NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kaji Daiko no Arubaito o Hajimetara Gakuen Ichi no Bishojo no Kazoku ni Kiniira re Chaimashita V1 Chapter 3

 Penerjemah: Ramdhian

Proffreader: Ramdhian


Chapter 3

Kontrak Langganan


Sejak aku mulai bisa mengingat, orang-orang di sekitarku selalu memanggilku imut.


Saat masih di TK, orang tua teman-teman sekelasku sering berkata, “Wah, Ayaka-chan imut sekali ya.”


Setelah masuk SD, anak laki-laki mulai sering mengusiliku. Kalau dipikir-pikir sekarang, kurasa itu adalah cara mereka menunjukkan rasa suka mereka padaku.


Tapi seiring bertambah usia, gangguan dan keusilan dari anak laki-laki itu makin berkurang, sampai akhirnya nyaris hilang saat aku masuk SMP.


Sebagai gantinya, yang bertambah adalah pernyataan cinta.


Dalam sebulan, aku pasti ditembak oleh anak laki-laki beberapa kali. Di saat-saat parah, ada masa di mana aku ditembak setiap hari selama seminggu.


Waktu pertama kali aku ditembak anak laki-laki, yang pertama muncul di hatiku adalah kebingungan.


Wajar saja, ‘kan? Anak laki-laki yang selama ini suka berbuat jahat dan mengusiliku tiba-tiba bilang “Aku suka kamu.”


Lagipula, sejak dulu aku selalu menghindari anak laki-laki karena kupikir mereka adalah makhluk yang hanya bisa usil. Jadi, aku sama sekali tidak pernah bermain atau berbincang dengan mereka.


Maka dari itu, setiap kali ada yang menyatakan cinta, selalu kutolak.


Aku tidak bisa membayangkan berpacaran dengan seseorang yang kepribadiannya saja tidak kukenal. Sejak kecil, orang tuaku selalu mengajariku, “Yang penting itu isinya, bukan penampilannya.”


Seharusnya, alurnya begini: saling bertukar sapa, jadi teman, mengenal satu sama lain, tertarik, dan akhirnya jatuh cinta. Kalau alurnya seperti itu, mungkin aku bisa menerima.


Tapi semua anak laki-laki yang menembakku selalu berkata, “Aku jatuh cinta pada pandangan pertama!”


Aku tidak bermaksud menolak konsep cinta pada pandangan pertama, tapi aku tidak bisa memahaminya. Karena itu, aku menolak semuanya tanpa pengecualian.


Dan di tengah-tengah itu… terjadilah satu insiden.


Tiba-tiba, salah satu teman dekatku menangis sambil berteriak, “Jangan rebut orang yang aku suka!!”


Sesaat, aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia bicarakan.


Saat itu, yah, sampai sekarang juga, sih, semua temanku adalah perempuan. Ditambah lagi, aku selalu menghindari anak laki-laki, jadi tidak mungkin aku bisa merebut orang yang dia suka.


Jelas-jelas dia salah paham.


Begitu pikirku. Aku pun berusaha menenangkannya dan mencoba mendengarkan penjelasannya di sela tangisannya.


Ternyata, salah satu dari anak laki-laki yang menembakku adalah orang yang dia suka.


…Terus aku harus bagaimana?


Dia sendiri yang tiba-tiba menembakku.


Aku bahkan sama sekali tidak punya hubungan apa pun dengan anak laki-laki itu. Jangankan berhubungan, mengobrol sekali pun aku tidak pernah.


Akhirnya, sampai lulus SMP, hubunganku dengan teman itu tetap renggang.


Gara-gara insiden itu, aku semakin menghindari anak laki-laki. Selain itu, ada satu alasan lagi kenapa aku mulai menjauhi mereka sejak pertengahan SMP.


Yaitu, tatapan mata.


Sejak kelas dua SMP, dadaku mulai membesar, dan bersamaan dengan itu, aku mulai merasa tatapan anak laki-laki padaku semakin banyak.


Sebagian memang cuma melirik-lirik, tapi ada juga yang menatap dengan pandangan yang benar-benar menusuk. Tatapan yang menempel dan terasa licin itu membuatku takut. Saat masuk SMA, aku sudah bisa dibilang mengalami sedikit fobia terhadap laki-laki.


Masuk SMA pun, pernyataan cinta masih terus berdatangan tanpa henti.


Tapi aku sudah belajar dari kejadian di SMP. Aku dengan tegas menunjukkan sikap pada teman-temanku bahwa “Aku sama sekali tidak tertarik pada laki-laki ataupun pacaran.”


Berkat itu, hubunganku dengan teman-temanku berjalan baik sampai sekarang, di tahun kedua SMA.


Yah, meskipun aku agak ragu apakah situasiku saat ini—di mana aku adalah gadis SMA yang masa mudanya harusnya sedang mekar-mekarnya, bisa disebut “berjalan baik” menurut standar umum. Tapi semua temanku perempuan, dan tidak ada bayang-bayang romansa sedikit pun.


Tapi, bagiku yang sekarang, laki-laki hanyalah biang masalah.


Kejadian terparah terjadi tepat sebelum liburan musim panas ini dimulai.


Setelah upacara penutupan semester, saat aku sedang asyik mengobrol dengan teman-teman membahas rencana liburan dan hendak pulang, tiba-tiba aku dipanggil lewat siaran sekolah.


Sesaat, aku cuma bengong karena tidak tahu apa yang terjadi, sementara teman-temanku malah heboh dan berteriak kegirangan.


Rupanya yang memanggilku adalah senpai kelas tiga.


Namanya kalau tidak salah… Gotou? Atau Saitou?


Pokoknya gara-gara senpai itu memakai siaran sekolah, aku terpaksa harus menemuinya.


Yah, mungkin memang itu tujuannya sejak awal.


Di jam pulang sekolah yang masih ramai oleh siswa, aku menahan rasa malu dan pergi ke lapangan. Di sanalah aku melihat si biang kerok, Saitou... atau mungkin Andou? Pokoknya, orang itu ada di sana.


Lalu, entah karena otaknya udah geser, dia tiba-tiba mengeluarkan cincin dan melamarku.


Dari arah gedung sekolah, para siswa yang menonton bersorak-sorai. Dan aku, saking malu dan paniknya melihat tindakan tidak wajar Andou-senpai itu, hanya sempat berkata, “Aku nggak tertarik,” dan langsung kabur dari sana.


Setelah itu, ingatanku agak kabur.


Tahu-tahu aku sudah sampai rumah dan langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tindakan gila Itou-senpai tadi tidak mau hilang dari kepalaku.


Kejadian ini pasti akan jadi bahan gosip besar setelah liburan musim panas berakhir. Ditambah lagi, Itou-senpai yang menembakku kali ini sepertinya cukup terkenal dan populer di kalangan perempuan.


Aku tidak tahu kenapa dia bisa begitu terkenal atau populer, tapi ada satu hal yang pasti. Setelah ditembak oleh anak laki-laki sepopuler itu, pasti akan ada sejumlah perempuan yang membenciku.


Bahkan sebelum liburan dimulai, aku sudah murung memikirkan apa yang akan terjadi setelah liburan berakhir.


Sambil tengkurap di kasur, aku meraih ponsel dan membuka aplikasi pesan. Di daftar obrolan, aku mengetuk nama Aizawa Saki dan langsung menekan tombol panggil.


Setelah beberapa saat nada sambung, teleponku tersambung.


‘Haloo... Sudah kuduga kamu bakal nelepon.’


“Saakii... aku nggak kuat... aku nggak mau ke sekolah lagi...”


‘Besok kan udah mulai liburan.’


“Maunya liburan teruuus...”


Aku merengek pada sahabatku sejak SD.


“Apaan, sih?! Si Endou-senpai itu! Manggil pakai siaran sekolah, otaknya miring, ya?!”


‘Ahahaha, siaran sekolah itu kelewatan, sih. Aku benar-benar kasihan sama Ayaka.’


“Kalau nanti aku ketemu Endou-senpai di sekolah, mungkin aku bakal menatapnya penuh dendam.”


‘Dia malah senang kali. Lagian, yang nembak pakai siaran sekolah itu namanya Kaidou-senpai, bukan Endou.’


“Oh ya? Aku udah lupa. Saking malunya, omongan senpai itu nggak ada yang masuk ke telingaku satu kata pun.”


Saki tertawa keras di seberang telepon.


‘Pfft! Kasihan banget Kaidou-senpai. Udah nekat nembak, tapi nggak didengar sama Ayaka. Hahaha.’


“Yang kasihan justru aku! Katanya dia populer, ‘kan? Aku pasti bakal dibenci...”


‘Mungkin semua orang bakal lupa selama liburan, kali?’


“Masa, sih? Kejadian tadi kan heboh banget. Gimana pun juga, itu lamaran, loh. Pakai cincin lagi!”


‘Ah… iya juga sih.’


Padahal kami masih SMA.


Langsung ngomong soal tunangan, tanpa pacaran dulu, benar-benar nggak masuk akal.


“Ahh… Mungkin seharusnya aku masuk sekolah khusus perempuan aja ya…”


‘Kalau begitu, kita bakal pisah, dong..’


“Itu sih nggak mauuu...”


Aizawa Saki, orang yang sedang kuajak bicara ini, adalah sahabatku sejak kelas satu SD. Segala hal yang menyenangkan dan menyedihkan selama ini selalu kulewati bersamanya.


Sekarang, dia adalah satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara tentang hal-hal seperti ini tanpa canggung sedikit pun. Aku benar-benar tidak bisa membayangkan bersekolah di tempat yang berbeda dengannya.


“Hei, Saki, gimana kalau kamu pindah ke sekolah khusus perempuan bareng aku?”


‘Jangan ngaco.’


Aku langsung dijawab begitu. Aku cemberut, “Muuu.”


Tentu saja aku cuma bercanda. Kalau dia menganggapnya serius, aku juga bakal bingung. Tapi, untuk sekarang, aku pura-pura protes saja.


“Dasar Saki picik.”


‘Kan sudah pernah kubilang, Ayaka cari pacar aja.’


Kata-katanya membuatku teringat sesuatu yang pernah dia katakan dulu.


Waktu baru masuk SMA, aku sempat pusing karena ditembak oleh tiga anak laki-laki berturut-turut. Saat itu, Saki bilang, “Gimana kalau kamu cari pacar bohongan buat penangkal cowok?”


Tapi kalau mencari pacar semudah itu, aku tidak akan repot memikirkan semua ini sejak awal.


Jadi waktu itu aku menolak mentah-mentah saran Saki.


“Nggak mungkin, lah. Lagian, pacaran sama orang yang nggak kita suka cuma karena nggak mau ditembak itu nggak tulus banget, ‘kan?”


‘Begitukah? Tapi, pura-pura pacaran sama cowok yang kebetulan ketemu biar nggak ditembak lagi kedengarannya kayak di manga romance, ‘kan? Ayaka suka yang begituan, ‘kan?’


“Memang sih, aku suka, tapi…”


Aku menjawab Saki dengan nada menggantung, sambil melirik ke arah rak buku di kamarku. Di sana, deretan manga romance memenuhi seluruh rak.


