Penerjemah: Flykity
Proffreader: Flykity
Chapter 6
Pelajaran Pertama Yamazaki Atsuto (Part 3)
Setelah itu, kami beralih ke waktu makan malam.
"Atsuto, kau menyesal?"
"Y-ya, aku benar-benar menyesal! Maaf!"
Aku duduk tegap di kursi, menghadapi Charl yang sedang mengembungkan pipinya dengan kesal.
Alasan kenapa dia marah tentu saja karena kejadian sebelumnya. Aku hanya bermaksud bercanda, tapi karena reaksinya lucu, aku jadi sedikit keterlaluan.
"A-ayo, makan sebelum makanannya keburu dingin!"
Aku menunjuk menu di meja. Aku memesan hamburger steak, sementara Charl memilih omurice.
"Hmm... yah, mungkin memang keburu dingin sih."
Charl menatapku sekilas seolah berkata, "Aku belum memaafkanmu, tahu?" lalu menyuapkan omurice ke mulutnya.
"Eh!? Ini apa!? Enak banget!"
Sekejap saja, wajah marahnya lenyap dan berubah jadi ekspresi ceria.
"Syukurlah! Memang enak, kan? Aku juga suka menu itu."
"Ini luar biasa! Telurnya lembut banget, dan saus demiglace-nya juga sempurna!"
"Katanya, koki di sini dulunya adalah chef hotel, lho."
"Serius!? Jadi makanan yang kita makan ini sekelas restoran hotel!? Keren banget!"
Charl terus makan omurice-nya dengan lahap, pipinya mengembang bahagia. Sepertinya dia sudah tidak marah lagi. Aku pun bisa bernapas lega dan mulai menyuap hamburger pesananku.
Begitu kugigit, dagingnya terasa juicy dan meleleh di mulut. Rasa gurih saus bawang khas Jepang-nya membuatku ingin segera mengambil suapan berikutnya.
──Saat aku menikmati rasa itu...
(…Tatapan panas?)
Aku merasakan ada tatapan yang menusuk, jadi aku menoleh. Charl sedang menatapku dengan ekspresi penuh keinginan.
"Umm… mau coba sedikit?"
"Eh!? B-benarkah!?"
Begitu aku menawarkan, matanya langsung berkilau seperti permata dan tubuhnya condong ke depan.
"Ya, silakan."
Aku menyodorkan piring hamburger itu, tapi Charl tiba-tiba tersenyum nakal dan menatapku dalam-dalam.
"Aku jadi malas makan sendiri, nih~"
"Eh?"
"Pisau dan garpunya terasa berat juga ya~"
"Ha?"
"Rasanya pengin… disuapin deh~"
Tatapannya yang jahil langsung menusukku.
…Dia mau aku menyuapinya!?
"Kalau nggak disuapin, aku bisa jadi bad mood lagi, lho~"
"Ehh!?"
Aku nggak mau dia ngambek lagi.…Ya sudah, mau tak mau. Walaupun ini super memalukan.
Aku menarik napas panjang, lalu memotong sedikit dagingnya, dan perlahan menyodorkannya ke mulut Charl. Tanganku sedikit bergetar karena gugup.
"H-h-hai, ini dia…!"
"Makasih! …A~n♪"
Charl mencondongkan badan dan menggigit hamburger dari garpuku.
──Pakk!
Begitu dia menelan, wajahnya langsung berseri-seri.
"Enak banget, sumpah ini enak banget!"
"S-syukurlah!"
Aku hampir pingsan karena gugup, tapi Charl benar-benar tampak bahagia.
"Dagingnya juicy banget, dan sausnya juga luar biasa! Boleh minta suapan lagi?"
"Eh!? Lagi!?"
Tapi sebelum aku sempat menjawab, dia sudah membuka mulut menunggu. Aku kembali menyuapkannya, dan lagi-lagi dia melahapnya dengan senyum puas.
"Ugh, ini enak banget!"
Sedikit saus menempel di ujung bibirnya, tapi dia tidak menyadarinya sama sekali. Melihat dia begitu bahagia, aku merasa senang sudah mengajaknya makan di sini.
Namun tiba-tiba, ekspresinya sedikit berubah.
"Kenapa? Ada apa?"
"Hm?"
"Tadi… kupikir wajahmu terlihat sedikit sedih."
Charl terdiam sejenak, lalu tersenyum canggung.
"Kau jeli juga, Atsuto."
Ia kemudian menatap ke luar jendela, matanya tampak jauh.
"Masakan andalan Mama itu hamburger. Beliau sering masak untukku."
"Mama? Oh, maksudnya ibumu?"
"Iya. Jadi aku agak… kangen aja."
Nada suaranya terdengar lembut dan sendu. Wajar saja. Dia jauh dari rumah, tinggal di negeri asing. Pasti sesekali merasa rindu keluarga.
"…Kalau boleh tahu, kenapa sensei memilih jadi ALT di Jepang?"
Aku bertanya ragu-ragu, tapi jujur penasaran.
"Soalnya kakakku kerja di Jepang!"
"Oh ya? Di Jepang?"
"Iya! Dia empat tahun lebih tua dariku. Aku ingin seperti dia, jadi aku memutuskan kerja di sini!"
Charl tersenyum cerah sambil mengangkat jari telunjuknya.
"Jadi kakakmu juga guru?"
"Nggak! Kakakku model fashion! Dia bahkan muncul di TV!"
"Serius!?"
"Iya! Kakakku keren banget—dewasa, cool, dan bekerja hebat di kota besar. Aku ingin seperti dia!"
Charl mengepalkan tangannya dengan tekad kuat. Melihat kesungguhannya, aku malah jadi sedikit kagum.
Dia memang tampak kekanak-kanakan, masih belajar mengajar, tapi… sejujurnya, dia lebih dewasa dariku.
Aku hidup tanpa tujuan—kuliah, kerja paruh waktu, main sebentar, lalu mengulang hal yang sama.
Charl berusaha keras. Aku bisa melihatnya.
"Aku masih banyak yang belum tahu, tapi aku ingin jadi guru yang diandalkan semua orang! …Eh?"
Charl berhenti bicara dan menatap wajahku khawatir.
"Maaf ya, aku malah ngomong terus…"
"T-tidak, bukan itu maksudku!"
Hening sejenak.
"…Aku cuma merasa, sensei itu memang kelihatan dewasa."
Charl terdiam, matanya membesar.
"Aku? Dewasa? Nggak kok! Semua orang malah bilang aku kayak anak kecil!"
"Bukan dari penampilan… tapi dari hatimu."
Charl tampak bingung.
"Aku cuma merasa… bahkan kalau aku seumur sensei nanti, aku mungkin masih belum berubah. Aku nggak punya cita-cita seperti sensei."
Saat aku mulai terbawa perasaan, tiba-tiba—
"Ei!"
"Eh!?"
Charl menekan pipiku dengan jarinya, tersenyum.
"Lihat? Atsuto pasti bisa kok! Nggak usah terburu-buru, ya?"
Ia kemudian menepuk kepalaku dengan lembut.
"Suatu hari nanti, kau pasti menemukan hal yang ingin kau perjuangkan. Aku yakin!"
Aku tak bisa menahan senyum. Entah kenapa, melihat senyum Charl membuatku merasa lebih ringan.
"…Aku jadi lebih tenang sekarang."
"Fufu, kan? Oke, kalau gitu—selesai makan!"
"Eh? Cepat banget!?"
Charl sudah menghabiskan omurice-nya dan menepukkan tangannya.
"Yosh! Sekarang waktunya main darts lagi! Ayo, lawan aku!"
"Boleh, tapi aku nggak akan kalah lho!"
"Hehehe~ Aku lebih kuat kalau perutku kenyang!"
Charl menepuk perutnya dan tertawa puas. Bukannya terlihat kuat, malah makin terlihat imut.
*****
Sejak saat itu, aku dan Charl bermain darts selama sekitar tiga jam sebelum akhirnya meninggalkan tempat itu.
Daerah ini, yang dipenuhi bar dan warung bir, masih ramai dengan orang-orang bahkan setelah pukul 10 malam lewat.
"Main darts tadi seru banget! Makanannya juga enak banget!"
Charl yang berjalan di sampingku tersenyum bahagia, pipinya tampak sedikit mengendur.
Padahal tadi dia sempat bilang, "Darts bar itu menakutkan, kan!?" — tapi dari ekspresinya sekarang, sepertinya dia sangat menikmati malam ini.
Saat kami berjalan menuju stasiun...
"U-um, Atsuto."
"Hm?"
"Atsuto... bersenang-senang nggak hari ini?"
Baru saja dia tertawa, kini ekspresinya sedikit cemas.
"Tentu saja, aku bersenang-senang."
"B-benarkah!?"
"Tentu!"
Jujur, aku sempat bingung di awal — bermain bersama guruku sendiri terdengar agak aneh. Tapi ternyata, rasanya sama seperti bermain bersama Taketsuru atau Benika, menyenangkan dan santai.
...Meskipun, jujur saja, bagian ‘ciuman tidak sengaja’, pelukan, dan kejadian ‘lengan atas’ itu bikin jantungku berdebar lebih dari sekadar senang.
"Syukurlah! Soalnya aku, ya, ini hari paling menyenangkan sejak aku datang ke Jepang!"
