NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Heimin Shusshin no Teikoku Shoukan, Munou na Kizoku Joukan wo Juurin shite Nariagaru V1 Chapter 3

 Penerjemah: Nels

Proffreader: Nels


Chapter 3

Ratu Biru


Setelah meninggalkan ruangan, Hazen langsung menuju ke penjara bawah tanah tempat tawanan suku Kumin ditahan. Saat menuruni tangga, terdengar suara obrolan yang riuh dan gembira.


"Iruha Rona Baharo Kiru."


"Dagu Nihora Goru Kana."


Keduanya sudah mulai bercakap-cakap. Mungkin karena penampilan Jan yang seperti balita, kewaspadaan si tawanan pun rendah. Obrolan mereka tampak cukup seru. Agar tidak disadari oleh tawanan suku Kumin, Hazen duduk sedikit menjauh.


Jan sepertinya menyadari kehadirannya, tetapi ia tidak peduli dan terus bercakap-cakap dengan si tawanan. Hazen memberi isyarat kepada pengawalnya, Ray Fa, dan memerintahkannya untuk memanggil Prajurit Dua Edal.


Tak lama kemudian, Prajurit Dua Edal masuk. Hazen memanggilnya mendekat dan mulai berbicara dengan suara pelan.


"Catat semua percakapan antara Jan dan suku Kumin, lalu nanti minta Jan menerjemahkannya. Tuliskan semuanya."


"Baik. Dimengerti."


Prajurit Dua Edal segera menggoreskan penanya di atas perkamen.


"Setelah itu, tinggallah di kamarku dan belajar bahasa suku Kumin bersamaku."


"......Di kamar Letnan?"


"Apa ada masalah?"


"T-tidak! Sama sekali tidak. Hanya saja, rasanya terlalu berlebihan bagi saya."


"Aku bukan Kaisar, tidak perlu sungkan."


"......"


Prajurit Dua Edal tanpa sadar tersenyum kecut. Hazen tidak mengerti kenapa.


"Aku berencana untuk menguasainya dalam satu minggu, tapi kau, usahakan untuk menguasainya dalam waktu satu bulan."


"S-satu bulan?"


"Ini adalah misi khusus. Selama periode itu, kau dibebaskan dari semua latihan militer. Tidak ada literatur mengenai bahasa suku Kumin, jadi apa yang akan kau tulis mulai sekarang akan menjadi materi pelajarannya. Jangan sampai ada yang terlewat."


"......Baik."


Prajurit Dua Edal memasang ekspresi cemas. Tetapi, ini harus dilakukan. Hazen juga memberitahunya bahwa akan ada tes setiap minggu, dan waktu tidur serta waktu luangnya akan disesuaikan dengan tingkat kemajuannya.


"Setelah aku dan Jan pergi, kau akan menjadi penghubung dengan suku Kumin. Ini adalah pekerjaan yang sangat penting. Jika kau berhasil menyelesaikan tugas ini, pangkatmu akan kunaikkan menjadi Prajurit Satu."


"Eh!?"


"Sudah kubilang, kan? Aku akan menyiapkan imbalan yang setara dengan kemampuan dan hasil kerja."


Kenaikan pangkat yang biasanya memakan waktu empat hingga lima tahun akan terjadi hanya dalam waktu kurang dari dua bulan. Namun, Hazen tidak peduli. Itulah yang disebut meritokrasi. Setelah selesai menjelaskan, Prajurit Dua Edal menelan ludahnya.


"......Omong-omong, apakah Letnan Dua Hazen juga tidak akan memimpin latihan militer?"


"Tentu saja aku akan memimpin. Aku adalah komandan. Aku akan mengerjakan semua tugas harianku."


"L-lalu, Anda akan menguasainya dalam satu minggu?"


"Tidak perlu khawatirkan aku. Mendengarkan percakapanmu dengan Jan saja sudah cukup."


"......!"


"Apa yang kau herankan? Aku bisa melakukannya karena aku sudah terbiasa berlatih melakukan beberapa hal sekaligus. Kau juga sebaiknya mencobanya. Dengan begitu, waktu yang bisa kau manfaatkan akan berlipat ganda, jadi bisa menghemat waktu."


"Anu, saya mengerti logikanya. Tapi, bukankah tidak semua orang punya kemampuan untuk melakukan itu?"


"Aku tidak akan mengusulkannya kepada orang yang tidak mampu melakukannya."


"......Akan saya coba."


Melihat Prajurit Dua Edal menjadi bersemangat, Hazen mengangguk sambil tersenyum. Di tengah-tengah itu, ia memanggil Jan yang baru saja selesai bercakap-cakap untuk mendekat.


"Ada apa?"


"Selain dirimu, pasti ada satu orang lagi, kan? Seseorang yang bisa menggunakan bahasa suku Kumin."


"......Kenapa Anda berpikir begitu?"


"Ada dua cara utama untuk belajar bahasa. Cara belajar secara naluriah dan cara belajar secara sistematis. Yang pertama, sering kali diajarkan secara intuitif pada masa kanak-kanak. Yang kedua adalah memahami dan menguasai struktur bahasa. Dengan kata lain, yang biasa disebut sebagai bahasa kedua."


"......"


"Kedua cara ini punya pendekatan konversi bahasa yang sangat berbeda. Jan. Setelah kau mendengar suatu kata, kau mengubahnya ke dalam bahasa pertamamu di dalam otak. Meskipun hanya sedikit, aku merasakan adanya jeda waktu seperti itu."


"......Memang benar, sih, tapi... menyeramkan!"


"Apanya?"


"Rasanya seperti semua hal tentang saya bisa Anda tebak, itu mengerikan."


"Kalau begitu, kita sama saja. Aku sama sekali tidak mengerti kenapa kau tidak mengerti, jadi aku juga merasa ngeri."


"A-apa itu kata-kata yang pantas diucapkan pada gadis sekecil ini!?"


"Cukup obrolan tidak bergunanya. Orang seperti apa dia?"


"Kkh... Dia seorang pedagang kenalan saya bernama Nandal. Tapi saya tidak tahu kenapa dia bisa bicara bahasa itu."


"Bawa dia kemari."


"......Apa yang Anda rencanakan?"


"Urusan bisnis."


"Apa seorang prajurit membutuhkannya?"


"Aku tidak menjadi prajurit sepanjang hari. Selain itu, membicarakan urusan bisnis bukanlah pelanggaran peraturan militer."


"......Tapi, ada juga hubunganku dengan Tuan Nandal."


