mengingat rasa takut terhadap masakan Master.

Terlalu terkejut, Tino hanya bisa mengeluarkan suara kecil.

“Kyuu…”

Pelajaran hari ini:

Bubuk sihir pun tidak ada artinya di hadapan sihir yang lebih kuat. 












Telur Mata Sapi Level 8


“Eh? Majalah Hunter’s Blade mau meliput kita!?”

Mendengar berita mengejutkan itu, Tino secara refleks berteriak dengan suara kaget, sampai-sampai lupa kalau ia sedang berada di hadapan Master.

Shinra Banshou—kafe yang dibangun di kawasan paling elit ibu kota—masih menjalani hari yang damai seperti biasanya.

Namun, kedamaian itu sebentar lagi akan terusik. Interior kafe telah rapi, seolah siap melayani pelanggan kapan saja.

Di balik konter, sang Master yang mengenakan kemeja bermotif menjawab dengan senyum khasnya atas kekagetan Tino.

“Iya, mereka benar-benar memaksa ingin meliput, jadi aku tidak bisa menolak... bocornya dari mana ya? Mungkin lewat Sitri? Padahal aku mau membuat tempat ini seperti tempat rahasia, tapi ya... Sitri memang menyusahkan. Yah, tidak apa-apa deh, sekalian pamer keahlian pisau.”

“S-suatu kehormatan... benar-benar luar biasa...”

Tino refleks menyeringai kaku. Yang luar biasa bukan cuma liputannya—tapi bagaimana sang Master begitu tenangnya mau menunjukkan resep masakan dari dunia lain di depan media.

Master adalah hunter ulung setara dewa yang telah diakui sebagai Level 8. Ia tidak menunjukkan ampun, tak peduli lawannya bangsawan, media, atau saudagar besar.

Tidak... mungkinkah sekalipun Master tidak akan menyajikan masakan yang ia berikan pada Tino kepada orang biasa? Karena memberi ujian kepada masyarakat umum tidak ada gunanya. Master adalah orang yang baik hati—berbeda dengan gurunya Tino.

Dengan sedikit harapan, Tino mengamati raut wajah Master. Namun Master menanggapi dengan senyum tanpa rasa bersalah.

“Aku masakin apa ya... semoga di hari H ada kiriman Namelgon segar...”

Dari mana Master bisa dapat Namelgon segar...?

Hunter’s Blade adalah majalah informasi yang berfokus pada para hunter.

Di ibu kota Zebrudia, yang merupakan tanah suci para hunter, ada banyak majalah serupa. Namun, Hunter’s Blade adalah yang paling besar. Karena para hunter sangat rajin mencari informasi, hampir semuanya berlangganan majalah itu. Bahkan, masyarakat biasa pun banyak yang menjadi pembaca setia.

Melihat kafe dibangun di kawasan elit saja sudah cukup menunjukkan kalau Master tak benar-benar berniat bersembunyi. Jika sampai dimuat di Hunter’s Blade, ketenarannya pasti akan meroket.

Dan kemudian—pasti tak ada lagi yang mau datang. Jika rasa masakannya tersebar, pelanggan akan lenyap.

“Master... mungkin sebaiknya dipertimbangkan lagi...”

Masakan Master itu terlalu cepat untuk dinikmati umat manusia.

Memang, tanpa dimuat di majalah pun pelanggan pasti akan pergi cepat atau lambat. Tapi tak perlu mempercepat kehancurannya sendiri, bukan?

Entah Master sadar atau tidak akan kekhawatiran Tino, wajahnya terlihat sangat antusias.

Master adalah Level 8. Jaringannya luas, tapi Hunter’s Blade juga punya harga diri sebagai media.

Apalagi rasa masakan Master itu... tidak bisa disimpulkan hanya dengan kata “soal selera masing-masing.”

Karena kafe ini terletak di area paling elit, pelanggan pasti tetap akan berdatangan meski tanpa promosi. Rasa masakan itu pasti cepat tersebar. Dalam kondisi seperti ini, kemungkinan Hunter’s Blade akan membela Master sangat kecil.

Mereka pasti akan menuliskan hal-hal kejam.