Charl berputar sekali sambil melangkah ke depan, lalu tersenyum lebar. Itu mungkin agak berlebihan, tapi tetap saja—
Senyumnya yang cerah, seperti bintang yang berkelip, membuat dadaku berdebar tanpa bisa kutahan.
"Kalau begitu aku senang."
"Aaah! Wajahmu sedikit merah tuh!"
"Eh, tapi wajahmu juga merah, sensei!"
"Itu karena efek alkohol, tahu!"
Charl memanyunkan bibirnya dan menoleh ke arah lain.
Walaupun di sekolah dia masih kelihatan gugup, tapi ketika bersamaku, dia bisa tertawa, ngambek, dan memperlihatkan berbagai ekspresi lain.
Rasanya... curang. Aku tahu dia guruku, tapi tetap saja, hatiku berdebar melihatnya seperti ini.
Setelah beberapa saat berjalan...
"Sudah sampai."
Kami akhirnya tiba di air mancur depan stasiun tempat kami bertemu sebelumnya. Benar kata orang, waktu terasa cepat saat kita bersenang-senang.
"Aduh... aku masih mau main sebenarnya..."
Charl berkata dengan nada kecewa, tapi sudah malam, dan kami harus realistis.
"Tapi besok masih ada sekolah..."
"Ugh... b-benarkah..."
Wajahnya langsung tegang, seperti baru diingatkan sesuatu yang penting. Dia menyilangkan tangan di dada dan menggumam pelan, "Hmm..." dengan ekspresi berpikir keras.
"Baiklah! Demi besok, aku pulang sekarang! Aku akan naik kereta berikutnya!"
Charl berkata dengan nada serius, seperti baru membuat keputusan besar.
Rasanya agak sayang, tapi aku juga harus pulang. Sebenarnya PR-ku untuk besok masih belum kuselesaikan...
"Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya."
"Iya! Atsuto juga hati-hati, ya! Sampai jumpa besok!"
Charl melambaikan tangan dan mulai berjalan menjauh.
────Saat itulah.
"Sensei, hati-hati di depan!"
"Eh?"
Sekelompok pegawai kantor yang sedang bercanda sambil berjalan datang dari arah berlawanan, dan hampir menabraknya.
Tanpa berpikir panjang, aku meraih tangan Charl.
Kukunya dihiasi sedikit cat, jarinya halus dan putih, lebih kecil dari tanganku. Lembut, hangat... aku bisa merasakan suhu tubuhnya.
"A-ah, maaf! Aku refleks saja—"
"Tunggu!"
Ketika aku mencoba melepasnya, Charl malah menggenggam tanganku lebih erat.
"A-aku memang guru... tapi, bolehkah kita main bareng lagi...?"
Dia menatapku dengan mata biru jernih, seperti anak anjing yang memohon perhatian.
Ya, tentu saja aku mau. Siapa yang bisa menolak ekspresi itu? Sejujurnya, kalau dia bukan guruku, mungkin aku sudah memeluknya di tempat.
"A-Atsuto?"
Charl memanggilku dengan sedikit khawatir karena aku sempat terpaku.
"T-tentu saja! Mari main lagi!"
Aku, berusaha mempertahankan kewarasanku.
Charl langsung menegaskan, "Ja──ngan sampai lupa, ya!"
Tapi kalau kami berjanji begitu saja di tempat umum, bisa repot kalau ada yang melihat…
Ah, iya!
"Sensei, pakai LINE?"
"Eh, LINE? Iya, aku punya!"
"Kalau begitu, ayo tukar kontak! Jadi kita bisa janji kapan saja!"
Charl menelan ludah kecil, lalu buru-buru mengeluarkan ponselnya sambil mengusap matanya dengan gugup.
"Y-ya! Ayo tukar!"
Mungkin karena belum terbiasa, dia sempat menekan tombol yang salah beberapa kali.
"A-aha! Nih, lihat! Ada ‘Atsuto’-nya!"
Akhirnya, kami berhasil bertukar kontak LINE.
"Di ponselku juga muncul ‘charl’! Eh, pakai hiragana, ya?"
"Kenapa? Aneh?"
"Enggak, cuma lucu aja. Bentuk hurufnya bulat-bulat gitu."
"Eh! Jangan-jangan kamu ngetawain aku!?"
"Nggak kok!"
Aku hampir tertawa karena cara dia membela teorinya sendiri begitu polos.
"A! S-sensei! Keretanya datang!"
Kereta yang harus dia naiki sudah mulai masuk ke peron.
"Ah, b-benarkah!? Aku kirim pesan nanti ya! Sampai jumpa!"
Charl melambaikan tangan dan berlari menuju peron.
Tapi...
(Sejenak melirik)
"Bye-bye!"
(Sejenak melirik lagi)
"Atsuto, sampai besok!"
(Sejenak melirik lagi)
"Atsuto──!"
"Nanti ketinggalan, tahu!?"
Karena terlalu sering menoleh ke belakang, aku sampai harus memperingatkannya, dan akhirnya dia tertawa kecil sambil melompat ke dalam kereta.
Beberapa detik setelah aku melihat keretanya berangkat, ponselku berbunyi dengan suara notifikasi ringan.
Kulihat layarnya — pesan dari Charl.
[Hari ini benar-benar terima kasih banyak!]
Aku tidak bisa menahan senyum saat membaca pesannya.
Bahasa Jepangnya masih agak kaku, tapi justru itu membuatnya terasa menggemaskan.
Saat aku hendak membalas, pesan berikutnya sudah masuk lebih dulu.
[Pelajaran pertamamu hari ini sangat menyenangkan dan banyak aku pelajari. Nanti ajarin aku main hal-hal lain lagi, ya!]
"Dia bilang... belajar banyak, huh."
Bagiku, itu cuma sore biasa yang kuhabiskan bersama dia. Tapi kalau "sore biasa" itu berarti sesuatu untuknya, rasanya aku juga ikut bangga.
Aku membalas, [Ayo main lagi!] — dan tak lama kemudian, pesan lain muncul.
【I wanna learn more about you through playing.(Aku ingin mengenalmu lebih dalam lewat bermain.)】
"Hah!? Bahasa Inggris lagi!?"
Aku buru-buru menutup LINE dan membuka situs penerjemah. Tapi saat kembali ke layar chat, pesan itu sudah dihapus, digantikan dengan:
[Malu ah, pura-pura nggak ada aja yang tadi!]
Aku terpaku.
Kalimat yang dihapusnya... entah kenapa membuat dadaku terasa hangat. Untuk pertama kalinya, aku menyesal tidak lebih jago bahasa Inggris.
Chapter 7
Buku Catatan Rahasia Charl
Keesokan harinya setelah aku bermain dengan Charl. Seperti yang kuduga, ada sesuatu yang aneh terjadi pada tubuhku.
"Aduh sakit banget...!"
Begitu pelajaran pagi selesai dan aku meregangkan tubuh, rasa nyeri tumpul menjalar di lenganku — nyeri otot.
Wajar saja, aku melempar dart hampir tanpa henti selama tiga jam. Tapi aku nggak menyangka bakal separah ini...
"Hoi, kenapa tuh? Ribut banget suaranya."
Mungkin karena mendengar teriakanku, Taketsuru mendekat dengan wajah sedikit heran.
"Ah, ini cuma nyeri otot..."
"Nyeri otot? Kenapa, habis latihan fisik apa?"
"Y-ya, semacam itu lah."
Sambil mengelak seadanya, aku memaksakan senyum.
Lalu—
PON!
Suara notifikasi LINE terdengar dari ponselku di atas meja.
"...Eh!?"
Pesan itu dari Charl. Tapi isinya—
[Tolong aku—!(emoji wajah menangis)]
Ada emotikon segala!?...Bukan itu masalahnya! Apa yang terjadi padanya!?
"Maaf! Aku harus pergi sebentar!"
"Hah, ke mana!? Ngapain!?"
Aku meninggalkan Taketsuru yang kebingungan dan bergegas keluar ke koridor. Tapi Charl tidak terlihat.
Dengan cemas aku menuruni tangga menuju lantai satu.
"Ah, ketemu!"
"A-Atsuto~...!"
Di sana, di koridor, Charl duduk di lantai dengan posisi ‘duduk ala gadis kecil’, menatapku dengan mata memohon yang berair.
Entah kenapa, di sekelilingnya berserakan banyak buku catatan berwarna-warni.
"Ada apa!?"
"Tadi waktu aku bawa ini, jatuh semua! I-ini catatan PR semua murid...!"
"Aku bantu kumpulin!"
Saat aku memunguti catatan-catatannya, terdengar suara dari belakang, "Oi!" dan "Atsuto!" Ketika aku menoleh, Taketsuru dan Benika berlari kecil ke arah kami.
"Taketsuru! Benika! Kalian datang juga!"
"Wow, catatan di mana-mana!?"
"Kami bantu, sensei!"
Lalu, setelah beberapa menit kami semua bekerja sama mengumpulkan catatan-catatan itu—
"Sensei, semuanya sudah terkumpul!"
Taketsuru membawa setumpuk catatan dan memberikan senyum cerah pada Charl.
