NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Boku no Kokoro no Yabai Yatsu Volume 1 Epilogue

 Penerjemah: Tensa

Proffreader: Tensa


Epilogue


10 tahun kemudian—

Seperti yang biasa terjadi dalam manga romansa setelah pengakuan cinta berhasil, tampaknya sepuluh tahun telah berlalu.

Teman-teman dekat kami semua telah mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan beberapa pasangan yang tak terduga telah bersatu.

Begitulah, waktu telah berlalu, dan ini adalah cerita sepuluh tahun kemudian.

Aku dan dia, yang kini telah menjadi orang dewasa yang bekerja—telah mulai tinggal bersama.

"Kyotaro, aku sudah selesai mengelap meja!"

"Aku juga hampir selesai di sini."

Aku menjawab panggilan dari ruang tamu sambil menyelesaikan pekerjaan di dapur.

Hari ini aku pulang kerja lebih awal, jadi aku memutuskan untuk membuat makan malam yang sedikit lebih rumit dari biasanya. Dia juga bisa memasak, tapi aku yang lebih sering melakukannya, dengan perbandingan sekitar tujuh berbanding tiga.

Aku tidak membenci memasak.

Pada dasarnya, melakukan pekerjaan sendirian dalam diam sepertinya cocok dengan sifatku. Memasak sesuai resep, atau menemukan cara untuk memperbaiki dan mengefisienkannya sendiri, rasanya seperti menyelesaikan sebuah game dan cukup menyenangkan.

Dan yang terpenting—ada seseorang yang akan memakannya.

Gadis yang tinggal bersamaku ini mungkin bisa dibilang gadis yang paling membuat memasak terasa berharga di dunia.

"...Oke. Sudah jadi."

Masakannya selesai, dan aku membawanya ke meja.

Menu hari ini adalah—sup gratin bawang.

"Waaah!"

Matanya berbinar-binar.

Yamada Anna yang kini berusia 24 tahun telah berubah dari "gadis cantik yang dewasa" menjadi "wanita cantik" seutuhnya. Tinggi badannya yang memang sudah tinggi bertambah sedikit sejak SMP... dan bentuk tubuhnya semakin menawan.

Tapi, tingkah kekanak-kanakannya yang sesekali muncul tidak banyak berubah.

"Selamat makan!"

Setelah mengatupkan tangan, dia langsung mencelupkan sendok dengan penuh semangat.

Lalu dengan cepat membawanya ke mulut—dasar bodoh.

"Panas!"

"Tentu saja panas... Kau tidak apa-apa?"

"Ahaha. Aku tidak sabar, sih."

Dia tertawa ringan sambil mendinginkan mulutnya dengan air.

Setelah itu, dia meniup-niup makanannya sebelum memakannya perlahan.

"Mmm, enak sekali!"

Melihat senyumnya yang menyenangkan, hatiku pun menjadi hangat.

Sepuluh tahun... Meskipun kami berdua telah menjadi dewasa, dan lingkungan serta diri kami telah banyak berubah, senyumnya saat makan sesuatu yang enak sama sekali tidak berubah sejak SMP.

"Enak lho, Kyotaro!"

"Syukurlah. Tapi masih jauh. Masih belum sebanding dengan masakan ayahmu."

"Tidak, kok. Memang masakan Papa sangat enak, tapi... masakan Kyotaro punya rasa yang sedikit berbeda. Yang ini juga sangat enak!"

Dia mengatakan hal yang membahagiakan itu dengan senyum yang tulus.

Ayah mertuaku pernah berkata bahwa masakan tidak akan enak hanya dengan mengikuti resep. Kita harus berkali-kali gagal, menemukan cara sendiri, dan dengan begitu resep itu akan menjadi milik kita sendiri.

Selama sepuluh tahun ini, berapa kali aku telah membuat resep ini untuknya?

Awalnya aku membuatnya sambil memeriksa setiap langkah, lalu perlahan-lahan bisa membuatnya tanpa melihat, dan akhirnya mulai menambahkan sentuhan pribadiku berdasarkan suasana hati hari itu atau tanggapan darinya.

Apakah aku telah berhasil membangun "masa lalu" dan "masa depan" kami dengan baik?

