NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Boku no Kokoro no Yabai Yatsu Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Tensa

Proffreader: Tensa


Chapter 4

Mama Yamada Ingin Mereka Menyatakan Cinta


Jika ditanya tentang kesan terhadap pasangan Yamada, aku mungkin akan menjawab "Si Cantik dan Si Buruk Rupa". Mungkin ini terdengar tidak sopan, tapi setiap kali melihat mereka berdua, kata-kata itu selalu terlintas di pikiranku.

Maksudnya adalah mereka seperti pasangan "Si Cantik dan Si Buruk Rupa"—sekaligus juga mengandung nuansa bahwa mereka adalah pasangan yang sungguh berharga, dicintai oleh semua orang di dunia, seperti dalam kisah terkenal itu.

Si Cantik, alias Mama Yamada.

Kesan pertamaku... dia terlihat seperti ibu yang sangat peduli pada pendidikan anaknya.

Pertama kali aku melihatnya adalah saat pertemuan tiga pihak.

Wanita cantik yang duduk di sebelah Yamada memancarkan aura yang tegas. Tatapannya tajam, punggungnya tegak, dan seluruh penampilannya memiliki kharisma seperti seorang model.

Saat itu aku berpikir, "Orang yang berbeda memang berasal dari orang tua yang berbeda."

Namun, setelah beberapa kali berbicara dengannya, kesan anggun itu perlahan memudar. Dia bersikap lembut terhadap kami, teman sekelas anaknya, dan bahkan berbicara dengan riang dan santai saat minum alkohol.

Yang terpenting—Mama Yamada adalah seorang ibu yang sangat menyayangi putrinya.

Meski terlihat tegas, dia tidak hanya tegas.

Tegas, cantik, dan juga lembut.

Dia benar-benar seorang mama yang luar biasa.

Si Buruk Rupa, alias Papa Yamada.

Kesan pertamaku... dia adalah seorang raksasa.

Saat berpapasan dengannya di lift apartemen, aku sampai menahan napas.

Rambut berantakan. Mata gelap dan dingin yang menatap dari balik poni yang turun. Dan tubuh yang luar biasa besar. Saat berhadapan dengannya, tubuhku secara naluriah merasakan ketakutan.

Bahkan setelah tahu dia adalah ayah Yamada, kupikir mereka sama sekali tidak mirip kecuali tinggi badannya. Berbeda dengan Yamada yang cerah dan bebas, aku takut ayahnya adalah orang yang pendiam, suram, dan sulit didekati.

Tapi ternyata Papa Yamada sebenarnya—tidak semenakutkan atau sesuram itu.

Dia menyukai game sepertiku, dan kami bahkan bisa mengobrol seru tentang hal-hal yang berhubungan dengan game. Padahal seharusnya dia tidak tertarik dengan laki-laki yang berkeliaran di sekitar putrinya yang sedang dalam masa puber... Tapi entah kenapa, aku merasa dia selalu bersikap tulus kepadaku.

Katanya dia bekerja sebagai chef di restoran Prancis, dan tentu saja masakannya sangat enak.

Dia benar-benar seorang papa yang luar biasa.

Mama Yamada dan Papa Yamada.

Melihat kedua orang tua itu, ajy bisa memahami betapa Yamada tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang.

Dan betapa Yamada sendiri sangat mencintai kedua orang tuanya.

Sebagai pacarnya, aku juga ingin menghargai orang-orang yang berharga bagi Yamada.

Aku ingin menjadi pacar yang pantas diakui oleh mereka berdua.

Mungkin perjalanannya masih panjang... tapi pasti akan baik-baik saja.

Pasti akan berjalan lancar.

Mereka berdua sangat baik dan berkarakter mulia.

Biasanya, hal yang paling sulit dalam menjalin hubungan adalah mendapat restu dari ayah sang pacar, tapi Papa Yamada sudah mengizinkan hubungan kami dengan mengatakan "boleh"—

"--Apakah kau sudah siap, Ichikawa-kun?"

Suara berat pria itu membuat tubuhku gemetar sampai ke tulang.

Tempatnya adalah di apartemen keluarga Yamada.

Di ruang tamu yang lapang, aku berhadapan dengan Papa Yamada.

Dia menurunkan pinggangnya, kedua tinjunya menyentuh lantai.

Postur condong ke depan dengan berat badan bertumpu pada tinjunya.

Tatapan gelapnya yang tajam tertuju lurus ke arahku, dan di baliknya terlihat emosi yang hampir seperti nafsu membunuh.

Menghadapi tekanan luar biasa yang mengingatkan pada predator besar yang ganas, aku merasakan bahaya mengancam nyawa.

Gigi gerahamku bergemeretak.

Ingin segera melarikan diri, tapi—aku tidak bisa lari.

Mati-matian menekan rasa takut, aku pun menurunkan pinggang dengan cara yang sama.

"Ayo, berhadapan, berhadapan," kata Mama Yamada dengan suara riang. Pipinya sedikit memerah, menunjukkan bahwa suasana hatinya sedang baik karena pengaruh alkohol.

Di sampingnya, Yamada mengawasi pertandingan kami dengan wajah cemas.

"Mulai... pertandingan!"

Mama Yamada mengayunkan tangannya ke bawah, memberi tanda dimulainya pertandingan.

Omong-omong—aba-aba dari wasit seperti ini hanya ada di sumo amatir. Dalam sumo profesional, wasit tidak memberi aba-aba. Waktunya ditentukan oleh para pegulat sumo yang menyesuaikan napas mereka.

Sumo, ya sumo.

Aku dan Papa Yamada sekarang—akan bertarung dalam sumo.

Terus terang... ini benar-benar tidak masuk akal.

Meskipun sumo adalah olahraga tanpa batasan berat badan... tetap saja perbedaan ukuran tubuh kami terlalu jauh. Ini bisa dibilang tindakan bunuh diri.

"U-uwaaaaa!"

Entah karena mengumpulkan keberanian, atau karena ketakutan yang sudah melampaui batas sehingga menjadi nekat.

Dengan kondisi mental yang ekstrem yang aku sendiri tidak mengerti, aku menyerang tubuh raksasa Papa Yamada dengan kecepatan penuh.

Ah.

Kenapa.

Kenapa bisa jadi begini, ya.


Pada suatu hari di liburan musim panas—

Aku sedang berjalan pulang bersama Yamada di rute yang biasa kami lewati.

Kebetulan waktu aku pulang dari tempat les dan dia pulang kerja bertepatan, jadi kami memutuskan untuk pulang bersama dari stasiun. Yah, sebenarnya meski waktunya agak berbeda, kami tetap janjian untuk pulang bersama.

"Hei, Kyotaro... kamu suka gadis kelinci?"

"...Puah!"

Aku nyaris menyemburkan napasku.

Meskipun ini jalan pulang yang sepi, tapi topik macam apa ini?

"A-ada apa tiba-tiba?"

"Aku tiba-tiba teringat. Waktu sebelumnya, kita pulang bersama dari stasiun seperti ini. Hari itu ulang tahunmu, kan?"

"...Oh, iya."

Tanggal 26 Maret tahun ini—tepat di hari ulang tahunku yang ke-14, kebetulan aku dan Yamada pulang bersama. Waktu itu sudah malam, tapi di musim ini hari masih terang.

"Kamu dapat hadiah dari kakakmu, kan? Figure dari game yang kamu suka... figure gadis kelinci."

"............"

Oh iya, ada kejadian seperti itu!

Dari sekian banyak waktu, kenapa harus memberikan hadiah seperti itu saat Yamada ada di sana...!

Yah, sebenarnya... akulah yang memaksa kakak yang ragu-ragu itu.

Dia memberikannya di depan Yamada dan orang tuaku... bahkan membukanya dari kotak. Malu rasanya dilihat Yamada... tapi diperhatikan oleh orang tuaku sendiri saat melihat figure gadis kelinci itu juga merupakan rasa malu yang membuatku ingin mati saja.

