Penerjemah: Nels
Proffreader: Nels
Chapter 4
Kebusukan Organisasi
Keesokan harinya, Hazen kembali ke benteng. Sedikit mabuk sisa kemarin, kepalanya berdenyut kencang. Sebenarnya ia ingin sekali tidur di ranjang, tetapi lapor, hubungi, dan koordinasi adalah kewajiban dasar seorang prajurit.
Segera, Hazen langsung menuju ke kamar Letnan Mospizza. Atasannya yang duduk dengan raut gugup itu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
"Kau belum melapor pada Kapten Lorenzo, kan?"
"Benar. Karena saya diperintahkan untuk melapor kepada Anda terlebih dahulu."
"Pasti, kan."
"Benar."
"Berani mempertaruhkan nyawamu?"
"......Benar."
Sudah cukup, aku benar-benar muak dengan si tidak kompeten ini. Hazen berpikir. Aku sudah menyarankan kepada Kapten Lorenzo untuk 'membunuhnya', tapi entah sang Kapten benar-benar mempertimbangkan untuk menyingkirkannya atau tidak.
Yah, mungkin inilah takdir seorang prajurit, pikirnya sambil menghela napas panjang.
Hazen melaporkan hasilnya saja dengan singkat.
"......Aku tidak percaya. Apa kau benar-benar berhasil membuat perjanjian gencatan senjata?"
"Benar. Ini, ada surat perjanjian yang ditulis dalam bahasa suku Kumin dan bahasa Kekaisaran."
"Benda seperti ini bisa saja dipalsukan."
"Nanti, Ratu Basia akan mengunjungi benteng. Untuk meresmikan perjanjian. Sebaiknya kita meminta Kolonel Gedol untuk hadir."
"S-sang Ratu akan datang sendiri?"
"Benar."
"......Aku tidak percaya. B-baiklah. Aku mengerti. Tapi, ini pencapaian yang luar biasa. Ini prestasi terbesar sejak Kompi ke-4 dibentuk, tahu? Penghargaan Jasa Istimewa... Penghargaan Jasa Istimewa, ya... ufufu, ufufufu."
"......"
Orang ini benar-benar parah, pikir Hazen. Padahal dia tidak melakukan apa-apa, tidak, justru sebaliknya, dia menentang habis-habisan, mengganggu, dan pada akhirnya melepaskan tanggung jawab, tapi entah kenapa sekarang dia mencoba mencuri semua pujiannya.
Namun, tanpa menyadari tatapan dingin itu, Letnan Mospizza berbisik dengan suara manis yang membuat mual seolah-olah sedang mendekat.
"Letnan Dua Hazeeen?"
"......Ya."
"Penghargaan Jasa Istimewa... anu. Ini, aku juga sudah memikirkannya, sih, tapi kurasa lebih pantas jika Kompi ke-4 yang menerimanya. Soalnya Peleton ke-8 kan terkenal karena kelakuannya yang buruk selama ini."
"Kalau logikanya seperti itu, berarti kelakuan Kompi ke-4 juga buruk. Karena Peleton ke-8 adalah bagian dari Kompi ke-4."
"......Hah?"
Ekspresi Letnan Mospizza yang tadinya ceria langsung menegang, dan suaranya kembali ke nada kesal seperti biasa. Di sisi lain, Hazen justru merasa lega. Jika dia terus berbisik dengan suara menjijikkan seperti itu, mungkin tangannya sudah melayang tanpa sadar.
"......Bukan berarti seluruh Kompi ke-4 itu buruk. Yang kelakuannya buruk kan hanya Peleton ke-8 saja."
"Kalau begitu, jika Anda mau merekomendasikannya untuk Penghargaan Jasa Istimewa, tolong rekomendasikan untuk Peleton ke-8 saja."
"Hah? Kau ini, apa kau dengar ucapanku tadi?"
"Benar. Menurut logika Anda, akan menjadi seperti itu. Jika 'yang besar tidak bisa merangkap yang kecil', maka seharusnya hal yang sama berlaku untuk kali ini."
"Kkh..."
"Lagipula, kami sama sekali tidak menerima bantuan apa pun dari orang-orang di luar Peleton ke-8."
"Kau! Apa kau berniat memonopoli semua pujiannya untuk dirimu sendiri?"
"Saya tidak berniat begitu. Tapi, saya tidak mau membagi pujian dengan orang-orang yang sama sekali tidak membantu. Kalaupun harus dibagi, saya rasa Peleton ke-8 adalah yang paling pantas."
Anggota peletonnya sudah ia paksa bekerja keras untuk melakukan penyelidikan dan persiapan sebelumnya. Tentu saja ia ingin membalas jasa mereka. Akan tetapi, dari Letnan Mospizza, ia hanya mendapatkan gangguan. Dan fakta bahwa ia harus repot-repot menjelaskan hal seperti ini, itulah yang menurut Hazen benar-benar buang-buang waktu.
"......Kalau begitu, aku tidak akan merekomendasikannya untuk Penghargaan Jasa Istimewa. Apa kau tidak apa-apa dengan itu?"
"Silakan."
"Tentu saja. Karena kau bilang 'Peleton ke-8 bukan bagian dari Kompi ke-4'."
"Saya hanya mengatakan 'kami tidak menerima bantuan apa pun dari orang-orang di luar Peleton ke-8', jadi saya sama sekali tidak ingat pernah mengatakan hal seperti itu, tapi karena saya tidak punya hak untuk merekomendasikan, silakan lakukan sesuka Anda."
"......Kau benar-benar tidak apa-apa dengan itu?"
"Benar."
"Asal kau tahu, aku benar-benar tidak akan merekomendasikanmu, lho?"
"Benar."
"Letnan Dua Hazeeen... kenapaaa? Kenapa kau begitu keras kepalaaa? Berpikirlah lebih luwes. Lebih luweeees, lebih luweeees."
Sekali lagi, Letnan Mospizza mengeluarkan suara lengket seperti membujuk kucing.
"Bukankah lebih baik jika ini dianggap sebagai prestasi Kompi ke-4? Kalau begitu, setidaknya semua anggota Kompi ke-4 akan mendapat penghargaan. Kalau tidak direkomendasikan, tidak akan ada penghargaan apa pun, lho. Bukankah sudah jelas mana yang lebih baik?"
Dia mencoba menasihati dengan suara yang manis dan membuat mual, tetapi Hazen menggelengkan kepalanya.
"Karena salah jika menerima penghargaan tanpa prestasi apa pun."
"Bukankah itu sudah menjadi kebiasaan!"
Tiba-tiba. Dia marah besar dan berteriak.
"Itu adalah kebiasaan yang buruk. Kebiasaan buruk harus dibasmi, atau Kekaisaran akan runtuh."
"Kau... seorang letnan dua rendahan, berani-beraninya bicara soal Kekaisaran?"
"Benar. Karena saya seorang prajurit Kekaisaran, saya selalu bertindak sambil memikirkan masa depan Kekaisaran."
"......Maksudmu aku tidak memikirkan masa depan Kekaisaran?"
"Saya tidak mengatakan hal itu, dan dari konteksnya pun tidak bisa disimpulkan begitu, tapi menurut saya memang begitu."
"K-kau ini!"
Letnan Mospizza mencoba menamparnya, tetapi Hazen menghindar dan mengayunkan Kazekiri. Seketika, tekanan angin yang seolah mengiris menyerempet pipi Letnan Mospizza. Tanpa sadar, dia pun terduduk lemas di lantai.
"Ghk... g-g-g."
"Maaf. Tadi ada serangga pengganggu di bahu Anda, Letnan."
Hazen menunjukkan serangga pengganggu berukuran agak besar yang telah terbelah dua sambil tersenyum. Tentu saja, ini juga sudah ia siapkan sebelumnya.
"K-kau! Kau mencoba membunuhku, kan?"
"Bukan. Saya hanya membunuh serangga pengganggu."
"J-jangan bohong."
"Bukan kebohongan. Saya membunuh serangga ini. Saya memang akan membunuh serangga pengganggu... hama yang menggerogoti Kekaisaran juga, sampai tuntas."
"Hik..."
Hazen menatap Letnan Mospizza dengan tatapan yang seolah menembus.
"J-jadi, rekomendasinya tidak akan kuberikan! Kau benar-benar tidak apa-apa dengan itu?"
"Benar."
"......Sungguh, ya. Tidak apa-apa, kan?"
"Anu, apa telinga Anda bermasalah? Saya sudah berkali-kali mengatakan 'benar'."
"I-ini hanya penegasan. Karena ini masalah penting."
"Kalau begitu, tolong singkat saja. Karena setelah ini saya harus melapor kepada Kapten Lorenzo."
!?
"Fhooooooooy!"
Letnan Mospizza menjerit dengan suara melengking.
"K-kau. Beraninya kau mau melapor sendiri?"
"Benar."
"Melewati aku yang merupakan atasanmu?"
"Karena saya diperintahkan langsung oleh Kapten Lorenzo."
"Aku tidak menerima laporan seperti itu!?"
"Benar."
"Kenapa tidak melapor!?"
"Karena saya tidak diinstruksikan untuk melapor."
"Biasanya begitu, kan! Bi-a-sa-nya, kan!?"
Letnan Mospizza berteriak sambil mengentakkan kakinya ke lantai.
"Begitukah? Tapi, meminta saya untuk memahami segalanya tanpa diberitahu itu adalah hal yang mustahil. Anda harus memberitahukannya dengan benar, atau memasukkannya ke dalam daftar catatan penting."
"Kkh... hal penting pasti dilaporkan, kan!?"
"Benar."
"Kalau begitu, kenapa tidak melapor!?"
"Karena saya tidak menganggapnya sebagai hal yang penting."
"Penting, tahu! Ini penting! Ini penting!"
"Begitu, ya. Kalau begitu, lain kali akan saya lakukan."
"Sudah terlambat! Ter-lam-bat!"
"Begitu, ya."
Saat Hazen menjawab dengan datar, Letnan Mospizza menatapnya dengan ekspresi seolah-olah tidak percaya.
"A-aku bilang sudah terlambat, tahu? Seharusnya kau memberikan penjelasan atau pembelaan, kan?"
"Bukan. Bagi saya, jika itu adalah masalah penting, hal yang wajar adalah Anda memberitahukannya dengan benar atau memasukkannya ke dalam catatan penting. Jadi, saya rasa itu adalah tanggung jawab Anda sendiri, Letnan."
"Apa katamu!?"
"Tentu saja, jika ini adalah masalah penting bagi Kekaisaran, saya akan menerima teguran seperti itu. Tapi ini hanyalah melaporkan isi laporan yang sama kepada Kapten seperti yang sudah saya laporkan kepada Anda, Letnan. Karena itu adalah masalah penting hanya bagi Anda, Letnan, maka saya tidak mengetahuinya."
"......Sudah cukup!"
"Begitu, ya. Kalau begitu, saya permisi."
!?
"Hooooooy! Tunggu! Tunggu, tunggu, tunggu!"
