NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ore no linazuke ni Natta Jimiko, Ie de wa Kawaii Shika nai Volume 1 Chapter 11 - 15

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 11

Aku diajak anak populer, tapi bagaimana cara menolaknya?


"Eh-he~. Hari ini juga berangkat sekolah bareng Yuu-kun~."


Beberapa menit yang lalu, Yuuka berkata dengan nada lembut sambil tersenyum seperti anak kucing.


"Selamat pagi."


Sekarang, Yuuka berkata dingin seperti robot tanpa ekspresi.


Yuuka di rumah dan Yuuka di sekolah, memang masih sama sekali berbeda. Benar-benar seperti orang lain. Bahkan pilihan katanya aneh, masa "Selamat pagi" diganti jadi "Pagi, ya." Bukankah cukup dengan "ohayou" saja?


"Seperti biasa, Watanae-san tetap menakutkan, ya..."


Dari kursi sebelah, Masa berbisik.


Ya, memang wajar. Kalau hanya menilai dari sisi sekolah—tak ada yang bisa membayangkan kalau gadis yang tampak dingin begini, di rumah justru ceria dan polos.


"Haaiiii! Semua, cepat duduk di tempat duduk masing-masing!!"


Saat aku melamun memikirkannya, pintu kelas terbuka keras dan masuklah Gousaki-sensei.


Gousaki Atsuko, 29 tahun, lajang. Wali kelas kami, kelas 2-A. Seorang guru yang agak terlalu bersemangat.

"Semangat kalian kurang, semuanya!! Ayo, keluarkan suara lebih besar! Kalau dari homeroom pagi saja lemas begitu, seharian penuh akan membosankan!!"


"Seperti biasa, Gousaki-sensei full power, ya, Yuuichi?"


"Benar sekali..."


Jujur, aku tidak terlalu pandai menghadapi Gousaki-sensei. Bukannya beliau guru yang buruk, tapi arah hidup kami terlalu berbeda. Beliau sangat menekankan hal-hal seperti "kerja sama tim" atau "persatuan," nuansa khas olahraga, yang terlalu berlebihan untuk orang introvert sepertiku.


"Kita harus bersemangat bersama, bersenang-senang bersama! Belajar itu memang penting, tapi lebih dari itu, temukanlah 'teman' sebagai harta yang berharga! Dengan begitu, hidup kalian akan jadi lebih bermakna!!"


Aku menatap Gousaki-sensei yang matanya berbinar penuh semangat, dengan pandangan dingin. Bukan berarti aku keberatan kalau beliau menganggap teman itu penting. Tapi—aku merasa beliau hidup di dunia yang berbeda denganku.


"Heii. Hei, hei, Sakata?"


Dari kursi serong depan, seorang gadis berambut cokelat menoleh padaku sambil tersenyum cerah. Nihara Momono—seorang gyaru, anak populer di kelas.


"Sakata~. barusan kau pasti sedang mikir 'orang dari dunia lain', kan?"


"Kau itu cenayang atau apa sih, Nihara-san."


Apa gyaru itu memang punya kemampuan membaca pikiran orang?


"Soalnya, ekspresimu gampang banget ditebak. Cukup lihat wajahmu, sudah ketahuan, kan?"


"Ah, iya juga. Yuuichi itu wajahnya selalu mudah terbaca."


Masa ikut nimbrung dengan wajah menyeringai.


"Betul betul! Semua terlihat jelas di wajahmu, kayak anak kecil, jadi lucu gitu~."


Nihara-san mencondongkan badan ke depan sambil tertawa terpingkal-pingkal. Karena ia memakai seragam agak longgar, saat membungkuk begitu, bagian dadanya sedikit terlihat—sungguh berbahaya untuk mataku.


"Nee,nee,Sakata? Sesekali coba juga dong,dengerin petuah Gousaki?"


"Coba gimana maksudnya...?"


"Maksudku yaa..."


Nihara-san tersenyum menyeringai. Bibir merahnya terlihat begitu memikat. Sampai-sampai aku yang biasanya biasa saja, dibuat terkejut sesaat. Ia kemudian mengarahkan jarinya kepadaku dengan perlahan.


"Bagaimana kalau pulang sekolah nanti ikut... karaoke bareng kita ☆"



"Jadi begini! Karaoke hari ini, bintang tamunya Sakata! Dan juga Kurai~."


"Hei! Kenapa aku disebut seperti embel-embel begitu!!"

Nihara-san menepuk tangan sambil tertawa, sementara Masa langsung protes.


Di sekitar kami, sudah berkumpul kira-kira tujuh orang teman sekelas, laki-laki dan perempuan. Jujur saja, karena aku jarang berinteraksi, sebagian besar bahkan aku tak tahu namanya.


"Sakata ini, meski kelihatannya begini, sebenarnya lumayan lucu lho? Jadi, semua ikut ya! Ya, setuju, kan!"


"Hei! Tak seorang pun barusan menyatakan setuju!?"


Aku buru-buru memprotes, tapi mereka hanya tersenyum canggung.


Hei, tolonglah. Ada yang mau menghentikan Nihara-san? Dan tolong juga, keluarkan aku dari grup ini!


"Yah... kalau Momono yang bilang, ya sudah lah."


Seorang gadis berambut pendek yang tak kukenal menggaruk pipinya.


"Kalau Momono sudah bicara, tak bisa ditahan, kan."


"Seperti biasa, aksi spontan lagi, tuh."


"Kuramasa sih... agak meragukan, ya."


"Hei! Aku dengar itu!! Jangan panggil aku Kuramasa!!"


Kurai Masaharu, disingkat Kuramasa. Karena nama keluarganya 'Kurai' terdengar seperti 'gelap,' ia sangat benci dijuluki begitu. ...Tapi sudahlah, masalah Masa itu urusannya sendiri!


"Baiklah, diputuskan! Pulang sekolah nanti kita semua karaoke bareng-bareng~ ☆"

Tepuk tangan dari yang lain terdengar cukup ramai.


Eh? Kenapa mereka menerima begitu saja dengan mudah? Luar biasa sekali, kemampuan adaptasi komunitas anak populer.


"Tunggu, tunggu, Nihara-san. Aku sebenarnya tidak terlalu suka hal-hal seperti itu..."


"Tapi tadi Gousaki-sensei juga bilang, kan? 'Coba tambahkan harta berupa teman'~!"


Aku mencoba menolak halus, tapi Nihara-san semakin mendesak. Lingkungan sekitar pun perlahan berubah jadi suasana menyambut. 


Gawat. Ini benar-benar mengarah ke sesuatu yang buruk.


──── Brrr-brrt♪


"Ah. Nihara-san, tunggu sebentar!"


Aku buru-buru mengeluarkan ponsel, memiringkan layar agar tidak terlihat oleh Nihara-san, lalu membuka RINE.


Seperti yang kuduga, ada pesan masuk dari Yuuka.


『Wah, rame ya. Enak banget, aku juga pengin ngobrol sama Yuu-kun. Hmph.』

『Karaoke? Dia bilang karaoke? Eeh... Yuu-kun, kamu mau ikut karaoke?』

『Hmph. Hmph-hmph.』


"Eh? Apa tuh? Aneh deh, mencurigakan loh~?"


Nihara-san berusaha melongok ke arah layar, jadi aku buru-buru menyembunyikan ponsel ke dalam saku.

"B-bukan apa-apa kok. Cuma ngecek aja, kira-kira aku kosong nggak hari ini..."


"Oh! Jadi kamu udah ada niat ikut, ya!? Bagus, bagus. Kosong kan jadwalnya? Kalau begitu, ayo sekarang kita karaoke!!"


Ah... ini sudah tidak bisa ditolak lagi. 


