Penerjemah: Flykity
Proffreader: Flykity
Chapter 16
Berdua di Hotel Seperti Itu (Part 1)
──Jadi begitulah, aku akhirnya harus menginap semalam di love hotel bersama Charl.
Serius, gimana bisa kejadian seperti ini? Kalau ini lelucon dari Tuhan, rasanya udah kebangetan banget...
"Hee~! Ini kayak hotel mewah banget, ya!?"
Begitu kami masuk ke lobi, Charl langsung berseru dengan kagum.
"Ya... um, sepertinya begitu..."
"Wow, ada tanaman hias besar! Keren banget!"
"Y-ya, benar juga..."
Sial... aku terlalu gugup sampai nggak tahu harus ngomong apa. Atau lebih tepatnya, Charl ini bisa ganti suasana terlalu cepat, nggak sih!? Barusan aja dia masih gugup banget!
"Ngomong-ngomong, kita ke kamar gimana, ya?"
"Itu... ah, i-ini kali, ya!?"
Tampaknya di sini sistemnya pakai panel elektronik, tinggal pilih kamar yang diinginkan.
Aku agak kesulitan mengoperasikannya, tapi akhirnya kami dapat kartu kunci dan menuju kamar yang dipilih.
Begitu pintunya terbuka──
"Waah! Keren banget! Kamarnya bersih banget, ya!"
Charl melompat-lompat kegirangan dengan suara ceria.
Lampu gantung berbentuk kristal menggantung di langit-langit, lantainya dari marmer putih, dan di depan televisi besar ada sofa kulit hitam.
Syukurlah…
Kupikir karena ini love hotel, suasananya bakal lebih... cabul, tapi ternyata kamar ini kelihatannya cukup normal.
Saat aku mulai lega──
"Kyaa! A-Atsuto... itu..."
Charl tiba-tiba menjerit kecil dan menoleh menjauh.
Aku mengikuti arah jarinya, dan──
"Wah!?"
Di sana ada mesin penjual otomatis. Tapi isinya bukan minuman atau makanan ringan.
Yang dijual di sana adalah... barang-barang karet yang biasa dipakai saat "melakukan sesuatu", dan bahkan ada juga "mainan khusus orang dewasa" untuk menambah suasana.
Tarik kembali kata-kataku barusan. Ini jelas bukan kamar biasa.
"U-umm... ya, masuk dulu aja yuk!"
"I, iya!"
Kami pura-pura nggak melihat apa pun dan segera masuk ke dalam kamar.
Yang pertama langsung terlihat di depan mata──sebuah ranjang ukuran besar. Tapi... di situlah masalah berikutnya muncul.
"Ra-ra-ra... ranjangnya cuma satu!?"
Charl menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya memerah sampai ke telinga.
Ya, wajar sih. Ini love hotel, tentu aja cuma ada satu tempat tidur...
"Uuh... aku jadi makin gugup..."
"G-gak apa-apa kok! Aku tidur di sofa aja!"
"Tapi nanti tubuhmu malah pegal, Atsuto..."
"B-beneran gak apa-apa! Aku kuat!"
Aku menghargai perhatiannya, tapi tidur di ranjang yang sama padahal belum pacaran itu... jelas nggak boleh!
Soalnya, entah aku bisa menahan diri atau nggak...
"U-untuk sekarang duduk dulu aja yuk! Capek juga habis jalan!"
"U-uh, iya!"
Kami duduk berdua di sofa.
Karena suasananya terlalu sunyi, rasa gugup makin kuat menghantam dari segala arah.
Aku... beneran bakal ngabisin malam di kamar ini bareng Charl, ya...?
"A-Atsuto!"
"Hah!? I-iya!?"
Suara Charl tiba-tiba memecah keheningan. Dia tampak gelisah, lalu berkata dengan ragu──
"U-umm... gimana kalau aku mandi dulu...?"
"………………HAA!?!"
Maksudnya... bareng!?
Begitu mendengar itu, mataku refleks melirik ke tubuh Charl. Bahkan dari balik setelan bajunya aja kelihatan jelas bentuk tubuhnya — dada yang besar, pinggang ramping, dan paha indah yang berisi dengan proporsi sempurna…
Kalau kami mandi bareng, berarti semua itu bakal... terlihat tanpa sehelai benang pun──
"A-ah! Ma-maksudku terpisah, ya!?"
Lamunanku yang mulai ke arah berbahaya langsung hancur oleh suara panik Charl.
Ya iyalah! Aku barusan mikir apa, sih!?
"I-iya! Tentu saja begitu!"
"Yang tadi maksudku, kalau kamu mau duluan mandinya, nggak apa-apa kok!"
Membiarkan dia harus menjelaskan begitu malah bikin aku makin malu sendiri.
"Cha-Charl aja duluan!"
"T-tapi nanti aku malah nggak enak..."
"A-aku lebih suka mandi setelah orang lain! Serius!"
Aku refleks cari alasan, tapi malah terdengar makin aneh dan mesum.
"Pokoknya kamu duluan aja deh! Duluan aja!"
"E-eh!? Y-yaudah... aku duluan ya? Maaf, ya?"
Masih terlihat agak canggung, Charl mengambil pakaian ganti dan menuju kamar mandi.
Sekitar lima menit kemudian──
──Shhhhhh...
Terdengar suara air mengalir dari balik pintu kamar mandi.
Suara itu terdengar cukup jelas, sampai aku tanpa sadar membayangkan Charl sedang mandi di balik sana.
Sial... kalau yang mandi itu kakakku, suaranya cuma berasa kayak gangguan suara aja!
"Usir pikiran kotor, usir pikiran kotor...!"
Aku terus melawan imajinasiku yang mulai berubah jadi warna pink selama hampir empat puluh menit.
Tiba-tiba, terdengar suara pintu ruang ganti terbuka.
"A-atsuto... maaf ya, udah nunggu lama..."
"Nggak apa-apa kok! Aku nggak nunggu la───"
Begitu aku menoleh, napasku langsung tertahan.
──Charl berdiri di sana hanya mengenakan satu helai bathrobe.
Pipinya memerah lembut, dari bawah gaun mandinya terlihat sepasang kaki putih yang ramping.
Rambut panjang warna perunggu itu masih basah dan menetes pelan, memancarkan aroma manis dari shampo yang dipakainya.
Bahkan dari balik kain bathrobe itu, lekuk tubuh Charl terlihat jelas.
"J-jangan lihat terus... ma-malu ah..."
"Ma-maaf!"
Suara Charl membuatku tersadar, dan aku buru-buru membalikkan badan.
Tapi begitu melihat Charl dengan pakaian seperti itu, pikiran-pikiran tidak senonoh mulai muncul di kepalaku lagi.
──M-memalukan sih, tapi... kalau Atsuto yang lihat, aku gak apa-apa...
"A-aku mandi dulu ya!"
"A-ah, si-silakan!"
Tepat ketika bayangan Charl dalam pikiranku mulai melepaskan bathrobe-nya perlahan, aku langsung kabur menuju kamar mandi.
*****
Kamar mandi di love hotel itu jauh lebih luas daripada kamar mandi di rumahku.
Begitu aku berendam, sempat terasa menyenangkan karena luasnya, tapi rasa gugup segera datang lagi seperti ombak yang menerjang.