Seperti “rasanya bukan dari dunia ini,” atau “mending makan rumput liar daripada ini,” atau “tantangan menyelesaikan masakan Level 8 dengan kesulitan Level 8.”

Hal-hal yang akan melukai hati Master.

Ini harus dicegah, bagaimanapun caranya.

Memang, Tino sering mengalami banyak hal buruk karena Master, tapi rasa terima kasihnya tetap jauh lebih besar.

“Master... kalau Master bilang burung gagak itu putih, Hunter’s Blade pasti tetap tidak akan menulis kalau burung gagak itu putih...”

“Apa sebenarnya kau bicarakan, Tino? Gagak itu tidak mungkin putih, kan?”

Master sama sekali tidak menyadari maksud peringatan terselubung Tino.

Pantas saja, meski seluruh anggota Klan memohon agar Master berhenti memberi mereka ujian, ia tetap tidak peduli. Mentalnya sekeras orihalcum.

Bagaimana cara menghentikan Master?

Setelah merenung panjang, Tino pun mendapat secercah harapan. Ia menatap Master dan berkata:

“Master, mohon... ajari aku cara menggunakan pisau itu. Tak perlu Master yang masak. Jadikan aku koki Shinra Banshou!”

Kalau masakan Master dianggap buruk, maka ia sendiri akan menggantikan Master memasak!

Kemampuan memasak Tino sedikit di atas rata-rata.

Bukan standar kafe mewah, tapi setidaknya lebih layak disantap daripada rumput liar.

Siapa sangka latihan memasaknya demi suatu hari bisa menyajikan makanan buatan sendiri untuk Master, akan berguna dalam situasi seperti ini──

Master membelalakkan mata, lalu menyilangkan tangan dan menatap Tino dengan ekspresi sedikit bingung.

“………Eh? Hmmm, aku senang niatmu, tapi... ini bukan main-main, tahu?”

“!?”

Master, yang mempermainkan bahan makanan dan pelanggan adalah Anda sendiri.

Tino menelan kata-kata itu di tenggorokan dan menarik tangan Master menuju dapur.

“Kupikir Tino tidak akan bisa.”

Pisau emas──senjata masak dari negeri seberang, Tenhocho Silhouette, bersinar lembut.

Pisau itu tidak terlalu berat maupun terlalu ringan, dan ketika Tino menggenggamnya untuk pertama kali, ia merasa seperti pisau itu menyatu dengan telapak tangannya.

Rasa percaya diri dan kemampuan luar biasa mulai mengalir dalam dirinya.

Pisau hanyalah alat dapur, namun entah mengapa, Tino merasa bisa membuat apa saja.

Master bersilang tangan, lalu menatap Tino dengan mata yang serius namun terpukau.

“Untuk menggunakan Silhouette, yang kau perlukan adalah gambaran kemenangan yang pasti. Pisau ini akan merespons hanya kepada mereka yang sepenuhnya yakin akan masakannya sendiri. Dengarkan baik-baik. Memasak itu ilmu pengetahuan. Selama belum terbiasa, sebaiknya ikuti resep.”

Kata-kata itu sangat bijak dan benar, namun terasa aneh keluar dari seseorang yang bisa menciptakan masakan yang bahkan Platinum Pepper pun tak mampu imbangi.

Bahan, bumbu, dan peralatan semuanya sudah tersedia.

Satu-satunya yang masih dibutuhkan──adalah keahlian.

Master tidak mengerti betapa menyakitkannya ujian yang berbentuk makanan.

Kini nasib Shinrab Banshou bergantung pada kemampuan memasak Tino.

“Kalau begitu, sisanya kupercayakan padamu. Aku ada di ruang makan.”

“Eh!? Master tidak akan melihat!?”

Tino refleks berseru, namun Master menanggapi dengan nada heran.

“Tino, salah satu syarat mengaktifkan Silhouette adalah: tidak ada seorang pun yang melihat proses memasaknya. Jika kau benar-benar yakin pada masakanmu, kau tidak butuh siapa pun di dekatmu.”

Pantas saja tidak pernah ada yang bisa ikut campur dalam masakan Master.

Tino mengangguk, kini sedikit memahami alasannya.

