NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sensei…… Kisu wa Jugyou no Hanigai desu V1 Chapter 11 - 15

 Penerjemah: Flykity

Proffreader: Flykity


Chapter 11

Es Krim di Malam Hari Itu Menggoda


Keesokan harinya setelah aku pergi ke izakaya bersama Charl, hari Jumat. Waktu menunjukkan lewat pukul sembilan malam.


Saat aku berjalan menuju stasiun setelah selesai shift di kafe, terdengar suara notifikasi di ponselku.


──Poko~n♪


Satu pesan LINE masuk. Pengirimnya adalah Charl.


[Atsuto, kerja bagus! Ayo main!]


Sesaat kemudian, nada dering ceria 『ponkororin♪』 terdengar lagi.


"Halo, Yamazaki di sini."


[Hi! Atsuto, kamu lihat LINE-ku!? Sekarang bisa main nggak? Aku lembur sedikit jadi agak telat!]


Ah, jadi itu alasannya. Wajar kalau jam segini.


Yah, tidak masalah. Besok juga libur sekolah.


"Boleh! Kamu lagi di mana?"


[Di air mancur biasa! Aku tunggu ya!]


Charl menutup telepon setelah mengatakan itu.


Begitu aku sampai di depan air mancur stasiun, aku melihat rambut kekuningan yang mencolok bergoyang mendekat ke arahku. Charl berlari sambil tersenyum cerah.


"Atsutooo! Kerja bagus ya!"


"Sensei juga kerja bagus!"


Charl meregangkan tubuh sambil mengeluarkan suara puas, "Nnngh~!"


"Aduh, hari ini capek banget. Pekerjaan yang menumpuk nggak selesai-selesai~"


"Sudah selesai tugasnya?"


"Sudah! Aku berusaha keras! Dan begitu ingat aku bisa main sama kamu lagi, aku langsung semangat!"


Charl mengangkat jarinya membentuk tanda V dan menggerak-gerakkannya seperti capit kepiting sambil tertawa.


Dibilangi begitu langsung dari depan… ya, agak malu juga.


"Terus, malam ini kita ke mana?"


Tanpa sadar kalau aku deg-degan, Charl menatap dengan mata penuh harap.


"Kamu udah makan malam?"


"Udah! Aku makan bento ayam nanban sama bento nori! Dua-duanya enak banget!"


"Uh, o-oke…"


Pasti beli di minimarket. Tapi… dua bento itu agak kebanyakan, nggak sih?


Yah, kalau begitu, mungkin sebaiknya cari hal lain selain makan. Aku juga sudah makan sebelum kerja.


"Kalau gitu, kita jalan-jalan aja sambil cari tempat main, gimana?"


"Setuju! Oke, let’s go!"


"Whoa!?"


Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu yang lembut menekan lenganku, membuat jantungku berdebar keras.


Charl dengan santai mengaitkan lengannya ke lenganku.


"Se, sensei? Ini tangan…?"


"Eh~ nggak boleh? Udah ah, ayo jalan!"


Dengan "mugyuu!" kecil, Charl memeluk lenganku lebih erat dan mulai berjalan.


Hari ini dia nggak mabuk kan!? Tapi kenapa sesuatu yang lembut banget terus menempel di lenganku…!?


Berusaha keras menahan diri, kami berjalan tanpa arah, sampai akhirnya—


"Oh, Atsuto! Ini apaan!?"


Charl tiba-tiba berhenti di depan sebuah toko.


"Ah, ini ‘Yoru Aisu’, toko es malam!"


"Es malam?"


Charl memiringkan kepala, tampak bingung.


Kalau toko es yang buka siang hari sih biasa. Tapi akhir-akhir ini, toko es yang hanya buka malam hari sedang populer, terutama di kota-kota besar.


"Wow! Esnya keren banget! Banyak banget stroberinya!"


Charl menatap papan menu di depan toko sambil melompat-lompat kegirangan.


"Mau coba?"


"Mau! Mau banget!"


Aku tercengang melihat antusiasmenya yang luar biasa, apalagi setelah tahu dia habis makan dua bento. Tapi tetap saja, aku ikut masuk bersamanya dan kami memesan es masing-masing.


Charl memilih es krim dengan tumpukan stroberi di atasnya—seperti dugaanku. Aku memilih es krim vanila polos dengan rasa susu yang kuat.


"Eh, lihat nih! Stroberinya hampir tumpah!"


"Hati-hati, nanti jatuh!"


"Waa~ hampir! ...Hap~"


Charl cepat-cepat menyendok stroberi dan krim yang hampir tumpah, lalu memasukkannya ke mulut.


Sekejap kemudian, senyum mekar di wajahnya.


"Enak banget~! Ini mungkin es krim terenak yang pernah aku makan!"


"Itu kayaknya agak berlebihan deh…?"


"Enggak tuh! Oh, atau mungkin karena aku makan bareng kamu, jadi makin enak!?"


Matanya berkilau seolah baru menemukan rahasia dunia, wajahnya mendekat ke arahku.


Bibirnya yang lembut, napasnya menyentuh hidungku… D-dekat banget…!


"Hah? Atsuto, wajahmu merah banget! Kamu demam ya!?"


"...!?!"


Charl menempelkan dahinya ke dahiku.


"T-tidak! Aku sehat kok!"


Aku langsung mundur cepat. Charl hanya memiringkan kepala, bingung. Serius deh… dia selalu melakukan hal-hal yang bikin jantung nggak tenang.


"A-apa pun itu, ayo cepat dimakan! Nanti cair!"


"Ah! Iya! Harus cepat!"


Tetesan es krim yang mulai mencair jatuh ke tanah, dan Charl buru-buru memakannya lagi.


Kami terus menikmati es masing-masing, sampai kemudian—


(...Eh!?)


Dari sudut pandangku, aku melihat seseorang yang sangat kukenal.


Rambut merah pendek itu—jangan bilang kalau itu…!


"Hm? Atsuto? Kenapa?"


Tidak mungkin salah. Itu pasti dia.


"...Benika ada di sini."


"Hah!? Shirasu-san!? Di mana!?!"


"Waah! Suaramu keras banget!"


Aku cepat-cepat menarik Charl ke sudut papan reklame agar tidak ketahuan.


"Ugh, kaget! Tapi kamu yang suaranya lebih besar, tahu!?"


"Mungkin iya, tapi tolong lebih pelan!"


"Oke!"


Charl mengangkat tangan penuh semangat sambil menjawab keras.


Ya Tuhan… dia nggak cocok buat sembunyi.


Benika sepertinya baru selesai syuting dan sekarang bersama dua temannya. Mereka bertiga tampak asyik makan es sambil mengobrol.


Dan…


(...pakaian itu… luar biasa.)


Benika memakai jeans ketat, kaus putih pendek, dan topi putih.


Masalahnya: kausnya model crop top. Perut rampingnya terlihat jelas, dengan bentuk tubuh yang menonjol tapi pas.


Aku tahu harusnya nggak menatap, tapi mataku nggak bisa lepas…


"Atsuto?"


"!?!"


Seketika aku menoleh, Charl menatapku dengan pipi menggelembung penuh amarah.


"U-uh, sensei…?"


"Jadi Atsuto itu cowok nakal ya? Lagi sama cewek tapi matanya jelalatan ke cewek lain, gitu?"


"B-bukan begitu! Aku cuma khawatir nanti Benika sadar dan—"


"Bohong! Kamu cuma terpaku lihat perut Shirasu-san!"


…yah, kalau dibilang gitu, aku nggak bisa sepenuhnya membantah.


Charl memalingkan muka, kesal. Tapi kemudian wajahnya berubah cerah, seolah baru mendapat ide.


"…Aku tahu! Aku punya ide bagus!"


"I-ide bagus?"


"Kalau kamu nyuapin aku es, mungkin aku maafin!"


Charl tersenyum nakal seperti iblis kecil.


"N-nyuapin!?"


Kami pernah melakukan hal serupa di bar dart, waktu aku nyuapin dia hamburger. Tapi kali ini beda—kami di tempat umum, dan Benika di sekitar sini.


Kalau sampai dia lihat—


"…A~n."


Charl membuka mulut kecilnya, siap menerima.


Aku menatapnya, mencoba memberi isyarat "serius mau di sini?", tapi dia sama sekali tidak mundur.


Yah… nggak ada pilihan.


"O-oke, aku suapin ya…"


Aku menyendok sedikit es vanila, lalu mendekatkannya ke bibirnya. Jantungku berdetak keras. Saat sendok hampir menyentuh bibirnya—


──Pakk!


Charl menggigitnya, lalu menjilat bibirnya perlahan.


"…Mmm, enak banget."


Senyumnya memikat.


"Kalau gitu, aku maafin ka—"


"Aaah~! Es dari Atsuto memang paling enak yaaa!"


"Hah!?"


Charl bersuara kencang, membuatku panik menutup mulutnya.


Setelah aku pelan-pelan melepaskan tanganku, dia malah senyum dan menyodorkan sendok berisi es ke arahku.


Jangan-jangan… dia sengaja bicara keras barusan!?


"Ayo, Atsuto. A~n."


"T-tunggu dulu!"


Aku melirik Benika dan teman-temannya.


"Hm? Barusan aku dengar nama kenalan deh…"


"Ah, paling cuma mirip suara aja?"


"Yah, mungkin ya… hmm…"


Mereka kembali asyik makan.


Haaah, hampir aja ketahuan…!


"Jangan bicara keras-keras, nanti ketahuan!"


"Tapi tadi kamu juga ngomong keras!"


"Udah, yang penting ayo~ a~n?"


Dengan wajah ceria, Charl menyodorkan sendoknya ke arahku.


"A… a~n…"


Aku membuka mulut, dan sendok dengan es krim itu masuk perlahan.


"Gimana? Enak?"


Charl memiringkan kepala, imut sekali.

Aku hanya bisa mengangguk cepat.