"Figure-nya lucu, ya," kata Yamada.

Nada bicaranya ceria, tapi matanya sedikit serius.

Aku merasa seperti sedang diawasi dengan cermat, seolah-olah dia memperhatikan nada suara dan ekspresi wajahku sambil berpura-pura mengobrol santai.

"I-iya... begitulah."

"Kamu suka gadis kelinci?"

"...A-aku ingin jelaskan, game tempat gadis kelinci itu muncul—'Pluto Academia' bukanlah game yang tidak senonoh. Game itu terkenal karena latar dunianya yang mendalam, cerita yang inovatif, dan sistem pertarungan yang rumit. Keseimbangan gamenya memungkinkan pemain untuk menikmatinya tanpa harus membayar, jadi cocok untuk pelajar sepertiku. Y-yah... memang benar ada banyak karakter gadis cantik, dan itu juga salah satu daya tariknya, tapi aku menghargai 'PluAka' sebagai sebuah game secara keseluruhan. Soal figure itu—Asuka, aku menyukainya sebagai karakter, bukan hanya karena dia gadis cantik—"

"Kamu suka gadis kelinci?"

Dia tidak membiarkanku lolos.

"...Y-yah, mungkin bisa dibilang laki-laki yang tidak suka itu langka."

Aku menjawab sambil menahan malu. Ada apa ini?

Apakah ini semacam siksaan baru?

"Hmm. Begitu, ya."

Yamada berkata dengan bibir yang sedikit mengerucut, terdengar agak merajuk.

"Figure itu, masih kamu pajang?"

"...Yah, karena hadiah yang berharga, rasanya sayang kalau dibuang."

"Hmm. Kalau ada benda seperti itu di kamar, sepertinya sulit berkonsentrasi belajar, ya."

"A-aku tidak melihatnya dengan pandangan aneh, aku hanya menikmati keindahan bentuknya dari sudut pandang keingintahuan intelektual..."

"Hmm. Jadi kamu menikmatinya."

Dia mulai terdengar sedikit menggoda.

Apa ini... m-mungkinkah, dia cemburu?

Mungkinkah dia benar-benar cemburu pada figure gadis kelinci itu?

Atau mungkin dia hanya berpikir bahwa pacarnya yang memajang figure gadis kelinci di kamarnya itu menjijikkan.

Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kukatakan sebagai pacarnya—

"...K-kalau boleh jujur, aku lebih ingin memajang figure Yamada daripada karakter itu."

"Eh?"

"Ah."

Sepertinya aku salah bicara!

Aku merasa telah membuat kesalahan fatal dalam mencoba memperbaiki situasi!

Wajah Yamada mulai memerah. Aduh, aku sudah mengatakan sesuatu yang menjijikkan. Menginginkan figure pacarnya sendiri... bukankah itu terlalu mesum?

"Kyotaro... kamu ingin figure diriku?"

"...Eh, itu..."

"Figure diriku... dengan kostum kelinci?"


"Aku tidak bilang kostum kelinci!"

"...Mau kamu gunakan untuk apa?"

Dia menatapku lekat-lekat. Gunakan? Kalau kamu mengatakannya seperti itu, nuansanya jadi tidak enak. Itu bisa menimbulkan berbagai prasangka buruk.

"...M-mungkin untuk mengusir kesepian?"

Setelah berpikir keras, akhirnya aku menjawab dengan lirih.

"...Hmm. Kalau begitu, kurasa tidak apa-apa."

Yamada tersenyum puas.

Syukurlah.

Sepertinya kali ini aku tidak salah dalam memperbaiki situasi.

"Apa agensi akan membuatkan figure diriku kalau aku minta, ya?"

"Jangan. Jangan merepotkan agensimu."

Aku menegurnya, tapi... hmm.

Figure Yamada, ya.

Kalau aku yang merancangnya, seperti apa ya yang akan kubuat? Misalnya... mereproduksi meja dan kursi perpustakaan, dengan Yamada dalam ukuran sebenarnya sedang menopang dagu dan menghadap ke arahku? Tidak... itu terlalu spesifik dan menjijikkan. Ide seperti ini hanya bisa terpikirkan oleh orang mesum. Kalau sampai terwujud, orang-orang pasti akan berpikir ada orang mesum di antara pihak yang terlibat.

Sementara kami mengobrol seperti itu—kami tiba di apartemen tempat keluarga Yamada tinggal. Sebagai pacar yang baik, aku mengantar dia sampai ke rumahnya.

"Kalau begitu, aku pulang dulu."

"Ah. Tunggu."

Saat aku hendak berpamitan, dia menahanku.

"Karena sudah sampai sini... mau mampir sebentar? Sebenarnya hari ini, Mama dan Papa—"

"Eh, eh?"

"Katanya mereka berdua pulang cepat hari ini!"

"...Oh, begitu."

Memalukan.

Aku benar-benar malu pada diriku sendiri yang sempat berdebar-debar.

Aku pikir ini akan menjadi pola "Hari ini orang tuaku tidak pulang...".

"Mama dan Papa juga sudah lama tidak bertemu Kyotaro, jadi mereka pasti senang."

"Tapi, naik ke atas hanya untuk itu—"

Aku mulai bicara, tapi kemudian berpikir sejenak.

Tunggu. Mungkinkah ini adalah waktu yang tepat?

Kamp belajar musim panas yang akan segera datang.

Di sana, aku akan makan dan tidur bersama Yamada.

Dari sudut pandang lain—bisa dibilang ini adalah kencan menginap pertama kami.

Tentu saja, karena ada banyak peserta lain, ini sama sekali bukan kencan.

Yamada bilang dia sudah mendapat izin dari orang tuanya... tapi aku belum menyampaikan salam atau semacamnya kepada kedua orang tuanya.

Hal itu sedikit mengganjal di hatiku.

Tapi... kalau tiba-tiba memberi salam secara formal, itu juga bisa menimbulkan kesan yang aneh. Dengan meminta izin secara resmi, malah bisa terkesan seperti kami berencana untuk melewati batas tertentu...

Haruskah aku memberi salam, atau tidak?

Pilihan mana yang tidak akan dianggap tidak sopan?

Aku masih bingung memikirkannya—tapi mungkin ini adalah waktu yang tepat.

Sekalian mengantar Yamada pulang, aku bisa menyampaikan salam tentang kamp belajar dengan santai.

Mungkin cara seperti itu adalah keseimbangan yang tepat.

"...Baiklah. Aku akan mampir sebentar."

"Hore!"

Tanpa mengetahui kegelisahanku, Yamada tersenyum gembira.

"Wah, Ichikawa-kun, sudah lama tidak bertemu, ya."

Mama Yamada menyambutku dengan gembira.

"Kebetulan, makan malam baru saja siap. Mau ikut makan, Ichikawa-kun?"

"Eh. Tidak, tidak perlu sampai begitu..."

"Sudah, tidak apa-apa. Jangan sungkan. Hari ini Papa yang memasak, lho. Sayang kalau tidak dicoba."

Niatku hanya ingin memberi salam di pintu masuk, tapi aku malah dipaksa masuk ke dalam.

Kalau diperhatikan, wajah Mama Yamada sedikit memerah.

Sepertinya dia sudah mulai minum.

Mama Yamada memang sedikit berubah karakternya kalau mabuk.

"Papa. Ichikawa-kun datang berkunjung. Makanannya cukup untuk satu porsi lagi, kan?"

"...Tidak masalah."

Berbeda dengan Mama Yamada yang ceria, Papa Yamada tetap dengan suasana hatinya yang biasa.

Di meja makan sudah tersaji berbagai hidangan. Hidangan utamanya terlihat seperti gratin, tapi pasti itu adalah hidangan kelas satu yang dibuat dengan berbagai tahapan rumit.