Dengan terpaksa, aku mengangguk. Padahal aku sama sekali tidak ingin ikut, malah khawatir Yuuka bakal salah paham. Sebenarnya aku ingin menolak dan langsung pulang.


Haaah... Gousaki-sensei benar-benar ngomong yang nggak perlu. Aku menghela napas panjang, lalu bersiap mengikuti rombongan itu—


"Tunggu."


Suara dingin terdengar dari belakang, membuatku refleks menoleh.

Di sana berdiri Yuuka, menatap tajam dari balik kacamata dengan mata menyipit, rambutnya yang diikat ekor kuda ikut bergoyang.


"W-Watanae-san?"


"Aku juga ikut."


Dengan aura yang tak memberi ruang bantahan, Yuuka menegaskan niatnya. Padahal biasanya dia tidak akan pernah mau bergabung dalam komunitas seperti ini. Tapi entah kenapa, kali ini dengan wajah serius penuh tekanan—dia benar-benar ingin ikut karaoke.


Ya ampun. Sangat mencurigakan sekali.


"H-Hei! Yuuichi, ini maksudnya apa!?"


Masa mengguncang bahuku panik. Aku hanya bisa berkeringat dingin, 

mati-matian mencari alasan.


Di tengah suasana itu, Nihara-san menatap Yuuka dengan wajah heran.


"Ehm... ada apa, Watanae-san?"


Tidak bisa. Kalau dibiarkan ke Yuuka, pasti runyam. Aku buru-buru mengambil alih dan memberi isyarat.


"Ah! Watanae-san juga suka karaoke, ya?"


Oke, Yuuka. Pakai saja alasan 'suka karaoke,' biar tidak ketahuan kalau sebenarnya ikut hanya karena aku.


"Tidak. Aku tidak terlalu suka karaoke."


Ya ampun, salah oper bola!


"Hah? Jadi kamu nggak suka-suka amat, tapi tetap ikut?"


"Iya."


Yuuka menjawab dengan suara datar.


"Oooh, jadi maksudnya Watanae-san juga pengin mempererat pertemanan ya. Kebetulan banget, aku sama Masa juga lagi berusaha mempererat pertemanan nih!"


Aku mengangguk-angguk sambil bicara monoton, berusaha menyelamatkan suasana.


Oke, Yuuka. Katakan saja alasannya ikut karena ingin 'bergabung dalam lingkaran pertemanan.'


"Bukan. Aku ikut karena Sakata-kun tadi mau ikut."


Ya Tuhan, ini bunuh diri namanya!


"Eh? Itu maksudnya gimana!?"


"Watanae-san, kamu sebenarnya dekat dengan Sakata-kun, ya?"


"Hei, jelaskan, Yuuichi!?"


Suasana langsung ricuh. Sementara itu Yuuka berdiri kaku, wajahnya tegang luar biasa.


Ah... gawat. Dia pasti saking gugupnya sampai tidak bisa berpikir jernih. Aku hanya bisa menghela napas panjang dengan pasrah. 


—Di tengah ketegangan itu.


"Watanae-san... seriuuus!?"


Nihara-san tiba-tiba memegang tangan Yuuka erat-erat, matanya berbinar.


"Ya ampun, bisa main bareng sama Watanae-san tuh seneng banget! Selama ini kita nggak pernah ngobrol di luar kelas kan? Aku tuh udah lama pengin main bareng kamu!!"


"E-Eh..."


Yuuka sempat gentar menghadapi energi gyaru yang terlalu kuat. Tapi lalu, ia mengangguk pelan dengan wajah bertekad.


"Aku juga ikut karaoke."


"Yeees!!"

Nihara-san bersorak, diikuti riuh teman-teman lain.


"Eh... ini sebenarnya gimana ceritanya?"


Masa masih menggaruk kepala kebingungan, tapi aku mengabaikannya dan buru-buru berbisik ke Yuuka.


"...Sebenarnya apa maksudmu, Yuuka?"


"...Aku juga ingin main sama Yuu-kun."


"...Kalau terlalu dipaksakan begini, malah kelihatan aneh kan?"


"...Tapi, kalau cuma mereka yang bisa main sama Yuu-kun, itu rasanya curang."


Sepertinya ucapanku barusan membuatnya kesal. 


Pipinya mengembung, lalu wajahnya memerah. Dengan tatapan dari bawah, ia menatapku dengan kesal.


Tidak, jangan pakai wajah itu! Itu benar-benar wajah 'Yuuka asli'!


"Heh? Sakata, ada apa?"


"N-nnggak ada apa-apa!? Kami cuma ngomongin betapa serunya karaoke nanti, kan, Watanae-san!?"


Aku buru-buru memberi klarifikasi pada Nihara-san. Dari balik punggungku, Yuuka berbisik pelan—


"...Ini pertama kalinya karaoke bareng Yuu-kun. Aku senang."


Dengan wajah polos, ia tersenyum samar.


Astaga!! Dia benar-benar tidak punya rasa waspada sama sekali!!


Dan begitulah, dengan segala keluguan Yuuka yang bikin jantungku berdebar, kisah pun berlanjut ke episode penuh gejolak: Arc Karaoke.




Chapter 12

Anak introvert: "Aku nggak punya lagu yang bisa kunyanyikan di depan orang normal..."

Tunangan: "……"


"Yeaahh!! Semuanya siap bersenang-senang!?"


Dengan mikrofon di tangan, Masa berteriak lantang di dalam ruangan karaoke khusus pesta.


…Kenapa sih, dia bisa seru-seruan banget begitu? Padahal jelas-jelas aura dia beda sendiri, tapi entah bagaimana, Masa tetap bisa larut bersama Nihara-san dan yang lain. Hebat juga, ya.


Di tengah suasana kacau itu, teman-teman sekelas yang bahkan aku tidak tahu namanya ikut ribut. Menyeramkan.


Ah, sekarang ada yang mulai menabuh tamborin. Menyeramkan.

Ada juga yang menggoyang-goyangkan marakas. Menyeramkan.


"Baiklah! Sekarang giliran aku yang nyanyi!"


Nihara-san merebut mikrofon dari tangan Masa, lalu dengan santai mulai bernyanyi. Teman-teman lain menyahut dengan "Ueei!" dan "Fuu!" sambil memberi semangat. Di tengah suasana asing yang sama sekali tidak kukenal itu, Yuuka hanya…


"......”


Diam membeku di sebelahku, sambil memegang remote pemesanan lagu.

"Ehm… Yuuka, kamu nggak apa-apa?"


"I-iya…"


Ia menjawab pelan, tapi sama sekali tidak terlihat baik-baik saja.

Wajahnya lebih datar dari biasanya, pipinya kadang-kadang berkedut.


"Makanya aku bilang jangan memaksakan diri ikut…"


"So-soalnya…"


Dengan mata tertuju ke layar remote, Yuuka bergumam pelan:


"…‘Yang boleh ada di sampingmu, itu cuma aku!’ kan begitu…"


Ugh… itu suara dari event Tsundere Campaign dua bulan lalu, Yuuna (Normal). Membayangkan wajah Yuuna-chan yang sedang cemberut, aku tanpa sadar merasa gemas.


"Eh, Sakata, kamu udah masukin lagu?"


Tiba-tiba Nihara-san menyapaku dari samping.


"Hah, kamu udah selesai nyanyi, Nihara-san?"


"Eh? Kamu nggak dengerin? Padahal aku yakin suara nyanyianku lumayan bagus, loh."


Dekat sekali. Kenapa tangannya sampai ditaruh di pangkuanku sambil menatap ke atas begini?


"—Ehem."


Kalau bergaya begitu, kerah bajunya jadi longgar. Lihat, kan.


"Ehem, ehem."


Bagian dadanya jadi agak…


"Ehem! Ehem ehem ehem ehem!!"


