NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sensei…… Kisu wa Jugyou no Hanigai desu V1 Chapter 3

 Penerjemah: Flykity

Proffreader: Flykity


Chapter 3

Kontrak Rahasia Antara Aku dan Charl


Pelajaran hari ini berjalan tanpa hambatan sampai akhirnya sore pun tiba.


"Aku pulang~"


Saat aku membuka pintu ruang tamu, ibu langsung berlari kecil menghampiriku sambil bunyi langkah sandalnya terdengar.


"Kerja bagus hari ini, Atsuto! Sekolahnya menyenangkan?"


Pertanyaan khas seorang ibu—itulah Ibuku, Honoka.


Dia adalah sosok yang bisa diandalkan, menopang keluarga Yamazaki seorang diri sementara ayah bekerja di luar negeri. …meskipun kadang agak ceroboh juga.


"Ya. Biasa saja."


"Ah, makan malam sudah siap lho, jadi makan dulu ya!"


"Baik, terima kasih. Menolong sekali."


Sambil makan kari buatan Ibu, aku membuka ponsel untuk memeriksa jadwal shift hari ini.


Taketsuru ada latihan basket, Benika bilang dia ada pemotretan majalah fashion, sedangkan aku—ada shift kerja paruh waktu.


Aku kerja di kafe dekat stasiun, tiga kali seminggu.


Peraturan sekolah Suishou sebenarnya longgar, tapi sejak awal berdiri, bekerja paruh waktu tetap dilarang.


Tapi karena ayah dan ibu—keduanya alumni Suishou—juga kerja paruh waktu semasa SMA, mereka tak mempermasalahkannya.


Apalagi, aturan keluarga Yamazaki adalah: "Uang untuk bersenang-senang harus kau hasilkan sendiri."


Sambil menghabiskan kari secepat mungkin sebelum berangkat kerja—


"Udah gak kuat! Aku gak bisa belajar lagiii!!"


Dengan langkah gaduh, kakakku turun dari lantai dua.


Akane, siswi tahun ketiga di sekolah khusus perempuan. Dia lagi stres berat karena terus belajar untuk ujian masuk universitas impiannya.


"Oh, kau pulang. Ada shift hari ini?"


"Ya, aku tukar jadwal sama senior. Jadi besok libur."


"Hmm… begitu ya."


Meski dia sendiri yang nanya, nadanya santai, lalu berjalan ke sofa dan rebahan sambil main ponsel.


"Ngomong-ngomong, hari ini mulai semester baru kan? Ada cewek cantik di kelasmu? Udah ada yang kau suka?"


Sekarang dia rebahan dan menatapku dengan senyum menggoda.


"Pertanyaannya cepat amat. Aku gak tertarik hal kayak gitu."


"Eeh~ masa sih? Kakak khawatir, lho! Kau itu kurang agresif! Soalnya, dalam cinta tuh—"


"Tapi kakak sekolah di SMA khusus perempuan, kan."


Aku langsung memotong ceramahnya dengan satu kalimat maut.


"Cuma karena sekolahku khusus perempuan bukan berarti aku gak ngerti soal percintaan! Itu diskriminasi terhadap sekolah perempuan! Kakak gak pernah mendidik adik se—"


"Oh iya, tadi aku lihat di minimarket, ada kue edisi terbatas yang kakak pengen. Aku beli."


Begitu aku bilang begitu, Akane langsung kehilangan semangat marahnya dan menatapku dengan mata berbinar.


"Serius!? Kau itu malaikat!? Enggak, lebih dari itu! Adik terbaik sedunia!"


"Perubahan sikapnya cepat banget, ya."


Sambil menghela napas melihatnya berjalan ke kulkas dengan langkah riang, aku mempercepat makananku.


Shift hari ini sampai jam 10 malam.


(Sial, lama juga…)


Mengumpat dalam hati, aku menyelesaikan makananku dan berangkat kerja.


*****


Beberapa hari setelah naik ke kelas dua.


Tanggal 7 April—hari itu, insiden itu terjadi.


Setelah mengantar Taketsuru yang pergi latihan basket dan Benika yang berangkat ke lokasi pemotretan, aku punya waktu senggang sendirian sepulang sekolah.


Kalau sedang begini, tujuanku sudah pasti.


(Kayaknya ke arcade aja, deh…)


Sambil menukar sepatu di loker, aku merogoh saku belakang untuk mengambil kunci loker.


"…Hah?"


Yang kurasakan hanyalah kekosongan.

Kuncinya—tidak ada.


Tidak hanya itu—dompet tempat kunci itu disimpan juga hilang.


