NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Heimin Shusshin no Teikoku Shoukan, Munou na Kizoku Joukan wo Juurin shite Nariagaru V1 Chapter 2

 Penerjemah: Nels

Proffreader: Nels


Chapter 2

Jan=Lynn


Beberapa jam kemudian. Peleton ke-8 tiba di desa Kanahal. Ini adalah desa yang paling dekat dengan lokasi kemunculan suku Kumin, tetapi tampaknya tidak ada kerusakan.


Sambil sekalian meninjau desa macam apa ini, para penduduk desa mulai berkumpul, bertanya-tanya ada apa. Begitu melihat tawanan dari suku Kumin, raut mata mereka berubah.


"Rasakan!", "Bakar saja dia hidup-hidup!", "Pak Tentara, tolong siksa orang ini!", "Kakakku dibunuh oleh mereka!", "Kakekku juga!", "Ganjaran yang setimpal."


Para penduduk desa memasang ekspresi tidak senang dan mulai melontarkan hinaan satu per satu. Saat Hazen berjalan sambil mengamati keadaan mereka,


"Erereru Arusoru!"


Penyihir suku Kumin itu berteriak sambil memandang ke sekeliling. Meskipun bahasanya tidak dimengerti, sepertinya dia sedang balas menghina para penduduk desa.


"Apa katamu, dasar orang biadab!"


Salah seorang penduduk desa berteriak dan melemparkan batu ke arah penyihir suku Kumin. Namun, Hazen seketika menangkap batu itu dan menghentikannya.


"K-kenapa kau menghentikannya!"


"Penyiksaan terhadap tawanan dilarang. Jika ada yang mencoba mencelakainya lagi, akan dianggap sebagai target hukuman sesuai peraturan militer."


"Orang-orang ini membunuh ayahku! Masa melempar batu saja tidak boleh!"


"Ini adalah tindakan berdasarkan peraturan militer."


"Kami bukan tentara! Kami tidak punya alasan untuk mengikuti peraturan seperti itu!"


"Betul, betul," suara-suara persetujuan terdengar dari mana-mana. Hazen memandangi para penduduk desa itu, lalu akhirnya menghela napas panjang.


"Kalau begitu, aku akan melepaskan prajurit ini. Jika kalian mengatakan tidak butuh campur tangan militer, maka kami akan mundur. Dia seorang penyihir. Untuk membantai kalian semua, para penduduk desa, kurasa tidak akan butuh waktu semalaman."


"......!"


Keheningan menyelimuti sekeliling. Semua penduduk desa menatap Hazen dengan pandangan tak percaya. Tak lama kemudian, penduduk desa yang tadi melempar batu, bibirnya bergetar karena marah.


"Hei kau, jangan mentang-mentang tentara Kekaisaran, kau jadi besar kepala. Kau pikir kau bisa lolos setelah melakukan hal seperti itu?"


"Justru kau yang jangan salah paham. Objek perlindungan kami hanyalah warga Kekaisaran yang baik. Ini adalah hak bagi kalian, dan kewajiban bagi kami. Namun, sebaliknya juga berlaku. Kami tidak punya kewajiban untuk melindungi warga Kekaisaran yang tidak mematuhi perintah militer dan telah melepaskan hak mereka."


"Hah... kkh..."


"Kali ini, pasukan Kekaisaran kami datang dengan cepat dan melindungi desa ini dari serangan suku Kumin. Akan tetapi, jika kalian mengatakan 'tidak butuh campur tangan militer', dan 'tidak akan mematuhi perintah kami', maka untuk selanjutnya saya akan melaporkan kepada atasan bahwa 'tidak perlu ada pertahanan', jadi silakan hubungi kami kapan saja."


Hazen menjawab dengan senyum lebar.


"T-tidak mungkin begitu, kan!?"


"Kalau begitu, bersabarlah. Perang itu memang seperti ini. Untuk mendapatkan hak sebagai pihak yang dilindungi, dibutuhkan kualifikasi."


Dia berkata dengan tenang, lalu mulai berjalan pergi. Para penduduk desa di sana memandangnya seolah-olah dia bukan manusia, tetapi Hazen tidak peduli. Pemandangan itu, sekali lagi, ditatap oleh Sersan Mayor Baz dengan pandangan tak percaya.


"Ada apa? Apa ada sesuatu di wajahku?"


"T-tidak. Karena Letnan Dua Hazen tadi berusaha memeriksa kondisi desa secepatnya, saya sempat mengira Anda adalah orang yang mengabdi pada rakyat."


"Memeriksa kerusakan adalah tanggung jawab kami. Selain itu, bagiku tidak ada artinya apakah mereka rakyat atau bukan."


Dulu, ada masanya aku juga terbuai oleh pemikiran heroik seperti itu. Hanya demi rakyat. Aku sudah muak menyadari betapa sombong dan penuh tipu muslihatnya pemikiran itu.


"Di dunia ini ada rakyat jelata yang jahat, dan ada juga bangsawan yang baik hati. Begitu pula sebaliknya."


"......Anda benar."


"Intinya, orang tidak bisa dinilai dari asal-usulnya. Apa yang mereka lakukan setelah itu, bagaimana mereka menjalani hidup. Menurutku, itulah yang menentukan nilai seseorang."


Mendengar jawaban Hazen, Sersan Mayor Baz mengangguk dengan ekspresi mengerti. Aku berencana untuk memercayakan posisi memimpin Peleton ke-8 kepadanya saat aku tidak ada. Karena itu, aku harus menyampaikan pemikiranku sebanyak mungkin.


Saat ia hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba, ada sedikit gangguan dalam benaknya.


"......?"


Ia berpikir apa sebabnya, lalu akhirnya menghela napas.


"......Ada satu hal yang akan kuralat."


"Eh?"


"Sedikit saja. Sedikit saja, ada perasaan pribadi yang ikut campur. Aku benci sekali sampai rasanya mau muntah pada orang-orang yang hanya bersikap sombong pada mereka yang tidak berdaya."


"......"


"Kalau penduduk desa itu memang ingin 'membalaskan dendam ayahnya yang terbunuh', seharusnya dia langsung bertindak saja. Mencoba menyerang lawan di saat dia kehilangan kekuatannya, menurutku itu adalah tindakan pengecut."


Meskipun aku mengancam akan 'melaporkannya kepada atasan', aku sama sekali tidak berniat melakukan hal merepotkan seperti itu. Orang-orang semacam itu sensitif terhadap rasa takut yang ada di depan mata dan akan langsung layu. Pada akhirnya, dendam mereka mungkin hanya sebatas itu saja.


Meskipun tidak akan pernah ia ucapkan, Hazen sebenarnya tidak bertindak mengikuti peraturan militer. Dia hanya sekadar mencocokkan tindakannya dengan peraturan militer. Entah itu Konstitusi Kekaisaran, Marsekal tertinggi militer Kekaisaran, atau bahkan Yang Mulia Kaisar sekalipun; entah itu peraturan, hukum, atau perintah apa pun, dia sama sekali tidak berniat untuk terikat oleh semua itu. Memanfaatkan posisinya sebagai seorang prajurit untuk menggerogoti Kekaisaran, sebuah sarang yang begitu besar. Hanya satu hal itulah yang menjadi tujuan sejati pria ini.


Setelah berpikir sampai sejauh itu, Hazen menghela napas pendek.


"Tetapi, melelahkan juga secara mental."


"......Eh? A-apa yang baru saja Anda katakan?"


Sersan Mayor Baz bertanya lagi.


"Aku pun sesekali mengeluh. Namanya juga manusia. Ternyata, menjadi seorang prajurit itu melelahkan karena harus sangat memerhatikan keadaan sekitar."


"Memerhatikan... keadaan sekitar?"


Entah kenapa, dia memasang ekspresi seolah-olah baru saja mendengar sesuatu yang tidak nyata.


"Ya. Tentu saja pada kalian para bawahanku, juga pada atasan, rekan kerja, dan warga Kekaisaran. Tentu saja, aku sudah siap. Tapi, posisi sebagai seorang perwira tinggi ternyata cukup membuat pundak kaku, ya."


"......Begitu, ya."


Sersan Mayor Baz memasang senyum masam yang sulit diartikan. 'Kenapa, ya?' Hazen memiringkan kepalanya. 'Apa mungkin, mengeluh pada bawahan adalah hal yang tidak pantas bagi seorang atasan?'


Hazen menganggapnya seperti itu, dan kembali meneguhkan hatinya.


Setelah itu, Peleton ke-8 berkeliling ke beberapa desa terdekat lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah desa kecil bernama Dinasteld.


Penduduk desa di sini juga menunjukkan permusuhan terhadap suku Kumin, tetapi tidak sekuat di desa Kanahal. Mungkin karena secara geografis letaknya sedikit lebih ke pedalaman, jadi tidak ada kerusakan yang berarti.


"Hanra Noru Kura."


Saat itu, penyihir suku Kumin kembali bergumam. Tak lama kemudian, Sersan Mayor Baz kembali.


"Ada?"


"Tidak ada. Bagaimanapun juga, mereka adalah suku lain yang menjadi musuh kita."


"......Begitu ya."


Ia sedang mencari seseorang yang bisa berkomunikasi dengan suku Kumin, tetapi di sini pun tidak ada. Saat ia berjalan sambil setengah menyerah, seorang gadis berambut merah muda terlihat sedang mengisi cangkir dengan air dan mencoba menyodorkannya ke mulut si penyihir Kumin.