"Aku balik..."
Akhirnya aku cuma bisa bertahan sekitar sepuluh menit sebelum keluar dari kamar mandi.
"A-ah! S-selamat datang, Atsuto! Mau minum sesuatu?"
"Boleh? K-kalau gitu... cola aja..."
Charl yang sedang duduk di sofa berdiri, lalu membeli minuman dari mesin penjual otomatis — yang ada di sebelah mesin "dewasa" — dan membawa satu kaleng bir serta cola.
"Kalau begitu, bersulang!"
"B-bersulang..."
Kami menyentuhkan kaleng dan meneguk minuman masing-masing.
Charl menelan bir itu dengan ekspresi puas, lehernya sedikit menegang saat meneguknya.
"Fuh... enak banget!"
"I-iya, benar..."
Charl tersenyum cerah, dan aku mencoba membalas dengan suara seceria mungkin. Tapi karena kami berdua sama-sama gugup, keheningan cepat kembali menyelimuti.
...Ya, seharusnya aku menanyakannya sekarang.
"Charl."
"Hm? Ada apa, Atsuto?"
Mungkin karena nada suaraku berbeda, wajah Charl langsung berubah serius. Aku ragu-ragu untuk melanjutkan... tapi kalau nggak kutanyakan, aku gak akan tenang.
"Kenapa Charl waktu itu ada di kawasan hotel?"
Aku menepis rasa khawatir yang menekan dadaku dan menatapnya.
"A-uh... a-apa aku harus bilang...?"
Aku mengangguk pelan, dan Charl bergumam sambil menunduk, wajahnya merah.
"A-aku... habis pulang kerja, mampir buat belanja. Terus aku lihat kamu jalan bareng Shirasu-san… Kalau kalian berdua pacaran, rasanya... i-itu, aku gak suka. Dan sebelum sadar, aku malah ngikutin kalian..."
"Eh...?"
Jantungku berdetak keras, seolah mau meledak.
Jadi itu alasannya.
"Kayaknya aku terlalu tinggi hati."
Kata-kata yang Charl ucapkan waktu itu di kawasan hotel tiba-tiba terngiang di kepalaku.
Itu bukan sekadar gumaman — itu adalah isi hatinya yang sebenarnya, setelah yakin aku dan Benika adalah sepasang kekasih.
Kenapa aku gak sadar waktu itu? Itulah bukti nyata dari perasaan yang Charl simpan untukku.
"Aku juga... senang mendengarnya."
"Hm?"
"Soalnya, kalau Charl datang ke love hotel bareng pacar, aku juga bakal gak suka..."
Rasanya malu banget ngomong begitu, tapi aku harus jujur.
Begitu kata-kata itu keluar, wajah Charl langsung memerah sekilas — nyaris seketika.
"E-eh? Ehh!? J-jadi maksudmu itu..."
"U-um... mungkin, iya..."
Charl gak suka kalau aku pacaran sama Benika. Dan aku gak suka kalau Charl pacaran sama orang lain.
Berarti, itu artinya──
"Atsuto!"
"Uwah!?"
Charl tiba-tiba melompat ke arahku, menubrukku hingga aku terbaring di sofa.
"Aku... senang banget sekarang! Atsuto!"
"C-Charl!?"
Matanya yang biru berkilau sedikit basah, lalu dia memelukku erat sambil menggesekkan pipinya ke dadaku.
Itu terasa hangat... lucu... dan entah kenapa, hatiku terasa lembut sekali. Aku membelai rambutnya perlahan.
"Hehe... geli sedikit, tahu?"
"Rambutmu halus banget..."
"Hehe, iya! Rambut itu kebanggaanku, tahu? ...Hm? ‘Halus banget’ maksudmu ‘lagi’?"
Ah, keceplosan!
"Sebenarnya... waktu aku ke rumahmu, aku sempat nyentuh sedikit..."
"Eh? K-kapan?"
"Waktu kamu tidur... cuma sebentar sih..."
Aku jujur mengaku, dan Charl mengembungkan pipinya.
"If you tell me, I will let you touch my hair as much as you want. (Kalau kamu bilang, aku bakal biarin kamu menyentuh rambutku sesuka hati.)"
"E-eh? Apa barusan kamu bilang...?"
"Ehehe, rahasia~"
Charl tersenyum nakal, lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Kalau mau tahu artinya, belajar bahasa Inggris yang rajin, ya!"
"A-akan kuusahakan..."
Charl tertawa kecil, dan setelah itu, keheningan kembali memenuhi ruangan. Tapi kali ini, keheningan itu terasa hangat dan nyaman.
"Nee, Atsuto?"
"Iya?"
"Kamu suka aku?"
"Suka. Banget."
"Ehehe... gitu, ya..."
Charl tersenyum bahagia, pipinya sedikit memerah, lalu kembali diam.
Suasana tenang itu bertahan beberapa detik──
"Kalau gitu... Atsuto, mau... ciuman?"
Chapter 17
Berdua di Hotel Seperti Itu (Part 2)
"Kalau begitu, Atsuto. Mau… ciuman?"
Kata-kata yang dibisikkan di telingaku terus bergema di kepala, dan setiap kali aku mengingatnya, detak jantungku semakin cepat.
Saat aku melirik ke samping, mata biru jernih milik Charl menatap lurus menembusku—tatapan yang jelas menunjukkan kalau ini bukan lelucon atau godaan.
"Ba… baiklah, ayo."
"Eh—!?"
Charl terkejut dan menatapku setelah aku menjawab dengan mantap.
"Kenapa malah kamu yang kaget!?"
"Ka-karena kamu menjawabnya tanpa ragu sama sekali… ya, kalau begitu… silakan…"
Charl memejamkan matanya rapat-rapat, bibirnya sedikit terbuka mengarah padaku.
"Kalau begitu… aku akan mulai, ya."
Charl mengangguk pelan, dan aku mendekat perlahan, lalu menempelkan bibirku pada bibirnya.
Waktu seakan berhenti.
Bukan seperti saat pertama kali kami bertemu yang terjadi karena kecelakaan, tapi sebuah ciuman untuk saling memastikan perasaan kami.
Kelembutan bibirnya yang kenyal terasa jelas, dan aroma manis dari rambut Charl yang lembap menyelimuti pikiranku, menghapus sisa-sisa rasionalitas.
Entah sudah berapa lama kami begitu.
Saat perlahan melepaskan ciuman itu, Charl menunduk dengan wajah merah padam.
"K-kita udah… ciuman, ya."
"I-iya…"
"Bibir Atsuto… lembut banget…"
"Itu bukan karena mabuk, kan?"
"Belum kok, aku belum mabuk."
Aku tak sanggup menatapnya langsung, jadi pandanganku beralih ke jam digital di samping tempat tidur. Rupanya waktu sudah lewat tengah malam.
"Umm… kita tidur sekarang, ya?" tanyaku pada Charl yang sedang menguap kecil.
"Y-ya! Aku juga mulai ngantuk, nih. Fuaah…"
Charl menahan kantuknya dan langsung menjatuhkan diri ke atas kasur.
"Fuaah… empuk banget…"
Setelah menarik selimut dan menutupi tubuhnya, ia mengintip dengan pipi yang melunak puas.