Di sudut ruang tamu, ada Wantaro yang sedang duduk. Dia melirikku sejenak, tapi segera memalingkan pandangan seolah-olah tidak peduli. Aku bingung apakah dia sudah terbiasa denganku atau malah meremehkanku.

Kedua orang tua Yamada.

Dan juga, Wantaro.

Seluruh keluarga Yamada berkumpul di sini.

Setelah memberi salam ringan kepada Papa Yamada yang ada di dapur, aku duduk di tempat yang sama seperti saat aku datang untuk memberi salam tentang hubungan kami dulu.

"Mm~! Hari ini juga enak sekali~!"

Yamada yang duduk di sebelahku menunjukkan reaksi yang bagus saat memakan gratin.

Aku juga mencoba satu suapan.

...Yah, enak. Seperti biasa, rasanya luar biasa enak dan entah kenapa membuat hati tenang. Aku merasa tidak enak hati karena bisa makan gratis seperti ini.

"Ichikawa-kun."

Papa Yamada membuka mulutnya.

Mendengar suaranya yang berat, secara refleks aku menegakkan punggungku.

"Onion Gratin Soup, apa kamu sudah mencoba membuatnya?"

"...!"

Gawat. Kalau ditanya soal itu, aku dalam masalah.

Pada hari aku datang untuk memberi salam tentang hubungan kami, aku berkata.

—Tolong ajarkan saya resep sup ini.

Aku sendiri yang meminta, dan Papa Yamada memberikan resepnya padaku.

Tapi... sejujurnya, aku hampir tidak pernah membuatnya.

Aku memang pernah berniat mencobanya, tapi persiapan bahannya ternyata lebih rumit dari yang kukira, dan oven di rumahku sepertinya tidak cocok... Setelah itu aku juga sibuk dengan konser kakakku dan belajar untuk ujian masuk—tidak.

Ini semua hanya alasan.

Padahal aku sendiri yang meminta dan diajarkan.

Padahal Papa Yamada sudah berkata "Aku menantikannya".

Aku rasa itu bukan hanya tentang sup, tapi tentu saja termasuk juga tentang sup.

Aku telah mengabaikan janji dengan ayah pacarku—

"M-mengenai hal itu, saya benar-benar minta maaf..."

Saat aku mulai berbicara dengan perasaan bersalah yang luar biasa,

"Aduh, Papa ini. Jangan menggoda Ichikawa-kun, dong!"

Mama Yamada berkata dengan pipi menggembung, terlihat tidak puas.

Sambil mencolek pipi Papa Yamada yang ada di sebelahnya.

"Ichikawa-kun kan sekarang peserta ujian? Ini adalah masa penting yang mempertaruhkan masa depannya, jadi dia tidak bisa hanya fokus pada memasak saja, kan? Meski begitu... tidak perlu mengatakan hal yang jahat seperti itu."

"Aku tidak bermaksud mengatakan hal yang jahat..."

Setelah berkata dengan nada yang sulit, Papa Yamada kembali menghadap ke arahku.

"Aku ingin menyampaikan bahwa kamu tidak perlu terburu-buru."

"Eh..."

"Aku tidak memberikan resep itu dengan harapan kamu segera membuatnya. Yang menentukan apa yang penting bagimu saat ini seharusnya bukan aku, tapi kamu sendiri. Aku pikir, daripada terburu-buru mengejar hasil jangka pendek, terkadang mengambil jalan memutar juga penting. Perjalanan yang kamu tempuh dengan penuh perjuangan akan tercermin dalam kedalaman rasa—"

"Pembicaraanmu terlalu panjang."

Ketika Mama Yamada berkata dengan terus terang, Papa Yamada terdiam.

"Jadi, intinya apa?"

"...Sekarang fokus saja pada ujianmu."

"T-terima kasih banyak."

Aku menundukkan kepala mendengar kata-kata Papa Yamada yang disampaikan dengan lebih sederhana.

Sungguh, aku sangat berterima kasih.

Meskipun aku hanyalah pacar yang masih belum dewasa, kedua orang tua Yamada memperlakukanku dengan sangat hangat.

Aku merasa ingin menangis saking berterima kasihnya.

Onion Gratin Soup... meskipun Papa Yamada berkata "Tidak perlu terburu-buru", aku ingin mencoba membuatnya sebisa mungkin. Bukan karena kewajiban atau target, tapi karena aku sendiri benar-benar ingin membuatnya dari lubuk hatiku.

Setelah itu, percakapan ringan terus berlanjut selama makan—

"Anna-chan juga harus belajar dengan rajin seperti Ichikawa-kun. Meskipun sekarang pekerjaanmu sedang sibuk, bukan berarti kamu tidak perlu ikut ujian."

"Aku mengerti. Aku akan melakukannya dengan benar. Aku juga akan ikut kamp belajar."

Mama Yamada dan Yamada mulai membicarakan tentang kamp belajar.

Ini dia. Inilah saatnya.

"Um, permisi."

Aku mulai berbicara.

"Mengenai kamp belajar... maaf karena belum melaporkannya dengan benar."

"Eh? Tidak apa-apa, hal seperti itu. Tidak perlu repot-repot memberitahu, kan?"

"Tapi, bagaimanapun juga ini akan menjadi menginap di luar..."

"Kamu ini sangat patuh, ya. Sama sekali tidak perlu memikirkan hal seperti itu. Ada banyak teman lain yang ikut, dan orang dewasa juga akan berpartisipasi, kan? Kami sama sekali tidak khawatir. Iya kan, Papa?"

Papa Yamada juga mengangguk kecil.

Aku merasa lega.

Syukurlah. Rasanya beban di dadaku terangkat.

Meskipun ini disebut kamp belajar, ada banyak hal yang bisa membuat khawatir seperti dekat dengan laut, atau orang dewasa yang bertanggung jawab mungkin bukan orang yang bisa diandalkan... tapi sepertinya pasangan Yamada mengizinkannya dengan hati yang luas.

Aku harus benar-benar membalas kepercayaan ini.

Aku akan pastikan kamp ini menjadi pengalaman yang bermanfaat.

"Anna-chan, jangan mengganggu yang lain, ya. Jangan mengajak anak-anak lain bermain hanya karena kamu ingin bersenang-senang."

"Aku mengerti. Aku berniat untuk fokus mendukung yang lain."

"Benarkah? Bukannya kamu sangat bersemangat untuk bermain? Kudengar kamu juga membeli baju renang baru."

"I-istirahat juga penting!"

Saat Mama Yamada dan Yamada sedang berbicara dengan gembira—

Klang!

Terdengar suara sendok jatuh ke lantai.

Saat aku mengangkat wajah—Papa Yamada yang duduk di hadapanku membeku sepenuhnya.

"Baju... renang...?"

Dia berkata dengan wajah yang diselimuti bayangan gelap.

"Aku tidak dengar soal ini..."

"...Ah."

Mama Yamada tiba-tiba menutup mulutnya dengan tangan.

"Bukankah Anna dan yang lainnya akan pergi ke semacam balai desa di pegunungan...?"

"Um, itu..."

"...A-ahaha... itu..."

Mendengar kata-kata Papa Yamada yang jelas menunjukkan kegelisahan, ibu dan anak juga ikut panik.

Ja-jangan-jangan.

Mereka merahasiakan dari Papa Yamada kalau mereka akan menginap di vila dekat laut?!

"Anna... kamu membeli baju renang."

"A-aku memang membelinya, tapi..."

Mendengar suara ayahnya yang gelap seperti bergema dari dasar laut, Yamada menjawab dengan gugup.

Papa Yamada melanjutkan, menoleh ke samping.

"Mama sudah melihatnya?"

"Yah, sebenarnya..."

"Aku... belum melihatnya."

"Tentu saja Papa tidak perlu melihatnya."

"B-benar sekali!"

"Tapi..."

