Chapter 21 – Kebenaran tentang Miyabi
Sudah berapa jam berlalu sejak itu? Aku masih hanya bisa menatap langit-langit.
Berapa tahun lagi aku harus hidup di dalam neraka seperti ini? Aku ingin mati—atau setidaknya, seseorang membunuhku. Tapi… kalau sampai detik terakhir kesadaranku tetap utuh, apa yang akan terjadi padaku?
Apakah aku harus terus ketakutan setiap kali mendengar langkah kaki, seperti narapidana yang menunggu eksekusi mati?
Aku hanya bisa menunggu dengan cemas kapan seseorang mematikan alat bantu hidupku. Tapi siapa yang akan menjatuhkan eksekusi itu? Orang-orang dari perusahaannya? Atau Misato-san dan Airi?
Siapa yang membuatku tetap hidup? Bahkan itu pun aku tak tahu.
Tanpa kusadari, kesadaranku mulai mengabur, dan aku perlahan tertidur. Entah itu kematian atau sekadar tidur, aku tak tahu. Hatiku hanya dipenuhi keputusasaan….
***
“Bangunlah, Yaguchi Miyabi.”
Aku mendengar suara memanggilku.
Dunia itu dipenuhi cahaya. Di sana, tubuhku bebas, dan aku mendapatkan kembali suaraku.
Di hadapanku, sebuah bola cahaya mengambang. Aku langsung tahu itu adalah bentuk dari sesuatu yang hidup.
“Kamu…? Apa aku sudah mati?”
“Kau belum mati. Karma yang kau timbulkan tidaklah ringan, dan hukuman itu tidak bisa ditebus sesederhana itu.”
Apa maksud orang ini?
“Kau bukan hanya mengkhianati suamimu, tapi juga membuat putrimu menjadi anak haram. Itu dosa yang sangat berat. Melihat sisa usia hidupmu, mungkin kau akan tetap seperti itu selama beberapa puluh tahun.”
Jadi waktu panjang tanpa dapat melakukan apa-apa seperti neraka itu akan terus berlanjut. Aku bahkan tidak tahu berapa jam yang telah berlalu.
“Baiklah, kuberitahu. Baru 30 menit berlalu.”
Tiga puluh menit. Hanya tiga puluh menit!? Waktu menjadi begitu lambat ketika tidak bisa melakukan apa pun.
“Di duniamu, ada teori relativitas atau tombol 500 juta tahun, bukan? Bayangkan saja seperti itu.”
Jadi ini seperti hukuman penjara seumur hidup. Bahkan jika kau gila, itu tidak berarti semuanya berakhir. Penjara bagi jiwa—begitu rupanya.
“Benar. Waktu selama puluhan tahun itu… lebih menyakitkan daripada hukuman apa pun. Bahkan kematian pun terasa seperti pembebasan.”
Kesendirian yang lebih menyakitkan daripada kematian. Hanya membayangkannya saja membuatku ingin menghilang.
“Karena itu, kuberi kau kesempatan. Tapi karena dosamu, kau membawa karma negatif dalam jumlah besar yang membuatmu bernasib buruk. Kau tetap menginginkannya?”
“Jika aku bisa keluar dari neraka ini, aku mau. Aku mohon… izinkan aku mencobanya.”
“Baik. Kau mendapat tiga kesempatan.”
“Aku harus melakukan apa…?”
“Mencarinya sendiri juga bagian dari ujian.”
Tanpa mengetahui apa arti kesempatan itu, tubuhku kembali diselimuti cahaya.
***
Garis Dunia α(alpha) 1.1 (Kesempatan Pertama)
Aku kembali menjadi bayi.
Sebagai diriku yang baru, aku menjalani hidup kedua. Aku bertekad hidup tanpa menjadi tidak bahagia, tanpa mengulangi kesalahan itu. Aku belajar keras, menjaga jarak dari pria itu, bahkan tidak pernah bertemu dengannya, dan menjalin hubungan dengan Michitaka.
Namun setelah masuk universitas, hubungan kami perlahan menjauh hingga berakhir begitu saja.
Lalu aku dekat dengan teman kuliah yang serius, dan menikah pada tahun kedua setelah bekerja.
Tapi setelah menikah, ternyata ia kecanduan judi. Saat kutegur, ia mengamuk dan melakukan KDRT. Lebih buruk lagi, karena utangnya, hidup kami terpuruk… hingga akhirnya kami berdua tewas seperti mati kelaparan.
Dan aku kembali ke kehidupan pertama.
Saat terbangun, aku berada di kamar rumah sakit itu. Tidak bisa bergerak. Saat sadar kembali, rasa sakit yang luar biasa menyiksaku.
Aku pingsan karena rasa sakit dan kembali ke dunia cahaya.
“Gagal.”
Bola cahaya itu menilai kehidupan baruku dengan dingin, memberi cap kegagalan.
“Kau tidak bilang akan terasa sesakit ini!” protesku.
“Kau boleh menyerah kapan saja,” jawabnya—membuatku cepat-cepat menggeleng panik.
Selama masih ada kesempatan, aku ingin mencobanya.
“Tolong, beri aku satu kesempatan lagi.”
Tubuhku kembali diselimuti cahaya.
***
Garis Dunia α(alpha) 1.3 (Kesempatan Kedua)
Saat sadar, aku sudah menjadi murid kelas tiga SMP. Musim ujian masuk sekolah.
Mungkin aku tak boleh menjalin hubungan dengan Michitaka maupun pria itu. Jadi aku memilih sekolah lain. Pada hari pengumuman hasil ujian… aku lolos. Aku pikir aku bisa memulai hidup baru. Namun seketika, aku mengalami serangan jantung yang sama seperti Michitaka, dan mati sendirian di lantai beton yang dingin tanpa seorang pun yang menyadari.
Saat kembali tersadar, rasa sakit di dada dari kehidupan itu masih terasa. Sakit luar biasa… tapi aku tak bisa bergerak, tak bisa bersuara, dan tak seorang pun menyadarinya. Aku mengerti… ini adalah hukuman. Kesempatan yang diberikan hanyalah versi lain dari neraka.
Di kehidupan pertama, aku mengkhianati semuanya. Jadi aku menjadi mayat hidup.
Di kehidupan kedua, aku gagal menghargai Michitaka, jadi aku mati tersiksa sama seperti sebelumnya.
Di kehidupan ketiga, aku mencoba melarikan diri dari segalanya, sehingga aku dipaksa merasakan ulang penderitaan Michitaka.
Jadi, aku tidak boleh lari darinya. Aku harus menebus dosa padanya.
“Apa kau mau menyerah? Atau lanjut?”
Bola cahaya bertanya tanpa belas kasih. Meski sakit, itu masih lebih baik daripada penjara kesadaran yang membeku.
Aku memilih kesempatan terakhir.
“Aku lanjut.”
Kali ini, aku tidak akan lari dari Michitaka. Dengan tekad itu, aku kembali ke masa lalu.
***
Garis Dunia β(Beta) ・Sudut Pandang Miyabi—
Namun, kesempatan ketiga dimulai dari kondisi terburuk.
Aku kembali ke hari pertama sekolah kelas dua SMA. Aku telah berpacaran dengan Michitaka selama enam bulan. Dan aku sudah berselingkuh selama lima bulan.
Rasa putus asa menyelimuti. Aku sudah mengkhianatinya… dan itu tak bisa diubah.
***
Pertama, aku mengecek keadaanku. Ingatanku sama seperti kehidupan pertama.
Setelah mulai berpacaran dengan Michitaka, aku bertemu senpai di karaoke saat diajak teman. Hubungan itu berlanjut tanpa kusadari, padahal bahkan aku belum pernah menggenggam tangan Michitaka.
Muak pada diriku sendiri, aku memutuskan menemui senpai itu hari itu juga untuk putus. Tapi dia tidak masuk sekolah karena urusan keluarga. Katanya, ia tidak akan kembali selama seminggu.
Hari kedua.
Kali ini, Michitaka memanggilku.
Aku takut, tapi aku datang menghadap.
Ia tiba-tiba memutuskanku.
“Aku tahu semua. Miyabi selingkuh dengan Senpai kelas 3. Kalian sering ke kafe di kota sebelah… lalu ke hotel setelah itu, kan?”
Aku terjatuh. Tak percaya.
Kenapa? Jika aku berpisah darinya, aku akan kehilangan segalanya. Dalam kehidupan lain, ini tidak pernah terjadi. Michitaka tidak pernah peka terhadap hal semacam ini, jadi ia tidak pernah menyadari perselingkuhanku.
Kenapa hanya kali ini dia tahu…?
Putus asa, aku memohon padanya.
“Tidak boleh. Kenapa kamu tahu? Tidak, tolong jangan. Kalau kamu meninggalkanku, aku hancur. Maaf, maaf… sungguh maaf. Aku akan segera putus dengannya. Jadi… kumohon, jangan tinggalkan aku.”
“Kenapa aku harus memaafkan perempuan yang mengkhianatiku? Kau bisa bergantung pada pria itu.”
Untuk pertama kalinya, ia memperlihatkan sikap dingin dan tegas. Tekadnya jelas terasa.
“Tidak, tidak! Kita mulai dari awal! Aku akan melakukan apa pun! Tolong, jangan tinggalkan aku!!”
Ia melepaskan tanganku dan berkata:
“Maaf, itu tidak mungkin. Aku tak bisa mempercayai seseorang yang terus mengkhianatiku. Tolong, jangan bicara padaku lagi. Aku tidak punya waktu untukmu. Terima kasih… untuk selama ini.”
“Tidak… aku mohon, jangan tinggalkan aku…!!”
Teriakanku tak digubris. Ia pergi… memulai hidup barunya. Dan aku tak bisa melakukan apa pun.
Jika begini, kesempatan terakhirku juga akan berakhir dengan kehancuran. Aku harus terus hidup sambil dihantui rasa takut akan kematian dan kembalinya neraka itu.
***
Lalu aku tahu bahwa Michitaka masuk klub komputer. Masih bisa diselamatkan. Kami cocok, buktinya kami bisa menikah dan hidup bersama selama lebih dari sepuluh tahun di kehidupan pertama. Kalau aku bicara baik-baik, mungkin masih ada harapan.
Klub komputer mengadakan pesta penyambutan di restoran okonomiyaki dekat sekolah. Tempat itu penuh kenangan. Baiklah, aku akan menunggu dan meminta maaf dengan benar. Aku bahkan bisa bergabung ke klub, dan membangun hubungan yang lebih dalam dibanding kehidupan pertama dan kedua.
Kalau begitu… aku pasti bisa dimaafkan.
Namun, di titik itu, aku masih belum menyadari sesuatu. Padahal aku sudah menjalani tiga kehidupan. Aku masih belum mengerti betapa egoisnya diriku.
Ya. Aku hanya ingin menyelamatkan diri dari penderitaan. Aku tidak pernah memikirkan perasaan Michitaka. Di kehidupan pertama, ia memaafkanku, jadi aku kira ia akan melakukan hal yang sama kali ini.
Tanpa sadar, aku menghancurkan diriku sendiri.
***
Menemukan Michitaka sepulang pesta, aku berlari menghampirinya. Kesempatanku terakhir—aku tahu itu. Suaraku bergetar karena gugup.
“Hei, tolong… biarkan aku bicara.”
Aku mendekatinya dengan suara yang bahkan terdengar asing bagi diriku sendiri. Ada seorang Kouhai bersamanya. Aku mengenal wajah itu dari foto—Takatsukasa-san. Mantan pacar masa kecilnya. Kabarnya dia meninggal karena sakit. Kenapa dia bersamanya!? Yang seharusnya di sampingnya… hanya aku!
“Bicara apa?”
Berhasil… Ia mau mendengarkan.
“Terima kasih… sudah mau mendengar. Aku minta maaf sudah selingkuh. Benar-benar minta maaf. Aku salah. Aku egois. Tapi aku tidak mau putus. Tanpamu, aku tidak bisa hidup. Aku baru sadar betapa bahagianya hidup bersamamu setelah kehilanganmu. Aku tidak akan bertemu senpai itu lagi. Jadi… kumohon… ayo mulai dari awal.”
Aku menunduk dalam-dalam.
Meski kadang kami bertengkar, Michitaka akan memaafkanku keesokan harinya. Kami berdua sudah cukup tenang, jadi harusnya bisa bicara baik-baik.
Aku tak akan mengkhianatinya lagi. Senpai itu cuma anak orang kaya yang manja. Tak sebanding. Aku benar-benar mencintai Michitaka.
Hidup tanpanya… tidak bisa kubayangkan.
“Maaf, tidak.”
“…Hah?”
Aku tak pernah menyangka akan ditolak. Angin dingin menerpa tubuhku. Rambutku berantakan, tapi aku bahkan tak peduli. Kenyataan terlalu menyakitkan untuk diterima.
“M-Mengapa…?”
Jika aku tak memaksakan tubuhku berdiri, aku pasti jatuh. Darahku terasa mengering.
“Aku tidak bisa mempercayaimu lagi. Dan aku tidak bisa melihat masa depan bersamamu. Kalau begitu dipaksakan, bukankah itu justru tidak sopan?”
Jawaban yang sepantasnya… tapi terasa seperti pisau yang menusuk jantungku.
“Tidak! Kalau kamu mau memaafkanku… aku akan melakukan apa pun! Kamu boleh melakukan apa saja pada tubuhku… jadikan aku budak—”
Ia menghela napas panjang. Napas penuh kekecewaan. Aku terpuruk.
Bukankah pria-pria hanya ingin memperlakukanku sesuka mereka? Senpai itu… suami di kehidupan kedua… semuanya begitu….
“Hubungan yang kuinginkan bukan seperti itu. Aku ingin hubungan di mana kita setara, saling membantu, saling menghargai… itu yang kuinginkan dari seorang pasangan. Hubungan yang menyimpang seperti itu… tidak. Aku baru sadar… bahwa sebenarnya kau tidak pernah memahami diriku.”
Jadi… aku tidak pernah mengerti dirinya. Padahal kami selalu bersama…
“Ini akhir segalanya. Kalau diteruskan, kita hanya saling menyakiti. Aku tidak akan kembali padamu.”
Ini benar-benar akhir.
“Kau bohong… kenapa bilang begitu…?”
“Tidak bohong. Kau bisa terus bersama senpai itu. Aku tidak akan melarang atau menyebarkan perselingkuhan ini. Asal… kau jadi orang asing bagiku.”
Tidak. Kalau begitu, aku harus kembali ke neraka itu. Tidak. Tidak!
Sesuatu berbeda dari kehidupan pertama. Ada gadis itu—Kouhai itu. Karena dialah, Michitaka… semuanya salah! Semua ini salahnya!!
Dalam keputusasaan, aku menerjang Takatsukasa.
“Dasar perempuan jalang!!”
Aku mengangkat tangan untuk menamparnya, tapi Michitaka masuk di antara kami dan menerima tamparan itu.
Kenapa!? Kenapa kau melindunginya? Kenapa bukan aku!?
“Senpai!!!” seru gadis itu panik.
Aku buru-buru berusaha membela diri.
“Michitaka! Bukan begitu! Aku tidak bermaksud—”
Gadis itu segera menempelkan sapu tangan ke pipinya. Ia bahkan tidak memberi kesempatan padaku untuk menunjukkan kepedulianku. Kekalahan telak. Tapi aku tetap mencoba menyangkal kenyataan yang kejam itu.
“Tak apa, Rika. Miyabi, ini sudah selesai. Dan jika mulai sekarang kau mencoba menyakiti orang-orang yang kusayangi, aku tidak akan memaafkanmu. Tolong… jangan mendekat padaku lagi.”
“Tidak… maaf… aku tidak bermaksud…”
“Miyabi-san!!”
Gadis itu berteriak marah padaku. Belum pernah aku mendengar suara semarah itu darinya.
“Hii—”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kalian. Tapi… bukankah kelakuanmu terlalu egois? Kau berselingkuh, bukan? Kau mengkhianati pacarmu, bukan? Kalau kau yang salah, kenapa kau memaksa alasan sepihakmu pada senpai? Yang berhak memutuskan untuk memaafkan adalah dia! Bukan kamu! Dan sekarang kau bahkan melakukan kekerasan! Tidak masuk akal! Apa kau pikir senpai itu boneka yang bisa kau perlakukan sesuka hati?”
Ia tak berhenti. Di saat itu aku sadar—yang pantas berada di sampingnya adalah dia.
“Tapi aku…”
Aku mencoba membela diri, tapi ia tak mengizinkannya.
“Bagaimana mungkin kau memperlakukan orang sebaik itu seperti mainan? Kau tahu? Ini sudah mendekati perilaku penguntit. Kau harus menyerah… dan menjalani hidupmu sendiri!”
Mendengar itu, kakiku kehilangan tenaga. Aku jatuh. Aku telah sampai pada batasku.
“Rika. Sudah. Ayo pergi.”
Mereka pergi bersama. Aku tak bisa menghentikan mereka.
Berapa lama lagi aku bisa tinggal di dunia ini? Betapa bahagianya bisa menggerakkan tubuhku sendiri… aku tak pernah menyadarinya sebelumnya. Tapi setelah mimpi ini berakhir, aku akan merasakan sakit luar biasa, lalu terbangun. Lalu… lagi… terjebak di neraka tanpa bisa bergerak, tak tahu kapan nyawaku akan direnggut.
Seperti narapidana mati… yang bahkan tak mampu menggerakkan tubuh.
Tidak. Aku tidak mau.
Aku ingin kembali ke kehidupan bersama Michitaka dan Airi. Kami hidup bertiga, makan bersama… bepergian bersama… Itu sangat membahagiakan.
Aku telah kehilangan semuanya. Kini aku sendirian, terjebak dalam mimpi buruk tanpa akhir, tak tahu kapan akan berakhir.
Chapter 22 — Perasaan Rika
"Maaf, kau sampai terseret ke dalam hal yang aneh begini."
Aku meminta maaf pada Rika. Tidak kusangka Miyabi akan mengamuk seperti itu. Untung dia tidak terluka.
“Tidak apa-apa kok. Apa senpai tidak sakit?”
“Yah, tentu sakit… tapi aku merasa lega. Soalnya Rika tidak terluka.”
Kalau Rika sampai terluka, dengan kasus Airi juga, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan pada Miyabi. Syukurlah aku tidak sampai melakukan balas dendam atas dosa masa lalunya.
“Kamu selalu memikirkan aku terus. Padahal yang dipukul itu senpai sendiri.”
Memang begitu sih. Tapi di kehidupan sebelumnya, sampai detik-detik terakhir sebelum meninggal, dia tetap memikirkan aku yang ditinggalkan, bahkan sampai menuliskan pesan wasiat…
Karena sudah pernah mati sekali, aku tahu betapa luar biasanya memikirkan orang yang ditinggalkan saat di ambang kematian. Sampai sekarang dadaku masih terasa sesak saat mengingat kalimat dalam wasiat itu: “Kalau aku bilang tidak takut, itu bohong.”
Karena itu, aku bersyukur bisa melindunginya hari ini. Di kehidupan kedua ini, aku akhirnya bisa melindungi kekasihku. Selama ini aku yang selalu dilindungi Rika.
Sekarang, aku ingin menjadi perisainya walau sedikit saja.
“Aku basahi sedikit sapu tangan ini di air keran taman. Agak bengkak, jadi lebih baik didinginkan.”
Dia cepat-cepat merawatku. Dia benar-benar gadis yang sigap. Padahal dia lebih muda dariku. Sudah berapa kali hidup sih sebenarnya? Sementara aku, dua kali hidup pun tetap tidak bisa terlihat keren.
Di minimarket ada mesin jual es krim. Jadi ingat, dulu kami bertiga sering makan es krim ini bersama. Rika suka rasa puding, aku vanila, dan Misato cokelat. Misato sering menumpahkan cokelat dan mengotori bajunya, dan Rika selalu yang mengurusnya.
Dia benar-benar adik kelas yang baik. Tapi aku sampai membuatnya marah seperti itu. Rasanya bersalah.
“Mau makan es krim?”
Rika kembali setelah membasahi saputangannya. Sepertinya dia menyadari aku sedang melihat mesin es krim.
“Ah, bukan… cuma nostalgia.”
“Benar ya.”
Sapu tangan dingin itu terasa nyaman.
“Rika, apa kamu punya penyesalan?”
Bagiku, dia seperti manusia sempurna. Sementara aku, kehidupan sebelumnya penuh penyesalan, jadi aku bertanya begitu.
“Banyak. Seperti… harusnya waktu kecil aku lebih banyak bermain, atau lebih akrab dengan keluarga, atau jalan-jalan lebih banyak.”
Benar juga, waktu kuliah kami sering jalan-jalan berdua. Tapi karena masih mahasiswa, ke luar negeri hanya sekali. Ke Taiwan, saat wisuda. Kami berjanji akan sering bepergian saat sudah bekerja dan punya gaji. Tapi satu bulan setelah perjalanan itu, penyakitnya ditemukan, dan itu jadi perjalanan pertama dan terakhir.
“Kalau begitu, musim panas ini kita pergi ke suatu tempat. Aku kerja paruh waktu saja biar dapat uang.”
Pergi sehari pun tidak apa-apa. Selama bersama Rika, sudah bahagia. Kamakura atau Yokohama mungkin bagus.
“Um… apa kita menginap? Itu masih terlalu cepat… aku perlu persiapan mental…”
Wajahnya memerah lebih dari cahaya senja. Aduh, aku lupa bilang bahwa itu perjalanan sehari.
“Enggak, maksudku ya perjalanan sehari. Kayak ke Kamakura.”