Letnan Mospizza bergegas pindah ke depan pintu, menghalangi jalan keluar dengan tubuhnya.
"......Anu, bisakah Anda tidak memberikan perintah yang saling bertentangan? Saya jadi bingung."
"Kkh... 'Sudah, cukup' itu bukan berarti 'pergi'! Tapi berarti 'aku kecewa padamu'!"
"Begitu, ya."
"Apa kau tidak mengerti? Hal seperti itu seharusnya wajar dimengerti, kan!?"
"Saya rasa sebaiknya Anda berhenti menggunakan cara bicara yang ambigu. Karena ada risiko akan mengacaukan pergerakan peleton."
"Gggh..."
"......"
"......"
"Kalau begitu, saya permisi."
"Fhooooooooy! Tunggu, tunggu, tunggu!"
Letnan Mospizza menghalangi dengan segenap tubuhnya saat Hazen mencoba menyelinap melewatinya dan membuka pintu.
"Ya."
"Kenapa kau mau pergi?"
"Karena saya menilai pembicaraan sudah selesai."
"Belum selesai! Aku bilang 'aku kecewa padamu', tahu!"
"Benar. Dan atas ucapan itu, saya menjawab 'begitu, ya'. Dari situ, saya menilai percakapan sudah berakhir."
"Jangan bercanda! Biasanya, kalau atasan bilang 'aku kecewa', bawahannya akan diam berdiri!"
"Begitu, ya."
"Biasanya begitu, kan! Apa kau tidak mengerti!?"
"Saya rasa sebaiknya Anda berhenti bersikap ambigu. Karena ada risiko akan mengacaukan pergerakan peleton."
"Gggh... benar, aku bilang 'tunggu'! Aku bilang 'tunggu', kan?"
"Benar."
"Lalu, kenapa kau mau pergi?"
"Saya sudah menunggu. Dan saya menilai instruksi itu sudah selesai."
"Aku yang menilainya!"
"Tetapi, setelah itu Anda tidak mengatakan apa-apa lagi, kan."
"Aku baru akan mengatakannya!"
"Begitu, ya. Kalau begitu, tolong singkat saja. Karena Kapten Lorenzo juga sudah menunggu."
"Biarkan saja dia menunggu! Dia itu senggang, urusan di sini lebih penting!"
"......Saya mengerti."
"Kau, apa yang akan kau jelaskan pada Kapten Lorenzo?"
"Sama seperti isi laporan yang saya sampaikan kepada Anda, Letnan."
"Katakan! Ucapanmu tidak bisa dipercaya."
"Kami telah membuat perjanjian gencatan senjata. Nanti, sang Ratu akan datang kemari. Itulah yang akan saya laporkan."
"......Ada lagi?"
"Jika ditanya, saya akan menjawab."
"Bagaimana dengan soal Penghargaan Jasa Istimewa?"
"Itu juga, jika ditanya, saya akan menjawab."
"Katakan! Apa yang akan kau jawab?"
"......Anu, jawaban untuk pertanyaan yang mana, ya?"
"Sudah kubilang, kan! Penghargaan Jasa Istimewa! PENG-HAR-GA-AN JA-SA IS-TI-ME-WA!"
"Saya akan menjawab, 'Mengenai hal apa dari Penghargaan Jasa Istimewa?'"
"Kkh... Pertanyaannya adalah, peleton mana yang seharusnya menerima Penghargaan Jasa Istimewa?"
"Saya akan menjawab, 'Saya rasa Peleton ke-8 yang seharusnya menerima'."
"Uhooooooooooooooy! Uhohooooooooooooooooy!? Kenapa? Aku sudah bilang 'Kompi ke-4 yang pantas', kan?"
Letnan Mospizza menghentak-hentakkan kakinya seolah-olah sudah gila.
"Benar."
"Kenapa kau tidak mengatakan begitu!?"
"Karena saya bukan Letnan Satu."
"Tapi aku ini atasanmu, kan?"
"Benar."
"Apa kau berniat menentang keputusan yang sudah dibuat oleh atasanmu?"
"......Bukankah yang Letnan putuskan adalah menolak Penghargaan Jasa Istimewa?"
"Ggggggh! Kalau begitu, kenapa kau tidak mengatakan begitu!?"
"Karena pertanyaannya masih dalam bentuk asumsi 'peleton mana yang seharusnya menerima?'. Pertanyaannya bukan 'menerima' atau 'menolak'."
"Hah... Dibilang begini, jawabnya begitu. Aku sampai tidak bisa berkata apa-apa karena jengkel."
"Begitu, ya."
"Tunggu! Jangan pergi! Jangan pergi sampai aku bilang boleh!"
"Baik. Tetapi, tolong singkat saja. Karena saya sudah membuat Kapten Lorenzo menunggu."
"Sudah kubilang biarkan saja dia menunggu! Orang yang hanya bisa tersenyum-senyum seperti itu, biarkan saja dia menunggu sampai kapan pun, tidak masalah!"
"B-begitu, ya."
"Hhh... Kalau begitu, jika ditanya 'menerima' atau 'menolak'?"
"Saya akan menjawab, 'Saya ingin menerimanya, tetapi Letnan mengatakan akan menolaknya'."
!?
"Uoaaaaoooooy! Uaoiaoooooooy! Itu jawaban yang paling buruk, kan!? Jawaban yang pa-ling bu-ruk!"
Seolah-olah sedang menari tap. Hentakan kaki Letnan Mospizza begitu keras.
"Begitu, ya."
"Dengar? Katakan begini. 'Saya rasa Kompi ke-4 yang seharusnya menerima Penghargaan Jasa Istimewa'."
"Saya menolak."
"K-kenapa?"
"Karena saya tidak berpikir begitu."
"Ini perintah atasan!"
"Saya mengerti."
"Kau yakin?"
"Benar."
"Coba katakan? Jika ditanya 'Peleton mana yang seharusnya menerima Penghargaan Jasa Istimewa'?"
"Meskipun saya tidak berpikir begitu, saya menerima instruksi dari Letnan untuk menjawab 'Saya rasa Kompi ke-4 yang seharusnya menerima Penghargaan Jasa Istimewa'."
!?
"Uoaaaaoooooaoooy! Uaooooouooooy! Uoy! K-kenapa bisa jadi begitu? Kau pasti sengaja melakukannya, kan?"
"Tapi saya hanya mengikuti instruksi Anda."
Tentu saja, tidak perlu dikatakan lagi bahwa dia sengaja melakukannya.
"Aku tidak memberi instruksi seperti itu! Sama sekali tidak!"
"Begitu, ya."
"Dengar? Mulai sekarang, kita akan melakukan gladi bersih tanya jawab. Jangan salah satu kata pun? Jangan ditambahi? Jangan dikurangi? Dengar, kau mengerti!?"
"Tetapi, saya sudah membuat Kapten Lorenzo menunggu."
"Sudah kubilang, kan!? Biarkan saja orang seperti itu! Dia itu pasti akan memaafkan apa pun sambil tersenyum! Biarkan saja dia menunggu berjam-jam. Sampai kau bisa, akan kusuruh kau melakukan hal yang sama berjam-jam, mengerti!"
Saat Letnan Mospizza berteriak, terdengar suara dari luar pintu.
"Itu akan merepotkan."
"......Heh?"
Yang masuk ke dalam adalah Kapten Lorenzo.
"A-a-aba... Lore... Lore-lore-ro... Re..."
Letnan Mospizza sangat terkejut hingga seolah-olah akan mengeluarkan busa dari mulutnya.
"Telingaku rasanya mau busuk. Menyuruh bawahan memutarbalikkan laporan seenaknya..."
Bahkan Kapten Lorenzo pun tidak berusaha menyembunyikan raut penghinaannya.
"T-t-t-tidak! Saya hanya... khawatir kalau ada yang tidak sopan... jadi..."
"Letnan Mospizza. Aku memang mendengar kekurangajaran dan ketidaksopananmu, tapi tidak ada sedikit pun hal yang tidak sopan dari Letnan Dua Hazen."
"Hik... anu, dari mana..."
"Sejak awal."
"Hah? Awal?"
"Sejak awal percakapanmu dengan Letnan Dua Hazen. Aku berdiri di luar pintu."
"Haguwaaa... k-kenapa bisa?"
Tes, tes tes, air liur menetes dari mulut Letnan Mospizza. Ucapannya pun sudah tidak jelas. Rupanya, dia adalah tipe orang yang tidak bisa mengendalikan mulutnya saat panik.
"Aku menerima laporan bahwa dia sudah kembali ke benteng dan menunggunya. Tentu saja, aku ingin segera mendengar laporannya, tetapi kudengar kau sudah memperingatkannya dengan keras untuk 'melapor kepadaku terlebih dahulu sebelum Kapten Lorenzo', jadi aku mempertimbangkan hubungan kalian dan memutuskan untuk menunggu di luar."
"L-l-Letnan Dua Hazen... kau!"
"......"
Hazen memasang tampang tidak tahu. Padahal ini semua sudah direncanakannya dengan sempurna, tetapi ia memasang ekspresi seolah-olah tidak sengaja. Bagi Hazen, sudah cukup jika atasannya mendengar satu atau dua ucapan Mospizza yang salah agar pesannya tersampaikan dengan benar.
Akan tetapi, hampir semua yang diucapkan pria ini adalah ucapan yang salah, hingga rasanya menyegarkan karena sudah tidak terdengar seperti kesalahan lagi. Di sisi lain, Kapten Lorenzo menatap Letnan Mospizza dengan raut tidak senang.
"Kau menyalahkan orang yang salah, kan? Dengan hinanya, kau mencoba mencuri prestasinya. Terlebih lagi, dengan paksa. Seharusnya kau malu!"
"Hik..."
"......Mungkin pangkat Letnan Satu masih terlalu dini untukmu. Akan kusampaikan kepada atasan mengenai keberhasilan perjanjian gencatan senjata ini dan usulan penurunan pangkatmu menjadi Letnan Dua."
"T-tidak mungkin... lalu, siapa yang akan menjadi Letnan Satu?"
"Yah, mengingat prestasinya kali ini, sudah sepantasnya kita merekomendasikan Letnan Dua Hazen, kan."
!?
"T-t-t-tidak mungkin!?"
"Kapten Lorenzo, apa tidak apa-apa? Saya akan menginjak-injak hama yang menggerogoti Kekaisaran sampai tuntas."
Sambil menatap tajam ke arah Letnan Mospizza, Hazen menjatuhkan serangga yang sudah terbelah dua di telapak tangannya ke lantai, lalu menginjak-injaknya dengan keras.
"Hip..."
Melihat bangkai serangga yang sudah menjadi bubuk di atas karpet merah, Letnan Mospizza, sambil menyemburkan air liur, memeluk celana Kapten Lorenzo.
"Hi-hiiiii... tolong, tolong, tolonglah."
"......Letnan Dua Hazen. Kenaikan pangkat kali ini hanyalah sementara. Butuh waktu sampai pemberitahuan resminya keluar. Pangkatmu memang masih Letnan Dua, tapi anggaplah kau 'memiliki wewenang setingkat Letnan Satu'."