Antara rasa gugup disuapin Charl dan ketakutan Benika akan sadar—aku sama sekali nggak tahu rasa esnya!


──Sepuluh menit kemudian.


"Haa… akhirnya nggak ketahuan…"


Aku menghembuskan napas lega, melihat Benika dan teman-temannya berjalan ke arah stasiun.


"Seru banget ya barusan, Atsuto!"


Charl muncul dari sampingku sambil tertawa puas.


Yah, kali ini masih aman. Tapi kalau begini terus, bisa gawat. Aku harus ngomong.


"Kenapa kamu bikin hal berisiko kayak gitu, sih?"


Nada suaraku sedikit tegas, tapi Charl malah menunduk dan bergumam pelan—


"…Soalnya, kalau lagi sama aku, aku pengen kamu cuma lihat aku aja."


Pipinya memerah samar. Gawat… imut banget. Seketika niat menegur langsung lenyap.


"Mulai sekarang, kalau melirik cewek lain, aku bakal bilang ‘nggak boleh!’ ya!?"


Kali ini justru aku yang kena omelan. Dia kelihatan berusaha galak, tapi… entah kenapa wajah cemberutnya itu malah bikin gemas.


Kalau aku bilang wajah marahnya lucu, pasti dia bakal benar-benar ngambek.


Jadi aku simpan saja dalam hati.




Chapter 12

Dari Game Center ke...?


Setelah selesai makan es krim, aku dan Charl kembali dibuat kebingungan harus melakukan apa.


"Aaah, enak banget! Terus, abis ini kita ke mana?"


Charl menatapku dengan mata penuh semangat, tapi jujur saja, aku nggak punya rencana sama sekali setelah ini.


"Hmm kemana ya..."


"Tempat yang biasanya Atsuto datengin juga nggak apa-apa kok!"


Kalau begitu, aku punya satu tempat yang terlintas di kepala. Aku nggak tahu apakah Charl akan menikmatinya atau tidak, tapi…


"Kalau begitu, bagaimana kalau ke sini?"


Tepat saat aku menoleh, yang kulihat adalah—


"Ah! Itu... apa itu game center!?"


Charl berseru riang sambil menunjuk gedung besar di depan kami.


Ya, tempat yang sering aku datangi saat bosan itu memang game center.


"Tempat ini nggak apa-apa?"


"Tentu saja! Aku pengen banget nyobain dari dulu!"


Dengan mata biru yang berkilau penuh rasa ingin tahu, Charl terlihat sangat bersemangat.


"Kalau begitu, ayo masuk!"


Dan begitulah, kami pun masuk ke game center.


"Wow! Keren banget! Besar banget, ya!"


Charl melompat kecil dengan gembira saat melihat deretan mesin crane game yang seolah tak ada habisnya.


"Kita mau main apa dulu?"


"Aku pengen liat crane game dulu deh!"


"Baiklah, kalau begitu ayo kita keliling dulu."


Saat aku hendak menuntunnya berjalan lebih jauh ke dalam—


"Ah, Atsuto!"


Charl tiba-tiba berhenti di depan salah satu mesin crane game.


"Lihat deh! Ada banyak Kuma-Kuro! Lucu banget!"


Di dalam mesin itu, penuh dengan boneka kecil berbentuk karakter populer di Jepang bernama Kuma-Kuro.


"Eh? Kamu tahu Kuma-Kuro?"


"Kakak suka banget sama dia!"


"Ya, dia memang lucu. Matanya itu lugu banget."


"Iya! Aku juga suka! Tapi mereka semua dikurung di tempat sempit gini... harus diselamatkan semua!"


Dengan ekspresi serius, Charl memasukkan koin seratus yen ke dalam mesin. Begitu koin masuk, lagu pop ceria mulai terdengar.


"Pertama, aku pencet ini kan?"


"Ya, atur dulu arah horizontalnya."


Charl menekan tombol panah dengan hati-hati, menggerakkan capit ke posisi yang menargetkan boneka Kuma-Kuro berwarna merah.


"Gimana? Udah pas belum!?"


"Kayaknya bagus tuh!"


Charl menarik napas panjang dan kemudian menekan tombol arah berikutnya perlahan. Capit pun mulai turun... namun—


swiish.


"Eh!? Kenapa!?"


Charl berteriak panik saat capit itu gagal mencapit apa pun dan kembali ke posisi semula.


"Uuuh... tapi aku merasa kalau coba sekali lagi pasti bisa dapet!"


"Biasanya orang yang bilang begitu bakal kecanduan... ah!"


Aku belum sempat menyelesaikan kalimatku, Charl sudah lebih dulu memasukkan koin berikutnya.


Dengan wajah penuh tekad, ia kembali mengoperasikan mesin itu. Namun hasilnya sama—


swiish.


"Uuh..." Charl mengeluarkan suara sedih.


Kelihatannya dia masih menargetkan boneka Kuma-Kuro merah itu, tapi dari posisi sekarang...


"Boleh aku coba sebentar?"


"U-uhm, iya! Tolong, selamatkan dia, Kuma-Kuro...!"


Charl menatapku dengan mata berkaca-kaca. Oke, ini tanggung jawab besar.


Aku menggantikannya dan memasukkan koin.


"Sebenarnya, Charl, crane game ini ada triknya."


Daripada berusaha mencapit langsung, biasanya lebih efektif untuk mengaitkan atau mendorong boneka agar jatuh.


Untuk posisi seperti ini... taktik terbaik adalah mendorong!


"Wow, Atsuto! Hebat banget!"


Aku mengincar boneka Kuma-Kuro hijau. Capit menekan bagian belakangnya, membuat boneka itu berguling ke arah lubang hadiah. Namun sayangnya, boneka itu berhenti tepat di pinggir lubang.


"Aah!"


"Sayang banget! Padahal hampir dapet!"


Charl menatap boneka itu dengan wajah kecewa dan alis yang melengkung ke bawah.


"Argh! Aku coba lagi!"


"Atsuto malah yang kecanduan, nih!?"


"Ini bagian serunya crane game!"


"Kamu malah pasrah gitu!?"


Aku memasukkan koin kedua dan mencoba lagi. Arah horizontalnya sudah pas, tinggal vertikalnya.


"Eh, lebih ke kanan dikit deh!"


"Nggak, segini cukup kok! Lagian arah horizontal udah nggak bisa diubah lagi!"


"Kalau gitu harus dikompensasi pas arah vertikal! Ah, di situ! Di situ!"


"Jangan buru-buru! Sedikit lagi ke bawah... Auw!"


"Aduh!"


Brukkk!


Kepala kami saling terbentur. Kami terlalu fokus sampai nggak sadar wajah kami sudah terlalu dekat.


"Ahh!"


Karena refleks, aku menekan tombol di waktu yang salah, dan capit malah turun ke tempat yang sama sekali nggak aku maksud. Selamat tinggal, seratus yen-ku...


"Ma-maaf ya! Aku terlalu dekat!"


"Aku juga! T-tapi kali ini pasti berhasil!"


Kami saling menunduk minta maaf dengan canggung. Lalu, saat aku mau mengambil koin berikutnya dari dompet—


"Eh!? Atsuto, lihat deh!"


Charl menunjuk mesin dengan mata terbelalak.


"Hah? Oh... ohh!"


Ternyata, capit yang tadi naik malah tersangkut pada boneka Kuma-Kuro merah! Dan anehnya, tangan boneka merah itu juga mengait boneka hijau!


"Oooooh...!"


Keduanya menggantung berbahaya di udara, tapi tetap tidak jatuh. Hingga akhirnya—


Clack!


"Ke-keambil...!?"


"Yaaay! Hebat banget, Atsuto!"


Aku benar-benar mengira tadi gagal total, tapi malah dapat dua sekaligus. Charl langsung melompat kegirangan dan memelukku erat-erat.


"U-uh... Charl, sesak..."


"Soalnya aku senang banget!"


Dengan senyum cerah, Charl melepaskan pelukannya, lalu mengambil kedua boneka itu.


"Terima kasih sudah diselamatkan, kuma!"


Ia menirukan suara boneka sambil menggoyangkan Kuma-Kuro hijau ke kanan dan kiri.


"Eh..."


"Terima kasih sudah diselamatkan, kuma!"


Charl mengulanginya lagi sambil menatapku — sepertinya aku disuruh ikut menirukan.


"U-uhm... akhirnya bisa keluar, kuma!"


Aku ikut memainkan boneka merah itu.


"Kalau begitu, ayo kita selamatkan teman-teman yang lain juga, kuma!"


"Teman-teman!? Itu agak susah, kuma..."


"Akhir kalimatnya salah, kuma!"


"S-susah, kuma... ngomong-ngomong, Kuma-Kuro memang bisa bicara, ya?"


"Fufufu... nggak tahu..."


Kami berdua tertawa kecil sambil memegang boneka masing-masing.


"Tapi bercandanya cuma sampai situ ya. Ahh, lucunya Kuma-Kuro..."


Charl tersenyum lembut menatap boneka itu dengan penuh kasih sayang.


Dia benar-benar suka, ya, sama karakter ini.


Hasilnya juga cukup bagus, meski awalnya cuma keberuntungan.


"Itu... sebenarnya aku ngambil ini buat kamu, Charl. Nih, ambil aja dua-duanya."


"Eh?" 


Charl memandangku dengan mata membulat, tampak bingung.


"Buat aku? Tapi kamu yang dapetinnya, Atsuto..."


Dia menatapku dengan wajah sungkan, tapi aku cuma tersenyum dan menjawab:


"Soalnya... hari ini ulang tahunmu, kan?"


"──Eh."


Charl terdiam, menelan napas dengan mata membulat, menatapku seolah kaget.


"Kau bilang waktu pertama kali kita bertemu, kan? Ulang tahunmu tanggal 11 April."


Aku masih ingat, di pelajaran bahasa Inggris pertama yang dia ajar, dia menyebutkannya saat memperkenalkan diri.