──Dan di dalam dompet itu, ada kartu identitas karyawan dari tempat kerjaku.


Sekolah Suishou melarang kerja paruh waktu. Kalau ada guru yang menemukannya dan melihat isinya—


"Ingat, ingat cepat, aku taruh di mana tadi…!"


Sambil mengingat kembali langkah-langkahku, aku berlari keliling sekolah.


Tapi—


"Aduh… di mana sih…"


Aku sudah periksa kantin, depan mesin minum, toko sekolah—semua tempat di mana aku sempat mengeluarkan dompet. Tapi nggak ada.


"Haa… udah gak ada harapan… ──ah."


Tiba-tiba aku teringat satu tempat yang belum kucari—ruang guru di lantai satu, tempat kotak lost and found berada.


Dengan sedikit harapan tersisa, aku menuju ke sana.


"Ah…"


"Hm?"


Tepat di depan pintu ruang guru, aku bertemu dengan Charl.


Dan di tangannya—dompet kulit hitam milikku. Bahkan dia sedang berusaha membukanya!


"Ah—itu dia! Dompetku ternyata di sini!"


Begitu aku bersuara, Charl tersentak dan bertanya, 


"This?"


"Y-yes! This is… that!"



Begitu aku menunjuk dompetku, Charl tersenyum lega.


"Syukurlah! Aku nemu di kotak barang hilang. Aku takut nanti dicuri, makanya kuambil! Walau kupikir gak mungkin ada siswa sejahat itu sih!"


"Benar-benar menolong, terima kasih… haha…"


Sambil berusaha tersenyum, aku mengulurkan tangan untuk mengambil dompet itu—


"Sorry!"


"Hah!?"


Charl langsung membuka dompetku dan mengambil satu kartu dari dalamnya—tepat kartu identitas karyawan!


"Itu…"


Dia menatapku bergantian dengan kartu itu, matanya membesar.


Ah, tamat sudah. Kalau sudah melihatnya langsung, aku gak bisa cari alasan lagi. Dalam keadaan ini, aku cuma bisa berharap dia mau memaklumi—


"Ya, gak salah lagi! Ini pasti punyamu, Atsuto!"


Charl menutup kembali dompet itu dan meletakkannya di tanganku dengan senyum cerah.


Hah? Dia… sengaja gak bahas?


Entah karena Charl gak tahu soal larangan kerja, atau karena dia pura-pura gak tahu. Pokoknya, lebih baik aku pergi dari sini secepat mungkin.


"T-terima kasih! Kalau begitu, aku pamit dulu!"


"Ya! Jangan sampai hilang lagi ya! Baiklah, da──eh?"


Saat aku berbalik, Charl tiba-tiba memegang pundakku erat.


"Boleh aku lihat dompetnya sekali lagi?"


"Uh, maaf, gak bisa!"


"…What is that!?"


"Hah? Ah—!"


Begitu aku menoleh ke arah yang dia tunjuk, dompetku langsung disambar.


Aku gak percaya aku kena trik klasik semacam ini!


"Hah!? Bukannya sekolah Suishou melarang kerja paruh waktu ya!?"


"T-tunggu, ini cuma kartu member!"


"Tapi di sini tertulis kartu karyawan lho!?"


Aku coba ngeles, tapi langsung ketahuan.


"Ayo kita bicara sebentar di ruangan sebelah!"


"A-aku ada urusan penting sekarang!"


"Gak apa-apa! Lima menit aja, lima menit cukup!"


*****


Aku dibawa oleh Charl ke ruang bimbingan siswa.


Ruangan itu hanya memiliki dua kursi yang berhadapan dengan sebuah meja di tengah, dan sebuah rak buku berisi buku-buku panduan ujian merah di sisi dinding. 


Suasananya benar-benar seperti tempat untuk "menyudutkan murid nakal", dingin dan kaku.


Di seberang meja, Charl duduk dengan punggung tegak dan pipi menggembung. Dengan tubuh mungilnya, sama sekali tidak ada rasa wibawa dari ekspresinya itu.


Namun, situasinya cukup serius. Mungkin lebih baik kalau aku tidak beralasan aneh-aneh dan langsung minta maaf saja.


"Sensei, jadi begini—"


"Atsuto, kenapa kamu kerja paruh waktu?"


"Ugh…"


Tepat ketika aku hendak meminta maaf, Charl menatapku dengan mata tajam sementara pipinya masih menggembung.


Sejujurnya, rasa takut kalah jauh dengan betapa imutnya dia, sampai aku hampir tersenyum sendiri… tidak, aku harus fokus, ini situasi di mana aku sedang dimarahi.