Saat aku berkata begitu, Rika langsung terpaku, lalu memasang wajah “aduh” dan… entah mengapa terlihat sedikit kecewa, matanya berair.
“Senpai, kamu menggoda aku ya. Padahal aku lagi merawatmu. Jahat!! Senpai bodoh!”
Ia memukul punggungku dengan gemas. Tidak sakit sama sekali. Hanya bercanda.
“Maaf, beneran lupa bilang.”
“Kamu sengaja bikin aku salah paham biar malu kan!!”
Dia akhirnya tak tahan dan tertawa. Aku ikut tertawa. Suasana berat karena Miyabi tadi langsung mencair.
“Tapi, senpai…”
“Hm?”
Dengan suara manis ia berbisik di telingaku, membuat otakku meleleh.
“Kalau berdua saja, menginap juga tidak buruk, kok.”
Ia berkata dengan sangat berani, tubuhnya bergetar halus.
“…itu artinya, kamu tidak benci?”
“Ya.”
Ia mengangguk pelan, seperti menyerah.
“Terima kasih.”
“Kenapa malah terima kasih. Aku bercanda!! Ini cuma balasan karena senpai suka menggoda aku!”
Begitu katanya sambil tersenyum. Kalau begitu, kenapa wajahmu merah, ya… tapi itu tidak akan kukatakan.
“Untuk saat ini, itu sudah cukup.”
Aku tidak melewatkan bisikan kecilnya itu.
***
— Sudut Pandang Rika —
Setelah pulang ke rumah, aku memikirkan dia seorang diri.
Besok hari Sabtu, kami akan berkencan. Aku begitu senang sampai menendang-nendang udara.
Aku teringat kejadian tadi. Dia melindungiku. Tidak kusangka perempuan itu bisa seagresif itu.
Padahal dari penampilan, tampak anggun. Manusia bisa berubah begitu jauh karena cinta. Kalau dipikir, aku juga mungkin sedang berjalan di tepi bahaya.
Aku memikirkan dia ketika ada waktu.
“Dia keren sekali.”
Saat itu, ketika aku hendak dipukul, dia langsung berdiri di depanku untuk melindungi. Aku pikir, aku benar-benar bersyukur jatuh cinta pada orang seperti dia. Orang yang kupercaya memang luar biasa. Tidak banyak orang yang mau menanggung risiko demi melindungi yang berharga baginya.
Bagaimana mungkin orang itu tidak menyadari kebaikan dirinya? Mungkin sifat baiknya baru terlihat kalau sudah lama bersama. Kekagumanku padanya semakin besar dari tahun ke tahun. Memang dia bukan ahli olahraga atau pintar akademik. Tapi… kapasitas dirinya berbeda.
Dia orang yang berusaha untuk orang lain. Untuk melindungiku, ia rela terluka, dan ia bisa memasak untuk bibi dan Misato. Karena dia bisa berusaha untuk orang lain… semakin dekat dengannya, semakin banyak pesonanya yang terlihat.
“Tapi, dia pernah pacaran dengan perempuan itu, kan? Lalu kenapa perempuan itu tidak bisa melihat itu?”
Katanya mereka baru mulai pacaran, tapi langsung diselingkuhi. Mungkin karena itu. Aku tidak tahu seperti apa selingkuhannya, mungkin punya daya tarik yang mudah terlihat. Tapi daya tarik seperti itu bisa saja palsu.
Hal hebat darinya adalah begitu ia punya tujuan, sesulit apa pun dia akan maju. Soal klub, soal masa depan, ia sudah punya visi dan melangkah. Waktu masalah ketua klub pun, dia mendengar perasaannya, mengusulkan solusi, dan mengakui kelebihannya.
Menunjukkan kekurangan orang mudah. Tapi Michitaka-onii-chan tidak begitu. Pada Misato, padaku, pada ketua, dia selalu melihat sisi baik orang lain dan memujinya, membantu mereka berkembang. Diakui orang itu menyenangkan. Dia yang mengajarkan itu padaku, bukan orang tuaku—tapi sosok kakak bagiku.
“Michitaka-onii-chan…”
Sejak masuk SMP, kami berhenti memanggil begitu karena malu. Waktu itu juga aku mulai menyadarinya sebagai lawan jenis. Sejak itu, waktu berlalu rasanya seperti bertahun-tahun atau puluhan tahun, dan perasaanku hanya semakin dalam.
Tidak ada pertemuan takdir yang dramatis. Tidak ada kejadian luar biasa seperti di novel atau drama. Dia tidak punya bakat mencolok. Kami hanya menumpuk kenangan menyenangkan dan lembut, sampai pada suatu saat aku menyadari dia begitu baik, dan lambat laun aku jatuh cinta.
Aku tidak pernah jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku tipe yang butuh waktu untuk mengenal, lalu menemukan pesona sedikit demi sedikit… dan terkadang, aku merasa cinta seperti itu justru yang paling takdir.
Aku masuk SMA yang sama dengannya, dan masuk klub yang sama. Belakangan ini, makan malam bersama keluarganya jadi hal biasa. Mungkin suatu hari, membuat makan malam bersama akan jadi sesuatu yang wajar.
Bibi Kaede dan Misato-chan juga mendukungku. Jalanku sudah hampir terbuka sepenuhnya.
Aku tak menyangka bisa berjalan sejauh ini. Bahkan terasa menakutkan karena terlalu lancar.
Mungkin dia juga menyukaiku. Kalau ternyata tidak, mungkin aku akan menangis sampai hancur.
Dan ada satu hal yang kutakutkan.
“Aku takut hubungan kami rusak.”
Kalau kami bisa terus seperti sekarang tanpa berpacaran, mungkin itu membahagiakan.
Kalau berpacaran, kami bisa saling tahu sisi yang tidak menyenangkan, dan kalau putus… mungkin kami tidak bisa kembali menjadi teman masa kecil. Aku tidak mau itu. Kehilangan sosok bernama Yaguchi Michitaka—itu menakutkan.
Kenapa aku sedayaan ini? Makanya aku sampai didahului perempuan itu dan menangis sendirian setiap malam.
Kalau kubiarkan kesempatan ini lewat, mungkin dia akan pergi jauh lagi.
Tapi… untuk hari ini saja…
Aku ingin tertidur sambil menikmati kebahagiaan beberapa hari ini. Karena besok adalah kencan pertama kami.
Chapter 23 — Terang dan Gelap dari Pasangan Selingkuh
—Sudut Pandang Pria yang Berselingkuh—
Apa ini? Kenapa aku tidak bisa bergerak?
Hei, tolong ada yang bantu aku! Aku ini putra dari presiden perusahaan besar! Tolong sampaikan pada ayah! Meski kami sedang bertengkar, putranya sampai mengalami hal mengenaskan begini, dia pasti akan menolongku!
Aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhku. Tanganku terasa sakit. Bahkan menggerakkan pandanganku pun hampir tidak bisa. Sepertinya aku terhubung ke sesuatu, tapi aku tidak bisa memastikannya.
“Tak kusangka akan jadi seperti ini.”
Aku mendengar suara ayah. Tentu saja, dia pasti mengkhawatirkanku.
“Apa yang harus kita lakukan, Ketua?”
Seseorang bersamanya. Sekretaris?
“Tak ada pilihan. Kalau dia mati dalam kondisi seperti ini, urusan hak kepemilikan perusahaan jadi merepotkan. Sepertinya selama dia terhubung dengan alat ini, ia masih akan bertahan hidup untuk sementara, jadi biarkan saja. Di mata publik, masalahnya sudah cukup besar—mengalirkan dana perusahaan ke selingkuhan yang sudah bersuami, lalu kabur dan meninggal dalam kecelakaan. Apalagi dia juga melakukan kekerasan terhadap anak. Akan lebih baik kalau untuk sementara kita nyatakan dia menghilang.”
“Kalau dia sadar nanti, apa yang akan dilakukan?”
Apa maksudnya? Putranya sedang dalam kondisi kritis! Seharusnya dia meminta agar dilakukan perawatan terbaik, berapa pun biayanya! Mohon, tolong aku!
“Urusan kendali perusahaan kuserahkan padamu. Aku menaruh harapan padamu. Selama ini dia kuakui sebagai keponakan, tapi sepertinya sekarang adalah saat yang tepat. Bagaimanapun, anak yang bodoh itu sudah sama saja dengan mati. Kakakku yang tolol sudah tiada, dan kau, adik yang berbakat, akan menjadi penerus perusahaan.”
Pria itu membusungkan dada dan berkata, “Serahkan pada saya.”
Adik…!? Jangan bilang aku punya adik tiri! Kalau statusnya keponakan ayah, berarti dia sepupuku, kan? Siapa dia?
“Kalau begitu, aku kembali ke kantor.”
Ayah pergi tanpa menengokku sedikit pun.
“Saya akan mengurus berbagai prosedurnya di sini.”
“Ya, aku percayakan padamu.”
Dan kami pun ditinggalkan berdua.
“Fuhahahahaha!”
Pria yang belum pernah kulihat wajahnya tertawa terbahak, lalu menatapku dari dekat.
Dia adalah sepupuku, Takuji, yang berada di cabang keluarga. Jadi kau adikku!?
“Bagaimana rasanya kehilangan segalanya… meski kau mungkin tidak bisa mendengar.”
“Sial…”
Aku berusaha berbicara berkali-kali, tapi tak terdengar.
“Aku adalah anak dari seorang selir. Ibuku dibully habis-habisan oleh ibumu dan meninggal muda. Ryuusei-ojisan—yang selama ini kau kira ayahmu—mengangkatku sebagai anak karena merasa kasihan. Untuk membalas kebaikannya, aku menjatuhkanmu.”
Takuji berkata sambil mengejek.
“Kau tahu apa yang terjadi pada ibumu? Setelah tahu kau dicabut hak warisnya, ia menangis dan mentalnya hancur. Sekarang dia terbaring tak berdaya. Sedikit lebih baik darimu mungkin—kisah sedih, ya?”
Ibu juga… Jadi wakil presiden yang membocorkan hubungan gelapku, dan membuat ayah curiga… semua karena orang ini!?
“Tapi semua ini salahmu. Aku hanya memanfaatkan kesalahanmu saja. Kau kehilangan segalanya karena pria bernama Yaguchi Michitaka. Karena kau terobsesi padanya dan terus mengganggunya, aku jadi bisa naik ke panggung utama. Uang dan kekuasaan lebih besar dari dia, tapi tetap saja kau kalah. Alasannya cuma satu—kau tak punya siapapun yang mendukungmu. Manusia hanya menempel padamu karena uang dan kekuasaan. Bukan karena dirimu.”
Kenapa aku harus mendengar semua ini padahal aku sedang begitu tersiksa?
Aku…
“Yaguchi Michitaka berbeda. Dia mengumpulkan orang dengan pesona pribadinya. Itulah mengapa teman dan bawahannya tak pernah berpihak padamu. Kau kalah karena itu. Kau dan wanita selingkuhan itu kalah karena tak punya daya tarik sebagai manusia. Akhir hidupmu ini… sangat cocok untukmu. Raja telanjang.”
Ingin rasanya aku meludah ke wajah puasnya itu. Tapi aku tak bisa berbicara atau bergerak.
“Kamar pribadi ini dan biaya perawatanmu mahal, tahu? Tapi aku akan pastikan kau menderita selama mungkin. Kau selalu meremehkanku. Kau dan ibumu membuat ibuku menderita. Jadi sekarang kalian rasakan balasannya. Kalau alat ini dicabut, kau akan mati. Dan waktunya… terserah aku. Jadi tunggulah ketakutan kapan alat itu berhenti, Kakak.”
Tunggu! Tolong! Aku minta maaf! Tolong selamatkan aku!
“Bye-bye.”
Rasa hina, takut akan kematian, semua bercampur hingga membuat hatiku hancur.
Aku tak bisa melakukan apa-apa. Makan pasti tak bisa. Hanya bertahan hidup lewat infus. Buang air pun…
Tubuh tak bergerak, kesadaran tidak jelas. Bisa mendengar, tapi tak bisa bereaksi—ternyata ini begitu menyiksa. Aku dianggap seperti boneka tanpa kesadaran, dan hanya menjadi sasaran kebencian manusia.
Yaguchi Michitaka sudah mati. Lalu aku apa? Seperti zombie yang sadar tetapi tubuh membusuk. Aku merasa tubuhku melemah sedikit demi sedikit. Rasa sakit juga tetap terasa. Tapi aku tak bisa bergerak atau berbicara.
Lebih baik mati seketika. Aku tetap tak bisa menang darinya. Kenapa ini terjadi? Kenapa? Kenapa!?
Seseorang… tolong aku! Aku bisa bayar berapa pun! Tolong!
***
—Garis Dunia Beta, Sudut Pandang Miyabi—
Kenapa aku tetap dibiarkan hidup?
Kenapa aku masih di sini?
Aku gagal membujuk Michitaka. Kini aku tak bisa kabur dari nasib terburuk. Aku hanya akan perlahan-lahan hidup dalam kesengsaraan hingga mati. Dan saat mati, aku akan diserang perasaan putus asa dan rasa sakit seolah dunia berakhir. Itu sangat menakutkan.
Sekarang aku mengerti betapa tersiksanya Michitaka. Dalam arti tertentu, aku sudah “mati” tiga kali. Putus asa yang kurasakan saat itu belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku pulang ke rumah. Orang tuaku tidak ada. Tidak ada yang mencintaiku. Mungkin karena itu…
Aku tak bisa memilih antara Michitaka dan Senpai, dan ingin memiliki keduanya. Akhirnya aku mencapai titik kehancuran paling rendah.
“Lalu, apa yang seharusnya kulakukan?”
Aku hanya ingin bahagia. Dicintai dua pria membuatku merasa bahagia. Tetapi kebahagiaan itu perlahan-lahan hilang. Dan aku kembali menjadi wanita yang kesepian… bahkan lebih buruk dari sebelumnya.
“Apa salahnya ingin bahagia!? Aku hanya ingin dicintai!!”
Kenapa aku harus kembali setelah selingkuh dengannya? Kalau saja, seperti kehidupan sebelumnya, aku kembali ke masa menjelang kelulusan SMP… aku tidak akan gagal. Aku tidak tahu aturan atau syarat apa pun, tapi terlempar ke permainan yang tidak adil ini…
Kapan aku akan keluar dari sini? Sebelum itu, siksaan kejam apa lagi yang harus kuterima?
Aku merasakan hidup perlahan menuju kematian. Aku ingin bersandar pada seseorang. Jika semuanya harus berakhir, biarlah cepat. Bahkan jika aku mendapat sedikit kebahagiaan, kebahagiaan itu akan direnggut, dan aku akan kembali ke neraka. Semakin besar kebahagiaan sekarang, semakin dalam keputusasaan di neraka nanti.
Padahal aku sudah berniat berhenti berselingkuh, bahkan tak berniat menghubungi Senpai… tapi akhirnya aku menghubunginya lagi. Untuk pertama kalinya dalam tiga kali hidupku.
***
Aku mendapat balasan darinya. “Aku ingin bertemu.” Hatiku berdebar. Ya… setidaknya aku masih punya dia. Dia masih mencintaiku. Jadi tak apa.
Hubunganku dengan Michitaka sudah tak bisa diperbaiki, jadi hidupku pasti menuju neraka.
Baiklah, ini akhirnya. Aku hanya ingin bertemu dengannya terakhir kali, lalu semuanya berakhir.
Hidupku gagal. Tidak—seluruh hidupku selalu gagal.
Aku menuju tempat yang ditentukan: apartemen milik keluarga Senpai. Tempat yang dulu kami gunakan untuk berselingkuh di kehidupan pertama.
Senpai sudah menunggu di dalam. Dia tampak lebih muda seperti dalam ingatanku, tapi matanya kosong, tidak berenergi.
“Jadi… kau tak bisa melupakanku ya.”
Kata-katanya membuat hatiku sedikit bergetar. Mungkin ini hanya pelarian, tapi tetap saja.
Iya. Aku masih punya dia. Meski di kehidupan pertama semuanya berakhir buruk, masih ada perasaan tersisa. Walaupun palsu.
“Iya. Aku hanya bisa mencintaimu.”
Aku tahu aku bodoh. Tapi aku tetap memeluknya dan menciumnya. Aku menyerahkan diri pada kenikmatan. Aku kabur dari penebusan yang seharusnya kulakukan di kehidupan ketiga ini. Aku hanyalah wanita lemah. Dan aku sadar aku akan kembali ke neraka.
***
Aku mandi. Di kehidupan ketiga, setelah melarikan diri dari mereka, aku segera mati. Aku menunggu ketakutan kapan kematian itu datang. Tapi… tak ada yang terjadi.
“Kenapa…? Aku sudah sepenuhnya mengkhianati Michitaka… tapi kenapa aku tidak mati? Kenapa!?”
Aku jatuh terduduk dalam kamar mandi. Bersama Senpai, aku seharusnya bisa melupakan ketakutan akan kematian. Tapi yang ada hanya kekosongan. Aku merasakan jiwaku mati perlahan.
Ini hukumanku? Membunuh suami, mengkhianati teman-temannya, menyiksa anak…
Aku tahu betapa mengerikannya perbuatanku… tapi ternyata itu belum cukup.
Saat pertama kali hidupku diulang, aku bahagia. Aku bisa mengulang hidup. Aku bertekad tidak akan gagal lagi. Tapi pada akhirnya aku tetap sama. Aku pikir bisa menghapus semua dosa, bisa menulis ulang hidupku.
Tapi ternyata tidak. Seberapa pun aku berpura-pura menjadi orang lain, aku tetap aku. Aku dipaksa menghadapi kelemahan dan ketidakberdayaanku sendiri. Air mata yang jatuh larut bersama air mandi.
***
Wanita itu pergi mandi. Bagus. Akhirnya aku berhasil menangkapnya.
Sekarang…
“Aku kehilangan segalanya karena mereka. Aku akan memanfaatkan wanita itu sepuasnya untuk balas dendam. Dan setelah semuanya selesai… dia akan…”
Bahkan aku sendiri menyadari tawaku begitu rendah dan menjijikkan. Tapi tak apa. Akhirnya… aku bisa membalas dendam.
Chapter 24 – Persiapan Kencan
Aku pulang ke rumah sepulang sekolah. Belanja bersama Rika diputuskan akan dilakukan besok.
Makan malam hari ini, Kaede-san membuat salmon panggang dan sup miso berisi tahu serta wakame.
“Besok, aku akan keluar sebentar.”
Saat aku berkata begitu, dua wanita itu langsung menembakku dengan tajam: “Kencan kan,” “Iya, pasti kencan. Sama Rika-chan.” Aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Bukan. Aku cuma menemaninya belanja.”
Sambil tahu alasanku terdengar lemah, kulirik dua orang itu yang hanya menatapku sambil menyeringai.
“Oh, begitu ya,” kata Misato seolah memahami sesuatu.
“Kalau berdua belanja di hari libur, itu sudah kencan kan?” Kaede-san menegaskan realitas yang cukup keras.
Sepertinya aku akan digoda soal ini seumur hidup. Harus segera ganti topik.
“Kalian berdua ada rencana besok?”
Aku mengalihkan pembicaraan dengan sangat jelas, tapi keduanya tetap tersenyum-senyum. Aku merasa berhasil lolos tipis-tipis.
“Aku harus ikut acara kantor di balai kota, jadi seharian kerja.”
Kaede-san kerja di hari libur rupanya. Berat juga ya. Tapi dia bilang bisa ambil cuti pengganti, jadi sedikit lega. Kalau terlalu sibuk tak baik juga, jadi kuharap dia bisa beristirahat secukupnya.
Saat Kaede-san mengambil cuti, biasanya bertepatan dengan acara sekolah kami, jadi aku khawatir apakah ia beristirahat dengan benar.
“Aku besok ada pertandingan latihan di sekolah!! Empat sekolah kumpul dan main sistem liga!!”
Ini seperti biasa. Tapi karena sistemnya liga semua saling bertemu, pasti makan waktu seharian.
“Kalau begitu, semua ada rencana ya. Kalau begitu, biar aku yang buat bekalnya.”
Memang aku dan Rika sudah berencana pergi ke kafe yang kami ingin kunjungi. Katanya itu toko pancake buah, jadi lebih mirip camilan. Rasanya makan ringan dulu, lalu belanja, dan kalau capek baru mampir ke kafe adalah rencana yang pas. Karena besok bakal lumayan banyak keluar uang, aku ingin berhemat untuk makan siang. Hari ini juga sudah banyak keluar gara-gara pesta okonomiyaki. Ada juga barang-barang komputer yang ingin kukumpulkan.
Kalau begitu, mungkin piknik di taman dekat pusat perbelanjaan yang terkenal dengan bunga sakuranya akan menyenangkan.
“Boleh!?”
“Wah! Bikin yang lucu ya, Kak!! Mau aku pamer ke teman-teman!!”
Reaksi mereka membuatku senang. Kulihat isi rice cooker, masih cukup banyak nasi tersisa. Bisa kupakai besok.
Tapi, membuat makanan yang tampilannya menarik itu cukup sulit. Ya, aku cuma bisa masakan cowok yang sederhana.
Baiklah, makanan sederhana tapi tampilannya tetap bagus. Aku mencari ingatan dari kehidupan sebelumnya. Aku teringat sesuatu yang sempat populer. Seingatku, makanan itu jadi trend sekitar masa ini. Kalau begitu, nanti akan terlihat seperti makanan paling kekinian.
“Baik, aku buat onigirazu!!”
Keduanya menatap bingung, seolah berkata, “Bukan onigiri?”