Saat itu aku cuma berpikir, "Oh, sebentar lagi ya," jadi aku masih mengingatnya.


"K-kamu… ingat ya…"


Charl berbisik pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, dan matanya mulai berkilat basah.


"Memang cuma hadiah dari tempat game sih, maaf kalau sederhana banget!"


"Tidak! Sama sekali enggak!?"


Charl cepat-cepat menggeleng kuat-kuat, lalu memeluk kedua boneka Kuma-Kuro itu erat-erat seolah sedang memeluk sesuatu yang berharga.


"Terima kasih, Atsuto… aku benar-benar senang… Aku bakal jaga ini baik-baik, ya!"


Ia menyeka sedikit ujung matanya, lalu tersenyum lebar.


Meskipun cuma hadiah dari game center, Charl menatap boneka-boneka itu dengan mata berbinar seperti anak kecil yang baru dapat hadiah dari Santa Claus.


Melihat senyumnya yang cerah seperti matahari musim panas, aku tanpa sadar ikut merasakan jantungku berdebar.


"Ah! Tapi karena ada dua, satu buat kamu ya, Atsuto!"


Charl mengulurkan boneka Kuma-Kuro merah ke arahku.


"Eh? Tapi kan aku memang niat ngasih dua-duanya ke sensei…"


"Justru karena itu! Biar kita punya yang sama! …Boleh kan?"


"I-iya, tentu! Boleh, kita kembaran!"


Rasanya agak malu, tapi aku akhirnya menyerah pada tatapan matanya yang memohon dan menerima boneka itu.


"Hehehe, sekarang kita kembaran, deh…"


Ia segera menggantung boneka itu di casing ponselnya sambil tersenyum bahagia.


"Oke! Kalau gitu, ayo kita lanjut ambil lagi! Targetnya… itu yang gede banget!"


"Eh, sensei!?"


Charl sudah berlari ceria ke mesin lain, penuh semangat.


Aku nggak pernah menyangka tempat game yang biasanya kudatangi sendirian bisa terasa seasyik ini kalau datang bareng Charl.


*****


Setelah itu, di mesin lain…


"Yaaay! Atsuto, aku dapet! Aku beneran dapet!!"


"Serius!? Wah, itu gede banget!"


Charl berhasil menangkap boneka besar — benar-benar keberuntungan luar biasa.


"Sensei! Di situ! Zombie! Kiri! Ah, dari kanan juga datang!"


"Left? Right!? Which one to fire first!?"


"Eh!? Maaf, barusan kamu bilang apa!?"


"Nooooo────!"


Kami berdua main game tembak zombie, tapi hasilnya kacau total.


"Sensei! Jackpot! Tiga kombinasi menang! Lihat ini!"


"Tiga kombinasi…? Waaah!? Koinnya nggak berhenti keluar!?"


Charl bahkan menunjukkan bakat mengejutkan di permainan kuda pacuan. Kami main semua yang dia tertarik, lalu akhirnya keluar dari game center sambil tertawa puas.


"Fuuuh, puas banget ya hari ini!"


Charl meregangkan tangan dengan wajah puas di sebelahku. Di lengannya tergantung kantong plastik besar berisi boneka hasil kemenangannya tadi.


"Hebat banget, ya! Boneka segede itu aja aku belum pernah dapet."


"Mungkin aku punya bakat alami nih?"


"Pasti! …Tapi soal tembak zombie, ya semoga di ronde berikutnya lebih baik."


"Uuuh, kalau aja kamu bisa nangkep bahasa Inggrisku tadi, kita pasti selamat!"


"Itu salahku, maaf banget…"


Sambil tertawa, kami berjalan santai menuju stasiun.


Karena malam Jumat, area depan stasiun masih ramai, meskipun beberapa orang sudah mulai masuk ke gerbang untuk pulang.


"Fuwaaah~…"


"Kamu capek?"


"Ah, enggak kok! Cuma sedikit ngantuk aja. Mungkin karena terlalu banyak main?"


Charl menutup mulut kecilnya, mencoba menutupi menguap, pipinya bersemu lembut, dan tersenyum padaku.


Melihatnya begitu, aku hampir saja mengucapkan sesuatu—tapi kutahan di tenggorokan.


──Aku ingin bersama Charl sedikit lebih lama lagi.


Perasaan seperti ini baru pertama kali kurasakan. Selama ini kami sering main bareng malam-malam, tapi bersama dia, semuanya terasa jauh lebih menyenangkan…


Dan sadar kalau waktu itu akan segera berakhir, aku merasa sedikit sedih.


"…Oke, sampai juga!"


Sambil masih sedikit tenggelam dalam perasaan aneh itu, tahu-tahu kami sudah sampai di stasiun.


"Ah! Kereta kamu sebentar lagi datang tuh!"


"Eh, iya! Iya benar!"


Aku buru-buru menutup perasaanku dan mencoba bersikap ceria.


"Hati-hati di jalan ya, Atsuto! Aku bakal kirim pesan nanti!"


"Iya, sensei juga hati-hati di jalan!"


Ia melambaikan tangan, lalu berbalik.


Dan di saat itu juga—


"S-se, sensei!"


"Eh?"


Charl menoleh dengan tatapan bingung, matanya berkedip cepat. Aku nggak tahu kenapa, tapi secara refleks aku menggenggam tangan kanannya.


"Atsuto…?"


"A-ah, itu, aku cuma…"


Ah, sial… tapi karena sudah kupegang tangannya, aku harus bilang.


"A-aku… aku pengin main sedikit lebih lama lagi sama sensei!!"


Suara gemetar keluar karena gugup luar biasa. Aku melirik ke arahnya, cemas. Tapi Charl hanya berkedip lagi, tampak masih bingung.


Ah, ya, tentu aja. Dia tadi bilang ngantuk. Pasti pengen cepat pulang dan istirahat, kan…


Namun—


"Benarkah!? Aku juga, aku juga masih pengen main bareng Atsuto!!"


Charl menggenggam tanganku lebih erat, senyumnya bersinar seperti cahaya.


"Eh, serius?"


"Serius! Soalnya kamu terus jalan ke arah stasiun, jadi kupikir ‘Oh, kayaknya udah selesai hari ini,’ gitu!"


Ternyata yang menahan diri dari tadi justru dia.


"Oke deh! Jadi, kita mau main apa sekarang?"


Dengan suara riang yang menghapus rasa canggung barusan, Charl bertanya penuh semangat.


"Hmm… ah."


Aku memutar otak, tapi segera menyadari satu masalah besar.


"Kau kepikiran sesuatu?"


"Masalahnya… aku masih pakai seragam sekolah."


Tempat untuk bersenang-senang sebenarnya banyak, tapi di jam segini, nggak ada tempat yang nerima anak berseragam.


"Hmm, iya juga ya… tapi—oh! Aku tahu!"


Charl berpikir sejenak, lalu menepuk tangannya seolah dapat ide brilian.


"Kalau gitu, ke rumahku aja! Aku tinggal sendirian kok, jadi nggak apa-apa!"


"Ah! Benar juga, kalau di rumahmu nggak masalah pakai seragam—"


…Tunggu. Di rumahnya!?



Chapter 13

Biarkan Aku Sedikit Manja


──Bertamu ke rumah seorang gadis yang tinggal sendirian.


Bagi seorang laki-laki, itu jelas merupakan salah satu peristiwa besar dalam hidup. Tapi aku sama sekali tidak menyangka kalau hal itu akan terjadi hari ini…


"Jaa~n, sampai juga!"


Dari Stasiun Inouji, kami naik kereta lokal dan turun tiga stasiun berikutnya.


Sekitar lima menit berjalan kaki dari sana, berdirilah apartemen tempat Charl tinggal.


Kami naik tangga ke lantai dua. Kamar di ujung lorong panjang, di sudut paling belakang, rupanya adalah miliknya.


"Silakan masuk! Maaf ya, mungkin agak berantakan…"


"Pe-permisi…!"


Begitu masuk, ruangan yang langsung terlihat adalah ruang tamu.


Ada tempat tidur single, sofa kecil, meja kaca bundar di tengah ruangan, serta rak buku penuh yang di atasnya terdapat pot tanaman hijau yang bahkan aku tak tahu namanya.


"Eh, ini sama sekali nggak berantakan, kok?"


"Benarkah? Syukurlah… ta-tapi jangan terlalu banyak lihat-lihat ya…"


Dengan wajah memerah, Charl tersenyum malu-malu. Meskipun disuruh tidak melihat, aku tak bisa menahan diri—ini kan tempat tinggalnya.


"Aku siapin minuman dulu, tunggu sebentar ya!"


"Ba-baik!"


Aku duduk di sofa yang ditunjuknya dan menarik napas panjang.


Memang aku yang bilang ingin terus bermain, tapi aku tak menyangka bakal sampai di rumahnya. Mungkin kami cuma akan bermain seperti biasa, tapi tetap saja aku belum siap secara mental…!


"Maaf nunggu lama!"


Sambil jantungku berdetak tak karuan, Charl datang dan meletakkan gelas berisi teh di atas meja.


"Teh nggak apa-apa kan?"


"Iya, terima kasih!"


"Bagus! Aku… ambil ini, ya!"


Yang ia ambil dengan ekspresi bahagia adalah… kaleng bir. Seperti biasa.


"Kalau begitu, bersulang~!"


"Be-bersulang…"


Kami menyentuhkan gelas dan kaleng itu pelan. Lalu Charl meneguk birnya dengan nikmat sebelum duduk di sebelahku.


Sofa yang hanya muat satu orang itu jelas membuat tubuh kami bersentuhan—lengannya, pahanya… semua menempel.


"Atsuto, kau kelihatan gugup ya?"


"Iya. Ini pertama kalinya aku masuk ke rumah seorang wanita soalnya…"


"Begitu ya… eii~!"