…Sepertinya dia sudah siap tidur. Aku juga harusnya begitu.
Aku pun berbaring di sofa, tapi—
"Aa-tsu-tooo!"
Begitu aku mengangkat tubuhku, Charl yang tadi tampak mengantuk sekarang menatapku sambil tersenyum cerah.
──Dan ia menyingkap selimutnya, cukup untuk memuat satu orang lagi.
"Ayo tidur bareng?"
Charl memiringkan kepala dengan nada manja.
Tentu saja, kalau pasangan normal mungkin wajar tidur bersama di tempat seperti ini… tapi hubungan kami belum sampai tahap itu!
"B-bukannya itu terlalu cepat…?"
"Eeh? Padahal kita udah ciuman, loh?"
Dengan wajah merah dan senyum nakal, Charl membuatku tak bisa berkata apa-apa.
…Tenang dulu, diriku. Kasurnya lebar, jadi asal tidur dengan jarak cukup, tidak akan masalah.
"Kalau begitu, permisi…"
Aku masuk ke kasur dengan hati-hati, lalu segera menjaga jarak darinya. Namun Charl segera mendekat, membuatku hampir terpojok ke tepi tempat tidur.
"Mou~ kenapa sih kamu malah menjauh?"
"S-soalnya malu…"
Begitu aku menjawab, Charl tertawa kecil dan berkata, "Ehehe, ketangkap!" sambil melingkarkan lengannya di lenganku.
Sentuhan kulitnya yang lembut terasa jelas, napas hangatnya menyentuh pipiku.
"Atsuto. Lihat aku, dong?"
"Ah…"
Charl menarik lenganku dengan lembut tapi kuat, memaksaku berbalik menghadapnya.
Mata birunya yang jernih berkilau seperti batu permata, jarak kami begitu dekat hingga bisa saling merasakan napas.
"…Deg-degan, ya?"
"Yah… bisa dibilang begitu."
Sulit rasanya untuk tidak deg-degan dalam situasi seperti ini. Jantungku berdetak terlalu kencang sampai rasanya sakit.
"Ehehe, jadi kamu deg-degan, ya?"
"Terus… kamu nggak deg-degan, Charl?"
"Deg-degan banget. Banget, tahu."
Charl menaruh tangannya di dadanya sendiri.
"Tapi ya, meskipun jantungku berdebar, kalau sama Atsuto rasanya aneh. Aku gugup, tapi juga senang… dan aku ingin terus bersamamu."
Ia tersenyum malu tapi tulus. Perasaan jujur dan polos itu membuat pipiku terasa panas.
Namun—
"…Apa aku pantas buat kamu?"
Pikiran itu tanpa sengaja terucap. Charl hanya memiringkan kepala dengan senyum kecil.
Aku senang dengan perasaan Charl. Tapi bersamaan dengan itu, ada kabut abu-abu yang menyelimuti hatiku.
Kalau dipikir logis, hubungan antara aku dan Charl ini tidak masuk akal.
Charl yang selalu berusaha keras sebagai guru, ingin berguna bagi orang lain. Dan aku—yang bahkan tidak punya cita-cita, hanya menjalani hari-hari dengan biasa saja.
"Rasanya… aku dan Charl nggak seimbang."
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Karena aku nggak punya kelebihan apa pun, nggak seperti kamu."
Aku memalingkan pandangan sejenak, lalu menatap Charl lagi. Ia menungguku melanjutkan dengan tenang.
"Bukan cuma kamu, Charl. Teman-temanku juga… seperti Benika atau Taketsuru, semuanya berusaha keras mengejar sesuatu. Tapi aku cuma sekolah seadanya, kerja paruh waktu seadanya…"
"Atsuto itu orang yang rajin, loh? Kamu selalu datang ke sekolah tiap hari, dan kerja juga karena ada alasan tertentu, kan? Jadi kamu berusaha keras."
Charl mengusap kepalaku dengan lembut seolah ingin menenangkanku. Namun, entah kenapa, kelembutan itu justru terasa menusuk seperti duri di hatiku.
"…Sebenarnya, alasan itu nggak ada."
Tangan Charl yang sedang mengusap kepalaku tiba-tiba berhenti.
"Eh? Tapi, kamu kan pernah bilang! Waktu aku nemuin dompet kamu di sekolah…"
"Itu… cuma bohong, supaya sensei mengizinkan aku kerja paruh waktu."
Aku menarik napas sebentar, lalu melanjutkan dengan suara pelan.
"Sebenernya… aku kerja cuma karena pengen punya uang buat main, bukan karena alasan penting apa pun."
Ah, akhirnya aku mengatakannya. Tapi cepat atau lambat, aku memang harus jujur.
Aku tak sanggup menatap wajah Charl.
Mungkin dia kecewa. Mungkin dia jijik.
Aku menunggu jawabannya dengan hati yang cemas—
"Hubungan yang dimulai dari kebohongan pun… tetap ingin aku jaga dengan baik, tahu?"
Yang datang malah jawaban yang lembut luar biasa.
Aku membeku, tak percaya dengan apa yang baru kudengar, sementara Charl tersenyum hangat dan kembali mengusap kepalaku.
"Tapi… aku udah bohong sama kamu, Charl…"
"Iya, mungkin itu benar. Tapi kalau bukan karena kebohongan itu, mungkin kita nggak akan bisa main bareng kayak gini, kan? Lagipula—"
Charl menarik napas kecil, lalu berkata:
"—Atsuto udah nolong aku! Cuma itu aja udah cukup bikin aku suka banget sama kamu!"
Ia mengucapkannya sambil memamerkan senyum selebar bunga yang sedang mekar penuh.
"Waktu pertama kali ketemu juga, kamu yang nolong aku. Terus kamu juga mau nurutin permintaanku buat ngajarin cara ‘bermain’. Menurutku, bisa bersikap baik ke orang lain aja udah luar biasa, tahu?"
"Enggak, aku cuma…"
"Makanya, aku bukan ‘boleh juga Atsuto’, tapi ‘harus Atsuto’."
Charl tersenyum manis, lalu memelukku erat.
Jantungku berdebar hebat, tapi aku bisa merasakan detak jantungnya juga, berdentum lembut dari dada yang menempel padaku.
"A-aku…?"
"Iya. Aku maunya Atsuto."
Dalam keheningan yang terasa seperti waktu berhenti, kata-katanya terus terngiang di telingaku.
Sisa-sisa akal sehatku perlahan terkikis.
"Malu sih… tapi aku punya buktinya, kok…"
Charl berbisik lembut di telingaku, lalu tiba-tiba bangkit—
──dan melepaskan ikatan tali jubah mandinya.
"H-Hei! Charl!?"
Aku panik dan buru-buru memalingkan badan, tapi dari belakang terdengar suara lirih yang penuh rasa malu, "Gak apa-apa kok. A-aku masih pakai sesuatu…"
"Ini buktinya, loh…"
Pelan-pelan aku menoleh, dan yang kulihat adalah Charl duduk di atas tempat tidur—dalam pakaian dalam.
Celana dalam yang terlalu kecil untuk menutupi bagian sensitifnya. Bra ungu dengan sulaman rumit yang terlihat rapuh menahan dadanya yang besar.