"Aku tidak menanyakan pendapatmu. Lakukan."


"......Mukiii!"


Saat Hazen menekan-nekan kepala Jan, gadis itu melawan. Ada sebagian orang yang lemah mentalnya dan akan langsung depresi jika diintimidasi sedikit, tetapi gadis ini tidak. Justru, semakin ditempa, dia akan semakin kuat. Dia selalu berusaha untuk maju. Itulah sifat yang disukai Hazen.


Bagi Hazen, sekadar jenius saja tidaklah cukup. Orang seperti itu pada akhirnya hanyalah barang palsu, bukan kekuatan sejati. Untuk bisa berkembang, berbagai elemen mental seperti ketangguhan, semangat pemberontakan, dan ambisi adalah hal yang mutlak diperlukan.


Sambil menunjukkan kemarahannya secara berlebihan, Jan menaiki tangga dengan kasar.


Keesokan harinya, Jan membawa seorang pedagang bernama Nandal. Dia adalah seorang pria berusia sekitar 30-an dengan janggut yang tidak terurus. Begitu masuk ke ruang tamu, Nandal duduk di sofa. Dia bersandar dengan angkuh, sikapnya terkesan seenaknya. Rupanya, dia tidak merasa gentar terhadap seorang prajurit.


"Anda memanggil saya?"


"Kudengar kau mengajari Jan bahasa suku Kumin. Kenapa kau bisa tahu bahasa itu?"


"......Jika Anda berjanji tidak akan menuntut saya, akan saya jawab."


"Ini ada dokumen. Tertulis di sini bahwa semua kesaksianmu tidak akan dipermasalahkan. Tenang saja. Dan ini, upahnya."


Hazen menyerahkan dokumen dan sekeping koin perak besar.


"Rupanya kau sudah siap sedia, ya. Dan koin perak besar, kau murah hati sekali. Tapi, sekalipun aku memberikan kesaksian palsu, aku tidak akan dituntut, kan? Padahal tidak ada jaminan aku akan mengatakan yang sebenarnya."


"Soal itu benar atau tidak, pihak kami yang akan menilainya."


"Heeh."


Hazen menatap lekat mata Nandal yang seolah sedang menilainya, seolah-olah sedang mengintip ke dalam jiwanya.


"......Mata yang menakutkan. Rasanya seperti jantungku sedang dielus-elus. Baiklah, aku mengerti. Aku juga seorang pedagang. Aku akan memberikan kesaksian senilai satu keping koin perak besar."


"Terima kasih."


"Ini tentang bahasa suku Kumin, ya. Waktu muda, aku pernah pacaran dengan seorang wanita dari suku Kumin."


"......Begitu."


"Katanya dia diserang oleh binatang di hutan. Dia tergeletak kehabisan banyak darah. Aku merawatnya, dan dari situlah semuanya dimulai. Yah, bisa dibilang itu cinta pada pandangan pertama."


"Berapa lama kalian pacaran?"


"Lima tahun, sejak umurku 16."


"Kalian putus?"


"Dia dibunuh. Soalnya, dia melanggar hukum adat suku Kumin. Dia ketahuan, dan beginilah akhirnya."


Nandal menggerakkan ibu jarinya melintang di leher.


"Dia wanita yang baik... Saat itu, kupikir aku akan mati karena amarah dan kebencian."


"......"


Kalau diartikan sebaliknya, itu berarti perasaannya saat ini sudah tidak sedalam itu lagi.


"Alasan kau mengajari Jan bahasa suku Kumin?"


"Anak ini pintar, kan? Aku tahu mereka tidak akan menyakiti anak-anak, jadi aku mencari anak yang kelihatannya paling cerdas di panti asuhan."


"Begitu. Aku mengerti ceritanya."


"Jadi? Pasti ada maksud utamanya, kan?"


Nandal bertanya sambil menyentuh janggutnya yang tidak terurus. Dia masih belum mengubah sikapnya yang seolah-olah sedang menilai. Hazen justru menyukai sikapnya itu. Dia tidak suka sikap yang merendah secara berlebihan. Karena bisnis bukanlah sesuatu di mana salah satu pihak harus merendahkan diri.


"Sebentar lagi, perjanjian gencatan senjata dengan suku Kumin akan disepakati. Saat itu, kita akan butuh seorang pedagang untuk melakukan transaksi. Maukah kau bekerja sama denganku?"


"Perjanjian gencatan senjata? Tidak mungkin. Anda pikir sudah berapa banyak darah yang tertumpah sampai sekarang? Pertikaian ini akan terus berlanjut sampai salah satu pihak musnah."


"Anggap saja jika perjanjian itu berhasil disepakati. Hanya segelintir orang yang bisa berbicara dengan suku Kumin. Aku ingin memonopoli keuntungan dari perdagangan itu."


"......"


Seketika, mata Nandal berkilat tajam. Naluri bisnisnya sepertinya telah tersulut.


"Apakah itu artinya pekerjaan ini akan diberikan melalui militer Kekaisaran?"


"Bukan, militer tidak ada hubungannya. Ini adalah urusan pribadiku."


"......Begitu. Penyelundupan, ya. Anda orang yang nekat. Berani-beraninya membicarakan hal ini terang-terangan di dalam benteng Kekaisaran."


"Aku hanya akan memfasilitasi pertukaran antara warga sipil Kekaisaran dan suku Kumin. Ini tidak melanggar peraturan militer."


"......Seandainya saya setuju untuk bekerja sama, berapa banyak yang harus saya berikan pada Anda?"


"Tidak perlu."


"Maksud Anda, Anda tidak akan menerimanya secara langsung?"


Yang dimaksud Nandal mungkin adalah pencucian uang. Sebuah metode di mana uang diberikan kepada seseorang yang hubungannya tidak terlalu dekat, lalu pada akhirnya uang itu akan sampai ke tangan Hazen. Namun, Hazen menggelengkan kepalanya.


"Bukan. Maksudku, aku tidak akan mengambil bagian dari keuntunganmu."


"Hah? Kalau begitu, hanya saya saja yang akan untung."


"Tepat sekali."


"......"


Nandal menyipitkan matanya sambil menyentuh janggutnya yang tidak terurus. Rupanya, dia bingung karena tidak bisa membaca niat Hazen.


"Tawaran yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan seperti itu, aku tidak bisa langsung menerimanya. Apa udang di balik batu?"


"Ada satu syarat. Pertama, perlihatkan daftar barang yang akan diperdagangkan kepadaku, dan berikan aku hak negosiasi pertama."