"Uwah!?"


Tiba-tiba Charl mencubit pipiku, membuatku refleks menjauh.


"Ahaha, maaf~! Soalnya kamu yang gugup gitu kelihatan lucu!"


"Se-sensei sendiri nggak gugup?"


"Eh, gugup kok! A-aneh ya, padahal aku yang ngajak kamu ke rumahku…"


Katanya begitu sambil tersipu, lalu meneguk sedikit birnya lagi.


Suasana jadi hening. Saking dekatnya, aku bisa mendengar napas kami berdua.


Suara "puhah~" saat Charl melepaskan bibirnya dari kaleng terdengar begitu menggoda.


…Tidak, ini bahaya. Aku harus mengalihkan perhatian!


"Te-temanin nonton TV, yuk?"


"I-ya, boleh!"


Charl menepuk tangannya, mencoba mencairkan suasana.


Tapi begitu TV dinyalakan—


"Uwah!"


"Wawah!?"


Yang muncul di layar adalah adegan ciuman panas dalam drama.


Aku buru-buru mematikan TV-nya.

Timing-nya sungguh buruk.


"S-suatu banget ya itu…"


"Benar juga…"


Keheningan kembali memenuhi ruangan.


(A-ada nggak ya sesuatu untuk mengalihkan suasana ini…!)


Aku memutar pandangan, lalu—


"Ah, ayo main game aja!"


Di bawah rak TV ada konsol game, jadi spontan aku bersuara.


"U-uh, iya! Game bagus juga!"


Charl menyalakan konsolnya. Layar TV menampilkan pembuka Wild Kart 8, game balap terkenal di seluruh dunia.


"Ah, aku juga punya ini!"


"Benarkah!? Wah, pasti seru! Aku jago lho?"


"Aku juga cukup kuat kok?"


"Fufufu~ kita lihat nanti ya!"


Dengan percaya diri, Charl menyerahkan kontroler padaku. Baiklah, main game pasti bisa mengusir rasa gugup ini…!


──Atau begitulah pikirku.


"Sensei, tolong tenang dulu!"


"Nggak bisa! Ini refleks!"


Sekarang aku malah makin tegang, tangan berkeringat menggenggam kontroler.


Penyebabnya? Charl terus mencondongkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri mengikuti belokan di game. Akibatnya, lengannya dan dadanya terus bersentuhan denganku…


"A-apa ini taktik untuk mengganggu fokusku!?"


"Bukan sengaja~! Ah, belok tajam!"


Begitu mobilnya belok ke kiri, tubuhnya juga miring ke kiri—dan dadanya menekan lenganku.


"Tunggu…!"


Sebagai laki-laki, jelas aku jadi tak bisa fokus.


──Bang!


Mobilku menabrak dinding dan keluar lintasan. Sementara Charl dengan gesit menyalipku.


"Mulai sekarang, jangan gerak ikutan sama lintasan!"


"Nggak bisa! Ini refleks~ ah, tikungan S!"


──Punyoon, funyan, puni~.


Setiap kali dadanya menyentuh atau menggesek, rasanya akalku mau hilang. Padahal niatku mau serius, tapi siapa yang tahan dengan gangguan seperti ini!?


…Tapi aku tak mau kalah. Dengan teknik jalan pintas, aku perlahan menyainginya.


Saat balapan hampir selesai, Charl tiba-tiba bicara.


"Atsuto, boleh tanya sesuatu?"


"Apa?"


"Kau punya pacar?"


"Eh…"


──Boom!


Aku menabrak lagi. Mobilku menghantam dinding.

Itu jelas jebakan untuk mengalihkan fokus!


"T-tidak punya…"


"Hehe, gitu ya. Nggak punya, huh…"


──Wuuush~


Kali ini, justru mobil Charl yang terjun ke jurang.


"Sensei?"


"A-aku cuma gagal ambil jalan pintas! Itu gara-gara kamu!"


"Kenapa jadi salahku!?"


Charl cemberut, tapi senyum kecil muncul di wajahnya.


"Hei, Atsuto. Dari dulu aku ingin bilang sesuatu…"


"Apa?"


"──Kalau cuma berdua begini, panggil aku ‘Charl’, ya?"


Suaranya lembut dan manis, membuat jantungku serasa meleleh.


Aku menelan ludah.


"A-a-apa harus begitu?"


"Iya. Di sekolah tentu nggak bisa, tapi kalau cuma kita berdua, aku senang dipanggil ‘Charl’. Jadi… hey, coba bilang?"


Nada manjanya membuatku makin deg-degan. Tapi aku mencoba memberanikan diri.


"…rl"


"Hm? Nggak kedengaran~"


"Cha… Charl!"


Begitu kuucapkan, Charl tersenyum cerah sekali.


"Akhirnya kamu bilang! Lagi!"


"Charl…"


"Fufu, senang banget… ah, sekarang bisakah bisikkan di telingaku?"


"Di… telingamu!?"


Ia mengangguk cepat, lalu mendekatkan telinganya.

Aku tak tahu harus bagaimana, tapi akhirnya—


"──Charl."


"Fuwaa…"


Tubuhnya bergetar lembut, pipinya merekah bahagia.


"Ehhehe… senangnya… ah, sekali lagi!"


"Eh!?"


Aku pun terpaksa memanggilnya berkali-kali, tapi di tengah-tengah—


"…Charl?"


Tak ada respons. Aku melirik ke samping—


"Zzz… zzz…"


"Tidur?"


Benar, ia sudah memejamkan mata. Dia memang sudah terlihat mengantuk sejak di jalan pulang tadi.


Aku mematikan konsol dan mengambil selimut di belakang sofa. Menutupkannya di atas tubuh Charl, yang langsung tersenyum kecil dalam tidurnya lalu bersandar di pundakku.


Ia benar-benar sudah tertidur nyenyak. Rambutnya yang halus menyapu pipiku setiap kali ia bernapas.


Aneh, bukannya geli, justru terasa nyaman. Aku menelan ludah, lalu dengan hati-hati mengelus kepalanya.


(…Lembut banget…)


Rambutnya begitu halus, berbeda jauh dari milikku.


Tapi tiba-tiba sudut bibirnya bergerak.


"Funya… hehe…"


"!?!"


Astaga! Aku ngapain nyentuh tanpa izin!?

Segera aku menjauh, berbaring di karpet.


"…Mending aku tidur juga, deh."


Tapi tentu saja, dengan Charl tidur di sebelahku, aku tak bisa memejamkan mata sama sekali.


Akhirnya, malam itu pun berlalu begitu saja sampai pagi.




Chapter 14

Aquarium Malam


Sudah seminggu berlalu sejak aku menginap di rumah Charl.


Setelah menjalani salah satu pengalaman besar dalam hidup — pertama kalinya aku pergi ke rumah seorang perempuan (meski sebenarnya dia adalah guruku) — entah kenapa hari-hariku terasa agak tidak tenang.


Setelah itu, aku sempat bermain dua kali lagi dengan Charl, berusaha bersikap seperti biasa. Tapi──


"Mou! Aku… aku masih ingin bermain sedikit lebih lama dengannya!"


Kenapa dia mengatakan hal seperti itu waktu itu?


"Kalau cuma berdua, aku ingin kau memanggilku 'Charl', ya?"


Apa sebenarnya maksud dari kata-katanya itu?


Pikiran tentang hal-hal itu terus berputar di kepalaku──


"What is this?"

"Ah, itu Kumakuro!"

"Yes! Very cute!"


Suara Charl membuatku tersadar kembali.


Saat aku menoleh ke arah meja guru, Charl sedang memegang gantungan boneka Kumakuro yang tergantung di ponselnya, memamerkannya dengan wajah bahagia.


Sekarang masih jam pelajaran. Dan ini pelajaran Charl. Aku harusnya memperhatikan.


"But, crane machine is difficult! I can almost get it… umm, oh my God!"


Charl menjelaskan dengan penuh ekspresi tentang betapa sulitnya mainan crane game itu, membuat seluruh kelas tertawa.


Sedikit memalukan sih, karena kejadian itu terjadi waktu aku bersamanya di arcade. Tapi──


(Hari ini sensei kelihatannya senang sekali ya…)


Saat pertama datang ke sekolah ini, Charl tampak kaku karena gugup. Tapi sekarang, senyumnya mulai terlihat alami.


Melihat perubahan itu entah kenapa membuatku ikut senang. Saat aku terus memperhatikannya──


"Ah, um, Yamazaki-kun?"


"Eh?"


Aku tersadar saat mendengar namaku. 


Gadis di depanku menoleh dengan wajah bingung sambil memegang lembar tugas.


"Syukurlah. Kukira kau ketiduran."


"Ah… iya, maaf."


Aku menerima lembar tugas itu, lalu menghela napas kecil. Ini gak boleh dibiarkan. Aku benar-benar terlalu terbawa suasana…


*****


Beberapa hari kemudian.


Sepulang sekolah, aku mengganti pakaian ke baju rumahan dan menjatuhkan diri ke atas ranjang.


Jam di samping menunjukkan pukul lima lewat.


Biasanya di jam segini ada ajakan main, tapi hari ini katanya Charl ada urusan, jadi gak bisa keluar.


"...Yah, kerjain PR aja deh."


Aku bergumam pelan, baru mau bangkit dari ranjang ketika tiba-tiba—BAAAN!—pintu kamarku terbuka dengan keras.


"Kak, ketuk dulu sebelum masuk."


"Ah, maaf──… eh!? Atsuto!?"


Begitu melihatku, kakakku, Akane, langsung melompat mundur kaget.


"Ada apa sih?"


"Soalnya biasanya jam segini kau belum pulang, kan? Kerja paruh waktunya gimana?"


"Libur. Emang kenapa?"


"Ah, a-aku cuma mau pinjam manga aja, sih…"


"Belajarlah. Kau kan siswa yang mau ujian."