Aku begitu kaget sampai tak bisa bicara, sementara Charl, dengan pipi semerah mawar, berbisik pelan:
"Ini aku beli… buat Atsuto hari ini."
Ia melirik ke arah kantong kertas kosong di lantai.
Tadi dia memang bilang habis pergi belanja… jangan-jangan yang dia maksud adalah ini?
"Aku pikir, cepat atau lambat bakal datang ‘hari itu’ buat kita. Aku nggak nyangka kalau ternyata itu hari ini…"
Charl tersenyum malu dan perlahan mendekat padaku.
"Kalau bukan Atsuto, aku nggak akan ngelakuin hal kayak gini…"
"Charl! T-tunggu sebentar—"
"Atsuto… datanglah."
Charl memotong kata-kataku.
"…"
"Sampai kamu datang… aku akan tetap seperti ini."
Ia memejamkan mata rapat-rapat, tapi seluruh tubuhnya pasrah menungguku.
Seolah-olah dia sedang menguji keteguhanku sendiri.
Tapi… aku merasa belum saatnya melangkah sejauh itu dengan Charl.
Waktu berjalan pelan, hanya keheningan yang mengisi ruang di antara kami.
(…Baiklah.)
Setelah waktu terasa begitu lama, akhirnya aku mengambil keputusan—untuk menjawab harapannya.
Seakan tahu isi hatiku, Charl berbaring telentang di kasur.
"Charl…"
Aku menarik napas panjang, lalu merangkak di atasnya, menatap bahunya yang putih dan ramping.
Ketika bibirku hampir menyentuh bibirnya yang lembut—
"…kuu."
"Eh?"
Tiba-tiba, dari mulut Charl keluar suara kecil seperti dengkuran mungil.
Tubuhnya melemas, lalu pelan-pelan terbaring miring di atas kasur.
"Eh? C-Charl?"
Aku mengguncang bahunya pelan, tapi tak ada respons selain suara napas lembut.
Apa dia… tertidur karena terlalu lama menutup mata?
"Kamu… ketiduran lagi, ya?"
"Funyuu…"
Suara manja itu keluar dari bibirnya, dan aku yakin—Charl benar-benar tertidur.
"Hah… ternyata tidur lagi…"
Begitu menyadari itu, seluruh keteganganku luruh seketika. Aku menghembuskan napas panjang.
Kalau dipikir lagi, mungkin ini memang yang terbaik. Mungkin aku dan Charl hanya terbawa suasana hotel, jadi rasanya seperti "begitu."
Dan yang paling penting—aku ingin hubungan kami tetap berharga, bukan hanya sesaat.
"Selamat malam, Charl."
Aku menyelimuti Charl yang tertidur nyenyak, lalu memejamkan mata sendiri.
…Walau, jujur saja, setelah semua itu terjadi, tidak mungkin aku bisa tidur dengan tenang.
Chapter 18
Ketika Malam Manis Seperti Gula Berakhir
Setelah itu, pada akhirnya aku sama sekali tidak tidur hingga pagi datang.
Begitu aku dan Charl keluar setelah makan sarapan gratis bersama, hujan sudah sepenuhnya berhenti dan cahaya matahari pagi yang hangat menyinari kami.
Pohon-pohon di pinggir jalan yang masih basah oleh embun tampak berkilau, membuat mataku yang masih berat oleh kantuk terasa silau.
"Uwah, cuacanya bagus banget ya!"
Charl berkata riang sambil melompat kecil menghindari genangan air.
"Y-ya, benar juga."
"Atsuto! Di depan!"
"Uwah!"
Sementara itu, aku yang kekurangan tidur malah dengan gagahnya menancapkan kaki kanan tepat ke dalam genangan air.
"K-kamu nggak apa-apa?"
"Iya… kurasa, entah bagaimana…"
Charl terkekeh, lalu lagi-lagi melompat kecil sambil berkata "hop, hop," menghindari genangan lain.
Aku yang masih seperti setengah bermimpi hanya bisa memandangi punggungnya, sementara dia tampak ceria seperti biasa.
Seolah-olah apa yang terjadi semalam itu tidak pernah ada.
"Charl."
Saat kupanggil namanya, ia menoleh dengan ekspresi santai seperti biasanya. "Hmm?"
"Umm… soal semalam itu…"
Begitu aku berkata begitu, Charl langsung memerah dan menggaruk kepala dengan kikuk.
"A-aku berusaha buat nggak ngomongin itu, sih… ahaha…"
Ya, sudah kuduga. Baik waktu kami ganti baju maupun saat sarapan, dia sama sekali tidak menyinggung hal itu, jadi aku pun menyesuaikan diri dan diam saja.
"Begini ya, setelah kupikir-pikir… kayaknya waktu itu memang agak terlalu cepat, ya…"
"A-aku juga berpikir begitu…"
Syukurlah, ternyata kami sependapat.
"Tapi, Atsuto, waktu itu kamu kelihatan bingung banget, lho?"
"Itu… ya jelas aku bingung, kan!"
Benar-benar bahaya waktu itu.
Kalau saja Charl tidak ketiduran, dan semuanya benar-benar berlanjut setelah ciuman itu, mungkin hubungan kami sekarang sudah berubah total.
Karena kami berdua sama-sama canggung, mungkin memang lebih baik menikmati setiap momen kecil secara perlahan, tanpa terburu-buru—
…Itu yang kupikir, sampai tiba-tiba—
"Tapi, suatu saat nanti… a-aku berharap kita bisa… melakukan hal seperti itu juga, ya…?"
Charl berkata dengan suara lembut yang manja, sambil mencubit ujung lengan bajuku.
Gambaran dari ‘hal seperti itu’ yang dia maksud langsung terlintas di kepalaku, membuat wajahku panas mendadak.
"Ah, Atsuto malu tuh!"
"T-tidak malu!"
"Bohong! Wajahmu merah banget, tuh!"
"K-kamu juga sama, Charl!"
Saat kami bercanda seperti itu sambil berjalan—
"…Charl?"
Tiba-tiba, terdengar suara perempuan dari belakang.
Aku dan Charl serentak menoleh.
Dan di sana berdiri—
"O-o-onee-chan!?"
Charl panik sampai membuka mulutnya beberapa kali tanpa suara, sementara aku hanya bisa mengeluarkan suara bodoh, "Hah?"
Soalnya, orang itu adalah—
"Kau ke mana saja!? Aku pikir kau nggak bakal pulang lagi!"
"M-maaf banget!!"
Perempuan itu menegur dengan nada keras, sementara Charl membungkuk dalam-dalam, memohon maaf berkali-kali.
Lalu perempuan itu mengalihkan pandangan tajamnya padaku yang masih terpaku.
"Dan kamu, siapa?"
"Y-Yamazaki! Namaku Yamazaki Atsuto!"
Terintimidasi oleh auranya yang luar biasa kuat, aku spontan memperkenalkan diri.
"Atsuto?" gumamnya pelan, dengan alis sedikit terangkat seolah merasa janggal.
"Begitu ya… jadi kau ini… Atsuto-kun…"
Kenapa nadanya seperti sudah tahu aku siapa?
…Tidak, tunggu. Itu bukan masalah utama sekarang—
"U-umm, kalau boleh tahu… Anda siapa…?"