Rasa haus akan cinta yang tak bisa kualami di dunia nyata berubah jadi hobi membaca manga romcom dalam jumlah besar.


Sikapku yang seolah tidak tertarik pada laki-laki atau pacaran itu hanyalah tameng untuk menjaga hubungan baik dengan teman-temanku. Karena pada dasarnya, aku juga gadis SMA biasa yang tetap ingin merasakan asmara seperti orang lain.


‘Nah, bagus, ‘kan? Awalnya cuma hubungan bohongan, tapi lama-lama suka, terus akhirnya jadi pacar beneran… kyaaa! So sweet banget!!’


“Jangan heboh sendiri, dong.”


‘Itulah kenapa, menurutku Ayaka harus punya pacar bohongan!’


“Nggak mungkin lah... Lagipula siapa yang mau jadi pacar bohongan coba?”


Bukan karena aku terlalu percaya diri, tapi aku sadar betapa besarnya dampak dari tindakanku di sekolah, terutama di kalangan anak-anak laki-laki.


Kalau aku menjalin kasih dengan seseorang, meskipun cuma pura-pura, orang itu pasti bakal kena imbasnya.


‘Hmmm, menurutku, Ootsuki-kun yang sekelas itu cocok sama Ayaka.’


“Ootsuki-kun? Maksudmu… ah, yang ranking satu di seluruh angkatan, ya?”


Aku berusaha mengingat-ingat orang yang dimaksud Saki dari pojok ingatanku.


Meskipun aku menghindari anak laki-laki, aku tetap berusaha mengingat nama teman sekelasku.


‘Iya, benar, orang itu. Menurutku Ootsuki-kun cocok sama Ayaka.’


“Eh... Kok bisa?”


‘Soalnya, Ootsuki-kun tuh punya aura tenang, nggak agresif kayak anak cowok lain. Kelihatan kayak gentleman gitu.’


“Apa iya?”


Karena di sekolah aku biasanya hanya bergaul dengan perempuan, aku hampir tidak tahu seperti apa anak laki-laki di kelasku.


‘Lagian, kalau punya pacar, cowok-cowok aneh nggak bakal berani ngedeketin kamu lagi, ‘kan? Terus kalau ada apa-apa, dia juga bisa jagain kamu. Sebagai sahabat, aku jadi lebih tenang.’


Aku memang pernah beberapa kali mengalami kejadian seperti stalking ringan. Mungkin Saki masih khawatir soal itu.


“Tapi bukannya itu lebih mirip bodyguard, ya, dibanding pacar?”


‘Bener juga.’


“Iih! Jangan bercanda dong...”


Meskipun aku bilang begitu, tanpa sadar aku tersenyum. Entah kenapa, setiap kali ngobrol sama Saki, suasana hatiku yang tadinya suram bisa langsung jadi ringan.


‘Eh, besok mau ke kafe bareng, nggak?’


“Wah, boleh tuh! Mau ke kafe mana? Mumpung lagi liburan, mau sekalian cari tempat baru?”


‘Boleh juga.’


Saat aku dan Saki sedang asyik membicarakan rencana ke kafe besok, terdengar suara ibuku dari arah tangga.


“Ayakaaa... Mama mau ngomong sebentar, turun yaaa!”


“Iyaaa! Maaf, Saki, aku dipanggil Mama.”


‘Oke deh, nanti kabarin lagi, ya, soal rencana besok.’


“Iya, dah.”


‘Dah.’


Begitu panggilan berakhir, aku turun ke lantai bawah dan menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, Mama sedang sibuk mondar-mandir, dan di lantai, ada koper besar yang terbuka.


“Loh? Mama mau pergi?”


“Iya, nih. Ada perjalanan dinas mendadak.”


Mama menjawab sambil menyusun pakaian ke dalam koper.


Mamaku menjabat sebagai direktur utama di suatu perusahaan. Karena itu, dia sering pergi dinas dan meninggalkan rumah seperti ini. Kadang dia bahkan pergi ke luar negeri, dan kalau sudah begitu, dia tidak akan pulang selama seminggu.


“Begitu, ya… kali ini berapa lama?”


Aku bertanya dengan nada sedikit lesu.


Soalnya, kalau Mama pergi, berarti di rumah cuma ada aku dan adikku, Ryota.


Adikku masih lima tahun, terlalu kecil buat ditinggal sendirian, jadi aku harus menjaganya. Tapi, kalau begitu, aku harus membatalkan rencanaku pergi ke kafe bareng Saki besok.


“Rencananya tiga hari. Kalau sesuai jadwal, Mama bisa pulang bareng Papa.”


“...Oke.”


Ngomong-ngomong, Papa juga seorang pebisnis dan sedang dinas ke luar kota sekarang.


Aku sangat menghormati kedua orang tuaku yang bekerja sebagai pengusaha, pekerjaan yang sangat sibuk dan penuh tanggung jawab. Tapi kadang juga merasa kesal ketika mereka harus pergi seperti ini.


Aku tahu mereka berdua selalu berusaha meluangkan waktu untuk keluarga, dan aku juga tahu mereka sangat menyayangiku dan Ryota.


Karena itu, aku berusaha tidak manja, meskipun sedikit rasa kecewa masih tampak dari ekspresiku.


Mama yang menyadarinya memasang ekspresi bersalah.


“Padahal besok udah mulai libur musim pana. Maaf, ya.”


“Enggak apa-apa kok. Namanya juga kerja. Mau gimana lagi.”


“Nanti Mama beliin oleh-oleh ya. Tolong jaga Ryota.”


Adikku, Ryota, mungkin sedang tidur siang.


Kalau Ryota, yang sedang manja-manjanya, bangun, dia pasti bakal merengek dan mencegah Mama pergi dinas. Sejujurnya, aku juga ingin melakukan hal yang sama. Tapi sebagai seorang kakak, dan udah SMA, posisiku tidak mengizinkannya.


“Iya, serahkan urusan rumah padaku. Mama kerjanya yang semangat ya.”


Aku sebisa mungkin tersenyum ceria, berusaha menutupi kekesalan di hatiku.


Seolah teringat sesuatu, Mama tiba-tiba berseru, “Oh iya,” sambil menunjukkan selembar brosur yang ada di meja padaku.


“Kalau kamu capek ngurus rumah, kamu bisa pakai ini.”


“Ini apa?”


Aku menerima brosur itu dan membaca isinya.


“...Jasa asisten rumah tangga?”


“Betul. Mereka bisa bantu beres-beres, nyuci, sampai memasak. Praktis, ‘kan?”


“Hmm…”


Di brosur itu tertulis slogan “Bebaskan Waktumu, Kami yang Urus Pekerjaan Rumah!” Di bawahnya ada berbagai macam layanan dan paket yang ditawarkan.


“Wah, bisa bantu belanja juga, ya.”


“Iya. Nih, pakai uang ini kalau kamu mau pakai jasa itu.”


Mama menyerahkan beberapa lembar uang padaku.


“Eh, nggak usah. Kalau pun mau pakai, aku bisa pakai uang sakuku sendiri.”


Aku terbiasa tidak boros menggunakan uang jajan, jadi memanggil jasa asisten rumah tangga sekali-dua kali masih aman.


Tapi Mama menggeleng dan tetap menaruh uang itu di tanganku.


“Anggap aja ini sebagai permintaan maaf karena sudah merepotkanmu mengurus rumah sejak hari pertama liburan.”


“...Oke deh. Aku terima.”


Yah, semisal aku tidak jadi memanggil jasanya, uangnya tinggal kukembalikan saja.


“Kalau begitu, taksinya sudah datang. Mama pergi dulu, ya.”


“Iya, hati-hati di jalan.”


Mama menutup koper, lalu naik taksi yang sudah menunggu di depan rumah dan berangkat dinas.


Setelah mengantarnya di depan pintu, aku mengirim pesan ke Saki, bilang aku ingin membatalkan janji besok.


(“Maaf, kedua orang tuaku pergi dinas, jadi aku nggak bisa ke kafe besok.”)


Bersamaan dengan pesan itu, kusertakan stiker kelinci yang menangis deras sampai matanya jadi air mancur.


Setiap kali terdengar bunyi pesan terkirim, mood-ku makin turun.


(“Wah, serius? Terus, orang tuamu bakal dinas sampai kapan?”)


(“Tiga hari lagi Papa sama Mama pulang bareng.”)


(“Gitu ya… gimana kalau aku aja yang ke rumahmu?”)


Mendengar usulan Saki, aku hampir saja membalas “boleh”, tapi aku berhasil menahannya.


Rumah Saki lumayan jauh dari rumahku.


Waktu masih SMP, dia tinggal di apartemen dekat rumahku, tapi menjelang masuk SMA, keluarganya pindah ke rumah baru yang letaknya cukup jauh dari sini.


Momen ketika sahabatku pindah ke rumah baru seharusnya jadi peristiwa yang membahagiakan, tapi aku malah menangis karena tidak rela Saki pindah jauh.


(“Nggak usah, nggak apa-apa kok. Nanti mainnya setelah orang tuaku balik, ya?”)


(“Ayaka yakin?”)


(“Iya! Nggak masalah!”)


Aku mengirim stiker kelinci yang mengacungkan jempolnya. Tak lama kemudian, Saki membalas dengan stiker beruang yang membuat lingkaran di atas kepalanya dengan lengannya.


“Haaah…”


Aku tanpa sadar menghela napas panjang.


Libur musim panas di tahun kedua SMA-ku dimulai dengan sangat suram.


Insiden lamaran Kaidou-senpai, ditambah batalnya rencana main bareng Saki. Dua hal itu memberikan pukulan mental yang cukup besar bagiku.


Di tengah-tengah itu, aku harus mengurus Ryota, memasakkan makanan, menemani main, lalu di sela-selaitu, aku juga harus mencuci dan bersih-bersih rumah.


Selama tiga hari orang tuaku dinas, aku harus kuat.


Aku terus menanamkan itu dalam pikiranku.


Tapi di hari terakhir, aku kelelahan sampai akhirnya ketiduran di sofa ruang tamu.


Sebenarnya, tadinya aku cuma mau rebahan sebentar buat istirahat, tapi tahu-tahu aku sudah tertidur lelap.


Karena khawatir melihat aku tidak bangun-bangun, adikku, Ryota, berusaha masak makan siang sendirian tanpa membangunkanku. Tapi, bagi Ryota yang baru lima tahun, memasak sendirian tentu saja mustahil, dan hasilnya dapur jadi berantakan parah.


Ryota yang gagal masak langsung menunduk lesu sambil terus berkata, “Maafkan aku.”


Sebenarnya, ini juga salahku karena sudah membuat dia khawatir. Jadi, aku tidak bisa memarahinya.


Melihat adikku yang menunduk lesu, aku membelai kepalanya pelan dan berkata lembut.


“Ryota belum boleh masak sendirian. Bahaya, tahu? Lain kali, panggil aku, ya.”


“...Iya, maaf.”


Sambil aku mengusap rambutnya lagi, suara bel rumah berbunyi, “Ting-tong!”