"Begitu. Saya mengerti."
Secara tersirat, mungkin itu adalah perintah untuk 'tidak berlebihan'. Kapten Lorenzo adalah seorang prajurit yang ramah dan fleksibel. Dia mungkin tidak suka melihat orang lemah disiksa seperti ini.
Akan tetapi, Hazen berbeda. Lemah atau kuat tidaklah penting. Musuh adalah musuh, dan akan ia singkirkan dengan tuntas.
"Kapten Lorenzo. Hanya ada satu hal yang ingin saya minta."
"Apa itu?"
"Bisakah Anda menyarankan agar mantan Letnan Satu Mospizza ditugaskan ke Kompi ke-4 saya?"
"Hipe!?"
"Kenapa?"
"Mantan Letnan Satu itu punya kebiasaan buruk bertindak sewenang-wenang pada para bintara di peletonnya. Jika dia ditugaskan ke kompi lain, bawahannya akan kasihan. Dalam hal itu, jika di kompi saya, apabila dia melakukan hal seperti itu, saya bisa langsung menghukumnya."
"......Baiklah. Tapi, jangan melakukan pembalasan."
"Tentu saja tidak. Saya hanya akan menghancurkan sifat busuknya. Sampai tuntas."
"Hik... hik... hip..."
Mantan Letnan Satu Mospizza, sambil mengeluarkan busa dari mulutnya, menelungkupkan kedua tangannya ke lantai dan menangis tersedu-sedu. Sambil memandangi keadaannya, Kapten Lorenzo tersenyum kecut.
"Tapi, hebat sekali, ya. Belum genap sebulan ditugaskan, sudah naik pangkat menjadi Letnan Satu."
"Daripada itu, saya rasa kita harus segera mengambil langkah selanjutnya."
"Langkah selanjutnya?"
"Perang dengan Kadipaten Agung Dioldo. Jika sekarang, pihak sana belum menyadari adanya perjanjian gencatan senjata dengan suku Kumin. Selagi mereka belum tahu, sebaiknya kita menaklukkan benteng mereka."
"Pihak atasan juga sudah membicarakan hal itu. Tapi, sekarang bukan waktu yang tepat. Tidak ada persediaan makanan yang cukup untuk menggerakkan pasukan besar."
Biasanya, penjaga perbatasan tidak akan menyerang lebih dulu. Karena itu, persediaan makanan mereka pun terbatas. Dan untuk mengangkut makanan dari pusat, butuh waktu lama karena salju tebal di wilayah utara.
"Kalau begitu, mari kita lakukan dengan pasukan kita saja."
"......Hanya dengan pasukan kita?"
"Hanya dengan Kompi ke-4, kita akan menaklukkan benteng itu."
"Itu... bahkan untukmu, Letnan Dua Hazen, bukankah itu mustahil?"
Kapten Lorenzo mengungkapkan keterkejutannya. Di benteng musuh, setidaknya ada lima ribu prajurit. Rencana awal mereka adalah mengerahkan setidaknya tiga puluh ribu pasukan. Menyerang hanya dengan kurang dari empat ratus prajurit sama saja dengan cerita dongeng.
"Tentu saja, saya akan meminta pasukan susulan untuk disiapkan. Untuk menguasai benteng. Akan tetapi, sampai gerbangnya terbuka, semua persiapan akan kami tangani."
"......Akan kucoba sampaikan ke militer untuk dipertimbangkan."
"Saya rasa lebih baik kita bergegas. Jika tidak, ada risiko perjanjian gencatan senjata ini justru akan membawa dampak buruk."
"Jangan mengatakannya dengan mudah. Situasi buntu di sini sudah berlangsung selama 10 tahun."
"Tetapi, perjanjian gencatan senjata telah menggerakkan waktu. Ini berbeda dengan saat di mana kedua belah pihak sama-sama kekurangan cara untuk menyerang."
"......Akan kupikirkan baik-baik."
Kapten Lorenzo pun pergi.
Setelah itu, sepuluh hari berlalu. Pada akhirnya, tidak ada yang berubah. Para petinggi militer memutuskan bahwa perang skala penuh dengan Kadipaten Agung Dioldo akan dilaksanakan pada musim semi setelah musim dingin berlalu. Kapten Lorenzo memanggil Hazen ke kamarnya untuk menyampaikan hal itu.
"Maafkan aku, aku sudah mencoba meyakinkan para atasan, tapi di saat yang bersamaan, informasi terbaru masuk. Sepertinya Jenderal Gizal baru saja ditugaskan di sana."
"Jenderal Gizal?"
"Kau tidak tahu? Jenderal Petir, Gizal. Dia adalah orang kuat yang sesungguhnya."
"......Seberapa kuat dia?"
"Dia menggunakan tongkat sihir berelemen petir... apa kau mengerti maksudnya?"
"Begitu."
Tongkat sihir berelemen petir dianggap sebagai yang paling langka dan kuat di antara tongkat sihir berelemen lainnya. Karena penyihir tingkat tinggi dapat mengubah tubuh mereka menjadi petir, memungkinkan mereka untuk bergerak dengan kecepatan tinggi. Salah satu pengguna elemen petir yang paling terkemuka adalah Mi Syl dari 'Shihaku', dan elemen ini telah melahirkan banyak penyihir yang namanya terukir dalam sejarah.
"Jenderal Gizal adalah pria yang kompeten dan suka berperang, yang bahkan disebut-sebut setara dengan seorang Panglima Besar. Melawan orang sekuat itu, pihak kita juga harus menurunkan penyihir yang lebih kuat."
"......Begitu."
Intinya, di benteng Garna Utara ini tidak ada penyihir yang bisa menandinginya. Kadipaten Agung Dioldo adalah negara kelas menengah, tetapi jika lawannya setingkat Panglima Besar, maka dibutuhkan prajurit tangguh dari Kekaisaran setidaknya sekelas Mayor Jenderal.
"Pada musim semi nanti, Countess Mi Syl akan datang membantu kita. Kemampuannya jauh di atas Jenderal Gizal. Kita tidak boleh lengah, tapi kurasa kita tidak akan kalah."
"......Kuharap niat kita tidak sampai bocor ke pihak sana."
Seandainya bocor, ada kemungkinan Kadipaten Agung Dioldo justru akan menyerang balik. Countess Mi Syl adalah orang yang sangat penting. Pergerakannya diawasi oleh seluruh benua.
"Pihak sana juga tahu betul betapa nekatnya berperang di musim dingin. Selain itu, aku juga sudah menyebarkan rumor bahwa 'Countess Mi Syl dikirim kemari untuk menaklukkan suku Kumin'."
"......Saya mengerti."
Hazen menilai bahwa tidak ada gunanya menentang keputusan para petinggi lebih jauh lagi. Akan tetapi, tidak diragukan lagi bahwa situasinya kini telah menjadi di luar dugaan.
Setelah meninggalkan ruang komando, Hazen masuk ke kamarnya. Di sana, Prajurit Dua Edal tampak kurus kering karena menerima didikan sparta dari Jan.
"Aru Manaha Rarapara Dema Riharyo."
"Bukan begitu. Tolong pahami artinya sesuai dengan konteks kalimatnya. Lalu, intonasi Anda masih sedikit terlalu di depan. Apa Anda mendengarkan setiap kata dengan benar? Bahasa ini adalah bahasa khusus di mana artinya bisa berubah tergantung intonasi, jadi tolong kuasai bagian itu dengan sempurna."
"......Ugh, uwaaaaaaaah! Uwaaaaaaaaaah!"
"Iya, iya. Anda kan sudah dewasa, jadi jangan merengek seperti anak kecil begitu. Kita lanjutkan."
"......"
Benar-benar gadis yang mengerikan, pikir Hazen. Dia dengan tenang menanggapi seorang pria dewasa yang panik dan berteriak-teriak. Entah karena bahasanya yang sulit dipelajari, akhir-akhir ini Prajurit Dua Edal selalu dalam kondisi seperti itu. Jadwal belajarnya sendiri tidak terlambat. Tidak, justru jauh lebih cepat dari rencana, tetapi Jan terus-menerus menambahkan tugas baru.
Oleh karena itu, waktu tidur rata-rata Prajurit Dua Edal kurang dari 30 menit.
"Jan. Apa kau sudah menyelesaikan tugasmu?"
"Sudah dong. Padahal saya sibuk mengajari Tuan Edal..."
"B-begitu."
Meskipun menggerutu, gadis monster ini menyerahkan lembar jawaban yang dibuat Hazen dengan nilai sempurna. Dia telah menguasai dasar-dasar ilmu tata bahasa, biologi, ilmu kedokteran, dan ilmu niaga dengan baik. Benar-benar gadis yang mengerikan.
"Apa urusan perdagangan berjalan lancar?"
Hazen bertanya pada Jan dengan suara pelan. Pada dasarnya, Hazen tidak memercayai orang. Karena itu, dia menyembunyikan informasi ini dari Prajurit Dua Edal yang merupakan seorang prajurit. Meskipun dia sudah menyiapkan argumen logis agar tidak bisa dituntut seandainya informasi itu bocor, lebih baik jika risikonya kecil.
"Tentu. Tuan Nandal sudah memasok magatama dalam jumlah besar dan menjualnya di pasar. Katanya lain kali dia akan membawa yang kualitasnya bagus."
"......Begitu. Cerdik juga."
Menyembunyikan pohon di dalam hutan. Dengan menyelipkannya di antara magatama, dia mengurangi risiko keberadaan Permata itu terbongkar.
"Magatama jarang beredar di Kekaisaran, jadi nilai pasarnya tinggi. Tuan Nandal senang sekali karena sekarang bisa berdagang secara terang-terangan."
"Syukurlah kalau begitu."
Hubungan yang saling menguntungkan akan bertahan lama. Saat mereka membuat kontrak sihir untuk menjaga rahasia, Nandal memang terkejut dengan cerita tentang Permata, tetapi dia menerimanya dengan senang hati. Hazen merasa hubungannya dengan Nandal akan berlangsung lama.
"......Hanya saja, nilai pasar itu akan semakin tinggi jika barangnya semakin langka. Berhati-hatilah, karena jika terlalu banyak beredar sekaligus, ada kemungkinan harga magatama itu sendiri akan turun."
"Tidak perlu Anda katakan. Tuan Nandal sangat ahli dalam hal-hal seperti itu, jadi Anda tidak perlu khawatir."
"Begitu."
Hazen mengangguk dan tidak bertanya lebih jauh. Karena sudah mendapat persetujuan Jan, sepertinya dia bisa dipercaya. Gadis ini berada di level yang berbeda dari yang lain. Dari segi kemampuan, tidak ada yang perlu diragukan.
Ini hanyalah bentuk fasilitasi kegiatan ekonomi pribadi Jan, dan Hazen hanya membantunya dalam posisi sebagai seorang kenalan. Bahkan hukum pun memiliki celah.