"...Ah. Sudah habis."

"Aku masih punya tambahan, kalau kau mau."

"Aku mau!"

"Tidak apa-apa? Minggu depan kau mulai syuting lagi, kan?"

"Makan apa yang kusuka saat aku mau! Itulah gaya hidup yang tidak menimbulkan stres!"

"Jangan bicara seperti anak SMP begitu."

Aku tersenyum sambil mengomentarinya.

Setelah makan, kami duduk berdampingan di sofa, menikmati waktu bersantai.

Kami menonton acara variety yang kebetulan sedang ditayangkan.

Lalu—pluk.

Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku tidak menolak dan dengan lembut menyentuh rambutnya. Saat aku membelai kepalanya perlahan, dia tertawa geli.

Jika ini terjadi saat SMP, kontak fisik sedekat ini pasti langsung membuat bagian bawah tubuhku bereaksi... tapi sekarang aku sudah tidak semuda itu lagi.

Tidak ada gairah aneh atau rasa malu yang berlebihan, kontak fisik terjadi begitu saja secara alami.

"Ah. Oh iya."

Dia mengambil ponselnya dan berkata.

"Hari ini aku sedang merapikan foto-foto. Aku menemukan foto yang sangat nostalgia."

Foto yang dia tunjukkan adalah—foto yang diambil di rumah Kobayashi saat kami SMP.

"Wah, nostalgia sekali."

Musim panas kelas 3 SMP—kami pernah berkumpul di rumah Kobayashi untuk membahas kamp belajar. Tapi kami malah lebih banyak bermain dengan adik-adik Kobayashi, hampir tidak ada pembahasan sama sekali.

Saat Takumi-kun dan Mei-kun tertidur karena kelelahan bermain, kami berdua mengapit mereka dan berempat berfoto bersama.

—Oh iya!


—Ayo kita simpan foto ini selamanya.

—Kenapa?

—Kenapa pun!

—10 tahun lagi, 20 tahun lagi.

Dengan kata-kata itu, kami menyimpan sebuah foto.

"...Benar-benar sudah 10 tahun, ya."

"Ya, begitulah."

Aku sangat setuju dengan kata-katanya yang seolah menggambarkan berlalunya waktu.

"Tapi Yamada. Foto ini... akhirnya, kenapa kau bilang ingin menyimpannya?"

"Eh... ah. Yah, sebenarnya tidak ada makna yang terlalu dalam, sih."

Wajahnya terlihat bingung.

Lalu, sambil mengelus perutnya sendiri,

"...Sepertinya sepuluh tahun masih belum cukup, ya."

Dia menambahkan dengan suara pelan.

"Hm?"

"Bukan apa-apa. Daripada itu!"

Dia mengalihkan pembicaraan dengan paksa.

"Tadi kamu memanggilku Yamada, kan?"

"............"

"Sudah lama ya, dipanggil Yamada."

"Ah, benar juga."

Oh iya, benar juga.

Saat mengingat masa lalu, tanpa sadar aku memanggilnya dengan cara yang dulu.

Saat SMP, dia memanggilku "Kyotaro" bahkan sebelum kami pacaran, tapi aku masih kesulitan memanggilnya dengan nama depan. Kurasa aku tetap memanggilnya dengan nama keluarga untuk beberapa saat bahkan setelah kami mulai pacaran.

Tapi.

Sepuluh tahun sejak kami mulai pacaran.

Tentu saja, aku sudah tidak memanggilnya dengan nama keluarga lagi.

"Fufu. Rasanya aneh ya kalau dipanggil begitu sekarang."

"Jangan menggodaku."

"Aku tidak menggoda, kok. Malah, aku ingin kamu memanggilku Yamada banyak-banyak hari ini."

Soalnya.

Dia melanjutkan.

"Besok aku tidak akan jadi Yamada lagi.

Aku akan menjadi Ichikawa Anna."

Katanya.

Dia tersenyum dengan sangat bahagia saat mengatakan itu.

Tanggal hari ini adalah—sehari sebelum hari terakhir study tour kelas 3 SMP.

Dengan kata lain, sehari sebelum hari jadi kami.