Sambil berkata begitu, Papa Yamada sejenak melirik ke arahku.

Meski hanya sejenak, tatapannya mengandung tekanan yang luar biasa.

"Tapi Ichikawa-kun akan melihatnya... kan?"

"I-itu..."

Wajah Yamada memerah dan dia kehilangan kata-kata.

Hei, jangan berhenti bicara di sini.

Jangan memerah di sini.

Kalau begitu... aku juga hanya bisa malu dan memerah...!

"...Ichikawa-kun."

Papa Yamada berbalik menghadapku. Secara refleks aku mencoba mengalihkan pandangan, tapi kepalanya bergerak cepat, mencoba mengintip wajahku.

Aku merasa seperti sedang dibidik.

"Tidak boleh."

"Apa?"

"Kamp belajar, tidak boleh."

Sambil menatapku lekat-lekat, Papa Yamada berkata.

"Belajar saja di rumah atau tempat les. Di sana kamu bisa lebih berkonsentrasi."

"—!"

Argumen yang masuk akal!

Di saat seperti ini, dia mengeluarkan argumen yang sangat masuk akal!

Kalau sudah begini... aku tidak bisa membantah apa-apa.

"...T-tapi..."

Aku mencoba membantah dengan putus asa.

Aku tidak bisa menyerah begitu saja pada argumen yang masuk akal ini.

"Kami... berniat menjadikan belajar sebagai fokus utama kamp ini. Memang akan ada sedikit waktu bermain, tapi... itu hanya sebagai rekreasi... Kami juga sedang mempertimbangkan untuk mengundang orang dewasa yang bisa menjadi semacam guru privat..."

"I-iya, benar, Papa! Aku juga berniat untuk membantu sebaik mungkin. Lagipula... semua sudah sangat menantikannya, kami tidak bisa membatalkannya begitu saja sekarang..."

Meski kami mencoba membela diri dengan putus asa, Papa Yamada tidak menunjukkan reaksi apa pun.

Dia hanya terus menatapku lekat-lekat.

Setelah beberapa detik berlalu dalam suasana yang berat,

"Baiklah. Aku mengerti."

Mama Yamada berkata sambil meletakkan gelas anggurnya.

"Kalau sudah begini... hanya ada satu cara."

Matanya sedikit tidak fokus, dan cara bicaranya juga sedikit aneh.

Saat aku melihat gelas anggurnya... isinya yang tadinya masih setengah penuh saat aku datang, entah sejak kapan sudah kosong.

"Kita selesaikan dengan sumo!"


Dan begitulah—pertandingan antara aku dan Papa Yamada dimulai.

Perbedaan tinggi badan, lebih dari 25 cm.

Perbedaan berat badan, mungkin lebih dari 30 kg.

Terus terang... ini seperti pertarungan antara sepeda roda tiga dan truk besar. Aku yang sangat menyukai manga pertarungan tertentu dari Akita Shoten tahu betul betapa pentingnya perbedaan berat badan dalam pertarungan tangan kosong. Aku paham betul alasan mengapa tinju memiliki pembagian kelas yang begitu detail.

Kecuali jika aku adalah protagonis manga, mustahil untuk mengalahkan perbedaan berat badan 30 kg.

Tapi, aku harus melakukannya.

Kalau tidak melakukannya sekarang, aku bukan laki-laki.

Tidak apa-apa. Bukankah Sekine juga pernah bilang? "Icchi itu seperti protagonis manga, ya." Sekarang saatnya bangkitkan kekuatan tersembunyiku—

"Hm."

"...Ugh!"

Itu adalah kekalahan seketika.

Sama sekali bukan tandingan.

Aku mengerahkan seluruh kekuatanku untuk serangan pertama dengan putus asa, tapi Papa Yamada menerima seranganku itu dengan lembut.

Setelah itu... dia melemparku dengan lembut.

Gerakannya begitu halus, seperti raksasa yang mencoba mengangkat semut tanpa menghancurkannya—atau seperti saat menambahkan saus sebagai sentuhan akhir dalam hidangan Prancis.

Meskipun auranya sangat mengerikan, cara bertarung Papa Yamada penuh dengan kasih sayang.

Dengan kata lain—dia sangat menahan diri.

"Sial..."

"K-kamu tidak apa-apa...?"

Yamada berlari mendekat karena khawatir.

Saat ini, kebaikannya justru terasa menyakitkan.

"Ada apa, Ichikawa-kun?"

Papa Yamada berdiri tegak, menatap ke arahku dari atas.

"Apakah hanya segitu tekadmu?"

"...Be-belum selesai!"

Aku meletakkan tangan di lutut dan berdiri. Aku tidak bisa berhenti di sini. Ini adalah ujian yang harus kulewati.

Kedua pria itu hendak berhadapan lagi, tapi—

"Stop, stop. Sudah cukup pertandingan sumonya," kata Mama Yamada menyela.

"Ternyata ini terlalu tidak adil bagi Ichikawa-kun, ya. Pertandingan seperti ini tidak fair."

"..."

Kami bertiga menatap dalam diam pada orang yang mengusulkan ide ini, yang kini menyadari kesalahannya.

Mungkin semua orang dalam hati ingin menegurnya.

'Bukannya kamu yang mengusulkannya?', begitu.

Apa-apaan pertandingan sumo tadi?

Dulu waktu pergi ke rumah Kobayashi, aku juga disuruh bertanding sumo dengan adik-adik Kobayashi atas usul Yoshida... Apa ini sedang tren di daerah ini?

Kalau ada masalah di kamp nanti, mungkin aku juga akan mengusulkan ini.


Pertandingan antar lelaki terus berlanjut.

Mulai dari adu soal matematika tingkat ujian masuk SMA (tentu saja aku menang), adu panco (aku kalah, mana mungkin menang), sampai adu wajah aneh (aku menang, tapi bukan kemenangan yang kuinginkan).

"Dengan ini skornya 2-2. Pertandingan berikutnya akan menentukan," kata Mama Yamada sambil memegang gelas anggur.

Entah sejak kapan ini menjadi pertandingan best of five.

"Untuk yang terakhir... hanya ada satu pilihan. Pertandingan yang paling adil dan memuaskan bagi kalian berdua... Ya, pertandingan game!"

Pertandingan game.

Memang benar—ini mungkin pertandingan yang paling seimbang antara aku dan Papa Yamada.

Perbedaan usia dan fisik tidak berpengaruh dalam game.

Ini cocok untuk pertandingan kami.

...Meski begitu, aku juga berpikir kenapa tidak dari awal saja main game.

Aku dan Papa Yamada duduk berdampingan di sofa, memegang controller dan menghadap ke layar TV.

"...Gamenya 'PluAka', boleh, kan?"

"Ya. Yang fighting game, ya?"

"Iya."

'PluAka'—'Pluto Academia'

Awalnya ini adalah game sosial untuk smartphone, tapi karena sangat populer, mereka juga mengeluarkan game fighting sebagai spin-off. Akhir-akhir ini aku jarang main karena sibuk belajar, tapi dulu aku pernah mendalaminya.

Ini pertandingan yang tidak boleh kalah.

Aku harus memilih karakter yang paling kukuasai dulu.

"Ah. Karakter ini—"

Yamada yang berdiri di belakang mulai bicara.

"Ini karakter yang figurenya dimiliki Ichikawa, kan! Yang gadis kelinci itu!"

"...!"

Hei, jangan!

Jangan bilang sekarang!

Memang benar, sih. Ini memang Asuka!

Aku suka Asuka dan sering memakainya di fighting game... lalu kakakku tidak sengaja melihatnya, dan akhirnya kado ulang tahunku jadi seperti itu.

Sial... kenapa aku harus dibicarakan soal figure gadis kelinci di depan orang tua pacarku.

"Semangat ya, Kyotaro."

"Ya..."

"Pasti menang! Karena ada kekuatan gadis kelinci!"

Hentikan!