"Berapa nilainya?"


"Kuserahkan pada Jan."


"Hanya itu saja?"


"Ya."


"......Aku menyerah."


Nandal menunjukkan wajah yang jelas-jelas kebingungan.


"Apa kau tidak puas?"


"Bukan. Aku juga seorang pedagang. Kupikir aku cukup pandai membaca niat orang lain, tapi niatmu sama sekali tidak bisa kubaca."


"......Ini adalah pembicaraan untuk nanti. Nandal, kau menjual barang, tapi kau juga menjadi pemasok, kan?"


"Tentu saja. Kalau tidak memasok, tidak ada yang bisa dijual."


"Aku berencana untuk mengolah barang yang kubeli dari suku Kumin, lalu menjualnya kembali kepada mereka."


"......"


Mendengar itu, Nandal terdiam. Setelah lebih dari lima menit berlalu, akhirnya ia membuka mulut.


"Maksudmu, ada barang berharga yang kau incar di antara barang dagangan suku Kumin?"


"Benar. Tapi, aku belum bisa mengatakannya sekarang."


"......Baiklah. Aku terima."


"Kau yakin?"


Hazen menyatakan bahwa ia akan merahasiakan sebagian informasi. Biasanya, orang akan berpikir di situlah letak keuntungan terbesarnya. Nandal adalah pria yang tampaknya punya insting tajam. Jika dia pedagang yang ulung, tidak mungkin dia melewatkan bagian yang paling menguntungkan. Namun, sambil menyentuh janggutnya yang tidak terurus, pria itu mengangguk.


"Ya. Aku suka bagian di mana kau bilang 'tidak akan mengambil bagian dari keuntungan'. Prajurit Kekaisaran itu isinya hanya orang-orang yang berlindung di balik kekuasaan. Jujur saja, aku sempat berpikir berapa banyak kau akan memeras dariku, tetapi ternyata itu kekhawatiran yang tidak perlu."


"......Orang yang melakukan bisnis dengan jujur, seharusnya mendapatkan keuntungan yang jujur pula. Sistem di mana seseorang bisa untung tanpa melakukan apa-apa hanya akan menghambat pertumbuhan mereka yang berbisnis dengan jujur."


Tujuan Hazen bukanlah untuk memeras keuntungan. Melainkan untuk hidup berdampingan dengan orang-orang di sekitarnya yang telah ia pilih dan membentuk sebuah komunitas besar. Jika sebuah bisnis yang belum pernah ada sebelumnya berhasil, keuntungannya akan sangat besar. Karena di sana tidak ada pesaing. Hazen berpikir, alasan para pedagang tidak melakukan petualangan seperti itu adalah karena para bangsawan, serikat dagang, dan negara yang memiliki kepentingan dan komunitas yang sudah mapan akan menghalangi mereka.


"Gahaha! Aku menyukaimu. Jan, kau beruntung dipungut oleh pria yang hebat."


"S-saya rasa sama sekali tidak begitu."


Gadis berambut merah muda itu memasang ekspresi paling jijik yang bisa ia tunjukkan.


Tiga hari kemudian, Hazen berangkat menuju pemukiman suku Kumin. Yang menemaninya adalah Ray Fa, Jan, dan tawanan dari suku Kumin, Kosaku.


Mereka melintasi gunung dan menyeberangi sungai dengan kuda. Seperti yang diharapkan dari suku pegunungan. Lokasinya cukup jauh di pedalaman dan sepertinya sulit untuk diserang. Setelah sekitar dua jam, mereka tiba di pemukiman yang dituju.


"......Na Shiro! (Bunuh!)"


Begitu seorang prajurit suku Kumin menyadari kehadiran Hazen dan rombongannya, ia berteriak aneh dan menyerang. Namun, begitu melihat si tawanan, Kosaku, ia memasang ekspresi terkejut dan berhenti. Kosaku menjelaskan situasinya kepada mereka dan memerintahkan agar diantar ke hadapan kepala suku.


"......Entah kenapa, kita ditatap dengan sangat tajam."


Jan membuka mulut sambil melihat sekeliling. Bagi gadis ini, suku Kumin adalah rekan dagangnya. Dia tampak bingung dengan reaksi yang sangat berlawanan dari sikap yang biasa ia terima.


"Kekaisaran dan suku Kumin sudah lama berperang. Pasti banyak juga dari mereka yang keluarganya terbunuh."


"Apa kita bisa membuat perjanjian gencatan senjata dengan orang-orang seperti itu?"


"Tergantung pemikiran kepala sukunya. Setidaknya, fakta bahwa kita diantar ke hadapan kepala suku berarti ada niat untuk bernegosiasi, kan."


Hazen dan rombongannya masuk ke dalam sebuah tenda raksasa di pusat pemukiman. Di sana, ada lebih dari sepuluh pria yang tampak sangat tangguh. Mereka memiliki tubuh yang kekar, dan luka pertempuran terlihat di mana-mana. Dapat dipastikan bahwa mereka juga bisa menggunakan sihir.


Di tengah-tengah mereka, di bagian paling dalam, duduk seorang wanita muda. Dia adalah seorang wanita cantik yang sangat menarik perhatian, mengenakan mahkota biru dengan hiasan mewah. Hazen berlutut di hadapannya dan merentangkan lengannya secara horizontal.


"Aku terkejut. Seorang prajurit Kekaisaran ternyata memahami etiket suku Kumin."


"Nama saya Hazen, Letnan Dua dari militer Kekaisaran."


"......Kau bahkan bisa berbicara bahasa kami, ya. Aku Basia, kepala suku ini. Kudengar kau datang untuk membuat perjanjian gencatan senjata."


"Benar."


Basia adalah sosok yang mempersatukan suku-suku kecil lain yang lemah di sekitarnya. Karena itu, meskipun ia adalah kepala suku Kumin, ia dipuji oleh suku-suku lain sebagai 'Ratu Biru'.


"Kau mungkin datang dengan perkiraan akan berhasil, tetapi dugaanmu meleset. Kalian semua akan dibunuh di sini."


Saat dia mengangkat tangannya, para pria suku Kumin serempak mengarahkan pedang mereka dan mengepung rombongan Hazen.


Namun, penyihir berambut hitam itu tersenyum tanpa gentar.


Dan Ratu suku Kumin pun, tersenyum tanpa gentar.


"Salam perkenalan yang tiba-tiba ini, saya sangat menghargainya."


"Ditusuk, dipajang kepalanya, atau diseret, mana yang kau suka?"