Perempuan itu berdeham kecil. "Ah, aku belum memperkenalkan diri ya."
Kemudian, ia menyibakkan rambut hitam pendeknya yang rapi, lalu berkata:
"Namaku Akashi Shiori. Aku kakaknya Charl… belum diberitahu, ya?"
Begitu mendengarnya, potongan-potongan informasi di kepalaku mulai tersusun satu per satu.
"Onee-chan itu model, lho! Bahkan pernah muncul di TV juga!"
Ucapan Charl dulu terlintas di benakku. Jadi yang dimaksud Charl waktu itu… adalah Akashi Shiori!?
Tapi tunggu, Shiori-san yang jelas-jelas orang Jepang asli ini bisa jadi kakak Charl yang orang Amerika?
Bagaimana bisa!?
Aku yang benar-benar kebingungan hanya bisa menatap, sementara Shiori-san menatapku dengan senyum tajam yang terasa seperti tantangan.
"Bisa kau luangkan sedikit waktumu? Ada beberapa hal yang perlu kutanyai langsung padamu."
*****
"O-Onee-chan, pekerjaanmu gimana…?"
"Tadinya aku mau berangkat lebih awal, tapi… berubah pikiran."
"T-tapi nanti telat lho!"
"Nggak apa-apa, telat sedikit. …Sini ikut aku."
Kami sempat berusaha kabur, tapi Shiori-san hanya berkata "ikut" tanpa memberi pilihan lain.
Akhirnya, kami tiba di rumah Charl.
"Silakan masuk."
"Onee-chan! P-pekerjaanmu!"
"Sudah kubilang tidak apa-apa! Duduk dan tunggu di situ!"
Tak ada yang bisa kami lakukan selain patuh.
Beberapa saat kemudian, Shiori-san kembali dari dapur dengan nampan berisi tiga cangkir teh dan duduk di hadapan kami.
Rambut hitamnya berkilau, matanya gelap, kulitnya sedikit sawo matang—berbeda jauh dari Charl yang berkulit putih dan berambut cokelat terang.
…Semakin kulihat, semakin sulit percaya kalau mereka saudara.
"Ada apa, Atsuto-kun? Nggak diminum?"
"M-maaf! Terima kasih!"
Aku buru-buru menyesap tehnya.
Tapi karena gugup, rasanya… mustahil.
Sambil berpikir panik kalau dia nanya pendapat tentang rasanya gimana ini aku jawab apa, tiba-tiba Shiori-san bicara.
"Aneh, ya?"
"Eh?"
"Aku sudah bisa menebak. Setiap kali aku dan Charl bilang kami saudara, semua orang pasti bereaksi aneh seperti kamu barusan."
"A-aku minta maaf…"
"Nggak perlu minta maaf. Wajar kok."
Ia meletakkan cangkirnya, lalu menatapku lagi dengan ekspresi tenang.
"Lumayan panjang ceritanya, tapi… aku jelaskan ya."
──Bahwa ia adalah kakak Charl dengan perbedaan usia empat tahun.
──Bahwa orang tua Charl bercerai saat Charl masih kecil, dan ayah tirinya membawa serta Shiori sebagai anak dari pernikahan sebelumnya.
──Bahwa Charl sejak kecil selalu menyayanginya seperti kakak kandung sendiri.
"Begitulah ceritanya," ujarnya menutup dengan satu tegukan teh.
"Aku tadinya mau cerita kapan-kapan, sih… hahaha…"
Charl hanya bisa tersenyum canggung, terlihat sedikit merasa bersalah.
Aku tak menyangka di balik keceriaan Charl, ada masa lalu seperti itu. Pasti selama ini dia sengaja tidak bercerita supaya aku nggak khawatir.
"Itu saja. Ada yang mau kau tanyakan lagi?"
"T-tidak, cukup kok…"
"Baiklah. Kalau begitu, ayo kita masuk ke topik utama!"
Shiori-san menepuk kedua tangannya keras-keras, lalu mencondongkan tubuh ke depan dengan wajah serius.
"──Jadi, langsung saja. Sejak kapan kau mulai berpacaran dengan Charl?"
………………Hah?
B-berpacaran!?
Maksudnya… pacaran dalam arti yang sebenarnya!?
Aku dan Charl saling memandang, sama-sama memasang ekspresi kosong.
"Umm…"
Tangan Shiori-san mendekat ke arah kami dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
"Jadi, aku dan Charl itu… yah, sebenarnya…"
"Tidak perlu malu-malu, tahu?"
"K-kami tidak pacaran," jawabku cepat.
Keheningan seketika memenuhi ruangan.
"………………………Apa?"
Wajah Shiori-san membeku dalam ekspresi kebingungan total.
"Benar begitu, Charl?"
"I-iya. N-nggak pacaran sih… hahaha…"
Charl menjawab lirih dengan pipi yang sedikit memerah. Dalam sekejap, ekspresi Shiori-san berubah menjadi lebih tajam.
"Jadi, kau mau bilang kalau kau pulang pagi bersama laki-laki yang bahkan bukan pacarmu?"
"A-aah, pulang pagi!?"
Charl langsung panik. Shiori-san menatapnya dengan dahi berkerut.
"Kemarin kau pergi tanpa bilang apa pun, dan saat aku menemukannya, kau bersama anak laki-laki ini. Bukankah itu artinya kau pulang pagi?"
"U-uh… ya… itu…"
"Charl. Jelaskan, apa hubunganmu dengan anak laki-laki itu."
"At-atsuto itu murid sekolah Suishou!"
"…………"
"Atsuto itu baik dan lembut! Orangnya benar-benar menyenangkan!"
"…………"
"E-eh, Onee-chan?"
Namun Shiori-san tetap tidak menanggapi sama sekali. Tepat pada saat itu—
Pish.
Suara benda retak menggema, memecah keheningan ruangan.
Pegangan cangkir teh yang dipegang Shiori-san patah bersih.
"O-Onee-chan!? I-itu, patah…!"
"Itulah sebabnya aku menentangnya sejak awal," ucap Shiori-san datar sambil meletakkan potongan pegangan itu di atas piring kecil.
"M-menentang…?"
"Ingatkah kau?" katanya sambil menyipitkan mata.
"Kau bilang, ‘Aku ingin jadi seperti Onee-chan yang bekerja keren di kota.’ Karena itulah aku mengizinkanmu bekerja di Jepang. Tapi aku sudah memperingatkanmu, kan? Bahwa di kota ada pria-pria seperti dia, yang suka memperdaya gadis polos dari kampung."
"Itu salah!"
Untuk pertama kalinya, Charl berteriak dengan nada marah.
"Atsuto nggak memperdayaku! Kami punya alasan kenapa bisa seperti ini!"
Ia menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan.
"Saat aku masih di Amerika, aku menyadari sesuatu! Sensei yang kukagumi itu nggak cuma pintar di bidang pelajaran, tapi juga tahu banyak hal! Mereka tahu tempat untuk bersenang-senang kalau muridnya lelah belajar, tahu cara membuat murid bisa akrab lewat permainan!"
──Padahal, pada akhirnya aku hampir nggak pernah punya waktu untuk bermain, tambahnya dengan wajah perih.
"Aku belajar keras supaya bisa jadi guru. Tapi tetap saja, aku nggak bisa jadi seperti sensei yang kukagumi. Karena aku nggak tahu apa pun tentang hal-hal selain belajar."