Jangan menggodaku!

Mungkin dia tidak bermaksud menggoda dan serius mengatakannya, tapi tetap saja rasanya seperti sedang digoda!

"...Wah, Ichikawa-kun ternyata sangat suka gadis kelinci, ya?" kata Mama Yamada dengan nada tertarik.

Tidak, tunggu. Tunggu dulu. Apa-apaan situasi memalukan ini?

Kenapa harus membicarakan hal seperti ini di depan ibunya...

"Tapi jangan remehkan kami, ya. Papa kami juga—sangat suka gadis kelinci, lho!"

Pengakuan macam apa ini?!

Apa yang tiba-tiba dikatakan oleh wanita 42 tahun yang mabuk ini?!

Kenapa dia bersaing dengan putrinya?!

Papa Yamada di sebelahku... wajahnya memerah. Ah, entah kenapa. Tiba-tiba aku merasa ingin memanggilnya "Ayah mertua".

Meski suasananya jadi aneh, akhirnya kami selesai memilih karakter.

Sebenarnya ada mode rahasia di mana Asuka bisa memakai kostum kelinci... tapi tentu saja aku tidak punya keberanian untuk memilih kostum kelinci dalam situasi seperti ini.

Omong-omong, karakter yang dipilih Papa Yamada adalah Karika, karakter gadis cantik berambut hitam dan berkulit cokelat. Karakter ini juga sangat populer... dan kurasa ada juga figure gadis kelincinya.

Mungkin memang benar dia sangat suka gadis kelinci.

Jangan-jangan dia juga punya figurenya?

"...Ini mengingatkanku," kata Papa Yamada saat memilih arena.

"Waktu Ichikawa-kun pertama kali datang ke rumah kami, kita juga main game seperti ini di sini, ya."

"...Iya."

Memang, ini sedikit mengingatkanku pada saat itu.

Pada bulan Februari tahun ini, saat aku datang ke rumah ini untuk membuat cokelat—Papa Yamada mengajakku untuk duduk di sofa dan bermain game. Yah... sebenarnya itu bukan pertama kalinya aku datang ke sini.


"A-aku senang," kataku.

"Diajak main game... Ternyata ayahnya Anna-san suka game."

—Game...

—Suka?

Saat diajak seperti itu, aku terkejut dan pikiranku kosong... tapi aku juga merasa senang.

Ayah dari orang yang kusukai.

Aku sama sekali tidak tahu harus bicara apa, tapi dengan adanya topik yang sama-sama kami sukai, hatiku jadi sangat lega.

"...Aku juga senang," kata Papa Yamada dengan suara yang terdengar penuh perasaan.

"Anak laki-laki pertama yang dibawa Anna ke rumah ternyata suka game. Aku bisa berteman dengan Ichikawa-kun melalui game."

"..."

"Nah, ayo kita bertarung."

"...Baik."

Arena dan musik latar telah ditentukan, pertarungan kami pun dimulai.

***

Begitu pertandingan game dimulai, aku beranjak dari sofa. Aku mengambil botol yang ada di meja dan menuangkan sisa anggur ke dalam gelas.

"Mama," kata Anna sambil menghampiriku yang duduk di kursi.

"Tidak apa-apa tidak menonton pertandingannya?"

"Mama tidak terlalu mengerti soal game."

Lalu dia melanjutkan.

"Lagipula, siapa pun yang menang hasilnya sama saja."

"Eh..."

"Soal kamp belajar itu, Papa sebenarnya tidak benar-benar menentang, jadi tenang saja," kataku.

Anna membelalakkan matanya.

"Be-benarkah?"

"Tentu saja. Kalau dia benar-benar menentang, dia tidak akan melakukan pertandingan seperti ini. Meskipun Papa bukan tipe orang yang akan mengalah dalam game... tapi kurasa siapa pun yang menang, pada akhirnya dia akan mengizinkan kalian."

"...Kalau begitu, kenapa?"

"Papa juga, punya perasaan yang rumit."

Aku meneguk anggur sedikit.

Aku jadi teringat.

Hari saat Ichikawa-kun datang ke rumah kami dan bertemu Papa—Yuki.

Awalnya dia tampak senang karena ada anak yang bisa main game berkunjung... tapi entah bagaimana dia sepertinya menyadari hubungan mereka dengan Anna, dan hari itu dia tidur tanpa mandi.

Putrinya yang sudah remaja membawa anak laki-laki istimewa ke rumah.

Sepertinya kenyataan itu membuatnya sangat terpukul.

Mungkin itu pertama kalinya aku melihat Yuki begitu terpuruk.

Hal-hal yang telah terjadi—dan hal-hal yang akan terjadi. Kurasa dia membayangkan banyak hal, dan mengalami kesulitan dan konflik batin sebagai seorang ayah.

Jadi yah... aku harus menghiburnya dengan sepenuh hati.

"Dia tahu bahwa Anna-chan sangat berharga baginya, dan dia ingin mendukung kalian berdua... tapi mau tidak mau, dia merasa seperti putrinya akan diambil."

"..."

"Tapi sebenarnya Papa juga mengerti. Bahwa Anna-chan tidak bisa selamanya menjadi anak Papa dan Mama saja. Dan juga... bahwa Ichikawa-kun adalah anak yang baik."

"..."

"Karena itu, maafkan saja kalau dia sedikit melampiaskan perasaannya."

"...Ya."

Anna mengangguk pelan. Wajahnya terlihat seperti sedang meresapi kasih sayang orang tuanya... tapi segera setelah itu, ekspresinya berubah menjadi curiga.

"Tapi, bukannya pertandingan hari ini Mama yang memulai?"

"..."

"Mama, jangan-jangan sedang bersenang-senang? Apa Mama sedang bermain-main dengan Papa dan Kyotaro?"

"A-ah, apa maksudmu?"

Dia menatapku tajam. Tatapan melotot seperti itu mirip sekali dengan Papa. Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan samar-samar sambil meneguk sisa anggur.

Ah... gawat.

Sepertinya aku minum terlalu cepat.

Aku melirik ke arah TV, pertarungan mereka masih seru. Keduanya terfokus pada layar, tidak menunjukkan tanda-tanda memperhatikan apa yang terjadi di belakang mereka. Sepertinya mereka sama sekali tidak mendengar percakapan kami.

Hmm.

Apa sih yang begitu menarik dari game itu, hanya bunyi pik pik pik...

"Omong-omong..."

Sambil memandangi bagian belakang kepala Ichikawa-kun yang sedang berkonsentrasi pada game, aku berkata.

Ada sesuatu yang ingin kutanyakan tapi entah kenapa tidak bisa kutanyakan, mungkin dengan sedikit keberanian dari alkohol, aku bisa menanyakannya.

"Anna-chan dan Ichikawa-kun, siapa yang menyatakan cinta duluan?"

"...Eh. Eh~ ...T-tidak penting siapa yang duluan..."

"Ayolah. Ceritakan pada Mama."

Meski Anna malu-malu, setelah sedikit desakan, dia cukup cepat menjawab,

"...Dia yang duluan."

Dia mengatakannya dengan malu-malu, tapi sedikit bangga.

Aha. Ini rupanya tipe yang ingin diceritakan, ya.

Tipe yang ingin dipamerkan!

Kalau begitu, seharusnya aku tanya lebih awal!

"Wah~ Hebat juga ya, Ichikawa-kun."

"Ahaha... Aku jadi sama seperti Mama, ya."

"Sama?"

"Ingat, dulu Mama pernah bilang, kan? Kalau Mama tidak pernah menyatakan cinta duluan."

"Oh iya."

"'Buat dia menyatakan cinta padamu (dengan bangga)',' begitu katamu."

"...Hentikan. Jangan meniruku."

Dan jangan tambahkan '(dengan bangga)' di akhir.

Aku memprotes dengan sungguh-sungguh saat Anna meniruku dengan jari terangkat dan wajah sombong.