"Aku belajar kok! Tapi siswa ujian juga butuh istirahat, tahu!"


Setelah membalas begitu, Akane mulai mencari-cari buku di rakku.


"Ah, yang ini aja deh. Tapi, hey Atsuto."


"Apa?"


Saat aku menoleh ke arahnya, entah kenapa wajah Akane tampak agak serius.


"──Kau lagi ada masalah, ya?"


Nada suaranya serius membuat jantungku berdebar.


"Nggak, gak ada masalah kok."


"Ah masa? Soalnya aneh aja, kau gak pergi main, terus wajahmu murung gitu."


Dia menggumam pelan sambil berpikir.


"Aku tahu! Ini pasti urusan cinta! Akhirnya datang juga masa-masa itu untukmu, Atsuto! Ayo, curhat aja sama kakakmu ini!"


"Percuma. Kakak kan sekolah di SMA khusus perempuan."


Aku membalas dengan kata pamungkas seperti biasa, tapi entah kenapa Akane langsung menutupi mulutnya dan pipinya sedikit memerah.


"Jadi bagian ‘urusan cinta’-nya gak kau sangkal, ya…"


"Haa!? B-bukan begitu!"


Sial, dia cuma menjebakku!?


"Cepat keluar! Aku mau keluar jalan-jalan!"


"Baiklah!"


Akane pergi sambil terkikik, wajahnya masih penuh senyum jahil.


Aku gak nyangka bisa terjebak dalam perangkap sesederhana itu. Belakangan ini aku benar-benar aneh…


Aku berganti pakaian ke kaos dan jeans, lalu keluar rumah. Saat kayak gini, cara terbaik buat ngilangin rasa lelah ya dengan bermain sepuasnya.


Karena di sekitar rumah gak ada tempat hiburan, aku naik kereta dan pergi dua stasiun ke depan, ke Stasiun Inouji.


"──Hm?"


Begitu keluar dari stasiun, aku langsung melihat seseorang yang kukenal.


"...Benika?"


Dia duduk di tepi air mancur depan stasiun, menyilangkan kaki sambil main ponsel.


Rambut merah pendek itu—gak salah lagi, itu Benika. Tapi, anehnya dia dikelilingi tiga cowok.


Dari situasinya, kelihatannya mereka sedang mencoba menggodanya. Tapi, karena aku tahu betul gimana keras kepalanya dia, kukira dia bakal langsung menolak mereka dengan mudah──


"Ah! Atsuto────!!"


Tiba-tiba Benika berteriak kencang, lalu melambaikan tangan ke arahku. Saat aku menunjuk diriku sendiri, dia menatap tajam seolah berkata "cepat ke sini".


…Entah kenapa, aku langsung tahu kenapa dia memanggilku.


"O-oh. Maaf nunggu… eh!?"


Begitu aku mendekat, Benika langsung memeluk lenganku dan menggesekkan kepalanya ke bahuku.


Uwah, apa-apaan ini… parfum? Baunya enak banget!


"Mou! Lama banget sih! Sayangku♡"


"Eh!? A-aku bukan—Aduh!?"


Aku mau membantah kalau aku bukan pacarnya, tapi dia langsung mencubit pahaku kuat-kuat.


Yah, maksudnya suruh aku ikut perannya beneran, kan!?


"O-oh, Benika-ppi… h-hari ini mau main ke mana?"


Aku menahan malu sambil bicara, dan para cowok tadi langsung pergi sambil ngomel, "Ternyata udah punya pacar" dan "Cewek yang bilang ‘ppi’ tuh aneh banget…"


"...Fuh. Mereka udah pergi. Lagian, aku gak pernah ngomong ‘ppi’, tahu!"


"Uh, Benika… lenganmu…"


Begitu aku menegurnya halus, dia baru sadar dan buru-buru melepaskan lenganku.


"Eh, kamu! Kenapa masih nempel aja!?"


"Kau yang gak mau lepas, tahu!?"


"Dan ‘Benika-ppi’ itu apa coba, hahaha! Nama buah baru, ya?"


Sial, udah mau bantuin malah digoda balik.


"Udah, aku gak bakal nolongin lagi, tahu!?"


"Ahaha, maaf maaf! Soalnya kalau sendirian, kejadian kayak tadi sering banget. Tapi makasih ya, bantu banget!"


Dia menangkupkan tangan dan berkedip nakal padaku.


"...Jadi, hari ini gak ada kerja modeling?"


"Ah, hari ini libur. Tapi, um──"


Dia menunduk sedikit, kelihatan ragu.


"Ada apa?" tanyaku. Dia melirik ke arahku sebentar lalu berkata,


"...Kayak semacam kencan bareng teman, gitu?"


"Kencan bareng teman?"


"Iya. Dari jam tujuh malam."


Oh, semacam goukon ya. Aku pernah dengar soal itu—kencan bareng antar sekolah..Tapi bukan hal yang nyangkut ke hidupku sih… tunggu,


"Sekarang udah lewat jam tujuh, tahu?"


Aku menunjuk jam di depan stasiun. Dia hanya menjawab kikuk, "Ah, iya, hehe…"


"Teman model ngajak aku. Tadinya mau ikut, tapi gak mood, jadi batal."


"Gak apa-apa tuh?"


"Gak apa-apa kok. Aku juga cuma bilang ‘kalau sempat bakal datang’."


Dia menyibak rambutnya santai. Kalau dia sendiri bilang gak masalah, ya sudah. Tapi──


"...Kau gak pulang?"


Dia menoleh sebentar, lalu tersenyum.


"──Hei, gimana kalau kita main berdua aja sekarang?"


"Eh!? B-berdua?"


Belakangan aku memang sering main sama Charl, jadi gak pernah main bareng Benika atau Taketsuru. Tapi berdua aja? Kayaknya baru kali ini. 


"Aku udah bilang ke orang rumah kalau pulangnya malam. Kalau tiba-tiba pulang cepat malah dicurigain, kan?"


"Ya juga sih…"


"Nah, jadi, kita main apa?"


Dia menatapku penuh harap, seolah menunggu ide bagus. Tapi, pilihan buat "main" tuh gak banyak juga.


"Uhm, bowling?"


"Lagi gak mood."


"Darts? Atau karaoke?"


"Itu juga enggak."


"...Nonton film?"


"Aduh, itu mah kayak kencan. Ada ide lain gak?"


"Yah! Kalau gitu kamu aja yang nentuin deh!"


Dia berpikir sejenak, matanya menelusuri sekitar, lalu berseru kecil, "Ah!"


"Gimana kalau ke akuarium?"


"Ke akuarium!? Itu malah lebih mirip kencan, tahu!?"


"Masa sih? Soalnya sekarang tubuhku lagi pengen sesuatu yang menenangkan, bukan yang heboh-heboh. Lagian kamu juga kelihatannya gak sibuk, kan?"


"Ya, memang sih… tapi──"


"Udah, fix ya!"


Dia langsung berdiri, memotong perkataanku. Kelihatannya bukan karena dia mau menggoda, tapi memang beneran ingin pergi.


"Ngapain bengong? Ayo, jalan!"


"O-oke…"


Tenang, ini cuma jalan-jalan biasa.


Tapi… akuarium, ya.


…Gak bisa dipungkiri, ini rasanya kayak kencan juga.


*****


──Setelah berbagai kejadian tadi, kami berjalan sekitar sepuluh menit.


Tempat yang kami datangi adalah akuarium yang berada di atap gedung yang terhubung langsung dengan stasiun.


Aku pernah ke sini sekali waktu masih SD untuk acara karyawisata, tapi sejak itu belum pernah lagi.


"Heh, seperti yang kuduga, lumayan ramai juga ya karena ini akhir pekan."


Di pintu masuk, antrian pengunjung yang hendak membeli tiket mengular panjang, dan karena sekarang malam, hampir semuanya pasangan.


"Eh, tapi... kok pasangan banyak banget, ya?"


Mungkin karena menyadari hal yang sama, Benika bergumam pelan sambil berdiri di barisan.


"…Iya, banyak banget."


"Ini tuh, jangan-jangan orang-orang juga mikir kita pasangan, ya?"


Berhenti. Jangan bilang gitu! Aku sengaja menghindari topik itu!


"A-aku nggak tahu!"


Aku membalas dengan wajah memanas, tapi Benika hanya menjawab santai,


"Begitu, ya," lalu—


"Hei!"


Entah kenapa dia tiba-tiba menggenggam tanganku erat-erat dan menyelipkan jarinya di antara jariku.


"H-hey, apa-apaan!?"


Aku berusaha menarik tanganku, tapi Benika justru menggenggamnya makin kuat sambil menatapku dengan senyum licik khas setan kecil.


"Ah, apa kamu gugup?"


"N-nggak! Dan kenapa juga tiba-tiba begini!?"


"Nggak, aku cuma kepikiran aja. Kayak main ‘pura-pura pacaran’? Yang pertama kali malu dan ngelepas tangan duluan harus traktir makan malam nanti. Gimana? Seru, kan?"


Sama sekali nggak seru! Kenapa dia kepikiran bikin game aneh kayak gini!? Dan jelas, dia cuma mau ngerjain aku. Lihat aja, dari tadi senyum-senyum terus.


"B-baiklah! Tapi aku kasih tahu aja dulu. Makasih buat makan malamnya, ya."


Mungkin nggak nyangka aku bakal jawab begitu, Benika sempat kaget sedikit, lalu kembali tersenyum menantang.


"H-huh, gitu ya. Kalau gitu, deal! Yuk, kita masuk!"


"O-oke! Aku nggak akan kalah!"


Saling lempar tatapan penuh semangat, kami membeli tiket di mesin otomatis.


Begitu melewati pintu otomatis, suasana di dalam berubah total—musik lembut mengalun seperti dari dasar laut, dan satu-satunya sumber cahaya hanya berasal dari akuarium besar yang memancarkan warna kebiruan.