Hazen menganggap hukum sebagai sesuatu yang cair. Bergantung pada kekuasaan sang penegak, kondisi negara, situasi penerapan, target, dan peristiwanya, berbagai macam kasus bisa saja terjadi.
Yang terpenting, selama tidak ketahuan, kau tidak akan tertangkap, dan seandainya pun ketahuan, tinggal hancurkan saja masalahnya. Jika itu tidak berhasil, singkirkan saja semua penegaknya. Bagi Hazen, hukum hanyalah sebatas itu.
"Lalu, tolong sampaikan surat ini pada Kepala Suku Basia."
"......Saya punya firasat buruk, jadi sebenarnya saya tidak mau, tapi, yah, baiklah."
Jan menerima surat itu sambil menghela napas panjang.
Hazen keluar dari kamarnya dan menuju ke tempat latihan. Saat ini, karena ia dipercaya untuk mengelola kompi dengan wewenang setingkat Letnan Satu, ia berkeliling menunggang kuda untuk memeriksa setiap peleton. Kompi ke-4 terdiri dari 10 peleton yang masing-masing beranggotakan sekitar 40 prajurit. Letnan Dua Mospizza ditugaskan untuk memimpin Peleton ke-8 setelah Hazen pergi, tetapi pengelolaan praktisnya diserahkan sepenuhnya kepada Pembantu Letnan Baz (yang telah dinaikkan pangkatnya).
Di tengah-tengah itu, Hazen tercengang dengan kemampuan tempur Letnan Dua Mospizza. Pertama, kemampuan menunggang kuda yang merupakan keahlian wajib bagi seorang perwira tinggi, sangatlah buruk. Tindakan sederhana seperti 'berlari dengan kuda' saja terlihat sangat kikuk.
Keahliannya sebagai penyihir juga parah. Kemampuannya mungkin termasuk yang paling rendah bahkan untuk level Letnan Dua.
Tanpa sadar, Hazen bertanya kepada Kapten Lorenzo, 'kenapa orang tidak kompeten seperti ini bisa menjadi Letnan Satu?', dan jawabannya adalah karena ayah Letnan Dua Mospizza adalah bangsawan tinggi peringkat ke-9.
Intinya, dia adalah anak manja tidak kompeten dari keluarga terpandang.
Kecerdasan Letnan Dua Mospizza sangat rendah, sifatnya licik, kurang beretika, dan sama sekali tidak punya kelapangan dada. Karena itu, Hazen sempat berharap setidaknya kemampuannya sebagai penyihir setara dengan Kapten ke atas, tetapi dugaannya meleset.
Setelah selesai berkeliling memeriksa setiap peleton, ia akhirnya tiba di Peleton ke-8. Pembantu Letnan Baz, sesuai dengan harapan Hazen, memimpin peleton tanpa masalah. Gerakan para prajuritnya pun lebih rapi dibandingkan peleton lain.
Di sisi lain, saat matanya beralih ke si biang masalah, Letnan Dua Mospizza, yang keluar hanyalah helaan napas.
"Kenapa kemampuan menunggang kudamu tidak meningkat? Sudah 10 hari, lho?"
"......Aku juga sudah berusaha."
"Hei, gunakan bahasa hormat."
"......!"
Letnan Dua Mospizza menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Sebenarnya ada apa dengan orang ini.
"Kau ini seorang perwira tinggi, kan? Berusaha itu sudah sewajarnya, dan kau punya kewajiban untuk menunjukkan hasil. Itulah artinya memimpin orang. Bukankah itu juga tertulis dalam buku pedoman perwira tinggi?"
"......Mengatakannya memang mudah, tapi pada praktiknya..."
"Lain kali kau tidak menggunakan bahasa hormat, akan kujatuhi hukuman cambuk."
"......!"
Letnan Dua Mospizza kembali memasang ekspresi tak percaya dan mulutnya terbuka-tutup. Rupanya, kebaikan dan pertimbangan Hazen telah tersampaikan, dan Hazen pun merasa lega.
Harus kuakui, perlakuan istimewa dengan memaafkan sampai dua kali kesalahan ini terlalu lunak untuk standarku.
Yah, mau bagaimana lagi, karena Kapten Lorenzo sudah berpesan untuk 'tidak terlalu keras padanya'. Ia hanya bisa pasrah dan menganggap ini sebagai takdir seorang prajurit.
"Apa kau mengerti esensi dari kenapa aku menyuruhmu menggunakan bahasa hormat?"
"......Tidak."
"Seorang perwira tinggi harus selalu menunjukkan perilaku yang bisa menjadi panutan bagi para bintara. Jika tidak, akan berpengaruh pada moral pasukan. Hal ini tidak akan terwujud jika budaya sistem komando dari atas ke bawah tidak tertanam dengan baik. Oleh karena itu, kau harus selalu menggunakan bahasa hormat kepada atasan dan berusaha untuk tidak mengacaukan hierarki."
"Tetapi, ada juga sistem senioritas berdasarkan usia. Bukankah Letnan Satu Hazen 20 tahun lebih muda dari saya?"
"......Telah hidup selama itu dan kemampuanmu hanya segitu. Pasti kehidupan militer yang kau jalani benar-benar sia-sia."
"Kkh."
"Ups. Pembicaraannya jadi melenceng. Karena kau adalah tipe orang yang tidak akan mengerti jika tidak diberitahu, maka akan kukatakan. Bagi seorang prajurit, pangkat adalah segalanya. Senioritas, jenis kelamin, status, semua perbedaan itu harus dikesampingkan. Ini sama sekali bukan karena alasan pribadi."
"......"
Letnan Dua Mospizza menunduk dengan cemberut. Hazen khawatir apakah dia benar-benar sudah mengerti.
"Karena itu, usiaku sama sekali tidak ada hubungannya. Justru, karena kau tidak mengerti hal seperti itu, makanya di usiamu yang sekarang kau diturunkan pangkatnya menjadi Letnan Dua, kan."
"Gggh... Tapi, saya rasa Letnan Satu Hazen juga tidak menunjukkan kesetiaan pada saya yang merupakan mantan atasan Anda!"
"Itu karena Anda tidak kompeten, kan?"
"......"
Letnan Dua Mospizza menatap tajam ke arahnya. Kenapa, ya? Padahal aku hanya menyampaikan fakta dengan tenang.
"Dasar dari sistem komando dari atas ke bawah adalah bahwa atasan memiliki wawasan yang lebih unggul daripada bintara. Orang rendahan dan tidak kompeten sepertimu, yang hanya mencari-cari kesalahan dalam ucapan orang lain demi keuntungan pribadi, sudah sepantasnya disingkirkan."
"......"
Rasanya frustrasi karena dia tidak kunjung mengerti meskipun sudah diberitahu berkali-kali. Sejujurnya, mereformasi pria ini adalah misi yang sulit. Akan tetapi, Hazen adalah seorang prajurit. Tentu saja, membina bawahan juga termasuk dalam tugasnya, jadi dia harus berusaha sekuat tenaga.
"Mungkin kau berpikir ini kontradiktif, tapi aku justru sangat menyambut perbedaan pendapat dan sanggahan. Diskusi yang bebas akan membuat pengambilan keputusan menjadi lebih fleksibel. Hanya saja, disiplin sebagai seorang prajurit harus tetap dijaga. Kalau pakai istilah awam, namanya 'tegas'. Mengerti?"
"......"
"Lain kali kau tidak menjawab, akan kujatuhi hukuman cambuk. Mengerti?"
"......I-iya."
"Hei, Ray Fa. Tahan Letnan Dua Mospizza."
!?
"S-saya kan sudah menjawab!"
"Aku tidak dengar."
"T-tidak mungkin... higii!"
Saat Hazen memukul bokongnya dengan tongkat sihir, noda merah perlahan muncul di celana Letnan Dua Mospizza. Bahkan Kagekiba pun pasti enggan digunakan untuk memukul pantat kotor seperti ini, pikir Hazen sambil menghela napas.
"Dengar baik-baik. Jawaban itu tidak ada artinya jika tidak terdengar oleh orang yang kau ajak bicara. Karena jawaban adalah untuk menyampaikan niat. Aku tidak menyangka harus menjelaskan hal yang seharusnya dijelaskan pada balita seperti ini kepada seorang perwira tinggi, tapi, yah, mungkin inilah tanggung jawab sebagai seorang prajurit."
Hazen menghela napas panjang.
"......Hik, hik, hik."
"Nah, jangan menangis terus, cepat naik ke kuda."
"T-tapi pantat saya berdarah..."
"Itu akibat perbuatanmu sendiri, kan? Tahan saja rasa sakitnya."
"Kkh... higiiiiiii!"
Letnan Dua Mospizza, sambil menggertakkan giginya, menaiki kuda.
"Menunggang kuda adalah kemampuan wajib bagi seorang perwira tinggi. Karena itulah kau diremehkan oleh para bintara. Sepertinya kau selama ini menekan mereka dengan wewenangmu, tapi jangan lakukan cara seperti itu lagi. Mengerti?"
"......"
"Hei, Ray Fa. Tahan Letnan Dua Mospizza."
"Siap! Siap, siap! Saya sudah menjawab! Barusan, saya sudah menjawab!"
"Terlambat."
"T-tidak mungkin... hagiiiiii!?"
Hazen memukul pantat Letnan Dua Mospizza dengan Kagekiba, dan darah pun menyembur keluar. Seketika, pelana kuda menjadi bernoda merah kehitaman.
"Ah. Kudanya jadi kotor, kan. Nanti, pastikan kau mencucinya dengan bersih."
"Hik... hik... hik..."
"Hei, Ray Fa. Tahan Letnan Dua Mospizza."
"Hiii! Ampuni saya!?"
"Aku tidak akan mengampunimu selamanya jika kau tidak menjawab."
"Hik... giiiiiiiiiiiinnn."
Sekali lagi, darah menyembur keluar. Wajahnya sudah pucat pasi, dan sedikit busa keluar dari mulutnya.
"Menyedihkan sekali. Bahkan menjawab pun tidak bisa dengan benar. Kau ini seorang perwira tinggi, jadi kau harus menunjukkan teladan sebagai seorang prajurit Kekaisaran."
"Anu... Hazen."
Ray Fa berkata dengan ragu-ragu.
"Ada apa?"
"Kalau dilanjutkan lagi, Letnan Dua Mospizza, ada kemungkinan dia akan mati..."
"Aku tidak peduli."
!?
"Hik... tidak mungkin."
Letnan Dua Mospizza menatapnya dengan wajah berlinang air mata.
"Perwira tinggi yang bahkan tidak bisa menjawab, lebih baik tidak ada. Begitu pula prajurit lemah yang langsung menyerah hanya karena siksaan seperti ini. Dengar baik-baik, Letnan Dua Mospizza. Aku tidak mengatakan hal yang sulit. Aku hanya bilang, jawablah dengan benar."
"B-baiiiiiik!"
"Kalau begitu, naik ke kuda."