Itu terjadi saat kami berdua pergi ke Hiroshima untuk syuting film.

Di kamar hotel, tanpa sadar aku mengatakan hal yang memalukan.

—Menyatakan cinta... kalau dipikir-pikir... mungkin aku tidak pernah melakukannya duluan.

—Kalau harus dibilang—aku membuat mereka menyatakan cinta padaku.

Ah, memalukan.

Rasanya seperti berusaha terlalu keras untuk terlihat keren, tapi malah jadi tidak keren sama sekali.

Yah, Anna tidak mengejekku, malah sepertinya dia sangat menghormati ucapanku... tapi justru itu membuatku lebih malu.

"Kalau Mama bilang tidak pernah menyatakan cinta duluan... berarti antara Papa dan Mama, Papa juga yang menyatakan cinta duluan?"

"Y-ya, begitulah..."

"Aku ingin tahu."

"...Eh?"

"Aku ingin tahu lebih detail. Bagaimana cara Mama membuat Papa menyatakan cinta."

Matanya berbinar-binar.

A-apa yang harus kulakukan...

Ini benar-benar bumerang. Aku bermaksud menanyakan kisah cinta mereka, tapi malah aku yang ditanya balik.

"E-eh~ Bagaimana, ya..."

Saat ditanya di hotel di Hiroshima waktu itu, aku terlalu malu dan langsung mengakhiri pembicaraan.

Tapi sekarang, mungkin karena pengaruh alkohol,

"Baiklah... tapi hanya sedikit, ya."

Aku mulai bercerita.

Tentang pertemuanku dengan Papa... dengan Yuki.

Tentang bagaimana aku membuat dia menyatakan cintanya padaku.


"Ini sudah hampir 20 tahun yang lalu.

Waktu itu, aku masih bekerja di perusahaan penerbitan.

Papa juga masih chef pemula, sedang belajar di restoran yang berbeda dari sekarang.

Aku pernah pergi meliput restoran tempat Papa bekerja untuk menulis artikel kuliner.

Dulu Papa lebih kurus dari sekarang—

...Eh?

Sejak kapan ya Papa jadi berotot seperti sekarang?

Y-yah, lupakan itu dulu.

Wawancaranya sendiri dilakukan dengan chef pemilik restoran... tapi saat pulang, tiba-tiba hujan turun.

Saat aku berteduh di sekitar situ... Papa yang ada di restoran berlari mengejarku.

...Ya.

Jujur saja, saat itu... aku takut.

Aku bingung ada apa.

Aku merasa nyawaku terancam.

Soalnya... ini Papa, lho?

Meskipun tidak sekekar sekarang, tapi tetap saja pria berbadan besar dengan mata yang sangat gelap berlari kencang ke arahku... tentu saja aku hampir berhenti bernapas.

T-tentu saja sekarang aku sudah paham betul kepribadian Papa... tapi kalau baru pertama kali bertemu... yah, kamu tahu, kan.

Lalu, saat aku membeku ketakutan, Papa mengulurkan payung sambil berkata dengan pelan,

'Pakailah ini.'


Sepertinya dia memperhatikan aku tidak membawa payung, jadi dia mengambil payung dari restoran dan mengejarku.

Setelah aku menerima payung, dia langsung berlari kencang kembali.

...Fufu.

Ya.

Dia datang untuk menolongku yang sedang kesulitan.

Tapi aku malah takut, rasanya ingin minta maaf, ya.

Beberapa waktu kemudian, aku memesan meja di restoran itu sekalian mengembalikan payung... saat menunggu makanan, aku bisa sedikit melihat Papa yang sedang bekerja di dapur.

Entah kenapa, mataku terus mengikuti Papa yang sedang bekerja. Rasanya segar melihat pria berbadan besar melakukan pekerjaan yang begitu halus.

Lalu Papa juga melihat ke arahku, dan sejenak, pandangan kami bertemu.

Kurasa dia juga memperhatikanku.

Fufu. Benar, kan.

Soalnya... dia sampai mengejarku dengan membawa payung, pasti ada sesuatu, kan. Tentu saja itu karena kebaikan hatinya, tapi tidak aneh kalau ada sedikit perasaan lain juga, kan. Kurasa setidaknya ada perasaan suka.

Tidak salah lagi.

Setelah selesai makan, aku berbicara sedikit dengannya sambil mengembalikan payung—

Tapi Papa sama sekali tidak meminta kontakku.

Padahal itu kesempatan yang sangat bagus.

Padahal aku sudah menyiapkan segalanya dengan begitu baik.

Padahal dia pasti tertarik padaku.

Tapi tidak ada yang terjadi, dan suasananya malah jadi seperti akan berpisah begitu saja...

Memang Papa itu pemalu dan tidak pandai bicara, ya.

Karena itu, mau tidak mau—aku yang mengajak untuk bertukar kontak.

Mau bagaimana lagi, kan.

Kalau sudah bisa membaca suasana seperti itu dari seorang pria, aku jadi merasa harus memperhatikannya.

Setelah itu juga... Papa sama sekali tidak mengajakku kencan.

Meskipun kadang-kadang aku yang menghubungi duluan, pembicaraan hanya berakhir dengan laporan singkat tentang keadaan masing-masing.

Padahal seharusnya dia ingin mengajakku.

Pasti dia sangat penasaran denganku.

Mungkin dia hanya kurang sedikit keberanian, ya.

Karena itu—aku yang mengajaknya kencan.

Ya ya, mau bagaimana lagi, kan.

Papa itu pemalu, sih.

Kami kencan beberapa kali, tapi tidak ada pernyataan cinta.

Padahal seharusnya dia sangat ingin menyatakan cinta.

Padahal seharusnya dia sangat sangat menyukaiku.

Karena itu—aku juga membantunya dengan berbagai cara.

Aku mengusulkan berbagai kencan di mana kami bisa berduaan. Seperti pergi jauh dengan mobil sewaan, atau menginap di suatu tempat.

Dan akhirnya pada kencan kelima, Papa akhirnya menyatakan cintanya padaku!"


"—Begitulah kira-kira cerita tentang bagaimana kami bersama. Bagaimana? Tidak terlalu menarik, kan?"

"..."

Anna, yang sudah selesai mendengarkan ceritaku, tampak bingung.

Sepertinya ada sesuatu yang tidak dia pahami.

Fufu. Mungkin dia takjub dengan teknik wanita dewasa dalam membuat seseorang menyatakan cinta. Apa ini terlalu dini untuk anak SMP?

"...Dari cerita tadi,"

Akhirnya Anna berkata dengan wajah yang agak heran.

"Bukankah itu hampir sama saja dengan Mama yang menyatakan cinta?"

"...Hah?"

Aku?

Menyatakan cinta?

Aku yang seharusnya menerima pernyataan cinta?

"A-apa yang kamu katakan. Apa kamu benar-benar mendengarkan? Papa yang menyatakan cinta padaku. Aku tidak mengatakan apa-apa..."

"Tapi, bukankah Mama yang melakukan semua hal lainnya selain pernyataan cinta?"

"..."

"Sejak pertama kali bertemu, bukankah Mama yang terus-menerus mendekati Papa dengan penuh semangat?"

Mendekati?!

Aku, mendekati dengan penuh semangat?!

"Mama yang meminta kontak, Mama juga yang mengajak kencan... rasanya Mama yang terus-menerus agresif mendekati Papa."

"...B-bukan begitu. Aku hanya bertindak lebih dulu menggantikan Papa yang pemalu... Padahal Papa sebenarnya menyukaiku tapi tidak bisa bertindak sendiri, jadi aku sebagai yang lebih tua terpaksa membantunya!"

"Benarkah? Yang kudengar, sepertinya Mama yang sangat sangat menyukai Papa."

Anna berkata dengan nada tenang.