Besok adalah peringatan 10 tahun kami pacaran—dan kami berencana untuk menyerahkan surat nikah bersama setelah selesai bekerja.

Kami selalu membicarakan untuk menikah pada hari itu. Surat nikahnya sudah diisi, dan tanggal pernikahan juga sudah ditentukan.

Sepuluh tahun telah berlalu sejak kami menjadi kekasih di kelas 3 SMP.

Besok, kami tidak akan menjadi kekasih lagi.

"Tahun ini berat ya, dengan persiapan pernikahan dan sebagainya..."

"...Ya, memang."

Aku sangat setuju dengan dia yang menatap jauh.

Aku sudah mendengar rumor tentang ini, tapi tidak menyangka akan sesulit ini. Awalnya kami berencana untuk melakukannya sesederhana mungkin... tapi semakin banyak orang yang ingin kami undang, dan tanpa sadar acaranya menjadi cukup besar.

"Salam pernikahan juga... di keluarga Kyotaro berjalan lancar, tapi di keluargaku... agak rumit."

"...Aku tidak menyangka akan diminta bertanding game lagi dengan ayahmu."

"Mama juga terlalu bersemangat lagi..."

"Yah, tidak apa-apa, sih... Akhirnya aku bisa menang juga."

"Itu comeback yang luar biasa, ya. Memang cinta Kyotaro pada gadis kelinci itu luar biasa!"

"...Hentikan. Jangan menyebutnya sebagai jasa gadis kelinci."

"Haah... Banyak hal terjadi, tapi kita bisa melewatinya, ya."

Yamada menghela napas dalam dan berkata dengan penuh perasaan.

"Rasanya tidak percaya, aku tidak akan jadi Yamada lagi."

"Kau kan selalu punya nama panggung. Akino Anna, kan?"

"Bukan itu maksudku!"

Dia menggembungkan pipinya.

"Kyotaro tidak mengerti betapa pentingnya ini. Aku selalu hidup sebagai Yamada selama ini, tahu? Itu akan berubah menjadi Ichikawa... dan mulai sekarang, aku akan hidup sebagai Ichikawa selamanya. Ada banyak hal yang kupikirkan, tahu."

"...Yah, kita tidak tahu apakah itu akan selamanya. Kalau misalnya kita bercerai, ada kemungkinan kau kembali menjadi Yamada—"

Begitu mengatakannya, aku langsung menyesal.

Hei, hei, apa yang kukatakan?

Siapa orang bodoh yang membicarakan kemungkinan bercerai di malam sebelum pernikahan?

Ah, benar-benar deh, aku ini, meskipun sudah berumur...

Aku merasa sangat down untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tapi,

"Kurasa kemungkinan itu tidak ada."

Dia menanggapinya dengan santai.

Dia bergerak perlahan dan duduk di pangkuanku yang masih berada di sofa. Aku bisa merasakan beratnya langsung di pahaku.

Dia melingkarkan tangannya di leherku dan menatapku dari atas.

"Kyotaro pasti tidak akan pernah melepaskanku."

Aku terpesona oleh kepercayaan yang diucapkannya dengan nada menggoda.

Matanya yang menatapku terlihat menantang dan menggoda, murni tapi sedikit nakal, seperti malaikat tapi sedikit cemas—

Dia adalah Yamada Anna yang sama seperti saat SMP, apa adanya.

"...Ya, benar."

Karena merasa tidak ingin kalah, aku memeluknya erat-erat.

Aku melingkarkan tanganku di pinggangnya, menariknya sedekat mungkin.

"Wa, tu—"

"Aku tidak akan pernah melepaskanmu seumur hidupku."

"...Ya."

Dia terkejut sejenak, tapi segera membalas pelukanku.

Kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata seolah menyelimuti kami.

Wajahnya perlahan mendekat, dan bibir kami—


"—taro, Kyotaro!"

"...Hm?"

Saat itulah aku terbangun.

Yamada yang duduk di seberangku menatapku dengan khawatir.

Bukan Yamada yang sudah dewasa berusia 24 tahun—tapi Yamada saat kelas 3 SMP.

"Kamu tertidur?"