***
Keesokan harinya. Aku bangun jam 7 dan mulai bersiap. Aku sudah mengirim pesan pada Rika kemarin bahwa aku akan menyiapkan makan siang.
Katanya onigirazu berasal dari manga Cooking Papa tahun 90-an, lalu jadi ramai dibahas karena ada yang mencoba membuatnya di situs resep. Dari hasil pencarianku kemarin, rupanya sekarang ini masa awal trennya, sedang mulai ramai.
Menurut situs, bisa memasukkan lauk apa pun yang cocok dengan nasi. Onigirazu bisa dianggap sandwich, tapi pakai nasi, bukan roti.
Aku mencampur tuna kaleng dengan mayones dan keju. Lalu membuat tamagoyaki, membuka kaleng ham, dan memanggang daging babi dengan saus yakiniku.
Di atas plastik wrap, kutaruh nori lalu nasi. Setelah diratakan, kuisi masing-masing dengan tiga jenis: tuna mayo keju, tamagoyaki & ham, lalu yakiniku & sayur. Warnanya juga kupikirkan agar tidak jadi cokelat semua. Setelah itu, kulipat sisi-sisinya dan kubiarkan terbungkus plastik dengan karet gelang. Tinggal menunggu, dan selesai. Cara melipatnya seperti membuat amplop surat.
Sekitar 10 menit kemudian, kuiris di bagian tengah dan jadi. Lalu kususun tiga jenis onigirazu itu ke dalam kotak bekal. Kalau ada nasi, membuatnya mudah. Kalau ingin lebih cepat lagi, tinggal masukkan lauk kaleng atau makanan beku. Seperti yakitori kaleng, tonkatsu beku, karaage dengan mayo, pasti enak. Salmon flakes atau sarden juga cocok. Ebi mayo atau shigureni daging sapi juga enak. Kapan-kapan ingin kucoba.
Misato sering latihan klub saat akhir pekan, jadi kadang aku bisa buatkan bekal juga. Kalau onigirazu atau sandwich jadi standar, jauh lebih mudah, aku pun bisa makan simpel. Untuk Kaede-san, kuberi tambahan sup miso gelas rendah garam berisi banyak sayur. Karena kami tak bisa menghangatkan air, jadi cukup teh botol.
Dengan ini, persiapan selesai. Sekalian buat sarapan juga. Kubuat selada dengan tomat kecil yang tersisa dari bekal. Lalu menyiapkan ham-and-egg dan roti panggang. Jadilah egg toast dan salad selada.
Egg toast enak sekali. Sejak melihatnya di film Ghibli, aku selalu menginginkannya. Nama lainnya: roti Laputa. Cara membuatnya mengejutkan sederhana, dan telur setengah matang itu terbaik. Sekarang ada alat untuk membuat telur mata sapi di toaster, jadi mungkin nanti akan kuminta pada Kaede-san. Menghemat waktu di pagi hari sangat berharga untuk pekerja; tambahan tidur lima menit lebih memuaskan daripada tidur malam tambahan satu jam.
Kalau ada waktu lebih, aku buat sup sayur. Tapi untuk sekarang, cukup. Oh ya, aku juga ingin punya food jar. Bisa minum sup hangat saat makan siang itu menyenangkan. Tambahkan nasi dan sup, jadilah bubur. Kalau menyiapkannya sedikit malam sebelumnya, bisa makan siang enak.
Kupikir, keterampilan rumah tangga yang kudapat saat menikah itu benar-benar jadi kemampuan seumur hidup. Meski masakanku sederhana, ternyata cukup bisa diandalkan.
“Wah, Kak!! Kamu juga buat sarapan! Kelihatannya enak. Ini yang pernah kulihat di Laputa!!”
Seperti yang kuduga dari adik perempuanku. Meski hanya separuh sedarah, kami tumbuh bersama, jadi selera kami mirip.
“Hehe, aku juga ingin mencobanya. Hati-hati ya, kuning telurnya setengah matang, jangan sampai tumpah.”
Untuk Misato yang punya latihan klub, kusiapkan dua roti. Dia butuh cukup protein dan karbohidrat biar tidak kelelahan. Oh iya, ada chicken salad yang kubeli untuk salad, jadi kutambahkan ke dalam kotak makannya. Sepertinya onigirazu saja agak kurang.
“Michitaka-san, kamu bahkan membuat sarapan! Terima kasih. Bentonya juga cantik dan terlihat enak.”
Kaede-san pun bangun dan memandangi bekal yang baru selesai kubuat. Adikku pun menyadarinya dan matanya berbinar.
“Wah, Kak, warnanya banyak, jadi cantik! Kenapa kamu yang penampilan sehari-harinya biasa banget, tapi bisa bikin bekal secantik ini!? Jenius!”
Rasanya seperti dihina sedikit, tapi sudahlah.
“Isinya tuna mayo keju, yakiniku, dan ham-telur. Nanti kasih tahu rasanya ya.”
“Yay!! Aku bisa pamer ke teman-teman!”
“Jangan berlebihan. Ini cuma masakan sederhana, agak malu juga.”
“Eeh, gapapa. Rencananya mau kuposting di SNS juga.”
“Pastikan infonya nggak sampai bisa ketahuan orang, ya.”
“Baik-lah.”
Meski sedikit malu, aku senang karena mereka menyukainya.
Kulirik Kaede-san. Matanya agak berair. Ya, biasanya dia yang memasak untuk kami. Bahkan di kehidupan sebelumnya, aku belum pernah membuatkan bekal untuknya. Belakangan ini aku juga bantu masak malam, tapi kalau ini bisa dianggap sebagai sedikit bakti, aku senang. Di kehidupan sebelumnya, aku hampir tidak bisa melakukan apa-apa. Mulai sekarang, aku ingin lebih banyak berbakti. Aku punya tiga orang tua, tapi satu-satunya yang bisa kubalas adalah Kaede-san.
“Kak, ayo makan!”
Si anak klub olahraga berkata.
“Yup, ayo.”
Kusiapkan pisau dan garpu dengan gaya sedikit mewah. Telur setengah matang itu berbahaya kalau dimakan pakai tangan. Sarapan menyenangkan pun dimulai.
***
— Sudut pandang Rika, malam sebelumnya —
Aku mendapat pesan dari senpai. Apa pun isinya, aku senang.
Isinya mengatakan dia akan membawa bekal makan siang, jadi kami makan bersama di taman yang sakuranya indah. Karena nanti makan pancake di kafe sebagai camilan, jadi bekalnya sedikit saja. Aku merasa senang karena dia memperhatikanku. Makanan senpai menjadi salah satu hal yang kutunggu setiap hari. Karena ini hari libur, aku awalnya sudah pasrah tak bisa makan masakannya, tapi ternyata ada kejutan menyenangkan.
Aku tidak menyangka bisa jalan bersamanya sehari setelah mengajaknya. Aku pun tergesa memilih pakaian.
Memadukan outfit itu sulit. Aku tahu dia tidak terlalu peduli soal fashion…
Kusarankan pakai one-piece saja. Tidak perlu memikirkan padu padan.
Bagaimana dengan tas? Aku ingin tampil sebaik mungkin. Aku ingin terlihat imut di matanya.
Harus tidur lebih cepat, tapi karena memikirkan baju, jadi tidur lebih larut. Dan karena gugup dan bersemangat, jadi sulit tidur.
Aku menatap foto-foto kenangan bersama senpai di ponsel. Foto-foto masa kecil sudah kubuat album khusus. Dulu hanya sekadar kekaguman, tapi entah kapan berubah menjadi kenangan yang berharga. Syukurlah, sudah kusimpan baik-baik. Harta yang berharga seumur hidup tersusun di sana.
***
— Di depan stasiun —
Aku tiba di tempat janjian. Tiga puluh menit lebih cepat. Masih jam 11.
Sebenarnya aku menawarkan untuk bertemu di dekat rumah lalu pergi bersama ke pusat perbelanjaan…
“Tapi karena ini kesempatan jalan berdua, aku ingin sedikit merasakan suasana berbeda. Jadi bertemu di lokasi saja,” katanya. Aku pun mengiyakan. Biasanya kami berangkat bersama dari dekat rumah.
Artinya, dia dengan jelas menyatakan bahwa ini adalah hal yang spesial bagi kami. Aku jadi sedikit gugup. Seolah dia berbisik kecil, “Kan ini kencan.” Bagi anak SMA, pergi berdua saja sudah cukup istimewa.
Menghadapi ini sebenarnya cukup menegangkan. Tapi dia adalah teman dekat sejak kecil, kami saling menyayangi, dan aku menjalani hidup kedua.
Semua itu membuatku tidak terlalu gugup sampai tiba di tempat ini— namun tiba-tiba jantungku berdebar.
“Senpai cepat juga.”
Aku mendengar suara Rika. Dengan gaun bermotif bunga yang anggun, ia terlihat terkejut.
Padahal masih 25 menit sebelum waktu janjian. Hampir bersamaan datangnya. Kalau sedikit saja berbeda, kami akan bertemu saat jalan ke sini. Tapi itu tidak memberikan suasana spesial, jadi kami bersyukur “kebetulan” itu tidak terjadi.
“Ah, aku juga baru datang…”
Rambutnya dikepang, menunjukkan bahwa ia menghabiskan waktu lama untuk bersiap. Bahkan memakai makeup tipis. Biasanya gadis bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri.
“Kamu sangat cocok dengan gaun itu. Rambutmu juga berbeda dari biasanya, sangat imut.”
Aku berusaha memujinya se-natural mungkin. Rika terdiam sesaat, lalu wajahnya memerah dan berkata, “Terima kasih.” Ia jelas lebih gugup dari biasanya.
“Kalau begitu, ayo.”
Dalam situasi begini, lebih baik langsung bergerak agar rasa gugup hilang.
“Ba-baik!!”
Kami menuju taman yang seharusnya dipenuhi sakura. Rasanya kebahagiaan itu terasa sampai ke sini. Tidak, kebahagiaan itu ada tepat di sampingku.
Chapter 25 – Piknik
Kami menuju taman yang terkenal dengan sakuranya. Bunga sakura beterbangan di seluruh penjuru taman. Ada banyak keluarga dan pengunjung yang datang untuk hanami, tetapi karena masih siang, ruangnya masih cukup. Bangku sudah penuh, tapi karena aku sudah menyiapkan alas piknik, kami menggelarnya dan duduk di atasnya.
Cuacanya bagus, benar-benar hari yang sempurna untuk piknik. Sejak dulu aku sudah suka piknik, dan di kehidupan sebelumnya aku sering melakukannya bersama keluarga di taman dekat rumah. Karena itu aku pernah membaca banyak buku hobi tentang piknik, jadi lumayan paham.
Misalnya, ketika membicarakan piknik, sebenarnya ada juga peristiwa besar dalam sejarah.
Menjelang akhir Perang Dingin antara Amerika dan Uni Soviet, Otto von Habsburg—putra mahkota terakhir Austria—mengajak orang melakukan piknik di garis depan. Aksi itu membuat celah pada Tirai Besi yang selama lebih dari 40 tahun tak bisa ditembus, dan menjadi pemicu runtuhnya Tembok Berlin, simbol perpecahan Jerman Barat dan Timur. Karena itu, piknik ternyata juga merupakan budaya yang populer dan mengakar bahkan di negara-negara Barat.
Di Jepang, kalau bukan menyebutnya “piknik”, mungkin istilah yang paling dekat adalah hanami atau makan siang saat undoukai.
“Senpai, persiapannya lengkap sekali,” ujar kouhai-ku dengan nada sedikit terkejut.
“Ya, soalnya Rika sudah berdandan cantik, jadi aku tidak mau bajumu kotor,” jawabku.
Ini adalah pengalaman dari hidup panjang. Pada dasarnya, musim seperti ini pasti ramai, jadi aku tahu bangku tidak akan bisa dipakai. Kadang ada hanami untuk acara penyambutan pegawai baru, tapi biasanya dilakukan malam hari. Taman ini juga terkenal dengan sakura yang diterangi lampu di malam hari. Apalagi Rika itu gadis cantik, jadi kalau malam dia bisa saja diganggu orang mabuk.
Karena itu kami datang pada waktu seperti sekarang, ketika banyak keluarga sehingga suasananya lebih aman dan damai.
Menjelaskan alasan sepanjang itu bakal terlalu panjang, jadi kuperpendek saja.
Kelopak sakura berterbangan lembut di belakang Rika. Gadis cantik dan bunga sakura memang sangat serasi. Ngomong-ngomong, waktu pertama kali aku bertemu dengannya di kehidupan ini, dia juga berada di bawah pohon sakura.
“Senpai, tahu bahasa bunga sakura?”
Rika suka bahasa bunga. Di kehidupan sebelumnya pun ia sering mengajarkannya, jadi aku langsung menjawab.
“Kalau tidak salah, kesucian, keanggunan, dan pendidikan yang baik, ya?”
“Benar. Yang soal pendidikan itu berasal dari kisah George Washington, presiden pertama Amerika, yang ketika kecil mematahkan cabang sakura, lalu dia jujur mengaku dan dipuji karenanya.”
Oh begitu, meski sakura identik dengan Jepang, ternyata asal mula bahasa bunganya justru dari kisah Amerika.
Aku pernah dengar bahwa ada taman indah berisi pohon sakura di Amerika yang merupakan hadiah dari Jepang. Rasanya menakjubkan membayangkan pemandangan seindah ini juga ada di luar negeri.
“Senpai tetap saja hebat.”
“Aku memang suka bahasa bunga. Lalu, bahasa bunga sakura asal Prancis adalah…”
Aku tidak tahu kelanjutan kalimat itu. Mungkin di kehidupan sebelumnya aku belum pernah diajari. Rasanya senang bisa berbagi pengetahuan baru dengannya.
“Jangan lupakan aku.”
Dengan sedikit ekspresi sedih, ia mengucapkan itu. Wajahnya terlihat begitu rapuh dan cantik, seolah bisa lenyap bersama hujan kelopak sakura.
“Tidak mungkin aku lupa,” jawabku.
Setidaknya, rasanya aku sudah selalu mengikuti keberadaannya sejak kehidupan sebelumnya hingga sekarang.
Saat hari ia meninggal, aku berada di sisinya, hanya mampu menggenggam tangannya sementara ia bergulat dengan rasa sakit dan ketakutan menuju kematian.
“Terima kasih. Aku bahagia…” Itu adalah kata-kata terakhirnya, diucapkan dengan suara begitu lemah.
Aku hanya bisa melihat tubuhnya kehilangan tenaga dan menjadi dingin tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Kamu kenapa tiba-tiba berkaca-kaca? Aku tidak akan menghilang, kok. Tenang saja. Itu hanya bahasa bunga.”
Ia tersenyum lembut.
Benar juga. Aku terlalu memaknai dalam, sampai memperlihatkan sisi memalukan.
“Ya. Aku cuma membayangkannya dan jadi sedikit takut.”
Alasan yang payah.
Padahal Rika pernah menulis di surat wasiatnya, “Tolong lupakan aku.”
Itu ia lakukan untukku. Tetapi aku yakin, perasaannya yang sebenarnya adalah seperti bahasa bunga yang tadi ia ucapkan.
Surat wasiat itu ditemukan sesaat setelah ia meninggal.
Aku menyesal tidak sempat mengatakannya saat ia masih hidup—bahwa tidak mungkin aku melupakannya.
Kalau kupikir-pikir sekarang, akhirnya aku bisa menyampaikan hal itu padanya.
Aku tidak mungkin melupakannya.
Bahkan setelah lebih dari sepuluh tahun berlalu, bahkan setelah terlahir kembali di kehidupan baru, rasa kehilangan dirinya masih menetap di hatiku.
“Senpai benar-benar mencintaiku ya…”
Aku tidak bisa menyangkal.
Ia mengangguk dengan puas.
“Iya, memangnya kenapa?”
Tanpa sadar aku menjawab agak keras.
Soalnya kalau terus-terusan digoda, rasanya ingin balik menyerang.
“Eh!?”
Tidak menyangka akan dibalas, Rika langsung merah padam.
Baiklah, menggodanya segini saja.
Saatnya makan siang.
Memang agak awal, tapi kalau ingin minum teh pukul tiga nanti, lebih baik makan lebih cepat.
“Nih, bekalnya!”
Sambil menikmati ekspresi Rika yang panik dan wajahnya yang merah, aku mengeluarkan kotak makan.
Karena ini piknik, aku membawa keranjang anyaman kayu bergaya Barat.
Di negara-negara Barat, piknik identik dengan sandwich dan buah, jadi aku juga membawa jeruk.
Onigirazu itu mirip sandwich nasi, jadi cukup pas suasananya.
Saat melihat isi kotak makan, wajah Rika langsung cerah.
“Waaah, onigirazu! Kelihatannya enak! Dilihat begini benar-benar mirip sandwich, jadi terlihat stylish. Rasanya seperti piknik ala luar negeri!”
Tampaknya Rika sudah tahu tentang onigirazu.
Sempat booming dan dibahas majalah, mungkin ia membacanya juga.
“Yang ini tuna mayo keju, ini ham-telur, dan ujungnya daging yakiniku.”
Ngomong-ngomong, onigirazu rasa yakiniku juga enak kalau pakai rumput laut Korea.
Sekarang pakai rumput laut biasa, mungkin lain kali kubuat versi itu.
“Semuanya kelihatan enak!”
“Karena aku ingin menikmati suasana piknik, jadi kupersiapkan dengan serius.”
Airi suka bermain di luar, jadi dulu kami sering piknik.
Saat Miyabi tidak ada, aku membuat sandwich atau onigirazu sederhana untuknya.
Mungkin karena itu aku jadi cukup suka piknik.
“Itadakimasu!”
Aku menahan diri untuk tidak menyampaikan trivia piknik kesukaanku, dan kami mulai makan.
Rika mengambil ham-telur duluan.
Aku sudah cukup lapar, jadi langsung mulai dengan yakiniku.
“Enak! Ternyata ham dan telur cocok juga dengan nasi, bukan hanya roti!”
Rika lebih senang dari perkiraanku.
Aku pernah dengar bahwa spam onigiri adalah makanan khas Okinawa, dan memang cocok.
Aku sendiri jadi suka gara-gara membeli spam onigiri di minimarket.
Garam dari spam cocok sekali dengan nasi putih.
“Iya kan? Telurnya sengaja kubuat agak manis.”
“Enak sekali. Perpaduan manis dan asin ini bikin nagih. Senpai memang jago masak, ya. Aku rasa Senpai akan jadi ayah yang baik. Ah—”
Karena terlalu enak, ia sampai melontarkan kalimat “bom” tanpa sadar, lalu ia baru sadar dan langsung kembali merah.
“Senang kalau kamu suka.”
Kami pun menikmati waktu makan siang bersama.
Di dalam kotak makan yang telah kosong, sehelai kelopak sakura perlahan jatuh.
Chapter 26 – Kencan Dimulai
—Sudut pandang Rika—
Di taman dengan bunga sakura yang indah bermekaran, aku makan bekal yang dibuatkan oleh senpai.
Onigirazu itu benar-benar enak. Tapi aku merasa sedikit tersakiti karena beberapa kali salah bicara. Aku mengatakan hal-hal yang tidak perlu. Soalnya aku sedang berbunga-bunga. Setelah makan bekal lezat buatan senpai, aku jadi sedikit berkhayal.
Aku membayangkan diriku dan dia sudah menikah, punya anak, lalu pada akhir pekan kami sekeluarga pergi piknik sambil membawa bekal. Kami tersenyum bahagia, memperhatikan perkembangan anak kami.
Mungkin itu adalah masa depan yang bisa menjadi kenyataan. Rasanya seperti perlahan-lahan mendekat, membuat dadaku terasa hangat dan dipenuhi rasa bahagia.
Semoga kebahagiaan ini terus berlanjut. Aku tak bisa menahan diri untuk terus berharap demikian.
Saking bahagianya, aku bahkan merasa cemas. Kata-kata dalam bahasa bunga yang tadi kubilang, “Jangan lupakan aku,” mungkin keluar karena rasa cemas itu.
Hari ini bahkan belum satu jam sejak kami bertemu, tapi jantungku berdebar-debar sampai aku takut dia bisa mendengarnya.
“Jadi, hari ini kamu mau lihat apa?”
Dia tiba-tiba bertanya, dan aku tidak bisa langsung menjawab.
“E-umm…”
Untuk menenangkan diri, aku pura-pura berpikir. Aku butuh sedikit waktu. Karena kalau tidak tenang, perasaanku pada dia akan meluap begitu saja.
Dia benar-benar terlihat alami. Apa mungkin karena dia pernah punya pacar? Saat kupikir begitu, aku jadi agak cemburu. Mungkin dia sudah sering melakukan kencan seperti ini. Kalau boleh memilih, aku ingin terlahir di angkatan yang sama dengannya. Kalau begitu, aku bisa bersekolah di tempat yang sama, dan mungkin aku tidak hanya dipandang sebagai adik kelas—hubungan kami mungkin bisa berkembang lebih cepat.
Ternyata, posisi sebagai adik kelas itu sedikit merugikan bagiku. Aku jadi ingin memilikinya sepenuhnya. Jadi begini rasanya sifat posesif itu.
“Aku senang ke mana pun, asalkan bersamamu.” Kalimat itu ingin kukatakan, tapi tidak bisa keluar. Dia membuatkan bekal yang enak, selalu baik, memperhatikan keluargaku yang sering pulang terlambat agar aku tidak kesepian… walaupun aku dilarang menyukainya, aku tetap jatuh cinta.