Master lanjut dengan suara penuh wibawa:

“Aku ulangi sekali lagi. Jika kau bisa menanamkan rasa percaya diri penuh dalam masakanmu, pisau ini pasti akan merespons harapanmu, Tino. Tapi tahu tidak... Silhouette itu, anehnya, justru lebih banyak gagal digunakan oleh koki sungguhan.”

Master... hal yang lebih aneh adalah bagaimana Anda bisa punya rasa percaya diri seperti itu, padahal bukan koki profesional.

Pintu dapur tertutup dengan suara pelan.

Tino kini sendirian di dapur berteknologi tinggi itu.

Ia menggenggam pisaunya dan menarik napas dalam-dalam.

Tidak apa-apa. Biasanya Tino hanya memasak di dapur sempit seluas telapak tangan kucing.

Tidak mungkin ia tak bisa memasak lebih baik dengan dapur besar dan canggih ini.

Ia membuka lemari pendingin besar dan memeriksa isinya.

Ternyata lemari itu khusus untuk menyimpan daging. Di dalamnya tertumpuk berbagai macam daging.

Tino secara refleks mengernyit. Ini... daging apa?

Bahan-bahan yang tersimpan di dalam kulkas itu punya warna-warna mencolok yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Memang ada monster yang darahnya berwarna hijau, tapi daging-daging ini jelas bukan bahan makanan yang umum digunakan di kafe biasa.

“………………”

Tak ada label yang menunjukkan jenis dagingnya, tapi kemungkinan besar ini adalah daging monter.

Pasti para kakak-kakak yang berburu mereka. Kalau Strange Grief yang berburu, makhluk tingkat tinggi pun bukan masalah.

Bahan-bahan masakan pastilah telah dipilih dengan saksama oleh Sitri Onee-sama, jadi pasti akan terasa lezat jika dimasak.

Namun, Tino benar-benar tak sanggup menggunakan daging berwarna biru menyilaukan yang ada di sana.

Belum... Hati Tino belum menyerah. Kalau daging tak bisa dipakai, maka masih ada ikan.

Tino pun menguatkan hati dan membuka kulkas khusus ikan.

Dengan gugup, ia membawa piring perak. Master tengah menunggu di kursi bar.

“Ma-Master... Maaf menunggu. Ini... telur mata sapi spesial!”

Yang ada di atas piring hanyalah telur mata sapi biasa. Di atasnya ditaburi garam dan merica, tidak gosong, tampak rapi dan enak dilihat—namun tetap saja, itu hanya telur mata sapi biasa.

Akhirnya, tak ada satu pun bahan yang bisa Tino manfaatkan. Tepatnya, sejak pertengahan tadi ia sudah agak nekat dan putus asa.

Lagi pula, di sebuah kafe tidak perlu masakan yang terlalu rumit. Yang benar-benar wajib hanyalah kopi.

Bahkan Hunter’s Blade pun takkan menuntut masakan mewah di tempat seperti kafe.

Keputusan Master untuk membuka kafe, bukan restoran, sungguh tepat.

Saat melihat piring itu, di depan Tino yang menggenggam tangan dan menahan napas, Master membuka mata lebar-lebar dan berkata:

“Hmm, telur mata sapi ya... bagus juga. Aku suka telur mata sapi.”

“Master! Memang, telur mata sapi adalah masakan yang sederhana. Namun, jika melihat bentuk kafe itu sendiri, aku rasa pelanggan tidak mencari sesuatu yang terlalu berat. Telur mata sapi memungkinkan rasa bahan utamanya menonjol, dan karena kesederhanaannya, justru keahlian sang koki sangat menentukan. Biaya produksinya pun murah. Kalau disajikan bersama roti panggang, aku rasa ini bisa menjadi menu andalan toko Master… e-eh?”

Tino sempat mengira akan mendapat kritik, tapi respons Master begitu ringan.

??? Master... semua ceramah di dapur tadi itu... apa gunanya...?

Telur mata sapi tak butuh pisau. Tak perlu resep. Hanya perlu memecahkan telur dan memasaknya di atas penggorengan.

Padahal Tino sendiri sempat merasa sedikit bersalah—namun Master malah tersenyum, menusuk telur mata sapi dengan garpu, lalu memakannya dalam sekali suap.