Saat tatapan tajam keduanya bertemu, Jan yang bersembunyi di belakang Ray Fa, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Rupanya, dia sedang memeriksa rute pelarian untuk berjaga-jaga.


Menyadari hal itu, salah seorang prajurit mencoba mengarahkan pedangnya ke arah Jan. Seketika itu juga, ekspresi Ratu Basia berubah drastis, dan ia berdiri.


"......Hei? Apa kau mengarahkan pedangmu pada seorang anak?"


"T-tapi, anak dari Kekaisaran ini hendak melarikan diri..."


Bahkan sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya. Ratu muda yang mengenakan mahkota biru itu, dengan satu sabetan kilat, memenggal kepalanya.


"Beraninya kau mengarahkan pedang bahkan pada seorang anak. Dasar tidak tahu malu."


Basia melontarkan kata-kata hinaan ke arah mayat tanpa kepala itu. Suasana yang sudah tegang menjadi semakin brutal. Namun, Hazen membuka mulut tanpa mengubah raut wajahnya sedikit pun.


"Saya tidak keberatan jika pedang diarahkan kepadanya."


"Kalau saya jelas keberatan!"


Jan menatap Hazen dengan ekspresi syok, tetapi Hazen mengabaikannya. Melihat pemandangan itu, Basia meludah dengan nada tidak senang.


"Dasar manusia hina. Tapi, kau keberatan atau tidak, itu tidak ada hubungannya. Pihak kami akan melakukan apa pun yang kami suka."


"Karena itulah, suku Kumin mengalami kemunduran."


"......Apa katamu?"


"Jika ingin kesejahteraan sukumu terjamin, seharusnya kau memusnahkan anak-anak dari negara musuh. Karena kalian, suku Kumin, tidak akan pernah berbaur dengan bangsa dari negara lain. Jika itu tidak dilakukan, anak-anak dari negara musuh akan tumbuh dengan dendam terhadap suku Kumin, dan akan membalas dendam. Mereka akan membantai anak-anak suku Kumin tanpa pandang bulu."


"......"


"Tidak membunuh anak-anak dari negara dan suku lain. Hukum adat yang sangat mulia. Tetapi, karena terlalu mulia, wilayah kalian direbut oleh Kekaisaran dan negara lain yang tidak punya aturan seperti itu."


"......Jadi? Cukup dengan ceramah agungmu itu, apa kau pikir pedang di lehermu ini akan ditarik begitu saja?"


Ujung pedang yang tajam itu menyentuh kulit Hazen, begitu dekat hingga seolah akan menembusnya jika ditekan sedikit saja. Namun, pemuda berambut hitam itu tidak gentar sedikit pun, dan terus menatap sang ratu muda yang mengenakan mahkota biru.


"Anda akan menyesalinya. Pilihan itu akan menghancurkan kalian sendiri."


"......Permohonan ampun yang menyedihkan. Yah, sudahlah. Toh kau akan mati juga. Coba saja bicara."


"Populasi Kekaisaran adalah 30 juta jiwa. Saya sudah memeriksanya, dan suku Kumin adalah suku kecil dengan populasi sekitar 300 ribu jiwa. Jika kita benar-benar bermusuhan, sudah jelas siapa yang akan menang."


"Kalau begitu, hal yang sama bisa dikatakan di sini. Di tempat ini, perbandingannya 300 lawan 2."


"Benar. Di sini, situasinya adalah kami berdua melawan 300 orang dari suku Kumin, dan ini adalah miniatur dari Kekaisaran dan suku Kumin. Perbedaan kekuatan yang luar biasa. Siapa pun pasti akan merasa putus asa."


"......"


"Ada satu alasan kenapa suku Kumin tidak dimusnahkan. Wilayah pegunungan di sekitar sini adalah tanah yang nilainya kecil bagi Kekaisaran. Begitulah kami memandang kalian... untuk saat ini."


Begitu ia mengatakan hal itu, teriakan marah dari para pria suku Kumin menggema di seluruh tenda.


"......Jangan berteriak."


Begitu Basia bergumam, suara-suara itu langsung berhenti. Rupanya, sang Ratu memiliki karisma yang luar biasa. Dia benar-benar mengendalikan para anak buahnya.


"Maksudmu, untuk saat ini?"


"Di sini, ada sesuatu yang sangat diinginkan oleh Kekaisaran sampai rasanya kerongkongan ini kering. Benar, kan?"


"......Apa itu?"


"Permata."


Hazen menjawab sambil tersenyum.


Basia terdiam. Permata adalah material yang menjadi inti dalam pembuatan tongkat sihir. Batu misterius ini muncul karena berbagai kondisi alam yang langka. Jika sumbernya ada di sini, negara-negara tetangga akan saling berebut, dan suku Kumin tidak akan berdaya.


Sang Ratu muda menatap tajam pemuda berambut hitam itu, lalu akhirnya membuka mulut.


"Kenapa kau berpikir begitu?"


"Saya menganalisis tongkat sihir yang digunakan oleh si tawanan, Kosaku. Pembuatan tongkat sihirnya kasar dan primitif. Kemampuannya sebagai penyihir juga tidak tinggi. Akan tetapi, kualitas Permatanya saja yang luar biasa tinggi."


"......Pedas sekali ucapanmu."


"Itu fakta."


Hazen menilainya sebagai Permata peringkat 7. Di Kekaisaran, ini adalah barang yang sangat mahal hingga hanya digunakan oleh perwira setingkat Kapten. Fakta bahwa benda itu digunakan oleh anggota suku kecil, terlebih lagi oleh komandan setingkat kompi (Letnan Dua dalam standar Kekaisaran), jelas sangat aneh. Jika dipikirkan seperti itu, wajar jika menyimpulkan bahwa di sinilah sumber Permata itu berada.


"Untuk saat ini, hanya saya yang menyadarinya. Selama masih begini, kita bisa membuat perjanjian gencatan senjata sambil tetap menyembunyikan fakta itu."


"......Seandainya pun sumber Permata itu ada, kenapa kau tidak memberitahukan fakta itu pada Kekaisaran? Jika kau memikirkan keuntungan Kekaisaran, bukankah seharusnya kau melapor dan menyerang kami?"


"Jawabannya sederhana. Karena saya ingin memonopoli Permata itu untuk diri saya sendiri."


"Hah!?"


Basia membuka mulutnya dengan lebar. Tidak ada permusuhan di sana, melainkan murni rasa terkejut.