“Kalau begitu, untuk awal, aku ingin pergi ke toko buku buat mengumpulkan materi. Lalu, ini agak keperluan pribadiku… tapi bolehkah kita mampir ke toko pernak-pernik di sebelahnya?”
Tujuan utama hari ini adalah mengumpulkan materi. Tapi karena ini kesempatan kencan, aku ingin melakukan hal-hal yang dilakukan pasangan. Baju juga menarik, tapi aku tidak tahu apakah itu menyenangkan bagi senpai. Jadi, kupikir toko pernak-pernik yang juga menjual makanan impor akan lebih menyenangkan baginya.
“Boleh. Masa cuma lihat-lihat buku lalu pulang, itu terlalu sepi. Aku jarang masuk toko pernak-pernik, jadi tolong pandu aku ya.”
Melihat senyumnya, aku merasa lega. Aku tidak pandai memandu apa pun, tapi di toko itu ada item pijat yang sedang populer dan juga ada sampel makanan, jadi kuputuskan untuk berkeliling di situ saja. Kalau bisa, aku ingin membeli aksesori kembar dengannya. Tapi, aku tidak boleh terburu-buru. Anggap saja itu usaha opsional; yang utama adalah menikmati waktu bersama.
Kami tiba di toko buku besar di lantai 8 pusat perbelanjaan.
Aku sering datang ke sini, tapi jarang melihat bagian selain genre kesukaanku, jadi aku tidak tahu di mana letak buku teka-teki. Mungkin lebih baik bertanya pada pegawai. Rak buku misteri sih mudah ditemukan.
“Hmm…”
Senpai melihat peta rak-rak buku di dinding, dan langsung menemukan tempatnya. Hebat sekali.
Aku lemah dalam membaca peta, jadi aku benar-benar kagum pada orang yang bisa melakukannya dengan mudah.
“Di sini.”
Dengan panduan senpai, kami langsung sampai di sudut yang penuh buku teka-teki. Di sebelahnya ada bagian buku ramalan seperti ramalan nama dan garis tangan, membuatku cukup bersemangat. Ada juga buku kuis. Ternyata di toko buku pun ada area yang terasa menyenangkan seperti taman bermain.
“Seru juga ya. Saya biasanya hanya baca novel, jadi rasanya seperti dunia lain.”
“Aku juga biasanya baca light novel dan manga, jadi jarang ke sini. Tapi ini menarik…! Lihat, buku ramalan nama berdasarkan jumlah goresan huruf, kayaknya seru. Mungkin kita bisa pakai buat bikin stan ramalan waktu festival budaya nanti.”
“Kalau begitu ketua klub bisa menangis, lho.”
Aku membayangkan ketua klub Minezaki-senpai yang kagok menghadapi pelanggan yang baru ditemui dan jadi berkaca-kaca.
“Tenang, ketua yang buat software ramalannya. Kita yang jaga, ketua yang olah datanya dan kirim ke perangkat kita. Lalu kita menyampaikan hasilnya seolah-olah kita yang meramal.”
Saat mendengarnya, tanpa sadar aku berkata, “Kedengarannya seru.”
Memang agak seperti penipu sih… tapi dia menganalisis kelebihan tiap anggota dan memikirkan tata letak supaya semua bisa menikmatinya. Di dalamnya ada banyak sekali rasa perhatian… hal seperti ini membuatku semakin menyukainya.
“Mungkin yang ini bagus. Atau buku cara membuat teka-teki ini juga menarik. Memang toko buku besar punya koleksi yang unik.”
“Benar juga. Oh, ini—‘Cara Menulis Skenario Escape Room’—bagus juga kan?”
“Ya, seperti itu! Hebat, Rika! Kamu jago pilih buku.”
Aku hampir tidak bisa menahan senyuman saat dipuji. Ada juga buku berjudul Cara Berpikir Tentang Trik Kejahatan oleh Penulis Misteri Aktif. Kalau mengambil semua ini, pasti cukup.
“Tapi… bolehkah beli sebanyak ini? Bukannya buku-buku seperti ini mahal?”
Aku melihat harga di belakang buku dan merasa khawatir.
“Ah, tidak apa. Sejak ketua masuk, klub komputer selalu dapat hasil baik di setiap lomba, jadi dana klub cukup besar. Karena ketua jarang pakai, masih banyak sisa. Katanya dana untuk bahan bacaan boleh pakai dana klub. Dan nanti aku juga yang urus bagian keuangan. Ketua juga ada software yang dia mau beli, tapi setelah itu pun masih banyak sisa.”
Ternyata senpai sudah memikirkannya sejauh itu.
Dia membawa beberapa buku, lalu dengan lancar pergi ke kasir dan berkata, “Tolong buatkan kwitansi,” lalu membayar dengan tenang. Semua terlihat begitu alami, seperti seorang pekerja dewasa.
Dia membuat bekal, mengajakku piknik di tempat sakura yang indah, lalu mengajakku ke toko buku dan membimbingku dengan sangat baik. Ini terasa seperti adegan mimpi dari masa SMA yang selalu kuimpikan—kencan dengan kakak kelas yang kusukai. Khayalan berlebihan itu… benar-benar terjadi. Untuk kencan berikutnya, aku ingin membuat bekal untuknya. Akankah dia senang?
Lalu aku baru sadar… Begitu saja, aku sudah memikirkan kencan berikutnya sebagai hal yang wajar. Sungguh memalukan. Tapi, aku yakin bahwa kalau aku mengusulkan kencan berikutnya, dia akan menjawab “Tentu saja.” Keyakinan itulah yang membuatku bahagia.
“Hebat ya, senpai…”
Bisakah aku menjadi dewasa sepertinya hanya dalam waktu satu tahun? Sepertinya… tidak mungkin. Padahal aku sering dianggap murid teladan yang bisa diandalkan…
“Maaf menunggu. Ayo ke toko pernak-pernik.”
Dia tersenyum seolah benar-benar menikmati waktunya. Entah kenapa, itu membuat hatiku hangat dan lega. Begitu ya… dia juga menikmati ini.
“Baik!!”
Aku melanjutkan kencan yang baru saja dimulai ini bersama orang yang sangat kusukai. Ketika kusadari bahwa dia dengan alami membawakan sebagian barang belanjaan, kehangatan di dadaku semakin bertambah.
Chapter 27 — Kencan di Toko Aksesoris & Kafe
Kami tiba di sebuah toko aksesoris. Toko besar yang sering berada di dalam pusat perbelanjaan atau department store. Di sini, banyak peralatan makan lucu, furnitur unik, serta berbagai camilan impor yang dipajang. Ada juga barang kolaborasi dengan karakter terkenal dan boneka-boneka menggemaskan yang tersusun rapi—hanya dengan melihatnya saja sudah terasa menyenangkan.
“Wah, jadi seperti ini ya toko aksesoris itu. Oh, ada juga bath bomb.”
Di rak rekomendasi dekat pintu masuk hari ini, banyak bath bomb dipajang.
“Di sini ada bath bomb dengan aroma unik, lho. Ini aroma puding, dan yang ini… sukiyaki!”
“Suki-yaki… rasanya seperti jadi bahan masakan di panci, ya.”
Senpai tertawa kecil. Memang benar juga. Aku pun ikut tertawa.
“Ada kotak bekal juga.”
Banyak produk kolaborasi dengan karakter anime populer. Karena ini toko besar, banyak barang bergambar Doraemon, Pikachu, dan sebagainya. Karena ini toko yang lebih ditujukan untuk perempuan, aku sempat khawatir dia akan menganggapnya kekanak-kanakan. Tapi dia terlihat menikmatinya dan aku merasa lega.
“Senpai, ini lucu, lho.”
Aku menunjuk peralatan pijat yang dipajang untuk dicoba.
Ada alat pijat kulit kepala dan juga alat yang jika jari dimasukkan ke dalamnya, jari kita dipijat otomatis. Aku memperkenalkannya pada dia.
“Ini cara pakainya gimana?”
“Yang ini, kepala dimasukkan ke alatnya. Bagian logamnya menyentuh kulit kepala dan rasanya enak. Kalau yang ini, begitu jari dimasukkan, mesin akan memijat otomatis.”
Senpai langsung mencoba alat contoh, menikmati pijatan. Biasanya dia selalu terlihat dewasa dan dapat diandalkan, tapi kali ini dia terlihat seperti anak kecil yang sedang bersantai.
“Entah kenapa… rasanya enak sekali sampai merinding. Ah—aku ingin punya yang beginian 20 tahun lagi.”
Komentarnya yang unik membuatku tertawa.
“Ada apa, sih? Kok omongannya seperti pegawai kantoran yang sedang kelelahan?”
“Hah? Aku bilang gitu, ya? Kayaknya karena terlalu enak, aku ngomong tanpa mikir.”
Melihatnya seperti itu membuatku menganggapnya lucu. Perbedaan sikapnya dengan biasanya membuatku senang. Bisa melihat sisi baru dari senpai—aku sadar, Inilah yang disebut kencan.
Saling menunjukkan sisi diri yang mengejutkan, lalu makin saling mengenal. Mungkin nanti bisa saja bertengkar, tapi tetap saja perasaanku pada dia semakin besar. Tidak pernah berhenti—rasa sukaku padanya terus bertambah. Padahal kami sudah saling kenal lebih dari 10 tahun.
Aku merasa, sejak masuk SMA, senpai tumbuh jauh lebih dewasa daripada yang kutahu.
Saat aku sedang terpana melihatnya, untuk menyembunyikannya aku memegang jepit rambut.
Jepit rambut berpadu bunga camellia merah. Warnanya cantik.
Camellia adalah bunga musim dingin. Jadi, bunga itu akan gugur seolah bergantian dengan sakura. Kelopaknya jatuh satu per satu—sedikit menyedihkan, tapi sangat indah.
Arti bunga camellia merah itu… kalau tidak salah…
Sebelum aku sempat mengingatnya, suara senpai terdengar lebih dulu:
“Artinya rendah hati, kan? Untuk camellia merah!”
Aku terkejut sejenak, lalu tertawa. Senang rasanya—dia mempelajari bahasa bunga untukku.
“Benar. Tapi ada satu lagi maknanya, kamu tahu?”
“Oh ya!? Aku baru mulai belajar, jadi… um… mengatasi kesulitan? Cinta yang teguh?”
“Hampir benar. Tapi itu arti umum camellia. Untuk camellia merah, ada arti lain.”
Tapi, aku sengaja tidak memberitahunya. Aku ingin jawabannya nanti dia temukan setelah pulang.
***
Saat dia bertanya, “Kamu nggak beli itu?”
Aku menjawab, “Hanya lihat-lihat, kok.”
Padahal sebenarnya aku ingin punya benda kembar dengannya. Tapi aku malu mengatakannya.
“Hei, Senpai. Ayo lihat bagian camilan! Di sana ada yang bisa dicicip!”
Untuk mengalihkan pikiran, kami beralih melihat camilan. Aku berdoa agar waktu sederhana ini bisa terus berlanjut selamanya.
***
Tujuan terakhir kami adalah kafe antik yang bergaya. Karena tempatnya populer, sudah ada beberapa orang yang menunggu. Aku jadi gelisah—setelah kencan yang menyenangkan ini, apa tidak apa-apa membuatnya menunggu?
Tapi…
“Ah, saya Yaguchi yang sudah reservasi.”
“Terima kasih sudah menunggu. Untuk berdua ya, silakan ke sini.”
Dia tersenyum dan berkata, “Aku sudah reservasi sebelumnya. Bisa lewat situs di ponsel.”
Kenapa dia menyiapkan semuanya sejauh ini untukku… Aku sangat senang. Dia terus mengajakku dengan begitu rapi, sampai aku merasa seperti seorang putri.
“Pancake buah butuh waktu agak lama untuk dipanggang, jadi tiap jam jumlahnya dibatasi. Makanya tadi aku sudah pesan duluan. Kamu mau minum apa?”
Dia memesan pancake supaya aku bisa menikmatinya. Itu membuatku semakin senang.
Di tempat seperti ini, rasanya minum kopi hitam lebih pantas… aku pun jadi gugup.
Tapi dia seperti menyadari kegelisahanku, dan dengan santai berkata, “Aku pesan melon soda.”
Meskipun dia tidak mengatakannya, rasanya seperti dia memberi isyarat, kamu boleh pesan milk tea.
“Kalau begitu, aku milk tea.”
***
Sekitar 20 menit kemudian, pancake lembut kami datang. Senpai sempat berdiri sekali; mungkin ke toilet?
Setelah minuman datang, pancake pun disajikan—meja terasa cerah seketika.
Di depanku: pancake buah.
Di depan senpai: pancake beri.
Masing-masing memancarkan aroma manis yang membahagiakan.
“Kita pesan rasa yang berbeda, ya?”
Sambil terpana melihat pancake penuh buah berwarna-warni di depanku, aku bertanya.
“Oh, supaya bisa saling tukar.”
Ternyata kami bisa saling mencicipi. Di sekolah, pancake buah ini populer sebagai menu nomor satu, dan yang beri nomor dua. Senpai juga tahu hal seperti itu—keren sekali.
Adonan lembut, krim kocok, dan buah asam. Semuanya berpadu di mulut membuatku bahagia.
Dia juga terlihat puas menikmati pancakenya.
Karena momen seperti ini, aku ingin hubungan kami melangkah maju sedikit saja. Maka, aku memberanikan diri melakukan sesuatu.
“Nih, Senpai—aa~n.”
Meskipun rasanya malu sampai ingin mati, aku tetap mengambil langkah maju dengan penuh keberanian.
Chapter 28 — Jalan Menuju Kebahagiaan
Kami menikmati pancake sambil saling menyuap. Kalau bisa, aku ingin juga disuapin “a~n” oleh senpai, tapi sepertinya itu terlalu memalukan. Dia begitu manis, jadi hari ini aku tahan dulu keinginanku itu.
“Memang aku nggak bisa nyuapin kamu, tapi… kalau kamu mau, ini.”
Senpai menyerahkan kantong dari toko aksesori yang kami kunjungi tadi. Jangan-jangan…
“Hadiah untukku?”
“Iya. Aku pikir kamu sepertinya menyukainya.”
Mendengar itu, aku begitu bahagia sampai tanpa menunggu jawaban atas pertanyaanku, aku langsung membuka bungkusnya. Memang sedikit tidak sopan, tapi aku terlalu senang menerima hadiah dari orang yang kusukai.
“Cantik sekali. Terima kasih.”
Di dalamnya ada hiasan rambut bunga sasanqua merah—yang tadi kulihat di toko.
“Aku senang kalau kamu suka.”
Dia tersenyum puas.
“Kapan belinya?”
“Tadi waktu aku keluar sebentar, aku buru-buru balik ke toko untuk membelinya.”
Begitu ya. Dalam waktu sesingkat itu, dia meluangkan waktu untuk membeli benda yang aku inginkan. Aku hampir menangis karena terlalu bahagia.
“Lalu, ini mungkin agak aneh, tapi aku juga beli mechanical pencil dengan motif sasanqua.”
“Eh? Jadi, kita kembar?!”
Dia menunjukkan pensilnya. Di bagian atasnya, bunga sasanqua merah terpasang dengan indah.
“Kata orang, bunga sasanqua merah berarti kerendahan hati, kan? Aku pikir aku harus selalu ingat untuk tetap rendah hati.”
Ternyata dia belum tahu. Kalau begitu, ini waktu yang tepat untuk memberi tahu.
“Mau dengar satu lagi arti bunga sasanqua yang tadi kusebut?”
“Iya! Mau dengar!!”
Aku merasa sedikit bersalah seperti sedang menggodanya, tapi karena aku senang, aku tetap ingin memberitahunya.
“Maksudnya adalah… ‘Kamulah yang paling indah.’ Terima kasih.”
Begitu kukatakan, wajahnya langsung memerah. Sambil terlihat sedikit tersiksa, dia bergumam:
“Jadi, itu sebabnya pegawai tokonya senyum-senyum ya… dan tanya, apakah itu hadiah untuk pacar.”
“Itu pengakuan yang lumayan berani, ya, Senpai?”
Dia terlihat sangat gugup, sampai rasanya seperti bukan orang yang tadi mengajakku berkencan dengan begitu gentleman. Aku sedikit merasa lega.
Rasanya menyenangkan mengetahui bahwa dia juga bukan orang yang sempurna. Bahwa dia berada dalam jangkauan, bisa kuraih. Namun pada saat bersamaan… aku merasa cemas. Pria sebaik ini, bukankah mungkin saja suatu saat menyukai orang lain? Aku tak akan sanggup kalau dia direbut orang lain. Aku percaya dia akan memilihku… tapi karena aku berada paling dekat dengannya, justru itulah alasan aku semakin takut.
Kalau saja kamu yang menyatakan perasaan dulu… aku pasti langsung menerimanya. Kamu berada sedekat ini… tapi aku sendiri terlalu pengecut untuk bergerak lebih dulu. Aku benci diriku yang penakut.
Namun, untuk sekarang, aku ingin menikmati setiap detik yang ada. Karena pada saat ini… aku yakin akulah orang paling bahagia di dunia.
Aku segera mengenakan hiasan rambut yang kuberikan. Mengambil cermin kecil dari pouch, aku memeriksa penampilanku. Jauh lebih cocok dari yang kubayangkan. Berusaha menahan bibirku agar tidak tersenyum terlalu lebar, aku bertanya, “Bagaimana?”
Aku memilih dress bermotif bunga dengan warna kalem, jadi hiasan rambut dengan warna sedikit lebih cerah itu tampak menjadi aksen yang manis.
“Sangat cocok. Kamu benar-benar cantik dan menawan.”
Dan aku kembali naik satu tangga menuju kebahagiaan.
***
“Kalau begitu, ayo kita pergi.”
“Baik.”
Waktu yang menyenangkan berakhir. Rasanya sedih, tapi aku juga punya kenangan bahagia yang baru… dua perasaan yang saling bertentangan itu membuat hatiku semakin dirundung kesepian.
Dia melangkah keluar begitu saja tanpa membayar.
“Eh, Senpai, pembayarannya?”
Sambil menggenggam dompetku, aku bertanya. Dia menjawab santai, “Sudah kubayar tadi.” Perasaan senang bercampur rasa tak enak membuatku berkata, “Tidak boleh, tadi saja sudah dibuatkan makan siang…” Tapi dengan santainya dia menjawab, “Kalau begitu, nanti kita nonton film. Saat itu kamu yang traktir.”
Dewasa sekali caranya menyikapi.
“Benarkah?”
Aku benar-benar tak menyangka dia yang mengajakku berkencan lagi. Aku pasti tersenyum selebar-lebarnya.
“Iya.”
“Kalau begitu, minggu depan ya. Sebenarnya, ada film yang ingin kutonton.”
Itu bohong. Aku hanya ingin secepatnya bertemu dengannya lagi. Karena itu, aku langsung membuat janji. Aku memutuskan begitu sampai di rumah, aku akan cepat-cepat cek jadwal tayang film.
“Boleh.”
Dia menerimanya dengan lembut.
Begitulah caranya… aku mendapatkan janji kencan kedua dan barang kembar kami berdua.
Rasanya… jalan menuju kebahagiaan ini akan terus berlanjut.
Chapter 29 — Pria Selingkuh yang Menyedihkan
Kencan yang menyenangkan akhirnya selesai. Kami berjalan pulang ke rumah. Karena ingin bersama selama mungkin, berbeda dengan saat berangkat, kami tidak berpisah di stasiun. Kami berjalan perlahan di jalur biasa sambil mengobrol tentang banyak hal sepele—kenangan masa lalu, hal-hal yang ingin dilakukan di masa depan, tentang klub. Semuanya terasa seolah memberkati kebahagiaan kami.
Namun, sedikit jauh dari stasiun, kami bertemu dengan bencana.
“Di sini rupanya, Yaguchi Michitaka!! Aku mencarimu.”
Sosok bertubuh besar dengan rambut pirang terang yang mencolok. Seperti preman yankee yang sudah ketinggalan zaman. Tipe senpai yang tidak pantas berada di sekolah unggulan seperti kami.
“Hongo Kantarou…”
Nama musuh bebuyutan. Bukan hanya sekali—dua kali ia mengkhianatiku bersama Miyabi.
Putra dari perusahaan besar, dengan banyak rumor buruk yang terus dibungkam menggunakan uang dan kekuasaan. Dalam kehidupan sebelumnya, dia bersekongkol untuk merebut perusahaanku demi teknologi yang kami miliki. Ia memaksa pembelian perusahaan melalui konspirasi besar—benar-benar brengsek. Bahkan di masa SMA, ia terkenal sebagai orang yang sebaiknya tidak didekati; seluruh sekolah takut padanya.
“Ohh, sombong sekali kau, Kouhai. Berani memanggil senpai tanpa sopan?”
Aku tidak mau menganggap orang seperti ini sebagai senpai. Jika aku sendirian, mungkin tidak masalah. Tapi karena Rika ada di dekatku, lebih baik aku tidak memancing masalah.
“Maaf. Tiba-tiba dipanggil, jadi aku bingung. Ada perlu apa?”
Melihat sifatnya yang tidak terduga, aku menjaga jarak dan berusaha agar keadaan tidak meledak.
“Tch, bikin kesal saja. Hah, baru diputusin pacar, sekarang sudah kencan sama cewek lain, ya? Hebat juga kamu.”
Ternyata tetap mengarah ke sana. Di kehidupanku sebelumnya, setelah kejadian Miyabi, dia menyebarkan rumor tentangku di sekolah dan terobsesi pada Rika sampai menjadi seperti stalker. Jujur saja, dia orang berbahaya.