"Apa yang kau lakukan?"


Hazen bertanya pada gadis itu.


"Anu, dia bilang 'ingin minum air'. Boleh?"


Usianya mungkin sekitar enam tahun. Untuk anak seusianya, gadis itu berbicara dengan sangat lancar.


"Ya. Tapi, apa maksudmu 'bilang'? Apa kau mengerti bahasa suku Kumin?"


"Hanya sedikit saja."


"Kenapa?"


"Magatama yang dipakai suku Kumin laku dijual mahal di pasar."


Hazen menatap gadis itu dengan ekspresi terkejut.


"Maksudmu kau berdagang dengan suku Kumin?"


"Bukan hal yang sehebat itu. Keuntungan dari selisih harga jualnya kami bagi dua."


"Bukankah itu berbahaya?"


"Pada dasarnya, mereka tidak akan menyakiti anak-anak."


"Mana bisa kau tahu pasti. Di antara suku Kumin pasti ada bermacam-macam orang, kan."


"Bagi mereka, hukum adat adalah mutlak. Anggota suku Kumin yang menyakiti anak-anak akan dikucilkan dari desa, jadi mereka lebih aman daripada warga Kekaisaran."


"......Aku jadi semakin terkejut. Di usiamu yang semuda itu."


Hazen tanpa sadar mengucapkannya. Bukan hanya bisa berkomunikasi dengan suku Kumin, tetapi juga memahami peradaban mereka, dan bahkan berbisnis.


Saat ia menatap dengan penuh minat, gadis itu membuka mulut dengan raut sedikit canggung.


"Anu, sebenarnya umur saya 13 tahun."


"......Penyakit yang menghambat pertumbuhan?"


Mau dilihat dari sudut mana pun, usianya tidak terlihat lebih dari enam tahun. Karena wajahnya memang sudah terlihat imut, ia bahkan bisa terlihat lebih muda lagi.


"Saya tidak tahu. Saya tinggal di panti asuhan, jadi belum pernah ke dokter."


"Kalau begitu, biar kuperiksa sebentar."


"Eh? Apa Anda seorang dokter sihir?"


"Bukan. Aku seorang prajurit, tapi aku cukup paham tentang ilmu kedokteran."


Sambil menjawab begitu, Hazen turun dari kudanya dan menatap lekat mata bulat gadis itu.


"......"


"Anu, apa ada yang aneh dengan mata saya?"


"Tidak."


Cahaya di mata gadis ini adalah sesuatu yang sudah Hazen kenal sejak lama. Seseorang dengan cahaya mata yang sama, dielu-elukan sebagai penyihir langka yang dihormati semua orang. Seseorang yang lain, meskipun disebut jenius, tenggelam dalam bakatnya yang luar biasa itu dan jatuh ke dalam kegelapan. Dan... seseorang yang lain lagi, karena dosanya yang begitu dalam, menjadi monster abadi.


"......Nak, siapa namamu?"


"Jan-Lynn."


"Begitu. Jan, apa kau bisa menggunakan sihir?"


"Sihir? Saya tidak bisa. Saya kan rakyat biasa."


"Ada juga kan rakyat biasa yang bisa menggunakannya?"


"Saya tidak bisa."


"......"


Hazen menyentuh bagian belakang kepala gadis itu. Seketika, ia merasakan benih kekuatan sihir yang tak henti-hentinya, bagaikan magma, dari dalam dirinya. Tanpa sadar, keringat dalam jumlah besar bercucuran dari dahinya.


"......Begitu rupanya."


"Apa Anda menemukan sesuatu?"


"Jan. Kekuatan sihirmu yang luar biasa itulah yang menghambat pertumbuhanmu. Dalam beberapa tahun ke depan, pertumbuhanmu akan dimulai secara eksplosif."


"Kekuatan sihir... tapi, saya kan tidak bisa menggunakan sihir."


"Untuk saat ini. Tapi, suatu saat nanti kau akan bisa. Hanya saja, ada syaratnya."


"Syarat?"


Jan memiringkan kepalanya.


"Kau harus berada di sisiku."


"Eeeh!? Kenapa begitu?"


"Saat kekuatan sihirmu bangkit, tubuh kecilmu itu tidak akan bisa menahannya. Pada akhirnya, kekuatan sihirmu akan mengamuk dan kemungkinan besar keberadaanmu sendiri akan lenyap."


"M-maksudnya saya akan mati!?"


"Ya. Tapi, kau beruntung."


"......Apa itu benar?"


"Aku tidak pernah berbohong."


"Orang yang bilang begitu biasanya berbohong semudah bernapas."


Hazen tanpa sadar tersenyum kecut mendengar jawaban Jan.


Tepat sasaran.


"Apa kau tidak bisa memercayaiku?"


"......Sepertinya saya bisa memercayai ucapan Anda, tapi sepertinya saya tidak bisa mengandalkan Anda."


"Begitu. Pengamatan yang bagus. Yah, tapi keduanya tidak masalah."


"Eh?"


"Jan. Aku akan membawamu, itu sudah diputuskan."


!?


"K-kenapa begitu? Saya tidak mau ikut dengan orang yang seenaknya sendiri seperti Anda."


"Keinginanmu tidak penting dalam hal ini."


"......!"


Jan bingung mendengar ucapan yang begitu tegas dan tanpa keraguan itu.


"I-itu namanya penculikan, kan?"


"Tentu saja, aku akan melalui prosedur yang resmi. Kau masih di bawah umur, jadi wali sahmu adalah penanggung jawabmu, kan?"


"S-saya tidak akan mengantar Anda!?"


"Di desa sekecil ini, panti asuhan paling hanya ada satu. Sersan Mayor Baz."


"S-siap!"


"Tanyai penduduk sekitar dan antarkan aku ke lokasi panti asuhan."


"Dimengerti!"


"......!"


Saat Jan membeku karena terkejut, Hazen menggendongnya dan menaikkannya ke atas kuda.


"A-apa yang Anda lakukan?"


"Aku akan membawamu bersamaku. Kita akan pulang dengan memacu kuda, jadi biasakanlah dirimu dari sekarang."


"T-tidak mau! Tempat pulang saya bukan bersama Anda!"


"......Mau bagaimana lagi."


"Tu... apa yang Anda lakukan... t-tidaaaaaak!"


Terhadap Jan yang menolak dengan tegas, Hazen mengikatnya dengan Kagekiba, sama seperti yang ia lakukan pada suku Kumin.


Dia tiba di panti asuhan tempat Jan Lynn tinggal. Saat memandangi bagian luarnya, panti asuhan itu terlihat sangat kumuh, dan bekas-bekas perbaikan tampak di mana-mana. Di sana ada sebuah halaman tengah yang kecil, tempat anak-anak bermain. Namun, jelas sekali halamannya terlalu sempit dan mereka terlihat sesak.


Karena Sersan Mayor Baz sudah mengaturnya terlebih dahulu, seorang wanita yang sepertinya adalah pengurus panti sudah berada di luar. Dia adalah seorang wanita tua yang tampak baik hati, dan ia menatap Jan Lynn yang terikat oleh sihir dengan raut cemas.


"Senang bertemu dengan Anda. Saya Hazen Heim, Letnan Dua dari militer Kekaisaran."


"Saya Norwe Riag, kepala panti asuhan ini."


"Maaf langsung ke intinya. Saya ingin mengambil anak perempuan bernama Jan ini."


"......Anu, apakah itu atas nama 'Kekaisaran'?"


"Bukan. Ini keinginan saya pribadi. Saya ingin mengembangkan bakat langka yang dimilikinya."


Mendengar jawaban itu, Norwe melirik sekilas ke arah Jan yang masih terbelit, lalu membuka mulut dengan ragu-ragu.


"Anu... kenapa Jan sekarang sedang ditahan?"


"Karena dia melawan."


"......Untuk sekarang, bisakah Anda melepaskannya?"


"Baik."


Hazen mengayunkan Kagekiba ke kiri dan ke kanan, menghilangkan bayangan berbentuk kertas yang melilit Jan. Begitu bebas, gadis berambut merah muda itu langsung berlari ke dalam pelukan Kepala Panti Asuhan Norwe dan menatap Hazen dengan tajam.


"Orang ini penculik!"


"J-Jan! Sudahlah."


"Tidak apa-apa. Itu hanya celoteh anak-anak. Menggemaskan sekali."


"......!"


Ekspresi wanita tua yang tadinya tenang itu tampak jelas menjadi muram. Dia sadar betul bahwa sifatnya ini tidak terlalu disukai orang, dan sepertinya kali ini pun ia gagal memberikan kesan yang baik. Dia sudah memasang senyum lebar palsu, tetapi sepertinya itu sia-sia.


"Anu. Sebisa mungkin, saya ingin menghormati keinginan anak-anak."


"Pemikiran yang luar biasa."


"Jan itu pintar dan cerdas. Saya rasa, untuk anak seperti dia, akan ada tawaran lain yang lebih baik."


"......Benarkah begitu?"


"Eh?"


"Jan, dengan tubuh seperti balita ini, usianya sudah 13 tahun, kan? Apakah Anda benar-benar berpikir akan ada orang yang mau memilih dan mengadopsi anak dengan kekurangan yang begitu jelas di antara ratusan ribu anak yatim piatu lainnya?"