Di depan Tino yang menatap dengan mata terbelalak, Master mengunyah beberapa kali lalu menelan dan mengangguk besar.

“Hmm, enak, enak sekali. Seperti yang kuduga, Tino memang pandai memasak. Kau pasti akan jadi istri yang baik.”

“A-aku... ini bukan... masakan hebat... bukan sesuatu yang pantas untuk lidah Master...”

Mendapat pujian berlebihan yang entah kenapa terasa aneh, wajah Tino pun langsung memerah dan tubuhnya mengecil malu-malu. Ia sudah bersiap untuk melawan balik jika dikritik, tapi ternyata malah dipuji—hal yang tak pernah ia perkirakan.

Pada akhirnya, Silhouette pun tidak aktif.

Tentu saja, telur mata sapi bukanlah masakan yang pantas menggunakan artefak pisau. Namun terlepas dari itu—itu berarti Tino belum pantas untuk menggunakan pisau tersebut.

Dipatahkan dengan cara di luar dugaan dan rasa malu yang tak tertahankan membuat tubuh Tino bergetar. Lalu Master berkata dengan suara lembut:

“Tino, seperti yang sudah kubilang… Menurutku, hal terpenting dalam memasak adalah niat untuk menyajikan sesuatu yang lezat bagi orang lain. Bukan soal resep rumit atau peralatan canggih—intinya bukan di situ. Dalam telur mata sapi ini, ada perasaanmu, Tino. Karena itu, menurutku kau lulus sebagai koki Shinra Banshou.”

“Master...”

Kata-kata nyaris tak keluar. Dadanya terasa sesak.

Master terlalu memujinya. Saat memasak tadi, satu-satunya yang ada dalam pikiran Tino hanyalah bagaimana cara meyakinkan Master.

Bukan bagaimana agar Master bisa makan dengan nikmat. Bahkan tidak terlintas sedikit pun. Meski menyebutnya “telur mata sapi spesial”, apa yang Tino buat hanyalah telur mata sapi biasa yang dibubuhi garam dan merica. Jika memang terasa enak, itu sepenuhnya karena bahan dan peralatan yang disediakan Master, bukan karena keahlian atau perasaan Tino.

Dan kini, ia akhirnya sadar. Tino… telah gagal sebagai koki.

Meminjam kata-kata Master, ia telah melupakan hal terpenting yang bukan soal rasa.

Tak heran jika Silhouette tak mau merespons. Tino telah kalah dari Master.

Bukan soal keahlian, tapi soal niat. Ia ingin meminta maaf. Tapi tak bisa. Sorot mata jernih Master sudah menembus isi hatinya. Maka, yang perlu dilakukan bukanlah meminta maaf.

Tino menggenggam tangannya hingga kukunya menancap ke dalam, lalu menyatakan tekadnya:

“Ma… Master… aku akan berlatih. Sampai aku bisa menggunakan Silhouette.”

Lain kali—ia pasti akan membuat masakan yang benar-benar lezat. Jauh lebih enak dibanding telur mata sapi yang ia buat sekarang. Kali ini, ia akan benar-benar membuat Master bahagia.

Kelangsungan Shinra Banshou bergantung pada keahlian Tino.

Merasa tekad itu, Master tersenyum lembut.

“Iya, betul. Telur mata sapi buatan Tino ini level 4. Sama seperti level hunter Tino.”

“?? I-iya, level 4!”

“Kalau begitu, rasanya tidak enak kalau aku terus-terusan jadi yang dijamu. Sekarang, biar aku tunjukkan telur mata sapi sungguhan dengan menggunakan Silhouette.”

“!? Eh? Eh?”

Tino membuka mata lebar-lebar pada serangan balik tak terduga itu.

Pemilik Shinra Banshou menyilangkan tangan dan berkata penuh percaya diri sambil tersenyum:

“Masakan adalah soal cinta. Tino, menurutku, mengeluh saat diberi masakan itu tidak pantas. Tentu, selama kita dibayar, ada tanggung jawab. Tapi...”

Master lalu melompat-lompat ringan menuju dapur, meninggalkan Tino yang menatapnya dengan wajah kaku.