"Dasar orang gila. Lagipula, apa kau pikir kami, suku Kumin, akan begitu saja menyerahkannya padamu?"


"Permata hanyalah batu tak berguna jika tidak diubah menjadi tongkat sihir. Dan jika dibiarkan begitu saja sebagai sumber, suatu saat nanti Kekaisaran atau negara lain akan menemukannya dan menghancurkan kalian. Bagi suku Kumin, keberadaan Permata itu justru akan berakibat negatif."


Sumber daya adalah sesuatu yang selalu menjadi incaran. Dan bagi mereka yang tidak punya kekuatan untuk melindunginya, itu bisa menjadi racun.


"......"


"Tentu saja, saya tidak akan memintamu menjualnya dengan harga cuma-cuma. Demi menjaga kerahasiaan, saya akan memastikan jalur distribusinya eksklusif, tapi saya ingin membelinya dengan harga di atas harga pasaran yang beredar di Kekaisaran."


"......Aku tidak mengerti. Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan? Kalau kau menawar dengan harga murah, aku masih bisa mengerti, tapi jika kau membelinya dengan harga di atas harga pasaran, kau pasti akan rugi. Apa untungnya melakukan hal seperti itu?"


Basia melontarkan pertanyaan yang murni didasari rasa penasaran. Kepala suku yang baik, pikir Hazen. Dalam pertanyaannya tidak ada dendam atau kebencian. Yang terlihat hanyalah usahanya yang mati-matian dalam mencari jalan untuk masa depan sukunya.


"Saya ingin menjadi pembeli sekaligus penjual bagi kalian."


"......Apa yang akan kau jual pada kami?"


"Tongkat sihir. Kalian pasti sangat menginginkan tongkat sihir buatan pengrajin yang handal, kan."


Hazen melemparkan tongkat sihirnya sendiri, Kagekiba, ke hadapan Basia. Basia memandangnya dari berbagai sudut.


"......Memang, ini tongkat sihir yang bagus. Aku bisa tahu hanya dengan melihatnya. Kau yang membuat ini?"


"Ini adalah tongkat sihir pertama yang saya buat dua tahun yang lalu."


"Di Kekaisaran, pengrajin tongkat sihir seharusnya berada di bawah sistem kontrak eksklusif. Kenapa kau yang seorang prajurit bisa membuatnya?"


Sistem kontrak eksklusif adalah hukum yang menyatakan bahwa 'pembuatan dan jual beli tongkat sihir hanya dapat ditangani melalui perantara Serikat Pengrajin Tongkat Sihir'. Dengan adanya hukum ini, Permata secara eksklusif dipasok ke Serikat Pengrajin Tongkat Sihir. Oleh karena itu, biasanya tidak ada pengrajin tongkat sihir dari kalangan militer yang tidak bisa bergabung dengan serikat tersebut.


"Saya mencuri tekniknya. Sisanya, saya belajar dengan mengamati dan meniru, serta dengan kreativitas dan inovasi. Saya yakin bahwa dengan teknologi yang saya miliki saat ini, hasilnya tidak akan kalah dari pengrajin ternama."


Saat masih di akademi, dia pernah mengambil kelas kerajinan tongkat sihir. Untuk mempelajari proses intinya, syaratnya adalah harus bergabung dengan Serikat Pengrajin Tongkat Sihir, tetapi Hazen tidak membuat kontrak sihir itu. Tentu saja, itu ilegal.


Basia mendengarkan penjelasan itu, lalu terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka mulut.


"Maksudmu kau akan membuat tongkat sihir dan menjual produk jadinya kepada kami?"


Hazen mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya, niatnya sudah bisa dipahami.


"Intinya, selama itu bukan dalam bentuk sumber aslinya, tidak masalah. Kalian akan mendapatkan tongkat sihir yang bagus. Saya akan mendapatkan upah pembuatannya. Seharusnya ini bukan transaksi yang merugikan bagi kedua belah pihak."


"......Aku tetap tidak mengerti. Apa yang kau katakan memang akan memberikan keuntungan yang pasti bagi kami. Tapi bagimu, sepertinya keuntungannya tidak sebesar itu."


"Tidak. Ini sudah cukup. Sebagai seorang prajurit Kekaisaran, jika saya bisa membuat perjanjian gencatan senjata dengan suku Kumin, saya akan mendapatkan prestasi yang sangat besar. Saat ini, yang paling saya inginkan adalah hasil."


"......Seandainya muncul Permata tingkat spesial? Apa kau akan mengolahnya dan menyerahkan tongkat sihirnya pada kami?"


Permata tingkat spesial adalah Permata super langka yang hanya ditemukan sekali atau dua kali dalam beberapa dekade. Nilainya dikatakan setara dengan sebuah negara kecil. Intinya, mungkin Basia berpikir itulah yang diincar Hazen. Namun, Hazen mengangguk tanpa ragu.


"Akan saya serahkan. Saya juga akan membuat kontrak sihir. Saya sendiri, saat ini tidak membutuhkan tongkat sihir dengan kualitas setinggi itu. Mengingat posisi saya hanya seorang Letnan Dua."


"......Saat ini?"


"Tidak ada maksud yang dalam. Yang saya butuhkan saat ini adalah pengalaman dalam membuat tongkat sihir. Daripada menggunakan tongkat sihir yang terbuat dari Permata tingkat spesial, saya lebih menginginkan kesempatan untuk membuat tongkat sihir itu. Demi menciptakan tongkat sihir terhebat."


"......"


Bagi Hazen, mengasah keterampilannya sebagai seorang pengrajin tongkat sihir adalah hal yang wajib. Akan tetapi, untuk itu, Permata berkualitas tinggi mutlak diperlukan. Permata biasanya dipasok ke Serikat Pengrajin Tongkat Sihir, sehingga tidak bisa ia dapatkan. Oleh karena itu, ia harus membelinya di pasar gelap dengan harga lebih dari 10 kali lipat harga normal.


Membeli Permata sendiri dan membuatnya menjadi tongkat sihir memakan biaya yang terlalu besar.


"Begitu, ya. Aku sudah paham kalau kau adalah pria yang menarik. Standar penilaianmu, nilai-nilaimu, jelas menyimpang dari seorang prajurit Kekaisaran... sebenarnya, kau ini siapa?"


"Hanya seorang prajurit Kekaisaran biasa. Yang hanya melakukan apa yang perlu untuk mencapai puncak."


"Apa yang kau lakukan ini akan menguntungkan Kekaisaran?"