"Ayo, coba bilang! Aku nggak akan marah, kok? Les try!"


Udara di pipinya dikeluarkan perlahan, dan kali ini dia tersenyum lembut. Tapi aku tahu pola seperti ini. Biasanya, ujung-ujungnya tetap dimarahi juga.


"Uhm… aku cuma merasa perlu menabung buat masa depan aja, gitu…"


"Oh, begitu. Jadi untuk masa depan, ya…"


"S-Soalnya, di zaman kayak sekarang kan penting banget buat punya tabungan sendiri!"


"Hmm? Tapi bukannya kemarin kamu sempat main ke luar…"


"I-iya, tapi kan perlu istirahat juga! Lagi pula waktu itu aku cuma diajak teman kerja!"


Charl mendengus kecil dan terdiam, lalu beberapa detik kemudian berdehem pelan sebelum menatapku lurus dengan mata birunya yang jernih.


"...Untuk sekarang, soal itu kita lupakan dulu."


"Eh? Boleh dilupakan?"


Aku sempat bersiap-siap untuk dimarahi habis-habisan, tapi dia malah mundur begitu saja, membuatku bingung.


Charl mengangguk pelan, lalu wajahnya tiba-tiba memerah saat pandangannya beralih dariku.


"Jadi begini, Atsuto."


"Iya?"


"Aku punya satu permintaan saja, boleh?"



Aku belum sempat memikirkan apa yang akan dia minta ketika tiba-tiba—


"Maafkan aku!!! Tolong lupakan kejadian waktu itu!!!"


Jeritan mirip tangisan minta ampun menggema di ruangan sempit itu.


"Hah!?"


Charl menggenggam tanganku erat dan membenturkan kepalanya ke meja beberapa kali.


"Maaf karena menawarimu minuman padahal kamu masih di bawah umur! Maaf karena tiba-tiba mencium kamu! Aku juga nyesel karena pergi ke tempat berbahaya sendirian! Jadi tolong, jangan marah!"


"Eh!? Eh!?"


"Tolong jangan bilang siapa-siapa ya!"


Air mata mulai memenuhi mata birunya saat ia menatapku lekat-lekat.…Tunggu dulu, apa-apaan ini!?


Aku datang ke sini siap untuk dimarahi, tapi kenapa malah aku yang dimaafkan!?


"P-percayalah, Sensei, aku nggak bilang siapa pun soal yang di net café waktu itu…"


"B-benarkah…?"


"Soalnya, yah… soal ciuman itu aku memang kaget sih. Tapi di sana kan hal seperti itu dianggap sapaan biasa, ya?"


"Eh!? N-nggak, waktu itu aku cuma… kebawa suasana karena mabuk…"


"Oh, begitu, ya…"


Suasana jadi canggung lagi padahal aku sudah berusaha menutupi.


"Ngomong-ngomong, aku juga mau minta maaf soal… ehm, dada waktu itu…"


Begitu kata "dada" terucap, wajah Charl langsung memerah seperti tomat.


"T-tapi itu kan kecelakaan! Y-ya! Anggap saja tidak terjadi!"


"Iya! Benar! Kecelakaan murni! Kecelakaan yang tidak disengaja!"


Hahaha. Tawa kami bergema di ruangan sempit itu.


──Namun.


"Itu bukan sekadar kecelakaan!" 


"Iya, bukan kecelakaan sama sekali…"


Kami berdua menunduk di meja hampir bersamaan. Memang mustahil menutupi semuanya dengan tawa.


…Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku.


"Umm, Sensei?"


"A-ah, iya!"


Charl langsung tegap dengan wajah panik begitu aku memanggilnya.


"Kalau Sensei pikir net café itu tempat berbahaya, kenapa pergi sendirian ke sana? Padahal bukan tempat berbahaya juga, sih."


Aku hanya bertanya karena penasaran, tapi Charl malah menaruh tangan di pinggangnya dengan wajah bangga.


"Itu untuk belajar!"


"B-belajar?"


Aku membeku karena tidak paham, sementara dia mengangguk serius.


"Aku ingin tahu di mana murid-murid biasanya main setelah sekolah."


"Hmm? Ya… biasanya karaoke, atau bowling, gitu?"


Arah pembicaraan mulai melenceng lagi. Charl mengangguk beberapa kali sambil berkata, "Oh, jadi begitu!"


"Hari itu, aku pertama kali main dart! Lebih tepatnya… itu malam pertama aku main di luar!"


…Tunggu, apa dia bilang pertama kali?


"Maaf kalau kurang sopan, tapi Sensei belum pernah main sama teman-teman sebelumnya?"