“Ryota, kayaknya temenmu datang tuh. Katanya hari ini mau main di taman, ‘kan?”


“Iya, tapi…”


Ryota menatap ke arah dapur yang kotor dan terdiam. Sepertinya dia merasa bersalah kalau pergi main sementara dapur masih berantakan.


Aku jongkok supaya bisa sejajar dengan matanya.


“Dapurnya biar Onee-chan yang urus. Kamu main aja.”


“Beneran?”


“Iya. Temenmu udah nunggu, tuh.”


Biasanya Ryota main di taman bareng teman sebayanya, dan aku tahu orang tua mereka selalu ikut mengawasi, jadi aku bisa tenang.


Aku mengantarnya sampai ke depan rumah, menyapa singkat orang tua temannya, lalu kembali ke dapur. Begitu melihat kekacauan yang terjadi di sana, aku cuma bisa menghela napas dalam-dalam.


“Haaah… ini parah banget.”


Aku tahu Ryota tak bermaksud bikin onar. Justru, ini salahku yang menunjukkan kelelahan dan membuat adikku khawatir. Tapi tetap saja, rasa lelah di sekujur badan dan mentalku tidak bisa kubohongi.


“Haah…”


Yang bisa kulakukan hanya duduk dan menghela napas berulang kali.


“Ayo semangat, Ayaka! Malam ini Papa dan Mama pulang! Tahan sedikit lagi!”


Benar, Papa dan Mama akan pulang malam ini. Begitu orang tuaku pulang nanti, aku bisa lepas dari urusan rumah dan istirahat.


“Oh iya, besok aku main ke mana, ya, sama Saki.”


Aku sengaja mengucapkannya keras-keras untuk membangkitkan semangat, tapi tubuhku tetap terasa berat.


“Uuhh… nggak bisa…”


Akhirnya aku menyerah dan duduk di kursi meja makan. Saat itu pandanganku tertuju pada selembar brosur di atas meja.


Itu brosur yang Mama tunjukkan sebelum berangkat dinas.


“...Jasa asisten rumah tangga, ya.”


Aku mengambilnya, lalu membaca lagi layanan yang ditawarkan.


“Panggil aja, kali, ya?”


Sekarang, jasa asisten rumah tangga terlihat sangat menggoda.


“Mama juga bilang boleh, ‘kan…”


Aku bergumam seolah meyakinkan diri sendiri, lalu memindai kode QR yang tertera di brosur. Setelah masuk ke situsnya, tanpa sadar aku sudah memesan layanan.


“T-Terlanjur pesan…”


Kulihat email konfirmasi di layar ponsel, aku mulai merasa tegang.


I-Ini aku pesan karena refleks, nggak apa-apa, ‘kan? Nggak masalah, ‘kan, anak SMA yang pesan?


Sambil berpikir begitu, aku menunggu dengan gelisah. Dan sekitar pukul tiga sore, akhirnya petugasnya datang.


Bersamaan dengan itu, aku terkejut bukan main.


Ternyata yang berdiri di depan rumahku adalah Ootsuki-kun, teman sekelasku di sekolah.


“Eh? …Kok bisa?”


Sambil melontarkan pertanyaan itu, tanpa sadar aku mengambil sikap waspada.


Setelah kejadian dengan Kaidou-senpai kemarin, wajar saja kan kalau aku jadi waspada?


Mungkin karena menyadari kewaspadaanku, Ootsuki-kun langsung menawarkan untuk mengganti petugas. Sikapnya itu membuatku sedikit lega.


Ootsuki-kun memperlakukanku sebagai pelanggan.


Aku tidak merasakan niat terselubung dari sikapnya. Saat aku berpikir begitu, suara Saki terngiang di kepalaku.


“Hmmm, menurutku, Ootsuki-kun yang sekelas itu cocok buat Ayaka”


Gara-gara kata-kata Saki, aku jadi sedikit tertarik pada Ootsuki-kun. Aku pun memutuskan untuk tetap memintanya melanjutkan tugasnya. Meskipun Ootsuki-kun terlihat sedikit kaget.


Ternyata, keputusanku tepat.


Sebagai staf jasa asisten rumah tangga, Ootsuki-kun memberikan pelayanan yang sangat tulus dan profesional.


Di tengah-tengah, ada insiden Ryota yang mengira dia maling setelah pulang main, tapi Ootsuki-kun tidak tersinggung dan tetap bersikap ramah pada Ryota.


Ryota sepertinya juga jadi sedikit terbuka pada Ootsuki-kun. Saat dia mau pulang, Ryota menghampirinya dan bilang “Dadah!” untuk berpisah.


Melihat itu, aku sedikit terharu.


Padahal, Ryota itu tipe anak yang pemalu dan tidak pernah mau mendekati orang yang baru ditemuinya. Tapi dia bisa langsung membuka diri pada Ootsuki-kun.


Tapi, aku sedikit mengerti kenapa Ryota bisa seperti itu.


Seperti kata Saki, Ootsuki-kun punya aura tenang dan wajah yang lembut saat bicara. Mungkin karena ini pekerjaan, tutur katanya juga sangat sopan, jauh lebih dewasa dari kebanyakan teman sebaya kami.


Selain itu, kemampuan rumah tangganya luar biasa.


Wajar, sih, ‘kan dia kerja sambilan sebagai asisten rumah tangga. Tapi, dapur yang tadinya kacau balau berubah jadi bersih kinclong. Bahkan dia juga sempat membersihkan ruang tamu yang awalnya tidak kuminta, sampai tidak menyisakan debu sebutir pun.


Dan waktu dia masak, gerakannya seperti koki profesional, aku sama sekali tidak bosan melihatnya.


Aku yang selama ini selalu menjaga jarak dari anak laki-laki, tapi kalau dengannya… aku mungkin bisa berteman.


Meskipun waktunya sangat singkat, selama berinteraksi dengannya, samar-samar aku mulai merasa begitu. Entah kenapa, aku merasa Ootsuki-kun bisa melihatku apa adanya, bukan hanya penampilanku. Buktinya, dia bilang aku “kakak yang baik.”


Karena aku mulai berpikir seperti itu, ada sedikit rasa tidak puas, atau mungkin kecewa, karena dia memperlakukanku sebagai “pelanggan.”


Padahal, ini pertama kalinya aku merasa bisa berteman dengan anak laki-laki, tapi kalau diperlakukan sebagai pelanggan, rasanya jadi ada jarak.


Setelah dia pulang, aku dan Ryota memakan hamburger buatannya.


Itu adalah hamburger terenak yang pernah kumakan seumur hidupku.


Ryota bahkan memakannya dengan sangat cepat sampai-sampai aku khawatir dia akan tersedak. Pemandangan adikku yang melahap hamburger itu tanpa berkedip, sedikit mengerikan.


Masakan Ootsuki-kun yang bisa membuat Ryota selahap itu, benar-benar menakutkan!!



Sehari setelah Haruto berhasil menyelesaikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga di kediaman Toujou, ia datang bermain ke rumah sahabatnya, Akagi Tomoya.


“Hei, Haru. Bukannya kau bilang liburan musim panas ini cuma bakal kau habiskan buat belajar dan kerja sambilan? Yakin nih main ke rumahku segala?”


Tomoya menatapnya dengan nada menggoda.


“Rencananya sih begitu. Tapi semalam, aku kebetulan nonton acara TV yang membahas soal rumah sampah.”


Sambil membereskan tumpukan manga yang berantakan di rak buku Tomoya, Haruto melanjutkan ucapannya.


“Tiba-tiba aku jadi cemas. Gimana kalau rumah sampah yang dibahas di episode berikutnya ternyata kamar sahabatku sendiri?”


“Kamarku nggak sekotor itu, woi!!”


Tomoya spontan membantah sambil menegakkan punggung dari sandaran kursi.


Hari itu adalah puncak musim panas, gelombang panas terus berlanjut tanpa ampun. Cahaya yang menyilaukan masuk menembus jendela kamar Tomoya, tapi berkat AC yang terpasang, suhu di dalam ruangan tetap sejuk dan nyaman.


“Ya, alasan sebenarnya sih karena AC di kamarku lagi rusak, jadi aku ke sini buat ngadem.”


Mendengar alasan santai Haruto, Tomoya menatapnya dengan pandangan malas.


“Oi, aku tagih biaya listrik, nih.”


“Kalau gitu aku juga tagih biaya bersih-bersih kamar. Sekalian kuhitung dari yang sudah-sudah.”


“Mohon maaf. Silakan gunakan kamar ini sesuka Anda.”


Tomoya langsung mengaku kalah.


Dia kembali bersandar santai di kursinya dan bertanya pada Haruto.


“Oh iya, kemarin hari pertama kau kerja, ‘kan? Gimana tuh, kerja sebagai asisten rumah tangga?”


“Oh, itu ya…”


Haruto berhenti sejenak dari bersih-bersihnya dan tampak berpikir.


“Yah, cukup menantang, mungkin?”


Sambil berkata begitu, ia teringat senyum Toujou yang mengucapkan “terima kasih” padanya.


“Hmm? Kenapa kamu senyum-senyum gitu, Haru?”


Karena ditegur begitu, Haruto buru-buru merapikan ekspresinya.


“Hah? Nggak, aku nggak senyum-senyum.”


“Enggak, barusan kamu jelas-jelas nyengir… ah, aku tahu!”


“A-Apaan?”


“Pasti klienmu mbak-mbak cantik, ‘kan!?”


Mendengar sahabatnya bicara seyakin itu, alis Haruto sedikit berkedut.


“Bukan, woy!”


“Pasti benar. Mbak-mbak itu pasti karyawan kantoran yang kecapekan kerja!”


“Jangan berfantasi yang aneh-aneh.”


“Dan mbak-mbak itu seksi banget, ‘kan. Haru kan tipe yang diam-diam doyan gitu, jadi pasti nyembunyiin sesuatu.”


Tomoya menyilangkan tangan dan mengangguk-angguk sok tahu, sementara Haruto hanya bisa memandangnya dengan wajah lelah.


“Nggak ada yang kayak gitu! Lagian siapa juga yang kau bilang diam-diam doyan, hah?”


“Beneran bukan? Tapi kliennya emang cewek cantik, ‘kan?”


“Kenapa kau bisa seyakin itu?”


“Eh? Cuma firasat aja, sih.”


Tomoya menjawab seolah itu hal yang pasti. Entah itu tebakan ngawur atau instingnya memang tajam, Haruto sendiri hanya bisa tersenyum kaku menghadapi sahabatnya yang sulit ditebak itu.


“Ayolah, Haru. Sebenernya gimana sih? Nggak ada kejadian yang agak erotis gitu?”


“Mana mungkin ada kejadian kayak gitu sama Toujou-san.”


“...Hah? Toujou-san?”


“...Ah…”


Haruto spontan menutup mulutnya.


“Eh!? Toujou-san... Toujou-san yang itu!? Toujou Ayaka!?”


“Nggak, bukan—”


“Nggak salah lagi! Dari reaksimu barusan, jelas-jelas Toujou Ayaka, ‘kan!”