"Keuntungan Kekaisaran, jujur saja aku tidak peduli. Aku hanya memanfaatkan Kekaisaran."


Hazen selalu bertujuan untuk menggunakan Kekaisaran demi memaksimalkan keuntungannya sendiri. Dia sama sekali tidak berniat untuk mengabdi pada Kekaisaran dengan setia.


"Baiklah."


"Apakah itu berarti Anda menerimanya?"


"Bukan. Kami adalah suku pejuang. Yang lemah tidak pantas dipercaya."


"Begitu. Lalu?"


"Duel. Di sanalah akan ditentukan apakah kau seorang bodoh yang nekat... atau seorang pahlawan sejati."


"Saya mengerti. Kalau begitu, selain Ratu, siapa yang terkuat di antara kalian di sini?"


"......Seorang letnan dua rendahan dari Kekaisaran, mau melawan orang nomor dua kami?"


"Ini saya sudah menahan diri. Terus terang, dengan Permata peringkat 10, saya merasa tidak yakin untuk berhadapan dengan Anda."


Hazen tersenyum tanpa gentar.


Basia mengangkat tangannya, memerintahkan para prajurit Kumin untuk menarik pedang mereka. Namun, terhadap Ray Fa, pedang mereka tetap terarah. Yah, karena Ray Fa sudah hampir tertidur karena pembicaraan yang terlalu lama, intimidasi itu tidak terlalu berarti.


"Oribes, maju."


"Siap!"


Sang Ratu muda memberi perintah kepada seorang pria kekar yang siaga di sebelahnya. Meskipun suku kecil, dia adalah orang nomor dua. Hazen menduga kekuatannya setara dengan perwira setingkat Letnan Kolonel di Kekaisaran.


"Asal kau tahu, dengan tongkat sihir bernama Kagekiba itu, kau tidak akan bisa menang sekalipun kau membalikkan badan, tahu?"


"Yah, mari kita coba. Bagaimana dengan aturannya?"


"Aturan? Tidak ada yang seperti itu. Kita hanya akan terus bertarung sampai salah satu pihak tumbang."


"Saya mengerti."


Sambil berkata begitu, Hazen berbalik membelakangi Oribes dan mulai berjalan. Sikapnya itu terlalu tanpa pertahanan. Prajurit kekar itu jelas memasang ekspresi masam.


"Kau... meremehkanku? Itu sama saja dengan minta dibunuh, tahu?"


"Dalam sebuah duel, apa seorang pejuang yang lebih hebat akan menusuk dari belakang? Kau bilang tidak ada aturan, tapi ini adalah untuk mengukur kekuatanku. Kalau begitu, Oribes, kau tidak akan bisa melakukan apa pun di sini."


"......"


Sesuai dengan pernyataannya, sampai Hazen keluar dari tenda, Oribes tidak bergerak sedikit pun. Dalam hal menguasai situasi, tidak ada yang bisa menandingi Hazen. Itu adalah hasil yang ditempa oleh pengalaman tempur yang luar biasa.


Setelah keluar ke alun-alun besar di dalam pemukiman, keduanya saling berhadapan. Tongkat sihir Oribes adalah sebuah tongkat panjang setinggi badannya sendiri. Saat ia mengarahkan tongkat sihirnya ke arah Hazen, tiba-tiba muncul sebuah hantu naga raksasa. Naga itu membuka mulutnya lebar-lebar dan memuntahkan bilah-bilah bongkahan es dalam jumlah besar.


Hazen berhasil menghindarinya, tetapi area di sekitarnya menjadi hancur berantakan.


"Hati-hati. Naga es ini sifatnya buas."


"......Memang benar, dengan Kagekiba ini aku tidak akan bisa menang."


Kekuatannya berada di level yang berbeda. Kemungkinan Permata yang digunakan Oribes adalah peringkat 4 atau 5. Permata tingkat tinggi yang di Kekaisaran setara dengan yang digunakan oleh perwira setingkat Kolonel. Kualitas tongkat sihirnya beberapa tingkat lebih rendah, tetapi meskipun begitu, kekuatannya jauh lebih besar daripada sihir yang dikeluarkan Hazen.


"Aku hanya akan memberimu ampun di awal saja. Jangan pikir kau bisa menghindarinya lagi lain kali."


Kata-kata Oribes bukanlah gertakan. Bilah-bilah bongkahan es yang merepotkan ini kemungkinan bisa ditembakkan dalam jangkauan yang lebih luas lagi.


"......Keke."


Akan tetapi.


Hazen tersenyum tanpa gentar.



Tiga tahun yang lalu. Setelah menyeberangi Laut Hitam, yang secara praktis dianggap mustahil untuk dilintasi, Hazen tiba di Benua Timur ini. Saat itu, ia tercengang dengan perbedaan sistem sihir. Di tempat asalnya, untuk mengeluarkan sihir ke luar tubuh, dibutuhkan dua prosedur: Chant dan Seal. Chant adalah proses membangun kekuatan sihir yang berasal dari Gate medan sihir yang ada di bagian kiri otak besar di dalam tubuh, dan mengubah prinsip sihir menjadi bahasa. Seal adalah proses mengeluarkan prinsip sihir ke luar dengan menggambar sebuah simbol. Akan tetapi, di benua ini, tongkat sihir-lah yang menjalankan peran itu. Mengeluarkan sihir tanpa perlu melakukan proses chant dan seal dapat mempersingkat kecepatan aktivasi secara drastis. Di sisi lain, karena jenis sihir menjadi sangat terbatas, seorang individu tidak dapat mengeluarkan sihir yang beraneka ragam. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, dan tidak bisa ditentukan mana yang lebih unggul, tetapi Hazen memilih sistem sihir tongkat sihir tanpa ragu.

Memulai dari nol... tidak, bahkan dari titik minus, karena pengaruh sistem sihir sebelumnya membuatnya tidak bisa mengeluarkan sihir sama sekali.

"Kau... apa itu?"


Oribes menatapnya dengan pandangan tak percaya.


Di belakang Hazen, ada delapan tongkat sihir. Semuanya melayang di udara. Bukan hanya Oribes, semua orang dari suku Kumin menatapnya dengan pandangan tak percaya.


Biasanya, satu penyihir hanya menggunakan satu jenis tongkat sihir. Bahkan pengguna yang sangat mahir pun paling hanya memiliki sekitar empat jenis.


Itulah pengetahuan umum di benua ini.


"Oh, ini? Dengan Kagekiba, sepertinya aku tidak akan bisa menang bagaimanapun caranya."