"Wow, keren banget! Ikan-ikannya banyak banget!"


Benika berseru riang seperti anak kecil, matanya berkilat menatap ikan-ikan berwarna cerah yang berenang di balik kaca besar.


Tangannya masih menggenggam tanganku erat.


Jujur, aku gugup setengah mati, tapi pemandangan di depan mata begitu memukau sampai aku lupa segalanya.


"Uwah… luar biasa!"


"Hei, Atsuto! Lihat ini, lucu banget!"


"Eh!? Tu-tunggu!"


Benika menarik tanganku dengan semangat ke arah lain. Di sana, muncul ikan-ikan ramping yang mengintip dari pasir.


"Memang lucu juga, ya. Ini ikan apa?"


"Namanya… ikan taman laut, katanya! Nanti aku mau beli bonekanya, ah! …Ah, Atsuto!"


Dia menarik tanganku lagi, kali ini menuju akuarium lain. Seekor ikan tampak diam di balik batu, seolah sedang melamun.


"Pfft… itu mirip kamu banget!"


"Hah?"


"Lihat deh, mulutnya melongo, kelihatan bosan banget… kayak kamu pas di kelas, hahaha!"


"Serius!? Aku kelihatan sebodoh itu pas di kelas!?"


Benika nggak tahan lagi dan tertawa terbahak-bahak.


Awalnya kupikir aku nggak bakal bisa menikmati jalan-jalan ini karena gugup, tapi karena Benika bertingkah seperti biasanya, aku pun mulai rileks sedikit demi sedikit.


Begitulah, sambil melihat berbagai jenis ikan, kami terus berjalan di sepanjang lorong.


Sampai akhirnya, kami tiba di sebuah area bertuliskan "Ruang Ubur-ubur".


Begitu masuk ke dalam—


"Wow…"


"Indah banget…"


Yang menyambut kami adalah puluhan ubur-ubur kecil yang berenang lembut di dalam akuarium raksasa.


Cahaya putihnya berpendar di tengah kegelapan, terlihat seperti bintang-bintang di langit malam, meski sebenarnya mereka ada di dalam air.


Benika, yang tadi sempat berisik memuji ikan lucu, kini terdiam, matanya terpaku menatap pemandangan itu.


"Indah banget, ya, Atsuto."


"Iya… bener."


Sementara kami menatap ke arah air, seekor ubur-ubur kecil berenang mendekat ke sisi Benika dan berputar lembut di depannya.


"Hehe, lihat, lucu banget."



Benika memutar jarinya pelan seolah sedang bermain dengan ubur-ubur itu.


Wajahnya tersenyum tenang di bawah cahaya biru lembut—dan jantungku berdetak keras.


Mungkin ini karena pesona malam di akuarium.


──Atau mungkin karena, sesaat tadi, aku benar-benar menganggap Benika itu manis.


"Entah kenapa, tempat ini bikin aku inget sesuatu, deh."


Benika berhenti memainkan jarinya, lalu bergumam pelan.


"Inget sesuatu?"


"Kamu masih ingat nggak? Waktu karyawisata pas kita kelas empat SD."


Tentu aku ingat. Itu hari di mana aku dan Benika pertama kali jadi teman.


"Iya, aku ingat."


Sekarang mungkin sulit dipercaya, tapi dulu Benika pernah sempat nggak masuk sekolah cukup lama.


Sekitar satu setengah tahun—mulai dari musim semi kelas tiga sampai sehari sebelum karyawisata di kelas empat.


Dulu Benika anak yang pemalu banget. Sementara anak-anak lain main ramai-ramai, dia lebih suka duduk sendirian di pojokan kelas, membaca buku.


"Sebenarnya waktu itu aku juga nggak mau ikut karyawisata, loh. Tapi Mama maksa banget bilang, ‘Pokoknya kamu harus pergi!’ Jadinya aku berangkat dengan setengah hati."


Begitu aku mengangguk sekali, Benika melanjutkan dengan pandangan yang tampak bernostalgia.


"Kalau acara karyawisata itu kan, kita dibagi jadi kelompok, kan? Jadi, waktu itu aku yang tiba-tiba ikut cuma di hari karyawisata aja, jadinya ya… aku bener-bener keliatan aneh di antara yang lain. Terus terang sih, waktu itu berat banget. …Tapi, tahu nggak,"


Benika menarik napas kecil.


"Kamu waktu itu terus ngajak aku ngobrol, padahal aku sendirian!"


Dia menoleh padaku dengan senyum lebar yang penuh semangat.


"Ah, itu… yah…"


Aku menggaruk pipiku yang sedikit terasa panas, tak tahu harus menjawab apa.


"Padahal kamu bukan satu kelompok sama aku, tapi kamu tetap nyamperin dan berusaha bikin aku ketawa. Karena kamu, aku jadi bisa pergi ke sekolah lagi mulai keesokan harinya, tahu?"


Tangan Benika yang masih menggenggam tanganku mulai terasa hangat dan sedikit berkeringat.


Detak jantungku terdengar jauh lebih keras dari biasanya.


"Makanya," gumam Benika pelan,


"──sejak hari itu kamu udah jadi orang yang spesial buatku, dan aku harap mulai sekarang kita bisa jadi sesuatu yang lebih… spesial lagi."


Dia mengucapkannya cepat, tapi tatapannya lurus menembus mataku.


"A-apa…!?"


Hubungan yang lebih spesial… maksudnya apa!?

Jangan-jangan ini artinya aku… di-ditembak…!?


Tunggu dulu, tunggu! Bukannya hari ini kita cuma jalan bareng sebagai teman!?


"…Benika,"


Aku memberanikan diri untuk membuka mulut—


"Ya, kamu kalah!"


"………Hah?"


Dengan wajah senang, Benika mengangkat tinjunya tinggi dan menunjuk tangan kananku.


Sial! Tanganku terlepas!


"Ahaha! Rencana berhasil!"


"~~~~!!"


Jadi itu maksudnya!? Seseorang tolong pukul aku yang tadi sempat menganggap serius!


"Jadi, artinya makan malam kamu yang traktir, ya!"


"Ya ampun, ya udah deh… argh, nggak nyangka aku bisa kalah begitu aja…"


Aku sudah bisa menebak, Benika pasti nggak akan sungkan pesan makanan mahal nanti. Tapi saat aku sedang berpikir begitu—


──tiba-tiba Benika kembali menggenggam tanganku erat-erat.


"Eh, tunggu, ini bukan taruhan lagi, kan!?"


"Ah—… ini cuma… aku pengen pegangan tangan aja… gitu?"


Padahal dia sendiri yang memulainya, tapi kini wajah Benika malah memerah dan dia memiringkan kepalanya malu-malu.


Apa maksudnya ini? Kalau nggak ada taruhan apa-apa, berarti ini cuma…


"Ayo, kita jalan, yuk!"


Dengan senyum lembut yang memutus alur pikiranku, Benika melangkah lebih dulu.


Setelah itu, kami berjalan-jalan pelan di dalam akuarium sampai jam tutup pukul sembilan malam.


Kami memandangi makhluk laut seperti "mendako", gurita pipih dengan mata bundar menggemaskan.


Kami juga memperhatikan ikan-ikan yang berenang di sekitar hiu sambil khawatir, "Apa mereka nggak dimakan, ya?"


Lalu ikut memberi makan ikan dan terkejut waktu semuanya berkerumun mendekat.


Aku tak pernah tahu kenapa Benika tiba-tiba menggandeng tanganku begitu saja. Tapi, saat semuanya berakhir, aku sadar… ternyata hari ini menyenangkan juga.




Chapter 15

Di Tempat Aku Mencari Kenangan


Setelah keluar dari akuarium, kami mampir ke warung ramen di dekat situ untuk mengisi perut, lalu mulai berjalan menuju stasiun.


"Fuh, kenyang banget!"


Benika yang berjalan di sebelahku tersenyum puas sambil mengusap perutnya.


Aku cuma pesan ramen tonkotsu ukuran biasa, tapi Benika pesan ramen yang sama plus setengah porsi nasi goreng. …Dan dia juga nambah mie.


Seperti yang sudah dijanjikan, aku yang bayar. Ahh, dompetku makin tipis lagi…


"...Kau kebanyakan makan, tahu."


"Kan kamu yang traktir? Lagian, kalau makan bareng teman-teman model, tempatnya pasti kafe atau restoran bergaya gitu, deh. Rasanya makan ramen bareng kamu tuh paling pas."


"Ya, makasih banyak."


Aku hanya bisa tersenyum miris pada wajah Benika yang tampak bahagia, sambil terus berjalan menuju stasiun.


…Yah, seperti yang kuduga.


"Hey, Benika."


"Hmm?"


"──Ini, kita nggak salah jalan, kan?"


Benika mengeluarkan suara kecil, "Eh?", lalu menoleh ke sekitar. Kemudian dia menunjuk ke arah jauh.


"Ah, ternyata stasiunnya di sana!? Ini kebalik, dong!"


"Kau tadi jalan dengan yakin banget, tahu."


"Nggak bisa disalahin! Aku jarang ke daerah sini!"


Kami pun balik arah, berjalan mengikuti arus orang yang menuju stasiun.


Namun di tengah jalan—


"Ah! Hey, Atsuto. Lewat sini kayaknya lebih dekat, deh!"


Benika menunjuk ke arah gang sempit yang agak gelap dan sepi.


…Yah, kalau dilihat dari arahnya sih, benar juga.


"Kalau begitu, ayo lewat sini aja."


Kami meninggalkan keramaian dan masuk ke dalam gang yang redup itu.


"Padahal lewat sini lebih dekat, tapi kenapa orang-orang nggak lewat sini, ya?"


Aku juga sempat berpikir hal yang sama—sampai akhirnya aku sadar alasannya.


Awalnya gang itu cuma agak gelap saja, tapi makin ke dalam, makin banyak bangunan dengan lampu mencolok berwarna merah, biru, hijau, dan pink.