"B-baiiiiiikigiiiiiiiiii!?"
Sambil menangis, Letnan Dua Mospizza menaiki pelana yang sudah basah oleh darah.
"Agh... aghuuuuu."
Melihat Letnan Dua Mospizza yang menangis tersedu-sedu, Hazen menghela napas panjang.
"Jangan menangis seperti itu. Kalau begitu saja kau sudah menangis, kau tidak akan bisa bertahan dalam latihan selanjutnya, tahu?"
"H-hahiiiiii!"
"......Hhh."
Benar-benar tidak bisa diandalkan. Pikir Hazen. Padahal jika dia adalah seorang prajurit dengan kemampuan tempur yang mumpuni, aku berniat untuk memanfaatkannya dengan baik, tapi kalau begini dia tidak ada gunanya.
"Atau sekalian saja kubunuh, ya."
"Eh!?"
"Ah, ah. Aku hanya bicara sendiri, jangan dipikirkan."
"......S-saya jelas akan memikirkannya! Anda bohong, kan? Bercanda, kan?"
Wajah Letnan Dua Mospizza tampak jelas menegang.
"Apa kau tidak dengar? Aku hanya bicara sendiri. Tidak lebih, tidak kurang."
"J-jangan pernah lakukan itu! Lagipula, saya ini kan bangsawan tinggi... bangsawan tinggi?"
Saat itu, ekspresi Letnan Dua Mospizza berubah total.
"Benar juga. Kalau tidak salah kau memang bangsawan tinggi."
"......Benar. Benar sekali. Letnan Satu Hazen, kau itu kalau tidak salah berasal dari kalangan rakyat biasa, kan!?"
"Hei, Ray Fa. Tahan dia."
!?
"Ghk... lepaskan... haghuuuuuuu, haugaaaaaai!"
Sebuah gumpalan kecil daging dan darah jatuh dari tubuh Letnan Dua Mospizza.
"Kau ini benar-benar orang yang tidak bisa mengerti, ya. Padahal aku sudah bilang 'gunakan bahasa hormat'. Yah, akan kujawab pertanyaanmu. Memang benar aku berasal dari kalangan rakyat biasa."
"Hik... hikh... a-Anda... berani... melakukan... hal seperti ini... pada saya... yang seorang... bangsawan tinggi?"
"Iya."
"......!, Apa Anda tidak mengerti perbedaan posisi antara rakyat biasa dan bangsawan tinggi?"
"Tentu saja aku mengerti. Sebenarnya, apa yang ingin kau katakan?"
Dasar pria yang benar-benar tidak bisa dimengerti, pikir Hazen sambil menghela napas. Akan tetapi, di mata Letnan Dua Mospizza, kekuatan kembali menyala.
"Anda! AN-DA! Dengan status sebagai rakyat biasa, berani-beraninya melukai saya yang seorang bangsawan tinggi? Menurut hukum Kekaisaran, itu adalah tindakan yang sudah sepantasnya diganjar hukuman mati."
"......!"
Begitu Mospizza mengatakan hal itu, kata-kata Hazen terhenti. Lalu, setetes keringat mengalir dari dahinya. Ekspresinya juga tampak sangat muram.
"Uwahahaha, uwahahahaha, uwahahahahahaha, akhirnya kau mengerti juga!? Sadar juga, hah!?"
Letnan Dua Mospizza tersenyum seolah-olah telah menang.
"......Mengerikan."
"Benar, kan? Ini hukuman mati, tahu? Tapi, semuanya sudah terlambat. Hazen Heim. Karena kau sudah melukai aku, seorang bangsawan tinggi! Sekarang menyesal pun sudah terlambat!"
"Sungguh... benar-benar mengerikan... betapa buruknya kemampuan belajarmu."
!?
"A-apa katamu!"
"Kalau kau bukan anggota militer, ucapanmu itu benar. Tapi bagi seorang prajurit, pangkat adalah segalanya. Senioritas, jenis kelamin, status, semua perbedaan itu harus dikesampingkan. Di dalam hukum pun tertulis begitu."
"......!"
"Baru saja 5 menit yang lalu kupikir sudah kutanamkan hal itu di kepalamu, dan sekarang malah begini. Ketidakbecusanmu yang parah ini membuatku merinding ngeri."
Hal itu berarti semua didikan yang telah diberikannya sampai sekarang, semuanya sia-sia. Bagi Hazen, seorang efisiensi yang membenci kesia-siaan di atas segalanya, hal ini cukup memukul telak. Dia telah memutuskan untuk menghabiskan waktu tidak lebih dari 30 menit seumur hidupnya untuk Letnan Dua Mospizza, tetapi sepertinya ini mungkin akan memakan waktu sampai satu jam.
"K-kau... b-bahkan jika di dalam militer aturannya seperti itu, keluargaku tidak akan tinggal diam. Jika hal seperti ini terungkap, mereka pasti akan menjatuhkan hukuman mati padamu!"
"......Begitukah?"
Dengan mata tajam, Hazen menatap lekat ke dalam mata mantan atasannya yang sedang menyombong itu. Seolah-olah, ia bisa melihat menembus semua kelemahan yang ada di dalam hatinya.
"A-a-apa?"
"Letnan Dua Mospizza. Kau adalah putra kelima. Tentu saja, kau tidak punya hak waris. Terlebih lagi, meskipun seorang bangsawan tinggi, di usiamu yang sudah lebih dari 40 tahun kau masih berpangkat Letnan Satu. Secara sosial, kau dianggap sebagai produk gagal yang parah."
"......!"
"Mungkin kau sudah dicampakkan oleh keluargamu, kan? Karena itulah, identitasmu lebih berpusat pada pangkat 'Letnan Satu' sebagai seorang prajurit."
Kenyataannya, Letnan Dua Mospizza baru menyebutkan status bangsawan tingginya seolah-olah baru teringat. Itu bukan hanya karena kemampuan memorinya yang sangat rendah. Melainkan karena hal itu tidaklah penting bagi dirinya sendiri, makanya ia melupakannya.
"Kemungkinan besar, kau berhasil lulus ujian perwira tinggi dengan koneksi yang sangat kuat. Akan tetapi, karena kemampuanmu yang sesungguhnya tidak ada, kau pun menjalani kehidupan militer dengan menyombongkan diri pada orang lain dan menjilat atasan... Begitu, ya, kalau dipikirkan seperti itu, aku jadi bisa langsung memahami ketidakbecusanmu."
"......!"
"Bagi keluargamu yang menganggapmu sebagai beban, sekalipun kau mengeluh dan tidak puas, kurasa mereka tidak akan mendengarkanmu, kan?"
"T-tidak mungkin."
"Tidak, justru sepertinya kalian sudah hampir di ambang putus hubungan, kan?"
"Sudah kubilang tidak mungkin! Atas dasar apa kau mengatakan hal seperti itu!?"
"Soalnya, memalukan, kan? Punya keluarga sepertimu."
"......!"
" " " "......!" " " " "
Bukan hanya Letnan Dua Mospizza, tetapi juga para anggota Peleton ke-8 yang menguping, dan juga Ray Fa, semuanya menelan ludah. Padahal Hazen hanya mengatakan apa yang dipikirkan semua orang, tapi entah kenapa rasanya ada yang salah.
"Kalau mau bukti objektif, kalau tidak salah sejak kau ditugaskan di sini, kau belum pernah pulang ke rumahmu sekalipun."
"B-b-bagaimana kau bisa tahu itu."
Keringat mengalir deras dari tubuh Letnan Dua Mospizza.
"Kau mungkin tidak tahu, tapi merencanakan cuti bawahan juga merupakan tugas seorang atasan. Aku tadinya berencana untuk membuat jadwal cuti berbayar dengan memprioritaskan mereka yang sudah lama tidak bisa mengambil cuti panjang dan pulang ke kampung halaman, tapi ternyata orang itu adalah dirimu sendiri... sungguh ironis."
"......!"
"Pokoknya, kau boleh melakukan manuver apa pun, tapi kau tetap akan menerima hukuman."
"Hah!?"
"Pertama, melawan atasan dengan berlindung di balik status, dan mencoba mengacaukan disiplin militer. Hukuman cambuk sebanyak 10 kali."
"Ghk... g-g-g-g-g-g-g-g-gkh..."
"Dan, meskipun sudah diperingatkan berkali-kali, kau tidak menggunakan bahasa hormat. Akan kujatuhkan hukuman cambuk sebanyak berapa kali kau bicara tidak sopan. Totalnya, 21 kali."
"H-Hazen. Kalau begitu, dia pasti akan mati."
Ray Fa yang baik hati menyela.
"Tidak apa-apa. Setiap tiga pukulan, aku akan menyembuhkannya dengan sihir. Setelah sembuh, kupukul lagi. Dengan begitu dia tidak akan mati."
"Hik... maafkan saya, maafkan saya, maafkan saya, maafkan saya, maafkan saya..."
Letnan Dua Mospizza bersujud sambil meminta maaf, tetapi Hazen mengabaikannya.
"Tapi... waktuku juga berharga, jadi bagaimana kalau kuserahkan pada anggota Peleton ke-8 yang lain?"
"Siap!"
Suara mereka semua serempak dengan sempurna.
"Letnan Dua Mospizza. Ini dia, ini. Sungguh menyedihkan kau yang seorang atasan tidak mengerti. Oh ya, semuanya. Jika ada yang sengaja memukul dengan pelan, tentu saja orang itu juga akan dihukum cambuk."
"Siap!"
Suara Peleton ke-8 sudah bulat dan mantap.
"Setiap tiga pukulan, bawa dia ke kamarku. Ikat saja lehernya dengan tali dan seret kemari. Oh, jangan kotori karpetnya dengan darah kotor itu."
"Siap!"
Peleton ke-8 kini sudah berada dalam kondisi patuh mutlak.
"T-tapi Hazen. Meskipun tubuhnya tidak apa-apa, bagaimana kalau mentalnya tidak kuat..."
"Oh, tidak apa-apa. Aku punya obat yang bagus. Kalau begitu, mulailah."
"......!"
Dan begitulah, jeritan sekarat Letnan Dua Mospizza konon terus menggema hingga larut malam.
Malam itu, tumben sekali Hazen merasa bimbang. Di kamarnya, ia mengerang sambil membolak-balik dokumen yang ia pesan.
"Mmm... ternyata tidak berjalan sesuai rencana."
"A-ada apa?"
Ray Fa menatapnya dengan pandangan tak percaya. Kenapa hanya karena aku sedang bimbang saja dia begitu terkejut?
"Aku pun bisa bimbang seperti orang biasa."
"......Kupikir kau hanya akan bimbang saat perang besar antar benua akan terjadi."
"Tidak juga. Aku sedang bimbang karena Letnan Dua Mospizza."
"Orang yang memusuhimu itu, ya."
"Eh, benarkah?"
"......Fakta bahwa kau tidak sadar itulah yang gawat."
Meskipun dikatakan begitu. Dari sudut pandang Hazen, ia merasa telah membantu meningkatkan kemampuan Letnan Dua Mospizza. Ia justru mengira Mospizza berterima kasih padanya.