"...Ah, iya. Sepertinya begitu..."

Aku berusaha keras menggerakkan otakku yang masih setengah tertidur.

Saat aku mengangkat wajah dan melihat sekeliling—kami berada di perpustakaan.

Aku duduk di kursi dekat jendela seperti biasa, dan Yamada duduk di seberangku.

Oh, iya.

Kami sedang belajar bersama setelah sekolah.

Liburan musim panas sudah berakhir dan semester kedua dimulai, kami kembali ke kehidupan sekolah normal.

"Jarang sekali lho, Kyotaro sampai ketiduran begini."

"...Mungkin semalam aku tidur terlalu larut."

"Hmm..."

Yamada menatapku lekat-lekat.

"Entah kenapa... wajah tidurmu terlihat sangat bahagia."

"...Eh?"

"Apa kamu mimpi indah?"

"~~~"

Aku merasa sangat malu.

Apa-apaan... mimpi memalukan macam apa yang baru saja kualami!

Tinggal bersama Yamada, bahkan di malam sebelum pernikahan... khayalanku sudah keterlaluan!

Menjijikkan, sangat menjijikkan. Ini benar-benar menjijikkan!

"A-aku tidak mau memberitahu..."

"Eeh, kenapa? Ayo beritahu."

"Tidak mungkin."

"Kenapa begitu... Ah!"

Wajahnya memerah.

"Ja-jangan-jangan... mimpi mesum...? Makanya wajahmu terlihat senang begitu—"

"Bukan!"

Aku menyangkal dengan tegas.

Tepatnya... memang sedikit mesum, sih.

"Bukan begitu, itu... mimpi tentang Yamada."

Meskipun aku tidak ingin mengatakannya, terpaksa kukatakan untuk menghilangkan kesalahpahaman.

Yamada membelalakkan matanya.

"Mimpi tentang aku?"

"...Iya."

"Mimpi mesum tentang aku..."

"Bukan mesum!"

Kenapa kesalahpahamannya malah bertambah!?

Tepatnya... memang tidak salah, sih.

Itu mimpi tentang Yamada yang sedikit mesum!

"...Biasa saja, kok. Sama sekali tidak aneh, mimpi biasa... Seperti mengobrol dengan Yamada seperti biasanya."

Memang sepuluh tahun ke depan, tapi tidak ada perubahan yang dramatis.

Tentu saja.

Bagaimanapun juga, itu hanya mimpi yang kulihat.

Aku sama sekali tidak tahu bagaimana Yamada sepuluh tahun ke depan.

Yang aku tahu hanyalah Yamada yang ada di hadapanku saat ini—

"Oh, begitu ya, biasa saja."

"Iya, biasa saja."

"Tapi—yang biasa-biasa saja itu yang paling bagus, ya."

Yamada berkata demikian.

Biasa saja. Ya, biasa saja.

Tanpa kusadari, berada bersama Yamada mulai menjadi hal yang biasa bagiku.

Biasa dan sehari-hari.

Tapi itu sama sekali tidak berarti membosankan.

Keseharianku bersama Yamada dipenuhi dengan debaran jantung yang begitu kencang sampai membuatku pusing.

"Ah. Sudah selarut ini, ya. Ayo kita pulang."

"Iya."

Kami berdua mulai bersiap-siap untuk pulang.

Hari ini pun, seperti biasa, kami pulang bersama. Karena hubungan kami belum terbuka, kami akan keluar dari pintu depan sekolah secara terpisah, lalu bertemu di tengah jalan.

Itulah keseharian kami saat ini.

Biasa saja, wajar saja—tapi perlahan-lahan berubah.

Begitulah kami menjalani hari demi hari.

Tidak seperti manga romansa yang berhasil menyatakan cinta, kami tidak langsung melompat ke pernikahan setelah sepuluh tahun berlalu.

Kami akan terus melangkah perlahan dalam keseharian yang akan terus berlanjut ini.

Bukan sendirian, tapi berdua bersama-sama.

Seperti memasak berkali-kali hingga menemukan cita rasa spesial milik sendiri.

Sambil menghayati "masa lalu" kami, kami akan terus membangun "masa depan" kami.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close