Dan semuanya adalah… hotel.


Dari manapun kau lihat, ini jelas sekali—


"Daerah hotel cinta…—Aduh sakit!?"


Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, tangan Benika langsung melayang dan menepuk punggungku keras-keras.


"Kamu nggak perlu nyebutin hal kayak gitu meskipun udah jelas!"


"Eh, tapi itu bener, kenapa aku malah dipukul!?"


"Aah, gawat banget! Kalau tahu ini area hotel cinta, aku nggak bakal lewat sini!"


Dengan wajah kesal, Benika mempercepat langkahnya.


Namun,


"...Eh?"


Tiba-tiba kami berdua berhenti bersamaan.


"Eh, itu…"


"Mereka tadi di akuarium, kan?"


Kami melihat sepasang pasangan muda—mungkin mahasiswa—yang wajahnya terasa familiar. Ceweknya pakai rok bermotif macan tutul, jadi cukup mudah diingat.


Keduanya tertawa-tawa sambil masuk ke salah satu hotel dengan cahaya pink mencolok.


Suasana mendadak berubah kaku. Ini nggak bagus, kami harus segera keluar dari sini!


"Ayo, Benika."


Begitu aku menggenggam tangan Benika dan menariknya, terdengar suara tinggi darinya.


"Ha!?"


"Ayo, cepat."


"Eh, e-eh!? Nggak mungkin, kan!? Beneran!? S-serius!?"


"Cepatlah."


"C-cepat!? Ehh!? Memang sih kita dekat, tapi hal kayak gini tuh ada urutannya, tahu!?"


"Urutan?"


Aku menatap heran, sementara Benika memalingkan wajah dengan pipi memerah.


"Ka-kalau kamu serius sih… a-aku nggak apa-apa. Tapi… tanggung jawab, ya?"


Tanggung jawab? Maksudnya apa?


"Ah, ya."


Aku mengangguk tanpa mengerti, dan Benika menggenggam tanganku erat-erat.


"...Tolong perlahan, ya?"


Dengan wajah canggung dan mata yang gugup, dia mulai melangkah menuju hotel di depan kami.


"Eh, bukan gitu maksudku!!"


Aku spontan berteriak dan melepaskan genggamannya.


Oh jadi itu maksudnya! Pantas aja tadi dia ngomong soal urutan dan tanggung jawab segala!


"Tunggu! Tanggung jawabmu dong! Kamu yang ngajak duluan, tahu!?"


"Nggak perlu tanggung jawab segala! Maksudku kita ke stasiun!!"


"Ke… stasiun?"


Benika bergumam dengan wajah bingung, lalu pipinya mendadak memerah dalam sekejap.


Dan tak lama kemudian, PLAK!!


Tamparan keras mendarat di punggungku lagi.


"Ugh, sakit banget!!"


"A-aku salah paham, tahu! Kamu tuh ngomongnya kurang jelas!"


"Kau yang salah paham sendiri! Dan tadi kau bilang ‘perlahan’ segala—"


"Lupakan itu! Serius, lupakan!! Ugh, udah begini, aku bakal bikin kamu lupa beneran…!"


"Jangan, jangan! Jangan gegabah, stop!!"


Benika mengangkat tinjunya dengan wajah merah padam, napasnya terengah—


──Brak.


Tiba-tiba terdengar suara sesuatu jatuh dari belakang.

Kami berdua menoleh, dan di sana—


"Ah… Atsuto…?"


Charlotte berdiri di sana, menatap kami dengan wajah terkejut.


Kantong kertas di tangannya jatuh ke tanah tanpa ia sadari.


*****


"U-umm…"


"Eh… S-sensei!?"


"Ha? Eh? Apa maksudnya ini? Eh? Eh!?"


Aku kehilangan kata-kata melihat kemunculan mendadak Charl.


Benika menatap dengan mata terbelalak, sementara Charl berdiri kaku di tempat dengan ekspresi kosong.


Sebuah situasi tiga arah yang benar-benar tidak boleh terjadi telah lahir.


"Ah… begini ya. M-maaf! Aku nggak nyangka kalian lagi… begitu."


Charlotte tersenyum kaku sambil membungkuk cepat-cepat, bahunya bergetar halus. Melihatnya seperti itu membuat kepalaku mendadak kosong.


"Charlotte-sensei! Kami nggak ngelakuin apa-apa! Sumpah!"


"N-nggak apa-apa kok? Aku cuma… itu…"


"Salah paham! Kami cuma lewat! Hey, Atsuto, bantu jelasin dong! Jangan bengong gitu!!"


"Sensei, ini sebenarnya—"


"Maaf, ya."


Charl memotong kata-kataku tanpa menatap, suaranya pelan.


"Kayaknya… aku sedikit terlalu percaya diri. Sampai jumpa di sekolah, ya."


Setelah mengucapkannya, dia berbalik dan berlari pergi.


"T-terlalu percaya diri…?" gumam Benika bingung.


Aku juga tak tahu apa maksud ucapannya, tapi aku tahu satu hal dengan pasti.


──Aku nggak boleh membiarkan Charl sendirian sekarang.


"Maaf, Benika! Pulang duluan aja!"


"Kenapa!? Kalau kita berdua jelasin, mungkin dia bakal ngerti!"


Aku tahu Benika ingin menjelaskan kalau kami cuma salah paham. Tapi sekarang, yang paling penting bukan itu.


"Tolong, Benika. Biarkan aku sendiri yang pergi."


Benika menutup mulutnya dengan ekspresi tak nyaman.

Tapi aku juga tak bergeming.


Hening panjang seolah waktu berhenti, sampai akhirnya—


"Aahhh sudah deh! Aku nggak ngerti, tapi pastikan kamu beresin salah paham itu ya!"


Dia berteriak akhirnya, menyerah.


"Terima kasih! Aku berutang banget!"


Aku berkata singkat dan langsung berlari ke arah tempat Charlotte pergi.


Bahkan aku yang bego pun tahu, kalau aku diam saja, hari di mana aku bisa jalan bareng Charl lagi… dan nggak akan pernah datang.


Dan aku nggak mau hal itu terjadi.


Tolonglah, semoga dia belum jauh.


*****


Begitulah, setelah beberapa lama aku terus mengejar Charl.


Akhirnya, aku melihat sosoknya yang hendak melewati gerbang tiket di stasiun.


"Haa... haa... kuhh... Charl!"


Dengan tenggorokan yang sudah serak karena berlari sekuat tenaga, aku memanggil namanya.


Charl terkejut dan tubuhnya menegang, lalu menoleh dengan gerakan kaku.


Aku menggenggam kedua bahunya yang kecil, menarik napas untuk menstabilkan pernapasan, lalu mengangkat wajahku yang basah oleh keringat.


"A-Atsuto!...."


Sesaat dia sempat menatapku, tapi langsung memalingkan wajah.


"Dengarkan aku! Ini tidak seperti yang kau pikirkan, Charl!"


(Puih.)


"Setelah bermain bersama Benika, aku tersesat di jalan pulang dan kebetulan masuk ke tempat itu saja! Tolong percaya padaku!"


(Puih.)


Meski sudah kuberi penjelasan, dia sama sekali tidak mau mendengarkan.


"Aku... aku sungguh tidak apa-apa, kok!"


Charl menepis tanganku dan mulai berjalan menuju gerbang tiket.


Sial, kalau begini...


"Charl!"


"Hyaa!?"


Aku menarik Charl ke dalam pelukanku dari belakang dengan kuat.


Begitu aku menguatkan pelukanku, Charl yang wajahnya merah padam menoleh padaku dengan pandangan gugup.


"Tu-tunggu, ini tempat umum, tahu...!"


"Aku tidak mau ini berakhir begitu saja!"


Nada suaraku meninggi dengan tegas, membuat Charl terdiam tertekan.


"Aku tidak mau semuanya berakhir hanya karena kesalahpahaman! Itulah sebabnya aku mengejarmu sampai ke sini!"


"Uuuh..."


Tentu saja, melakukan ini tepat di depan gerbang stasiun menarik perhatian banyak orang.


──Entah sudah berapa lama kami seperti itu.


"Atsuto..."


Menembus keheningan yang panjang, Charl memanggil namaku dengan lirih. Lalu, dia tiba-tiba berbalik dan memelukku erat dari depan.


"Aku juga masih ingin bermain denganmu, Atsuto...!"


Mendengar suara lembut Charl itu, aku pun membalas pelukannya dengan kuat.


Beberapa saat kemudian, Charl perlahan melepaskan pelukannya.


"Jadi... benar-benar tidak ada apa-apa antara kamu dan Benika-chan...?"


Charl bertanya dengan mata membulat, seolah masih sulit mempercayainya.


"Nggak ada apa-apa kok. Sungguh. Malah, Benika sudah mencoba menjelaskannya, tapi kamu malah pergi begitu saja."


"Soalnya itu... auu..."


Charl sempat ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya menggumam pelan dan terdiam. Tapi yah, sepertinya kesalahpahaman sudah teratasi.


...Begitu aku mulai merasa lega—


"Eh? Atsuto, tunggu sebentar!"


Charl tiba-tiba mendekat dengan wajah serius.


"Jadi maksudnya... kalian tetap pergi jalan bareng, kan!?"


...Hah, serius, sekarang baru ditanyain?


"E-eh, iya, memang begitu sih... Aku kebetulan bertemu Benika di stasiun, lalu begitulah..."


Begitu aku menjawab, Charl menggembungkan pipinya dan manyun.


"Jadi memang begitu. Hmph..."


Tatapan tajamnya menusukku seperti duri halus.


Apa... bahkan pergi bareng pun dilarang...?


"Ehm, Charl?"


Aku memanggilnya hati-hati, dan Charl menghembuskan udara dari pipinya seperti balon yang kempis.


"Besok kamu harus main sama aku, titik! Atsuto kan guruku! Paham!?"