Tapi setelah hidup di masyarakat, aku sudah berkali-kali berhadapan dengan klien sok berkuasa seperti dia. Perusahaan keluarganya memang besar, tapi juga sedang bermasalah dalam rapat pemegang saham dengan investor asing yang menolak sistem manajemen keluarga itu. Jika ia terus mengandalkan uang, justru dia yang akan terpojok. Skandal bisa menjadi pukulan fatal bagi dirinya.
Hanya dia sendiri yang tidak menyadarinya. Dalam banyak hal, dia pria menyedihkan. Sekolah menerima banyak donasi dari orang tuanya sehingga ingin menghindari masalah besar, tapi banyak guru yang tidak suka padanya. Saat dia menguntit Rika, aku bekerja sama dengan beberapa guru yang dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalah itu. Intinya, dia sedang berjalan di atas jembatan rapuh tanpa menyadarinya, dan musuhnya ada di mana-mana.
Dalam hal posisi, aku jauh lebih unggul. Karena aku memahami kenyataan itu, aku bisa menanggapinya dengan tenang.
“Senpai, sebagai Kouhai, izinkan aku memberi peringatan.”
“Apa?”
“Memang benar cinta itu bebas dan tidak bisa dihukum. Tapi membanggakan diri karena merebut pacar orang tidak akan membawa hal baik. Hanya menambah musuh. Dan tempat ini dekat stasiun—ramai orang.”
Aku memperingatkan dengan tenang. Meski begitu, dia tetap tak memahami maksudnya.
“Apa katamu?!”
“Di zaman sekarang, siapa pun bisa menyebar informasi lewat media sosial. Dan penyebarannya jauh lebih cepat dari yang Senpai bayangkan. Mengerti? Maksudku, kemungkinan Anda hancur lebih cepat daripada Anda bisa menyelesaikannya dengan uang.”
Mendengar itu, ia terkejut dan mundur selangkah. Kena juga.
Namun, mungkin egonya terluka. Bagi pria yang hidup dari kebanggaan kecil, ini pasti menyakitkan.
Tak mampu menahan diri, ia meluapkan amarahnya padaku.
“Berani sekali kau ngomong seenaknya!!!”
Ia menyerbu. Aku segera melindungi Rika di belakangku agar tidak terluka. Hongo mencengkeram kerah bajuku dan bersiap memukulku dengan tangan satunya. Ia sudah melakukan penyerangan, dan jelas akan memukulku—situasi di mana pembelaan diri sangat sah.
Aku menggenggam tangannya yang mencengkeram kerahku, lalu dengan tenang mendorong dagunya menggunakan tangan lain. Ini teknik bela diri yang terkenal—menyerang dagu, yang merupakan titik lemah, sehingga meski melawan orang lebih besar, kita bisa mendorong mereka ke belakang dan membuat mereka jatuh.
“Uwaa—uwaaaaa!!”
Dengan suara menyedihkan, dia terjatuh terhempas ke lantai beton. Mungkin karena terkejut dan terhina, dia hanya bisa terpaku.
Aku pun berteriak, “Tolong! Ada kasus penyerangan!” sambil menarik tangan Rika dan berlari. Orang-orang langsung menoleh; banyak yang mulai merekam dengan ponsel. Tak lama kemudian, kulihat mobil polisi menuju arah Hongo. Ini akan jadi menarik.
“Rika, kamu baik-baik saja?”
“Ya. Senpai bagaimana?”
Tadi wajahnya ketakutan, tapi sekarang ia sudah sedikit tenang.
“Aku baik-baik saja. Biar saja dia. Ayo cepat menjauh. Oh iya, sekalian kita belanja untuk makan malam. Dia tidak akan mengejar sampai sini. Lagi pula banyak orang, jadi dia tidak bisa seenaknya.”
“Kapan Onii-chan jadi seberani ini?!”
Aku tak perlu khawatir. Kulihat polisi sudah mengepung pria itu. Dia takkan bisa menyusul. Aku juga senang karena Rika tanpa sadar kembali memanggilku “Onii-chan”.
“Yah, meskipun terlihat begini, aku sudah melewati banyak situasi sulit.”
Kami pun tertawa, dan berhasil melarikan diri dari sosok yang seperti simbol kemalangan di kehidupan sebelumnya.
Chapter 30 – Pelaku Kasus Penganiayaan adalah Si Pria Selingkuh
—Sudut pandang pria selingkuh—
Akhirnya aku berhasil menemukan Yaguchi Michitaka. Kalau saja dia tidak ada, aku tidak akan mengalami kesialan. Kalau begitu, di sini aku akan menghabisinya sampai dia tidak pernah muncul di hadapanku lagi. Lalu, aku akan membalas semua penghinaan di kehidupan sebelumnya.
Dia itu simbol dari seluruh kesialanku.
“Akhirnya ketemu kau di sini, Yaguchi Michitaka!! Sudah kucari ke mana-mana!”
Di depan stasiun, aku akhirnya menemukannya. Kebetulan, dia sedang bersama Takatsukasa Rika. Ya, kalau aku hajar Yaguchi sampai babak belur di sini, mungkin aku juga bisa menarik perhatian Takatsukasa. Setidaknya, dia pasti bakal kecewa pada Yaguchi.
“Hongo Kantaro…”
Melihat dia memanggilku tanpa embel-embel, darahku langsung naik.
Bajingan ini… tak bisa dimaafkan. Pada akhirnya, dia hanyalah pecundang yang ditakdirkan direndahkan dan kehilangan semuanya olehku. Tapi berani-beraninya dia berbicara seakan-akan setara denganku.
“Heh, sombong juga ya, Kouhai. Berani memanggil senpai tanpa sopan?”
Kalau menatapku sedalam ini, kebanyakan laki-laki pasti langsung ketakutan sampai lututnya gemetar. Anak kerempeng seperti dia mungkin sampai ngompol. Hah? Gimana? Pasti kau tidak bisa bicara apa-apa karena ketakutan, kan?
Namun, dia menatapku dengan wajah santai dan berkata,
“Maaf. Saya kaget tiba-tiba dipanggil. Ada perlu apa?”
Bahkan dia menunjukkan senyum mengejek. Dia meremehkanku? Seingatku, di kehidupan pertama, meski pacarnya direbut darinya, dia tidak berani melawan. Tapi kenapa sekarang dia bisa tersenyum santai seperti itu?
“Tch, jadi bikin mood rusak. Hah… setelah pacarmu direbut, kamu malah langsung jalan dengan cewek baru. Kamu populer juga ternyata.”
Kalau begitu, aku akan merendahkan harga dirimu habis-habisan. Bagaimana rasanya dihina di depan cewek yang kamu suka? Pasti terasa memalukan. Menyakitkan, kan? Tapi kamu tidak bisa mengatakan apa-apa. Karena kamu takut padaku. Aku adalah orang yang kuat dan penting. Kalau berani melawan, mungkin kau akan mati setengah. Hei, kalau kamu minta maaf sekarang, mungkin aku akan memaafkanmu. Berlututlah di tanah dan minta maaf dengan memalukan.
“Senpai. Sebagai Kouhai, saya ingin memberi saran.”
“Hah?”
Saran? Sok banget!
“Meski perselingkuhan itu tidak bisa dipidana, tapi menyombongkan diri sambil mengatakan bahwa Anda selingkuh dengan pacar orang lain tidak akan membawa hal baik, tahu? Anda hanya akan memperbanyak musuh. Lagi pula, ini tempat umum di depan stasiun.”
Dia berbicara santai sambil mengejek dan meremehkanku.
“Apa katamu!?”
Aku semakin menekan suaraku, mengancam. Di belakang, Takatsukasa terkejut sampai memejamkan mata. Tapi Yaguchi tetap melanjutkan.
“Zaman sekarang, siapa saja bisa dengan mudah menyebarkan informasi di media sosial. Dan kemampuan penyebarannya jauh lebih cepat daripada yang Anda bayangkan. Paham maksud saya? Saya bilang, lebih besar kemungkinan Anda hancur duluan sebelum sempat menyelesaikan masalah dengan uang.”
Bukan hanya tidak takut, dia balik mengancamku. Sungguh lancang. Aku terkejut hingga tersurut, tapi kemudian kusadari, kalau aku terlihat lemah, tamatlah aku, jadi aku langsung menarik kerah bajunya.
Aku harus mengajarinya, meski dengan memukulnya.
“Berani-beraninya kau bicara seenaknya!!”
Saat aku mengayunkan tinju—
Yaguchi menangkap lenganku dengan kuat, lalu dengan tangan satunya, menekan daguku keras-keras. Tanpa sempat berpikir bagaimana mungkin tubuh kecilnya begitu kuat, aku terpental ke belakang, kehilangan keseimbangan, dan jatuh terlentang ke beton. Tubuhku remuk oleh rasa sakit.
Sakitnya nyata. Rasanya mau mati. Kenapa aku harus mengalami sakit seperti ini dari rakyat jelata rendahan seperti dia? Akan kubunuh dia… pasti kubunuh!
“Tolong! Ada penganiayaan!”
Sebelum aku bisa bangkit, Yaguchi berteriak keras lalu kabur.
“Bodoh! Jangan bilang begitu! Akulah korb—”
Saat aku hendak berteriak, sebuah mobil polisi berhenti di dekatku.
“Hei, kamu. Kami ingin bertanya sebentar.”
Polisi-polisi itu mengelilingiku seakan aku ini pelaku kejahatan.
“Jangan perlakukan aku seperti penjahat! Aku korban! Aku baru saja dipukul, pelakunya kabur!”
Tapi mereka hanya saling pandang sambil menunjukkan ekspresi “apa sih anak ini” dan tersenyum kecut.
“Baik, baik. Tempat ini penuh kamera CCTV, jadi kami akan mengeceknya. Kalau kamu korban, kamu harus buat laporan juga. Untuk sementara ikut kami ke pos polisi, ya?”
“Hei! Kalian, semua! Bersaksi dong! Aku kan korbannya, iya kan!?”
Orang-orang yang memegang ponsel malah tertawa keras sambil berpaling. Sikap mereka membuatku putus asa.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Selama tidak melakukan hal buruk, kamu tidak perlu takut. Kalau terluka, kami bisa melakukan pertolongan pertama. Atau… kamu tidak mau ikut karena merasa bersalah?”
Sementara itu, seorang polisi berbadan besar sudah berdiri di belakangku, menutup jalan kabur.
Tak ada jalan keluar lagi.
Chapter 31 – Jebakan yang Disiapkan Michitaka
Kami berdua berlari dan masuk ke dalam supermarket sambil terengah-engah. Sepertinya kami berhasil lolos. Syukurlah, Rika tidak sampai celaka…
“Kamu nggak apa-apa?”
Saat kutanya, Rika juga terlihat kelelahan dan terengah-engah.
“Aku kaget banget. Rasanya kayak di drama.”
Gara-gara orang itu, tanpa sengaja kami jadi mengalami momen yang mirip kisah remaja. Kami pun tertawa lega.
“Rika kelihatan tenang juga, ya.”
“Soalnya, senpai menjatuhkannya hanya dengan satu serangan. Awalnya aku takut, tapi setelah dia sok-sokan beraksi lalu dipatahkan lalu terjungkal begitu saja, aku jadi lega dan rasanya puas banget.”
Benar juga. Dia tiba-tiba berteriak keras di depan stasiun soal pacar yang direbut, lalu main ancam, dan saat mencoba menarik kerah malah berbalik dihajar—itu tingkah kocak yang bahkan dalam anime pun jarang terjadi.
Selain itu, mungkin karena sudah tenang, gaya bicara Rika yang biasanya sopan, jadi lebih santai.
“Padahal aku juga deg-degan banget di dalam, tahu.”
“Eh, tapi kamu terlihat sangat tenang, lho. Kamu belajar bela diri sehebat itu di mana!?”
“Oh, dari YouTube. Aku suka nonton video-video self-defense yang gampang diikuti.”
“Gaya hobi yang cukup niche ya.”
Kalau lagi ada yang sok ngajak ribut di tempat minum, lumayan berguna juga sebenarnya. Tapi kalau kubilang begitu, malah aku terdengar seperti anak SMA yang bangga punya pengalaman buruk, jadi kubiar saja di hati.
“Tapi syukurlah ya. Kalau tadi dia terus-terusan menghina kamu, mungkin aku yang akan marah duluan.”
Rika ternyata cukup serius. Tapi, di kehidupan sebelumnya, dia memang beberapa kali marah demi membelaku. Kalau aku yang dipukul sih masih oke, tapi kalau sampai Rika terluka… aku tidak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri. Syukurlah aku bisa menggunakan teknik bela diri itu.
“Tapi, apa kamu yakin tidak apa-apa? Orang seperti itu keliatannya gampang dendam.”
Ya, itu benar. Melihat sifatnya, dia pasti akan berteriak “semua salah kalian!”
Namun, aku tidak menjalani masa remaja ini tanpa memikirkan kemungkinan dia akan menggangguku. Aku sudah mengalami keputusasaan total dan kehilangan segalanya sekali. Meski versi dirinya di dunia ini berbeda dengan yang di kehidupan sebelumnya, kalau dia tidak melakukan apa-apa, aku juga tidak akan menyerangnya.
Tapi dia sendiri yang melangkahi batas…
Aku mengeluarkan alat perekam suara yang kusembunyikan di saku.
Mata Rika langsung membelalak kaget. Aku pura-pura menggoda dengan senyum jahil, seperti anak kecil yang ketahuan nakal.
Aku dulu sering menggunakannya saat persiapan ujian masuk SMP untuk melatih kemampuan listening bahasa Inggris. Ini merupakan alat lama yang diwariskan Kaede-san dari pekerjaannya.
Sejak saat itu, aku selalu membawanya saat keluar rumah. Untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun, pria itu pernah mengirimiku video surat gila di kehidupan sebelumnya—jelas-jelas otaknya bermasalah.
Aku sudah menduga dia akan melakukan sesuatu lagi. Toh video itu sendiri sebenarnya adalah bukti dirinya mengakui perbuatannya.
Mengirimkan video seperti itu kepada lawan… itu sama saja bunuh diri secara sosial. Untuk orang yang mengorbankan segalanya demi kesombongan, jebakan seperti ini paling efektif.
Aku mulai merekam bahkan sebelum aku memanggil namanya, “Hongo Kantaro…”. Kamera pengawas di depan stasiun tidak merekam suara, dan ada kemungkinan dia akan menggunakan pengaruh kekuasaan.
Di kehidupan sebelumnya, aku belajar bahwa meski ada orang-orang yang bisa diandalkan, kau tetap harus melindungi dirimu sendiri sebanyak mungkin.
“Keren banget…”
“Sebenarnya aku dengar sedikit rumor kalau dia mungkin akan mencoba cari gara-gara. Jadi aku membawa ini sekadar jaga-jaga.”
Kami pun tertawa lagi. Kalau dia mencoba mengganggu kami lagi, kami punya kartu truf. Kalau ini menyebar, dia akan hancur.
“Luar biasa, persiapannya matang.”
“Iya. Dia sih biasa saja, tapi ayahnya adalah presiden perusahaan besar. Lebih baik tetap waspada.”
“Benar juga. Kalau begini, dia tidak bisa berbuat banyak lagi.”
Aku ingin percaya kalau ayahnya lebih masuk akal. Masa iya, dia akan mempertaruhkan perusahaannya demi mempertahankan anaknya dalam taruhan besar yang bodoh.
“Kamu merasa tenang sekarang?”
“Banget!!”
“Kalau begitu, hari ini kita masak makanan rebus, yuk. Aku mau buat ayam dan lobak. Lobaknya sudah ada di kulkas, jadi kita beli sayap ayam saja. Karena habis lari jadi haus, sekalian beli minuman.”
Seolah itu sudah biasa, kami langsung mulai berbelanja bahan makan malam.
Rasanya kami sudah seperti pasangan suami istri.
“Senpai benar-benar bisa diandalkan! Aku tidak menyangka kamu sehebat ini!”
Dia memandangku penuh kagum, dan ekspresinya sangat indah.
Chapter 32 – Hadiah
Setelah pulang, aku mulai menyiapkan makan malam. Seperti biasa, Rika membantuku.
Masakan rebus itu bisa dibuat banyak, mudah, dan enak—tiga hal yang paling penting. Jadi sekalian bisa dibuat stok.
Saat ingin membeli sayap ayam, ternyata daging ayam paha sedang diskon, jadi hari ini kupilih itu.
“Kalau begitu, Rika, tolong kupas kulit lobaknya ya.”
“Baik!!”
Sementara itu, aku menyiapkan bumbunya.
Kucampur kecap, mirin, sake, dan gula, lalu menambahkan jahe parut. Karena aku suka jahe, aku menambahkannya agak banyak. Untuk kecap, tentu kupilih kecap rendah garam, sambil mengingat Kaede-san. Tapi meskipun rendah garam, aku memilih yang punya rasa enak karena kaldunya kuat.
Setelah Rika memotong lobaknya, kami masukkan ke piring tahan panas bersama air, lalu memanaskannya di microwave. Dengan begitu lebih cepat, dan lobaknya jadi lembut dan enak.
Daging ayam paha akan mengeluarkan lemak sehingga memberikan rasa gurih.
Lalu, bumbu yang sudah kusiapkan kumasukkan ke panci, dan kumasak bersama ayam serta lobak yang sebelumnya sudah ditumis dengan minyak wijen. Setelah itu, tinggal menunggu.
“Wangi sekali, ya.”
“Benar. Itu minyak wijen dan jahe.”
Saat aroma bahagia itu memenuhi ruangan, Misato pulang.
“Kak, onigirazu-nya sangat disukai, lho! Warnanya cantik, semua sampai memotret bekalku! Oh, Rika-chan juga datang. Kalian bersenang-senang?”
Rika tersenyum dan mengangguk dengan sedikit malu.
“Loh, berarti memang kencan dong!! Tapi itu nggak masalah. Kak, teman-teman klub minta resep onigirazu. Bisa dituliskan nanti?”
Sepertinya memang sangat populer.
“Ah, nanti kutulis ya.”
Adikku tersenyum penuh kebahagiaan.
“Malam ini makan apa?”
“Ayam dengan lobak. Aku masak banyak, jadi makanlah banyak.”
Dia terlihat sangat bersemangat, mungkin karena capek dan lapar sepulang dari klub.
“Tadaima!! Michitaka-san, bekal hari ini juga enak sekali, lho. Oh, Rika-chan juga datang. Kencannya menyenangkan?”
Mendengar itu, kami bertiga tidak bisa menahan tawa.
Karena percakapan yang sama baru saja terjadi.
“Biar aku yang menyelesaikan sisanya. Rika, silakan duduk. Misato, tolong buatkan teh untuk Rika dan Kaede-san.”
Karena Rika sudah membantu banyak sebagai tamu, aku memintanya untuk beristirahat. Dia terlihat sedikit sungkan, tapi saat aku tersenyum mengangguk, dia pun membalas dengan cara yang sama.
Setelah itu, kupikir akan membuat sup miso.
Ada banyak jamur, jadi kubuat sup jamur.
Saat aku memasak sup miso, terdengar para perempuan bercakap-cakap.
“Eh—kak luar biasa!!”
“Michitaka-san melakukan itu!? Ternyata dia bisa jadi laki-laki sejati juga.”
“Dia mengalahkan orang berbahaya dengan mudah, keren sekali!”
Sepertinya mereka sedang membicarakan kejadian saat aku mengusir pria tadi. Rasanya geli.
Bahkan kalau aku sempat kena pukul, aku sudah menganggap itu tetap menang. Jadi sebenarnya bukan sesuatu yang hebat.
Sambil melihat ketiganya asyik mengobrol dengan wajah bahagia, aku perlahan melarutkan pasta miso.
***
Setelah makan, aku mengantar Rika pulang, lalu kembali ke rumah. Aku berkata “Aku pulang,” lalu mengambil tas yang tadi kusembunyikan di kamarku—tas yang berisi hadiah yang kubeli untuk Rika saat kencan tadi—dan turun ke lantai bawah.
Sepertinya Misato sedang mandi. Ini kesempatan.
“Oh, Michitaka-san, ada apa?”
Kaede-san sedang menikmati teh rutinnya. Kemungkinan sudah dicampur sedikit minuman keras. Ruang keluarga dipenuhi aroma teh yang harum.
“Ah, ini, Kaede-san.”
Aku menyerahkan tas itu.
“Hm? Apa ini?”
Kaede-san terlihat bingung. Wajar, kalau tiba-tiba diberi tas begitu pasti bingung.
“Tadi saat belanja, aku melihat ini. Jadi walaupun agak cepat, ini hadiah.”
Meski aku berkata begitu, ia masih terlihat bingung.
“Hadiah?”
Karena gugup dan haru, aku sulit bicara dengan baik. Jadi untuk momen seperti ini, aku memasukkan surat ke dalam tas. Aku berharap beliau membacanya.
“Iya, memang masih sebulan lebih cepat… tapi ini hadiah Hari Ibu.”
Kaede-san membuka mata lebar-lebar, terkejut “Eh!?”
Hari ini, aku memutuskan untuk merayakan Hari Ibu lebih cepat daripada biasanya.
Chapter 33 – Orang Tua dan Anak
Aku memberikan hadiah kepada Kaede-san.
Sejak dulu, Kaede-san selalu memikirkan ibu kandungku dan berulang kali menjelaskan bahwa dirinya adalah ibu angkatku. Karena itu, sejak aku mulai bisa mengingat sesuatu, aku memanggilnya “Kaede-san.”
Di kehidupan sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa suatu hari aku ingin memanggilnya “Ibu,” namun karena rasa malu dan juga karena selalu memikirkan perasaanku—bahwa ia bukan ibu kandungku—aku akhirnya tidak pernah dapat memanggilnya begitu hingga hari itu tiba.