"......"


Mendengar kata-kata itu, ekspresi Kepala Panti Asuhan Norwe kembali muram, dan Jan pun berhenti berteriak.


"Saya menyadari bakat Jan secara kebetulan. Kenyataannya, anak yatim piatu berusia 13 tahun, terus terang saja, sudah lama melewati tanggal kedaluwarsa. Biasanya, batasnya adalah sekitar usia 10 tahun, dan setelah itu mereka bahkan sudah tidak masuk dalam daftar pilihan, bukan?"


"......Jan adalah anak yang pintar. Sekalipun tidak ada yang mengadopsinya, jika dia punya keahlian..."


"Memang benar dia cerdas secara alami. Justru karena itulah dia mengambil risiko berdagang dengan suku Kumin untuk menutupi biaya makan anak-anak lain, kan."


"Suku Kumin... Jan, apa maksudnya itu?"


Saat Norwe bertanya, Jan memasang ekspresi panik. Rupanya, ia melakukannya secara diam-diam. Mungkinkah gadis ini sejak awal memang berniat untuk menjadi penerjemah bagi suku Kumin? Mungkin dia mendengar desas-desus bahwa Sersan Mayor Baz sedang mencari penerjemah, tetapi anak kecil sepertinya pasti akan ditolak mentah-mentah sebelum sempat diuji. Karena itu, dia mencoba menawari dirinya secara langsung.


Jika memang begitu, aku jadi semakin menginginkannya.


"Lihat saja panti asuhan ini. Sama sekali tidak terlihat seperti tempat yang dikelola dengan dana yang melimpah. Jan itu pintar. Karena itu, dia tidak tahan melihat wajah susah Anda, bukan begitu?"


"Begitukah, Jan?"


"......Maafkan aku."


"Kalaupun dia bisa tetap di panti asuhan ini, itu hanya untuk dua tahun lagi. Sekalipun dia cerdas, dunia ini tidak sebaik itu sampai dia bisa terus berdagang tanpa pendidikan dan dengan tubuh tak berdaya seperti balita. Sebenarnya, Kepala Panti Asuhan Norwe juga sudah tahu itu, bukan?"


"......"


"Tolong jangan salah paham, saya tidak bermaksud menilai rendah nilainya. Sebagai uang muka, akan saya berikan sejumlah ini."


"S-sebanyak ini!?"


Hazen memberikan sekeping koin emas kecil. Jumlah ini cukup untuk membeli lebih dari sepuluh anak panti asuhan.


"Gaji saya saat ini sebagai Letnan Dua adalah tiga keping koin perak kecil sebulan. Satu keping di antaranya akan terus saya kirimkan setiap bulan sebagai tambahan. Tentu saja, selama Jan bersama saya."


"......Sebanyak itu."


Kepala Panti Asuhan Norwe melihat ke arah anak-anak. Jumlah itu cukup untuk biaya makan selama tiga bulan.


"Saya juga punya rencana untuk masa depan Jan. Saat ini, saya memang hanya seorang rakyat biasa yang menduduki posisi Letnan Dua, tetapi saya adalah orang yang telah lulus ujian perwira tinggi. Seharusnya tidak akan butuh waktu lama bagi saya untuk naik ke posisi Letnan Satu. Jika itu terjadi, saya juga bisa naik ke status bangsawan rendahan."


"......"


Norwe diam sambil memejamkan mata. Perlakuan terhadap "Misou", peringkat terendah bangsawan rendahan, dengan rakyat biasa berbeda bagaikan langit dan bumi. Jika Jan Lynn didaftarkan dalam catatan sipil sebagai kerabat Hazen, maka dia akan resmi diperlakukan sebagai bangsawan rendahan.



Sebagai catatan, Hazen sudah mendapatkan kewarganegaraan Kekaisaran. Meskipun sebagai rakyat biasa, umumnya sulit bagi orang tak dikenal untuk mendapatkan kewarganegaraan. Terlebih lagi, situasinya cukup rumit.


Dia menculik dan menyekap seorang wanita jahat berkebangsaan Kekaisaran yang mencoba memperdagangkan budak secara ilegal, lalu secara paksa mendaftarkan dirinya sendiri sebagai anak angkat wanita itu, dan untuk sementara waktu hidup dengan nama Hazen Dali. Setelah dewasa, dia mengubah namanya kembali menjadi Hazen Heim, tetapi itu adalah cerita yang lain.



Akhirnya, Kepala Panti Asuhan Norwe berlari ke sisi Jan dan memeluknya dengan lembut.


"Jan... aku ingin menghormati keinginanmu semaksimal mungkin, tapi bukankah ini tawaran yang bagus?"


"......"


Untuk sesaat, Jan hanya diam sambil menunduk, tetapi akhirnya ia membuka mulut.


"Tuan Hazen."


"Ada apa?"


"Tidak cukup. Jika Anda mau memanfaatkan saya, bayarannya dua keping koin perak kecil."


"......"


"Penerjemah untuk suku Kumin. Dan juga, meskipun saya tidak tahu apa itu, saya pasti punya nilai yang pantas Anda investasikan, kan?"


Atas pertanyaan itu, Hazen mengangguk sambil tersenyum. Jan menatap wajah wanita tua yang baik hati itu dengan ekspresi yang rumit.


"Lalu, Kepala Panti Norwe..."


"Hm?"


"Ada satu permintaan."


"......Apa itu?"


"Karena ini mungkin yang terakhir kalinya... tolong peluk aku... sedikit lebih lama lagi."


"......Iya."


Di bawah kaki Jan, beberapa tetes hujan jatuh.


Mereka pun berangkat dari desa Dinasteld. Hazen menaikkan Jan ke depan pelana, lalu duduk di belakangnya.


"Kau yang pegang tali kekang dan pacu kudanya."


"Eeeh!? Tapi, saya belum pernah melakukannya."


"Apa yang kau katakan? Tadi kan kau sudah naik."


"Mukiii! Itu namanya diculik, tahu!"


Meskipun marah sambil mengangkat bahu, Jan Lynn berusaha keras menggerakkan tali kekang.


"Ngomong-ngomong, soal negosiasi tadi..."


"A-apa Anda tidak lihat pemandangan ini!? Jangan ajak saya bicara!"


"Justru di saat-saat genting, kau harus bisa berpikir tentang hal lain. Semuanya adalah latihan."


"Huaaa! Aku benci orang ini! Tolong, siapa pun, tolong aku!"


"......"


Jan Lynn menangis dan berteriak, tetapi semua anggota Peleton ke-8 berpura-pura tidak melihat dan tidak mendengar.


"Kita lanjutkan. Kau bisa menjual dirimu dengan harga yang lebih tinggi. Negosiasi berikutnya akan kuserahkan padamu, jadi renungkanlah baik-baik."


"Eh!? Maksud Anda, nilai saya lebih dari dua keping koin perak kecil?"


Meskipun terkejut, Jan Lynn sudah mulai menguasai cara mengendalikan tali kekang. Hazen semakin yakin bahwa dia adalah anak yang akan semakin berkembang jika terus ditempa.


"Tentu saja. Aku tidak pernah melakukan pembelian yang tidak berharga."


"P-pembelian? Cara bicara Anda menyebalkan. Kalau begitu, berapa sebenarnya harga yang bisa disepakati?"


"Uang muka lima keping koin emas besar. Tiga keping koin emas kecil setiap bulan. Setelah itu, setiap kali aku naik pangkat, aku akan terus membayar sepertiga dari gajiku setiap bulan. Yah, kalau lebih dari ini, mungkin aku akan sedikit ragu."


"A-a-a......"


Mendengar ini, mulut Jan Lynn pun ternganga, dan ia nyaris terjatuh dari kuda.


"Aku sudah bilang kau punya kekuatan sihir dan suatu saat nanti akan tumbuh. Jika itu terjadi, kau akan bisa menghasilkan uang sendiri dengan mudah. Karena itu, asumsi awalku bahwa 'tidak akan ada yang mau mengadopsimu' kemungkinan besar salah."


"P-pembohong!"


"Bukan kebohongan. Aku hanya membuat sebuah asumsi dengan kemungkinan yang sangat kecil, membuatnya membayangkannya, dan melemparkan keraguan kepada Kepala Panti Norwe."


"Bukankah itu yang namanya bohong!?"


"Bukan kebohongan. Seandainya aku punya kemampuan untuk melihat masa depanmu, maka itu adalah kebohongan. Tapi masa depan tidak bisa diketahui kecuali oleh Tuhan. Karena itu, aku hanya menyajikan masa depan dengan kemungkinan salah yang tinggi. Dengan kata lain, ini adalah tindakan penipuan."


"P-penipuan... itu kan lebih parah lagi!?"


"Sudah kubilang, kan? Aku tidak berbohong. Justru karena aku ingin kau percaya bahwa aku adalah orang yang dapat dipercaya, makanya aku menepati janjiku."


"Huaaa! Aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia katakan, bisakah seseorang menerjemahkannya untukku!?"


Jan Lynn berteriak sekuat tenaga, tetapi Peleton ke-8 tetap memasang tampang tidak tahu sekuat tenaga juga. Setelah beberapa saat menangis dan berteriak-teriak, gadis itu kembali membuka mulut.


"Jadi? Sebenarnya, apa yang ingin Anda katakan?"