Saat Hazen melemparkan Kagekiba, sebuah tongkat sihir yang lain mendarat di tangan kanannya.


"Kkh..."


Saat Oribes kembali mengangkat tongkat sihirnya, sang naga memuntahkan bilah-bilah bongkahan es dalam jangkauan yang luas. Akan tetapi, Hazen juga mengangkat tongkat sihirnya pada saat yang bersamaan. Yang muncul adalah sebuah perisai raksasa setinggi tubuhnya.


"Jika diperluas jangkauannya, kekuatannya akan melemah. Kalau begitu, bahkan dengan 'Chitein' yang dibuat dari Permata peringkat 10 ini pun masih ada cara untuk melawannya."


Setelah menahan serangan itu, Hazen membuka tangan kirinya, dan sebuah tongkat sihir yang lain terisap masuk ke genggamannya.


"Menggunakan tongkat sihir dengan kedua tangan? Kau... dasar monster?"


Tanpa sadar Oribes mengucapkannya. Penyihir biasa umumnya mengayunkan tongkat sihir dengan salah satu tangan, tetapi Hazen sudah menggunakan dua jenis tongkat sihir sekaligus dengan kedua tangannya.


"Jika tidak ada seorang pun dalam sejarah, aku akan bangga. Tapi kudengar di Kekaisaran, Mi Syl juga seperti itu."


"......Kau pikir kau setara dengan sang 'Shihaku' itu?"


Dia adalah salah satu orang yang paling ditakuti di benua ini.


Hazen melemparkan sebuah tongkat sihir yang ujungnya runcing tajam seperti tombak. Tongkat itu melesat dengan kecepatan tinggi dan menghantam rahang naga ilusi hingga hancur berkeping-keping.


"Mustahil... bisa dihancurkan?"


"Guren. Tongkat sihir yang dikhususkan untuk satu serangan. Tongkat sihir yang boros dan hanya bisa digunakan sekali sehari, tetapi kekuatannya setara dengan peringkat 8."


"......Tidak mungkin. Permata ini peringkat 5, tahu?"


"Itu... mungkin perbedaan level di antara kita."


Sambil tersenyum, Hazen mengambil sebuah tongkat sihir baru ke tangannya dan mengayunkannya.


Akan tetapi, tidak ada efek apa pun yang muncul.


"H-hanya gertakan?"


Oribes memasang ekspresi lega sambil mengangkat tongkat sihirnya sendiri.


"Maaf, tapi waktu bermainnya sudah selesai. Akan kuserang dengan segenap kekuatanku."


Hantu naga yang muncul kembali menggembungkan mulutnya lebar-lebar, mengumpulkan tenaga. Serangan dengan kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari sebelumnya akan datang. Jangkauannya pun lebih luas, tidak ada cara untuk menghindarinya.


Dengan ini, Hazen tidak bisa lagi menghindar ataupun bertahan.


Setidaknya, begitulah Oribes melihatnya.


Akan tetapi, Hazen juga tersenyum, yakin akan kemenangannya.


"Yang terpenting dalam duel penyihir adalah saling menipu. Kau memang hebat di medan perang, tapi sepertinya kau tidak cocok untuk berduel."


Sambil bergumam begitu.


Hazen mengayunkan tongkat sihirnya. Seketika, bayangan berbentuk kertas melesat dari titik buta Oribes dan melilit tubuhnya. Oribes, yang tidak mengerti apa yang terjadi, berteriak panik.


"D-duel seharusnya satu lawan satu. S-siapa yang..."


"Oh. Itu adalah efek dari tongkat sihir, 'Gishu'. Tongkat ini punya efek untuk menyalurkan kekuatan sihir dari jarak jauh."


"......!"


Alasan Hazen membuang Kagekiba adalah agar keberadaannya tidak terdeteksi. Hazen perlahan-lahan bergerak ke posisi di mana ia bisa menembakkan bayangan berbentuk kertas dari titik buta Oribes. Setelah itu, ia hanya perlu menunggu saat lawannya mengumpulkan kekuatan sihir untuk melepaskan satu serangan pamungkas. Tindakannya yang hanya mengayunkan tongkat sihir tanpa efek di awal juga merupakan gertakan. Dengan membuat lawannya berpikir bahwa ia sudah kehabisan akal, ia berhasil melonggarkan kewaspadaan Oribes. Oribes memang kuat, tetapi dia adalah prajurit yang berpikiran sederhana. Mempermainkan orang seperti itu adalah hal yang mudah.


Sang Ratu Biru akhirnya mengangkat tangannya dan menyatakan.


"Pertarungan selesai... ya."


"Saya memang mencoba menggunakan sedikit trik, tapi, yah, dengan kemampuan saya saat ini, beginilah hasilnya."


"......"


"Apa Anda tidak puas? Saya juga ingin bertarung adu kekuatan, tapi sayangnya Permata yang saya miliki tidak mendukung."


"Trik? Kau menyebut itu trik?"


Basia bergumam dengan keringat yang membasahi dahinya.



Dalam sistem sihir Benua Barat, keberadaan tongkat sihir sama sekali tidak ada, dan sihir dikeluarkan hanya dengan tubuh sendiri. Sebagai gantinya, meskipun bisa mengeluarkan berbagai macam sihir, tindakan yang disebut chant dan seal mutlak diperlukan.


Dengan kata lain, butuh waktu hingga sihir bisa dikeluarkan.


Tongkat sihir tidak memerlukan tindakan seperti itu. Hal ini memberikan keuntungan dalam pertempuran di mana perbedaan sepersekian detik dapat menentukan hidup dan mati.


Karena itulah Hazen berpikir. Dia harus memiliki lebih banyak tongkat sihir agar bisa menggunakannya sesuai dengan karakteristik lawan. Munculnya delapan jenis tongkat sihir di belakang punggungnya juga merupakan hasil dari penggunaan tongkat sihir 'Gensui' yang bisa membuat benda tak terlihat dan tongkat sihir 'Nendou' yang bisa menggerakkan benda sesuka hati.



Saat Hazen menjelaskan tentang 'Gensui' dan 'Nendou', Basia memasang ekspresi bingung.


"......Aku tidak melihat jejak kau mengayunkan tongkat sihir seperti itu."


"Oh. Ini dia."


Hazen menunjukkan dua rantai kecil yang terpasang pada cincin yang ia kenakan di jari kelingkingnya.


"Jangan bilang... ini tongkat sihir?"


"Saya membuatnya dari serpihan Permata yang sudah diolah."