Dari sisi lain, Yuuka tiba-tiba batuk keras-keras. Aku segera siuman, lalu pelan-pelan menoleh ke arahnya.


—Tep-tap.


Yuuka menunjuk ke bagian dadanya sendiri, lalu menatapku tajam dengan mata setengah menyipit.


『Jadi, yang kamu lihat… itu dada, ya?』


Dengan bahasa tubuh, Yuuka menyampaikan rasa cemburunya.


Bukan begitu! Aku nggak ada maksud, memang kebetulan kelihatan, mau bagaimana lagi!?


"Hei Sakata, kamu nggak mau nyanyi juga?"


"Eh!? N-nihara-san!"


Mendadak Nihara-san mendekatkan tubuhnya padaku.  


Refleks, aku segera menjauh. Bahaya sekali… barusan tercium aroma harum yang luar biasa…dan dari arah Yuuka, aku bisa merasakan hawa membunuh yang sangat kuat.


"Gimana kalau aku pesenin lagu buat kamu? Nih, kamu pasti tahu lagu ini. Mau duet bareng aku?"


"Uh, tidak… aku belum pernah dengar…"

"Eh!? Padahal itu lagu tema drama yang lagi hits banget! Jangan-jangan kamu tipe yang nggak punya TV, Sakata?"


"Apa pula itu… ya, aku punya sih. Cuma memang jarang nonton acara begituan."


Kalau anime tengah malam sih, sering aku tonton.


"Jadi kamu nggak banyak tahu soal lagu-lagu populer ya?"


"Jujur… begitulah."


Tapi kalau anison, aku bisa nyanyi banyak.


"Wah, itu masalah besar loh."


"Makanya aku lebih suka dengerin orang lain nyanyi aja—"


"Kalau yang ini kamu pasti tahu, kan?"


Saat aku berusaha menghindar dengan halus, Nihara-san malah menyorongkan remote ke arahku. Di layar terpampang—lagu tema anime robot yang bisa bertarung dengan unit humanoid serbaguna.


"Sakata, bukannya kamu suka banget sama anime ini? Dulu waktu SMP, kamu sering main bareng Kurai, pura-pura jadi robot yang teriak ‘Guoo!’ kan?"


Ya. Kami memang pernah main jadi EVA unit-01 yang lepas kendali.

Tolonglah, ada yang bisa bunuh aku sekarang juga?


"Jadi, Sakata… mau nyanyi lagu ini, kan?"


Aku hanya bisa menatap Nihara-san sambil tersenyum kaku, tanpa berkata iya ataupun tidak.

Memang, aku sadar kalau lari dari ini bukan solusi. Tapi kalau aku langsung bilang, "Aku tahu lagu ini! Keren banget!!", bukankah aku jadi terlihat persis seperti diriku waktu SMP yang full otaku? Itu bikin ragu untuk melangkah.


"J-jadi begini, Nihara-san. Kalau nyanyi itu aku agak—"


—Gatak!


Saat aku masih sibuk berdebat dengan Nihara-san, tiba-tiba Yuuka berdiri. Kedua tangannya menggenggam mikrofon erat-erat. Musik mulai mengalun. Ia menarik napas dalam-dalam—


Lalu mulai menyanyikan lagu itu, dengan suara jernih bagaikan malaikat yang dingin. Ekspresinya tetap datar seperti biasa, tapi suaranya begitu indah dan bening.


"Eh, aku pernah dengar lagu ini di acara musik!"


"Wow, suara Watanae-san bagus banget!!"


Ya, memang sepadan dengan statusnya sebagai pengisi suara Yuuna. Kemampuannya bernyanyi jauh di atas kelasku. Dan kemampuan menyanyinya yang luar biasa itu membuat semua orang lupa apakah lagu itu anison atau bukan—suasananya benar-benar berubah.


"Aya○ ada di sini… oi, Yuuichi! Di depanku ada Aya○!!"


Tidak ada, woi. Kenapa sih kamu sampai nangis begitu, Masa.


Yah, memang sih… kalau dilihat sekilas, Watanae-san di sekolah memang agak mirip sedikit. 


Begitulah, ruangan karaoke pun semakin heboh berkat lagu Yuuka. 


Namun entah kenapa, aku merasakan sesuatu yang janggal, membuatku berpikir dalam hati.


──Apa, ya?


Suara yang kudengar tadi berbeda dengan suara Yuuna-chan saat menyanyikan lagu karakter.



Begitulah, acara karaoke horor itu akhirnya berakhir dengan selamat.


"Watanae-san! Ayo main lagi lain kali, ya!! Aku benar-benar senang banget karena kamu datang!"


"Kalau aku lagi mood."


Watanae-san, dengan sikap super cuek nan dingin.


"Kalau begitu, Masa, sampai jumpa."


"…Iya, sampai jumpa."


Dengan aura suram menyelimuti dirinya, Masa pun pulang tertunduk.


Ya wajar sih, dia nyanyi lagu-lagu aneh yang tidak dimengerti siapa pun, lalu dihujat habis-habisan sama gadis-gadis. Serius, belajar baca situasi dong kalau nyanyi.


Setelah berpisah dengan semua orang, aku pulang dengan jalan memutar.…Bukan apa-apa sih, aku yakin aman-aman saja. Tapi kalau sampai ada yang melihat aku dan Yuuka masuk rumah yang sama, itu bakal runyam. Aku memastikan keadaan sekitar di depan pintu rumah sebelum akhirnya masuk.


"Selamat kembali pulang!!"


"Uwah!?"


Sekejap kemudian, Yuuka—dengan mata berbinar layaknya anak anjing besar—langsung melompat padaku. Masih memelukku erat-erat, ia mendengus, "Buu~."


"Aku sudah bosan nunggu, tahu nggak."


"Paling juga baru tiga menit, kan? Jelas banget."


"Dalam tiga menit itu, kalau aku sampai tepar duluan gimana coba?"


"Berarti kamu lebih cepat ‘melunak’ daripada mie instan."


Yuuka terkekeh pelan, tampak begitu senang. Ekspresinya sangat berbeda dengan tadi—penuh kehangatan. Melihat sikapnya yang begitu natural, aku pun merasa lega, seolah beban di pundakku terangkat.


"Haaah. Karaoke bareng orang normal itu melelahkan…"


"Iya! Padahal masih banyak lagu yang pengen kunyanyikan, tapi nggak bisa!"


"Lagu-lagunya kebanyakan nggak kukenal, tapi aku ditanya terus, ‘Kamu tahu kan?’"


"Terus duet segala! Itu sama aja bunuh pelan-pelan orang yang susah berkomunikasi, tahu nggak!?"


Kami saling mengeluh—sama-sama orang yang kesulitan bergaul, dan sama-sama nggak bisa blak-blakan di depan orang.


Entah kenapa, bisa berbagi keluhan seperti ini terasa menyenangkan.


"Oh iya, Yuu-kun, bolehkah aku nyanyikan satu lagu buatmu?"


"Hah? Padahal karaoke baru saja selesai?"


"Iya. Jadi, mohon dengarkan baik-baik, ya~"


Yuuka menarik napas dalam-dalam—lalu mulai bernyanyi. Itu lagu anison super terkenal yang tadi juga ia bawakan di karaoke. Tapi kali ini—suara yang keluar terasa berbeda.


"…Itu suara Yuuna-chan."


Aku berbisik pelan, dan Yuuka tersenyum manis.


"Eh? Tapi tadi beda dengan sekarang, kan? Apa bedanya?"


"Iya. Tadi aku sengaja mengubah cara bernyanyinya!"


"Kenapa?"


"Soalnya kalau aku nyanyi dengan suara asli di depan semua orang, nanti mereka bisa mengenaliku. Kamu pasti nggak mau, kan, kalau identitasku ketahuan? Apalagi Kurai-kun juga paham banget soal Arisute, kamu sendiri yang bilang."