"Pertama, 'asah lagi teknik negosiasimu'. Jangan terbawa emosi, cermati titik kompromi lawan, dan kau seharusnya bisa mendapatkan sekitar 80% dari harga yang kau harapkan."


"......Bukankah seharusnya mengincar yang maksimal?"


Rupanya, yang keluar darinya adalah pertanyaan, bukan kecaman. Anak yang rasa penasarannya mengalahkan standar etika biasanya akan berkembang.


"Maksimal dan minimal itu bedanya setipis kertas. Kemungkinan besar meja negosiasi itu sendiri akan berantakan. Risiko yang tidak perlu harus dihindari."


"......Seandainya Kepala Panti Norwe mengatakan 100 keping koin emas besar? Dalam kasus di mana dia sama sekali tidak berniat menjual."


"Aku akan mendakwanya dengan kejahatan berinteraksi dengan suku lain dan menjatuhkan hukuman pengasingan. Setelah itu, aku akan mengambilmu sebagai budak, dan sisanya sama saja. Hasilnya tidak akan berubah."


!?


"A-a-apa-apaan, bagaimana Anda bisa mengatakan hal sekejam itu dengan begitu tenang!?"


Gadis berambut merah muda itu menatapnya dengan ekspresi syok.


"Tentu saja. Berinteraksi dengan suku lain adalah tindakan yang bisa saja dicurigai sebagai mata-mata. Tentu saja ada pengecualian jika dia bekerja sama dengan militer, tetapi jika tidak, maka dia akan dihukum sesuai dengan peraturan militer."


"......Aku tidak percaya."


Jan Lynn bergumam dengan ekspresi muram.


"Aku tidak berbohong."


"Hanya karena tidak berbohong bukan berarti Anda boleh melakukan apa saja, tahu!?"


"Yah, aku juga tidak mau mengambil cara ini. Karena akan memakan banyak waktu. Jika bisa diselesaikan dengan uang, itu yang terbaik."


"W-waktu, dalam kasus ini, seharusnya menjadi alasan yang prioritasnya paling rendah, kan!?"


"Dan, satu hal lagi. Alasan kenapa aku memberitahumu nilaimu yang sebenarnya."


"......Pasti alasannya tidak bagus, kan?"


"Bukan. Kau terlalu merendahkan dirimu. Menurutku, jumlah itu adalah nilai minimummu."


"......"


"Kau akan berkembang. Setidaknya, lebih dari 100 kali lipat dari jumlah yang kutawarkan."


"......"


Jan terdiam sesaat, tetapi akhirnya ia menengadah menatap Hazen dari bawah dan membuka mulut.


"Tuan Hazen."


"Hm?"


"Anu, apa mungkin..."


"Apa?"


"Apa mungkin... Anda sedang mencoba menyemangati saya?"


"Bukan."


!?


"B-bukan!?"


"Apa yang kau dengarkan tadi? Kau tidak boleh puas hanya dengan bekerja seharga satu keping emas kecil sebagai uang muka dan dua keping perak kecil setiap bulan. Uang muka lima keping emas besar. Tiga keping emas kecil setiap bulan. Setelah itu, sepertiga dari gajiku setiap kali aku naik pangkat. Itu artinya kau harus bekerja lebih dari 10 kali lipat dari nilai itu."


"Huaaa! Siapa pun! Pedagang budak pun tidak apa-apa, tolong, siapa pun, tolong aku!"


Setelah itu, sampai mereka kembali ke benteng militer, Jan terus-terusan menangis.


Setelah kembali ke benteng, tawanan suku Kumin dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah. Perlakuan terakhirnya akan diputuskan oleh petinggi militer, tetapi sampai saat itu, Peleton ke-8 yang menangkapnya bertanggung jawab atas pengelolaannya.


"Jan. Kau, berkomunikasilah dengannya dan gali informasi. Pengantaran makanan dan semua urusan pribadinya kuserahkan padamu."


"Saya mengerti, tapi sebelum itu, di mana saya harus tinggal?"


"Eh? Di kamarku, tentu saja."


Hazen menjawab seolah-olah itu adalah hal yang wajar, tetapi Jan memasang ekspresi syok.


"S-saya menolaknya dengan segenap jiwa dan raga!"


"Kenapa?"


"Justru karena Anda sama sekali tidak mengerti alasannya itu!"


"Hmm. Aku tidak begitu paham, apa ini soal perasaan seorang gadis?"


"Bukan!"


"Yah, keinginanmu tidak penting. Ini bukan usulan, tapi keputusan."


Jan kembali memasang ekspresi syok, dan itu wajar saja. Meskipun harganya sangat murah, itu adalah pengeluaran yang menghabiskan sebagian besar gaji Hazen. Dia tidak punya uang untuk membiarkannya hidup mewah, dan ini lebih praktis karena dia bisa mendidiknya secara langsung kapan saja.


"Ray Fa, mulai sekarang tolong kawal Jan juga. Terutama jika kita berpisah, kau boleh memprioritaskan Jan."


"Tidak masalah, sih. Tapi, bukankah di sekeliling Hazen juga banyak musuh?"


"Musuh? Maksudmu mata-mata yang menyusup di benteng ini? Aku sendiri belum bisa mengidentifikasinya, apa maksudmu kau sudah menyadarinya lebih dulu dariku?"


Sulit untuk dipercaya. Ray Fa memang unggul dalam bela diri, tetapi bakatnya sebagai perwira sipil sama sekali nol. Hazen tidak percaya gadis seperti itu bisa mengetahui keberadaan mata-mata yang menyusup dengan begitu cerdik.


Saat Hazen menatapnya dengan pandangan ragu, gadis berambut perak itu menghela napas panjang.


"Bukan itu. Maksudku, yah, para bintara mungkin tidak, tapi para atasan dan rekan kerja. Terutama Letnan Mospizza, dia benar-benar memusuhimu, lho."


"Begitukah?"


"Tentu saja begitu. Kenapa kau tidak paham, sih."


Meskipun Ray Fa berkata begitu, apa yang tidak dia mengerti, tetaplah tidak dia mengerti. Seorang prajurit memiliki kewajiban untuk menjalankan tugas tanpa terpengaruh oleh perasaan pribadi. Bintara mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi dia tidak percaya seorang atasan dengan pangkat di atas Letnan Dua tidak memahami hal itu.


Letnan Mospizza sekali pun bukanlah pengecualian. Jika mereka harus bertempur melawan musuh, sudah sewajarnya mereka saling bekerja sama; itulah sikap yang seharusnya dimiliki seorang prajurit. Kekaisaran adalah negara militer yang matang dengan sejarah yang panjang. Sudah sewajarnya bagi seorang perwira tinggi untuk memahami disiplin tingkat dasar seperti itu.


"......"


Akan tetapi, Hazen kembali berpikir bahwa wajar jika Ray Fa mengkhawatirkan hal itu, karena Letnan Mospizza memang memiliki gejolak emosi yang hebat. Tindakan sehari-harinya pun sangat dipengaruhi oleh perasaan pribadi.


"Yah, aku mengerti maksudmu. Tapi, aku tidak perlu membuang-buang waktu sedetik pun untuk memikirkan orang kecil seperti Letnan Mospizza. Masalah apa pun dengannya akan kuselesaikan begitu itu terjadi."


"......Kurasa justru sifatmu yang seperti itulah masalahnya, tapi, yah, sepertinya kekhawatiranku tidak perlu, ya."


Gadis berambut perak itu menghela napas dengan ekspresi jengah, lalu dengan lembut memeluk gadis kecil itu.


"Senang bertemu denganmu, Jan."


"Wah. Kakak yang cantik sekali."


Jan Lynn dengan gembira membenamkan wajahnya di dada Ray Fa yang berisi.


"C-cantik? Aku tidak terlalu sering dibilang begitu, sih."


"Begitukah? Padahal di antara semua orang yang pernah kutemui, Kakak yang paling cantik. Aku dari dulu ingin punya kakak perempuan."


"Fufu... aku juga, ingin punya anak perempuan."


"A-anak perempuan!? Kak Ray Fa umurnya berapa?"


"Hm? 19 tahun, sih. Tapi suku Zeksan biasanya melahirkan anak sekitar umur 14 tahun."


"......H-hebat."


Saat mereka berdua mengobrol dengan hangat, sebuah ucapan dingin melayang dari samping.


"Jangan memanjakannya dengan naluri keibuanmu, di dalamnya dia itu 13 tahun."


"Kkh... Sifatnya paling buruk."


Jan Lynn menjulurkan lidahnya.


Saat kembali ke kamar, Sersan Mayor Baz sudah ada di sana. Dia sedang memasukkan buku-buku ke rak satu per satu. Ini bukanlah untuk Hazen, melainkan materi pelajaran untuk Jan. Di rumahnya (rumah ibu angkatnya), ada setumpuk buku pelajaran tentang pengetahuan umum dan sihir tingkat dasar yang telah dia pelajari di Kekaisaran ini, tetapi butuh waktu sekitar 40 hari untuk mengirimkannya.


Dia tidak bisa membiarkan Jan bermain-main sampai saat itu tiba, jadi dia memutuskan untuk mencekokinya dengan buku-buku di luar bidang yang ada di rumahnya. Bidang-bidang itu adalah ilmu tata bahasa, biologi, ilmu kedokteran, dan juga ilmu niaga.