Meskipun sangat terkejut, Tomoya tampaknya sudah yakin bahwa klien Haruto adalah Toujou.


Menyadari bahwa mustahil untuk mengelak, Haruto akhirnya mengaku sekaligus memintanya tutup mulut.


“Kau jangan bilang siapa-siapa, ya, kalau Toujou-san pesan jasa asisten rumah tangga. Kalau sampe bocor, aku bisa kena tegur perusahaan gara-gara nggak menjaga informasi pribadi dan privasi klien. Aku mempercayaimu, Tomoya. Tapi kalau kau ember, kita putus pertemanan.”


“Iya, iya, aku nggak bakal bilang siapa-siapa. Tapi, serius... Terus? Gimana?”


“Gimana apanya?”


Sambil melanjutkan bersih-bersih, Haruto menoleh sedikit bingung.


“Apanya kau bilang? Kamu ‘diundang’ kan ke rumahnya? Ke rumah Toujou-san yang itu.”


“‘Diundang’ gimana…”


Haruto menatapnya dengan wajah capek.


“Aku ke sana buat kerja, bukan buat main.”


“Iya, iya, aku tahu. Tapi rumahnya Toujou-san tuh gimana? Wangi nggak?”


Tomoya yang sama sekali tidak mendengarkan penjelasan Haruto malah makin bersemangat. Haruto pun mengembuskan napas panjang.


“Kau... mesum banget, tahu? Lagian itu termasuk informasi pribadi klien, jadi nggak bisa ku kasih tahu.”


“Cih, pelit amat. Aku kan sahabatmu!”


Haruto mengabaikan Tomoya yang sengaja memonyongkan bibir dan pura-pura ngambek seperti anak kecil.


Kalau yang melakukan itu gadis manis, mungkin hatinya bisa sedikit luluh. Tapi karena yang melakukannya cowok, rasa kesalnya malah tambah naik.


“Pelit, Haru pelit.. pelit, pelit, pelit...”


“Bacot, woy!”


Haruto melemparkan majalah musik yang sedang dipegangnya. Tomoya dengan gesit menghindar, lalu tertawa terbahak-bahak.


“Tapi, baguslah, Haru.”


“Hah? Apanya?”


“Siapa tahu liburan kali ini kamu bisa makin akrab sama Toujou-san. Bikin iri aja...!”


Sambil duduk bersila di kursinya, Tomoya menyeringai. Tapi Haruto Haruto tidak mengerti maksud ucapannya dan mengerutkan kening.


“Kenapa cuma gara-gara sekali ke rumahnya aku bisa jadi akrab?”


“Lah? Bukannya kamu bakal sering ke rumah Toujou-san selama kerja?”


Ucap Tomoya dengan wajah bingung. Haruto menggelengkan kepala, menyangkal ucapannya.


“Nggak bakal. Ini yang terakhir. Aku nggak bakal ke rumah Toujou-san lagi.”


“Eh? Kenapa?”


“‘Kenapa’ kau bilang? Kau pikir aja. Siapa yang nyaman ada teman sekelas datang ke rumah buat bersih-bersih dan ngerjain pekerjaan rumah? Kalau aku jadi Toujou-san, aku pasti minta orang lain buat kerja. Nggak enak banget rasanya kalau yang bantu teman sekelas.”


“Hmm? Masa?”


Tomoya memiringkan kepala, menatap teman sekelasnya yang sedang membersihkan kamarnya sendiri.


“Aku sih, nggak merasa nggak enak, tuh?”


“……”


Mendengar ucapan sahabatnya yang santai membuat sudut mulut Haruto berkedut.


“Kayaknya aku beneran harus minta bayaran.”


Gumam Haruto dengan suara pelan.


“Hah!? Jangan dong! Aku lagi bokek gara-gara beli ini, tahu!”


Dengan wajah panik, Tomoya meraih dan memeluk erat sebuah kotak hitam yang ada di dekatnya.


“Loh? Kamu beli yang baru?”


Kotak hitam yang ia peluk adalah tas gitar.


Tomoya memang sudah bermain gitar sejak SD, dan sekarang ia tergabung dalam sebuah band bersama murid dari sekolah lain.


“Iya, nih. Waktu ke toko alat musik kemarin, aku langsung jatuh cinta dia.”


Sambil berkata begitu, Tomoya terkekeh “Dehehe” sambil mengelus-elus gitarnya. Melihat tingkah aneh itu, Haruto sedikit ngeri dan memandang ke arah dinding tempat gitar lamanya bersandar.


“Emangnya gitar tuh perlu dua?”


“Perlu! Gitar nggak bakal pernah kebanyakan!”


“Oh gitu…”


Haruto, yang sama sekali tidak paham soal musik, hanya menjawab ala kadarnya dan kembali melanjutkan bersih-bersih.


“Woi! Setidaknya tunjukin sedikit minat kek!”


“Habisnya aku nggak ngerti soal alat musik, nggak ada niat buat main juga.”


“Jangan bilang gitu dong. Haru, kamu main gitar juga, gih. Kita bikin band bareng!”


Ucap Tomoya sambil menggerak-gerakkan tangannya.


“Bakal kuajari dari dasar sampai bisa, deh.”


“Nggak, makasih.”


“Eeeh... Kalau gitu jadi vokalis aja! Bandku rencananya mau manggung di festival budaya tahun ini. Ayo kita nikmati masa muda bareng-bareng!!”


Tomoya tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol. Tapi Haruto hanya menjawab datar sambil tetap membersihkan kamar.


“Nggak, makasih.”


“Ayolah... Kita bikin band bareng...”


Tomoya terus merengek seperti anak kecil, tapi Haruto tetap tak menggubris.


“Haru... Ayo bikin band bareng... Ayo nikmati musik bareng....”


“Iya, iya, nanti aku pikirin. Ngomong-ngomong, Haruka-chan nggak ada di rumah?”


Untuk mengalihkan pembicaraan, Haruto asal menjawab sambil menyinggung adik Tomoya.


“Dari pagi dia ikut bimbel musim panas.”


“Oh gitu. Haruka-chan tahun depan ujian, ya.”


Tomoya punya adik perempuan yang dua tahun lebih muda darinya.


Bagi Haruto, Tomoya bukan cuma sahabat, tapi juga teman masa kecil. Karena itu, adik Tomoya, sudah seperti adiknya sendiri.


Waktu kecil mereka sering main bertiga, dan Haruka selalu akrab memanggilnya dengan sebutan “Haru-nii”.


“Dia semangat banget, katanya tahun depan mau masuk SMA yang sama kayak Haru.”


“Oh gitu. Jadi tahun depan Haruka-chan bakal jadi adik kelas, ya.”


“Asal dia lulus ujian, sih.”


“Kalau Haruka-chan, aku yakin pasti bisa.”


Haruto tersenyum membayangkan hal itu. Tapi senyum itu membuat Tomoya menatapnya dengan ekspresi jahil.


“Woi, Haru. Padahal udah ada Toujou-san. Kamu masih mau selingkuh sama Haruka?”


“Hah? Ngomong ngawur apaan sih? Lagian kan sudah kubilang, aku nggak bakal ke rumah Toujou-san lagi.”


“Yang beneeer...?”


Tomoya menatapnya dengan senyum nakal, seolah sengaja melontarkan keraguan.



“Enggak bakal dipanggil lagi... waktu itu aku berpikir begitu”


Haruto bergumam sendiri di depan sebuah rumah mewah.


Kemarin, ia menegaskan pada Tomoya bahwa ia takkan pernah lagi dipanggil ke rumah keluarga Toujou. Sebenarnya, ia sendiri juga yakin tak akan dipanggil ke sana lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Karena itulah, sekarang ia diliputi berbagai kecemasan saat berdiri lagi di depan rumah itu.


“Jangan-jangan… aku dipanggil karena ada komplain? Misalnya, hamburger waktu itu basi dan bikin mereka keracunan? Enggak, nggak… kalau memang begitu, normalnya mereka akan langsung lapor ke kantor…”


Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Haruto.


Semuanya jelas tidak masuk akal. Haruto, yang terjebak dalam pikiran negatif, menekan tombol interkom dengan ujung jari yang terasa sangat berat.


‘Ting-tong.’


Jeda sesaat setelahnya terasa begitu panjang baginya.


‘Ya, yaa... Siapa, ya?’


Bertolak belakang dengan ketegangan Haruto, suara dari interkom terdengar sangat ceria.


“Ah, saya dari jasa asisten rumah tangga.”


‘Oh! Sudah kutunggu! Aku buka pintunya, tunggu sebentar ya!’


Haruto refleks memiringkan kepala.


Suara itu mirip suara Toujou, tapi nada bicaranya terlalu tinggi dan jauh dari kesan lembut gadis itu. Mungkin itu kakaknya Toujou.


Bagi Haruto, gambaran tentang Toujou Ayaka identik dengan keanggunan daripada energik. Saat ia datang ke rumah ini sebelumnya, Toujou memiliki kesan sebagai seorang kakak yang pendiam, penuh tanggung jawab, dan sangat perhatian pada adiknya.


Sambil memikirkan hal itu, terdengar suara pintu terbuka dan muncul sesosok wanita.


Wanita itu tampak berusia akhir dua puluhan. Wajahnya cantik dan auranya mirip dengan Toujou, karena itu Haruto langsung berasumsi itu kakaknya Toujou.


“Kamu Ootsuki-kun, ya! Ayo-ayo, masuk!”


“Ah, baik. Umm, Permisi.”


Sambutan yang begitu antusias membuat Haruto agak gugup. Ia pun melepas sepatunya dan mengenakan sandal yang ia bawa. Saat itu, ia sadar Ryota sedang mengintip dari ujung lorong.


“Halo, Ryota-kun.”


“...Halo.”


“Hamburger-nya enak?”


Wajah Ryota yang sempat waspada langsung melunak mendengar pertanyaan Haruto.


“Iya. Enak.”


“Aku senang Ryota-kun menyukainya.”


Haruto tersenyum lembut, membuat Ryota malu-malu.


“Ufufufu, aku dengar dari Ayaka, katanya Ryota makan hamburger-nya dengan sangat lahap.”


Wanita yang tampak seperti kakak Toujou itu tertawa kecil sambil menatap mereka dengan hangat.


“Ibu juga makan hamburger itu, ‘kan! Enak, ‘kan!”


Mungkin karena malu, Ryota berusaha menutupi perasaannya dengan meyakinkan bahwa betapa enaknya hamburger itu.


“Iya, enak banget kok.”


Ucapan itu membuat Haruto membeku di tempat.


Ternyata wanita yang ia kira kakaknya Toujou adalah ibunya. Wajahnya begitu muda, sama sekali tak tampak seperti ibu dari dua anak.


Tanpa menyadari keterkejutan Haruto, Ryota bertanya dengan antusias.


“Hari ini mau masak apa?”


“Yang sabar, Ryota. Kita antar Ootsuki-kun ke ruang tamu dulu.”


“Ah, iya.”


Ditegur dengan lembut oleh ibunya, Ryota mengangguk patuh dan mengajaknya masuk.


“Sebelah sini.”


“Baik.”