Shiori-san menyeruput tehnya dengan wajah datar tanpa ekspresi, sementara Charl melanjutkan dengan suara bergetar.
"Karena itu aku pikir, aku harus berubah. Saat pergi jalan-jalan sendirian, aku bertemu dengan Atsuto. Jadi aku memintanya untuk mengajariku berbagai hal! Cara bersenang-senang, cara bergaul—segala hal yang belum kuketahui!"
"Dan hasilnya, kau menginap di hotel dan pulang pagi bersama dia?"
"T-tapi kami nggak melakukan apa-apa!"
"Kalau begitu, menurutmu boleh-boleh saja guru dan murid menginap bersama hanya karena tidak terjadi apa-apa?"
Charl tak bisa menjawab. Ia hanya menunduk sambil bergumam pelan, "Uuuh…"
Suasana di ruangan menjadi begitu berat, seolah udara berubah menjadi timah.
Akhirnya, Shiori-san yang pertama memecahkan keheningan.
"Ada satu usul untukmu, Charl."
"U-usul…?"
Charl perlahan menegakkan wajahnya.
Shiori-san menatapnya lurus, lalu berkata dengan nada datar:
"Bagaimana kalau kau bekerja di Amerika? Sebagai guru."
Nada suaranya tenang—namun penuh ketegasan.
Chapter 19
Meskipun Aku Masih Anak-Anak yang Belum Bisa Diandalkan
"Kau tidak dengar, ya? Aku bilang, bagaimana kalau kau bekerja di Amerika?"
Kepada kami yang terdiam, Shiori-san mengulangi perkataannya seolah ingin menegaskan bahwa itu bukan lelucon.
"Eh..."
"T-tidak mungkin..."
Setelah beberapa saat hening, aku dan Charl akhirnya membuka mulut. Shiori-san menatap kami berdua, lalu menyeruput sedikit tehnya sebelum melanjutkan,
"Bukan harus jadi guru juga tak apa. Kalau kau datang ke Jepang hanya untuk bermain, maka lebih baik kau pulang ke Amerika."
Nada bicaranya memang agak kasar, dan kedengarannya seperti usulan yang tiba-tiba, tapi logikanya tetap masuk akal.
Shiori-san mengatakan hal itu karena dia benar-benar memikirkan Charl dari lubuk hatinya.
Namun, itu hanyalah keinginan Shiori-san.
Charl juga punya keinginannya sendiri.
"…Tolong tunggu sebentar."
Aku berusaha tetap tenang saat menatap Shiori-san.
"Ada apa?"
"Memang, apa yang aku dan Charl lakukan mungkin salah. Tapi kalau Charl benar-benar punya tekad untuk bekerja di Jepang, bukankah Shiori-san tak seharusnya menghentikannya—"
"—Salah."
Shiori-san memotong perkataanku.
"Yang melakukan kesalahan hanyalah Charl."
"…Hah?"
Aku tak mengerti maksud perkataannya dan refleks mengeluarkan suara bingung.
"Aku sempat mengira kamulah yang merayu Charl. Tapi setelah kudengar semuanya, ternyata tidak. Yang pertama kali mengajak untuk ‘bermain bersama’ itu Charl, bukan?"
Memang benar, Charl yang mengajakku duluan. Tapi bukan karena dia ingin bermalas-malasan.
Charl melakukannya demi mewujudkan cita-citanya.
Dia memilih jalan itu supaya bisa menjadi guru yang tak hanya pandai mengajar, tapi juga mampu mendukung muridnya dalam kehidupan pribadi mereka.
"Atsuto-kun. Ini sudah menjadi masalah antara aku dan Charl. Tidak, lebih tepatnya ini masalah yang seharusnya diselesaikan oleh orang dewasa. Jadi, kau yang masih siswa SMA tak perlu ikut campur."
Dengan tegas, Shiori-san menarik batas di antara kami. Lalu, ia kembali menatap Charl dengan sorot mata lembut dan berkata,
"Charl. Mungkin kau terlalu bersemangat saat datang ke Jepang. Tapi tidak apa-apa. Setiap orang bisa melakukan kesalahan, dan kau bisa memanfaatkan pengalaman itu nanti ketika kembali mengajar di negara asalmu."
Charl mengatupkan bibirnya rapat-rapat, mengepalkan tangan yang bergetar.
…Dia pasti sedang berjuang dalam hatinya — antara memilih Jepang atau Amerika untuk melanjutkan karier mengajarnya.
"Aku…"
Setelah lama terdiam, Charl mengangkat wajahnya.
"Aku…!"
Kulihat dari sudut mataku, air mata mulai menggenang di mata beningnya──
"Aku… a—ka—n bekerja di sini, titik!!"
Begitu berteriak, Charl menjulurkan lidahnya dengan gaya mengejek, menolak mentah-mentah tawaran Shiori-san.
"Apa…!?"
"Aku akan bekerja! Aku sama sekali nggak akan dengar kata-kata Onee-chan! Sama sekali nggak! Bleh!"
"H-hey…"
Charl terengah-engah seperti binatang buas kecil yang marah, sementara pandangan Shiori-san berputar ke kanan dan kiri, kebingungan.
"Cha–Charl?"
"(Hmph!)"
"Dengar dulu sebentar…"
"Onee-chan bodoh! Bodoh, bodoh!"
Charl ribut seperti anak kecil yang ngambek, dan Shiori-san hanya bisa melongo.
"Charl. Berhenti dulu."
"Dasar bodoh, bodoh! Hmph!"
"Ber-hen-ti!"
Shiori-san memegang lengannya, membuat Charl menggembungkan pipinya.
"Apa sih, Onee-chan?"
"Yah… mungkin aku memang terlalu keras bilang ‘pulang ke Amerika’. Aku minta maaf."
Begitu mendengar itu, wajah Charl langsung berseri seperti bunga yang mekar.
"Seperti yang kuduga dari Onee-chan…! Punya kakak yang pengertian memang luar biasa…!"
"Benar-benar perubahan sikap yang cepat sekali, ya…"
Shiori-san tersenyum kecut sambil menyesap tehnya.
Suasana yang tegang tadi perlahan mencair, dan aku pun ikut merasa lega.
Tapi──
"Meski begitu, kau tetap bisa melanjutkan karier mengajarmu tanpa harus bermain-main dengan Atsuto-kun setiap malam."
"Eh…?"
"T-tapi… Onee-chan…"
Lagi-lagi, usulan yang dingin itu muncul.
"Aku memang menyetujui kalau kau mau mengajar di Jepang. Tapi aku tidak menyetujui kebiasaanmu keluar malam bersama seseorang. Kau mengerti, kan?"
"Tapi aku melakukan itu untuk belajar tentang permainan dan hiburan…!"
"Dan itu, menurutku, bukan hal yang baik."
Shiori-san menolak impian Charl mentah-mentah.
Charl tampak di ambang menangis, tapi Shiori-san tetap menatapnya dengan pandangan tegas.
"…Mungkin ini cuma efek samping, ya."
Aku tanpa sadar mengulang, "Efek samping?"
Shiori-san mengangguk pelan.