Yang terutama ingin dia ajarkan adalah ilmu niaga. Untuk mencapai tujuannya, uang sebanyak apa pun tidak akan pernah cukup. Oleh karena itu, gadis ini harus mengumpulkan dana untuknya.


Hazen yang seorang prajurit tidak bisa melakukannya, dan itu juga tidak cocok untuknya. Dalam hal itu, Jan Lynn sejak awal sudah berdagang dengan kemampuannya sendiri. Dia sudah berbakat dalam keahlian itu sejak semula.


"Terima kasih. Ini, upahnya."


Hazen memberikan sekeping koin tembaga kecil kepada Sersan Mayor Baz.


"T-tidak. Tidak perlu memberi upah seperti ini."


"Ini sepenuhnya urusan pribadiku. Aku tidak ingin menyalahgunakan wewenang, tapi aku tidak punya kenalan lain yang bisa diandalkan. Tapi, pasti sulit untuk menolak permintaan atasan, kan, jadi setidaknya biarkan aku membayarmu."


"......Baik, dimengerti. Akan saya terima dengan senang hati. Jika ada hal lain, katakan saja."


"Terima kasih."


Sersan Mayor Baz keluar dari kamar dengan raut gembira, dan Jan Lynn mengamati pemandangan itu sambil bergumam.


"Anda disukai oleh bawahan, ya."


"Disukai? Ini hanya hubungan atasan dan bawahan. Tidak lebih."


"Tapi, tadi dia mengucapkan terima kasih dengan sangat gembira, kan."


"Itu hanya basa-basi. Sebuah teknik untuk memperlancar percakapan."


Sersan Mayor Baz adalah pria yang cukup bisa diandalkan. Setelah Hazen meninggalkan peleton, dia berencana untuk mengangkat Baz menjadi Pembantu Letnan, dan mungkin dia bisa mempertahankan sekitar 70% dari kekuatan peleton saat ini.


"......Tuan Hazen juga harus belajar sedikit darinya."


"Aku merasa sudah sangat memahaminya dan mempraktikkannya."


"Sama sekali tidak. Tidak, justru sebaliknya."


"Haha, menarik. Ternyata kau anak yang punya selera humor juga."


"Saya tidak sedang bercanda!?"


Jan Lynn menatapnya dengan ekspresi syok, tetapi Hazen tidak peduli. Dia mulai sedikit mengerti; hati anak ini kuat. Mentalnya jelas tidak biasa, jadi dia tidak akan mudah patah semangat hanya karena hal-hal sepele.


Bukan berarti dia tidak punya perasaan. Justru sebaliknya, emosinya mudah bergejolak, tetapi dia fleksibel. Bagaikan ranting pohon dedalu yang tidak patah meskipun diterpa badai topan. Hazen pernah melatih banyak murid di masa lalu, tetapi di antara mereka semua, mental Jan termasuk yang paling tangguh.


"......"


Hazen dilanda perasaan gembira, seperti saat ia menemukan muridnya yang dulu dielu-elukan sebagai seorang jenius.


Lima belas menit kemudian, mereka selesai merapikan barang-barang Jan. Meskipun begitu, karena di panti asuhan banyak barang yang dipakai bersama, barang yang dibawanya sebagai milik pribadi sangat sedikit.


"Tempat tidur akan kupakai, jadi kau tidurlah di bawah beralaskan selimut."


"Baik. Lalu, gelas ini, apa boleh saya pakai juga?"


"......Ada risiko diracuni, jadi lebih baik dipisah."


"S-sebenarnya berapa banyak musuh yang Anda punya!?"


"Bukannya punya musuh. Ini untuk menghindari risiko. Baiklah, akan kuajukan permohonan ke militer agar kau diberi jatah."


Mengabaikan gumaman Jan yang berkata, "Pasti punya," Hazen membuat surat permohonan jatah.


Dengan ini, lingkungan untuk bisa tinggal bersama setidaknya sudah siap. Berikutnya adalah rencana pendidikan Jan, tetapi...


"Tuan Hazen. Anda sedang memikirkan hal yang tidak-tidak lagi, kan?"


Gadis itu menyeletuk.


"Aku sedang memikirkan hal yang konstruktif. Ngomong-ngomong, panggilan 'Tuan Hazen' itu tidak terlalu kaku?"


"Saya juga tidak bermaksud untuk sedekat itu dengan Anda."


"......Bukan itu masalahnya."


Sebenarnya bukan sifatnya untuk terpaku pada panggilan, tetapi entah kenapa panggilan dengan akhiran '-san' terasa terlalu dewasa.


Usia Jan yang sebenarnya adalah 13 tahun, tetapi pertumbuhannya sangat lambat sehingga ia hanya terlihat seperti balita. Karena itu, di militer, Hazen berencana untuk mendaftarkannya sebagai anak berusia 6 tahun. Mempertimbangkan hal itu, panggilan hormat seperti itu sepertinya akan terasa ganjil bagi orang lain.


"Kau bukan seorang prajurit, jadi aneh jika dipanggil Letnan Dua, dan memanggil nama saja juga terasa ganjil. Saat ini hubungan kita adalah sebagai majikan dan pegawai karena kau adalah penerjemah untuk suku Kumin, tapi pada akhirnya kau akan menjadi anak perempuanku melalui adopsi."


"A-anak perempuan!?"


"Ah, cerobohnya aku. Kalau begitu, aku harus menikah dengan seseorang dulu, ya."


Hazen sudah mempelajari semua hukum yang berkaitan dengan Kekaisaran, tetapi karena dokumennya sangat banyak, ia tidak bisa mengatakan telah memahami semuanya. Terutama, ia berpikir bahwa pernikahan masih jauh di depan, jadi hal itu luput dari benaknya.


"Tetapi, aku juga tidak bisa menemukan pasangan yang cocok... Baiklah, bagaimana kalau kau kuangkat jadi anak oleh ibu angkatku?"


"B-bisakah Anda tidak melanjutkan pembicaraan seenaknya sendiri?"


"Aku tidak menanyakan pendapatmu."


"Padahal ini tentang saya!?"


"Iya."


Pemuda berambut hitam itu mengangguk tanpa ragu. Tentu saja. Jan masih di bawah umur dan berada di bawah perlindungan Hazen. Jika ini adalah tentang membuat kontrak pernikahan, ceritanya akan berbeda, tetapi bagi seseorang yang hanya akan dinafkahi, tidak ada hak untuk memutuskan. Saat Hazen mengatakan hal itu, entah kenapa Jan memasang ekspresi syok, lalu menelungkupkan kedua tangannya ke lantai dan mulai menangis.


"Hiks... hiks... s-sebenarnya, ibu angkat Anda orang seperti apa?"


"Dia resepsionis di markas besar Guild. Tinggal di Ibu Kota Kekaisaran."


"......Untuk ukuran ibu angkat Tuan Hazen, dia terdengar cukup normal, ya."


"Begitukah? Sebagai pekerjaan sampingan, dia juga melakukan perantara ilegal untuk serikat budak, lho?"


"T-tolong jangan mengeluarkan latar belakang yang mengejutkan belakangan begini!"


Untuk bisa mengadopsi Hazen, dia telah memaksa ibu angkatnya, Helena Dali, untuk melakukan pernikahan palsu. Seharusnya tidak ada masalah hukum untuk membuat Jan juga menjadi anak angkatnya.


"Baiklah. Rencana menjadikan anak angkat perempuan kubatalkan, dan akan kubuat jadi adik angkat perempuan."


"Dibuat jadi... apa adopsi itu hal yang sesantai itu?"


"Betul."


"Saya yakin sekali itu salah..."


"Ternyata kau cukup kuno juga, ya."


"Saya yakin bukan itu masalahnya. Anu, apa itu benar-benar harus dilakukan?"


"Harus. Saat aku menjadi bangsawan rendahan, aku perlu menaikkan statusmu menjadi bangsawan juga. Untuk itu, menjalin hubungan keluarga adalah cara yang paling optimal."


Menurut Konstitusi Kekaisaran, status kebangsawanan berlaku untuk keluarga hingga kerabat tingkat kedua dari kepala keluarga (kakek-nenek, saudara kandung, cucu, dan pasangan mereka). Jadi, jika Hazen adalah kepala keluarga, ibu angkatnya Helena, dan Jan, secara otomatis akan naik status menjadi bangsawan rendahan.


"Karena itu, hubungan kita akan menjadi kakak beradik."


Hazen menjelaskan kepada Jan sambil menunjukkan sebuah diagram. Seperti yang diduga, minatnya terhadap pengetahuan sangatlah kuat, dan terlepas dari situasinya sendiri, dia mengangguk-angguk mengerti.


"Kalau begitu, apa saya panggil 'Kakak' saja?"


"......Menjijikkan."


"Bukankah Anda sendiri yang menyuruh saya!?"


"M-maaf. Tanpa sadar, aku teringat keberadaan adik laki-lakiku yang tidak becus. Bukan salahmu."



Dulu, Hazen juga memiliki sosok yang ia panggil ayah, ibu, dan adik laki-laki. Tidak ada cinta sama sekali. Sebuah keluarga yang penuh dengan kebencian, kesombongan, dan tipu muslihat. Untuk menjerumuskan mereka ke dasar neraka, Hazen menggunakan segala cara untuk memojokkan mereka. Kristal yang lahir dari akhir kebencian itu adalah tubuhnya yang sekarang, tetapi itu adalah cerita yang lain.