Sambil tersenyum, Haruto mengikutinya ke ruang tamu.


“Sebenarnya, dari pagi Ryota berisik terus, ‘Onii-chan yang bikin hamburger enak itu datang lagi nggak ya?’”


“Begitu, ya.”


Haruto yang masih syok karena wanita yang dikiranya kakaknya Toujou ternyata adalah ibunya, berusaha menjawab sambil tetap mempertahankan senyum ramah.


“Kalau begitu, izinkan saya memperkenalkan diri lagi. Terima kasih sudah menggunakan jasa kami. Saya Ootsuki, yang bertugas hari ini. Kali ini, permintaan dari Toujou-sama adalah paket tiga jam untuk bersih-bersih dan memasak makan malam, betul?”


“Iya, betul.”


Ibu Toujou mengangguk mendengar nada profesional Haruto, tapi wajahnya tampak agak tidak puas.


“Aku dengar dari Ayaka, katanya Ootsuki-kun ini teman sekelasnya ya?”


“Ah, iya, benar.”


“Kalau gitu, nggak usah bicara kaku begitu dong! Jangan panggil aku ‘Toujou-sama’, panggil saja Ikue.”


Permintaan itu membuat Haruto tampak bingung.


“Tapi, walaupun Anda ibu dari teman sekelas saya, Toujou-sama tetaplah pelanggan bagi saya…”


“Jangan bilang gitu dong, Yang santai saja, ya? Pleaaase...?”


“Tapi…”


“Nggak boleh, yaa...?”


Ibu Toujou menangkupkan kedua tangannya, memiringkan kepala, dan memohon dengan mata besar. Haruto sontak membuang muka.


​Ibu Toujou adalah wanita yang pantas disebut ‘penyihir cantik’, seperti Toujou Ayaka yang super cantik ditambah pesona dewasa. Permintaan mohon darinya itu merupakan senjata mematikan bagi Haruto yang masih puber.


“...Baiklah. I-Ikue-san.”


“Asyik! Makasih ya, Ootsuki-kun!”


“I-Iya…”


Pipinya memanas, dan ia menunduk sopan. Tapi tak lama kemudian, suara yang familiar terdengar dari arah pintu ruang tamu.


“Ah, Ootsuki-kun. Kamu udah datang, ya. Selamat datang.”


“Permisi, Toujou-sama... eh, Toujou-san.”


Begitu kata “sama” terucap, Haruto merasakan tatapan tajam dari Ikue dan buru-buru meralatnya.


“Terima kasih sudah menggunakan jasa kami lagi.”


“Iya. Waktu itu aku cerita ke orang tuaku kalau yang bantu bersih-bersih dan masak itu dari jasa asisten rumah tangga, dan petugasnya, Ootsuki-kun, teman sekelasku sendiri. Setelah itu, mereka langsung pengin ketemu. Ryota juga merengek terus ingin makan masakanmu lagi.”


Melihat Toujou menjelaskan dengan sedikit malu, Haruto menunduk hormat.


“Saya senang layanan kami memuaskan Anda. Kali ini pun saya akan berusaha memenuhi harapan Anda.”


“I-Iya. Mohon kerjasamanya.”


Toujou ikut membungkuk, seolah terbawa oleh Haruto. Melihat mereka berdua, Ikue berkata “Ara, ara,” sambil menempelkan tangan ke pipi.


“Kalian kan sekelas? Kenapa tidak lebih santai saja?”


Mendengar itu, Toujou tampak sedikit gelisah.


“Soalnya aku belum pernah ngobrol langsung sama Ootsuki-kun di sekolah…”


“Ara, kalau begitu jadikanlah ini kesempatan untuk mengakrabkan diri. Benar, ‘kan, Ootsuki-kun?”


“Eh!? Ah, ya. Umm, benar juga…”


Dilempar pertanyaan mendadak, Haruto bingung harus menjawab apa, tapi ia merasa akan gawat jika menolak. Jadi, ia mengiyakan dengan ragu.


Ikue tersenyum puas dan menatap putrinya.


“Ayaka, kamu tidak punya teman laki-laki, bukan? Ootsuki-kun kelihatannya anak baik, ini kesempatan bagus, loh.”


“T–Tunggu, Mama! Aku memanggil Ootsuki-kun ke sini bukan karena alasan itu!”


“Ara? Jadi Ayaka tidak ingin berteman dengan Ootsuki-kun?”


“Itu.. bukannya tidak mau...”


“Nah, berarti mau, ‘kan! Maaf ya, Ootsuki-kun, anak ini dari dulu memang tidak bisa jujur kalau soal beginian.”


“Tung, Mamaaa… ugh…”


Melihat Toujou yang menggeram dengan wajah merah padam, Haruto hanya bisa menanggapinya dengan tawa canggung, “Ahaha…” sambil buru-buru mengalihkan topik ke urusan pekerjaan.


“Anu, kalau begitu saya akan segera mulai bersih-bersih. Apa ada permintaan khusus ?”


“Permintaan ya… hmm, apa ya…”


Ikue berpikir sejenak, lalu menatap ke arah jendela.


“Oh iya, belakangan ini aku agak terganggu sama kotoran di jendela itu. Bisa kamu bersihkan sekalian?”


“Baik, saya mengerti.”


Haruto menundukkan kepala, lalu segera menuju jendela untuk memeriksanya dari dekat.


“Benar juga, memang sedikit kotor, ya.”


“Nah, ‘kan? Ini gara-gara hujan dan debu kuning kemarin.”


“Saya paham. Kalau begitu, saya akan mulai membersihkannya.”


Haruto menyingsingkan lengan kemejanya bersiap untuk bekerja.


“Ara, lengan Ootsuki-kun ternyata cukup berotot ya?”


Melihat lengan Haruto yang terekspos, Ikue berkata dengan nada kagum.


“Apa kamu ikut olahraga tertentu?”


“Sebenarnya, sejak kecil saya ikut dojo karate.”


“Wah! Ternyata Ootsuki-kun anak karate, ya! Keren banget!”


Ikue menepuk tangan dengan gembira, membuat Haruto tersipu dan membungkuk sedikit sambil berkata, “Terima kasih banyak.”


Sedikit senang karena pujian Ikue, Haruto pun mengambil perlengkapan yang ia bawa di tas dan mulai membersihkan jendela.


Untuk peralatan besar seperti vacuum cleaner, biasanya ia meminjam dari rumah pelanggan. Namun untuk peralatan kecil seperti kain lap, ia membawanya sendiri. Beberapa di antaranya ada yang disediakan perusahaan, ada pula yang disiapkannya sendiri. Saat Haruto memberi tahu neneknya akan kerja sambilan sebagai asisten rumah tangga, neneknya memberinya berbagai peralatan praktis yang mungkin berguna.


Haruto membasahi selembar koran dengan air untuk mengelap kaca.


Melihat itu, Ryota menatap dengan rasa ingin tahu.


“Pakai koran buat apa?”


“Kalau kamu mengelap kaca pakai ini, tintanya bisa membantu mengangkat kotoran.”


“Hee... keren! Aku juga mau coba!”


Ryota tampaknya semakin akrab dengan Haruto. Dia menempel di sampingnya sambil bertanya ini-itu.


“Mau coba? Kalau begitu, coba lap bagian sana pakai ini.”


“Ya!”


Haruto memberikan koran yang sudah diperas airnya pada Ryota, lalu menunjuk bagian yang bisa dijangkaunya.


“Maaf ya, Ootsuki-kun. Ryota jadi ganggu.”


Ikue, yang sedang membuka laptop di ruang tamu untuk bekerja, angkat bicara.


“Tidak, saya malah terbantu karena Ryota-kun ikut membantu.”


“Tuh, dengerin Bu! Aku kan lagi bantu!”


Ryota memanyunkan bibirnya karena ibunya menyebutnya “mengganggu”.


“Berkat Ryota-kun, kayaknya bersih-bersih jendelanya bakal lebih cepat selesai.”


“Ehehehe.”


Haruto mengusap lembut kepala Ryota, dan anak itu tertawa senang.


“Ara, ara, Ryota jadi nempel banget ya sama Ootsuki-kun. Udah kayak kakak-adik sungguhan aja. Iya, ‘kan, Ayaka?”


“Hah? Ah… iya, benar juga.”


Toujou yang sejak tadi bengong melihat Haruto bersih-bersih sambil menopang dagu, tersentak begitu tiba-tiba diajak bicara.


Melihat itu, Ikue menyeringai nakal.


“Ayaka kok bengong gitu, kamu kesal karena Ryota direbut Ootsuki-kun? Atau jangan-jangan…”


Sambil tersenyum jahil, ibunya berkata,


“Kamu terpesona, ya, lihat Ootsuki-kun?”


“A!! M–Mama ngomong apa sih!!”


Toujou sontak berdiri dari kursinya dan memelototi ibunya.


“Sampai marah gitu... masa muda memang indah ya...”


“Bukan begitu!! Bukan karena itu!!”


Suara keras Ayaka membuat Ryota yang sedang mengelap jendela menoleh ke arahnya dengan bingung.


“Onee-chan, kenapa mukamu merah begitu? Lagi demam?”


“E-Enggak merah! Enggak demam! Ih, bodo amat!”


Berseru seperti itu, Toujou bergegas meninggalkan ruang tamu.


“Ibu, Onee-chan kenapa?”


Ryota, yang tidak mengerti tingkah kakaknya, menatap pintu ruang tamu yang baru saja dilewati kakaknya dengan bingung. Ikue tertawa pelan, “Ufufufu.”


“Onee-chan itu lagi menikmati hidup.”


“Tapi kok tadi Onee-chan kelihatannya nggak senang?”


“Fufu, Ryota masih terlalu kecil untuk mengerti.”


Sambil tersenyum geli, Ikue mengalihkan pandangannya ke arah Haruto yang masih sibuk mengelap kaca di samping Ryota.


“Aku senang sih jika putriku juga mengalami musim semi dalam hidupnya…”


Ucapan lirih penuh kasih seorang ibu, yang terdengar sedikit sedih namun juga bahagia, sepertinya samar-samar tertangkap oleh telinga Haruto yang tengah sibuk bersih-bersih.



Satu jam setelahnya, Haruto lanjut mengepel lantai dan membersihkan toilet.


“Ikue-san, saya sudah selesai bersih-bersih. Apa ada permintaan lain?”


“Tidak, sudah perfect! Terima kasih banyak, ya.”


Haruto melaporkan bahwa pekerjaannya telah selesai. Di ruang tamu, Ikue yang tengah bekerja dengan laptopnya tampak puas mendengar laporan itu.


“Ini pertama kalinya aku bisa bekerja seproduktif ini di rumah! Biasanya waktu banyak terbuang buat bersih-bersih dan cuci baju, jadi susah fokus. Benar-benar terbantu banget, deh.”


“Saya senang bisa membantu. Kalau begitu, apa ada permintaan khusus untuk menu makan malam nanti?”


Mendengar itu, Ikue menyentuh dagunya sambil berpikir.


“Hmm, gimana, ya... Karena panas, rasanya ingin makan sesuatu yang segar. Tapi kalau bisa, yang agak mengenyangkan juga.”