"Terima kasih semuanya... A-eh, eigo! T-Thank—"
"Ini bukan di kelas, jadi nggak perlu ganti bahasanya..."
Saat aku menegurnya ringan, Charl menutup wajahnya yang memerah dengan tangan dan berkipas malu.
"Ah, t-terima kasih banyak!"
Ia menunduk berkali-kali, dan Taketsuru serta Benika menjawab, "Tidak apa-apa!" "Ayo lanjutkan saja!"
Rasanya seperti melihat orang tua yang sedang menenangkan anak kecil.
"Baik, mulai dari sini biar aku bawa sendiri ya!"
Charl menerima tumpukan catatan dari Taketsuru... tapi—
"Kuuh...!"
Ia mengerang pelan, wajahnya tegang.
"S-sensei!? Nggak apa-apa!?"
Saat Taketsuru bertanya, Charl menjawab sambil bergetar menahan rasa sakit di lengannya—
"Maaf, sebenarnya tangan kananku lagi nyeri otot..."
"Aaah, nyeri otot juga! ...Eh?"
Taketsuru menaikkan alis dan menatapku curiga.
Sial, jadi Charl juga kena nyeri otot!
"Atsuto, kamu juga tadi bilang lagi nyeri otot kan?"
Benika memelototiku setengah curiga.
"Kenapa kamu juga tahu!?"
"Yah, kedengeran jelas banget tadi."
Ini nggak bagus. Mungkin cuma kebetulan, tapi bisa-bisa mereka salah paham soal aku dan Charl…
Ayolah, semoga Charl tetap tenang—!
"N-ng—nggak kok! A-Atsu... ah, salah! Y-Yamazaki-san juga n-nye... nyeri otot, ya!?"
Dia sama sekali nggak tenang! Mukanya pucat, suaranya bergetar! Dan barusan dia hampir memanggilku "Atsu" di depan semua orang!?
"Kalian berdua nyeri otot di tangan kanan. Bagian yang sama. Artinya..."
Kami berdua menelan ludah bersamaan. Lalu, Taketsuru tiba-tiba berkata dengan mata berbinar—
"Berarti kalian mulai latihan otot lengan kanan, ya!?"
"Y-ya, benar!"
"I-itu dia!"
Kami berdua mengangguk cepat-cepat seperti boneka goyang.
"Ah, pantes! Aku juga lagi latihan tangan kanan, nih! Lihat nih ototku!"
Taketsuru memamerkan otot lengannya sambil tersenyum. Untung dia tipe orang yang cuma mikirin otot!
"I-iya! Aku juga lagi merasa tangan kananku lemah belakangan ini!"
"A-aku juga!"
Sambil keringat dingin menetes, kami berdua tertawa paksa.
Taketsuru mengangguk puas.
"Sensei aku maklum aja, tapi Atsuto yang benci olahraga bisa mulai latihan juga, aku bangga banget!"
"Y-ya! Kadang harus olahraga juga, kan! Hahaha!"
"Latihan otot ternyata seru juga ya! Fuhaha!"
Suara tawa palsu kami menggema di koridor yang sepi.
—Begitulah, kami berhasil keluar dari situasi genting itu. Meski Benika masih tampak bingung dan memiringkan kepala.
*****
Akhirnya, aku dan Charl mengantarkan semua catatan itu ke ruang guru.
Benika dan Taketsuru sempat ingin membantu juga, tapi aku menolak secara halus....Soalnya aku tahu Charl pasti bakal kelepasan ngomong sesuatu.
"Baik, ini semuanya sudah lengkap."
"Uuh, tanganku masih gemetar..."
Kami menaruh tumpukan catatan di meja dan menghembuskan napas lega bersamaan.
"Barusan itu agak berbahaya ya?"
"Sensei terlalu panik."
"Uuh, iya... aku menyesal..."
Charl duduk dan merunduk malu. Tapi tak lama kemudian, matanya yang biru bersinar lagi dan ia tersenyum nakal.
"Tapi rasanya menyenangkan, ya? Kayak punya rahasia berdua!"
Cepat banget ganti suasananya. Benar-benar orang ini...
"Rasanya bukan menyenangkan sih, tapi jantungku mau copot."
"Eh~? Aku sih seru aja!"
Charl mengerucutkan bibirnya karena tak puas dengan jawabanku.
Ngomong-ngomong—
"Meja sensei rapi banget, ya."
Berbeda dengan meja guru lain yang penuh tumpukan buku dan dokumen, meja Charl terlihat rapi sempurna.
"Eh? A-ah iya! Kakakku selalu bilang, ‘Rapikan sekitarmu!’ gitu!"
Katanya sambil menirukan nada kakaknya dengan canggung. Sepertinya kakaknya tipe yang tegas, beda banget sama kakakku sendiri.
Tiba-tiba—
Prak!
"Eh? Ada yang jatuh tuh."
"Ah, i-itu...!"
Sebuah buku catatan jatuh dari ujung meja, dan halamannya terbuka karena tiupan AC.
Yang pertama kulihat adalah daftar nama murid-murid, diikuti catatan kecil dalam tulisan tangan halus berbahasa Inggris.
"Ini... catatan tentang karakter semua murid?"
Aku bertanya ragu, dan Charl, dengan pipi memerah, mengangguk setelah jeda singkat.
Yah, ini barang pribadinya, nggak sopan kalau kulihat lama-lama.
"Ini bukunya."
Aku menutup dan mengembalikannya. Charl menatapku agak menyesal.
"Maaf ya... pasti nggak enak lihat hal kayak gitu..."
"Yah, agak kaget sih, tapi..."
Sebenarnya lebih dari itu—
"Aku malah kagum, sih."
"......Eh?"
Charl memandangku bingung, seolah tak percaya dengan ucapanku.
Soalnya ini luar biasa.
Sebenarnya, tanpa buku itu pun dia bisa mengajar. Tapi dia tetap menulis semua itu — artinya dia benar-benar peduli pada murid-muridnya dan ingin memahami mereka satu per satu.
"M-masih banyak halaman kosong sih..."
Charl berbisik pelan sambil tersenyum malu.
Aku teringat kata-katanya kemarin—
—"Masih banyak hal yang belum kumengerti, tapi aku ingin jadi guru yang bisa diandalkan semua orang!"
Aku memang belum tahu banyak soal Charl, tapi sekarang aku merasa sedikit lebih paham sisi usahanya.
"Sensei orangnya benar-benar perhatian sama murid, ya."
"E-ehhe... m-masa sih?"
Ia tersipu, menggaruk pipinya malu-malu. Tapi ada satu hal yang membuatku penasaran—
"Kalau begitu, di bagian aku... ditulis apa?"
"Eh!? B-bagian Atsuto!?"
Entah kenapa, Charl tiba-tiba berteriak kencang dan hampir jatuh dari kursinya.
Apa-apaan reaksi itu? Sebenarnya apa yang tertulis di situ...?
"A-apa mungkin ada sesuatu yang tidak boleh kulihat tertulis di situ...?"
"Tidak ada! Tapi... ini juga bukan sesuatu yang perlu diperlihatkan, sih..."
Sambil melirik-lirik ke arahku, Charl tampak ragu-ragu memperhatikan reaksiku.
Beberapa saat kemudian, dia mendesah pelan,
"Uuuh... Kamu, pengen lihat ya?"
Matanya jelas-jelas berharap aku menolak, tapi aku tetap menjawab,
"…Ya, aku penasaran soalnya."
Setelah aku menjawab begitu, Charl menarik napas panjang, "Fuuu────" lalu—
──Bam! Patan.
"Eh?"
"Baik, selesai! Sudah cukup!"
Charl menutup buku catatannya rapat-rapat dengan kedua tangannya, berusaha keras agar aku tak bisa membukanya lagi.
Waktu yang kubisa lihat isinya mungkin cuma sepersekian detik.
"Fufufu~. Kau pasti nggak sempat lihat, kan?"
Charl berkata dengan bangga sambil membusungkan dada. Tapi sayangnya, aku sempat melihatnya dengan jelas.
"…T-tidak, aku sempat melihatnya."
"Eh!?"
Charl terlihat panik, jelas tak menyangka jawabanku.
"A-apa yang kau lihat…?"
Wajahnya semakin dekat ke arahku, suaranya penuh kecemasan.
"Cuma sebentar, tapi aku sempat lihat tulisan ‘attractive──’"
"Noooo! Jangan dibaca keras-keras!!"
Begitu aku menyebutkan kata itu, Charl langsung berdiri dengan wajah memerah. Apa sampai segitunya memalukan isi tulisannya!?
"Pokoknya batal! A-aku akan hapus dan tulis ulang!"
Charl membuka catatannya, meraih penghapus yang ada di sudut meja.
"S-sensei!"
Aku refleks menahan tangannya erat-erat. Keheningan sejenak turun di antara kami, seolah waktu berhenti.
"Aku… memang tidak tahu arti kata itu, tapi aku senang kau menulisnya. Jadi biarkan saja seperti itu."
Begitu aku mengatakannya dengan hati-hati, wajah Charl langsung memerah sampai ke telinga, seolah terbakar.
"A-atsuto, itu… umm!"
"Eeh, anggap saja tadi tidak terjadi! Tidak terjadi sama sekali!"
Rasa malu yang luar biasa menyerangku seperti gelombang.