◇◇◇

Tok-tok-tok tok tok tok tok. 
Kyuu.

Pelajaran Hari Ini:

Bumbu cinta... tidak punya rasa. 




Full Course Shinra Banshou


“ Hari ini akan ada tamu yang datang. Maaf, tapi bisakah aku meminta bantuanmu untuk menyambut mereka?”

“Tamu...?”

Kafe Shinra Banshou. Saat Master mengatakan itu pada Tino yang sejak pagi sudah datang bekerja, ia masih saja bertanya-tanya kapan sebenarnya Master melakukan aktivitas berburu.

Tamu... Jika ingatannya benar, kafe ini seharusnya belum resmi dibuka. Karena itu, sejauh ini belum pernah ada satu pun tamu yang datang, dan satu-satunya ‘korban’ Master hanyalah Tino sendiri.

Tino yang terperangah hanya bisa melotot, sementara Master yang telah mengenakan celemek tersenyum memukau.

“Yah, ini semacam pembukaan awal saja. Aku juga ingin tahu seberapa banyak orang yang bisa menerima masakanku.”

“!? Jangan-jangan... ini memang sudah direncanakan sejak awal?”

“?? Eh?”

“Ti, tidak, bukan apa-apa. Master adalah dewa, Master adalah dewa...”

Tino bergumam lirih, sementara Master menatapnya dengan mata polos tanpa dosa.

Namun Tino sudah sepenuhnya paham.

Tidak diragukan lagi, Master... ingin melakukan uji coba terhadap masakannya.

Ia ingin tahu apakah masakannya, yang sebelumnya hanya dicicipi oleh Tino—seorang hunter yang masih pemula—juga bisa diterima oleh orang lain.

Apa yang sebenarnya mendorongmu sampai sejauh ini...?

“Aku sudah mengirimkan undangan pada beberapa orang. Yah, aku tidak tahu berapa banyak yang benar-benar akan datang.”

“...Jangan-jangan, pada anggota Klan First Step?”

“Ahahahaha, tentu saja tidak. Aku sudah cukup tahu selera mereka. Kali ini sekalian aku juga ingin melakukan riset pasar.”

“!?”

Jangan-jangan... Master mengira masakannya itu sesuai dengan selera anggota Klan!?

Lagipula, kesadaran langsung terbang setelah mencicipinya, jadi rasanya pun sama sekali tidak terasa! Tidak—tunggu dulu!

Bisa jadi... karena terlalu lezat sampai kesadaranku terbang—

Tino buru-buru menggelengkan kepalanya keras-keras dan menghapus kemungkinan itu.

Ia memang tidak mengingat rasanya, tapi instingnya tahu betul betapa mengerikannya masakan Master. Meski Tino adalah tipe orang yang akan berkata “putih” bila Master menyebut burung gagak itu putih, tetap saja ia tak bisa dengan yakin mengatakan bahwa masakan itu lezat.

...Kecuali jika ia tak harus mengatakan apa-apa, yah.

“Kalau begitu, tolong sambut para tamunya, ya!”

“Ba, baik... Aku mengerti.”

Master menepuk-nepuk punggung Tino yang masih belum bisa sepenuhnya mengangkat semangat, lalu pergi ke dapur dengan ekspresi cerah.

Hari ini adalah salah satu hari paling tidak menyenangkan dalam hidupnya.

Sambil memandangi interior kafe yang trendi dan hampir sepenuhnya siap menyambut hari pembukaan, Tino menghela napas.

Ketika pertama kali mendengar bahwa Master ingin membuka sebuah kafe, ia sempat berpikir inilah saatnya membalas budi. Namun siapa sangka hanya dalam waktu satu minggu hatinya bisa diremukkan sedemikian rupa.

Selama ini, setiap kali Tino bepergian bersama Master, ia selalu menghadapi situasi berbahaya yang nyaris mengancam nyawa, dan setiap kali pula hatinya hampir patah. Tapi rupanya, untuk menghancurkan hati seseorang, Master tak memerlukan bahaya—hanya masakannya saja sudah cukup.

Tapi soal tamu di acara pra-pembukaan ini... siapa sebenarnya yang diundang oleh Master?