"Yah, sudahlah. Aku sedang mencarikan tempat kerja baru untuknya."
"......"
"......"
"Eh! Orang itu mau berhenti!?"
"Yah, bukan berhenti, tapi aku ingin dia berhenti."
"Kau 'ingin'... tapi dia kan seorang prajurit Kekaisaran, pangkat setingkat Letnan Satu sepertimu tidak punya wewenang seperti itu, kan."
"Soal itu tidak masalah."
"Bukankah itu yang paling penting!?"
"Aku juga bukan iblis. Aku hanya menyadari bahwa dia tidak punya bakat sebagai seorang prajurit."
Selama 10 hari ini, seorang prajurit yang bahkan tidak bisa menunggang kuda dengan benar pastilah kekurangan bakat atau usaha. Situasinya tidak baik. Berapa kali pun diberitahu, dia tidak kunjung membaik, dan Kagekiba pun kasihan karena setiap kali harus dipukulkan ke pantat kotor itu.
"Menurutku tidak baik jika hanya menyalahkan dan memojokkan orang yang tidak punya kemampuan di bidang tertentu. Tapi, di sisi lain, aku juga tidak berniat membiarkan pencuri uang pajak sepertinya terus merajalela."
"......"
"Dia juga pasti tidak suka disebut 'hama Kekaisaran'."
"Yang memanggilnya begitu kan, hanya Hazen saja."
"Haha."
"......Aku tidak sedang bercanda, lho."
"Ups. Pembicaraannya jadi melenceng. Nah, soal tempat kerja barunya, menurutmu jenis budak mana yang paling cocok?"
!?
"Jangan! Sama sekali tidak boleh! M-mana boleh menyarankan jadi budak."
"Tidak, tapi. Kalau dihitung potensi masa depannya dari kemampuan, kepribadian, dan usianya, itu adalah solusi yang paling optimal."
Ada berbagai macam jenis budak. Selain budak biasa, ada budak profesi, dan budak kelas atas. Letnan Dua Mospizza, menurutnya, berada di level 'mungkin masih bisa masuk jadi budak kelas atas, tapi tipis sekali'.
"Dia pasti akan menolaknya mentah-mentah! Tidak mungkin dia mau menerima hal seperti itu!"
"Aku paham betul soal budak, jadi tidak apa-apa. Kau ingat, kan, ibu angkatku dulu pernah menjadi perantara budak ilegal?"
"......Jangan mengatakannya seolah-olah itu hanya sebuah cerita ringan dari masa lalu."
Saat masih di akademi, Hazen mengatakannya dengan santai seperti sekarang, dan saat itu, keterkejutan Ray Fa tidak terkira.
"Yang disebut budak kelas atas, biasanya adalah mereka yang punya kekuatan sihir, tetapi kemampuannya rendah. Itu adalah pekerjaan yang ditujukan bagi para kriminal yang bisa menggunakan sihir, seperti menjadi dokter sihir untuk rakyat biasa atau menjadi pekerja rendahan dan melakukan pekerjaan kasar di berbagai kementerian."
"K-kriminal?"
"Karena mereka diikat dengan sihir kontrak agar tidak bisa bersikap sewenang-wenang, mereka tidak akan bisa berbuat macam-macam. Dengan begini, dia pun bisa berguna bagi masyarakat."
Hazen melihat kelemahan terbesar Letnan Dua Mospizza terletak pada sifatnya yang sombong dan korup.
Intinya, karena gengsinya terlalu tinggi, dia adalah tipe orang yang tidak bisa mendengarkan perintah orang lain dengan benar.
Kejayaan masa lalunya karena berhasil lulus ujian perwira tinggi (kemungkinan besar karena koneksi) juga semakin memperparah sifat sombongnya. Akan tetapi, sepertinya setelah itu dia tidak pernah berusaha, dan kemampuannya bahkan di bawah bintara.
"Meskipun dia adalah orang yang seharusnya menerima perintah, dia selalu berusaha untuk berada di posisi yang memberi perintah. Dengan begini, dia tidak akan memberikan dampak positif bagi masyarakat, dan juga tidak baik untuk dirinya sendiri. Kalau begitu, lebih baik diikat dengan sihir kontrak, dan secara semi-paksa, dijadikan pihak yang menerima perintah selamanya sampai dia mati."
Hazen mengatakannya dengan sangat serius.
"......Tapi, seperti yang sudah kukatakan dari tadi, bagaimana dengan keinginan orangnya sendiri?"
"Soal itu tidak penting."
"K-kenapa kau mengabaikannya begitu saja!? Bukankah keinginan orangnya sendiri adalah poin terpenting dalam pindah kerja!?"
"Hh... Ray Fa. Kau ini kan baru satu tahun bekerja dan belum tahu apa-apa soal dunia luar. Tentu saja berbeda."
"Kita kan angkatan yang sama, jadi Hazen juga sama saja, kan."
"......Benar juga."
Terkadang tanpa sadar menyertakan usianya sebelum bereinkarnasi adalah kebiasaan buruknya.
"Tetapi, antara kau dan aku ada perbedaan kemampuan, jadi kurasa secara praktis ada selisih lebih dari 180 tahun. Artinya, aku sudah bekerja selama 180 tahun."
"......Mungkin bukan itu, ya. Alasan kenapa Letnan Dua Mospizza membencimu."
"Pembicaraannya melenceng lagi. Yang penting dalam pindah kerja bukanlah 'keinginan orangnya', melainkan 'apakah ada bakat yang sesuai'."
Ini bukan hanya berlaku untuk pindah kerja. Memiliki pekerjaan berarti berkontribusi pada masyarakat. Entah orangnya sendiri mau atau tidak, dia akan dinilai berdasarkan seberapa besar prestasi yang telah ia capai.
Jika demikian, sudah jelas bahwa memiliki bakat yang lebih sesuai menjadi hal yang paling penting.
"Letnan Dua Mospizza punya pandangan yang sangat sempit. Dia juga tidak punya kapasitas untuk merefleksikan diri, jadi dia tidak bisa melakukan analisis diri. Karena itu, orang lain harus menganalisis kemampuannya dan mengevaluasi bakatnya untuknya."
"......Dan evaluasi itu adalah 'budak'?"
"Budak kelas atas, lho?"
"Y-yey... tidak akan begitu juga, kan. Kalau tidak salah, jalur karierku juga ditentukan seperti itu, ya."
"Sebagai seorang teman, aku hanya melakukan hal yang wajar."
"......Tolong jangan mengatakannya dengan nada seolah-olah 'tidak apa-apa, tidak perlu berterima kasih'."
Meskipun Ray Fa berkata begitu, Hazen tidak mengerti. Prajurit wanita ini pun, tergantung cara pemanfaatannya. Di luar sana ada juga atasan yang tidak masuk akal. Dia tidak percaya Ray Fa yang baik hati dan hanya ahli dalam bela diri ini bisa mencapai posisi tinggi di Kekaisaran. Dia butuh seseorang yang benar-benar memahaminya.
Tentu saja, Hazen yakin orang itu adalah dirinya sendiri.
"Setelah dia berhenti dari militer Kekaisaran, menjadi budak kelas atas dan dinafkahi adalah yang terbaik baginya. Tentu saja, aku akan melakukan apa yang kubisa. Menggunakan koneksi ibu angkatku untuk mencarikan majikan yang baik."
"......"
Kalau menjadi dokter sihir kontrak, perlakuan yang didapat akan relatif baik.
"Hhh... menjadi seorang prajurit bayaran memang sulit. Harus repot-repot mencarikan tempat kerja baru untuk bawahan yang tidak kompeten. Tapi, yah, mau bagaimana lagi, ini harus kuanggap sebagai pekerjaan."
"T-tapi, orang itu kan bangsawan tinggi, kan? Apa bisa orang seperti itu dijadikan budak?"
"Dia akan melakukannya secara sukarela, jadi tidak ada masalah sama sekali. Rencananya, aku akan menyuruhnya menulis surat ke keluarganya yang menyatakan 'aku ingin menjadi budak karena punya fetish khusus'."
Justru, bisa dibilang di saat itulah hubungannya dengan mereka akan terputus.
"......Aku yakin dia pasti akan menolaknya mentah-mentah."
"Haha."
"Kenapa dari tadi kau mengabaikannya begitu saja!?"
Entah kenapa, Ray Fa mengeluh seperti itu.
Keesokan harinya, pertemuan dilaksanakan di kamar mantan Letnan Satu Mospizza (yang kini menjadi kamar Hazen). Hazen dengan sopan menjelaskan betapa tidak kompetennya Mospizza sebagai seorang prajurit.
"Karena itulah, Letnan Dua Mospizza. Aku ingin kau berhenti dari militer Kekaisaran."
"G-gila... apa hal seperti itu diperbolehkan?"
"Kali ini kumaafkan karena kau pasti sedang panik, tapi lain kali kau tidak menggunakan bahasa hormat, akan kujatuhi hukuman cambuk."
"......!"
"Sifatmu yang seperti itulah masalahnya. Berapa kali pun diberitahu, kau tidak pernah berubah. Mungkin gengsi dan penampilan yang membuatmu begitu, tapi keduanya tidak diperlukan."
"S-saya bangga dengan pekerjaan saya sebagai seorang prajurit Kekaisaran."
"Justru karena dirimulah, kebanggaan itu dinodai. Keberadaanmu membuat nama baik prajurit Kekaisaran jadi tercoreng."
"......!"
Entah kenapa, Letnan Dua Mospizza menatapnya dengan tajam. Dasar orang yang tidak sopan, pikir Hazen. Akan tetapi, Kapten Lorenzo sudah berpesan untuk 'tidak terlalu keras padanya'.
Sistem komando dari atas ke bawah. Mau bagaimana lagi, ini harus kuterima sebagai takdir seorang prajurit bayaran, dan aku harus menahannya.
"Nah. Dengan segenap kemampuanku, aku sudah mencarikan tempat kerja baru untukmu."
"......Hah?"
Letnan Dua Mospizza mengerjap-ngerjapkan matanya sambil melihat kertas perkamen yang disodorkan kepadanya. Harus kuakui, aku berhasil mencarikan pekerjaan yang cukup bagus untuknya, puji Hazen dalam hati.
"Menurutku, menjadi budak kelas atas sebagai dokter sihir adalah pilihan terbaik. Kalau menjadi budak biasa, satu-satunya kelebihanmu, yaitu 'memiliki kekuatan sihir', tidak akan bisa dimanfaatkan. Nah. Sebenarnya ada majikan yang baik..."
"Ini keterlaluan!"
"Keterlaluan?"
Saat sedang menjelaskan, Letnan Dua Mospizza memukul meja dan membentaknya. Reaksi yang tidak terduga. Dan Hazen sama sekali tidak mengerti kenapa ia dimarahi seperti itu.
"Pekerjaan seperti budak kelas atas itu untuk orang rendahan paling rendah! Dan Anda sengaja memilihkan itu untuk saya... ini pelecehan macam apa?"