Ah, iya juga sih. Saat aku mengangguk tanda paham, Yuuka menatapku dengan wajah memerah.


"…Tapi, itu bukan satu-satunya alasan, lho."


"Ada alasan lain?"


Kalau bukan soal menjaga rahasia, memang apalagi? 

Aku benar-benar tidak paham. Melihat kebingunganku, Yuuka hanya tersenyum kecil, lalu meletakkan jari di bibirnya—dan berkata:


"Karena rasanya lebih menyenangkan kalau ini jadi rahasia kita berdua saja."




Chapter 13

Adik Perempuan: "Kakak, sudah kehilangan keperjakaan belum?" ← Harus membantah dengan cara apa?


Hari pertama Golden Week.


Aku sedang sendirian, menyalakan komputer sambil melamun. Yuuka pergi sejak pagi dengan alasan, “Ada rekaman radio internet!”

Izumi Yuuna, seorang pengisi suara pendatang baru yang tahun lalu mendapat kesempatan besar untuk berperan di Love Idol Dream! Alice Stage☆.


Untuk saat ini, selain peran Yuuna-chan, ia hanya mengisi beberapa karakter figuran. Tapi aku tahu… dia punya bakat luar biasa. Karena Izumi Yuuna adalah satu-satunya pengisi suara yang mampu meniupkan nyawa pada malaikat bernama Yuuna-chan.


『Rumah hantu? A-aku sama sekali nggak takut, kok? Hah, katanya mukaku kelihatan takut? S-salah, ini tuh… gemetar karena keberanian, ngerti!? 』


“Haaah…”


Aku merebahkan diri di sofa sambil memutar suara itu berulang kali tanpa henti. Yuuna-chan yang kudapat lewat gacha kampanye Golden Week. Masih berupa kartu normal sih. Tapi bagiku, nilainya setara dengan SSSSSSR.


Begitu aku memejamkan mata, wajah Yuuna-chan langsung terbayang jelas di depan mata…


──── Yuu-kun!

Aku tersentak, buru-buru bangun dari sofa. Dengan tangan menekan dadaku yang berdebar, aku mengatur napas perlahan.


“Tadi… yang muncul malah wajah Yuuka…?”


Suara Yuuna-chan adalah suara Yuuka. Jadi kalau wajah yang muncul Yuuka, ya sebenarnya tidak salah juga. Lagipula, karena aku tinggal seatap dengannya, wajar saja wajahnya sering terlintas. Tapi… tidak kusangka aku membayangkan Yuuka duluan, bahkan sebelum Yuuna-chan.


“…Tidak, Yuuka dan Yuuna-chan itu berbeda. Mereka berbeda.”


Aku mengingatkan diriku sendiri. 


Kalau tidak begitu… rasanya Yuuka dan Yuuna-chan makin lama makin bertumpang tindih di pikiranku…


──── Piririririri♪


“Uwah!?”


Di saat yang begitu tepat, dering telepon berbunyi dari ponselku. Aku cepat-cepat meraihnya dan mengangkat panggilan.


“Halo?”


『Lama banget. Kak, angkat telepon dalam satu dering dong.』


Suara kesal itu datang dari adikku, Sakata Nayu. Sungguh seenaknya. Lama tidak bertemu, ternyata masih sama saja kelakuannya.


“Telepon mendadak gitu, wajar kalau nggak bisa langsung kuangkat, kan?”


『Alasan… haaah.』


“Bukan alasan, itu memang logis. Dari segi reaksi manusia──”


『Udah, nggak penting. Yang jelas, Kakak, aku mau ke rumah sekarang.』


“Hah? Kamu balik ke Jepang? Sejak kapan──”


──── Ting-tong♪


『Aku sudah sampai.』


“Cepet amat!? Minimal kasih kabar lebih awal dong!!”


『Banyak banget ngeluhnya.』


Kali ini, suara terakhir itu bukan dari telepon, melainkan dari belakangku. Aku menoleh dengan hati-hati. Rambut pendek hitam lembut. Tatapan mata tajam. Kaos sederhana dengan jaket jeans, dipadu celana pendek. Dengan tubuh yang rata tanpa lekuk, ia masih terlihat seperti “remaja lelaki tampan.”


Sambil memegang ponsel, Nayu melangkah masuk dengan wajah datar dan meneliti ruangan.


“Kamar ini lumayan rapi, ya.”


Setelah berkomentar singkat, ia langsung menjatuhkan diri di sofa.

Lalu mulai asyik bermain ponsel.


“Kakak, bikinin cappuccino.”


“Mana ada, minuman sekeren itu.”


“Kalau begitu, bikin peperon deh.”


“Peperon…? Itu ‘kan spageti?”


“Aku beneran lapar.”


Sama sekali tidak melirik ke arahku. Seperti biasa, adik perempuanku ini penuh dengan keangkuhan. 


Yah, bukan hal baru sih. Mau tak mau, aku akhirnya memanaskan pasta instan dari freezer.


“Itu makanan beku, kan?”


“Emang kamu kira aku bisa masak beneran?”


“Wah, udah nyerah terang-terangan.”


“Terus, Nayu. Kenapa mendadak datang?”


“Hah? Pulang kampung perlu alasan?”


“Bukan gitu. Karena terlalu mendadak, kupikir ada sesuatu.”


“…Ya, ada sih.”


Meletakkan ponsel di pangkuannya, Nayu bersandar di sofa sambil menghela napas.


“Ayah ribut terus soal kehidupan kakak yang tinggal serumah dengan perempuan. Katanya, ‘Jangan-jangan Kakak berbuat hal yang tidak sopan pada Yuuka-san’, atau ‘Kalau Yuuka-san ingin putus, bagaimana?’. Aku sendiri sih… nggak khawatir sama sekali.”


“Kenapa arahnya selalu kekhawatiran kalau aku yang bakal berbuat salah, sih…?”


“Itu akibat dari perilaku sehari-hari, mungkin? Yah, intinya, Ayah yang minta, jadi aku repot-repot datang ke sini.”


“Begitu ya… yah, memang tipikal orang tua kalau sampai ngomong begitu.”


Aku tak bisa menahan rasa lesu. Tapi tanpa menoleh sedikit pun padaku, Nayu berkata seakan itu hal yang wajar.


“Ya sudah──jadi? Hubungan suami-istri kalian sudah sejauh mana? Sudah berkembang biak?”


“Tiba-tiba nanya apa, sih, kamu…?”


“Berisik. Jadi, sudah atau belum?”


“Belum lah!”


“…Hah, serius?”


Ekspresi masam Nayu untuk pertama kalinya agak melunak. Lalu ia melirikku dari samping sambil berkata:


“Ta-tapi, setidaknya kalian sudah melakukan hubungan reproduksi palsu dengan kondom?”


“Kenapa bahasanya muter-muter gitu!? Aku bilang belum, kan!!”


“Eh… beneran?”


Nayu membeku sambil menatapku.


Hentikan tatapanmu seolah sedang melihat perjaka. Serius, hentikan.


“Begitu ya. Jadi, ternyata belum sejauh yang kupikir. Ya… mungkin malah tidak bagus, sih. Umurmu sama dengan lamanya lajang, rasanya sudah di ambang batas.”


“Berhenti merendahkan perjaka, dong… lagipula, aku ini bisa tinggal serumah dengan perempuan di dunia nyata, lho? Itu saja sudah lebih dari cukup──”


“Minimal sudah mengelus kepalanya?”


“Hah? …Y-ya, kalau itu sih, pernah.”


“Cih. Lalu, sudah ciuman?”


“Cih, apaan itu!? Jawabannya apa!?”


“Udah, jawab saja. Ya atau tidak.”


“…Tidak.”


“Hm. Sudah pernah lihat dia telanjang?”


“Tidak.”