Aku sudah diterima kerja, dan mulai tahun depan aku berniat benar-benar berbakti padanya…
Namun, saat aku berada di tahun keempat kuliah, pada musim panas, Kaede-san meninggal karena serangan jantung. Ia tiba-tiba roboh di tempat kerja, dan ketika dibawa ke rumah sakit… semuanya sudah terlambat.
Saat kami tiba di rumah sakit, Kaede-san sudah tidak kembali, dan aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal. Sejak itu, aku jatuh terpuruk, hidup layaknya mayat berjalan.
Untungnya, Rika mendukungku hingga aku bisa lulus kuliah…
Karena diriku larut dalam kesedihan kehilangan Kaede-san, aku tidak sadar bahwa penyakit diam-diam menggerogoti Rika.
Setelah kehilangan keduanya, aku bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku. Tapi masih ada Misato. Aku tidak bisa mati. Setidaknya aku harus memastikan Misato bisa hidup bahagia.
Karena mempertimbangkan biaya dan beban yang akan diberikan padaku, Misato ingin berhenti kuliah, namun aku dengan tegas menentangnya. Dengan memanfaatkan pinjaman pendidikan dan sebagainya, akhirnya ia bisa lulus.
Karena itu, menghadiri pernikahan adikku menggantikan ayah adalah salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Namun, tetap saja, aku ingin menghadirinya bersama Kaede-san.
Karena… tentu saja.
Kaede-san adalah ibuku. Meski tak memiliki hubungan darah, bagaimana bisa aku mengatakan bahwa orang sebaik itu bukan ibuku? Ibu kandungku pun pasti akan merestui.
***
“Ah, ini botol termos sup ya. Terima kasih, makan siangku pasti terasa lebih nikmat nantinya.”
Kaede-san menerima hadiah pilihanku dengan senang hati.
“Suratnya… nanti tolong dibaca ya.”
Dalam surat itu kutuliskan semua hal yang ingin kusampaikan. Tapi tetap saja, aku ingin mengungkapkan rasa terima kasihku secara langsung.
“Baik, nanti ibu baca.”
Kaede-san tampak sangat senang dengan hadiah mendadak dariku.
Kalau ingin berkata… sekaranglah saatnya.
“Jadi, umm… bilang begini rasanya memalukan, tapi…”
Aku memuat semua penyesalan dari kehidupan sebelumnya, lalu menyampaikan seluruh perasaanku. Hatiku rasanya ingin berteriak. Aku hanya perlu menyampaikan semuanya.
“Mulai hari ini… apa aku boleh memanggil Kaede-san… Ibu?”
Kalimatnya sederhana, tapi selama ini aku selalu gagal mengucapkannya.
Akhirnya, aku bisa. Meski terbata-bata dan canggung, aku berhasil menyampaikannya.
Kaede-san sempat terpaku, lalu menutup mata yang mulai basah, dan perlahan mengangguk.
Setelah itu, ia memanggilku, “Tentu saja, Michitaka.”
“Terima kasih… kalau begitu, aku mandi dulu.”
Ucapku sambil berdiri dan pergi. Melihat air mata Kaede-san terasa sedikit berat bagi seorang anak. Lagi pula, rasa terima kasihku sudah kutuliskan dalam surat.
Aku menangis diam-diam di kamar mandi.
***
—Sudut pandang Misato—
Setelah menyelesaikan PR, aku hendak turun ke ruang keluarga untuk minum teh, tapi dari dalam aku mendengar suara ibu dan kakak. Aku berhenti dan mendengarkan.
Sepertinya kakak memberikan hadiah Hari Ibu lebih awal. Ih, curang! Kenapa tidak mengajakku juga?
Biasanya kami memilih hadiah bersama. Tapi, setelah mendengar kalimat berikutnya, aku langsung mengerti.
“Mulai hari ini… apa aku boleh memanggil Kaede-san… Ibu?”
Saat mendengar itu, aku hampir menangis.
Ibu dan kakak—meskipun aku yang anak kandung—terlihat sangat menyayangi satu sama lain.
Tapi hanya fakta bahwa mereka tidak memiliki hubungan darah yang selalu menjadi bayang-bayang, seolah menghalangi langkah terakhir itu.
Karena itu, aku sangat bahagia kakak telah berani melangkah. Karena… mereka benar-benar ibu dan anak.
“Tentu saja, Michitaka.”
Suara ibu terdengar bergetar.
Aku tidak bisa menahan air mataku.
“Senangnya… Kakak… Ibu…”
Chapter 34 – Surat
—Surat dari Michitaka—
Kepada Kaede-san,
Terima kasih untuk segalanya.
Menulis surat seperti ini rasanya memalukan, tapi mungkin ada hal-hal yang tak bisa kusampaikan dengan kata-kata langsung, jadi aku menuliskannya dalam bentuk surat.
Maaf karena tiba-tiba memberikan surat ucapan terima kasih seperti ini. Sebenarnya mungkin aku bisa menunggu sampai Hari Ibu, tapi aku tidak bisa menunggu. Meskipun terdengar tidak masuk akal, aku takut jika suatu saat, salah satu dari kita mengalami kecelakaan mendadak dan aku tidak bisa menyampaikan perasaanku yang sebenarnya.
Kalau sampai itu terjadi, aku akan menyesal seumur hidup.
Karena itulah, aku ingin menyampaikannya sekarang dalam bentuk yang jelas.
Kaede-san membesarkanku seperti anak kandung sendiri. Aku selalu merasa bahagia. Saat ayah meninggal karena kecelakaan, aku sempat takut akan masa depanku, tapi Kaede-san selalu memberiku kasih sayang yang tak pernah berubah. Karena itu, aku sangat menyayangimu.
Kaede-san selalu memikirkan ibu yang melahirkanku, dan sejak aku kecil, kamu terus memintaku untuk memanggilmu dengan nama. Itu adalah hal yang sangat berarti bagiku. Ibu di surga pasti juga senang, benar-benar senang. Lagipula, kamu sudah membesarkanku sampai sejauh ini—aku yakin baik ibuku maupun ayah tidak akan bisa berkata apa-apa selain berterima kasih. Aku juga begitu.
Tapi, sebenarnya… aku selalu menganggapmu sebagai ibuku. Berkali-kali aku berharap kita benar-benar memiliki hubungan darah sebagai ibu dan anak.
Karena… begitulah. Kamu mencintaiku sedalam itu.
Aku benar-benar ingin memanggilmu “Ibu”.
Kaede-san selalu mengatakan bahwa kamu hanyalah ibu tiri, tapi bagiku, kamu adalah ibu yang baik dan penuh kasih.
Sebenarnya… aku tahu. Bahwa uang warisan dan asuransi ayah disimpan untuk biaya pendidikan kami. Kamu menabung, hampir tidak menyentuh uang itu.
Sekarang aku sudah SMA, dan aku sedikit mengerti keadaan. Meski mungkin terdengar sok dewasa, tapi… aku sungguh sangat menghormatimu karena bekerja keras sendirian demi keluarga.
Aku juga sudah bisa sedikit memasak, jadi aku akan terus membantumu. Tolong luangkan waktu untuk dirimu sendiri dan beristirahatlah. Jika ibu sampai sakit atau terluka, akulah yang paling sedih, begitu juga Misato. Jadi tolong jangan memaksakan diri.
Aku dan Misato sangat beruntung bisa menjadi keluarga bagi seseorang yang baik dan penuh kasih sepertimu.
Mulai hari ini, aku akan memberanikan diri memanggilmu “Ibu”.
Kalau Ibu juga bisa memanggilku tanpa embel-embel kehormatan, aku akan sangat senang.
Untuk ibu tercinta—
Dari Michitaka
Chapter 35 – Pria Selingkuh yang Mendekati Kehancuran & Dua Ibu
—Garis Dunia β(beta)・Sudut Pandang Pria Selingkuhan—
Sial… kenapa aku bisa ditangkap polisi?
Akhirnya, rekaman kamera pengawas dan kesaksian orang-orang sekitar membuktikan bahwa aku mencoba mencari gara-gara dengan Yaguchi dan hendak menyerangnya, tapi justru malah berbalik dihajar. Meski begitu, aku tetap tak menyerah dan terus membela diriku.
“Aku cuma ingin menakut-nakuti, kan sudah kalian lihat? Dialah yang menyerang lebih dulu. Aku hanya memegang kerah bajunya, aku tidak melakukan apa pun!”
Aku memukul meja sambil bersikeras, tapi para polisi hanya menanggapi dengan senyum kecut.
“Dengar ya, kamu tahu kan apa itu pembelaan diri?”
Nada meremehkan itu membuatku semakin kesal.
“Tentu saja aku tahu! Tapi aku tidak menyerang! Yaguchi-lah yang memukul lebih dulu! Makanya aku bilang mau melaporkannya!”
“Tenang dulu. Begitu kamu memegang kerah orang, itu sudah termasuk serangan, paham? Artinya, dari sudut pandang hukum, kamu yang menyerang lebih dulu, Hongo-kun!”
“Tidak! Hukum itu salah! Panggilkan pengacara ayahku!”
Kalau ayah yang turun tangan, semuanya pasti beres. Bahkan, kalau dia tahu putranya dipukul, dia pasti akan marah besar.
“Tidak peduli seberapa hebat pengacaranya, dasar hukum tetap tidak bisa diubah. Bagaimanapun, kasus ini tidak bisa dianggap sebagai serangan sepihak. Kalaupun masalah ini mencuat, justru kamu yang akan dirugikan. Orang tuamu juga akan ikut kena imbas. Untungnya, Yaguchi-kun—si korban—belum mengajukan laporan. Kalian saling kenal, kan? Lebih baik kamu minta maaf. Kalau memperkeruh masalah, posisi kamu yang akan benar-benar gawat.”
Apa-apaan polisi muda ini⁉
Dia tidak tahu siapa aku. Itulah sebab nya aku benci orang bodoh yang tidak tahu dunia. Dengan uang dan kekuasaan ayah, aku bisa membuat hitam jadi putih!
“Diam kau!”
Para polisi hanya mengelus kepala seolah putus asa. Seakan-akan aku yang salah.
“Hongo, ayahmu sudah datang.”
Ayah yang sibuk pun sampai datang!? Berarti dia sangat mengkhawatirkanku.
“Saya mohon maaf karena anak bodoh saya menimbulkan masalah.”
Begitu masuk, ayah langsung membungkuk dalam-dalam. Kenapa!? Aku tidak salah‼
“Lain kali, tolong berhati-hati.”
“Tidak! Aku korban—”
“Kamu diam‼ Aku akan menegurnya dengan keras.”
Berbeda dari biasanya, ayah hanya terus meminta maaf. Aku tak pernah ingin melihat ayah seperti ini. Kenapa jadi begini…
Aku lalu dibawa keluar kantor polisi oleh ayah…
—Sudut Pandang Kaede—
Seperti biasa, aku menceritakan kejadian hari ini kepada keduanya.
“Hari ini, Michitaka pergi berkencan dengan Rika-chan. Mereka sering pergi bersama, tapi kalau benar-benar ‘kencan’, pasti gugup ya. Sepertinya mereka jalan-jalan dan berbelanja di depan stasiun. Hari ini, Michitaka bahkan membuat bekal, lalu membelikan aku hadiah—hadiah Hari Ibu.”
Lalu, setelah menguatkan hati, aku menyampaikannya pada sahabatku dan suamiku tercinta.
“Lalu, Michitaka bilang… kalau dia ingin memanggilku ‘Ibu’. Ne, Michiru… bolehkah aku menjaga putramu yang berharga ini?”
Aku berdoa dalam hati.
Saat itu aku baru sadar—cokelat dari toko kesukaan Michiru dan sepucuk surat diletakkan di altar. Padahal kemarin belum ada. Itu pasti hadiah dari putranya. Ia benar-benar memikirkan Michiru juga. Dia sudah tumbuh dewasa… menjadi anak yang luar biasa.
Aku mengenalnya sejak ia lahir. Saat ia masih bayi, aku sering menggendongnya. Setelah bisa bicara, ia selalu memanggilku “Kaede-san” dan sangat manja.
Saat Michiru jatuh sakit dan meninggal, ketika kupeluk, anak itu langsung berhenti menangis.
“Kaede-san seperti Ibu.”
Saat pemakaman, tubuh kecil itu memelukku sambil gemetar. Saat itu aku memutuskan untuk menjaganya hingga ia dewasa.
Tidak pernah kubayangkan bahwa aku benar-benar akan menjadi ibu tirinya.
“Michiru, putra kita tumbuh menjadi anak yang sangat baik dan lembut. Demi dirimu, aku akan berusaha sebaik mungkin. Tolong jaga Michitaka dari sana.”
Tidak ada jawaban. Namun, aku yakin sahabatku akan mengangguk tegas.
Setelah itu, waktu hangat mengalir dalam keluarga kecil kami.
Chapter 36 – Pria Selingkuh yang Dimarahi
—Sudut Pandang Pria Selingkuh—
Aku dipaksa ayah masuk ke dalam mobil dan dibawa pergi.
Saat aku mencoba bertanya, ayah sama sekali tidak menjawab. Belum pernah aku melihatnya seperti ini. Dia memang ayah yang keras, tapi selalu sibuk dan tak pernah benar-benar peduli padaku.
“Kenapa sih, Ayah?”
Begitu mobil mulai bergerak, aku kembali bertanya.
“Kenapa, kau bilang⁉ Di masa sepenting ini kau malah ribut di depan stasiun, mempermalukan dirimu sendiri, dan tidak mengerti apa yang sudah kau lakukan⁉ Dasar bodoh tak tahu diri‼”
Bentakan keras itu membuat hawa dingin menjalar di punggungku.
“Kenapa Ayah tahu detailnya⁉”
Polisi? Apa polisi membocorkan semuanya? Tak bisa dimaafkan‼
“Kasus penganiayaanmu sudah tersebar di internet. Nih, lihat.”
Ayah menyerahkan tablet. Di dalamnya terlihat rekaman kegagalanku.
Judul videonya: “Pemuda berandalan menantang pasangan cantik-tampan berkelahi, tapi berakhir dipermalukan.”
Isinya menunjukkan bagaimana aku dengan bangga merebut pacar Yaguchi, lalu mencekik kerah bajunya dan hendak memukulnya—namun malah dipukul balik di dagu dan terjungkal tak berdaya. Bahkan saat aku dibawa polisi, rekaman memperlihatkan aku masih berteriak bahwa akulah korban.
“Ini kan video ilegal‼ direkam diam-diam‼”
Aku menggebrak jok dengan marah. Sungguh kurang ajar!
“Iya. Tapi itu tetap kenyataan. Sudah tersebar luas, kita tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tinggal menunggu waktu sampai identitasmu terungkap.”
“Kenapa!? Ayah bisa menyelesaikan ini pakai kekuasaan kan!? Tolong aku!”
Ayah menghela napas panjang, mencengkeram kerahku dan menatap tajam.
“Kau sudah SMA tapi tidak bisa membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan⁉ Dengarkan. Sekuat apa pun kekuasaanmu, fakta yang sudah tersebar di SNS tidak bisa dihapus. Wajahmu jelas terlihat. Kau bahkan memakai seragam sekolah. Itu sama saja meminta orang untuk mengidentifikasi dirimu!”
Aku tak mengerti. Kenapa aku dimarahi begini? Aku istimewa. Seharusnya kalau aku menginjak Yaguchi habis-habisan hidupku jadi cerah kembali.
“Aku harus bagaimana!?”
Aku memohon, tetapi ayah malah menatapku dengan dingin, seolah aku sudah tidak berguna.
“Diam. Ikuti apa yang kukatakan. Kalau kubilang kau harus berlutut, lakukan. Kalau kubilang kau harus menangis dan minta maaf, lakukan.”
Kenapa aku harus melakukan hal sehinanya itu?
Wajahku memucat, darah terasa dingin mengalir. Ayah benar-benar serius.
“Oi, panggil pengacara Sawada. Aku perlu mengatur tindak lanjut.”
“Baik,” kata sopir, lalu segera menghubungi lewat radio.
“Pertama, kau harus meminta maaf pada pihak lawan. Kalau perlu, bayar uang ganti rugi. Selama mereka memaafkan lebih cepat, kerusakan bisa diminimalkan. Untungnya, pihak lain tidak terluka. Itu satu-satunya hal yang masih bisa disyukuri.”
Ayah terus berbicara, tidak lagi memedulikanku.
Aku takut. Aku benar-benar takut. Apa yang akan terjadi padaku?
Seperti aku akan tersingkir dari perebutan posisi pewaris keluarga. Tapi aku tidak berani menanyakannya sekarang… tentang masa depanku…
Tapi—aku pasti masih berguna bagi ayah. Aku diperlukan untuk menjaga status sosial keluarga. Kalau aku tak meminta maaf, skandal ini akan makin besar.
Ya, dalam kehidupan sebelumnya pun kasus seperti ini sering terjadi.
Saat pelaku mencoba menutupi kesalahan, justru makin terbakar. Jadi kalau aku minta maaf dengan benar, mungkin masih bisa terselamatkan…
Tapi kenapa seakan aku justru kalah dari Yaguchi? Harga diriku terus tercabik.
Belum berakhir. Masih bisa bangkit dalam perebutan pewaris. Aku harus percaya itu.
Di dalam mobil, aku hanya bisa gemetar tanpa suara.
Chapter 37 — Keluarga Bahagia Michitaka & Keluarga Tak Bahagia Pria Selingkuh
Keesokan harinya setelah banyak hal terjadi.
Kencan kemarin sangat menyenangkan. Aku juga berhasil menyampaikan perasaanku pada Kaede-san dengan baik. Dengan ini, hidup keduaku pasti akan berjalan semakin lancar.
Tentu saja, aku harus tetap memperhatikan gejala penyakit keduanya. Aku harus membuat makanan Kaede-san sedikit rendah garam dan memastikan kesehatannya terjaga. Untuk Rika, setelah dia masuk universitas, dia harus menjalani pemeriksaan rutin. Tapi alasan apa yang harus kupakai nanti?
Kalau terlalu memaksa, pasti mencurigakan. Tidak mudah meminta gadis muda menjalani tes kanker berkali-kali.
Kalau begitu… mungkin lebih baik langsung saja jujur bahwa ini adalah hidup keduaku. Biasanya tidak ada yang akan percaya, tapi Rika mungkin…
Masih banyak waktu, jadi harus kupikirkan pelan-pelan.
“Michitaka, terima kasih untuk hari ini juga.”
Saat aku sedang menyiapkan sarapan, Kaede-san bangun.
“Selamat pagi, Ibu.”
Kami mencoba memanggil satu sama lain dengan sebutan yang belum terbiasa ini. Rasanya agak canggung, tapi ini adalah momen saat mimpiku menjadi nyata.
Menu sarapan hari ini: pancake, telur mata sapi setengah matang, asparagus, dan bacon.
Cukup susun asparagus dan bacon lalu telur di atas pancake—maka jadilah hidangan ala kafe yang sederhana namun enak. Misato pasti juga akan menyukainya.
“Wah, sarapan-nya stylish bangat. Hebat, ya. Benar-benar anakku!”
Mendengar dia berkata begitu membuatku hampir menangis bahagia.
“Akhir-akhir ini aku belajar dari buku resep.”
“Mmungkin cita-citamu ingin buka kafe di masa depan?”
Kami bercanda kecil. Aku merasa jarak di antara kami semakin dekat daripada biasanya.
Setelah menambahkan mayones dan lada hitam, hidangan pun siap.
“Michitaka, hari ini mau apa?”
“Tidak ada rencana khusus. Tapi aku mau mempersiapkan kegiatan klub.”
“Oh, soal klub komputer itu ya.”
“Iya. Siang nanti kami akan rapat lewat internet. Kami berencana ikut turnamen game.”
“Hebat ya, anak-anak zaman sekarang! Kalau begitu, makan siang nanti biar aku yang buat. Akhir-akhir ini kamu terus yang masak.”
“Boleh?”
“Tentu saja. Lagipula, selain nonton drama yang tertunda, aku tidak ada rencana. Kamu ingin makan apa?”
Kesempatan untuk merasakan kembali masakan ibu. Aku menyukai semua masakan Kaede-san, tapi ada satu yang ingin sekali kumakan.
“Mau yakisoba.”
“Hanya itu? Simpel sekali.”
“Iya, aku sangat ingin memakannya.”
Yakisoba Kaede-san bukan rasa saus, tapi rasa kecap ala Tiongkok. Dia punya resep saus rahasia, dan rasanya tidak bisa kureplikasi.
“Baik, akan kubuat banyak.”
“Terima kasih!”
Yakisoba penuh sayuran panas-panas itu adalah masakan penuh kenangan. Bersama nasi goreng, itu hidangan khas keluarga saat akhir pekan.
Kuhidangkan juga teh agar terasa seperti hidangan kafe.
“Selamat pagi!! Wah, apa ini!? Kelihatan super stylish! Kakak, apa kamu lagi coba menarik perhatian cewek? Pengen dipuji Rika-chan ya?”
Akhirnya Misato turun. Waktunya sarapan bersama.
“Berisik. Kalau ngomong aneh, tidak kuberi makan.”
Saat aku pura-pura membereskan piringnya, Misato hampir menangis.
“Maaf, maaf! Jangan bercanda! Aku mau makan, kelihatan enak banget!”
Tentu saja kami hanya bercanda. Misato adalah adik imut yang sangat berharga, dalam hidup sebelumnya juga. Aku bukan saudara jahat yang sampai menolak memberi makan hanya karena digoda.