Sambil berkata begitu, ia menatap Ryota yang sedang tertidur di sofa ruang tamu.


Ryota sepertinya sangat menikmati waktu saat membantu Haruto bersih-bersih tadi. Ia menempel terus pada Haruto hampir sepanjang waktu, tapi karena terlalu bersemangat, akhirnya kelelahan dan mulai mengantuk, jadi Haruto menggendongnya ke sofa dan menidurkannya.


“Ryota-kun sedang dalam masa pertumbuhan, ya.”


“Iya, betul. Kalau aku sih tidak masalah makan somen dan semacamnya, tapi Ryota.

..”


Memang besar, somen sangat pas dimakan saat musim panas, tapi bagi anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, itu saja mungkin kurang mengenyangkan dan gizinya tidak seimbang.


Setelah berpikir sejenak, Haruto mengusulkan suatu menu.


“Kalau begitu, bagaimana kalau pasta krim rasa lemon? Rasanya segar karena ada sedikit asamnya.”


“Oh, ide bagus!”


“Lalu untuk supnya, bagaimana dengan pottage dingin, dan salad caprese?”


“Kedengarannya bakal jadi makan malam yang cantik dan berkelas, ya! Ah, ngomong-ngomong soal bahan makanan… kulkas lagi kosong nih. Bisa tolong sekalian belanja?”


“Baik, tidak masalah.”


Belanja bahan makanan termasuk dalam ruang lingkup pekerjaan asisten rumah tangga, jadi Haruto mengangguk tanpa ragu. Ikue langsung menyerahkan sebuah amplop padanya.


“Segini cukup?”


Di dalam amplop itu, ada tiga lembar uang 10.000 yen.


Melihat jumlahnya, Haruto merasa sedikit tertegun. “Ah, jadi begini yang namanya orang kaya,” pikirnya.


“Jumlahnya saya rasa lebih dari cukup. Apa ada permintaan khusus untuk supermarket atau bahannya?”


Tidak sedikit orang yang punya preferensi khusus soal toko tempat berbelanja atau asal bahan makanan, tapi Ikue hanya melambaikan tangan santai.


“Nggak ada, sih. Kamu tahu lokasi supermarketnya, ‘kan?”


“Iya, saya tahu. Kalau begitu, saya berangkat sekarang.”


Ketika Haruto hendak keluar dari ruang tamu, Ryota yang semula tertidur di sofa tiba-tiba bangun.


“...Loh? Onii-chan mau ke mana?”


Tanyanya sambil mengucek mata.


“Mau pergi belanja bahan buat makan malam.”


“Belanja?”


“Iya, betul.”


Begitu Haruto menjawab, mata Ryota yang tadinya sayu langsung terbuka lebar.


“Ryota juga mau ikut!!”


Ia melompat turun dari sofa dan berlari ke arah Haruto. Rupanya, setelah bersih-bersih tadi, ia sudah benar-benar dekat dan nyaman dengan Haruto.


“Nggak boleh, Ryota. Ootsuki-kun perginya bukan untuk main, tahu?”


“Eeeh! Tapi aku juga mau ikut belanja!”


Ryota mulai merengek. Ikue menatapnya dengan wajah bingung.


Dia merasa tidak enak jika Haruto harus berbelanja sekaligus menjaga Ryota. Ia pun menggeleng pelan.


“Nggak boleh. Ootsuki-kun kan sedang kerja. Kamu tunggu di rumah saja, ya, sampai dia pulang.”


Mendengar itu, Ryota menunduk dan mengepalkan tangan kecilnya.


“Padahal tadi aku sudah bantu Onii-chan bersih-bersih…”


Sepertinya ia benar-benar ingin ikut dengan Haruto, sampai-sampai matanya mulai berkaca-kaca.


“Repot, ya. Padahal biasanya dia anak yang penurut. Sepertinya dia benar-benar suka sama Ootsuki-kun.”


“Anu, saya tidak keberatan, kok.”


Namun Ikue masih tampak ragu, seperti merasa tidak enak membebani Haruto dengan tanggung jawab tambahan. Setelah berpikir sejenak, ia tampak mendapatkan ide.


“Kalau begitu, bagaimana kalau minta Ayaka ikut juga?”


Ikue keluar dari ruang keluarga dan berjalan ke arah tangga di lorong.


“Ayakaa... sini sebentar!”


Ikue memanggil dengan suara agak keras.


Sejak tadi, setelah digoda ibunya di ruang tamu, Toujou mengurung diri di kamar.


“Ayaka...!”


Kali ini panggilan itu dijawab dengan bunyi pintu yang terbuka dan Toujou muncul.


“...Apa, sih?”


Melihat putrinya yang agak kesal, Ikue hanya tersenyum lembut.


“Ryota ngotot mau ikut Ootsuki-kun belanja. Jadi, bisa tolong ikut juga untuk jagain Ryota?”


“Eh…”


Toujou menatap ibunya dengan tatapan curiga.


“Mama nggak ada maksud aneh-aneh, kok. Coba pikir, kasihan, ‘kan, Ootsuki-kun, sudah disuruh belanja, disuruh jaga Ryota pula.”


“Itu... iya, sih.”


“ ‘kan? Jadi, tolong, ya, temani mereka.”


“...Baiklah.”


Begitu Ayaka mengangguk, Ikue tersenyum lebar.


“Ryota, Onee-chan bakal ikut juga, jadi kamu boleh belanja bareng.”


“Asyik!!”


Ryota bersorak gembira sambil mengangkat kedua tangannya, lalu berlari ke arah kakaknya yang baru turun tangga.


“Makasih, Onee-chan! Aku sayang Onee-chan!!”


“Iya, iya, udah. Mau ikut belanja, ‘kan? Ganti baju, gih.”


Meskipun jawabannya terdengar ketus, sudut bibirnya sedikit terangkat.


“Maaf ya, Ootsuki-kun. Aku juga mau siap-siap, bisa tunggu sebentar?”


“Tidak apa-apa, silakan.”


Setelah berkata begitu, Toujou kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian, lalu muncul lagi.


Ryota juga sudah selesai ganti baju, memakai sepatu, dan menunggu di pintu depan dengan tidak sabar.


“Onee-chan lama banget! Cepat dong!!”


“Iya, iya, sabar sedikit, Ryota.”


Adiknya mendesak kakaknya. Kakaknya menegur adiknya. Melihat interaksi kakak beradik itu, Haruto tersenyum kecil sambil mengenakan sepatunya.


“Kalau begitu, kami berangkat.”


“Aku juga!”


“Berangkaaat!!”


Mendengar tiga salam “berangkat” yang berbeda-beda, Ikue yang mengantar sampai pintu melambaikan tangan sambil tersenyum.


“Baik, hati-hati di jalan, ya. Jangan lupa perhatikan kendaraan.”


Mereka bertiga pun keluar dari gerbang rumah Toujou dan menuju supermarket.


Sejak keluar rumah, Ryota terlihat sangat bersemangat hingga tak bisa diam. Melihat itu, Haruto merasa sedikit khawatir jika tiba-tiba ada mobil muncul, jadi dia mengajak Ryota bicara.


“Ryota-kun, kita gandengan tangan, ya, sampai ke supermarket.”


“Iya!!”


Ryota mengangguk patuh, lalu mendekat dan menggenggam tangan Haruto dengan wajah berbinar.


“Maaf ya, Ootsuki-kun, jadi ngerepotin kamu gara-gara Ryota manja.”


“Ah, nggak apa-apa kok.”


Haruto menjawab dengan senyum ramah.


Sambil berjalan ke supermarket, ia sesekali mengangkat lengannya tinggi-tinggi sambil membiarkan Ryota bergelantungan seperti sedang bermain.


“Ootsuki-kun orangnya baik, ya.”


“Eh? Masa, sih?”


Kini Haruto sedang menggendong Ryota di pundaknya. Mendengar ucapan Toujou, ia menanggapinya dengan nada bingung.


“Iya, baik. Kamu perhatian banget sama Ryota.”


“Ah, itu mungkin karena aku anak tunggal.”


Toujou menatap Ryota yang tertawa riang di atas pundak Haruto dengan pandangan lembut. Haruto pun tersenyum menanggapinya.


“Kalau lagi main sama Ryota-kun, rasanya kayak beneran punya adik sendiri. Aku jadi mikir, mungkin begini rasanya kalau punya adik.”


“Kadang dia suka manja dan agak nyebelin, loh.”


“Justru itu yang bikin iri. Kalau sendirian, bahkan berantem pun nggak bisa.”


“Iya juga sih.”


“Onee-chan sama Onii-chan lagi ngomongin apa?”


Ryota yang sedang digendong menatap ke bawah dengan ekspresi penasaran.


“Lagi ngomongin Ryota dan Ootsuki-kun kayak kakak-adik. Tuh, supermarketnya sudah dekat, ayo turun dari Ootsuki-kun.”


“Okeee.”


Disuruh oleh kakaknya, Ryota pun turun dari pundak Haruto dengan payuh.


“Hei, hei, Onii-chan! Nanti gendong aku lagi, ya?”


“Iya, nanti kalau kita belanja bareng lagi.”


“Asyik!!”


Ryota tersenyum lebar mendengar jawaban itu.


Melihat wajahnya, Haruto dan Toujou pun ikut tersenyum.


Tak lama kemudian, mereka bertiga tiba di supermarket dan mulai membeli bahan-bahan untuk makan malam.


“Oh iya, Ootsuki-kun. Menu makan malam hari ini apa, ya?”


Toujou bertanya sambil mengambil keranjang belanja di pintu masuk.


“Pasta krim rasa lemon, pottage dingin, dan salad caprese.”


“Oalah, pasta krim. Berarti butuh susu sama krim kental, ya?”


“Betul, terus perlu bacon juga. Kalau ada sayuran hijau yang lagi murah, bisa ditambahin juga biar warnanya cantik.”


Sambil mengobrol begitu, mereka berjalan ke bagian sayur. Saat itu, Ryota yang mendengar pembicaraan mereka langsung berlari ke rak asparagus.


“Onii-chan! Ini seikatnya 98 yen! Murah ‘kan!?”


“Oh, ini memang murah. Ryota-kun pinter, ya.”


Asparagus yang dibawa Ryota cukup banyak dalam satu ikat. Meskipun batangnya agak kecil, justru bagus untuk dimasukkan ke pasta karena lebih mudah tercampur dengan mie.


Haruto menerima asparagus itu sambil mengusap kepala Ryota dengan lembut.


“Terima kasih, ya.”


Ryota pun tersenyum senang.


“Toujou-san, biar aku yang bawa keranjangnya.”


“Ah, ya. Makasih.”


Haruto mengambil alih keranjang dari Toujou dan memasukkan asparagus ke dalamnya.


Saat melihat gerak-gerik Haruto yang begitu alami, Toujou menatapnya lekat-lekat.


“Hmm? Ada apa?”


“...Ootsuki-kun punya pacar nggak?”


“Eh? Nggak, nggak punya, sih…”


Haruto yang tidak mengerti maksud pertanyaan Toujou, memiringkan kepalanya bingung.