“Hm. Kalau Yuuka-chan yang menunjukkan tubuhnya padamu?”


“Dia bukan perempuan cabul! Jawabannya juga tidak, jelas!!”


Sebenarnya, apa yang adikku pikirkan tentang hubungan kami, sih?



“Eh, Nayu-chan!?”

Saat pulang, Yuuka terkejut melihat Nayu yang sedang santai di ruang tamu sambil memegang ponsel.


“Kapan kamu balik ke Jepang?”


“Beberapa jam yang lalu.”


“Maaf ya, jadi nggak sempat nyiapin makanan enak buatmu.”


“Tak apa. Aku sudah makan peperon.”


“Peperon…?”


“Makan peperoncino doang, kok. Nayu, bisa nggak sih sikapmu agak lebih manis?”


“Mana bisa. Aku ya tetap aku.”


“Begitu ya. Spageti buatan Yuu-kun enak nggak? Walaupun makanan beku, sih.”


“────!! Yuu-ku…!!”


Entah bagian mana yang menyinggung, Nayu tiba-tiba melotot. Lalu ia meletakkan ponsel di meja, berdiri perlahan, dan menatap Yuuka.

Wajahnya tetap datar, sikapnya tetap buruk, khas adikku. Namun Yuuka justru tersenyum kecil melihatnya.


“…Kenapa ketawa?”


“Hmm, maaf. Soalnya kamu imut banget.”


“Hah!? Jangan meremehkan aku! Imut, katanya!?”


Nayu menggonggong marah seperti anjing kecil.

Sementara itu, Yuuka malah tersenyum lembut dengan pipi yang bersemu.


“Enak ya, punya adik perempuan kayak Nayu-chan. Bisa belanja bareng, berdandan bareng. Pasti seru.”


“Nggak pernah, tuh. Aku nggak suka hal kayak gitu. Dan jangan asal menganggap aku adikmu.”


Nayu jelas terlihat panik. Jarang sekali aku melihatnya sampai segitu gelisah.


“Apa? Aku bukan tontonan, tahu.”


“Baik, baik. Nggak akan kuperhatikan, kok.”


“Fufu. Kalau begitu, Nayu-chan, biar aku yang masak makan malam, ya! Setelah ganti baju, aku bakal berusaha bikin hidangan yang enak. Jadi, pikirin dulu mau makan apa.”


Dengan ceria Yuuka pun hendak menuju kamarnya untuk ganti baju.


“Tunggu. Yuuka-chan.”


Nada suara Nayu terdengar tegas, menghentikan langkah Yuuka.

Aku dan Yuuka saling berpandangan.


“E-eh, Nayu-chan?”


Dengan wajah bingung, Yuuka memiringkan kepala. Tapi Nayu dengan enteng melontarkan hal yang tak terduga.


“Ganti bajunya di sini saja.”


“…Apa?”

“Kita ini keluarga, jadi seharusnya nggak perlu malu.”


“E-ehhh!?”


Yuuka menjerit hampir seperti teriakan, wajahnya memerah.


Entah karena reaksi itu menarik, Nayu menyeringai dengan senyum licik.


“Kan kalian ini suami-istri. Jadi gimana dengan cucian? Jangan-jangan kalian pisah cucinya? Masa suami-istri nggak bisa saling lihat pakaian dalam? Begitu caranya kalian bisa jalanin rumah tangga? Konyol banget, sumpah.”


“Aku baru tahu ada orang yang benar-benar bilang ‘konyol banget’ dengan nada serius!!”


Sambil menimpali, aku menepuk kepala Nayu.


“Aduh… apaan sih.”


“Kamu itu, apa-apaan sih nyuruh yang aneh-aneh! Lagipula, kami ini masih sebatas tunangan, bukan suami-is──”


“Ingat tren ‘let it go’? Kalau udah suami-istri, ya harus terbuka, kan?”


“T-tapi, sejujurnya… itu… agak…”


Yuuka menunduk, paha kanan dan kirinya bergesekan malu-malu.


“Tuh, dengar sendiri Yuuka bilang begitu. Jadi pembahasan selesai.”


“Hah… Kakak, nggak berubah. Begitu terpojok langsung alihin topik. Dari dulu, sejak terjebak di kamar dan kecanduan dua dimensi, Kakak nggak pernah berkembang. Walaupun ada Yuuka-chan, tetap saja nggak ada yang berubah.”


“Bukannya berlebihan!? Kita cuma lagi bahas pakaian dalam, kan?”


Kenapa dia malah makin kelihatan sebal?


Dari dulu adikku ini memang susah dimengerti, tapi hari ini terasa lebih aneh dari biasanya. Tak lama kemudian, Nayu melirikku dengan mata setengah menyipit… lalu berbisik.


“…Kakak, jawab jujur. Tinggal serumah sama pacar, kamu benar-benar nggak pengin lihat dia pakai pakaian dalam?”


“Bukan begitu maksudku…”


“Jadi, maksudnya iya!?”


Yuuka mendongak kaget. Matanya berkilat, mungkin karena malu, sampai sedikit berair. Melihat reaksi Yuuka, Nayu menyeringai licik seperti iblis kecil.


“Benar, kan. Kakak sebenarnya ingin lihat. Semua laki-laki itu, pada dasarnya, binatang.”


“Benar juga ya… aku pernah baca di doujinshi…”


“Lalu? Demi memenuhi keinginan Kakak──kamu nggak akan buka baju?”


Tanpa sepatah kata, aku menjatuhkan kepalan tangan ke kepala Nayu.

Sepertinya pukulan di ubun-ubun itu cukup mempan, karena ia meringis kesakitan dan jatuh terkulai ke lantai.


“Guooohhh…”


“Haaah… maaf, Yuuka. Adikku yang bodoh ini bikin repot.”


“B-bukan, malah aku yang harus minta maaf! Yuu-kun kan sebenarnya… memang ingin lihat, kan?”


“────Apa?”


Ucapannya yang tak terduga membuat pikiranku seketika macet. 


Entah apa yang ia pikirkan dari reaksiku, Yuuka pun memejamkan mata erat-erat. Dengan tangan terkepal menekan lututnya, ia berkata:


“H-hari ini aku sama sekali nggak ada kepikiran begituan… soalnya aku lagi pakai celana dalam yang kekanak-kanakan! Malu banget, jadi… celana dalam ini… nggak bisa!!”


──────“Celana dalam ini”…? Eh. Jadi kalau bukan yang ini? Kalau pakai yang lebih dewasa? Itu artinya… boleh?


Kepalaku mendadak berputar. Wajah Yuuka yang malu-malu justru makin mencengkeram hatiku. Mungkin karena melihat reaksiku, Yuuka buru-buru melanjutkan dengan pipi merah padam:


“Ah. E-ehm. M-mungkin nggak harus hari ini… aku butuh waktu untuk, apa ya, persiapan mental dulu…”


“A-ah, i-iya. M-melakukannya… sesuai dengan… tempo Yuuka aja.”


Kata-kataku berantakan. Otakku nyaris korslet.


“…Cih.”


Suasana yang canggung itu tiba-tiba dipotong Nayu, entah kenapa dengan wajah tidak senang.


“Nayu. Setelah bikin ribut kayak begini, ada komentar?”

“…Menurutku, ada juga kok orang yang justru suka pakaian dalam yang kekanak-kanakan.”


Tanpa kata-kata lagi, aku menjepit kedua pelipis Nayu dan menggerusnya kuat-kuat.


Sebenarnya, apa yang dia pikirkan tentangku? Ciuman pun belum pernah, masa sudah ngomongin pakaian dalam. Itu terlalu cepat.


Dan begitulah, di tengah semua keributan itu…Aku jadi sempat membayangkan pakaian dalam Yuuka. Tapi itu, jelas-jelas akan jadi rahasia abadi antara aku dan diriku sendiri.