"Charl dulu anak yang sangat serius ketika masih sekolah. Justru aku yang dulu sering bersikap santai dan suka bermain-main."
"Eh? S-Shiori-san begitu juga…?"
Aku terkejut.
Aku bisa membayangkan Charl yang rajin dan tekun, tapi tak pernah membayangkan Shiori-san tipe orang yang suka keluar malam.
"Charl hanya tahu belajar atau membantu di rumah. Jadi, kupikir dia belum puas bermain saat masih muda."
Shiori-san mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Andai saja waktu itu aku bisa mengajaknya bermain. Andai aku sempat bilang, ‘ayo refreshing sebentar’ pada Charl yang cuma belajar terus, mungkin semua akan berbeda."
Tatapan Shiori-san lalu beralih padaku — tajam tapi juga penuh tekad.
"──Karena itu, mulai sekarang, biar aku yang mengajarkan Charl tentang ‘bermain’."
Begitu kata-kata itu keluar, kepalaku langsung blank.
"T-tunggu, Onee-chan…!"
Charl terlihat panik, tapi Shiori-san menatapnya lembut.
"Charl. Pikirkan baik-baik. Atsuto-kun masih siswa SMA. Belajar adalah tugas utamanya — sama seperti dirimu dulu. Selain itu…"
──Kau tak bisa terus merepotkan Atsuto-kun, kan?
Tatapan lembut Shiori-san menusuk hatiku seperti jarum kecil. Aku tahu dia mengatakan itu karena benar-benar peduli pada kami berdua.
Shiori-san bukan orang jahat — aku paham itu.
Tapi tetap saja…
Ada alasan kenapa harus aku yang melakukannya.
Dan untuk menyampaikannya, aku harus menunjukkan perasaanku yang sebenarnya.
"Shiori-san!"
Aku berdiri dari kursiku dengan suara keras. Charl dan Shiori-san sama-sama tersentak kaget.
(Jangan mundur, diriku)
Aku mengingatkan diriku sendiri, menarik napas dalam-dalam──
"AKU! MENCINTAI CHARL LEBIH DARI SIAPA PUN DI DUNIA INI!!"
Aku meneriakkannya sekuat tenaga.
"A-apa…!?"
"A-a-a-a-Atsuto────!?"
Seperti yang kuduga, mereka berdua langsung panik. Charl sampai hampir jatuh dari kursinya karena terlalu terkejut.
Sial, teriakanku barusan bikin tenggorokanku sakit!
"Apa-apaan ini…! Kenapa kamu tiba-tiba…!?"
Shiori-san menatapku seperti melihat hantu.
"Memang sekarang aku dan Charl adalah murid dan guru! Tapi suatu hari nanti, aku akan menyatakan perasaanku padanya, kami akan resmi berpacaran dan── kalau bisa, menikah di masa depan!"
"M-me-menikah!?"
Charl sampai berteriak fals karena kagetnya.
Mungkin memang terlalu besar omonganku… tapi tidak apa! Kalau mau meyakinkan Shiori-san, harus dengan kata-kata yang punya kekuatan seperti ini!
"Aku ingin hidup untuk mendukung Charl! Aku sudah menyiapkan diri untuk itu!"
"Menyiapkan diri!?"
Aku pun mengambil buku tabunganku dari tas dan menjatuhkannya di atas meja.
"I-ini apa…?"
"Ini buku tabunganku! Milikku sendiri!"
"Itu… sudah jelas kelihatan dari situ, tapi…"
Aku membuka buku tabunganku dan menunjuk angka yang tertera di bagian paling bawah.
Shiori-san bergantian menatap antara aku dan buku itu, lalu matanya membesar.
"Ini… kamu yang menabungnya?"
"Iya. Sekitar satu juta yen. Aku menabung dari hasil kerja paruh waktu demi masa depan bersama Charl."
…Padahal sebenarnya uang itu terkumpul begitu saja dari kerja sambilan tanpa tujuan jelas, tapi yang penting kan bagaimana cara mengatakannya.
"Tadi kau bilang kalau Charl sekarang bermain karena pelampiasan dari masa kecilnya yang tidak bisa bermain, tapi aku rasa itu salah."
Aku meneguk sedikit teh untuk membasahi tenggorokan, lalu menarik napas dalam-dalam.
"Aku tahu karena aku sering bersamanya. Charl tidak bermain sekedar untuk bersenang-senang, tapi dia selalu berpikir bagaimana cara menjadikan permainan itu sesuatu yang bisa dia terapkan dalam pelajaran. Dan, agak malu untuk mengulanginya, tapi──"
Aku menatap mata Shiori-san dalam-dalam, lalu berbicara dengan suara tegas.
"──Aku benar-benar mencintai Charl dari lubuk hatiku yang paling dalam. Karena itu, akulah yang akan menjadi orang yang mengajarkan tentang permainan pada Charl."
Keheningan berat menyelimuti ruangan.
Beberapa saat berlalu sebelum akhirnya Shiori-san memecah keheningan dengan gumaman pelan.
"…Baiklah, aku mengerti tekadmu, Atsuto-kun. Bermain bersama Charl adalah hal penting bagimu. Sebagai bagian dari memperdalam hubungan kalian."
Melihat Shiori-san yang tersenyum kecil dengan lembut, aku tanpa sadar melepaskan napas lega.
(Selesai juga, ya…)
Saat aku menggumamkan itu dalam hati──
"Tapi,"
Suara Shiori-san kembali terdengar, kali ini sarat dengan ketegangan. Ia menatapku tajam.
"Itu hanya mencerminkan dirimu yang sekarang, Atsuto-kun."
"────Eh."
Shiori-san melanjutkan pelan, "Yang penting adalah, bagaimana kelanjutannya nanti."
"Kalau suatu saat kamu sudah dewasa… bagaimana kamu akan mendukung Charl?"
Telapak tanganku yang terkepal mulai basah oleh keringat.
"Aku…"
Aku membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
…Benar juga, kalau dipikir-pikir.
Selama ini aku tidak pernah memikirkan masa depan. Sekolah dan kerja paruh waktu pun kulakukan tanpa arah yang jelas.
"Aku, itu…"
Tenanglah. Pikirkan. Harus ada jawabannya.
Bagaimana aku bisa meyakinkan Shiori-san?
Bagaimana aku bisa mendukung Charl?
…Namun pikiranku benar-benar kosong.
Keringat di dahiku menetes ke atas meja, dan pada saat itu──
"Atsuto."
Dengan suara lembut, Charl meletakkan tangannya di atas tinjuku yang terkepal. Seolah mengatakan, "Tak apa, kamu akan baik-baik saja, kok."
‘Atsuto pasti bisa! Nggak perlu terburu-buru, ya?’
Kata-kata Charl yang dulu tiba-tiba terlintas di pikiranku.
Iya, benar. Aku tidak perlu terburu-buru.
Aku kagum pada Charl yang datang ke Jepang untuk mengejar mimpinya.
Aku ingin membantunya meraih cita-cita menjadi guru ideal. Dan perasaan itu, mungkin muncul karena aku mengaguminya.
Kalau begitu──mungkin inilah jawabanku.
"Aku… ingin menjadi ‘guru’ seperti Charl. Seseorang yang bisa mengajarkan sesuatu kepada orang lain dan memberi mereka mimpi."