“Oh gitu… soalnya kamu keliatan natural banget pas bantu bawain keranjangnya, jadi kukira udah terbiasa.”


“Kan sekarang lagi kerja. Nggak mungkin kan nyuruh Toujou-san, sebagai pelanggan, bawain barang.”


“Oh gitu... Pelanggan, ya…”


“Iya. Ah, labunya juga lagi murah, nih. Gimana kalau pottage dinginnya kita buat dari labu aja?”


Haruto berpindah ke bagian labu, memilih-milih labu mana yang akan dibeli sambil bertanya pada Ryota, “Suka labu?”


Sementara itu, Toujou hanya menatap punggung Haruto dalam diam.


Ia berbicara dengan lembut pada Ryota, sambil sesekali tersenyum ramah. Entah kenapa, pandangan Toujou tak bisa lepas darinya.


Tak lama, Haruto mengajaknya bicara.


“Labu bisa tahan lama kalau bijinya dibuang dan dibekukan. Jadi, boleh nggak aku beli satu utuh aja?”


“Eh? Ah… iya, boleh kok.”


Ayaka yang sempat bengong karena pikirannya melayang, segera mengangguk begitu sadar.


“Baik, kalau begitu, selanjutnya kita cari tomat. Ryota-kun, ayo kita lihat tomat.”


“Iya! Tomat!”


Haruto memasukkan labu ke keranjang, menggandeng tangan Ryota, dan berjalan ke arah rak tomat.


Sedetik kemudian, Toujou buru-buru menyusul di belakang mereka.


Setelah itu, mereka pun lanjut berbelanja bahan-bahan yang diperlukan.


Saat itu, Haruto semakin paham kenapa Toujou Ayaka disebut idol sekolah.


Karena sepanjang waktu, ia bisa merasakan tatapan orang-orang di sekitar mereka.


Orang-orang di sekitar melirik-lirik ke arah Toujou, jadi Haruto tidak ditatap secara langsung. Tapi, kendati demikian, ia tetap merasa risi. Pasti Toujou yang ditatap secara langsung, merasa jauh lebih tidak nyaman.


Haruto khawatir dan mencoba mengamati keadaannya, tapi Toujou sendiri sepertinya sudah terbiasa dengan tatapan itu dan tidak terlalu ambil pusing.


Setelah membeli sayur, bacon, keju, susu, dan bahan-bahan lain, mereka akhirnya keluar dari supermarket. Haruto menghela napas lega.


Sepertinya dia juga sedikit lelah mental gara-gara tatapan tadi. Meskipun sebagian besar tatapan tertuju pada Toujou, ada juga beberapa orang yang menatapnya dengan pandangan iri.


“Toujou-san, repot juga, ya, kalau di tempat ramai.”


Haruto tanpa sadar bersimpati pada Toujou.


“Eh? Ah, ya, begitulah. Akhir-akhir ini udah agak terbiasa sih, tapi tetep aja bikin nggak nyaman.”


Toujou awalnya tampak agak bingung, tapi kemudian dia mengerti maksud Haruto dan tersenyum canggung.


“Kadang-kadang, gimana, ya, bilangnya... ada juga tatapan yang terasa ‘lengket’ gitu. Kadang aku jadi takut.”


“Begitu, ya. Ternyata kelewat manis juga bikin repot, ya.”


“Man…!?”


Gumaman Haruto membuat langkah Toujou langsung terhenti.


“Hm? Ada apa?”


Haruto bertanya heran pada Toujou yang mendadak berhenti.


“E-Enggak! Bukan apa-apa!”


Dia tersenyum canggung dan mulai mempercepat langkahnya.


Ryota, yang mendongak melihat wajah kakaknya, melontarkan pertanyaan polos.


“Onee-chan? Mukamu merah, loh?”


“I-Ini karena panas! Lekas pulang, yuk!”


Toujou buru-buru memalingkan wajahnya dari adiknya yang mencoba mengintip, lalu mempercepat langkahnya, bergegas pulang.


Setelah selesai berbelanja di supermarket, Haruto dan yang lainnya kembali ke rumah.


Sambil membawa tas belanja di satu tangan, Haruto masuk ke ruang makan. Di sana, ia melihat seorang pria tak dikenal sedang duduk di meja makan.


“Selamat datang. Kamu pasti Ootsuki-kun dari jasa asisten rumah tangga, ‘kan?”


“Ah, iya. Umm…”


Haruto menanggapinya agak gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana di hadapan pria yang baru pertama kali ia temui. Tepat saat itu, Ryota berlari melewatinya dan menghampiri pria itu.


“Ayah, selamat datang di rumah!”


“Aku pulang, Ryota! Belanjanya menyenangkan?”


Sambil tersenyum lembut, pria itu mengangkat putranya. Sepertinya, pria yang menggendong Ryota adalah ayahnya.


Haruto pun segera meluruskan punggungnya dan menunduk sopan.


“Perkenalkan, saya Ootsuki dari jasa asisten rumah tangga.”


“Wah, sopan sekali. Aku ayah dari Ryota dan Ayaka.”


Sambil menggendong putranya, ayah Toujou menundukkan kepala dengan ramah.


“Hari ini Papa pulangnya cepat, ya.”


Ucap Toujou, yang masuk ke ruang makan setelah Haruto dan Ryota.


“Iya, soalnya hari ini kan Ootsuki-kun datang. Jadi Papa sengaja menyelesaikan pekerjaan lebih awal dan pulang cepat.”


Sambil berkata begitu, ayah Toujou menatap Haruto dengan penuh harap.


“Kudengar kali ini kamu akan membuat pasta krim, ya? Hamburger yang kemarin enak sekali, jadi masakan kali ini juga sangat kunantikan.”


“Terima kasih banyak. Saya akan berusaha memenuhi harapan Anda.”


Sambil berkata begitu, Haruto langsung menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam.


Pertama, ia memotong labu untuk pottage dan memasukkannya ke dalam microwave. Selagi menunggu, ia menggarami asparagus untuk pasta, kemudian mengiris tomat untuk caprese dan mendinginkannya di kulkas.


Gerakan Haruto di dapur tampak tanpa ragu, ia memasak dengan sangat terampil.


Melihat pemandangan itu, Ikue berdecak kagum.


“Cekatan sekali! Laki-laki yang jago masak memang keren, ya!”


Ayah Toujou, yang duduk di sebelah Ikue, mengangguk setuju.


“Melihat Ootsuki-kun memasak mengingatkanku pada koki Jepang profesional. Bikin terpana.”


“Terima kasih. Saya senang mendengarnya. Saya akan berusaha agar rasanya juga memuaskan.”


Sambil menumbuk labu yang baru keluar dari microwave, Haruto menundukkan kepala dengan sedikit senyum malu.


“Hmm, tak kusangka di kelas Ayaka ada anak hebat sepertimu.”


Ayah Ayaka tampaknya sangat terkesan dengan kesopanan dan kinerja Haruto. Ia pun bertanya pada putrinya yang duduk di seberang.


“Ayaka, apa kamu akrab dengan Ootsuki-kun?”


“Eh? Umm… nggak juga sih…”


Mendengar jawaban putrinya, Ayah Toujou menatap Toujou dan Haruto secara bergantian dengan ekspresi penuh minat.


“Beneran, kok! Sebelum dia datang ke sini buat kerja, aku hampir nggak pernah bicara sama Ootsuki-kun.”


“Hmm. Begitu, ya.”


Sambil mengangguk pelan, pria itu lalu menatap Haruto. Merasakan tatapan Ayah Toujou, Haruto menjawab hal serupa.


“Iya, saya jarang dapat kesempatan bicara dengan Toujou-san di sekolah.”


“Begitu, ya. Tapi, Ootsuki-kun kelihatannya anak yang serius dan bisa dipercaya. Papa harap, kesempatan ini bisa membuatmu akrab dengan putri Papa.”


“Papa, apaan, sih!?”


Toujou langsung panik, lalu memandang Haruto dengan perasaan tidak enak.


“Maaf ya, Ootsuki-kun. Papa suka ngomong aneh.”


“Tidak, tidak. Tak masalah. Yah, dipanggil ke rumah Toujou-san untuk bekerja begini juga mungkin semacam takdir. Seperti yang Ayahmu bilang, saya juga berharap kita bisa mulai berteman sebagai teman sekelas.”


“Eh? Ah, iya! I-Iya, benar juga!”


Toujou tampak sedikit kaget dengan ucapan Haruto, namun ia tersenyum cerah, terlihat tidak keberatan. Melihat mereka berdua, Ayah Toujou berdeham pelan.


“Ehem. Ootsuki-kun, Papa senang kamu mau berteman dengan putri Papa... Tapi Papa tak ada urusan untuk dipanggil ‘Ayah’ olehmu!!”


Ayah Toujou mengucapkannya dengan tegas, seolah itu adalah dialog pamungkasnya.


“Ah, maaf! Umm, maafkan saya”


Haruto buru-buru menundukkan kepala dan meminta maaf dengan panik.


“Ahahahaha! Tidak, tidak, bercanda, kok, Ootsuki-kun.”


Sebaliknya, Ayah Toujou tertawa terbahak-bahak.


“Sudah lama aku ingin mengucapkan kalimat ini setidaknya sekali seumur hidup.”


“Wah… kaget saya.”


“Papa… payah banget…”


Diberitahu itu hanya bercanda, Haruto menghela napas lega. Putrinya, Toujou, menatap ayahnya dengan tatapan menusuk dan menggumamkan kata-kata celaan.


Haruto hanya bisa tersenyum kaku mendengar lelucon Ayah Toujou dan melanjutkan persiapan makan malam.


Tak lama kemudian, Ryota yang tadinya bermain dengan ibunya menghampiri Haruto.


“Hei, Onii-chan.”


“Hm? Ada apa, Ryota?”


“Onii-chan nggak ikut makan bareng?”


Haruto bingung harus menjawab apa saat melihat tatapan polos Ryota.


Kontrak kerja Haruto sebagai asisten rumah tangga adalah dari pukul tiga sore sampai pukul enam sore. Jika ia ikut makan malam bersama keluarga Toujou, berarti ia akan melewati jam kontraknya.


Ia sendiri tidak masalah, tapi ia takut keluarga Toujou akan merasa terganggu jika tetap tinggal setelah melewati jam kontrak.


Sesaat sebelum ia memberitahu Ryota bahwa ia tidak bisa ikut makan, ayah Toujou angkat bicara.


“Ide bagus! Gimana, Ootsuki-kun? Kalau tidak keberatan, maukah kamu ikut makan malam bersama kami!”


Melihat antusiasme Ayah Toujou, Haruto jadi bingung.


“Saya sih tidak keberatan, tapi kan saya di sini untuk bekerja…”


Melihat keraguan Haruto, Ikue ikut tersenyum.


“Duh, Ootsuki-kun, tadi kan sudah kubilang? Kamu tuh teman sekelas Ayaka, jadi santai saja.”


“Tapi... apa Toujou-san tidak merasa terganggu?”


“Tentu saja tidak!” / “Aku nggak masalah, kok.”