Chapter 14

"Bukankah mandi bersama itu terlalu berbahaya? "

Hasilnya……


"Kalau suami-istri itu… biasanya mandi bersama, nggak?"


Tiba-tiba saja Nayu mengucapkan hal itu, membuat aku dan Yuuka langsung menyemburkan miso sup dari mulut. Setelah mengusap mulut dan menarik napas dalam-dalam, aku mulai menasihati Nayu.


"Nayu. Nggak ada yang kayak gitu."


"Benar! Itu terlalu berlebihan, Nayu-chan!!"


"Serius? Soalnya ayah pernah bilang, 'Waktu muda dulu aku juga sering mandi bareng dengan ibumu… aduh, ingin mati rasanya,' jadi aku penasaran."


"Kalau cuma bikin sakit hati pas mengingatnya, lebih baik nggak usah diucapin… Jadi, Nayu? Apa yang kamu pikirkan tentang pernyataan ayah itu?"


"Jijik, nggak banget."


Ya, tentu saja. Kalau aku bukan anak kandungnya, mungkin aku sudah mempertimbangkan untuk memutuskan hubungan keluarga.


"Tapi aku pikir, ada benarnya juga. Soalnya kan ada istilah ‘hubungan telanjang’."


"Biasanya istilah ‘hubungan telanjang’ itu dipakai kalau masuk onsen bareng sesama jenis, kan?"

"Betul! Seperti sesama pria yang mandi bareng… pipi senior yang kemerah-merahan, punggungnya yang bidang. Melihat itu, juniornya jadi nggak bisa menahan diri──"


Yuuka, Yuuka. Sekarang bukan saatnya membicarakan BL, tenang dulu.


"Ah, sudah… Nayu. Kenapa sih kamu selalu menyeret pembicaraan ke arah yang aneh?"


"……Soalnya, kalau kakak menikah, aku ingin Yuuka-chan berusaha sampai bisa memenuhi standar yang membuat Kakak puas."


"Aku sekarang juga nggak ada merasa kekurangan, kok."


"Aku nggak bilang hubungan kalian buruk. Tapi, gimana ya… belum kelihatan seperti suami-istri sungguhan."


"Itu nggak masalah. Kami punya irama kami sendiri."


Aku bisa mengerti maksud ucapan Nayu. Meskipun aku menjauh dari gadis dunia nyata, aku tetaplah siswa SMA yang sehat. Perasaan resah dan gelisah seperti itu… memang ada. Tapi, setiap kali terpikir "jangan-jangan aku bisa menyakiti dia," aku nggak pernah berani melangkah lebih jauh──


"A-aku mau! Aku… mau mandi bareng dengan Yuu-kun!!"


Kepada diriku yang diliputi ketakutan, Yuuka justru meledakkan sebuah pernyataan besar. Kata-kata yang sama sekali tidak kuduga itu membuatku benar-benar panik.


"Y-y-y-y-yuuka!?"


"Ka-karena kita calon suami-istri. Jadi aku ingin bisa saling memahami lebih dalam, kan? Aku ingin Yuu-kun merasa lebih bahagia, kan…?"

"Hmm. Sikap yang bagus."


Hei hei, ini sudah terlalu kebablasan, tahu! Dan kenapa sih, adikku yang bodoh itu malah tersenyum penuh percaya diri?


"Kakak siap untuk membuat Yuuka-chan berusaha keras, demi bisa bikin Kakak tersenyum setiap hari?"


"Tentu saja! Karena aku adalah──calon istrinya Yuu-kun!!"


"……Cih."


Begitulah. Aku dan Yuuka akhirnya jadi mandi bersama.



Shower yang dibiarkan mengalir deras membasahi kepalaku yang sedang duduk di kursi mandi. Air yang menghantam terus menerus membuat pikiranku sedikit tenang.


Ini adalah kamar mandi keluarga Sakata. Jadi, tentu saja──aku sedang telanjang bulat. Memang ada handuk yang menutupi bagian bawah, tapi tubuh bagian atasku terbuka sepenuhnya.


Ya… aku benar-benar telanjang.


"Haa…"


Sambil mendengarkan suara air yang jatuh ke lantai, pikiranku melayang membayangkan masa depan yang akan segera datang.


──Yuu-kun… jangan menatap terlalu lama ya.

──Tapi kalau Yuu-kun… boleh kok, menyentuhku?


Byur byur byur byur!! 


Aku buru-buru mengambil shower dan menyemprotkan air deras langsung ke wajahku dari jarak dekat. Sakitnya luar biasa. Bibirku sampai bergetar. Tapi kalau tidak begitu──Yuuka dalam imajinasiku bisa membuat hatiku jadi gila.


"Yuu-kun!"


Aku refleks terkejut sesaat, tapi… tenanglah, Sakata Yuuichi. Walaupun itu Yuuka, dia tetap gadis dunia nyata. Tidak mungkin semua kejadian bisa berjalan semanis cerita gadis dua dimensi. Jangan terlalu berharap, nanti malah kecewa. Jangan kebablasan sampai membuat dia tidak nyaman.


──Tapi kalau Yuu-kun… boleh kok, menyentuhku?


Dug! Dug!


Aku membenturkan dahiku ke sudut bathtub. Itu demi melenyapkan perasaan kotor yang kembali muncul. Sakitnya luar biasa.


"Tunggu, Yuu-kun!? Tadi kedengarannya keras banget, kamu nggak apa-apa!?"


"A-aman… barusan cuma sedikit pengusiran setan."


"Kalau didengar tadi, malah kayak kamu yang sedang kerasukan, sih…"


Itu memang tidak salah, jadi aku tak bisa membantah.


"Kakak. Apa hawa nafsu sudah berhasil diusir?"


Suara dingin Nayu terdengar dari luar kamar mandi. 


Memang sudah seharusnya, adik perempuanku bisa membaca semua tingkah lakuku.

"Kalau begitu, Yuuka-chan masuk ya. Tapi ingat baik-baik… akur, ya. cih."


"Apa maksudnya ‘cih’ itu!? Padahal acara ini juga kamu yang mulai!"


"Berisik."


Begitu komentarku diabaikan, pintu kamar mandi perlahan terbuka dari dalam. Dan yang berdiri di sana adalah──Yuuka yang mengenakan school swimsuit.


"…Hah?"


Otakku tak sanggup memproses, hingga suara bodoh tanpa sadar keluar dari mulutku.


Mungkin supaya kacanya tidak berembun, dia melepas kacamatanya. Di bagian kanan bawah baju renang itu tertulis jelas namanya: Watanae Yuuka. Itu membuktikan kalau pakaian yang dia kenakan memang──‘asli’.


"Ma-maaf ya, Yuu-kun… aku tetap saja malu kalau harus telanjang."


"Itu kompromi yang aku usulkan."


"Jadi ulahmu, Nayu…?"


Memang sih, tubuhnya jadi tertutup. Tapi tetap saja, kondisi di mana ada teman sekelasku yang mengenakan school swimsuit di kamar mandi rumahku… sama sekali nggak kalah berbahaya. Bahkan, bisa dibilang lebih terlarang daripada telanjang.


"J-jadi, Yuu-kun. Aku masuk ya."


"O-oke…"

Begitulah. Dengan hanya handuk melilit pinggangku, aku duduk di kursi mandi. Sementara Yuuka yang mengenakan school swimsuit berdiri di belakangku.


──Terciptalah sebuah suasana abnormal.


"A-aku cuci punggungmu ya?"


"O-oke…"


Pletak.


"Hh!?"


Tangan Yuuka yang penuh busa sabun menyentuh punggungku. Dengan gerakan lembut, ia mengusap-usap langsung kulit punggungku. Begitu kusadari bahwa tangan mungil Yuuka benar-benar menyentuh kulitku… kepalaku perlahan menjadi kosong.