"......Sudahlah, putuskan saja apa pun."


Jan bergumam, seolah-olah sudah pasrah.


"Yah, hubungan guru dan murid sepertinya yang paling pas. Baiklah, kau kuangkat menjadi muridku. Mulai sekarang, panggil aku 'Guru'."


"......Dari sekian banyak orang, kenapa harus kepada orang yang paling tidak ingin saya hormati."


Jan terus bergumam hal yang tidak bisa dimengerti.


Setelah itu, Hazen menuju ke kamar Letnan Satu untuk melapor. Di sana, tidak hanya ada Letnan Satu Mospizza, tetapi juga atasannya, Kapten Lorenzo. Seorang pria berwajah lembut yang tampak tenang.


"Kau Letnan Dua Hazen, ya. Senang bertemu denganmu."


"Senang bertemu dengan Anda, Kapten Lorenzo. Mohon bimbingannya."


"Aku sudah mendengar ceritamu dari Kolonel Gedol dan Letnan Mospizza. Sepertinya kau pria yang cukup unik."


"Begitukah."


"Ehem."


Letnan Mospizza berdeham di sebelahnya. Apa dia sedang pilek?


"Lalu, ada perlu apa hari ini?"


"Saya ingin melapor kepada Letnan Mospizza mengenai kegiatan hari ini."


"Oh, aku sudah mendengarnya. Kompi ke-4 telah berhasil memukul mundur suku Kumin dengan baik."


"Ehem, ehem. Ehem, ehem, ehem."


"......Anu, Letnan Mospizza."


"Apa?"


"Kalau kondisi Anda tidak baik, kenapa tidak pergi ke ruang medis? Nanti akan merepotkan Kapten jika tertular."


"Kkh... Kapten Lorenzo. Maafkan saya. Bolehkah saya meminjam Letnan Dua Hazen sebentar?"


"Tentu. Silakan."


Seketika, Letnan Mospizza segera menghampiri Hazen dan membentaknya dengan suara pelan.


"Sebenarnya apa maumu datang ke sini? Asal kau tahu, aku tidak salah dalam melapor. Peletonmu adalah Peleton ke-8 yang berada di bawah Kompi ke-4 milikku."


"Saya mengerti."


"Lalu, apa maumu? Cepat pergi sana."


"Tidak. Saya datang untuk melaporkan hal penting."


"Sekarang Kapten Lorenzo sedang ada di sini, tahu? Apa kau bahkan tidak bisa menaati urutan!?"


"Bagaimanapun juga, saya rasa ini adalah masalah yang akan membutuhkan instruksi dari atasan, jadi saya ingin Kapten Lorenzo juga mendengarkannya."


"Aku yang akan memutuskan apakah laporan itu perlu disampaikan atau tidak. Sudahi pembicaraan dengan Kapten dan cepat pergi."


"Dimengerti. Kalau begitu, Kapten Lorenzo. Saya permisi!"


Sambil menundukkan kepala, Hazen bersiap untuk pergi.


"T-tunggu sebentar. Saya belum selesai bicara."


"Mohon maaf, tapi saya diperintahkan untuk 'menyudahi pembicaraan dengan Kapten dan cepat pergi'."


!?


"Bukan! Itu bohong! Bohong! Letnan Dua Hazen, kau ini, sebenarnya apa yang kau katakan?"


"Itu yang baru saja Letnan katakan."


"Saya tidak bilang begitu! Saya sama sekali tidak ingat pernah mengatakan hal seperti itu!"


"Anda sudah pasti mengatakannya. Tapi, apakah Anda akan menyangkal ucapan Anda sendiri yang baru saja Anda katakan?"


"Tentu saja! Saya hanya mengatakan, 'agar tidak bersikap kurang ajar kepada Kapten', hanya itu."


"......Begitu, ya. Kalau begitu, apa saya boleh bicara?"


"Tidak masalah. Karena Kapten menginginkannya, silakan, bicaralah."


Entah kenapa, Letnan Mospizza, yang dahi dan punggungnya dibanjiri keringat, menjawab dengan panik. Sambil memandangi keadaannya, Kapten Lorenzo tersenyum.


"......Begitu, ya, pria yang menarik."


"Saya rasa saya tidak sedang bercanda."


"Hahaha, kau benar. Ya. Sebenarnya, aku memang ingin bicara terus terang denganmu."


"Begitu, ya. Kalau begitu, ada dua hal yang ingin saya sampaikan."


"......Hei, Letnan Dua. Kau mengerti, kan?"


Letnan Mospizza membentak dengan wajah memerah padam. Hazen mencoba mengingat-ingat apa yang dimaksud, tetapi tidak terpikirkan apa pun. Seperti biasa, atasannya ini sulit sekali dibaca.


"Mengerti apa?"


"......Soal yang tadi."


"Oh, ya. Tentu saja. Kapten Lorenzo, Letnan Mospizza. Yang ingin saya bicarakan adalah mengenai perlakuan terhadap tawanan suku Kumin dan soal penerjemahnya."


!?


"Wooooooooy!"


Wajah Letnan Mospizza yang tampak gugup itu menjadi semakin merah. Urat di dahinya menonjol seolah-olah nyaris putus.


"Kau ini! Beraninya kau melapor kepada saya yang merupakan atasanmu dan kepada Kapten yang merupakan atasan saya secara bersamaan!"


"Tapi, bukankah tadi saya sudah mendapat izin?"


"I-izin? Aku sama sekali tidak ingat pernah memberikan izin seperti itu! Sa-ma se-ka-li!"


"Bukan begitu. Anda sudah memberikannya. Tadi, saat saya berkata kepada Anda, 'saya rasa ini adalah masalah yang akan membutuhkan instruksi dari atasan, jadi saya ingin Kapten Lorenzo juga mendengarkannya', bukankah Anda menjawab, 'Aku yang akan memutuskan apakah laporan itu perlu disampaikan atau tidak'?"


"......Memangnya kenapa kalau aku bilang begitu!? Bukankah memang begitu seharusnya?"


Saat pria gugup itu berteriak-teriak, Kapten Lorenzo memasang ekspresi bingung.


"Letnan Mospizza, apa kau mengatakan itu?"


"Benar, saya mengatakannya! Pasti! Meskipun begitu, orang ini mengabaikannya!"


"Tapi, tadi kau juga berkata begini, kan? 'Saya hanya mengatakan agar tidak bersikap kurang ajar kepada Kapten',"


"......H-hauuu."


Letnan Mospizza mengerang lalu terdiam. Waktu yang tidak menyenangkan kembali menyelimuti ruangan. Keringat yang bercucuran dari tubuhnya sudah begitu deras hingga mulai membasahi karpet sedikit demi sedikit. Apa dia benar-benar sedang pilek?


"Ucapanmu yang mana yang benar?"


"Bukan... anu... itu, karena sesuatu... lho?"


"Letnan Mospizza. Sekadar saran, jika Anda terus menumpuk kebohongan di atas kebohongan, ceritanya akan menjadi tidak konsisten, jadi sebaiknya Anda menahan diri."


"B-berisik! Aku tidak berbohong!"


"Tetapi ceritanya tidak konsisten."


"......Tidak, begini. Aku lupa. Karena kau mengatakan kebohongan yang begitu tidak terduga, aku jadi panik, dan tanpa sadar mengatakan 'hanya itu yang kukatakan'. Kapten Lorenzo. Saya, Mospizza Rendezvous. Bersumpah demi langit dan bumi, saya tidak mengatakan kebohongan apa pun."


"......Baiklah. Aku akan percaya padamu."


Letnan Mospizza berhasil memaksakan kehendaknya dengan kekuatan dan paksaan. Ekspresinya berubah seolah-olah baru saja lolos dari maut, dan sedetik kemudian, berubah lagi menjadi seperti ikan yang menemukan air.


"Jadi begitu. Letnan Dua Hazen. Berani-beraninya kau mengabaikan ucapan saya yang merupakan atasanmu, dan dengan lancangnya mencoba berbicara langsung kepada Kapten. Bukankah ini pelanggaran peraturan militer yang serius?"


"Bukan, Anda salah."


"KE-NA-PA!? Jelaskan alasannya! A-LA-SAN-NYA!"


"......Apa Anda tidak mengerti?"


"Hah?"


"Bukankah tadi Anda sendiri yang baru saja menyatakannya? Bahwa Anda menyangkal ucapan Anda sendiri."


"......"


"......"


"Hauwaaa!?"


Lagi-lagi, keringat dalam jumlah besar menyembur dari Letnan Mospizza.


Sebenarnya, sejak tadi, apa yang ingin dilakukan pria ini? Memperdebatkan apakah dia 'mengatakan' atau 'tidak mengatakan' ucapan di masa lalu yang sudah dia sangkal sendiri. Hazen menghela napas pendek dan melanjutkan pembicaraan.


"Sudah, bolehkah saya masuk ke topik utama?"


"Bukan, itu, anu, bukan begitu. Yang saya sangkal adalah bagian di mana saya mengatakan 'sudahi pembicaraan dengan Kapten dan cepat pergi'......"


"Letnan Mospizza."


"Ah! Bukan. Bohong. Saya tidak bilang begitu. Yang saya sangkal adalah, karena itu, anu..."


"Sudah, cukup. Bahwa kau telah berbohong, sudah sangat jelas."


Begitu Kapten Lorenzo menjawab, Letnan Mospizza memasang ekspresi putus asa.