Aku menyesal sudah mengatakannya, dan saat aku menunduk, bel lima menit sebelum pelajaran berikutnya berbunyi keras di ruang guru.
"A-aku harus ke kelas! Sampai di sini dulu!"
"Eh, sensei!?"
Walau aku mencoba menghentikannya, Charl berlari keluar dari ruang guru dengan kecepatan luar biasa.
"…Permisi."
Aku membungkuk sedikit pada para guru lain yang menatapku heran, lalu ikut meninggalkan ruangan itu.
…Ngomong-ngomong, sebenarnya apa arti kata itu, ya?
Kalau tidak salah, yang tertulis adalah──
"Umm?"
Aku mengetik kata active di situs penerjemah dan memiringkan kepala melihat hasilnya.
Arti: "aktif", huh.
Aku rasa aku bukan tipe yang aktif, sih. Lagipula seingatku katanya sedikit lebih panjang…
Aku mencoba mengingat kata yang tertulis di catatan itu sepanjang hari, tapi akhirnya tidak berhasil menemukan jawabannya.
Chapter 8
Kerja Paruh Waktu, Jalan Pulang di Tengah Hujan
Pada akhirnya, rasa sakit di lengan kananku tak juga hilang sampai jam pelajaran berakhir.
Lebih sial lagi, hari ini adalah jadwal kerjaku.
"Selamat soreee!"
Setelah ganti pakaian kerja dan masuk ke ruang staf, juniorku—yang bertugas di dapur—mengangkat wajah dari ponselnya.
"Oh, halo, Atsuto-san!"
"Yo. Gimana, ramai nggak hari ini?"
"Hari ini sepi banget, Senpai! Beruntung banget nih!"
Sambil menatap jempol yang dia angkat tinggi-tinggi, aku membuka kaleng kopi yang kubeli di minimarket tadi.
Ngomong-ngomong, dia ini orang yang dulu ikut main ke net café waktu pertama kali aku bertemu Charl.
Dia siswa tahun pertama dari SMA di kota sebelah, tubuhnya kecil, dan mulai kerja di sini sekitar setengah tahun setelahku.
Hari ini kami hanya bertiga: aku, dia, dan satu pegawai baru yang berjaga di kasir.
"Tapi, lebih penting dari itu, Senpaai~."
Tiba-tiba si junior menggeser kursi lipatnya mendekat dan menyeringai nakal.
"Ada apa lagi?"
"Itu lho, yang bule kecil tapi dada besar itu, udah ketemu lagi belum?"
"Gu—! Kof, kof, kof!"
Sial, hampir saja aku menyemburkan kopi!
"Wah, dari reaksinya sih pasti ada sesuatu, ya!? Ayo dong, bagi kabarnya ke aku juga!"
"Bagi kabar apaan!? Nggak ada apa-apa! Aku cuma keselek!"
Aku buru-buru menelan sisa kopi dan membalas.
"Eh? Masa sih? Padahal kalian udah sempat ciuman, tapi masih nol perkembangan? Ayolah, jujur aja biar lega!"
Dengan senyum licik seperti kucing yang menemukan mainan baru, dia mulai mencubit perutku pelan-pelan.
"Hyaa! B-berhenti, dasar kau! Geli, tahu!?"
"Pff... dia bilang ‘hyaa’ tuh! Aku nggak bakal berhenti sebelum Senpai ngaku~!"
Dan saat suasana makin ricuh──
──Ding-dong!
Bel kasir berbunyi, tanda butuh bantuan.
"P-panggilan kasir! Aku bantu dulu! Nanti ya!"
"Eh, tunggu, Senpaiii!"
Aku segera kabur menuju kasir, di mana kulihat pegawai baru berdiri cemas sambil memegang nampan.
"Ada apa?"
"M-maaf! Urutan konfirmasi pesanan sandwich-nya gimana, ya…?"
Kelihatannya dia masih bingung karena belum lama kerja di sini.
"Baik, biar aku gantikan dulu, ya."
"S-saya minta maaf! Terima kasih banyak!"
Dia menunduk sopan, lalu bergeser ke samping untuk memberiku tempat.
"Terima kasih sudah menunggu! Selamat da—eh!?"
Suara yang kukeluarkan malah fals karena kaget luar biasa. Pelanggan yang tadinya menunduk menatap ponselnya kini menoleh ke arahku.
Dan orang itu adalah──
"Sensei!?"
"A-Atsuto!?"
──Charl.
"Ke-kenapa sensei bisa di sini!?"
"Atsuto, jadi kamu kerja di sini, ya!?"
"Y-ya, begitulah... tapi kenapa sensei...?"
"Aku cuma mau menyelesaikan sedikit pekerjaan yang tertunda! Wah, kebetulan banget bisa ketemu kamu!"
Charl menggenggam tanganku dengan senyum lebar dan mengayunkannya berulang kali.
"S-sensei! Sst! Di kafe harus tenang, tahu...!"
Aku menempelkan jari telunjuk di bibir, tapi Charl malah manyun kesal.
"Eeh, nggak apa-apa dong! Kan nggak ada pelanggan lain!"
Memang, cuma dia satu-satunya pelanggan. Tapi masalahnya, pegawai baru di sebelahku menatap kami dengan ekspresi bingung!
Saat aku masih mencari cara untuk menanganinya, Charl kembali mendekat, matanya berbinar seperti anak kecil.
"Ngomong-ngomong, kamu keren banget pakai apron! Cocok banget!"
"E-eh? Benarkah?"
"Iya! Keren banget! Hehe... Atsuto pakai apron kelihatan ganteng banget…"
Charl menatapku dengan wajah lembut dan senyum malu-malu. Rasanya menyenangkan, tapi… dipuji begitu di depan rekan kerja jelas bikin malu!
"P-pokoknya, aku catat dulu pesanannya, ya!"
"Eeh~ padahal aku masih mau ngobrol!"
Dengan susah payah aku menenangkan Charl dan kembali fokus ke pekerjaan. Setelah menanyakan jenis roti, sayuran, dan topping yang diinginkan, pesanan pun selesai.
"Ngomong-ngomong, sampai jam berapa kamu kerja, Atsuto?"
Sambil menerima nomor antrian, Charl melirikku penuh harap.
"Ehm, sampai jam sepuluh malam."
"Baik! Aku ngerti! Kalau gitu aku tunggu sampai selesai, ya!"
Charl mengepalkan tangan dan berjalan ke kursi di pojok ruangan.
Tunggu... dia bilang nunggu sampai selesai kerja!?
...Aduh, aku pasti lagi senyum bodoh sekarang.
"Jadi, kalau soal konfirmasi pesanan sandwich, begitulah caranya..."
Aku berdeham kecil lalu menjelaskan ke pegawai baru di sebelahku──
"Wah~ sangat membantu, Senpai!"
"Gyaa!?!"
Padahal cuma ada pegawai baru di sebelahku barusan, tapi tiba-tiba si junior ini sudah nongol di sana.
"K-kapan kau datang!?"
Dia hanya tertawa kecil sambil menatapku geli.
"Soalnya Senpai lama banget nggak balik, jadi aku khawatir, tahu~?"
Ya, bohong. Dia jelas cuma ingin kepo!
"Wah, aku nggak nyangka Senpai punya pacar secantik itu! Kaget banget!"
"B-bukan pacar kok!"
Aku cepat-cepat menyangkal, tapi si junior langsung membalas,
"Eh!? Masa sih!? Udah jelas banget tuh, tinggal nunggu resmi aja! Kan ketemu di net café waktu itu, terus makin akrab, kan!"
"Ugh, t-tapi itu..."
"Dan ternyata Senpai bukan cuma pegang dadanya, tapi juga hatinya, ya!"
"H-hei! Jangan ngomong sembarangan!"
Sial, ini anak benar-benar ngomong hal yang nggak perlu!
Pegawai baru di sebelah malah langsung memerah.
"M-maaf!? M-maksudnya... dada!?"
"Iya, Senpai ternyata playboy juga~!"
"Jangan asal ngomong!!"
Sial, jangan-jangan Charl dengar!?
Aku melirik cemas—tapi untungnya, dia sibuk menatap layar laptop dengan earphone di telinga....Syukurlah. Mungkin nggak dengar.
"Tapi hei, kau istirahatnya kelamaan! Ada pesanan baru lewat mobile order, tahu!?"
"Ups!"
Si junior menjulurkan lidah iseng lalu lari kembali ke dapur.
Hubunganku dengan Charl harus tetap jadi rahasia──
──tapi rasanya ini akan sulit banget dijaga...
*****
Seperti biasa, aku terus digoda si junior sampai jam sepuluh malam. Setelah menutup toko, aku akhirnya keluar lewat pintu belakang.
Begitu melangkah keluar,
"Atsutooo!"
Charl berdiri dari bangku taman di seberang, melambai-lambaikan tangan dengan semangat.
Lalu──
"Atsuto! Selamat atas kerja kerasnya, ya!"
"Wah!?"
Begitu sampai di hadapanku, Charl langsung memelukku erat dengan semangat membara.
"Eh, sensei...?"
Saat aku memanggilnya, Charl perlahan melepaskan pelukannya, lalu tersenyum lebar penuh kebahagiaan.