"Ada bagian yang gatal nggak?"


"T-tidak ada…"


"Kamu bisa lebih tegakkan punggungmu, lho?"


"T-tidak apa-apa!"


Ucapannya memang baik, tapi tolong biarkan aku tetap membungkuk dulu.


"Aku juga akan cuci bagian perutmu, ya."


"P-perut juga!?"


"Ya iyalah! Kalau nggak dicuci dengan benar, nggak ada gunanya, kan!!"

Nyurup.


Tangan Yuuka menyelusup dari bawah ketiakku, lalu mulai mengusap bagian perutku──licin penuh busa. Sesekali kain baju renangnya bergesekan dengan kulitku, membuatku tanpa sadar membayangkan Yuuka yang kini sedang penuh busa dengan pakaian renang sekolahnya.


Apa ini… aku bisa mati… aku pasti mati…


"…Hmm."


Di telingaku yang hampir mencapai puncak ekstasi, Yuuka menghela napas dengan suara menggoda. Lalu, seolah membuat keputusan, ia berbisik pelan, "Baiklah."


"Yuu-kun, tolong lepaskan handuknya?"


"Ha-hah!?"


"Aku ingin mencuci dengan lebih baik. Soalnya──aku jadi merasa senang saat mencuci!"


Kenapa dia malah tambah bersemangat!?


Saat aku menoleh, mata Yuuka berkilauan penuh semangat.


Terlalu polos, bukan!?


Karena air dan busa, school swimsuit-nya jadi berkilap dan licin. Aku makin membungkukkan badan, sampai posisinya hampir seperti udang.

Kalau ini terus berlanjut, aku bisa gila… ahh, gadis alami ini benar-benar…


"Ayo, Yuu-kun. Lepaskan handukmu."


"Tidak bisa. Tidak boleh. Aku tidak sanggup."


"Ke-na-pa-a!? Padahal aku ingin mengabdi sepenuh hati sebagai istri Yuu-kun~!!"


"Aku sudah cukup senang! Itu sudah yang terbaik! Ya, selesai!!"


"Nggak mau~. Aku ingin mencapai yang lebih tinggi~!!"


"Tidak bisa ya tetap tidak bisa!! Nayu! Kau juga bilang sesuatu pada Yuuka, cepat!!"


"…Hmm. Iya juga sih."


Suara Nayu yang terdengar dari luar pintu lebih rendah dari biasanya.


Hah? Aku memang tak bisa melihat wajahnya lewat pintu… tapi, apa dia sedang kesal?


"Nayu? Hei, Nayu?"


"Nayu-chan! Aku akan berusaha, tahu!! Demi senyuman Yuu-kun, aku akan berusaha!!"


"…Hebat juga, Yuuka-chan."


"Tidak perlu! Itu tidak perlu sama sekali!!"


Aku menggenggam erat handuk, berusaha menutupi bagian pangkal kakiku. Sementara itu, Yuuka (dengan school swimsuit) berusaha keras menarik handukku. Dan entah kenapa, di balik pintu, Nayu terdengar seperti sedang kesal.


────Apa-apaan, sih, situasi ini!?


"Kalau akrab, bukankah itu bagus? cih."


Sepertinya suara Nayu terdengar dari luar kamar mandi. Tapi karena aku sedang sibuk mati-matian melindungi bagian paling pentingku… aku tak bisa menangkap dengan jelas apa sebenarnya yang dia katakan.




Chapter 15

【Mengharukan】

Adikku yang cuek dan tunanganku akhirnya akrab


Liburan Golden Week yang terasa panjang sekaligus singkat itu, akan berakhir besok. Matahari sudah benar-benar tenggelam di langit barat, membuat halaman depan rumah jadi gelap gulita.


Sambil menatap pemandangan itu dengan kosong dari balkon, aku meregangkan tubuh dengan tarikan panjang.


"Yuuka lama sekali, ya."


Hari ini dia ada rekaman untuk Arisute, jadi sore tadi dia berangkat keluar. Sekarang sudah lewat pukul delapan malam. Apa dia baik-baik saja? Apa aku harus menjemputnya?


"Khawatir?"


Sebuah suara tenang terdengar dari belakangku, saat aku masih gelisah sendiri. Saat menoleh, kulihat Nayu berdiri di sana dengan handuk di bahu. Rambutnya yang masih basah, belum benar-benar kering, menempel lemas.


"Rasanya bagaimana, kalau kau di rumah santai begini, sementara istrimu bekerja sampai larut malam?"


"Kalau kau bicara begitu, kesannya jadi salah, tahu."


"Cih."


Dengan cuek, Nayu mengacak rambut pendeknya yang masih basah.

Pakaiannya sederhana, hanya T-shirt putih dan celana pendek. Lalu dia bergumam pelan.


"Besok aku pulang."


"Begitu ya. Jaga kesehatanmu."


"Iya. Terima kasih."


Dari jauh terdengar suara pesawat terbang di langit. Meski langit malam di kota tidak banyak bintang, kalau dilihat begini tetap cukup indah.


"Tentang Yuuka-chan."


"Hm."


"Akhirnya bagaimana? Setelah tinggal bersama."


"Hmm… tidak seburuk yang kukira, mungkin. Cukup menyenangkan, malah."


Mungkin karena udara malam, atau karena adik perempuanku yang membuatku lebih mudah bicara. Entah kenapa, malam ini aku bisa mengucapkan perasaan yang biasanya sulit kusampaikan.


"Aku masih ingat jelas, waktu kakak berhenti sekolah pas kelas tiga SMP."


"Lupakan saja. Itu masa lalu yang memalukan."


"Orang yang kakak tembak itu brengsek. Dia bukan cuma menolak, tapi juga menyebarkannya ke seluruh kelas."


"Sudahlah, Nayu. Memang salahku juga karena terlalu gegabah."

"Meski begitu, waktu itu kakak diejek dan diganggu habis-habisan. Sampai benar-benar mengurung diri di kamar. Seingatku, kakak tidak keluar hampir seminggu."


"Ya… waktu itu memang mentalku hancur total."


"Sekarang juga begitu."


Nayu mengucapkannya dengan nada dingin, seolah meludah. Aku menoleh dan menatap wajah adikku di sampingku. Dari ekspresinya, aku bisa merasakan… entah bagaimana, ada kesepian yang tersirat.


"Memang betul, kakak akhirnya mau sekolah lagi. Di luar kelihatan bisa berbaur. Tapi itu hanya di permukaan. Dulu, kakak lebih sering tertawa dari hati."


"Aku tidak berubah sejauh itu."


"Jangan bohong. Aku adikmu, jadi aku tahu."


Ya, di musim dingin kelas tiga SMP, aku benar-benar jatuh ke dasar.

Tapi saat itu, "Love Idol Dream! Alice Stage☆"—dan Yuuna-chan—yang menyelamatkanku. Karena Yuuna-chan selalu tertawa polos. Karena Yuuna-chan selalu bicara ceria padaku. Aku bisa bangkit kembali. Aku sempat bertekad: tidak akan jatuh cinta pada siapa pun lagi. Hanya gadis di balik layar ini yang akan kucintai selamanya. Dan karena tekad itulah—aku yang sekarang bisa ada.


"Kakak, ingat waktu aku sempat berhenti sekolah sebentar waktu kecil?"


"Hm? Sekitar kelas tiga atau empat SD, ya? Iya, aku ingat."


"Waktu itu aku beda banget sama sekarang… lebih feminin. Suka barang-barang imut."

"Lebih feminin? Bukannya waktu itu kau lebih kayak anak yang sok manja?"


"Diamlah. Nyebelin banget."


Memang, waktu itu Nayu hampir seperti tipikal gadis manis. Tapi seiring naik kelas, ia makin sering jadi bahan olok-olokan.