Aku tidak tahu apakah itu berarti menjadi guru sekolah, atau bentuk lain dari seorang pengajar.
Tapi aku benar-benar tersentuh oleh sikap Charl, yang rela mengorbankan dirinya untuk mengajar demi orang lain.
"…Begitu, ya."
Shiori-san menjawab singkat.
Aku sempat bersiap kalau-kalau dia akan bilang, "Itu terlalu samar," tapi ternyata tidak ada kritik lebih lanjut.
"Charl."
"I-iya!"
Charl refleks mengangkat tubuhnya dengan sedikit gemetar.
"Charl, kamu sendiri ingin seperti apa hubunganmu dengan Atsuto-kun?"
Jawabannya datang tanpa ragu.
"Aku juga ingin bisa terus bersama Atsuto selamanya!"
Charl menjawab dengan senyum cerah yang nyaris menyilaukan.
Shiori-san terdiam menatapnya cukup lama.
"Begitu, ya. Jadi kalian berdua saling mencintai, ya."
Wajah keras Shiori-san perlahan melunak menjadi senyum lembut.
"Kalau begitu, sepertinya tidak pantas lagi kalau aku ikut campur."
"Shiori-san…!"
"Onee-chan…!"
Aku dan Charl saling menggenggam tangan dengan lega, sementara Shiori-san berdeham kecil.
"Atsuto-kun."
Tatapannya kembali serius, dan aku segera menegakkan punggung.
"Tolong jaga dan dukung Charl, ya."
"S-saya juga mohon bimbingannya…!"
Aku buru-buru menunduk, dan Shiori-san pun tertawa ringan, seolah menepis ketegangan sebelumnya.
"Hahaha, tidak perlu tegang begitu. Aku sudah mengakui dirimu, kan?"
"Y-ya… terima kasih banyak…!"
Meskipun begitu, rasanya sulit sekali untuk tidak gugup!
Shiori-san menepuk pundakku dua kali dan tersenyum nakal.
"Padahal sebelumnya aku sudah mendengar dari Charl bahwa ada 'orang baik' dalam hidupnya. Hanya saja, aku tidak menyangka kalau orang itu masih SMA."
"Eh? J-jadi sudah tahu dari awal?"
Kalau diingat, waktu pertama kali bertemu, dia memang bilang, "Kamu Atsuto-kun, ya?"
"Eh!? Onee-chan, jangan bilang begituu!"
"Hahaha! Tidak apa-apa, toh sekarang sudah terbuka juga."
Shiori-san tertawa lepas, sementara Charl memerah dan menunduk malu. Melihat kedua kakak-beradik itu, aku tak bisa menahan senyumku.
──Dengan ini, semuanya berakhir.
…Atau begitulah kupikir.
"Oh iya, Atsuto-kun."
Nada suara Shiori-san kembali serius, dan aku refleks merapatkan wajah.
"Ya, ada apa!?"
"Katanya, kali ini kalian pulang pagi tapi tidak terjadi apa-apa, kan? Tapi kalau sampai ada sesuatu yang terjadi saat kamu masih SMA… kamu tahu apa akibatnya, kan?"
Shiori-san tersenyum manis… tapi tangannya terkepal kuat.
"Ba-baik! Aku akan mengingatnya baik-baik!"
…Matanya benar-benar seperti mata seseorang yang akan melakukannya beneran.
*****
Setelah itu, Shiori-san──
"Uwaaaahhh────! T-terlambat! Aku benar-benar terlambat!!"
Akhirnya, karena hampir telat bekerja, dia berlari keluar rumah dengan kecepatan luar biasa.
Setelah kepergiannya, suasana kamar terasa seperti setelah badai berlalu—tenang dan damai.
Atau… apa benar damai? Entah kenapa, rasanya agak canggung.
"Aku! Adalah orang yang paling mencintai Charl di seluruh dunia!!"
"Dan aku pikir, kalau bisa menikah dengannya di masa depan, itu akan jadi hal terbaik yang pernah ada!"
Kata-kata yang tadi kuucapkan pada Shiori-san terngiang kembali di kepala, membuat wajahku panas bukan main.
"…Charl."
"…Atsuto."
Kami berdua bicara di waktu yang sama.
"A-ah, um, kamu duluan, Charl."
"U-um…"
Charl menarik napas panjang, lalu menatapku lurus dengan mata sebening lautan.
"Tadi, yang kamu bilang ke Onee-chan itu… b-b-beneran…?"
"U-uh, ya… kalau Charl tidak keberatan, aku berharap suatu hari nanti… kita bisa, u-uh… menikah…"
"Ah… u-um… m-menikah…"
Charl memalingkan wajahnya dengan cepat, dan pipinya langsung memerah seperti buah apel matang.
Aku kira reaksinya akan seperti biasa—sesuatu seperti, "T-t-tunggu dulu, itu agak berlebihan, tahu!?"—tapi melihat wajahnya yang begitu malu, justru aku yang jadi salah tingkah.
"E-ehm… j-jadi…"
"H-hm… iya…"
"Suatu hari nanti… kamu akan benar-benar datang menjemputku, ya…?"
Charl bertanya dengan suara kecil, hampir bergetar.
Wajahnya terlihat polos dan lembut, tapi di balik itu ada sedikit rasa takut, seolah ia takut jawabanku tidak seperti yang diharapkan.
Jadi aku pun──
"Iya. Aku pasti akan datang menjemputmu!"
Aku menatapnya lurus, lalu mengulurkan tangan—menyampaikan janji masa depan dalam genggaman itu.
Charl menumpangkan tangannya di atas tanganku dengan lembut, lalu tersenyum—sebuah senyum yang semerbak indah seperti bunga yang sedang mekar.
Senyum itu… adalah yang paling manis dan paling cantik yang pernah kulihat. Hatiku benar-benar terhenti sesaat.
"Kalau begitu, kita berdua harus berusaha keras, ya!"
"I-iya, benar…!"
Melihat semangat di mata Charl, aku pun ikut tersadar kembali.
Aku sudah berbicara sebesar itu di depan Shiori-san.
Selama ini aku hidup tanpa tujuan, tapi mulai sekarang… aku harus benar-benar hidup dengan tekad untuk mendukung Charl di masa depan.
Aku belum tahu kapan hari itu akan tiba—hari ketika aku merasa cukup kuat untuk benar-benar bisa menopangnya.
Tapi kalau hari itu datang nanti, aku akan menyampaikan perasaanku sekali lagi.
Dan kalau kami bisa terus tertawa bersama seperti ini… maka itu pasti akan menjadi masa depan terbaik yang bisa kuminta.
"Charl juga… mau menungguku sampai hari aku benar-benar datang menjemputmu?"
Aku bertanya dengan suara hati-hati, hampir berbisik.
Charl menatapku lembut, lalu tersenyum hangat.
"Aku bisa menunggu selama apa pun. Karena──"
Pipinya bersemu merah, tapi matanya tetap menatapku lurus tanpa ragu.
"I love you, Atsuto!"
Senyumnya bersinar begitu terang, membuat seluruh ruangan terasa hangat dan berkilau.
Meski aku tidak terlalu pandai bahasa Inggris, kalimat itu jelas terdengar tanpa perlu diterjemahkan.





Post a Comment