"Soalnya aku sibuk belajar… selain itu, keluargaku punya kebun jeruk, jadi aku sering bantu-bantu juga…"


Jadi memang dia tidak punya waktu untuk bersenang-senang. Kehidupan sekolahnya benar-benar kebalikan dariku.


"Tapi berkat semua usahaku itu, akhirnya aku lulus ujian ALT! Yeah!"


"Wah, hebat banget!"


"Bukan itu intinya!!"


Aku sempat tepuk tangan kecil, tapi langsung dimarahi.

Emosinya bener-bener kayak naik roller coaster.


"Aku bisa mengajar murid tentang pelajaran, ya. Tapi aku sadar kalau aku nggak bisa mengajarkan hal lain di luar itu."


Charl mengepalkan tangannya erat.


"Guru-guru yang aku hormati di Amerika bukan cuma pandai dalam akademik, tapi juga tahu banyak hal seru! Dan karena itu, mereka dihormati murid-muridnya!"


Matanya berkilat penuh semangat saat dia menatapku lurus.


"Aku juga ingin jadi guru yang bukan cuma mengajar pelajaran, tapi juga bisa mendukung muridnya di luar itu—guru yang bisa memberi mimpi pada seseorang!"


Charl berbicara tentang mimpinya tanpa rasa malu sedikit pun. Ia terlihat begitu bersinar, sampai dadaku terasa sesak.


"N-nah, begitu ya…"


Aku tidak tahu harus menjawab apa dan akhirnya hanya diam. Charl pun sedikit memerah karena malu.


Di tengah keheningan, jam di sudut meja berdetak pelan.


"Uhm, Sensei, aku bisa ambil dompetku sekarang?"


Charl mengangkat dompetku sambil berkata, "Ini maksudmu?" Aku mengangguk.


Dia menatapnya sebentar, lalu berkata dengan ekspresi sulit.


"Hmm… kalau aku biarkan kamu pulang begitu saja juga nggak enak, sih. Tapi kamu pasti punya alasan sendiri sampai harus kerja diam-diam. Ah, atau kamu lagi nabung buat sesuatu, ya?"


Dia menatapku dengan mata biru polos penuh harap. Padahal sebenarnya aku cuma kerja karena bosan, tidak ada tujuan khusus.


"Y-ya, semacam itu…"


Aku mengangguk asal supaya tidak ketahuan. Charl tampak berpikir sejenak lalu menepuk tangannya.


"Oke! Aku mengerti! Aku maafkan!"


"Eh, beneran!?"


"Iya. Atsuto juga sudah pernah menolongku waktu itu… dan lagipula…"


Wajahnya kembali memerah saat menatapku sekilas.


"Kita juga… udah ciuman waktu itu…"


Tubuhku langsung panas seketika, ingatan minggu lalu kembali berputar jelas di kepala.


Aku sudah berusaha melupakannya, tapi gagal total.


──Yang jelas, dengan ini, kehidupanku di sekolah tetap aman.


Aku sempat mengira semuanya akan berakhir buruk, tapi aku berhasil melewatinya. Tapi kemudian, Charl membuka mulut lagi.


"Oh, tapi aku boleh kasih satu syarat?"


"Syarat?"


Dia menggenggam tanganku lebih erat dan berkata dengan senyum polos:


"Kalau aku mau jadi guru yang hebat, kamu harus ngajak aku main sepulang sekolah ya!"


Kata-kata itu diucapkan dengan ringan… tapi tunggu, main?


"Kita… main bareng!?"


"Iya! Guru yang baik itu harus belajar juga soal ‘bersenang-senang’ dengan muridnya!"


Ini bukan jenis syarat yang bisa dibilang ringan! Guru dan murid main bareng? Bagaimana aku harus bersikap!?


"Nggak boleh, ya…?"


Ia menatapku dari bawah dengan wajah memelas—pandangan yang sama seperti waktu kami berpisah di net café.


Tapi ya… aku juga berutang budi padanya karena sudah menutupi rahasia kerja paruh waktuku.


"...Kalau cuma sebentar, mungkin boleh."


"Beneran!? Yeay! Aku senang banget!!"


Charl melompat kecil dengan wajah berbinar, sementara aku hanya bisa menatapnya pasrah.


"Mulai sekarang, aku titip padamu ya, Atsuto!"


"...Iya."


──Sebagai gantinya karena menutupi rahasia kerjaku, aku akan mengajarkan Charl tentang "cara bersenang-senang".


Begitulah, sebuah perjanjian aneh antara guru dan murid pun resmi dimulai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close