"Aku tidak percaya. Dengan benda sekecil ini bisa melakukan trik seperti itu?"


"Dengan membatasi jangkauan efeknya secara drastis, dan dengan mengkhususkan kemampuannya pada gerakan yang lebih sederhana. Jika diberi batasan seperti itu, saya bisa membuatnya."


"Kau bilang 'bisa kubuat'..."


Basia tanpa sadar tersenyum kecut, tetapi bagi Hazen, hanya itu yang bisa ia katakan. Saat ini, Gensui hanya bisa menghilangkan delapan tongah sihir. Nendou juga, jangkauan efeknya hanya sekitar tiga meter, dan hanya bisa melakukan gerakan yang muat dalam telapak tangan yang terbuka.


"Saya bisa menyediakan tongkat sihir yang sesuai dengan cara pakai Anda sekalian. Jika level pengrajin tongkat sihirnya rendah, maka Anda terpaksa harus menyesuaikan karakteristik Anda dengan tongkat sihir."


Dan Hazen berpikir, hal itu sama saja seperti membalikkan urutan prioritas. Kualitas tongkat sihir adalah cerminan dari kualitas kekuatan sebuah negara atau suku. Jika mereka bisa menunjukkan bahwa mereka adalah suku yang tidak bisa dihancurkan dengan mudah dengan meningkatkan kualitas ini, maka tindakan invasi tidak akan mudah dilakukan.


"Alasan saya menunjukkan kartu saya adalah karena saya ingin Anda melihat kemampuan saya sebagai seorang pengrajin tongkat sihir."


"Fufu... benar-benar perbuatan monster di luar nalar."


"Tidak juga. Saya masih jauh dari kata mahir."


"Masih jauh? Menggunakan berbagai macam tongkat sihir sesuai dengan situasi. Tidak mungkin ada orang di seluruh benua ini yang bisa melakukan hal seperti itu."


"Karena kualitas tongkat sihir saya belum bisa menandingi kualitas Permatanya, jadi suatu saat nanti akan lebih... masih jauh dari bentuk sempurna yang saya tuju."


"......Pria yang terlalu menakutkan untuk dijadikan sekutu. Tapi, sepertinya itu jauh lebih baik daripada menjadi musuh."


"Saya senang Anda bisa mengerti."


Ratu Basia mengangguk dan berteriak ke arah para prajurit suku Kumin.


"Semuanya! Mulai hari ini, kita akan membuat perjanjian gencatan senjata dengan Kekaisaran. Mengerti!"


" " " " "Ooooh!" " " " "


Orang-orang dari suku Kumin serempak mengangkat sorak sorai.


"......Saya sempat mengira akan ada suara penolakan."


"Menentang keputusan kepala suku dilarang oleh hukum adat. Selain itu, Hazen Heim, kau dengan beraninya datang ke sini hanya dengan seorang pengawal dan seorang anak, dan berhasil mengalahkan tangan kananku, Oribes. Tidak mungkin ada yang berani menentang."


"Meskipun begitu, saya rasa tidak sedikit juga yang membenci prajurit Kekaisaran."


"......Memang ada suara-suara yang berkata 'mari kita binasa setelah bertarung dengan gagah berani sampai akhir'. Kepala suku sebelumnya adalah orang yang seperti itu. Tapi, aku berbeda. Hanya itu saja."


"......"


Kemungkinan besar, terjadi perebutan faksi dengan faksi kepala suku sebelumnya, dan faksi Ratu Basia-lah yang menang. Perebutan kekuasaan di antara suku minoritas memang sangat sengit. Pasti terjadi pertumpahan darah yang mengerikan.


"Selain itu, entah kenapa rasanya menyenangkan melihat ada orang yang, meskipun seorang prajurit Kekaisaran, justru berniat memanfaatkan dan mempermainkan Kekaisaran raksasa itu."


"......Saya akan memenuhi harapan Anda. Saya pasti akan membalas keputusan Anda itu."


Hazen memang seorang ahli strategi yang kejam, tetapi ia tidak suka intrik. Lain cerita jika lawannya adalah orang yang tidak bisa dipercaya, tetapi sikap yang tulus akan ia balas dengan sikap yang tulus pula.


"Nah, cukup pembicaraan kakunya. Semuanya, siapkan minuman!"


Saat Basia berteriak, para prajurit kekar membawa tong-tong besar satu per satu. Seketika, wajah Hazen menegang.


"T-tidak. Terima kasih atas tawarannya, tapi saya tidak suka minuman beralkohol karena akan menurunkan kemampuan berpikir saya."


"Jangan berkata begitu! Suku Kumin punya tradisi menjamu suku lain yang dianggap teman dengan minuman."


"......Ray Fa. Kuserahkan padamu."


"H-hanya kau sendiri yang curang."


"Ada Jan juga, jadi jangan khawatir."


"T-tidak mungkin saya bisa minum, kan!? Saya ini anak-anak!"


"Sampai sekarang kau belum menunjukkan hasil kerja apa pun. Setidaknya minumlah sedikit dan ramaikan suasana sebagai hiburan."


"Huaaa! Nona Basia, tolong segera bunuh orang ini, dia musuh anak-anak!"


Jan memeluk sang ratu muda dan menatap tajam ke arah Hazen. Basia tertawa sambil mengelus kepala gadis itu.


"Hahaha, anak yang menarik. Putrimu?"


"Bukan. Saya mengambilnya karena melihat bakatnya. Nanti, saya akan memperkenalkan seorang pedagang bernama Nandal, dan dia akan menjadi penghubungnya."


"Anak ini?"


Basia membelalakkan matanya.


"Namanya Jan Lynn. Saya ingin dia mendapatkan pengalaman berdagang, jadi tolong bersikap keras padanya. Jika Anda meremehkannya karena dia anak-anak, Anda akan menyesal."


"......Begitu, ya. Jadi dia bukan sekadar gadis biasa. Yah, mengingat Hazen yang membawanya, pasti dia bukan orang sembarangan."


"N-Nona Basia... cara Anda menatap saya menakutkan."


"Ratu Basia. Dia memang terlihat ketakutan, tapi itu hanya gertakan. Dia bukan tipe yang akan gentar sekalipun pedang ditempelkan di lehernya."


"Sejak tadi apa-apaan yang Anda katakan!?"


"Hahahaha, sudahlah, ayo minum. Hazen juga. Kalau tidak, kesepakatan ini batal."


"......Hahh."


Melihat senyum lebar sang Ratu, akhirnya Hazen pun pasrah.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close