Katanya sambil berkacak pinggang.


"Ba-baik! Pasti!"


Aku buru-buru menjawab, dan Charl menegaskan, "Harus ya!"


Rasa sedih yang tadi menempel sudah hilang entah ke mana. Sekarang dia malah terlihat cemberut dan marah-marah.


(Tapi entah kenapa, Charl yang begini terasa lebih seperti dirinya sendiri.)


Pikiran itu membuatku tanpa sadar tersenyum.


Namun di saat itu juga—


"—Ah! A-ada apa ini!?"


Charl bergumam kecil dan tubuhnya menegang.


"Ada apa?"


"Atsuto, nggak ada! Nggak ada!"


Dengan wajah pucat, Charl menggenggam erat lengan bajuku.


"...Yang hilang itu dompet?"


"Bu-bukan! Bukan dompet!"


Charl mengeluarkan ponselnya dari saku jas dan menunjukkannya padaku.


"Boneka kumakuro yang nempel di ponselku hilang! Gimana ini!?"


"Hah...? Boneka?"


Kupikir tadi yang hilang sesuatu yang penting seperti dompet atau barang berharga lainnya...


Kalau cuma boneka, seharusnya—


"Tidak apa-apa, kok! Kalau mau, kita bisa pergi lagi ke game center dan—"


"Nggak bisa gitu aja!"


Charl memotong ucapanku. Matanya menatapku dengan campuran marah dan sedih.


"Aku selalu merasa gugup waktu ngajar, takut nggak bisa melakukannya dengan baik. Tapi belakangan ini, entah kenapa aku jadi lebih semangat, lebih yakin bisa melakukannya. Mungkin itu karena..."


"......"


"Karena... Atsuto selalu ada di sisiku!"


Charl menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca, membuatku tersentak.


"Charl..."


"Kalau boneka itu ada, aku merasa seperti Atsuto selalu menemaniku... Dan juga..."


Dia menarik napas pendek.


"Itu hadiah ulang tahun dari Atsuto... penuh dengan kenangan, tahu...!"


Benar juga. Aku benar-benar lancang barusan.

Charl terlihat sangat bahagia waktu itu.


Kalau boneka itu berarti sejauh itu baginya, maka hanya ada satu hal yang harus kulakukan.


"Ayo kita cari!"


Aku berkata dengan semangat sambil menggenggam tangan Charl yang sudah lesu.


"Kalau kita berdua mencarinya, pasti bisa ketemu!"


Bagi orang lain, itu mungkin cuma boneka. Tapi kalau di dalamnya tersimpan kenangan Charl, maka itu sesuatu yang tak tergantikan.


Charl mengusap matanya yang basah dengan punggung tangan.


"Iya...! Aku nggak akan pulang sebelum ketemu!"


*****


Dan begitulah, operasi pencarian Kumakuro pun dimulai dengan kami berpisah untuk mencari di dua arah.


"Sial, nggak ada juga..."


Sudah sekitar satu jam setengah sejak kami mulai mencari, tapi tak ada tanda-tanda boneka itu.


Lebih buruk lagi, di tengah-tengah pencarian malah turun hujan deras.


Akhirnya, aku kembali ke stasiun dengan langkah lemas.


Di sana, Charl yang sudah lebih dulu kembali menungguku dengan wajah gelisah.


"Ketemu!?"


"Nggak... Belum. Kalau ketemu, pasti langsung kukabari..."


"Iya, ya... Kira-kira ke mana ya, Kumakuro..."


Charl menundukkan kepala, bahunya merosot lesu.


"Kau sudah tanya ke petugas stasiun?"


"Sudah dari awal! Tapi katanya belum ada laporan barang hilang..."


"Begitu, ya..."


Kami sudah cukup menyisir area sekitar stasiun. Tapi karena kami mencari terpisah, masih mungkin ada tempat yang terlewat.


"Gimana kalau kita cari sekali lagi! Kalau berdua, mungkin bisa ketemu! Kau pertama kali cari di mana?"


"Uhm, di daerah yang banyak hotel cinta..."


"Baiklah, ayo ke sana!"


──Dan begitulah, kami pun kembali lagi ke kawasan hotel cinta.


Kami memeriksa dengan saksama, memastikan tidak ada yang terjatuh di jalan, di semak-semak, atau di bawah mesin penjual otomatis── benar-benar mencari sampai ke sudut-sudut terkecil. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Kumakuro.


Bahkan, hujan mulai turun semakin deras, menggerus tenaga dan semangat kami sedikit demi sedikit.


(Sudah sejauh ini dicari tapi masih belum ketemu, mungkin saja…)


Ketika pikiran seperti itu sempat melintas di benakku──


"Ada─────!!"


Sebuah teriakan terdengar dari belakang, membuatku menoleh. Charl sedang melompat-lompat sambil menunjuk ke arah pintu masuk hotel.


"Ma… mana!? Ah, benar… ada!"


Aku melihat boneka Kumakuro tersangkut di papan nama hotel dan langsung merasa lega.


Tadinya kupikir pasti terjatuh di jalan, jadi bagian ini memang tidak kuperiksa dengan detail.


"Mungkin ada tamu hotel yang menemukannya dan menggantungkannya di sana, ya?"


"Mungkin begitu!"


Charl mengambil Kumakuro dari papan itu dan memeluknya erat di dadanya.


"Selamat datang kembali, Kumakuro…!"


Melihat Charl memeluk boneka itu dengan begitu sayang, aku tanpa sadar ikut tersenyum.


Sudah sekitar dua setengah jam sejak pencarian dimulai.


Sungguh melelahkan, tapi akhirnya semua selesai dengan baik── atau tunggu dulu. Dua setengah jam?


"Baiklah, sekarang kita akhirnya bisa pulang!"


Charl meregangkan tubuhnya panjang lebar dengan wajah lega. Tapi saat itu aku baru sadar sesuatu yang cukup fatal.


"Uhm… sudah lewat."


Dengan bibir bergetar, aku berusaha mengatakannya, dan Charl menjawab dengan suara bingung, "Hmm? Lewat apa?"


"Sudah lewat, kereta terakhirnya."


Ekspresi Charl langsung menegang, tubuhnya membeku di posisi saat sedang meregangkan tangan.


"…Kau bercanda, kan?"


"Lihat saja ini!"


"Apa!? Beneran udah lewat────!?"


Begitu kutunjukkan layar aplikasi jadwal kereta di ponsel, Charl langsung menepuk kepalanya keras-keras.


"Gi… gimana ini!? Gimana, Atsuto!?"


"Te… tenang dulu! Kita pikirkan baik-baik!"


Pikir, pikir! Harus ada solusi── ah, benar!


"Naik taksi! Kita naik taksi aja! Aku antar kau pulang, nanti kalau hujan berhenti aku bisa jalan kaki pulang sendiri!"


Mungkin sedikit boros, tapi sekarang bukan saatnya pilih-pilih.


Namun, Charl menunjukkan ekspresi rumit.


"Sebenarnya, malam ini kakakku mau datang ke rumah…"


"Eh? Datangnya jam berapa?"


"Dia bilang setelah selesai kerja, jadi aku nggak tahu pasti jam berapa… Tapi kalau aku pulang duluan dan dia datang, pasti kelihatan kalau aku habis bareng seseorang…!"


"Itu… detektif banget, ya."


"Kakakku itu tajam banget! Ah, gimana dengan rumahmu, Atsuto!?"


"Orang tuaku dan kakakku juga ada di rumah, jadi… kayaknya nggak bisa."


Ugh, gawat. Kereta terakhir sudah lewat, dan sekarang kami juga nggak punya tempat buat pulang…!


"Jadi… jalan kaki aja!?"


"Di tengah hujan kayak gini!? Lagi pula mau ke mana?"


"Iya juga, sih…"


Sambil kami berpikir, Charl tiba-tiba bersin kecil, "A-achoo!"


"Kamu baik-baik saja!?"


"Uu… sedikit dingin aja…"


Meskipun ini bulan April, kalau basah kuyup begini tentu tubuhnya akan kedinginan.


Kami hanya bisa berdiri terpaku di depan pintu hotel, tanpa tahu harus berbuat apa.


Suasana mulai terasa canggung dan berat── sampai akhirnya Charl membuka mulut lebih dulu.


"Uhm… masuk aja, yuk?"


Aku melirik ke arahnya, bingung.


"Masuk… ke mana?"


Saat aku bertanya, wajah Charl langsung memerah.


"Ke… ke sini! Masuk ke sini aja, gimana!?"


Dia bahkan bertanya dengan nada formal, seolah berusaha menyembunyikan rasa malunya.


Hah? Ke sini? Maksudnya──


"Ke… ke hotel cinta ini!?"


"Ya! Soalnya… cuma ada tempat ini aja…"


"Lalu kakakmu gimana!?"


"Aku bisa bilang kalau aku nginep di sekolah karena ada tugas yang belum selesai…"


Charl menunduk, menyentuhkan kedua telunjuknya satu sama lain dengan canggung.


Hotel cinta, artinya… tempat untuk hal yang ‘bernuansa cinta’, kan…


"A-achu!"


Charl kembali bersin kecil, membuatku tersadar bahwa dia benar-benar kedinginan.


Kalau begini terus, dia bisa sakit beneran. Dengan semua pilihan yang ada, sepertinya ini satu-satunya jalan yang tersisa.


"…Nggak boleh, ya?"


Dengan kepala sedikit miring dan mata memohon, Charl menatapku dari bawah.


T-tenang. Kalau kita hilangkan unsur "love"-nya, hotel cinta itu cuma hotel biasa, kan!?


Nggak ada pilihan lain, ini demi kesehatan Charl!


"Baiklah, kita… masuk aja, ya!? Be… benaran ini boleh, kan?"


Charl masih menunduk malu, tapi mengangguk pelan dengan pipi yang memerah.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close