Melihat Letnan Mospizza yang sudah pucat pasi seolah-olah nyaris kehabisan napas, Hazen memasang ekspresi bingung.


"Letnan Mospizza, Anda tidak apa-apa? Sepertinya kondisi Anda memang sedang tidak baik, ya?"


"Haha, Letnan Dua Hazen. Kau ini jahat, ya."


"Jahat... begitu?"


Bagaimana ini. Sama sekali, tidak terpikirkan olehnya.


"Sudahlah sandiwara polosmu itu. Kau telah membongkar kebohongan Letnan Mospizza dan memberitahukannya kepadaku, Kaptennya kan. Wajar saja jika dia panik."


"Hanya karena hal seperti itu?"


Hazen menatap Kapten Lorenzo dengan ekspresi yang benar-benar terkejut.


"Hanya karena hal seperti itu... kah. Tapi, berbohong kepada atasan bisa dianggap sebagai pelanggaran peraturan militer."


"Itu memang benar, tetapi kebohongan Letnan Mospizza adalah kebohongan yang tidak ada artinya."


"......Apa maksudmu?"


Kapten Lorenzo memasang ekspresi bingung.


"Apakah ucapan ini dikatakan atau tidak. Sejujurnya, saya menganggapnya sebagai percakapan yang tidak penting. Artinya, percakapan yang tidak berharga."


"......"


"Kebohongan yang diucapkan dalam percakapan yang tidak berharga, pada akhirnya hanyalah hal yang tidak berharga. Karena itu, entah itu bohong atau tidak, bukankah keduanya sama saja?"


"Tetapi itu tetap melanggar peraturan militer."


"Bukankah kita ini perwira tinggi?"


Mendengar jawaban itu, Kapten Lorenzo memasang ekspresi terkejut.


"Lalu? Jangan bilang, karena kita perwira tinggi jadi kita tidak perlu mematuhinya?"


"Bukan begitu. Kita berada di posisi untuk mematuhi, melaksanakan, dan menetapkan peraturan militer. Jika demikian, bukankah seharusnya kita memahami dan menjalankan esensinya, yaitu menyelesaikan tugas militer dengan lebih efisien?"


"......"


"Menurut saya peraturan militer tidaklah sempurna. Besar atau kecil, hampir semua orang pernah melanggarnya. Tetapi, jika kita terlalu mempermasalahkan hal-hal kecil, kita justru akan kehilangan esensinya."


"......Lalu?"


"Bagi kita, peraturan militer bukanlah sesuatu yang harus ditaati secara membabi buta. Justru, saya rasa kita berada di posisi di mana kita seharusnya memanfaatkan peraturan militer sesuai dengan esensinya. Kalau begitu, perdebatan tadi adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Tentu saja, saya tidak akan memberi ampun kepada orang-orang yang mencari-cari kesalahan dalam peraturan militer untuk melakukan perdebatan yang tidak berguna."


Sambil berkata begitu, dia melirik sekilas ke arah Letnan Mospizza, tetapi sepertinya orangnya sendiri sedang tidak dalam kondisi untuk peduli.


"......Begitu, ya. Ternyata, kau memang pria yang aneh."


Kapten Lorenzo menatap Hazen lekat-lekat.


"Tentu saja, jika Kapten merasa terganggu, saya tidak punya wewenang untuk menghentikannya. Akan tetapi, lebih dari itu, saya ingin segera beralih ke topik utama."


"Haha. Dalam situasi ini, aku tidak bisa bilang kalau aku terganggu. Letnan Mospizza. Kau terselamatkan oleh cara pandang Letnan Dua Hazen, ya. Mulai sekarang, berhati-hatilah."


"......I-iya."


Letnan Mospizza menunduk dengan ekspresi seperti mau menangis.


"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?"


"Mengenai tawanan suku Kumin, tidak bisakah kita memanfaatkannya untuk membuat perjanjian gencatan senjata?"


"......Hoo."


"Letnan Dua Hazen! Kau ini, jangan bilang kau berniat ikut campur dalam strategi besar yang diputuskan oleh petinggi militer?"


Seketika, Letnan Mospizza bangkit kembali dan berteriak. Hal ini, dalam arti tertentu, membuat Hazen merasa kagum. Pria yang benar-benar tidak kapok. Atau mungkin lebih tepat disebut tidak mudah patah semangat?


"Benar. Saya sedang mengajukannya ke atasan."


"J-jangan bercanda! Seorang letnan dua rendahan yang baru bertugas kurang dari 10 hari berani-beraninya ikut campur dalam strategi besar yang merupakan wewenang seorang kolonel... ini masalah besar, tahu!?"


"......Letnan Mospizza. Tolong diam sebentar."


"B-baik."


"Letnan Dua Hazen. Pembicaraan itu sangat menarik. Tolong ceritakan lebih detail."


Sepertinya, usahanya untuk menarik minat sang Kapten telah berhasil. Hazen membentangkan peta seluruh wilayah Distrik Garna Utara dan menarik sebuah garis.


"Ini apa?"


"Ini adalah perkiraan wilayah aktivitas mereka, disimpulkan dari lokasi kemunculan suku Kumin."


"......Bagaimana kau bisa menentukannya?"


"Saya meminta bawahan saya untuk mengumpulkan data lokasi kemunculan dan membuat statistiknya. Saya juga meminta mereka untuk bertanya kepada peleton lain dan memeriksa jurnal-jurnal lama."


"Itu luar biasa."


"Benar. Namanya Edal, seorang prajurit dua, tetapi dia sangat cerdas."


Hazen sendiri tidak menyangka Edal akan melakukan pekerjaan sejauh itu. Prajurit Dua Edal telah membaca niatnya dan melakukan pekerjaan yang jauh lebih baik dari yang diperkirakan.


"Bukan kau yang melakukannya?"


"Bukan."


"......Begitu, ya. Lalu?"


"Wilayah tempat mereka tinggal sebagian besar adalah pegunungan. Bagi kita yang hidup di dataran rendah, pemanfaatannya sedikit. Meskipun begitu, kita terpaksa harus bertikai karena kebijakan ekspansi wilayah."


Kebijakan ekspansi wilayah adalah kebijakan fundamental tradisional Kekaisaran. Sebuah arahan besar atas perintah Kaisar yang menyatakan bahwa jika wilayah terus diperluas sedikit demi sedikit setiap tahun, suatu saat penyatuan benua akan tercapai.


"Akan tetapi, sebagai seorang prajurit Kekaisaran, kebijakan ekspansi wilayah adalah hal yang tidak bisa dihindari. Seberapapun nekatnya, kita harus merebut wilayah."


"Karena itulah kita melakukan gencatan senjata, dan menargetkan secara terpusat... wilayah Kadipaten Agung Dioldo."


"......Maksudmu kita akan memulai perang skala penuh?"


"Benar. Sampai sekarang kita tidak bisa melancarkan serangan agresif karena harus bersiap menghadapi serangan suku Kumin juga. Jika kita membuat perjanjian gencatan senjata, Kadipaten Agung Dioldo secara praktis akan menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu pasukan Kekaisaran kita dan suku Kumin."


"......Tapi, apa akan berjalan semulus itu?"


"Saya tidak tahu, tetapi saya rasa patut dicoba. Yang ditangkap oleh Peleton ke-8 kali ini adalah seorang penyihir dari suku Kumin."


Pihak sana pun seharusnya ingin menghindari kehilangan sumber daya manusia yang berharga. Selama kita bisa berkomunikasi, ada kemungkinan mereka mau duduk di meja perundingan.


"Lalu, siapa yang akan menjadi negosiatornya? Lagipula aku belum pernah dengar ada orang yang bisa berbicara dengan suku Kumin."


"Saya yang akan pergi. Dan sebagai penerjemahnya... saya akan menggunakan seorang gadis berusia enam tahun."


Saat Hazen menjawab begitu, mata Kapten Lorenzo membelalak bulat sempurna.


Wajar jika dia terkejut. Usia enam tahun, bahkan bagi seorang bangsawan, adalah saat-saat mereka baru mulai belajar membaca dan menulis. Bagi rakyat biasa, itu adalah usia di mana mereka mulai membantu usaha keluarga, namun itupun mereka baru bisa berbicara bahasa ibu dengan lancar.


Anak berusia enam tahun yang bisa menjadi penerjemah untuk suku lain, hal itu pastilah belum pernah terjadi sebelumnya.


"Kau bercanda, kan?"


"Dia bukan anak biasa. Nama gadis itu Jan, dia sangat cerdas, dan sepertinya sudah berdagang dengan suku Kumin."


"......Sulit untuk dipercaya."


"Jan juga paham betul tentang adat dan etiket mereka. Sepertinya dia memanfaatkan hukum adat suku Kumin yang menyatakan, 'bahkan anak-anak Kekaisaran akan diusir jika berbuat onar'."


"Seandainya pun begitu, berani sekali gadis itu masuk ke lingkungan suku lain dengan penampilan yang aneh."


Hazen mengangguk, merasa lega karena sang Kapten menunjukkan pemahaman. Sejujurnya, dia berpikir bahwa menjelaskan tentang Jan adalah bagian yang paling sulit. Kapten Lorenzo sepertinya memiliki pemikiran yang sangat fleksibel. Seharusnya, wajar saja jika cerita seperti ini ditertawakan dan langsung ditolak.