Yang bisa dilakukan Tino hanyalah berdoa agar yang datang adalah orang-orang yang memiliki perut baja—karena tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika orang biasa mencicipi masakan itu.

Saat ia menanti dalam kegelisahan, pintu pun terbuka. Tamu pertama. Denting lonceng bergema di dalam kafe. Yang masuk adalah—

Sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang pria besar berotot, seorang hunter.

“!? Arnold!?”

“Hmph...”

Arnold menatap tajam pada Tino sambil mendengus. Ia adalah pemimpin kKan Falling Mist dari Nebulanubes. Seorang hunter level 7 berjuluk Gourai Hasen, Arnold Hail.

Tino tak bisa menyembunyikan wajah tegangnya. Menyusul masuk adalah tangan kanan Arnold, Eigh Lallia, yang memandangi interior lalu menyapa Tino.

“Yo, Nona kecil. Sehat-sehat saja? Tempat ini lumayan juga.”

“Bukan tipe tempat yang biasanya kami kunjungi, sih.”

Rekan-rekannya melihat sekeliling dengan rasa ingin tahu.

Master, siapa sebenarnya yang Anda undang...?

Arnold Hail adalah sosok yang punya sejarah kelam dengan Tino. Ia masih mengingat dengan jelas hari ketika ia diburu Arnold dengan dalih ‘liburan santai’ dan melarikan diri melintasi hutan, hingga akhirnya terjebak dalam sebuah kota pemandian air panas.

Meskipun perselisihan mereka sudah terselesaikan, tetap saja bukan tipe orang yang seharusnya diundang ke acara pra-pembukaan seperti ini.

“Ke, kenapa kalian bisa ada di sini...”

Tino memang pernah dua kali dihajar habis-habisan oleh Arnold, tapi bukan itu alasan suaranya bergetar.

Menyadari getaran di suara Tino, Eigh menjawab sambil mewakili Arnold:

“Hah? Kau tidak tahu? Senpen Banka itu kirim pesan bilang dia bakal buka kafe dan ingin kami datang. Katanya sebagai permintaan maaf atas segala masalah yang terjadi sebelumnya, dia akan menjamu kami dengan full course. Yah, karena Arnold-san orangnya berhati besar, jadi kami pun datang.”

“Be, begitu...”

“Tapi ingat, Arnold-san ini seorang pecinta kuliner sejati. Kalau makanannya setengah hati, kami tidak akan bayar!”

“Be, begitu...”

Melihat para anggota Falling Mist yang mulai kesal sambil menyilangkan tangan, Tino memutuskan untuk berhenti berpikir.

Ini bukan masalah bayar atau tidak bayar, enak atau tidak enak. Tapi yah... Arnold sepertinya tidak akan mati hanya karena makan masakan Master.

Tapi menjamu dengan alasan permintaan maaf lalu menyuguhkan masakan itu... Master, Anda ini iblis ya?

Dan menyajikan full course pula... aku bahkan tak berani membayangkan menunya seperti apa.

“Ngomong-ngomong, Nona kecil, bagaimana sebenarnya kemampuan memasak Senpen Banka itu?”

“Delapan orang ya, silakan ikuti saya. Ini mejanya.”

“Eh, o-oke...”

Tino mengabaikan pertanyaan Eigh dan mengantar delapan anggota Falling Mist ke meja mereka di bagian dalam.

Setelah mereka duduk, pintu kembali terbuka.

Padahal tadi Master bilang tak tahu siapa saja yang akan datang, tapi sepertinya para tamu Master semuanya orang-orang yang luar biasa setia.

Tino mengangkat wajah untuk menyapa—namun terdiam seketika saat melihat siapa yang masuk.

“Jadi ini ya kafe yang dibuka Senpen Banka. Shinra Banshou, huh... Nama yang lumayan.”

“Arn lihat! Seragamnya lucu sekali! aku juga mau pakai!”

“Mary, tenanglah. Bukankah kita diundang langsung oleh Krai-san? Jaga sikapmu, jangan mencemarkan nama Hidden Curse.”

Yang masuk melewati pintu adalah—sosok yang sangat terkenal bahkan di Ibu Kota Kekaisaran.