"Itu pelukan ‘kerja keras, ya~’. Gimana? Capeknya hilang nggak?"
"Ha-ha, ya... berkatmu, sih..."
Sambil malu-malu aku menjawab begitu, dan Charl pun tersenyum lembut sambil berkata, "Syukurlah~."
Tapi jujur saja, bukan rasa lelah yang hilang—justru rasanya akal sehatku yang mau melayang.
"E-ehm... pekerjaanmu lancar, sensei?"
"Iya! Kafe-nya enak banget suasananya, aku langsung suka! Mungkin lain kali aku bakal datang lagi!"
"Kalau begitu, dengan senang hati!"
...meskipun bakal agak malu kalau datang pas aku kerja, sih.
Tapi sepertinya dia memang benar-benar bisa fokus.
Waktu kulihat Charl menatap serius layar laptopnya sambil mengetik cepat, entah kenapa aku juga ikut merasa harus berusaha lebih keras.
...ya, meski hari ini hampir nggak ada pelanggan yang datang.
"Kalau begitu, ayo pulang!"
"Iya! Yuk!"
Dari sini ke stasiun jaraknya sekitar sepuluh menit jalan kaki. Nggak terlalu jauh, tapi──
"Hmm... kayaknya langitnya mulai mendung, ya..."
Charl menatap ke atas dengan wajah cemas, melihat awan tebal yang menutupi langit malam.
Benar juga, kalau nggak salah ramalan cuaca bilang bakal hujan mulai malam ini sampai besok malam.
"Sepertinya bakal turun hujan, ya..."
"Iya, benar! Oh iya, ngomong-ngomong!"
Charl menepuk telapak tangannya dengan tinju kecil, lalu menatapku dengan mata berkilat antusias.
"Aku dengar, lho! Atsuto itu di kafe jadi semacam senior andalan semua orang, ya!"
"Eh, nggak juga... tunggu, kau bilang ‘dengar’, maksudnya...?"
Saat aku menanyakan itu, Charl tersenyum riang sambil mengangguk.
"Tadi waktu nunggu di taman, aku ngobrol sebentar sama pegawai kecil yang imut itu!"
"Hah—!?"
Pegawai kecil itu pasti si junior! Kupikir dia kabur dari tugas, ternyata malah ganggu Charl!?
"Kau... dengar apa aja, tepatnya?"
"Hmm, misalnya... tempat yang lemah ini~!"
"Buha—!"
Charl menyentil lembut sisi perutku, dan seluruh udara di paru-paruku langsung keluar seketika.
"Ahaha! Benar, ya! Di sini geli banget, kan?"
Saat aku menatapnya protes, Charl malah tertawa pelan tanpa peduli. Huh, nanti kalau ketemu si junior itu lagi, aku bakal marahi dia habis-habisan.
"Terus katanya Atsuto itu nggak jago bahasa Inggris, jadi suka bingung kalau ada pelanggan asing! Lalu kopi cuma bisa diminum kalau dikasih dua sendok gula! Pokoknya aku tanya-tanya, dia jawab semua! Tapi, hmm..."
Wajah Charl yang tadinya ceria mendadak sedikit murung.
"Tapi?"
"Aku cuma mikir... asik banget ya, si junior itu tahu banyak soal Atsuto."
Nada suaranya lembut, tapi penuh rasa sedih samar.
Deg. Jantungku langsung berdebar keras.
"Tu-tunggu, maksudnya apa itu...?"
"Ah, nggak, nggak ada maksud apa-apa kok! Cuma... entahlah, rasanya iri aja sedikit."
Charl buru-buru melambaikan tangan di depan dadanya dengan wajah merah padam.
Dan tepat saat itu──
──Zzap!
"Hiyaaah!?"
Kilatan petir menyambar langit malam, membuat Charl terlonjak kaget dan langsung memeluk lengan kananku erat-erat.
"Se-sensei!?"
"Uuh..."
"Sensei, nggak apa-apa?"
Charl mengangguk pelan, tapi kedua lengannya makin kuat melingkari lenganku.
"A-aku... takut petir..."
Dia berbisik kecil sambil gemetar, tubuhnya menempel padaku erat. Dan akibatnya, aku bisa merasakan langsung hangat tubuh dan degup jantungnya.
"Atsuto juga deg-degan... takut petir, ya?"
"A-aku nggak... terbiasa aja, sih!"
Ngomong apa aku barusan!? Jelas bukan karena petir—ini gara-gara Charl terus nempel begini...
──Gooororororo...!
"Kyahhh!"
Tak lama kemudian, suara guntur bergemuruh. Charl langsung memelukku lebih kuat lagi.
"Ayo, cepat ke stasiun!"
"Tapi aku takut... nggak mau lepas!"
"Eh!? K-kenapa!?"
Masih menempel di lenganku, Charl menggeleng keras seperti anak kecil.
"Soalnya... aku pengen bareng Atsuto sedikit lebih lama..."
Dia bilangnya dengan lembut, tapi jujur saja—itu bikin jantungku makin berdebar.
Berjalan sedekat ini... akal sehatku bisa hancur! Tapi Charl tetap menolak melepaskan pelukannya.
"...Baiklah. Kalau begitu, kita jalan pelan-pelan aja, ya."
"Uuh... makasih, Atsuto..."
Akhirnya, kami berjalan lambat seperti biasa.
"E-eh, Atsuto."
"Ada apa?"
"K-kalau petir nyambar gimana... m-mungkin kita harus merunduk sambil jalan...?"
──Zzap!
"Hiyaah!?!"
"Ngomong-ngomong, sensei, makanan favoritmu apa!?"
"H-hamburger!"
──Begitulah akhirnya.
Sambil menanyakan hal-hal acak supaya Charl nggak terus takut, kami berjalan menuju stasiun. Untungnya, kami sampai di dalam gedung stasiun sebelum hujan benar-benar turun.
(Brrr...)
"Sensei, kita udah sampai."
Aku menepuk punggung Charl dengan lembut. Dia menarik napas panjang, lalu perlahan melepaskan lengannya dari tanganku.
"Udah sampai, ya..."
"Iya."
Aneh... barusan aku gelisah karena dia terus menempel padaku, tapi sekarang malah terasa sepi saat dia menjauh.
"Sensei nggak apa-apa?"
"Berkat Atsuto terus ngajak ngobrol, aku nggak takut lagi!"
Charl tersenyum cerah, membuatku ikut lega. Meskipun masih khawatir sedikit, aku nggak bisa mengantarnya sampai rumah.
"...Bisa pulang sendiri?"
"Uuh... sedikit takut sih, tapi aku bakal coba!"
Charl mengepalkan tinjunya dengan semangat. Dari arah peron, terdengar suara pengumuman kedatangan kereta.
"Ah, keretanya datang!"
"Eh... iya."
Charl menatap ke arahku dengan sedikit senyum sedih.
"Kalau gitu, aku berangkat dulu, ya!"
"Iya, hati-hati di jalan!"
Charl melambaikan tangan ringan, lalu berjalan menuju tangga menuju peron. Namun, di tengah jalan, dia tiba-tiba berhenti dan menoleh kembali padaku.
【I wish this station was a little further away.(Andai saja stasiun ini sedikit lebih jauh.)】
"Eh?"
"D-da-daaah!"
Charl cepat-cepat membalikkan badan dan berlari menuruni tangga.
...Tadi dia ngomong apa, ya? Aku sama sekali nggak nangkep.
"Station... artinya stasiun, kan..."
Aku mengulang satu-satunya kata yang kupahami, tapi tetap saja aku nggak bisa menebak apa maksud kata-katanya tadi.
Yang tersisa hanyalah rasa bingung... dan degup jantung yang belum mau tenang.
Chapter 9
Markas Rahasia Yamazaki Atsuto
Keesokan harinya saat jam istirahat siang, di kantin sekolah.
Meskipun sempat terlihat sedikit cerah, seperti yang diperkirakan ramalan cuaca, hujan pun kembali turun dengan tenang.
"Ughhh... pedas banget...! Apa-apaan ini...!?"
Taketsuru yang duduk di sebelahku menjatuhkan sendoknya ke piring kari sambil menahan rasa pedas luar biasa.
"Makanya, jangan sok pilih tingkat pedas 10 segala."
Aku menatapnya datar, sementara dia meneguk habis air di gelasnya dalam satu kali teguk sambil terengah-engah, lalu menatap sisa kari di depannya.
"A-aku kan pede sama makanan pedas...! Lagian di papan depan kantin ditulis 'Menu terbatas! Kari level 10! Penantang dicari!' gitu, ya siapa nggak tergoda...!"
Kantin SMA Suishou ini memang kadang menghadirkan menu terbatas sebulan sekali.
Biasanya menu spesialnya cukup ekstrem demi menarik perhatian para siswa, dan kali ini tampaknya tantangannya cukup berat.
"H-hey, kamu mau coba nggak...? E-enak kok...?"
Dengan mata berkaca-kaca, Taketsuru menyodorkanku sesendok kari.
"Itu pasti bohong!"
"Rasanya enak! Itu aku jamin!"
Saat kami terus berdebat kecil begitu—
"──Hmm?"
Sekilas aku melihat keluar jendela, dan di tengah hujan, seseorang berlari tanpa payung.
(Itu... jangan-jangan...)