“Bercanda kok. Nih, makan!”
“Yay! Kakak terbaik! Eh, pancake ini ternyata tidak manis ya?”
“Iya. Karena ini bukan dessert. Rasanya ringan—semacam crepe dengan tuna mayo atau ham-keju. Sebenarnya adonan pancake bisa dipakai buat crepe juga, bedanya hanya lebih tebal.”
Sambil menikmati pagi hari yang bahagia, hari Minggu pun berlalu.
***
— Sudut Pandang Pria Selingkuh —
Aku diperintahkan untuk tidak keluar rumah hari Minggu ini. Ayah ingin menjaga komunikasi dengan keluarga Yaguchi, jadi ia bekerja tanpa libur untuk mencari solusi.
Aku, merasa tidak berguna, terus bersembunyi di kamar. Ibu datang membawakan makanan, tapi aku bahkan tidak menyentuhnya.
“Kesal… kesal… menyebalkan!!”
Aku teringat seseorang—orang yang di kehidupan sebelumnya merebut posisiku sebagai pewaris. Si bangsat munafik itu harus disingkirkan. Kalau tidak, hidupku akan semakin hancur.
Chapter 38 — Menikmati Masa Remaja di Kehidupan Kedua & Si Tukang Selingkuh…
Aku mempersiapkan semuanya dengan komputer. Di rumah Rika, pengaturan komputernya belum selesai, jadi hari ini dia datang ke rumahku untuk bekerja bersama. Aku senang karena kami bisa menghabiskan waktu bersama baik Sabtu maupun Minggu. Untuk makan siang, ibuku juga sudah menyiapkan porsi untuk Rika.
Aku sudah bertukar ID Skype dengan ketua klub, jadi kami bisa menggunakannya untuk bekerja.
Rika akan menulis jalan cerita, dan aku yang akan mengetikkannya. Bagian yang membutuhkan skrip tingkat tinggi akan diserahkan pada ketua. Dengan begitu, pekerjaan seharusnya bisa berjalan lancar.
Tapi, kami masih butuh satu anggota lagi. Untuk sementara, aku meminta Katsuya ikut rangkap anggota, dan sekarang dia sedang membuat musik game. Setelah cerita selesai sampai tahap tertentu, kami berencana memintanya memainkan gamenya lalu membuat musiknya. Meski kelihatannya tidak begitu meyakinkan, dia juga bisa membuat musik menggunakan komputer.
Karena nanti dia akan mengirimkan datanya supaya mudah diimpor, itu cukup membantu.
Kalau seperti ini, meski rangkap club, kegiatan klubnya tetap tercatat, jadi seharusnya pihak OSIS tidak akan protes… tapi masalahnya adalah mencari satu orang lagi. Meminta teman-temanku atau teman Rika untuk sekadar terdaftar mungkin bisa dilakukan, tapi kalau kemudian diketahui bahwa orang itu tidak berkontribusi apa-apa, itu bisa merepotkan. Kalau sampai diminta mengembalikan uang kas klub, itu akan jadi masalah besar.
Kalau bisa, aku ingin orang yang bisa membantu Rika. Pada masa ini, Katsuya belum menulis novel atau skenario, dan dia fokus pada musik. Memaksanya menulis pun belum tentu menghasilkan sesuatu yang bagus.
Tapi aku tak bisa menghentikan klub yang baru saja mulai bergerak. Aku harus mencari satu orang lagi entah bagaimana caranya. Ketua tidak terlalu pandai dalam hal ini, dan Rika punya banyak teman perempuan, jadi mencari gadis yang tertarik komputer mungkin akan sulit.
Akhirnya, akulah yang harus bergerak. Karena ini adalah cerita yang aku mulai, setelah semuanya.
“Michitaka, makan siang!”
Saat aku sibuk menyiapkan, ternyata waktu sudah siang.
Saat aku turun ke lantai satu, aroma lezat kecap yang terbakar memenuhi ruang. Sepertinya Rika sudah datang dan sedang bermain-main dengan Misato.
“Selamat pagi, senpai!!”
“Oh, pagi. Kalau sudah datang, naik saja ke atas.”
“Soalnya aku takut ganggu. Lagi pula, aku juga sedang ngobrol sama Misato-chan.”
“Benar, laki-laki tidak boleh ikut dalam obrolan perempuan!!”
Melihat adikku yang nyengir dan wajah Rika yang memerah, aku merasa firasat buruk.
***
“Enak sekali, Yakisoba bibi.”
“Syukurlah. Aku juga suka rasa gurih seafood-nya.”
Sambil bercakap begitu, waktu pun berlalu.
Setelah makan siang, kami menelepon ketua di kamar dan mulai rapat.
“Te-terima kasih untuk hari ini…”
Seperti biasa, ketua terdengar gugup.
“Ketua, santai saja. Tarik napas dulu.”
Saat aku tersenyum kecut, ketua benar-benar mengambil napas panjang.
“Kalau begitu, Rika, jelaskan dulu ringkasan cerita yang kamu buat.”
Aku mengatur posisi kamera agar catatan Rika terlihat jelas.
“Aku membuat cerita tentang ‘pelarian × death game’. Para tokoh utama tiba-tiba terbangun dan menemukan diri mereka terkunci di ruangan asing. Mereka bekerja sama atau saling bermusuhan demi melarikan diri dari tempat itu.”
Memang, pada masa ini game pelarian sedang populer, dan tema death game juga sedang menuju masa kejayaan. Dengan death game, kami bisa membuat plot twist besar di akhir dan memberi kejutan pada pemain.
Kami mengangguk.
“Lalu, seiring permainan berjalan, terungkap bahwa semua peserta memiliki kesamaan: mereka semua adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu kejadian. Sedikit demi sedikit mereka menyadari dosa mereka sendiri. Aku ingin membuatnya penuh unsur misteri.”
“Kedengarannya menarik. Seperti novel beneran!!”
“Benar juga, ini mengikuti tren terbaru. Seperti yang diharapkan dari Rika!!”
Kami memuji dia bergantian.
Benar juga, ada novel yang kusukai dan bisa jadi referensi. Saat aku mencoba mengambilnya dari rak, wajahku tak sengaja terlalu dekat dengan Rika karena kami mencoba menampilkannya ke kamera—hampir berdekatan.
Mungkin karena terkejut, tubuh kami tersentak dan lenganku menyentuh lembut dadanya.
Kelembutannya mengejutkanku.
“Ah.”
Wajah kami berdua memerah. Terlalu dekat. Nyaris saja kami berciuman.
“Maaf, aku ambil dulu novel yang bisa dijadikan referensi.”
“Ba-baik.”
Rasanya… aku benar-benar sedang mengalami masa remaja…
***
—Sudut Pandang Pria Selingkuh—
Kenapa Miyabi tidak mengangkat telepon. Sial, sial, sial.
Tapi untungnya kami di sekolah yang sama.
Di kehidupan sebelumnya, dia dengan sombong mengusirku dan merebut posisiku sebagai penerus. Kali ini, aku akan memberinya hukuman setimpal. Aku sudah mengirim pesan untuk memanggilnya besok ke ruang kelas kosong.
Chapter 39 — Michitaka vs Si Tukang Selingkuh, Babak ke-2
Keesokan harinya.
Pekerjaan klub kemarin berjalan sangat lancar. Garis besar cerita yang sudah disusun Rika sangat menarik, dan juga bisa dibuat menuju bad ending, jadi tidak terasa seperti cerita satu jalur saja. Semua orang merasa puas saat menyelesaikan pekerjaan.
Karena bisa menghabiskan akhir pekan dengan penuh, Rika terlihat senang. Ia tersenyum sambil berkata, “Rasanya senang sekali saat cerita yang kubuat dipuji.”
Saat jam istirahat siang, aku hendak makan bekal, tapi Katsuya datang dengan wajah serius.
“Hey, Michitaka. Ada yang ingin kusampaikan dan kupikirkan.”
Karena aku selalu banyak dibantu olehnya, aku berniat mendengarnya apa pun itu.
“Ada apa? Bilang saja.”
Saat kujawab begitu, ia tersenyum lega.
“Sebenarnya, kemarin aku dipanggil oleh Hongo-senpai… aku harus pergi ke belakang gedung olahraga saat istirahat siang.”
Lagi-lagi dia… Baunya saja sudah tidak enak dan jelas berbahaya.
“Kau melakukan sesuatu?”
“Tidak ingat apa-apa.”
Begitulah. Aku pun tidak tahu alasan pria itu bertindak seperti itu. Kenapa orang dengan status sosial setinggi itu selalu bertingkah berbahaya? Ia meninggalkan bukti perselingkuhan, dan kemarin dia bahkan memukul orang di depan stasiun, tempat yang mudah dilihat. Kalau itu tersebar, hidupnya pasti berakhir. Dia anak orang kaya, tapi kalau tak mengerti hal seperti itu, dia tidak akan mampu menjalankan perusahaan besar.
“Begitu ya. Kalau begitu, mungkin cuma marah-marah tanpa alasan atau cari-cari kesalahan. Bagaimana kalau kau abaikan saja?”
“Aku kepikiran itu, tapi aku takut diserang diam-diam nanti.”
Benar juga, pria itu bisa saja melakukannya. Hukuman bagi dia hanya akan makin berat.
“Kalau begitu, baiklah. Aku ikut denganmu.”
Kalau kami berdua, mungkin aman. Dia sudah kalah dariku dan hampir ditangkap polisi, jadi dia tak akan bisa bertindak macam-macam lagi.
“Serius…?”
Katsuya bertanya dengan wajah pucat.
“Jelas saja. Siapa pun yang berani menyakiti sahabatku, aku tidak akan memaafkannya.”
Aku dan Katsuya sudah melewati hal yang jauh lebih parah di kehidupan sebelumnya. Dibanding itu, menghadapi anak orang kaya macam dia tidak ada apa-apanya.
“Sahabat sejati~”
“Kau itu Giant, ya?”
Kami tertawa. Padahal sebentar lagi kami akan menghadapi seseorang yang seperti gabungan Giant dan Suneo.
***
Saat kami tiba di belakang gedung olahraga, terdengar suara teredam.
Ada juga suara seperti pukulan.
Seseorang tampaknya sudah dipukuli. Aku dan Katsuya saling berpandangan.
Dari balik bayangan, kami mengintip.
Pria itu sedang memukuli seorang laki-laki kurus.
“Karena kau, hidupku hancur… mati! Mati saja di sini! Aku tidak mengakui kau sebagai adikku!!”
Korban yang berkacamata itu meringkuk sambil berusaha melindungi tubuhnya—situasinya sangat berbahaya. Dia melakukan kekerasan pada adik kandungnya!? Di tempat umum!! Aku kaget, tapi segera mulai merekam dengan ponsel. Bagus. Aku juga mengaktifkan perekam suara yang kusimpan di dadaku.
“Katsuya, keadaannya jauh lebih berbahaya dari yang kubayangkan. Cepat panggil guru.”
“Baik!! Lalu bagaimana denganmu, Michitaka?”
“Aku akan menolong dia. Kalau dibiarkan, nyawanya terancam.”
“Jangan memaksakan diri, Michitaka.”
“Tentu saja tidak, partner.”
Katsuya berlari ke ruang guru.
Aku sengaja membuat langkah kaki terdengar jelas, lalu muncul di depan mereka.
“Tsk, jangan ganggu. Lagi-lagi kau. Yaguchi Michitaka!!”
Ia memandangku dengan penuh amarah, seperti hendak melahapku. Jijik sekali, seperti biasa.
“Senpai, apa yang Anda lakukan? Jadi karena ini di belakang sekolah, tidak akan tersebar di SNS, jadi Anda pikir bebas memukuli siapa pun?”
Kalau benar begitu, dia benar-benar gila.
“Kau masih belagu ya. Baiklah, aku akan membalas hutangku waktu itu.”
Seperti anjing gila, ia menyerangku dengan kecepatan tinggi.
Dia mengincar ulu hatiku. Oh, jadi dia memilih lokasi yang tidak meninggalkan bekas. Bahkan saat seperti ini, licik sekali.
Aku membiarkannya memukulku tanpa menghindar.
“AAARGH, sakit! Tanganku patah!!”
Namun justru dia yang menjerit duluan.
Aku menunjukkan balok beton tipis yang tadi sudah kusembunyikan di bawah bajuku.
Kalau dia mengincar wajahku seperti sebelumnya, aku berencana membalas dengan teknik bela diri yang sama—mengenai dagunya.
Tapi karena guru akan datang, aku ingin menghindari tindak kekerasan agar tidak meninggalkan fakta bahwa aku memukul. Maka aku memasang jebakan. Karena terakhir dia gagal memukul wajahku, secara refleks dia mengincar titik penting lain. Padahal perutku terlihat sedikit menonjol secara tidak wajar. Dia pasti sudah kehilangan kontrol karena marah.
Ini menunjukkan betapa dia hanya berani mengganggu yang lemah.
“Sakit! Sakit! Berdarah!!”
Dia meronta-ronta seperti serangga kesakitan. Sekalian, aku sudah mengamankan bukti. Bukti kedua.
Aku meletakkan balok itu jauh dari jangkauannya, lalu bergegas ke siswa kurus yang dipukuli tadi.
“Kau baik-baik saja?”
Saat tahu bahwa aku datang untuk menolong, dia hampir menangis. Pasti sangat menakutkan baginya. Kasihan. Kita harus segera memeriksa lukanya. Bisa saja ada cedera pada otaknya, jadi sebaiknya tidak banyak digerakkan.
Tidak lama kemudian, Katsuya datang bersama beberapa guru dan dokter sekolah, bahkan membawa tandu.
“Eh, Michitaka… jangan-jangan, kau yang menjatuhkannya?”
Katsuya menatapku dengan mata terbelalak.
Para guru pun terkejut melihat pria yang seharusnya menjadi pelaku kekerasan justru tergeletak di tanah sambil menangis kesakitan.
Kalau dilihat sepintas, seolah-olah aku yang memukul keduanya. Untung aku sudah menyiapkan bukti. Aku merasa lega dan ikut membantu membawa korban.
Chapter 40 — Pihak Sekolah Turun Tangan
Setelah siswa yang menjadi korban penganiayaan selesai dibawa ke rumah sakit, kami dipanggil oleh seorang guru dan mulai menjelaskan apa yang telah terjadi.
Wali kelas kami, Ayase-sensei, bahkan datang langsung. Beliau adalah guru wanita yang mengajar Bahasa Jepang, usianya seharusnya hampir 30 tahun. Menurut ingatan hidup pertamaku, beliau punya tunangan dan seharusnya akan menikah sekitar akhir tahun ini.
“Jadi, apa yang terjadi, Takahashi-kun, Yaguchi-kun?”
Beliau menatap kami berdua dengan cemas. Rasanya agak aneh mendengar Katsuyas dipanggil dengan nama keluarganya, tapi mau bagaimana lagi. Ayase-sensei adalah sosok guru yang cantik, lembut, dan menenangkan, jadi sangat mudah untuk berbicara dengannya. Kami pun menceritakan semua yang terjadi.
“Begitu ya. Jadi, Takahashi-kun dipanggil oleh Hongo-kun tanpa alasan yang jelas, dan karena Yaguchi-kun sudah mendengar reputasi buruk Hongo, kamu ikut untuk memastikan keselamatannya. Saat tiba, penganiayaan sudah terjadi. Lalu Takahashi-kun pergi memanggil guru, sementara Yaguchi-kun menyelamatkan korban dengan mengambil pecahan beton yang jatuh dan menyelipkannya ke dalam baju sebagai perlindungan, kemudian mencoba menolong korban.”
Guru itu mendengarkan cerita kami dengan saksama. Beliau juga pandai merangkum.
“Ini foto buktinya.”
Aku menunjukkan ponselku. Foto itu memperlihatkan dengan jelas bagaimana pria tersebut memukuli dan menendang seorang siswa laki-laki.
“Ini parah sekali...”
Sensei mengerutkan alis-nya.
“Selain itu, sebenarnya hari Sabtu lalu aku juga sempat dihampiri Hongo-senpai, dia mencari gara-gara dan hampir memukulku di depan stasiun. Kebetulan aku merekam suaranya. Karena itu, aku pikir dia menyimpan dendam dan menyasar temanku.”
Selain itu, data audio itu sudah kukirim ke komputer rumah. Kalau pihak sekolah sampai mencoba menutup-nutupi masalah ini, menyerahkan data tanpa salinan bisa berbahaya.
Akhirnya, setelah audio berdurasi beberapa menit itu diputar, selain aku, dua orang lainnya terlihat benar-benar terkejut.
“Yaguchi-kun, bisakah kamu kirim data audio ini ke alamat email sekolah?”
“Bisa, tentu.”
“Terima kasih. Ini tindakan kriminal yang serius, jadi harus dibagikan di seluruh sekolah.”
Guru itu berkata begitu sambil tersenyum tegas.
Katsuya, yang dari tadi diam, bertanya dengan wajah serius:
“Tapi, Ayase-sensei… apa ini tidak apa-apa? Aku dengar Hongo-senpai itu putra dari keluarga konglomerat besar, dan keluarganya adalah donatur penting sekolah ini.”
Sepertinya Katsuya juga khawatir sekolah akan menutup-nutupi kasus ini. Wajar saja. Kalau dia tidak ikut denganku, mungkin dia sendiri sudah jadi korban.
Ayase-sensei terlihat bingung, lalu sedikit tertegun, kemudian tertawa kecil dan melambaikan tangan.
“Kalian sedang bicara apa sih?”
“Eh!?” Kami berdua bersuara bersamaan.
“Memang di drama sering ada cerita seperti itu. Tapi ini dunia nyata. Dengan bukti sebanyak ini dan adanya korban luka, tidak ada yang bisa membela dia. Dan sekolah juga tidak boleh membelanya. Selain itu, walaupun aku berkata begini sebagai guru, Hongo-kun bukan orang istimewa. Kurasa dia saja yang salah paham. Bagi kami, membiarkan ketidakadilan demi seseorang justru akan menimbulkan risiko besar bagi masyarakat dan para siswa di masa depan. Yang lebih penting adalah memberi hukuman yang seharusnya kepada pelaku agar para siswa tahu mana yang benar.”
Wali kelasku menyatakan itu dengan tegas.
Biasanya beliau tampak kalem, tapi saat ini terlihat sangat dapat diandalkan.
“Itu sebenarnya kata-kata yang kudapat dari para senior yang sangat kuhormati. Tapi ya, Yaguchi-kun…”
Ah, suasananya berubah. Aku mulai berkeringat dingin.
“Y-ya?”
“Kali ini syukurlah tidak terjadi apa-apa, tapi jangan terlalu memaksakan diri. Meskipun kamu segera memanggil guru, masuk ke lokasi kejadian dan dengan sengaja memancing pelaku untuk memukulmu itu tidak boleh. Kalau kamu sampai terluka, bagaimana jadinya!?”
Perkataan itu menancap tepat di hati orang bermental dewasa usia 40-an sepertiku. Perkataannya terlalu masuk akal sehingga aku tidak bisa membantah.
Saat aku hanya bisa mengecil karena malu, wakil kepala sekolah menyelamatkanku.
“U-um, Ayase-sensei… ayahnya Hongo-kun ingin meminta maaf kepada Yaguchi-kun dan yang lainnya…”
Chapter 41 — Ayah Si Tukang Selingkuh, Memegang Kepala
—Sudut pandang: Hongo Keisuke (Ayah si tukang selingkuh)—
Sepertinya satu-satunya tempat untuk bertemu dengan siswa bernama Yaguchi Michitaka adalah di sekolah. Datang ke rumahnya tanpa pemberitahuan hanya akan membuat mereka ketakutan.
Cepat atau lambat, pihak sekolah pasti akan mengetahui insiden ini. Karena itu, aku memutuskan untuk mengambil langkah terlebih dahulu. Aku mengaku terus terang kepada pihak sekolah tentang kejadian tersebut, lalu setelah jam pulang nanti, aku berencana meminta maaf kepada siswa bernama Yaguchi serta orang tuanya. Aku juga berniat memberikan uang ganti rugi. Dengan menunjukkan itikad baik, kemungkinan besar mereka tidak akan sampai membuat laporan polisi. Jika kedua belah pihak bisa menyelesaikannya secara kekeluargaan, hukuman dari sekolah pun mungkin tidak sampai pada tahap dikeluarkan. Skorsing sudah aku siapkan dalam pikiran.
Sebelum identitas putraku tersebar di internet, besok dalam konferensi rutin, aku akan menyampaikan permintaan maaf kepada media. Untuk skandal seperti ini, langkah terbaik adalah bergerak duluan dan mengungkap semuanya tanpa menutup-nutupi. Orang justru penasaran karena sesuatu ditutupi. Maka lebih baik tidak membuat rahasia sejak awal.
Itulah filosofi bisnisku, juga cara hidupku.
Satu lagi filosofiku dalam berbisnis adalah: jangan beri ampun kepada musuh perusahaan, tapi sebisa mungkin jangan menciptakan musuh. Saat musuh harus diciptakan, itu hanya karena dua hal — ketika strategi kita salah atau demi pertumbuhan perusahaan. Yang pertama adalah bahan evaluasi; yang kedua tidak bisa dihindari, dan mereka harus dihancurkan tanpa ampun.
Kepala sekolah yang menyambutku sudah mengetahui situasinya, dan sepakat untuk memanggil dua korban: Yaguchi Michitaka dan Takatsukasa Rika saat jam istirahat siang.