Sang Master Klan dari Klan Magi elite Hidden Curse. Hunter level 8 berjuluk Shin’en Kametsu, sang Penyihir Merah, Rosemarie Puropos.

Tino telah mengenalnya bahkan sebelum ia menjadi seorang hunter. Ia adalah salah satu Magi terkuat di Ibu Kota Kekaisaran.

Master, Anda... tidak punya rem, ya?

Gourai Hasen saja sudah cukup menakutkan, tapi memanggil Shin’en Kametsu ke acara pra-pembukaan—bahkan dewa pun tak akan bisa memprediksi itu. Yah, meski dewanya adalah Master sendiri.

Para anggota Falling Mist yang sudah duduk lebih dulu pun terpana melihat tamu yang tak terduga ini.

Sosok wanita yang telah menciptakan berbagai legenda, bahkan pernah membakar setengah istana kekaisaran, menyeringai pada Tino.

“Heheh... Menarik juga. Berani-beraninya mengundangku, Senpen Banka pasti sangat percaya diri dengan kemampuannya dalam memasak.”

“Hunter kelas atas itu serbabisa. Aku sendiri tidak bisa membayangkan hidangan seperti apa yang akan disajikan...”

“Katanya full course, lho, Master! Dan tempat ini, super stylish!”

Master... ekspektasi mereka sudah sangat tinggi. Apa Anda benar-benar siap...?

Kalau Shin’en Kametsu saja bisa membakar istana, membakar kafe ini pun tentu mudah baginya.

Dan... mungkin memang lebih baik kalau kafe ini terbakar saja, demi keselamatan umat manusia.

Meski diliputi ketakutan, Tino tetap mengangkat suaranya demi menjalankan tugasnya.

“Ti-tiga tamu, silakan masuk! Kursinya di sini.”

Yang bisa Tino lakukan hanyalah memandu. Ia bukanlah yang memasak makanannya. Lagipula, masih ada kemungkinan—walaupun kecil—bahwa makanan buatan Master akan terasa lezat bagi para hunter level tinggi... Ya, benar! Mungkin saja Tino belum bisa memahaminya, tapi sebenarnya masakan Master itu memang disesuaikan untuk para hunter level tinggi! Kalau tidak begitu, tak mungkin Master dengan tenangnya mengadakan pra-pembukaan yang sudah jelas nyaris berujung kekalahan ini!

Syukurlah... artinya tak ada pelanggan malang di sini. Tino pun tak perlu merasa bersalah.

Sambil terus meyakinkan dirinya sendiri, Tino memandu anggota-anggota dari Hidden Curse ke meja mereka, namun saat itulah pintu terbuka dengan deritan.

“Aanggyyaa!”

“Ryu~! Ryu~!”

“!?”

Yang muncul dengan memaksa masuk dari pintu sempit itu adalah seekor naga berbentuk imut dan bulat—dari kepala hingga ekornya terlihat sangat fancy, dengan kulit biru muda dan mata bulat bersinar. Di belakangnya, seorang wanita ras Underman bertubuh abu-abu—sang ratu dari ras Underman yang akhir-akhir ini tengah naik daun di Ibu Kota Kekaisaran—terlihat sedang mendorong tubuh sang naga agar bisa masuk ke dalam toko.

Pasangan ini jelas-jelas terlalu tidak cocok untuk berada di sebuah kafe. Namun, betapa mengejutkannya, keduanya ternyata dikenali oleh Tino. Meskipun sudah pernah melihat mereka sebelumnya, yang bisa ia lakukan hanyalah terpana.

Anak Onsen Dragon dan sang ratu Underman, Ryuulan, yang membangun kota bawah tanah di tempat itu. Bahkan pelanggan lain yang sudah duduk pun hanya bisa melongo menyaksikan pemandangan ini.

“!?”

“???????”

“A-aah!? ???”

Siapa sangka bahkan para hunter level tinggi yang biasa menghadapi segala situasi pun hanya bisa kebingungan... Tapi, lupakan Ryuulan, kenapa anak Onsen Dragon itu bisa berada di ibu kota!? Apa mereka berdua diundang oleh Master juga!? Tino benar-benar tak paham...