"Waktu itu aku mutusin sesuatu. Aku tidak mau kalah dari orang-orang itu. Jadi aku mengubah diriku… dan jadi seperti sekarang."


"Benar juga. Mulai saat itu cara bicara dan penampilanmu berubah jadi seperti sekarang."


"Tuh, kan."


"Dan setelah berubah, Nayu puas dengan dirimu sekarang?"


Dia sempat berpikir sebentar, lalu menjawab.


"Kalau dipikir-pikir, iya. Aku bahagia kok."


"Jadi kau ingin aku juga begitu?"


"Bukan begitu… kalau aku bilang sampai segitunya, itu sombong namanya."


Nayu menatap jauh, lalu sambil masih memandang ke samping, dia bergumam pelan.


"Aku cuma ingin kakak bisa tertawa lagi, seperti dulu. Bagaimanapun juga, kita ini kakak-adik. Aku tidak mau lihat kakak terus kelihatan menderita. Jadi… kalau kakak benar-benar mau menikah dengan Yuuka-chan, paling tidak…"


Dia berbalik menghadapku, lalu tersenyum sedikit dengan wajah sendu.


"Aku hanya ingin Yuuka-chan bisa jadi istri yang mampu membuat kakak tersenyum. Itu saja, sungguh."


Saat itu—


Brak! Pintu kaca yang menghubungkan ke balkon terbuka keras.


"Maaf, Yuu-kun, Nayu-chan! Aku pulang terlambat!!"


Yuuka muncul, terengah-engah seperti habis berlari. Pipi memerah, kacamatanya berembun oleh keringat. Rambutnya juga berantakan.


"Aduh, kupikir kalian ke mana. Begitu pulang, rumahnya kosong sama sekali."


"Sejauh apa kau lari? Kau basah kuyup keringat."


"Aa! Tunggu dulu!! Jangan terlalu mendekat!! Larangan mendekat!"


Saat aku hendak berlari menghampiri, Yuuka melambaikan kedua tangan dengan heboh. Lalu, ia meraih kerah tuniknya dan mendekat-kannya ke hidungnya sendiri.


"…Aku sekarang pasti bau keringat. Tidak mau."


"Padahal aku tidak peduli soal begituan."


"Ah, tidak! Yuu-kun pasti peduli! Karena Yuuna tidak pernah bau keringat, kan!!"


Baru saja ia mengeluarkan argumen ekstrem, tiba-tiba ia menambahkan.

"Aku akan berusaha jadi istri yang… tanpa bau, demi Yuu-kun!"


"Pfft! Ahahaha!!"


Karena ia menatapku dari bawah dengan serius sambil mengatakan itu, aku tidak tahan dan tertawa keras.


"Heii! Jangan ketawa! Bagi gadis, ini masalah penting tahu!!"


"Maaf, maaf… pfft! Ahahahaha!!"


"Hei, kamu tertawa berlebihan, kan!?"


Aku tidak bisa berhenti tertawa, benar-benar kena di titik lemahku.

Yuuka yang kesal menggembungkan pipinya.


"Aduh, Yuu-kun keterlaluan!"


"Maaf, maaf. Pokoknya, kalau terus berkeringat nanti masuk angin. Ayo masuk ke dalam—"


"Cih."


Nayu yang sejak tadi memperhatikan kami, menurunkan handuk ke kepalanya, menyelipkan jari-jarinya ke saku celana pendek, lalu berjalan masuk ke dalam kamar.


"Ah, tunggu, Nayu-chan."


Yuuka memanggil Nayu yang hendak masuk duluan.


"…Apa?"


Nayu berhenti seketika. Yuuka menghampirinya, lalu menggeser handuk yang menutupi kepalanya.

"Kalau tidak dikeringkan benar, nanti masuk angin, lho?"


"…Tidak apa-apa. Aku kuat."


"Tidak, itu tidak baik. Masuk angin bisa jadi penyakit serius juga. Sejak jadi seiyuu aku jadi lebih sensitif soal ini. Sakit tenggorokan itu menakutkan sekali, tahu?"


"……"


Karena kepalanya tertutup handuk, aku tidak bisa melihat wajah Nayu. Tapi karena ia diam saja membiarkan Yuuka mengeringkan rambutnya, berarti ia tidak menolak.


"Kalau kakak yang hampir masuk angin, apa kamu juga akan bilang begitu?"


"Eh? Ya tentu saja. Menjaga kesehatan suami itu kewajiban seorang istri!"


"Kalau kakak terlihat kesepian, apa yang akan kamu lakukan?"


"Hm, kalau lagi kelihatan kesepian yaa…"


Yuuka menempelkan jari ke dagunya, berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar.


"Aku akan membuatnya tertawa dulu. Supaya rasa sepi itu hilang."


"…Hm."


Nayu mengangguk tipis, lalu menggenggam ujung handuknya.


"Coba saja buat kakak tertawa sampai lelah, dengan sepenuh hati."


Masih membelakangi Yuuka, ia berbisik lirih.


"Aku titip kakakku padamu ya… Kakak Ipar."



Setelah Nayu masuk ke kamar, aku menyerahkan handuk yang kubawa pada Yuuka, dan entah bagaimana kami berdua menatap langit. Sambil mengeringkan rambut dengan kasar, Yuuka menunjuk langit.


"Lihat, Yuu-kun. Malam ini bulan sabit!"


"Kelihatan pakai topi kabut. Besok mungkin hujan."


"Ah, iya juga. Golden Week berakhir dengan hujan, duh, menyebalkan."


Waktu yang damai. Suasana yang tenang.


"…Ehehe. Ehehee."


"Itu apa sih, ketawa kayak makhluk aneh begitu."


"Makhluk aneh!? Itu kasar tahu!"


Ya wajar saja, soalnya ia ketawa dengan wajah aneh.


"Soalnya… aku dipanggil ‘Kakak Ipar’, lho?"


"Kau tidak punya saudara, kan, Yuuka?"


"Ah… kalau di rumah, adikku itu sok merasa lebih dewasa dari aku, padahal dia masih SMP. Jadi dia tidak pernah memanggilku ‘kakak’."


"Kalau melihat kelakuanmu di rumah, aku juga bisa paham sih."

"Maksudmu apa!? Bukan itu maksudku!"


Ia sempat melotot sebentar (walau tidak menakutkan), lalu menghela napas dan tersenyum lembut.


"Rasanya seperti diakui sebagai keluarga oleh Nayu-chan. Jadi aku merasa, ‘ah, aku benar-benar sudah jadi keluarga Yuu-kun’… dan itu bikin bahagia, tahu?"


"Kan kita sudah tunangan, jadi dari dulu pun sudah seperti keluarga."


"Iya, tapi rasanya berbeda kalau diterima oleh keluarga lain. Jadi lebih terasa benar-benar keluarga!"


Diterima… ya, memang benar. Nayu yang keras kepala dan suka bicara pedas itu sampai bilang "Aku titip kakakku", berarti usaha Yuuka sebagai calon istri sudah terlihat bukan hanya olehku, tapi juga oleh keluargaku.


"…Aku juga harus lebih berusaha, ya."


"Hm? Apa tadi?"


"Bukan apa-apa."


"Apa sih, bikin penasaran!"


"…Kalian berisik sekali. Ganggu tetangga tahu."


Gesrek! Pintu kaca balkon dibuka, Nayu menatap kami tajam.


Yuuka langsung berseru, "Kyaa, imut!" lalu menghampirinya dan mengacak-acak rambutnya. Ternyata, tipe begini yang jadi kelemahan adikku yang merepotkan ini.


Saat aku sedang berpikir begitu—Nayu menatapku serius dengan nada rendah.


"…Kakak, jangan ketawa. Aku serius."


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close