Aku berdiri dari kursi dan menatap lebih jelas.
Seorang wanita sedang berlari kecil menuju gedung sekolah di tengah derasnya hujan.
Tak salah lagi—dari tinggi badan dan rambut berwarna kekuningan yang mencolok dari jauh, itu pasti Charl.
"Ma-maaf, aku duluan!"
Aku menghabiskan sisa makananku dengan cepat dan berdiri dari kursi.
"Hah!? E-eh, kamu ninggalin aku!?"
"Maaf! Berjuanglah sendirian!"
"H-hei!? Atsuto! Tolong aku, Atsutoooo!"
Aku merasa bersalah, tapi tetap berlari keluar dari kantin.
Dari lantai empat tempat kantin berada, aku berlari menuruni tangga dengan cepat. Begitu sampai di pintu masuk untuk staf, Charl yang kuyup muncul tak lama kemudian.
"Sensei!?"
"Eh, Atsuto!?"
"Kenapa Sensei nggak bawa payung!?"
"Tadi waktu berangkat masih cerah! Tapi pas turun dari kereta, tiba-tiba hujan deres begini...!"
Bahkan saat dia berbicara, tetesan air terus jatuh dari rambut indahnya.
"Ayo ke sini sebentar!"
"Eh, A-atsuto!?"
Aku refleks menggenggam tangannya dan menariknya berlari kecil menuju sebuah tempat.
Dari gedung utama, kami menyusuri koridor penghubung menuju gedung klub. Di lantai satu, tempat berbagai klub budaya berkumpul, aku membuka pintu ruang klub paling ujung.
"Ini ruangan apa?"
"Dulu ini ruang klub menjahit. Tapi klubnya dibubarkan tahun lalu."
Luasnya sekitar sepuluh tatami, tapi di dalamnya ada rak buku, sofa empuk, dan suasananya cukup nyaman.
Sebenarnya, ini adalah tempat rahasia yang sering aku datangi diam-diam kalau lagi malas ikut pelajaran—semacam markas pribadiku.
"Wah, keren banget! Banyak manga juga! Dan ada sofa segala!"
Charl menatap sekeliling ruangan dengan mata berbinar.
"Tunggu sebentar, duduk dulu di situ ya!"
"Eh? O-oke..."
Aku mengambil pemanas listrik lama dari lemari, menancapkan kabelnya, dan menyalakannya.
Dalam sekejap, udara hangat mulai keluar dari pemanas itu.
"Haa... hangatnya... Aku nggak nyangka kamu punya beginian. Makasih ya, Atsuto~..."
Charl menunduk sedikit, menikmati hawa hangat sambil tersenyum bahagia.
"Hari ini Sensei agak telat, ya?"
"Iya! Soalnya aku cuma punya kelas dari siang, jadi jadwalnya digeser! Atsuto lagi istirahat makan siang, kan?"
"Ya, begitulah."
"Maaf ya, ganggu waktu makan siangmu..."
Charl menyatukan kedua tangannya dan menatapku dengan wajah menyesal.
Tapi sebenarnya tidak masalah—Toh Taketsuru lagi sibuk berjuang melawan kari pedasnya, dan aku tidak tega membiarkan Charl kehujanan begitu.
Saat aku merasa lega karena pemanasnya berhasil menyala—
"Ah! Atsuto!"
Charl tiba-tiba menunjuk ke rak buku dengan antusias.
Sebuah manga berjudul ‘Jumat Malam, Sang Eksekutif Adalah Seorang Penyihir’—sebuah romcom populer tentang kisah cinta antara siswa SMA biasa dan wanita muda yang jadi eksekutif perusahaan besar.
"Kamu tahu ini?"
"Ini manga favorit kakakku! Kamu pernah baca?"
"Kakakku pernah baca, tapi aku belum."
"Kalau gitu, ayo baca bareng!"
"Aku juga?"
"Ka-karena, untuk jadi guru ideal, aku juga harus tahu tren manga populer sekarang, kan!?"
Wajahnya sedikit memerah saat mengambil volume pertama dari rak.
Yah, sebenarnya dia bisa saja baca sendiri... tapi aku juga nggak punya alasan buat nolak.
"Baiklah, sedikit saja..."
Aku duduk di sampingnya dengan hati-hati.
"Ah, maaf! Nanti kamu ikut basah! Aku lepas dulu bajunya ya!"
"Eh!?"
Charl berdiri, melepas jaketnya, dan hanya mengenakan kemeja putih. Dia meletakkan jaketnya di samping, lalu duduk kembali—kali ini menempel sangat dekat denganku.
Dari balik kemeja tipis itu, terasa hangat tubuhnya yang lembut. Kadang lengannya bersentuhan dengan dadanya, membuat jantungku berdebar tak karuan.
Saat aku melirik ke samping, bibirnya yang lembut dengan sedikit lip gloss terlihat begitu dekat—
Mana mungkin aku bisa fokus baca manga begini!?
"Kalau gitu, aku mulai bacanya, ya~"
"Ba-baik...!"
Charl membuka halaman pertama manga itu dengan semangat.
──slas, slas.
"Kamu bisa ngikutin? Nggak terlalu cepat?"
"Ya, bisa kok...!"
──slas, slas.
"Fufu, lucu banget ya, Atsuto!"
"Haha... iya, bagus juga ceritanya!"
Awalnya aku tegang, tapi makin lama aku jadi tenggelam dalam dunia manga itu. Padahal ini manga untuk pembaca wanita, tapi ternyata seru juga!
──Namun.
"Sebentar..."
Saat sampai ke halaman tertentu, aku refleks bersuara.
Adegan di mana si siswa dan eksekutif wanita itu menghabiskan malam pertama mereka—saling berpelukan tanpa sehelai benang pun.
Aku nggak siap buat adegan kayak gini!?
Aku melirik Charl dengan gugup. Namun dia tampak sepenuhnya tenggelam dalam cerita, tanpa reaksi malu sedikit pun.
Fokus, Atsuto! Dia serius baca kok!
Saat aku menarik napas dalam-dalam dan menunggu dia membalik halaman—
"Agak panas ya, di sini...?"
Aku menoleh. Pipinya memerah sedikit.
"Eh!? Panas, Sensei?"
"Iya. Panas banget. Ruangan ini."
Dia mengangkat tangannya ke kerah bajunya dan—
klik.
"Haa..."
Dia membuka kancing pertama kemejanya sambil menghela napas manja.
Eh... EHHH!?
"S-sensei...?"
"Aku... nggak tahan lagi, mungkin..."
Mata birunya yang seperti safir menatapku lurus.
Apa dia... serius sekarang!?
"Hey, Atsuto..."
"H-ha, haaa!?"
Charl menepuk pipinya yang memerah dan berkata—
"──Ruangan ini... panas banget yaaaa!?"
"........................Eh?"
Aku hanya bisa terpaku dengan wajah kosong. Charl maju ke depan dan mematikan pemanas listrik.
"Fuuuh! Ya ampun, ternyata kalau pakai pemanas lama-lama di musim ini, panas juga ya~"
Dia menyeka sedikit keringat di dahinya dengan sapu tangan sambil tersenyum ringan.
Sementara aku…
"Haaahhhhh......"
Benar-benar kehilangan semua tenaga, kepalaku tertunduk lemas.
"D-dan kamu nggak apa-apa!? Kepanasan ya!? Atsuto!?"
Charl mengguncang bahuku dengan wajah cemas hampir menangis.
Tidak mungkin aku bisa bilang bahwa barusan aku sempat berpikir kalau kami bakal... melanjutkan seperti di manga itu.
*****
──Sore harinya, setelah semua itu terjadi.
Saat teman-teman sekelasku sudah pulang atau pergi ke klub masing-masing, aku masih tetap di kelas.
Biasanya aku juga langsung pulang, tapi barusan aku dapat pesan dari Charl di LINE.
[Malam ini, bisa main bareng nggak?]
Kami sempat saling kirim beberapa pesan, dan akhirnya sepakat untuk bertemu pukul tujuh malam di Stasiun.
"Hmm... tempat main, ya..."
Aku bertanya-tanya, kira-kira dia ingin pergi ke mana.
"Tunggu, kamu nggak pulang?"
"Uwah!?!"
Aku hampir melompat saat mendengar suara Benika dari belakang, buru-buru menyembunyikan ponselku ke dalam saku.
Jangan-jangan... dia lihat!?
"K-kamu masih di sini, Benika!?"
"Ya. Tadi aku lihat kamu bengong sambil bilang 'hmm' segala, kenapa?"
"Ah, nggak... nggak apa-apa."
Aku tertawa kaku sambil menggaruk kepala.
Benika menatapku dengan pandangan curiga sebentar, tapi akhirnya menyerah dan mulai memainkan ponselnya.
"Kamu sendirian, Benika?"
"Aku? Aku ada rapat buat pemotretan nanti... haaah..."
Dia menghela napas kecil sambil melirikku sekilas. Wajahnya tampak sedikit tegang.
"Aneh juga ya. Biasanya kamu nggak gugup soal kerjaan."
"Aku nggak gugup, cuma... ya, agak tegang aja! Nih, lihat!"
Dia menunjukkan layar ponselnya padaku.
Dan di sana—
"Eh!? Itu... Akashi Shiori!?"