"Mungkin Mama yang lebih dulu jatuh cinta? Mama hanya tidak mau mengakuinya karena gengsi sebagai yang lebih tua..."

"..."

"Papa mungkin sudah menyadari semua sifat Mama yang sok kuat itu. Dia menyadarinya, tapi memilih untuk tidak mengatakannya dan menghormati Mama."

"..."

Aku terkejut mendengar komentar dari putriku.

B-bohong, kan...

Anna-chan, sejak kapan kamu bisa mengatakan hal-hal setajam ini? Apakah ini normal untuk anak SMP? Apa kamu sering membicarakan tentang cinta dengan teman-temanmu?

Eh? Tunggu.

Tunggu sebentar.

Entah kenapa aku tidak bisa berpikir jernih.

Apakah ini karena alkohol, atau... karena keyakinan yang sudah kupercayai selama bertahun-tahun tiba-tiba runtuh dan identitasku hampir hancur?

Eh? Aku tidak membuat dia menyatakan cinta?

Bukannya aku dengan cerdasnya sebagai yang lebih tua membuat dia menyatakan cinta... tapi dia yang menyatakan cinta karena memperhatikan sikapku?

Padahal kukira aku yang memegang kendali, tapi sebenarnya dia yang mengendalikan?

Dia membiarkanku berpikir bahwa akulah yang memegang kendali?

Padahal kukira aku yang memanjakan dia, tapi sebenarnya akulah yang dimanjakan dengan dibiarkan berpikir bahwa "aku sedang memanjakan dia"—

"Tapi, syukurlah."

Anna berkata padaku yang kepalanya mulai kacau.

Syukurlah? Apa yang disyukuri?

Padahal harga diriku sedang dalam bahaya.

"Ternyata lebih mirip Mama yang kukenal."

"..."

"Kalau ternyata Mama benar-benar membuat Papa menyatakan cinta dengan perhitungan atau teknik yang hebat, mungkin aku akan sedikit kecewa. Termasuk bagaimana Mama jatuh cinta pada Papa... yah, secara keseluruhan, menurutku ini sangat mencerminkan Mama."

Dia tersenyum tanpa beban.

Tampaknya tanpa maksud tersembunyi, dia benar-benar terlihat senang.

Melihat senyum polos putriku, aku merasakan kehangatan menyebar di dadaku. Kebingungan dan kekhawatiran yang kurasakan sebelumnya seolah-olah menghilang dalam sekejap.

—Mama? Apa pendapatmu?

—Hmm...

—Aku rasa, anak itu benar-benar mirip Anna-chan, ya.

Tiba-tiba aku teringat. Malam ketika Ichikawa-kun datang ke rumah kami dan kami berbicara dengan benar untuk pertama kalinya—aku membicarakan tentang Anna dan Ichikawa-kun.

Mirip Mama, ya?

Apa memang anak dan orang tua cenderung memilih kata-kata yang mirip?

Kalau begitu, aku merasa sedikit mengerti perasaan Anna saat mengatakan "mirip" tadi.

"...Begitu, ya. Terima kasih."

Aku tersenyum kecil dan meneguk sedikit anggur lagi.

Begitu, ya. Memang benar.

Tidak perlu terlalu mempermasalahkannya sekarang.

Siapa yang menyatakan cinta duluan, itu benar-benar tidak penting lagi.

Itu sudah hampir 20 tahun yang lalu.

Sekarang sudah tidak penting lagi siapa yang duluan.

Karena sekarang—kami telah membangun keluarga yang bahagia. Putri kesayangan kami sudah tumbuh besar dan menjadi gadis yang hebat, bahkan sudah cukup dewasa untuk membawa pacarnya ke rumah.

"—A-aku menang!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan kemenangan.

Saat aku berbalik ke arah sofa, Ichikawa-kun sedang berdiri dengan pose kemenangan.

Papa... terjatuh dari sofa dan tampak sangat kecewa.

Sepertinya pertandingan lima babak yang seharusnya tidak penting hasilnya itu akhirnya dimenangkan oleh Ichikawa-kun.

Sepertinya Papa tidak sengaja mengalah... Dilihat dari sifat Papa, dia tidak mungkin mengalah dalam game, dan lagi, dia benar-benar terlihat kecewa sekarang.

Tampaknya tekad kuat Ichikawa-kun yang membawanya pada kemenangan.

***

"Kamu menang?! Kyotaro, kamu menang?!"

Yamada berlari mendekatiku yang berteriak kegirangan.

"Ya. Entah bagaimana... Apa kamu melihatnya?"

"Maaf! Aku sama sekali tidak melihat!"

Yamada menjawab dengan jujur, terlalu jujur malah.

Yang benar saja. Dia tidak melihatnya?

Aksi heroikku.

Comeback-ku yang mengagumkan.

Aku terpojok sampai ke garis merah, tapi berhasil lolos dari situasi yang sangat genting. Membatalkan serangan lawan, menghindari serangan balik yang sudah diprediksi dengan satu serangan bawah. Lalu setelah beberapa kali parry berturut-turut, aku melakukan satu gerakan tipuan diikuti serangan bawah, melihat kaki lawan dan mengakhiri pertarungan dengan jurus pamungkas di saat-saat terakhir.

Dia tidak melihat drama comeback yang luar biasa ini...?

"Hore! Hebat sekali, Kyotaro!"

Dia tampak sangat gembira.

Hmm. Yah, sudahlah. Yang penting aku menang.

"Papa, dengan ini kamp belajarnya diizinkan, kan?"

"...Baiklah."

Papa Yamada, yang ditanya oleh putrinya, perlahan bangkit dari posisi terpuruknya.

"Aku sudah melihat tekad Ichikawa-kun yang cukup. Aku akan mengizinkan kalian pergi kamp."

"Hore!"

Yamada berteriak gembira.

Aku pun merasa lega.

Mama Yamada yang duduk di dekat meja... mengangguk-angguk. Ekspresinya seolah-olah mengatakan bahwa semua ini berkat dirinya. Aneh sekali. Padahal rasanya dialah yang membuat kekacauan dari awal.

Sepertinya dia juga yang pertama kali membicarakan soal baju renang.

"...Haah."

Aku menghela napas lega.

Yah, sudahlah.

Yang penting, semua berakhir dengan baik.

"Anna. Hati-hati ya di pantai," kata Papa Yamada dengan khawatir.

"Aku mengerti."

"Saat ganti baju juga... jangan sampai ada yang mengintip."

"Aku sudah paham."

"Sekarang ini, kita tidak tahu apa yang mungkin terjadi. Misalnya... teman Anna sedang video call dengan Ichikawa-kun menggunakan kamera depan, dan Anna yang sedang ganti baju terlihat di belakangnya."

"Ahaha. Mana mungkin terjadi hal seperti itu."

Yamada tertawa ringan menanggapi Papa Yamada yang terlalu khawatir.

Sepertinya dia benar-benar lega setelah mendapat izin untuk pergi kamp.

Mungkin karena itu.

"Lagipula," lanjut Yamada—dan tanpa sadar mengatakan sesuatu yang luar biasa.

"Yang pakaian dalamnya terlihat oleh Kyotaro lewat kamera depan itu bukan aku, tapi Mama, lho."

Itu.

Itu adalah hal yang sama sekali tidak boleh dikatakan di sini sekarang.

Hei...!

Tu-tunggu. Serius... itu, hanya itu saja—

"...Ah. Bu-bukan, bukan begitu..."

Yamada sepertinya menyadari kecerobohan ucapannya, tapi sudah terlambat.

"Eeh?! A-aku?!"

Mama Yamada berteriak malu.

"Pakaian dalam...? Eh? Kapan? Kapan itu terjadi...?!"

Wajahnya yang sudah memerah karena alkohol menjadi semakin merah.

Kalau ditanya kapan—itu terjadi saat ibu dan anak Yamada pergi ke Hiroshima. Saat aku sedang berbicara dengan Yamada melalui kamera depan di hotel, Mama Yamada kembali dari mandi.