Dengan tubuh gemetaran, Tino menyapa sang naga dan Ryuulan yang akhirnya berhasil masuk ke dalam.

“D-dua tamu, silakan masuk…”

“Gyaa gyaa!”

“Ryu~!”

Sepertinya mereka benar-benar berniat menjadi tamu. Hal yang mengerikan dari Master adalah bahwa hal seperti ini memang tidak bisa disangkal kemungkinannya.

Tino menggelengkan kepala dan mencoba menyemangati diri, lalu memandu kedua pelanggan aneh itu ke meja mereka.

Gourai Hasen dan partynya Falling Mist. Master Klan Hidden Curse bersama dua orang pengikutnya. Anak Onsen Dragon yang bisa langsung memicu pemanggilan pasukan ksatria jika terlihat di jalan, dan Ryuulan yang akhir-akhir ini sedang menikmati masa jayanya di ibu kota—pasangan liburan yang absurd.

Hanya dengan berkumpulnya tiga kelompok tamu ini, atmosfer dalam kafe sudah berubah drastis.

Tegang, seolah-olah sedang berada di tengah medan perang. Padahal, makanannya saja belum keluar. Apa yang akan terjadi setelah ini…?

Saat itulah, Master yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul dari dapur. Melihat siapa saja yang ada di dalam toko, Master tersenyum cerah—terlalu cerah hingga membuat jengkel—dan berkata:

“Selamat datang semuanya di Kafe Shinra Banshou! Semoga hari ini kalian bersenang-senang!”

“!? Mereka tamu!? Naga ini tamu!?”

“Sepertinya... kita diundang ke pertemuan yang sangat aneh, ya.”

“Ryuryuryuu~!”

Anggota Falling Mist bangkit dari kursinya sambil memprotes, sedangkan anggota Hidden Curse tetap duduk namun matanya sama sekali tidak tersenyum.

Menanggapi semua itu, Master mengeluarkan pisau emas yang berkilau dan memperlihatkannya dengan gaya penuh percaya diri, lalu berkata penuh gaya:

“Masakanku—tidak pilih-pilih pelanggan, sesuai dengan Silhouette ini.”

“!?”

“P-pisau itu... jangan-jangan itu pisau legendaris yang…!”

Master... pisau itu tidak adil. Sejak mulai bekerja di kafe ini, Tino menyadari bahwa alat legendaris tidak selalu menjamin kehebatan pemiliknya. Tidak, Master memang hebat sih... Tapi sekarang Master benar-benar terlihat seperti seorang penipu. Meski mulut ini tak akan mengatakannya.

Selesai memamerkan pisaunya, Master melihat sekeliling toko lalu mengerutkan dahi dengan sedikit kecewa.

“Eh? Keller dan Imouto Kitsune mana?”

“Eh…?”

“Krahi dan sang putri juga tidak datang ya… Yah, karena mereka sedang jauh sih, tak bisa disalahkan. Selene juga tak datang ya... Padahal aku ingin menyajikan salad hijau berbahan dasar daging untuknya.”

Ma-Master, Selene itu seorang putri kekaisaran! Bahkan, putri dari kota legendaris Yggdra! Mengundangnya saja sudah berisiko, apalagi ingin menyajikan salad aneh seperti itu... Betapa menakutkannya jaringan pertemanan Master ini.

...Mengenai Keller (dan Imouto Kitsune itu?), sudah tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan. Bahkan untuk Master, itu pasti hanya bercanda. Mungkin.

Setelah berpikir sejenak, Master mengangguk mantap dan tersenyum cerah seraya berkata:

“Yah, paling tidak sudah cukup variasi. Tunggu sebentar, ya. Akan segera kusajikan full course-nya.”

◇◇◇

“Kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu kyuu Gyaa!”

“Kyuu kyuu Gyoee!”

“Ukyuu kyuu~n!”

◇◇◇

Pelajaran Hari Ini:

Tak ada hunter ulung, naga, atau Underman yang bisa menandingi masakan Master.

Kami semua tumbang hanya karena welcome drink-nya. Ini benar-benar jadi full course “kyuu”.

0

Post a Comment

close