"Ya, benar. Akashi Shiori. Katanya dia bakal datang ke rapat hari ini."
"Se...serius!?"
Aku refleks berseru kaget, dan Benika mengangguk pelan.
──Akashi Shiori.
Seorang model fashion terkenal yang akhir-akhir ini juga jadi pemeran utama di drama tengah malam.
"Wah... pantes aja kamu tegang."
"Iya kan!? Gimana ya nanti harus ngomong apa..."
Benika menyibak sedikit rambut merahnya, lalu menepuk pipinya pelan.
"Tapi ya udahlah. Aku harus semangat. Aku pergi dulu ya, sampai besok!"
"O-oh, iya!"
Dia melambaikan tangan dan keluar kelas.
Aku menatap kepergiannya dengan rasa takjub. Pikirku, luar biasa juga... temanku bisa sampai kerja bareng orang selevel itu.
"Hebat banget, Benika..."
Aku bergumam pelan di kelas yang kini sunyi.
Aku tahu, membandingkan diri dengan orang lain itu nggak baik. Tapi melihat Benika dan Taketsuru begitu sibuk dan sukses, aku kadang merasa seperti mereka sudah jauh meninggalkanku.
"...nggak, nggak boleh mikir gitu!"
Malam ini aku akan main sama Charl. Nggak boleh murung begini.
Mengusir rasa sepi yang tiba-tiba muncul, aku pun membuka game di ponsel dan mulai bermain untuk membunuh waktu.
Chapter 10
Kedai Minuman dan Konsultasi Masalah
Dengan sedikit perasaan yang masih mengganjal, aku meninggalkan ruang kelas.
Dan kemudian, pukul 7 malam pun tiba.
Sesuai yang dijanjikan lewat LINE, aku menunggu di dekat air mancur stasiun Inouji.
"Tsu──Atsuto──!"
Dengan suara ceria yang bisa terdengar jelas bahkan di tengah keramaian, Charl berlari ke arahku sambil melambaikan tangan dengan semangat.
"Sensei, terima kasih atas kerja kerasnya. Ta–tapi tak perlu berlari secepat itu..."
"Eh? Tapi soalnya aku senang banget waktu lihat kamu, Atsuto!"
Ia melemparkan senyum cerah yang sama sekali tak menunjukkan tanda kelelahan setelah bekerja.
Senyum bersemangat itu bahkan mampu menghapus rasa sesak yang sempat muncul saat aku berbicara dengan Benika tadi.
"Baiklah! Jadi, permainan apa yang akan kamu ajarkan padaku hari ini?"
Dengan wajah penuh harap—kalau dia seekor anjing, mungkin ekornya sudah bergoyang cepat—Charl bertanya padaku.
"Begini ya..."
Baru saja aku menengadah sambil memikirkan ke mana kami akan pergi—
──guuuuuuuuu~
"Ah..."
Dari perut Charl terdengar suara panjang dan rendah.
"Ada seseorang yang kelaparan banget, ya!"
"Itu suara dari perut Sensei, tahu?"
"Auh..."
Wajah Charl langsung memerah dan ia menunduk malu. Padahal menurutku itu bukan hal yang perlu malu. Lagipula sekarang sudah jam tujuh malam, wajar saja kalau lapar.
"Sensei, bagaimana kalau kita makan dulu sebelum main? Kebetulan aku tahu tempat yang enak, mau coba?"
"Tempat yang direkomendasikan Atsuto!? Mau banget!"
Charl menatapku dengan mata berbinar, mendekatkan wajahnya penuh semangat.
"Kalau begitu, ayo kita pergi."
Kami pun mulai berjalan menuju arah pusat kota.
"Baik, kita sudah sampai!"
Begitu aku berhenti di depan tempat yang sudah tak asing bagiku, mata Charl langsung kembali berkilau.
"Oooh! Jadi hari ini pelajarannya tentang 'izakaya' ya!?"
Tulisan di papan nama yang sudah mulai pudar, lentera merah tergantung di depan pintu—penampilannya benar-benar khas izakaya Jepang. Charl pun tampak makin bersemangat.
"Aku pengin banget ke tempat seperti ini! Katanya, orang kantoran di Jepang suka datang ke izakaya setelah kerja buat ngeluh tentang bosnya dan ngilangin stres, kan!?"
"Yah, nggak selalu begitu, sih."
Setelah aku menyanggahnya, Charl tertawa kecil, tapi kemudian—
"Umm? No no! Hampir aja ketipu! Nggak boleh!"
Tiba-tiba ia menggembungkan pipi dan menyilangkan kedua tangan membentuk tanda X.
"Kenapa, memangnya?"
"Anak di bawah umur nggak boleh minum alkohol!"
"Tentu saja aku nggak akan minum alkohol."
"Kalau begitu, gimana dengan seragammu itu!"
Charl menunjuk ke arahku dengan tatapan menyipit penuh kecurigaan.
Memang, biasanya pelajar yang masih berseragam akan ditolak mentah-mentah, tapi—aku punya alasan memilih tempat ini.
"Pemilik tempat ini teman sekolah ibuku. Aku sering ke sini bareng keluarga, jadi kalau aku jelaskan, harusnya mereka mengizinkan."
"Hmm... ya, kalau begitu, mungkin..."
Meskipun matanya masih terlihat ragu, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
"Pokoknya ayo kita masuk dulu!"
"Tunggu, eh!? Tunggu dulu!"
Aku tak menunggu persetujuannya dan langsung menggenggam tangannya, menariknya masuk sambil membuka pintu izakaya itu.
*****
Begitu masuk, suasana langsung terasa ramai.
Pukul 7 malam memang waktu sibuk—para pegawai kantoran berseragam sedang bercengkerama sambil menikmati bir dan sake.
"Woah! J-jadi ini yang namanya izakaya...! Aku nggak dengar ada yang ngeluh tentang bosnya, tapi!"
Tadi sempat menolak masuk, tapi sekarang Charl malah terkesima sambil mengepalkan tangan di depan dada.
"Itu cuma gambaran umum aja, sebenarnya..."
Saat aku menjawab begitu, seseorang tiba-tiba memanggil.
"──Atsuto-kun?"
Seorang wanita mungil berlari kecil menghampiri kami. Ia adalah Satsuki-san, pemilik izakaya sekaligus teman sekolah ibuku di masa SMA.
"Ah, halo."
"Kamu nggak datang sama keluargamu hari ini? ...Oh?"
Satsuki-san menatap sekilas ke arah Charl, lalu tersenyum geli.
"Wah, sejak kapan kamu punya pacar secantik ini?"
"B-bukan! Kami bukan pacaran!"
Aku dan Charl langsung menyangkal serempak. Sudah kuduga bakal disalahpahami...
"Eh, bukan, ya?"
"Lebih baik jangan ditanya terlalu jauh, deh..."
Menjelaskan bahwa kami adalah guru dan murid justru akan lebih rumit, jadi aku memilih untuk tidak memperpanjang.
Satsuki-san hanya tersenyum geli dan berkata, "Yah, anak seusiamu wajar kok."
...Kupikir kesalahpahaman itu belum sepenuhnya hilang.
"Ngomong-ngomong, apa aku boleh masuk dengan pakaian ini?"
Aku menunjuk seragamku, dan Satsuki-san berpikir sebentar.
"Baiklah, tapi diam-diam saja ya. Jangan sampai minum alkohol."
Setelah mengingatkan begitu, ia menuntun kami menuju bagian dalam.
"Terima kasih! Oh, dan tolong jangan bilang apa-apa ke ibuku soal ini!"
Kalau ibuku tahu aku datang ke izakaya berdua dengan seorang gadis, dia pasti akan bertanya panjang lebar. Dan kalau ibu tahu, kakakku juga pasti tahu. Jaringan keluarga ini terlalu kuat.
"Hmm... nggak boleh diceritain, ya?"
"Pokoknya absolut nggak boleh!"
Begitu aku menegaskan, Satsuki-san hanya tertawa kecil. "Baik-baik, rahasia kok," katanya sambil melangkah kembali ke dapur.
"Maaf ya, jadi bikin repot..."
Kupikir Charl pasti merasa terganggu karena dianggap pacarku, tapi dia cepat-cepat menggeleng keras.
"T-tidak kok! Maksudku... malah senang sedikit..."
"Eh? Maaf, aku nggak dengar jelas."
"N-nggak perlu dengar kok!"
Ia kembali menunduk dengan pipi merah, lalu mengalihkan topik cepat-cepat.
"Lebih baik kita masuk saja!"
"Ah, iya!"
Begitu masuk ke ruangan pribadi, Charl langsung berseru,
"Waah...!"
Matanya berkilau seperti anak kecil di depan toko mainan.
"Atsuto, lihat deh! Menu-nya banyak banget!?"
Ia menunjuk ke dinding yang dipenuhi kertas menu.
Memang cukup banyak, tapi menurutku standar saja untuk izakaya.
"Apakah ini termasuk banyak?"
"Iya! Banyak banget! Di bar Amerika nggak sebanyak ini!"
Katanya, di Amerika jarang ada tempat seperti izakaya yang menyediakan makanan berat bersama minuman alkohol.
"Atsuto! Di sini, di sini!"
Charl menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Padahal ini meja untuk empat orang...