"Karena kau memang orang rendahan paling rendah, jadi mau bagaimana lagi, kan?"
"......!"
Letnan Dua Mospizza menatapnya dengan ekspresi tak percaya. Padahal sudah kujelaskan sejak tadi... tidak, bahkan sejak berhari-hari yang lalu, apa masih kurang juga? Hazen menghela napas.
Padahal, Hazen merasa sudah sedikit melebih-lebihkan (menaikkan) standarnya.
"Kau tidak bisa menganalisis dirimu sendiri. Usia 40-an awal. Tidak bisa menunggang kuda. Lemah dalam berpedang. Bodoh. Lulus ujian perwira tinggi dengan cara curang, tapi menyebut diri sendiri elit. Sombong dengan gengsi yang kaku, dan kepribadiannya pun bengkok. Paling parah. Dunia ini tidak sebaik itu sampai mau menerima orang sepertimu bekerja lagi."
"Kkh... ini namanya perundungan, kan!"
"Perundungan?"
Hazen bertanya balik.
"Benar. Saya akui kemampuan Anda, Letnan Satu, memang tinggi. Tapi, memandang rendah dan memperlakukan orang yang kemampuannya lebih rendah seperti itu, menurut saya itu benar-benar perundungan."
"......Begitu, ya. Jadi begitu berada di pihak yang dirugikan, kau langsung bertingkah seperti korban, ya."
"Eh?"
"Kau bilang 'keterlaluan', tapi bukankah kau sendiri yang sejak awal telah melakukan hal yang 'keterlaluan' pada para letnan dua dan pembantu letnan yang telah meninggal itu?"
Mendengar jawaban itu, Letnan Dua Mospizza memasang ekspresi terkejut. Hazen mengambil jurnal milik Sersan Mayor Chomo yang pernah ia eksekusi dari rak di dalam ruangan.
"Kau tahu ini apa?"
"I-itu..."
"Benar. Ini adalah bukti 'perundungan' yang coba kau tutupi. Delapan orang letnan dua dan pembantu letnan, ya. Berani-beraninya kau melanjutkan hal ini sampai sejauh ini."
"Hik..."
Saat Hazen mengatakan hal itu, wajah Letnan Dua Mospizza menjadi pucat pasi. Sejak awal, dari sepuluh kematian misterius itu, lebih dari separuhnya adalah hasil dari penindasan yang terus-menerus dilakukan pria ini terhadap para letnan dua dan pembantu letnan yang baru diangkat.
Dan Sersan Mayor Chomo hanyalah orang yang ia perintahkan untuk membereskan akibatnya.
"Yah, aku tidak mau menjadi makhluk hina sepertimu, jadi aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti perundungan. Kenyataannya, setelah mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan prestasimu, hasil penilaianku adalah budak kelas atas. Itu pun sudah kucari dengan susah payah, tahu?"
"......Tidak mungkin."
"Oh, mungkin sekali, tahu?"
"Hik."
Hazen menjambak rambut Letnan Dua Mospizza dengan keras dan menatapnya tajam.
"Sebaiknya kau sadar. Sampah sepertimu yang menindas dan menyebabkan kematian bawahan secara tidak masuk akal tidak pantas menjadi perwira tinggi Kekaisaran. Ini soal menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. Bahkan status budak kelas atas pun terlalu bagus untukmu. Seharusnya kau malah berterima kasih."
"......S-saya tidak mau jadi budak."
"Kalau begitu, mau mati?"
"Hik, hik, hik."
Letnan Dua Mospizza mulai menangis sambil menjambak rambutnya yang sudah menipis.
"Demi menghormati Kapten Lorenzo, aku masih membiarkanmu hidup, tapi sebenarnya rencanaku adalah menyerahkan bukti ini dan mengeksekusimu begitu aku mendapatkan wewenang setingkat Letnan Satu. Sampah yang menindas bawahan dengan cara kotor seperti ini tidak dibutuhkan."
Letnan Dua Mospizza telah memaksa para letnan dua dan pembantu letnan yang ia anggap berbakat untuk melakukan 'latihan' yang tidak wajar. Puncaknya, ia memerintahkan para sersan mayor untuk melakukan kekerasan seperti memukul dan menendang. Hal itu begitu parah hingga membuat mental mereka terganggu, dan para letnan dua serta pembantu letnan yang sudah rusak itu ia buang seperti mainan rusak.
Letnan Dua Mospizza menangis tersedu-sedu, dan berkali-kali membenturkan kepalanya ke lantai.
"Saya menyesal! Tolong, tolong ampuni saya!"
"......Kau, apa yang kau lakukan pada para letnan yang memohon seperti itu? Apa kau memberikan belas kasihan sedikit pun?"
"Hik... Saya memberikan belas kasihan. Ya, tentu saja saya berikan. Di dalam jurnal itu tidak tertulis sampai sejauh itu. Saya memberikannya."
"Memang benar, hal itu tidak tertulis. Akan tetapi, Sersan Mayor Chomo mengatakannya. Bahwa hal seperti itu tidak pernah terjadi sama sekali."
"T-tidak mungkin..."
"Jangan bohong. Aku tahu."
Dulu, berkat sihir yang ia pelajari di Benua Barat, Hazen bisa mendengar suara orang mati. Ini juga merupakan bagian dari usahanya mencari kelemahan dan mengumpulkan bukti untuk mengeksekusi Letnan Dua Mospizza. Akan tetapi, saat mendengar laporan yang begitu hina dari mayat Sersan Mayor Chomo hingga membuatnya ingin muntah, tanpa sadar ia pun merasa muak.
Pada saat itulah, nasibnya untuk menjadi budak telah diputuskan.
Meskipun begitu, Letnan Dua Mospizza terus menangis sambil berulang kali membenturkan kepalanya. Akhirnya, Hazen pun mengalah dan bertanya kepadanya.
"Apa kau benar-benar tidak mau menjadi budak?"
"B-benar!"
"Kalau mati?"
"Lebih tidak mau lagi!"
"......Kalau begitu, berlatihlah sampai mati. Aku hanya akan menilai berdasarkan kemampuan dan prestasi."
"B-baik!"
Hazen menghela napas panjang. Harus memberikan belas kasihan bahkan pada sampah sepertinya, betapa mengekangkangnya menjadi seorang prajurit.
"Tapi... sejujurnya, menurutku menjadi budak kelas atas lebih baik, lho."
"Saya tidak mau! Saya tidak mau jadi budak!"
"Budak kontrak, lho?"
"Tidak akan jadi 'yey' juga! Ampuni saya!"
"......Mmm."
Padahal ini usulan yang bagus. Hazen benci hal yang sia-sia. Kenyataannya, penawaran itu ia berikan karena benar-benar memikirkan nasib Letnan Dua Mospizza.
"Baiklah."
"K-kalau begitu..."
"Akan tetapi. Coba saja kau tunjukkan sikap malas seperti tadi sedikit saja? Kau akan langsung jatuh menjadi budak."
"Baik!"
"Asal kau tahu, bukan budak kelas atas, ya. Kalau kau menolak ini, kau akan menjadi budak biasa."
"Baik!"
"......Hhh."
Melihat ekspresi cerah di wajah Letnan Dua Mospizza, Hazen tanpa sadar menghela napas.
Pada latihan sore harinya, Letnan Dua Mospizza berusaha sebisanya (meskipun hanya sebatas kemampuannya saja). Akan tetapi, hal itu sendiri sama sekali tidak penting.
Hazen menatapnya selama dua detik, lalu mengalihkan pandangannya ke anggota Peleton ke-8 selain dia. Seperti yang diduga, Pembantu Letnan Baz memimpin dengan sangat baik. Sebenarnya, Hazen ingin segera mengangkatnya menjadi Letnan Dua, tetapi bintara hanya bisa naik pangkat sampai Pembantu Letnan.
"Hukumnya perlu diubah," gumam Hazen.
Seberapapun tidak kompetennya Mospizza, paling rendah ia akan turun menjadi Letnan Dua. Seberapapun hebatnya seorang Pembantu Letnan, seumur hidupnya ia akan tetap menjadi Pembantu Letnan. Hal itu bisa menyebabkan penurunan motivasi mereka.
Di tengah-tengah itu, Letnan Dua Mospizza, di sela-sela latihan, sengaja menghampirinya.
"Hah... hah, hah. Letnan Satu Hazen. Bagaimana menurut Anda?"
"......"
Usahanya untuk pamer sambil bermandikan keringat itu terasa sangat menyebalkan. Lagipula, dia terengah-engah karena staminanya yang lemah, padahal menu latihan ini bisa diselesaikan dengan mudah oleh para bintara Peleton ke-8.
"Pembantu Letnan Baz. Nanti, akan kuberikan jurnal Sersan Mayor Chomo. Jika kau merasa Letnan Dua Mospizza bermalas-malasan sedikit saja, tunjukkan jurnal ini dan jatuhi dia hukuman cambuk."
!?
"T-tunggu, Letnan Satu Hazen!?"
"Aku tidak bisa memercayai usahamu yang hanya sesaat ini. Anggap saja ini hanya evaluasi minus 100 yang baru naik menjadi minus 99,999. Segala sesuatu itu adalah akumulasi, jadi teruslah tunjukkan padaku bahwa kau bisa mempertahankannya."
"......!"
Letnan Dua Mospizza menatapnya dengan ekspresi 'tidak percaya'. Akan tetapi, Hazen tidak peduli. Karena dia sendiri juga sama sekali tidak memercayainya.
Setelah itu, dia berkeliling memeriksa setiap peleton, dan analisis kekuatan tempur semua peleton pun selesai. Mengingat ini adalah garis depan penjagaan perbatasan, setiap peleton memiliki kekuatan tempur yang mumpuni.
Setelah latihan selesai, Hazen memerintahkan para letnan dua dan pembantu letnan di setiap peleton untuk membuat dan menyerahkan jadwal rencana latihan. Di tengah-tengah itu, ada satu orang yang terlambat. Pembantu Letnan Marday. Ada lingkaran hitam yang parah di bawah matanya, mungkin kondisinya sedang tidak baik.
"......Hanya kau yang terlambat menyerahkan."
"M-mohon maaf! Saya sudah mengerjakannya semalaman, tapi... karena saya berasal dari kalangan rakyat biasa, banyak sekali salah ketik dan salah tulis, jadi saya masih memperbaikinya."
"Oh, hanya karena itu? Asal bisa dibaca kan tidak masalah. Coba berikan padaku."
Hazen membolak-balik dokumen itu sekilas. Sambil membolak-baliknya, ia mengoreksi salah ketik dan salah tulis dengan pena merah. Tak lama kemudian, dokumen itu menjadi penuh dengan coretan merah.
"Bagus, kan? Kau juga sudah memahami karakteristik para prajurit dengan baik. Lain kali, sekalipun ada sedikit kesalahan tidak apa-apa, yang penting serahkan tepat waktu."