Ayah dan anak itu merespons bersamaan. Wajar saja, keduanya sama-sama ‘Toujou’.


“Hahaha, Ootsuki-kun, kamu lihat sendiri ‘kan? Kalau kamu panggil ‘Toujou-san’, kami semua bisa menjawab. Soalnya di sini semuanya ‘Toujou-san’.”


Setelah suara mereka tumpang tindih, sang ayah menatap putrinya dan tertawa, “Hahaha.”


“Oh ya, namaku Shuuichi. Ribet kalau pakai ‘Toujou-san’, jadi aku akan senang kalau kamu memanggilku begitu.”


Haruto tampak sedikit ragu dengan permintaan itu, tapi akhirnya menuruti.


“Umm, baiklah… Shuuichi-san.”


Shuuichi mengangguk puas mendengar jawaban Haruto.


“Kalau begitu... Shuuichi-san, apa tidak keberatan kalau saya ikut makan malam?”


“Tentu saja.”


Haruto tersenyum lemah mendengar jawaban cepat Shuuichi.


“Toujou-sa—ah... Ayaka-san, apa tidak keberatan?”


Haruto nyaris memanggil Ayaka “Toujou-san,” tapi begitu melihat Shuuichi mengangkat alis sambil bergumam “Hm?” ia segera menggantinya dengan menyebut namanya langsung.


“I–Iya. Aku juga nggak keberatan.”


Pipinya merona saat menjawab, sepertinya ia tidak terbiasa namanya dipanggil laki-laki.


Memang benar, di sekolah, Haruto hampir tidak pernah melihat Ayaka dikelilingi ataupun berbicara dengan laki-laki. Kalaupun ada, paling hanya sebatas menyampaikan pengumuman kelas. Dalam situasi seperti itu, setidaknya di sekolah, takkan ada siswa laki-laki yang berani memanggilnya ‘Ayaka’.


Dan sekarang, Haruto malah memanggil namanya dalam situasi yang seolah direstui oleh orang tuanya.


Haruto sendiri tak tahu harus merasa senang, malu, atau gugup. Rasanya campur aduk.


Dan di tengah suasana itu, Ryota menatapnya dengan senyum polos.


“Hari ini Onii-chan bakal ikut makan bareng?”


Dari percakapan sebelumnya, Ryota sepertinya sudah menangkap bahwa Haruto akan ikut makan. Sambil menarik-narik ujung baju Haruto yang sedang berdiri di dapur, ia berkata dengan senyum lebar.


Luluh melihat senyum cerah Ryota, Haruto berjongkok dan mengusap kepalanya.


“Benar. Hari ini aku bakal makan malam bareng Ryota-kun.”


“Asyiiiiik!!”


“Kalau begitu, tunggu sebentar lagi ya, sampai masakannya selesai.”


“Iya!”


Ryota mengangguk kuat-kuat, lalu kembali menghampiri ibunya di ruang tamu.


Terhibur oleh senyum Ryota, Haruto pun kembali bersemangat untuk menyajikan makan malam terbaik bagi keluarga Toujou.


Menu hari ini adalah pasta krim rasa lemon, pottage labu dingin, dan caprese. Hidangan yang segar dan cocok untuk malam musim panas yang terik.


Haruto menyaring labu yang telah direbus hingga halus, mencampurnya dengan susu dan krim sambil diaduk, kemudian kembali mendinginkannya di kulkas. Setelah itu, ia memasukkan pasta ke dalam panci air mendidih. Sambil menunggu, ia menumis bacon dan asparagus dengan minyak zaitun.


Aroma harum bacon dan minyak zaitun yang elegan mulai menguar dari dapur, membuat ekspresi Shuuichi jadi rileks.


“Ootsuki-kun, kamu belajar masak dari siapa?”


“Saya belajar dari nenek saya. Bukan hanya masak, pekerjaan rumah seperti bersih-bersih, semua nenek saya yang ajari.”


“Hoho, sepertinya nenekmu orang yang hebat, ya.”


“Terima kasih banyak.”


Haruto menundukkan kepala kepada Shuuichi.


Bagi Haruto, neneknya adalah guru dalam urusan rumah tangga. Mendengar gurunya dipuji, Haruto selaku muridnya pun ikut tersenyum.


Beberapa saat kemudian, Haruto selesai memasak dan menata makan malam untuk lima orang di meja makan.


“Wah! Rasanya seperti sedang di restoran Italia!”


Melihat hidangan yang tersaji di meja, Ikue berseri-seri.


“Terima kasih, Ootsuki-kun. Ayo, kita makan.”


Mendengar ucapan Shuuichi, seluruh anggota keluarga Toujou duduk di meja. Haruto ikut bergabung dengan sedikit canggung.


“Kalau begitu, selamat makan.”


Semua ikut mengucapkan “selamat makan” dan menyusul Shuuichi menangkupkan tangan.


Sesaat kemudian, Ryota langsung menyambar garpu dengan kecepatan kilat, menggulung pasta krim, dan melahapnya.


“Enak!! Onii-chan! Ini enak banget!!”


“Ara, ara, Ryota. Makan yang tenang dong. Nanti tersedak, loh.”


Melihat Ryota yang menyantap pasta secepat orang minum air, Ikue memperingatkannya. Namun, telinga Ryota yang sedang terhipnotis pasta tidak mendengar apa pun. Isi piringnya sudah hampir habis.


Melihat Ryota hampir menghabiskan makanannya dalam waktu kurang dari tiga menit, Haruto hanya bisa tersenyum.


“Ryota-kun, aku sudah siapkan porsi tambahan. Jadi makannya pelan-pelan saja ya.”


“Benarkah!? Aku mau tambah!!”


Mendengar itu, mata Ryota langsung berbinar. Namun Ayaka yang duduk di sampingnya segera menegur.


“Nggak boleh, Ryota. Kalau mau tambah, habiskan dulu semuanya sampai bersih.”


“Iya!”


Menuruti teguran kakaknya, Ryota buru-buru menyendok sisa pasta di piringnya dengan garpu. Haruto tersenyum melihat tingkahnya. Tiba-tiba, terdengar suara pelan dari sebelahnya.


“Ootsuki-kun, anu... apa tambahannya masih banyak?”


Ketika Haruto menoleh ke arah Shuuichi, ia melihat piringnya sudah bersih mengilap. Rupanya Shuuichi makan lebih cepat daripada Ryota.


“Ya, masih ada.”


“Begitu, ya! Kalau begitu, aku minta tambah.”


“Ah!? Ayah curang! Aku juga mau tambah!!”


Ryota, yang telah menghabiskan makanannya tanpa sisa, ikut menyodorkan piringnya pada Haruto, tidak mau kalah dari ayahnya.


Melihat permintaan ayah dan anak Toujou itu, Haruto tersenyum tipis sambil menerima piring mereka dan pergi ke dapur. Ia bersyukur sudah memasak agak banyak, mengingat Ryota sedang dalam masa pertumbuhan. Setelah menyiapkan dua porsi tambahan, ia kembali ke meja.


Begitu piring diletakkan, keduanya menatapnya dengan mata berbinar.


‘Benar-benar mirip, ayah dan anak,’ pikir Haruto sambil terkekeh. Reaksi mereka sama persis. Haruto jadi membayangkan mereka seperti anjing. Shuuichi seperti Golden Retriever, dan Ryota seperti Shiba Inu. Ia bahkan hampir tertawa sendiri membayangkan keduanya mengibaskan ekor dengan penuh semangat di depan makanan, sampai akhirnya ia menggigit bibir untuk menahannya.


“Ufufu, kamu juga lahap sekali, ya. Ada-ada saja.”


Ikue melihat reaksi para lelaki dengan ekspresi geli.


“Rasanya benar-benar seperti di restoran mahal. Iya, ‘kan, Ibu?”


“Iya, benar. Pottage-nya juga sangat lembut, bumbunya pas dan enak.”


“Terima kasih banyak. Saya senang kalau cocok di lidah Anda.”


Haruto menjawab dengan sopan, membuat Ikue bertanya dengan penuh minat.


“Kalau boleh tahu, Ootsuki-kun paling mahir masak apa?”


Pertanyaan itu membuat Shuuichi dan Ayaka ikut menatap Haruto dengan minat.


Hanya Ryota yang tampaknya tidak mendengar apa pun dan tenggelam dalam makanan di depannya.


“Sebenarnya... hamburger kemarin juga salah satu masakan andalan saya.”


Haruto bisa memasak masakan Jepang, Barat, dan Tiongkok. Namun karena neneknya, selaku guru, ahli dalam masakan Jepang, masakan andalan Haruto pun kebanyakan masakan Jepang.


“Saya cukup mahir dengan masakan Jepang seperti nikujaga dan chikuzenni.”


Keduanya adalah masakan yang sering dibuatkan neneknya sejak ia kecil, sehingga punya tempat khusus di hatinya.


“Aku jadi ingin coba nikujaga buatan Ootsuki-kun…”


“Ara, ara, Ayaka. Perutmu sudah ditaklukkan Ootsuki-kun, ya?”


“Ap- Mama! Jangan ngomong yang aneh-aneh!”


“Fufufu, maaf ya.”


“Iih…”


Putrinya memanyunkan bibir menanggapi keusilan ibunya.


“Tapi, yah, aku jadi ingin mencoba berbagai masakan Ootsuki-kun yang lain.”


“Iya, aku setuju denganmu.”


Ikue mengiyakan perkataan Shuuichi.


“Karena itulah, Ootsuki-kun.”


Shuuichi mengubah posisinya menghadap Haruto, lalu mengambil selembar kertas dari rak di belakang meja makan dan meletakkannya di atas meja agar Haruto bisa melihat.


“Itu, brosur kontrak langganan...”


“Betul. Kami sangat puas dengan hasil kerjamu. Jadi, mulai sekarang, kami ingin membuat kontrak langganan jasa asisten rumah tangga di rumah kami, khusus dengan Ootsuki-kun.”


Mendengar itu, Haruto terkejut.


“Anu... umm, terima kasih. Saya... sangat senang.”


“Tidak, tidak! Justru kami yang seharusnya berterima kasih.”


“Betul. Mulai sekarang, mohon kerja samanya, ya.”


Shuuichi dan Ikue tersenyum ramah. Haruto menoleh ke arah Ayaka, yang menatapnya sambil sedikit menunduk.


“Mohon kerja samanya, ya, Ootsuki-kun.”


“B-Baik, saya juga…”


Haruto membungkuk dengan canggung. Ia tak pernah menyangka akan menerima kontrak langganan dari keluarga klien, mengingat dirinya hanyalah pekerja sambilan jangka pendek.


Awalnya, ia mengambil pekerjaan ini semata untuk menambah tabungan kuliah. Namun, ia tak pernah menyangka akan disukai oleh keluarga idol sekolah dan akhirnya harus rutin datang ke rumah mereka selama liburan musim panas.


Bagi Haruto, kejadian ini terlalu di luar dugaan. Ia pun menyerah untuk memikirkannya lebih jauh, lalu beralih mengelap mulut Ryota yang belepotan sup pottage, mirip kumis.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close