"Karena itu, saya ingin meminta izin agar Jan ditempatkan di bawah saya sebagai penerjemah."


"Kenapa? Kalau hanya untuk dipekerjakan, tidak perlu ditempatkan di benteng ini."


"Saya juga perlu mempelajari bahasa dan budaya suku Kumin sampai batas tertentu. Untuk itu, cara yang paling efisien adalah dengan tinggal bersama dan mempelajarinya."


"......Tolong beritahu aku rencana spesifiknya."


"Saat ini, saya menyuruh Jan untuk merawat tawanan dari suku Kumin. Setelah itu, ketika hubungan kepercayaan sudah cukup terbangun, saya akan memintanya memanfaatkan koneksi dagangnya untuk membuat perjanjian gencatan senjata."


"Kau mengatakannya dengan begitu mudah."


"Untuk hal yang belum pernah dilakukan, saya rasa cara terbaik adalah dengan mencobanya terlebih dahulu. Lagipula, seandainya gagal dan hubungan kita memburuk pun, tidak akan jauh berbeda dengan situasi saat ini. Dalam artian itu, risikonya rendah."


"......Tapi, jika gagal, bukankah kau sebagai negosiator dan gadis bernama Jan itu akan dibunuh?"


"Jan mungkin akan dibiarkan hidup karena dia anak-anak. Tapi saya, sudah pasti akan dibunuh."


Tentu saja, dia sama sekali tidak berniat untuk dibunuh begitu saja hanya karena gagal. Namun, dalam situasi ini, mengatakan hal itu akan lebih menunjukkan keseriusannya. Permohonan yang mempertaruhkan nyawa adalah sesuatu yang akan ditanggapi dengan serius oleh siapa pun.


"......Kau punya keyakinan akan berhasil, kan?"


"Benar. Saya bukan orang yang ingin bunuh diri. Saya tidak akan melakukan pertaruhan yang membuang-buang nyawa saya sendiri."


"Baiklah. Akan kuajukan ini atas tanggung jawabku."


"K-Kapten! Apa Anda yakin? Jika Anda menerima usulan dari seorang letnan dua rendahan dan ternyata gagal..."


Letnan Mospizza menyela dengan panik.


"Tenang saja, namamu tidak akan kusebut. Aku akan mengajukan pendapatnya murni sebagai keputusan pribadiku."


"......Bukannya saya khawatir soal itu, tapi, baiklah, saya mengerti."


"......"


Meskipun beralasan, Letnan Mospizza ternyata mundur dengan cukup mudah. Intinya, dia tidak mau mengambil tanggung jawab.


Pada saat itu juga, Hazen menganggap pria ini sebagai sampah.


Pada saat yang sama, dia merasa kecewa karena perwira tinggi seperti ini juga merajalela di garis depan di daerah ini. Tujuan Hazen adalah untuk menjalin hubungan dengan para perwira tinggi yang menjanjikan di daerah dan memperkuat kekuatan mereka, tetapi jika keadaannya tidak jauh berbeda dengan di pusat, akan sulit untuk membalikkan keadaan.


Di sisi lain, Kapten Lorenzo membuka mulut setelah berpikir sejenak.


"Tetapi, jika perjanjian gencatan senjata dengan suku Kumin berhasil disepakati, itu akan menjadi prestasi perang yang luar biasa. Letnan Dua Hazen, ada kemungkinan kau akan dianugerahi Penghargaan Jasa Istimewa."


Penghargaan Jasa Istimewa adalah sebuah penghargaan yang diberikan kepada mereka yang telah mencapai prestasi yang sangat besar. Selain harta berupa emas dan perak, status mereka juga akan dinaikkan. Biasanya, butuh waktu sekitar enam tahun untuk naik pangkat dari Letnan Dua ke Letnan Satu, tetapi dengan ini, ada kemungkinan dia akan naik pangkat menjadi Letnan Satu bahkan sebelum akhir tahun.


Dan begitu mendengar hal itu, wajah Letnan Mospizza langsung menegang.


"I-itu artinya, Penghargaan Jasa Istimewa akan diberikan kepada Letnan Dua Hazen secara pribadi?"


"Tentu saja, kan? Dialah yang merancang dan akan melaksanakan operasi kali ini."


"Tetapi, bukankah ini berarti kebesaran hati para atasan, seperti Kapten Lorenzo yang menyetujui usulan nekat orang ini, yang luar biasa? Saya rasa ini sama sekali tidak boleh dianggap sebagai prestasi pribadinya."


Letnan Mospizza sengaja menekankan kata 'seperti'. Intinya, dia bersikeras bahwa prestasi itu seharusnya jatuh kepadanya. Mendengar ini, Kapten Lorenzo pun tak bisa menahan ekspresi jengah.


"Jika hanya dengan menyetujui usulan saja bisa dianugerahi Penghargaan Jasa Istimewa, maka setiap tahun pasti akan ada saja yang menerimanya."


"T-tapi, kita harus mempertimbangkan posisi seorang letnan dua. Sebagai perwakilan organisasi, minimal harus setingkat letnan satu. Jika tidak, akan menjadi contoh yang buruk bagi yang lain."


"A-apa maksudmu kau yang akan menerimanya?"


"Yah, menurut kebiasaan, memang akan menjadi seperti itu. Sudah menjadi tradisi bahwa Penghargaan Jasa Istimewa seorang bawahan akan diterima oleh atasannya langsung sebagai perwakilan."


"......!"


Mendengar ini, Kapten Lorenzo pun terdiam dengan mulut ternganga. Memang benar, terakhir kali Penghargaan Jasa Istimewa diberikan adalah delapan tahun yang lalu. Saat itu diberikan kepada Mi Syl, yang kini menduduki peringkat keempat bangsawan tinggi sekaligus petinggi militer, 'Shihaku', ketika ia menyerbu ibu kota negara Zeoldo. Jabatannya saat itu adalah Letnan Satu, dan hal itu juga memicu perdebatan yang mempertanyakan 'bukankah seharusnya Kapten yang menjadi atasannya yang menerimanya'.


"Letnan Mospizza. Tapi, kau... apa kau merasa dirimu pantas dianugerahi Penghargaan Jasa Istimewa?"


"Walaupun mungkin terdengar lancang, saya rasa begitu. Saya telah mendedikasikan hidup saya untuk Kekaisaran selama ini. Dan saya bangga bahwa semangat membara ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun. Pengalaman saya sebagai letnan satu juga sudah lama, jadi saya rasa saya jauh lebih pantas daripada seseorang yang baru menjadi letnan dua kurang dari sebulan."


"......Kau serius?"


"Benar."


Letnan Mospizza menjawab tanpa ragu. Hazen, yang sedari tadi menatap lekat keadaannya, tersenyum tipis.


"Yah, belum ada jaminan juga akan mendapatkan Penghargaan Jasa Istimewa. Saya akan berusaha sekuat tenaga demi keberhasilan perjanjian gencatan senjata."


"Anu... maafkan aku, Letnan Dua Hazen. Letnan Mospizza juga tidak bermaksud jahat. Semangatnya terhadap Kekaisaran sangat kuat, jadi kurasa ada kalanya dia menjadi sedikit berlebihan."


"Benar. Saya mencintai Kekaisaran dengan segenap hati, dan berniat untuk mengabdi dengan mempertaruhkan nyawa. Hazen. Kau itu, pada akhirnya hanyalah seorang letnan dua rendahan yang baru ditugaskan kurang dari sebulan. Sadarilah posisimu."


"......"


"Y-yang jelas, aku sudah mengerti soal suku Kumin. Apa ada hal lain yang ingin kau sampaikan?"


Saat ditanya begitu, pemuda berambut hitam itu berpikir sejenak, lalu akhirnya membuka mulut.


"Satu hal, sekadar obrolan ringan."


"......Obrolan ringan?"


Kapten Lorenzo memasang ekspresi bingung.


"Apakah Kapten mengenal seorang ahli strategi militer bernama Jilsas Zara?"


"......Dia adalah pahlawan yang berjasa di saat Kekaisaran masih menjadi negara kecil, ya. Aku tidak terlalu paham sejarah, jadi hanya sekadar pernah dengar namanya saja."


"Strategi dan pemikiran militernya yang luar biasa adalah sesuatu yang ingin saya teladani. Suatu ketika, dia memutuskan untuk menggunakan pasukannya dengan mengklasifikasikan orang ke dalam empat jenis."


"Empat jenis?"


Hazen mengangguk.


"Pertama, orang yang punya semangat dan kemampuan. Ini adalah tipe komandan di garis depan. Berikutnya, orang yang tidak punya semangat, tapi punya kemampuan. Ini adalah tipe ahli strategi di garis belakang."


"Begitu, ya, itu menarik."


"Lalu, orang yang tidak punya semangat dan tidak punya kemampuan. Ini adalah tipe prajurit biasa di garis depan. Maksudnya, jika mereka tidak berguna, suruh saja maju ke depan dan paksa mereka bertarung."


"Haha. Memang benar."


"......Terakhir, orang yang punya semangat, tapi tidak punya kemampuan."


"Aku jadi penasaran. Tipe seperti apa itu?"


Saat Kapten Lorenzo bertanya, Hazen menatap Letnan Mospizza.


Melemparkan tatapan yang dingin.


Lalu bergumam.


"Dia berkata begini. 'Segera, bunuh mereka'."


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close