"Kita duduk berdampingan?"
"Iya! Soalnya biar bisa ngobrol lebih dekat sama Atsuto!"
Dengan senyum manis yang membuat jantung berdebar, Charl mengisyaratkan agar aku segera duduk.
"Ba-baiklah... permisi..."
Begitu aku duduk di sebelahnya, Charl langsung memesan berbagai hidangan lewat tablet di meja.
Bir, rebusan jeroan, yakitori, sashimi, karaage...
"Hei, ini kebanyakan nggak sih!?"
"Kalau lagi lapar, wajar dong makan sebanyak ini!"
"Serius!?"
Gila, bahkan anak SMA laki-laki pun belum tentu makan sebanyak itu. Di tubuh rampingnya (kecuali bagian dada), ke mana semua makanan itu masuk!?
"Ah! Kamu pasti mikir 'apa aku gemuk' kan!?"
Charl menggembungkan pipinya dan menatapku tajam.
"Nggak, nggak! Sama sekali nggak kepikiran begitu!"
...Meskipun sempat terpikir dia mungkin tipe yang kelihatannya kurus tapi sebenarnya tidak juga.
"Boong! Aku tahu kok! Cewek bisa ngerasain! Nih, lihat sendiri, aku nggak gemuk!"
Masih cemberut, Charl tiba-tiba menarik ujung kemejanya dan mulai mengangkatnya ke atas.
"Waah!? Sensei, jangan!"
Aku buru-buru memalingkan wajah, tapi Charl tetap menarik-narik lenganku dengan wajah kesal.
"Lihat kan! Pinggangku ramping!"
"Baik, baik! Aku percaya! Jadi tolong turunkan bajumu dulu!"
──Untungnya, pelayan datang tepat waktu membawa bir dan cola, menyelamatkan suasana yang mulai kacau.
Charl benar-benar tipe yang bertindak tanpa malu-malu… dan itu membuatku kewalahan.
*****
Setelah makan berlangsung untuk beberapa saat──
"Umm~~~! Benar-benar enak ya, makanan di tempat ini!"
Sambil menenggak bir ukuran besar dengan semangat, Charl tersenyum lebar dengan wajah bahagia.
"Syukurlah kalau kau suka!"
"Ya! Aku puas banget! Oke, tambah satu gelas bir lagi!"
Charl meletakkan gelas kosong di tepi meja, lalu mulai menekan-nekan tablet pesanan sambil bersenandung riang.
Dia tampak sangat senang, tapi cara minumnya hari ini agak berlebihan. Di atas meja sudah ada enam gelas kosong berjajar rapi. Padahal aku baru di gelas kedua oolong tea.
"Rasanya hari ini kau minum banyak sekali, ya?"
Aku akhirnya bertanya karena agak khawatir melihat kecepatan minumnya. Charl menatapku dengan wajah memerah, lalu menjawab dengan suara manja yang agak melengkung.
"Benarkah, nya~?"
"…Benar, kok."
Charl melipat kedua tangannya seperti cakar kucing sambil berpose lucu, membuat napasku hampir berhenti sesaat.
Mungkin dia hanya melakukannya karena mabuk, tapi tetap saja… dia terlalu imut!
Sementara aku masih berjuang menenangkan diri, Charl menggigit potongan karaage sambil berkata dengan nada lembut, "Hari ini aku cuma lagi pengin minum aja."
Kalau begitu… apa dia sedang stres atau apa?
"Sedikit lelah, mungkin?"
"Hmm… bukan itu sih, lebih kayak… lagi bingung aja gitu."
"Bingung?"
"Iya. Mau dengar ceritaku, Atsuto~?"
Charl mendekat seperti kucing manja, menempel erat hingga aku bisa merasakan hangat tubuhnya di balik kemeja tipisnya. Jantungku langsung berdegup keras.
"A-a-apa itu?"
"Um, kau tahu kan Hiru-no-sensei?"
Hiruno-sensei… berarti guru baru perempuan yang datang bersamaan dengan Charl bulan April lalu. Mengajar sejarah Jepang, dan kalau tidak salah usianya juga sekitar sebaya dengan Charl.
Kalau Charl itu tipe guru lembut dan ceria, maka Hiruno-sensei itu lebih ke gaya "gyaru"—berani dan fashionable.
"Kenapa dengan Hiruno-sensei?"
"Jadi begini, beberapa waktu lalu ya…"
Meskipun sudah agak mabuk karena minum kebanyakan, Charl tetap menceritakan semuanya dengan serius.
Setiap jam istirahat siang, katanya, banyak siswa datang ke Hiruno-sensei untuk bertanya. Tapi bukan cuma soal pelajaran, melainkan juga hal-hal pribadi, curhat, dan sebagainya—hingga akhirnya dia jadi semacam "ruang konsultasi segala hal".
"Aku… jadi agak iri sama dia."
"Yah, memang Hiruno-sensei cukup populer sih."
"Padahal aku juga sering dibilang imut waktu di Amerika loh…"
Charl meletakkan dagu di atas gelas bir dan menggembungkan pipinya.
Uh oh, sensei yang ngambek itu… manis banget. Bukan, bukan begitu maksudku—dia sedang serius! Aku harus menanggapinya juga dengan serius.
"Aah! Aku tahu! Gimana kalau aku ubah penampilanku jadi kayak gyaru juga!"
"Aku rasa itu malah bikin semua orang khawatir, deh…"
"Hmm… terus aku harus gimana ya?"
"Uh…!"
Kepala Charl tiba-tiba bersandar di bahuku, membuatku hampir mengeluarkan suara aneh.
Entah karena alkohol atau bukan, tapi malam ini dia benar-benar penuh sentuhan. Sejak tadi pun jari telunjuknya terus menggambar tanda tanya di pahaku!
"Tapi—eh, oh iya! Benika!"
Begitu aku bicara, Charl langsung berhenti menggambar di pahaku dan berkedip cepat.
"Benika? Oh, maksudmu Shirasu-san? Ada apa dengannya?"
"Dia datang ke tempatmu untuk bertanya, kan?"
"Ah, iya! Dia datang waktu itu!"
"Setelah itu aku ketemu dia, dan dia bilang begini: 'Waktu pelajaran memang agak ceroboh, tapi dia guru yang ramah dan ngajarnya jelas banget.' "
Sekejap, wajah Charl langsung berubah cerah, seperti bunga mekar dalam sekejap.
"B-beneran!?"
"Iya. Aku teman dekatnya, jadi pasti benar."
"Ehhehe… guru yang ramah, ya…"
Charl tersenyum sambil mengulang kata-kata itu, seperti sedang meneguknya pelan-pelan.
Aku tahu bagaimana rasanya membandingkan diri dengan orang lain lalu merasa rendah diri. Aku pun mungkin akan merasa begitu jika berada di posisinya.
Tapi tetap saja──
"Menurutku, salah satu hal terbaik dari sensei adalah caramu memperlakukan setiap siswa dengan lembut."
Aku mencoba menampilkan senyum sehangat mungkin saat mengatakan itu.
"B-benarkah?"
"Iya. Jadi, kau boleh percaya diri dengan dirimu sendiri."
Aku jarang memuji orang, jadi rasanya agak canggung juga.
"…Berarti aku nggak perlu terlalu mikirin soal membandingkan diri, ya?"
"Ya, begitulah. Umm──…"
Kata-kataku tertahan di tenggorokan. Aku sempat ragu harus mengatakannya atau tidak. Tapi lalu…
"Menurutku, sensei yang sedang bingung pun terlihat manis, tapi… tetap saja, senyummu yang paling cocok denganmu."
"Fweh!?"
Charl langsung menegakkan tubuh dan bok! kepalanya membentur dinding.
Uh oh… itu terdengar terlalu gombal! Aku terbawa suasana!
"A-anu, barusan itu cuma kelepasan!"
"Hehehe… senyumku, ya… hehehe~"
Charl menunduk dengan wajah memerah dan senyum yang bodoh-bodoh manis, lalu menggeliat kecil di tempat duduknya.
Setelah itu──
"Gini, ya?"
Ia menaruh kedua jari telunjuk di pipinya sambil menunjukkan senyum terbaiknya.
Senyum cerah itu seperti ledakan bintang di dada, membuatku terdiam dan sesak karena terlalu imut.
Sungguh, terlalu imut untuk seorang guru…
Saat aku masih terpana oleh senyum itu, Charl tiba-tiba berseru keras.
"Karena kau udah bikin aku semangat lagi, sekarang giliran aku bikin kau semangat juga, Atsuto!"
"Hah? Maksudnya?"
"Ini dia!"
"Tunggu—ahahaha! S-sensei!? T-tolong berhenti! Ahahaha!"
Charl menusuk pinggangku dengan jarinya, membuatku meledak dalam tawa.
"Haha! Atsuto juga jadi senyum! Kalau begitu, serangan kedua!"
"Hahaha, sudah cukup!!"
Begitulah, pesta kecil kami pun berlanjut dalam tawa──
Dan akhirnya, setelah semua selesai, aku mengantarkan Charl yang sudah benar-benar mabuk berat sampai ke stasiun.
Aku cuma bisa berharap dia benar-benar bisa pulang dengan selamat malam itu…





Post a Comment