"B-baik. Tapi, bukankah jadi sulit dibaca? Mohon maaf."
"Yah, memang lebih baik jika mudah dibaca, jadi sekalian saja sudah kuperbaiki. Akan tetapi, yang terpenting adalah isinya. Jika kau terlalu terpaku pada hal-hal tambahan seperti itu hingga mengabaikan esensinya, lebih baik biarkan saja apa adanya."
"......Baik! Terima kasih banyak."
Pembantu Letnan Marday menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Hm? Aku tidak melakukan hal yang pantas untuk diberi ucapan terima kasih."
"Sebenarnya, saya selalu dimarahi oleh Letnan Dua Mospizza. Kalau ada salah ketik atau salah tulis, kadang saya bisa diceramahi lebih dari dua jam."
"Hhh... Pantas saja dokumen dari setiap peleton terlihat rapi sekali."
Si tidak kompeten itu. Ternyata dia melakukan hal yang tidak perlu bahkan dalam hal seperti ini, pikir Hazen sambil menghela napas.
"Sampaikan pada para letnan dua dan pembantu letnan di setiap peleton. Dokumen itu, asal bisa dibaca saja sudah cukup. Kesalahan ketik dan tulis sampai batas tertentu akan kutoleransi, jadi fokuskan tenaga kalian pada isinya."
"Baik, dimengerti!"
Pembantu Letnan Marday meninggalkan ruangan dengan raut gembira.
"......Kenapa pada saya Anda begitu keras soal salah ketik dan salah tulis?"
Jan, yang dari tadi menguping di sebelahnya, menyuarakan keluhannya.
"Karena isi tulisanmu sudah bagus tanpa perlu diragukan lagi. Tentu lebih baik jika tidak ada salah ketik dan salah tulis juga."
"Apa-apaan. Sama sekali tidak baik pada saya. Hanya pada saya saja."
"Apa yang kau gerutukan?"
"Sepersepuluh dari kebaikan yang Anda tunjukkan pada bawahan, tidak apa-apa kan kalau Anda berikan sedikit pada saya!?"
"Apa? Kapan aku bersikap baik pada bawahan?"
"Barusan!"
"Aku tidak bersikap baik. Aku hanya memberikan perintah yang wajar."
"Kalau begitu, tidak apa-apa dong kalau saya salah ketik dan salah tulis?"
"Kau tidak boleh."
"Huaaa! Kenapa!?"
Sambil menghela napas, Hazen mencengkeram kerah gadis yang berteriak-teriak sambil hendak memukulnya itu.
"Jan, kau harus membuat dokumen menggantikanku. Aku tidak mau evaluasi dari atasan turun gara-gara salah ketik."
"A-Anda mau menyuruh saya menulis untuk Anda?"
"Untuk bidang tulis-menulis, aku merasa kau lebih unggul dariku. Aku juga cukup memahaminya, tapi pada akhirnya, bakatlah yang menentukan."
Secara kepribadian pun, Jan bukanlah tipe petarung. Tentu saja, jika kekuatan sihirnya sudah bangkit, Hazen akan melatihnya juga, tetapi esensi gadis ini ada di tempat lain. Akan menarik juga jika mengkhususkannya di bidang penelitian. Dalam bidang itu, penyusunan makalah mutlak diperlukan. Pada saat seperti itu, adanya salah ketik dan salah tulis hanya akan membuang-buang waktu.
"Kau mengerti? Mereka para prajurit dan kau itu berbeda. Seorang pejabat sipil menjadikan dokumen sebagai pekerjaannya, jadi banyak orang yang sangat teliti soal salah ketik dan salah tulis. Karena itulah, kau perlu berlatih untuk secara sadar menghilangkannya."
"Gggh, gnnnnn..."
Hazen mengusap-usap kepala Jan.
"Tentu saja, sering kali kecepatan itu penting. Di saat seperti itu, aku tidak akan mempermasalahkan salah ketik. Kau hanya perlu melakukan apa yang diperlukan di saat yang diperlukan. Aku mengingatkanmu karena kau belum bisa melakukan itu. Mengerti, kan?"
"T-tidak mengerti!"
Meskipun berteriak begitu, Jan kembali dan mengajari Prajurit Dua Edal bahasa suku Kumin (kali ini lebih ketat dari biasanya).
Keesokan harinya adalah tugas patroli di desa-desa sekitar benteng. Di tengah-tengah itu, mereka singgah di desa Dinasteld. Ada satu hal yang harus dilakukan di sini. Yaitu negosiasi bisnis dengan Nandal.
"Guru. Apa boleh saya kembali ke panti asuhan?"
"Setelah urusan bisnisnya selesai."
"Kalau begitu, ayo cepat selesaikan. Cepat."
Jan mempercepat langkahnya dengan gembira. Mungkin karena tubuhnya masih seperti anak berusia enam tahun, gadis ini punya sisi yang sangat kekanak-kanakan.
Secara usia, itu adalah umur di mana banyak anak sudah meninggalkan orang tua mereka dan bekerja. Yah, Hazen berpikir bahwa mereka mungkin tidak akan lama berada di benteng ini, jadi untuk saat ini dia memutuskan untuk membiarkannya berbuat sesuka hati.
Saat memasuki toko Nandal, bagian dalamnya penuh sesak dengan kesibukan. Semua orang bergerak dengan sibuk, tetapi gerakannya efisien. Biasanya, bisnis dengan suasana seperti ini berjalan dengan baik.
"Oh, Letnan Dua Hazen... bukan, Letnan Satu, ya. Apa Anda sudah melihat daftarnya?"
"Ya. Akan kubeli semuanya. Dan, tolong sampaikan ini pada suku Kumin."
Sambil berkata begitu, dia menyerahkan beberapa lembar perkamen kepada Nandal.
"Ini apa?"
"Bisa dibilang ini adalah spesifikasi. Seperti apa efek tongkat sihirnya, bagaimana ukuran dan bentuknya, cocok untuk penyihir seperti apa, dan semacamnya."
"Itu... luar biasa."
"Sebelumnya aku sudah menyuruh Jan untuk merangkum karakteristik mereka. Kurasa ini sudah cukup sesuai dengan kebutuhan mereka."
Sejak penandatanganan perjanjian gencatan senjata, Hazen sering mengirim Jan ke pemukiman suku Kumin. Secara resmi, sebagai penerjemah untuk Prajurit Dua Edal, tetapi Edal sendiri sudah hampir menguasai bahasanya. Karena itu, Hazen menyuruhnya membuat rangkuman di waktu luangnya, dan seperti yang diduga, hasilnya lebih baik dari yang diharapkan.
Ratu Basia sepertinya sudah sangat menyukai Jan, bahkan sampai ada tawaran untuk menjadikannya anak angkat. Tentu saja, Hazen menolaknya dengan sopan (meskipun Jan menangis dan merengek sambil berteriak 'aku mau').
Setelah membaca sekilas semua spesifikasi tongkat sihir, Nandal mengangguk mantap.
"Baik, dimengerti. Akan saya sampaikan."
"Kalau mereka suka, akan kujual kepada mereka, tapi kalau tidak, aku mau menjualnya di pasar gelap. Apa kau punya jalurnya?"
"Hmm. Ada, sih, tapi apa tidak sia-sia mengkhawatirkannya? Suku Kumin pasti sangat menginginkannya, jadi saya rasa mereka akan membelinya. Asalkan harganya tidak keterlaluan."
"Tenang saja. Aku tidak berniat mematok harga tinggi. Tapi, aku juga tidak mau ditawar dengan harga murah."
Rencananya, Hazen akan menjualnya dengan harga dua kali lipat dari harga beli. Ini sudah termasuk biaya bahan, jadi upah pembuatannya sebenarnya hanya separuhnya. Begitu Nandal melihat harga jualnya, ia langsung mengangguk.
"......Kalau harga segini, mereka pasti akan beli. Ini jauh lebih murah dari harga jual yang saya perkirakan."
Karena Nandal sudah memberikan jaminannya, Hazen memasang ekspresi lega.
"Jan. Untuk jaga-jaga, tolong laporkan pada Ratu Basia. Karena ini Permata yang kita beli sendiri, mereka memang tidak punya hak untuk protes, tapi jika kita menjualnya ke pasar gelap, ada risiko kita akan kehilangan kepercayaan."
"Saya mengerti, tapi saya rasa mereka mungkin akan membelinya."
"Maksudnya, kita perlu menunjukkan bahwa ada jalur lain. Dengan begitu, kemungkinan dibeli akan meningkat, dan kemungkinan ditawar juga akan berkurang."
"Yah, saya rasa tidak perlu khawatir, tapi baiklah, saya mengerti."
"Nandal, apa komisinya 10% tidak apa-apa?"
"Tentu. Saya sudah dapat untung dari yang lain, jadi lebih murah pun tidak masalah."
"Kalau begitu, sebagai gantinya, ada satu hal lagi yang ingin kuminta."
"Apa itu?"
"Butuh waktu untuk mendatangkan dana dari Kekaisaran. Jadi, bisakah kau menerbitkan surat utang? Kalau bisa, akan kutambahkan komisi 10% lagi."
"Tentu saja, dari pihak kami tidak masalah, tapi apa tidak apa-apa?"
"Maksudmu?"
"Tidak. Mungkin kalau saya bilang begini, saya bisa dianggap bukan pedagang sejati. Tapi, apa keuntungan pihak saya tidak terlalu besar? Saya kan juga dapat komisi dari pihak suku Kumin. Selain itu, bahan untuk pembuatannya juga saya yang tangani, jadi keuntungan bersihnya lebih dari 40%."
"Itu wajar, kan."
Dia yang mengurus hampir semua administrasi, transportasi, dan pembelian. Terlebih lagi, ada risiko diserang oleh bandit, jadi Hazen tidak berniat menawarnya dengan harga murah.
"Tidak, tapi. Anda yang memproduksinya hanya dapat keuntungan 30%. Kalau dibilang jumlahnya sama, rasanya jadi seperti berbuat jahat."
"Menurutku itu sudah pantas. Lagipula, jika dananya sudah terkumpul, aku tidak berencana menerbitkan surat utang. Menurutku, tindakan meminjamkan uang itu sendiri sudah sepantasnya ada imbalannya."
Justru, jika mengandalkan hubungan dan membuatnya menjadi tidak jelas, semuanya akan gagal. Jika ingin memiliki hubungan yang setara dengan lawan bicara, urusan keuangan haruslah jelas.
"Kalau Anda sudah bisa menerimanya, dari pihak saya tidak masalah. Hanya saja, kalau itu permintaan Anda, permintaan yang sedikit tidak masuk akal pun akan saya kabulkan, jadi katakan saja apa pun."
"Itu sangat melegakan. Aku mengandalkanmu."
Hazen menjabat erat tangan yang terulur itu. Nandal adalah pedagang yang baik. Jika memungkinkan, Hazen ingin membimbingnya menjadi seorang saudagar kaya yang menguasai seluruh wilayah ini.






Post a Comment