Karena panggilan masih tersambung... untuk sesaat, aku melihatnya.

"Eh... begini..."

Aku panik mencoba menjelaskan, tapi—tepat setelah itu.

Aku merasakan aura membunuh yang luar biasa dari samping.

"..."

"Hi-hiii..."

Papa Yamada, seperti saat mengetahui tentang baju renang... tidak, bahkan dengan aura yang jauh lebih gelap, menatapku dengan mata yang siap memangsa.

"...Ichikawa-kun."

"Y-ya..."

"Kamu lihat?"

"...Yah, itu... ka-kalau dibilang lihat, itu hanya sekilas... sungguh, gelap dan hampir tidak terlihat apa-apa..."

"Kamu lihat?"

"...Kalau saya bilang tidak lihat, mungkin itu akan jadi bohong."

"..."

Aku hanya bisa menjawab jujur karena tekanan yang luar biasa. Papa Yamada terdiam. Dia terus memancarkan aura membunuh yang sangat pekat ke arahku tanpa berkata apa-apa.

Akhirnya, dia perlahan membuka mulutnya.

"Ichikawa-kun. Kamp belajar, batal."

"Apa..."

"Bahkan, kamu dilarang datang ke sini lagi."

"Dilarang datang?!"

"Kamu dilarang datang ke rumah kami."

"..."

Lebih dari shock, aku merasa sangat lelah.

Seluruh tenagaku terasa hilang. Aku merasa pusing dan hampir jatuh.

Sepertinya semua usaha yang kulakukan sampai saat ini sia-sia pada detik-detik terakhir, dan situasinya kembali ke awal... bahkan mungkin lebih buruk dari sebelumnya.


Setelah itu—

Ada banyak hal yang terjadi, termasuk penjelasan dan permintaan maaf yang putus asa, serta pertandingan lebih lanjut dengan Papa Yamada... tapi pada akhirnya, entah bagaimana aku berhasil mendapatkan izin untuk pergi kamp.

Dan larangan untuk datang ke rumah mereka juga dicabut.

"...Aku lelah."

"...Ya, benar."

Kami berdua, aku dan Yamada, berjalan bersama di dalam apartemen setelah keluar dari kamar.

Sepertinya dia akan mengantarku sampai ke pintu masuk.

"Um, maaf ya, Kyotaro. Orang tuaku... sudah merepotkanmu dengan berbagai hal."

"...Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan."

"Benarkah?"

"Benar."

Ini bukan sekedar basa-basi.

Aku benar-benar tidak keberatan.

Papa dan Mama Yamada.

Meski hari ini banyak hal yang sulit terjadi—tapi aku merasa cukup memahami seperti apa mereka berdua.

"Aku mengerti bahwa Papa dan Mama Yamada memperhatikan kita dan mengatakan berbagai hal... itu semua karena mereka sangat menyayangi putri mereka."

"...Kyotaro."

"Mereka benar-benar seperti orang tua Yamada. Keduanya entah bagaimana mirip dengan Yamada, jadi aku—"

Aku berhenti bicara di tengah kalimat.

Rasanya terlalu memalukan untuk melanjutkan.

"'Aku'... apa? Lanjutannya?"

Tapi di sini ada seorang gadis yang tidak peka. Atau mungkin justru karena dia sangat peka, dia sengaja membuatku mengatakannya.

"Lanjutannya?"

"..."

"'Karena mirip', lalu apa?"

"...Karena mirip... a-aku... su-suka... Aku juga suka mereka berdua."

"Karena kamu bilang 'juga', berarti?"

"...Aku juga suka putri mereka."

"He-hee, begitu, ya... Kyotaro juga suka putri Papa dan Mama, ya~"

Yamada berkata dengan pura-pura polos sambil tersipu malu.

Dasar, memaksa orang mengatakannya lalu malu-malu sendiri.

Apa-apaan percakapan aneh ini?

Setelah jeda sejenak, Yamada tertawa gembira, "...Fufu."

"Aku juga suka Papa dan Mama."

"Tentu saja. Aku bisa melihatnya."

"Aku berharap suatu hari nanti kita bisa seperti Papa dan Mama," kata Yamada dengan senyum cerah.

"...Eh?"

"Ah... Ma-maksudku bukan yang dalam-dalam! Maksudku, akan bagus kalau kita bisa terus akur seperti mereka."

"Be-begitu, ya..."

Meskipun dia bilang bukan maksud yang dalam, aku tetap tidak bisa menghindari untuk memikirkannya lebih jauh. Membayangkannya. Masa depan di mana aku dan Yamada hidup seperti mereka berdua—

Sambil berjalan dengan perasaan yang sulit dijelaskan,

"...Lho. Ponselku tidak ada."

Tepat sebelum naik lift, aku menyadari sakuku kosong.

"Mungkin tertinggal di rumah?"

"Sepertinya begitu."

Kami berlari kembali ke jalan yang baru saja kami lewati.

Saat aku hendak membuka pintu yang baru saja kami tinggalkan—tiba-tiba terdengar suara dari dalam.

"Ayolah~ Yuki, jangan murung begitu~"

Suara manja yang terdengar seperti sedang berusaha keras untuk memanjakan atau dimanjakan.

Suara yang terdengar dari balik pintu adalah suara Mama Yamada.

"Jangan pikirkan soal pakaian dalam itu. Yang dilihat Ichikawa-kun... harusnya waktu kita ke Hiroshima, jadi mungkin hanya pakaian dalam biasa. Benar-benar yang biasa saja. Bukan yang aneh-aneh. Jadi jangan khawatir~"

Mungkin karena mabuknya sudah mencapai puncak, suaranya terdengar luar biasa manja.

Karena suaranya terdengar sampai luar, mungkinkah setelah mengantar kami ke pintu masuk, mereka berdua langsung bermesraan di sana?

Ah—benar juga.

Suara ini, rasanya aku pernah mendengarnya.

Setelah ponsel Yamada tenggelam di Hiroshima, aku panik dan pergi ke rumah Yamada malam-malam... lalu menelepon Mama Yamada dari ponsel Papa Yamada.

—Ayolah~

—Ada apa, Yuki. Kamu kesepian, ya~

Meskipun hanya sebentar, aku jadi tahu.

Bagaimana Papa dan Mama Yamada ketika putri mereka tidak ada—

"Hei, Yuki~ semangatlah... Eh? Eh~~ benarkah? Benarkah itu akan membuatmu bersemangat...? Aduh... ya sudahlah. Dasar Yuki, berapa pun umurmu... Aku mencintaimu. Aku paling suka Yuki di dunia ini. ...Ah, malu~ Hei, sudah, apa yang kamu suruh aku katakan! Baiklah, sekarang giliranmu, ya! Ah, tidak boleh, tidak akan kulepaskan! Ayo, Yuki juga harus mengatakannya! Kalau tidak, aku tidak akan memaafkanmu~"

"..."

Aku dan Yamada perlahan menjauh dari pintu. Wajah kami berdua merah padam, dan suasana canggung yang luar biasa mengalir di antara kami.

"...Biar aku yang menghubungi mereka nanti untuk mengambilkan ponsel Kyotaro."

"...Ya, sebaiknya begitu."

"...Mungkin kita belum perlu menjadi seperti Papa dan Mama."

"...Mungkin begitu."

Papa dan Mama Yamada.

Dari penampilan mereka terlihat sangat tegas.

Jujur saja, menakutkan.

Tapi jika kita benar-benar menghadapi mereka, mereka sangat baik dan dewasa.

Bagaimana ya, mereka benar-benar terasa seperti orang tua Yamada!

Aku menghormati mereka berdua dan sangat berterima kasih pada mereka... tapi sepertinya butuh waktu lama bagi kami untuk bisa mencapai tingkat mereka.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close