Karena aku jujur dari awal, sikap kepala sekolah pun melunak. Sisanya tinggal menundukkan kepala. Di usia ini, sudah sering aku menundukkan kepala meski tidak ingin. Tidak peduli orang yang kupetisi lebih muda dariku; jika dengan begitu aku bisa mencegah skandal besar di masa depan, lebih dari cukup.
Namun, meski sudah kutunggu, siswa yang kutuju tidak datang. Sebaliknya, suasana ruang guru justru menjadi ramai, sampai kepala sekolah sendiri harus turun tangan. Aku segera tahu, sesuatu yang besar telah terjadi.
Hari ini aku sudah mengambil cuti kerja sejak siang. Kalau begini, mungkin lebih baik aku datang lagi saat pulang sekolah. Jadwalku memang jadi berantakan, tapi tidak apa-apa selama keadaan membaik hari ini. Terburu-buru hanya akan melahirkan kesalahan.
Kepala sekolah kembali terburu-buru ke ruang tamu, tempat aku menunggu. Saat aku hendak membuka mulut…
“Pak Hongo, ini gawat sekali.”
Mendengar kalimat itu, firasat buruk langsung menyergapku.
***
Setelah mendengar rangkuman kejadian, perutku seperti dipilin dan ingin muntah. Kenapa bisa begini!?
Dia bahkan tidak bisa melakukan hal sesederhana menuruti perintah!
Ini adalah skenario terburuk. Belum sempat meminta maaf, dia malah menyerang korbannya lagi. Dan bahkan berusaha melukai anak itu juga…
Kenapa dia tahu tentang anak itu!?
Dia adalah anak dari wanita yang paling kucintai, yang karena berbagai kebetulan tragis tidak bisa bersamaku, lalu meninggal secara mengenaskan. Aku menitipkannya pada saudara yang bisa dipercaya agar ia tumbuh dengan baik dan tidak mengalami bahaya.
Dalam keadaan pucat, aku membuka pintu ruang UKS.
“Oh, Ayah. Ternyata Ayah datang buat bantu aku. Nih, lihat tanganku… masih sakit. Kayaknya tulangnya kena. Cepat bawa aku ke rumah sakit.”
Dia adalah putraku. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia lahir, aku ingin menyingkirkan seorang manusia atas kemauanku sendiri. Dia adalah monster yang akan menenggelamkan perusahaan ini. Jika dia tetap di sekitarku, bukan hanya aku, para karyawan pun mungkin akan ikut hancur.
“…”
“Ah! Ayah sampai tidak bisa berkata-kata karena marah ya? Itu semua salah Yaguchi. Dia menggunakan cara licik. Ayo cepat singkirkan dia ke laut atau gunung!”
Dari dalam diriku, kemarahan dingin merayap naik.
“Kamu lebih suka yang mana?”
Sepertinya dia menafsirkan ucapanku ke arah yang menguntungkan dirinya. Ia tersenyum. Jelas, aku telah gagal mendidiknya.
“Laut, tentunya.”
“Begitu ya. Hei, bawa si tolol ini ke laut sekarang juga.”
Aku memerintahkan sekretarisku dengan wajah serius. Dia terkejut, tak bisa bergerak. Wajar saja. Baiklah, nanti akan kulakukan sendiri. Dia masih harus bertanggung jawab sebagai pelaku, jadi untuk saat ini belum bisa benar-benar “dibungkam”.
Anak bodoh itu melongo, tidak paham apa yang terjadi.
“H-Hah?”
Lalu wajahnya berubah pucat, tubuhnya mulai gemetar.
“A-Ayah? Kok bercanda yang tidak lucu di saat seperti ini? Aku ini pewaris yang berharga—”
Apa yang dia bicarakan?
“Kemampuanmu dalam berbisnis tidak ada. Hari ini sudah jelas.”
Begitu kukatakan itu, wajahnya langsung hancur, membeku.
Langkah selanjutnya… Aku menutup wajah dengan tangan.
Chapter 42 — Permintaan Maaf Ayah Si Tukang Selingkuh
“Ini bohong, kan? Katakan ini bohong, Ayah.”
Si anak bodoh itu menangis meraung di atas ranjang. Tak kusangka ia bisa memperlihatkan tingkah sebegitu memalukan. Rasanya aku bahkan tak sudi lagi mengakuinya sebagai anak.
Setidaknya, membawanya untuk ikut meminta maaf sekarang sangatlah berbahaya. Namun, permintaan maaf harus dilakukan secepat mungkin.
Aku memutuskan akan menemui para korban sendirian.
Aku menyampaikan pada para guru bahwa aku ingin segera meminta maaf kepada korban.
Katanya, anak itu sudah dibawa ke rumah sakit. Meski hanya mengalami memar dan lecet, kesadarannya jelas. Pihak sekolah memutuskan untuk memeriksa Chapter kepala dan segera memanggil ambulans. Aku ingin segera menyusul ke sana, tetapi…
Kali ini tidak ada pilihan lain.
Aku menghubungi kakakku dan menjelaskan semuanya tanpa menyembunyikan apa pun, lalu memintanya pergi ke rumah sakit tempat anak itu dibawa.
“Siswa yang dibawa ke rumah sakit itu adalah keponakan saya, jadi saya sudah menghubungi kakak dan istrinya.”
Mendengar itu, kepala sekolah menjawab, “Begitu ya. Pak Horita, guru olahraga, menemani ke rumah sakit. Beliau pernah ikut kejuaraan nasional judo saat masih sekolah, jadi cukup berpengalaman dalam penanganan seperti ini.”
“Kenapa kalian hanya mengkhawatirkan dia!? Aku juga korban! Tulangku mungkin patah! Jadi, Ayah memang berniat menjadikannya pewaris, kan!? Bukan anak Ibu, tapi anak haram dari perempuan kotor itu!”
Mendengar kata-kata itu, aku merasa seakan hidupku sendiri dihina. Memang benar hubungan itu salah. Aku tahu betul. Ada rasa bersalah yang tak pernah hilang. Namun aku bekerja demi keluarga. Perusahaan berkembang besar, dan dia tumbuh tanpa kekurangan. Bahkan saat aku mati nanti, dialah yang akan mewarisi perusahaan.
Tanpa melakukan apa pun, sebenarnya dia sudah bisa menjadi penerus.
Aku memukul pipi kanannya keras-keras. Dia langsung terdiam. Karena rasa bersalah, aku tak pernah mendidiknya dengan benar. Itulah mengapa ia tumbuh menjadi monster seperti ini. Ini adalah kesalahanku.
Inilah pekerjaan terakhirku sebagai seorang ayah.
“Itulah jawabannya. Sudah mengerti?”
Aku berkata dingin lalu meninggalkan UKS. Si bodoh itu hanya bisa menangis tanpa mengatakan apa pun.
Aku dibawa ke ruang kelas kosong. Tiga siswa duduk di dalam. Jadi merekalah para korban.
“Kalian Yaguchi, Takahashi, dan Takatsukasa, ya? Saya Hongo Keisuke, ayah dari Hongo Kantarou. Karena kebodohan anak saya membuat kalian ketakutan, saya benar-benar minta maaf.”
Setelah memastikan nama mereka sesuai, aku melakukan permohonan maaf yang dalam. Mereka tampak seperti siswa yang serius, bukan tipe pembuat onar. Ini membuatku semakin yakin anak itu bermaksud menindas orang yang lemah — memalukan hingga kata-kataku pun kehilangan tenaga.
“Tolong angkat kepala Anda.”
Itu suara seorang siswa laki-laki. Yang duduk di tengah — Yaguchi Michitaka.
Aku mengangkat kepala.
“Yaguchi-kun. Kudengar kamulah yang paling dirugikan. Apakah kamu baik-baik saja? Ada luka?”
“Kami bertiga tidak apa-apa. Tapi ada satu siswa yang dibawa ke rumah sakit. Saya tidak tahu namanya.”
“Ah, dia Hongo Mitsumasa, keponakan saya. Dia sedang menjalani pemeriksaan, tapi tampaknya tidak ada masalah.”
“Begitu ya, syukurlah.”
Dia bahkan mengkhawatirkan anak itu. Kelapangan hatinya luar biasa. Dan sikapnya begitu tenang. Rasanya seperti sedang berada di ruang rapat perusahaan. Selain tekanan yang sangat kuat, sikap tulusnya justru terasa lebih besar. Aku tidak ingin berhadapan dengannya sebagai musuh — itu reaksi jujurku.
Pria yang tulus adalah orang terakhir yang ingin kau jadikan musuh. Karena ia pasti memiliki banyak pengikut yang menyayanginya. Jika kau menentangnya, orang-orang di belakangnya juga akan berbalik melawanmu. Situasi akan terbentuk seolah-olah kaulah pihak yang salah, dan tanpa bisa berbuat apa-apa, kau akan dihancurkan.
Seandainya penerus perusahaanku bukan si anak bodoh itu, tapi anak seperti dia… betapa tenangnya hidup ini.
***
Tak kusangka aku bisa bertemu dengannya secepat ini.
Hongo Keisuke. Pemulih kejayaan Grup Hongo. Legenda yang membangkitkan perusahaan dari keterpurukan. Si monster yang memiliki koneksi kuat dengan kalangan bisnis, politik, dan pemerintahan. Anaknya memang berbahaya karena bertindak seperti anak manja yang tak tahu apa yang akan dilakukannya. Tapi pria ini adalah monster sejati.
Jika kata-kata pria itu benar, aku mengira dia datang untuk menekan kami.
Namun, ia malah langsung meminta maaf dengan tulus. Ia sudah mengetahui nama kami, lalu membungkukkan badan dengan dalam. Ini ancaman? Atau permintaan maaf yang tulus?
Aku tak bisa lengah. Hanya dengan keberadaannya di ruangan itu, auranya begitu kuat. Rika dan Katsuya sudah terpaku ketakutan. Hanya aku — mantan pekerja kantoran — yang masih bisa bicara.
Aku tidak bisa membiarkannya terus menundukkan kepala.
Meski gugup, aku pernah beberapa kali berhadapan dengan jajaran petinggi perusahaan besar.
Jadi aku mencoba memperlakukannya seperti pertemuan bisnis, berbicara dengan tenang tanpa tenggelam oleh tekanannya.
Bahkan jika ia datang untuk menekan, tetap saja ini pertempuran bisnis.
***
—Sudut pandang si Tukang Selingkuh—
“Tuan muda, Anda mau pergi ke mana!?”
Aku menepis sekretaris yang mengawasiku dan mengejar ayah. Ayah pasti tertipu! Aku harus datang dan menjelaskan semuanya!!
Ayah tidak mungkin meninggalkanku!!
Chapter 43 — Michitaka dan Ayah Si Pria Selingkuh
Aku terus mengamati niat satu sama lain.
"Apakah kalian punya permintaan tertentu? Kami ingin memberikan kompensasi semaksimal mungkin."
"Maksud Anda uang tutup mulut?"
Dalam situasi seperti ini, lebih baik menanyakannya secara langsung. Meski beliau memancarkan aura luar biasa, posisi tawar yang menguntungkan ada di pihak kami.
"Tidak, bukan itu."
Ia menggeleng lembut. Bahkan menampilkan senyuman getir.
"Kenapa tidak? Biasanya, pihak yang bersalah akan meminta korban untuk tidak membocorkan kejadian demi menjaga kerahasiaan."
"Itu sudah tidak ada gunanya. Sampai pagi ini, aku memang berniat begitu. Tapi aku berubah pikiran."
Aku benar-benar tidak bisa menebak maksudnya.
Ini teknik negosiasi macam apa?
"Kenapa begitu?"
"Pertama, kejadian hari Sabtu sudah menyebar di media sosial dan sedang viral. Jadi, tidak ada gunanya membayar uang tutup mulut."
Jadi itu sudah viral. Aku harus mengeceknya nanti.
"Tapi masih ada kejadian hari ini. Jika itu sampai disebarkan, api yang sudah menyala pasti makin besar..."
"Itu benar. Tapi justru sekarang waktu yang tepat untuk mengeluarkan seluruh beban."
Dia hendak menyingkirkan anaknya sendiri?! Sampai sejauh apa ia sudah menghitung dan memantapkan keputusan?
Namun, ada satu hal lagi yang harus kutanyakan. Tapi aku tidak bisa bertanya tentang itu di depan Rika dan Katsuya—terlalu sensitif.
"Saya belum bisa menyampaikan permintaan resmi sebelum bicara dengan orang tua. Tapi dari saya pribadi hanya satu permintaan."
Keduanya sudah benar-benar terpaku oleh atmosfer yang menegangkan. Mereka tertinggal dalam dinamika pembicaraan. Aku merasa kasihan jika harus menarik mereka lebih jauh ke situasi ini, jadi aku mengajukan permintaan yang sederhana.
"Tolong pastikan putra Anda tidak lagi berhubungan dengan kami bertiga."
Itu permintaan paling aman. Toh dia pasti akan dikeluarkan dari sekolah.
Jika ia dilarang mendekati kami lagi, semuanya akan jauh lebih mudah. Aku dapat membayangkannya.
"Tentu saja. Aku berjanji. Aku juga akan langsung menemui dan meminta maaf kepada orang tua atau wali kalian masing-masing. Maafkan kami karena sudah membuat kalian begitu ketakutan. Aku benar-benar menyesal."
Keduanya mengangguk setuju. Sisanya akan kami serahkan pada orang tua dan pihak sekolah.
Kami masih dalam usia yang wajar untuk mengandalkan orang dewasa—menyerahkan hal rumit kepada mereka adalah keputusan paling tepat.
"Yaguchi-kun. Jika boleh, bisakah kita bicara berdua saja? Kupikir kamu punya pertanyaan untukku."
Ternyata ketahuan. Padahal aku sudah berusaha keras menyembunyikannya. Seorang legenda di bidang manajemen, yang dikatakan telah menciptakan banyak gaya bisnis baru—ternyata juga monster dalam praktiknya.
Aku mengiyakan sambil mengangkat tangan dalam hati.
Keduanya tampak khawatir padaku, tapi sekolah bukan tempat di mana ia bisa berbuat sesuatu terhadapku. Jadi aku menerima tawarannya, lalu melempar senyum meyakinkan kepada mereka untuk menenangkan hati.
***
"Jadi, apa yang ingin Anda bicarakan?"
"Aku hanya ingin berbicara lebih banyak denganmu, seorang anak SMA yang punya keberanian seperti ini. Aku hanya mencoba menanggapi maksudmu."
"Bagaimana bisa Anda tahu?"
"Menurutmu apa pekerjaanku? Kamu memiliki ekspresi khas orang yang menyimpan rahasia. Tapi tenang saja, aku tidak berniat menggali rahasiamu."
"Ekspresi seperti Anda, maksudnya?"
Tanpa ragu aku menimpali.
"Lihat? Itu yang kumaksud. Kalau kamu bukan anak SMA, aku sudah menawarmu bekerja. Bocah bernama Takahashi Katsuya itu juga sangat berbakat. Begitu pula gadis di sebelahmu—kekasihmu, Takatsukasa-san. Tapi, dibanding kalian, keduanya mengakui bahwa mereka tidak bisa menang melawanmu. Mereka percaya penuh padamu. Itu bukan soal bakat atau kemampuan—tapi kapasitas diri. Dan putraku yang bodoh telah menantang seseorang sepertimu. Benar-benar tolol."
"Anda memuji saya berlebihan."
Aku merasa makin takut. Apa aku terlalu waspada?
Dia seperti benar-benar menyerah total di hadapanku.
"Lalu, apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Tentang keponakan Anda. Saat melakukan kekerasan, putra Anda menyebut korban sebagai adiknya. Dan saat menyelamatkan kami, dia memperkenalkan diri sebagai Hongō Takuji."
Begitu aku berkata demikian, beliau tampak menyadari kesalahannya.
Si raksasa dunia bisnis itu tertegun sejenak, lalu kembali tenang.
"Begitu ya. Terima kasih sudah mempertimbangkan perasaanku. Tak kusangka bahkan korban bisa memberi belas kasihan padaku. Sepertinya aku memang sudah tua. Baiklah—Hongō Mitsumasa, anak yang kamu selamatkan, sebenarnya adalah putra keduaku. Dia adalah anak di luar nikah. Untuk melindunginya, aku menjadikannya anak adopsi kakak-langsungku dan mengganti namanya. Tanpa sadar, aku memanggilnya dengan nama asli."
Jadi benar.
Sebagai sesama orang yang memiliki keluarga, kini aku bisa memahami perasaannya.
"Kalau begitu, pergilah ke rumah sakit. Kalian pasti ingin segera bertemu."
"Aku terlalu banyak berhutang padamu. Terima kasih sudah melindungi putraku yang berharga."
Sekali lagi, sang monster itu menundukkan kepala padaku.
Saat itu juga—pintu ruang kelas terbuka keras.
"Akhirnya ketemu, Yaguchi Michitaka!! OYAJI!!"
Orang itu menerobos masuk dengan wajah mengerikan.
Chapter 44 — Si Tukang Selingkuh, Akhirnya Dimarahi
Aku terkejut dengan kemunculannya yang benar-benar tidak tepat waktu.
Hampir seluruh proses negosiasi sudah selesai, dan dia muncul di saat yang paling buruk.
Kami semua terpaku.
“Hei, Ayah. Ini dia, ini Yaguchi Michitaka!”
Sambil hampir menangis, ia menunjukku, seperti anak TK yang mengadu pada orang tuanya. Ia mengabaikan ayahnya yang masih tercengang dan mulai berteriak:
“Yaguchi, kau sudah selesai! Ayah tidak akan pernah memaafkan orang yang melukai putranya yang lucu!”
Kalau menurut logika itu, kau juga idiot yang melukai “putra kesayangan Ayah-mu” sendiri. Itu pun, kau yang memulai lebih dulu dibanding aku.
“Harusnya kau tidak muncul di sini.”
Tanpa sengaja aku bergumam begitu. Ini benar-benar kontraproduktif. Aku sudah mendapatkan hasil negosiasi dan permintaan maaf terbaik, tapi kalau dia bertingkah seperti ini, semuanya bisa berantakan. Jelas sekali dia tidak punya etika bisnis. Jujur saja, dia terlalu tidak peka sampai membuat suasana jadi canggung.
Kupikir tadi aku hanya bermimpi melihat Katsuya dan adiknya memukulinya di kehidupan sebelumnya, tapi sepertinya itu tidak mustahil terjadi.
“Yaguchi-kun, saat ini aku akan memenuhi janjiku kepadamu.”
Pak Hongō berkata dengan nada jengkel, tetapi tetap menepati janjinya.
Aku mengangguk, percaya padanya.
***
— Sudut pandang si pria selingkuh —
Benar kan? Ayah tidak akan pernah meninggalkanku.
Dia pasti akan menolongku.
“Kantarō. Kau bertindak di luar kendali karena kesalahanku sebagai orang tuamu.”
“Hah!? Apa maksudmu!?”
Tidak mungkin ayah mengakui kekalahan.
“Aku akan mengurus semuanya setelah ini. Ini sekolah. Kau paham maksudku, kan?”
Tentu saja. Mana mungkin dia bilang akan menculik Yaguchi dan membuangnya ke laut di tempat seperti ini.
Sudah jelas ini hanya bagian dari strategi ayah untuk membuat mereka lengah.
“Iya, benar.”
Seperti yang kuduga, ayah memang hebat. Aku menatapnya dengan penuh rasa hormat.
“Namun, Kantarō. Lupakan sekolah. Daripada dikeluarkan, lebih baik mengundurkan diri. Setidaknya itu terlihat sedikit lebih baik.”
“Hah!? Tidak mau! Nanti seolah aku kalah!”
Hari ini ayah terdengar aneh.
“Kau tidak bisa taat pada perintahku?”
Begitu aku melawan, tatapan dan nada suaranya berubah dingin, menekan seperti ancaman.
“Tapi…”
“Tenang saja. Anggap saja kau lebih cepat masuk ke dunia kerja. Masuklah ke perusahaanku. Kau akan kuterima dengan perlakuan khusus. Tempat kerjanya dekat laut, tempat yang bagus.”
“…Kalau begitu…”
Ya benar. Sampai masalah ini reda, aku bisa menyombongkan diri sebagai anak direktur dan bekerja dengan fasilitas spesial. Tidak masalah. Aku juga masih punya pengetahuan dari kehidupan sebelumnya. Menjadi pemula terkuat dan berprestasi seperti di manga bukanlah mimpi.
“Jadi, kau akan masuk, kan?”
“Ya, baiklah. Tidak bisa dihindari.”
Yah, memulai dari awal juga bukan hal buruk. Hidup dikelilingi sekretaris cantik sebagai anak presiden direktur juga tidak jelek.
“Baik. Hongō Kantarō, aku sampaikan penempatannya. Kau akan ditempatkan di divisi fasilitas milik Hongō Holdings.”
Kepala divisi? Atau mungkin jabatan eksekutif?
Aku mulai bersemangat.
“Lokasinya di pulau. Kau akan ditugaskan sebagai kepala pusat Tsunoshima milik Hongō Holdings.”
Pulau? Tsunoshima??
Di mana tuh?
“Tsunoshima adalah pulau kecil tak berpenghuni di Samudra Pasifik. Pemerintah berencana menjadikannya pusat penelitian laut dan lingkungan, jadi kami menerima kontrak pekerjaan. Tapi karena terlalu terpencil, tidak ada pelamar yang mau ke sana. Aku ingin kau, sebagai anak presiden direktur, bekerja keras di sana.”
“Hah!? Pulau tak berpenghuni!?”
“Tenang saja. Setiap enam bulan, bahan makanan akan dikirim. Persediaannya juga melimpah.”
“T-tapi… staf…?”
“Tidak ada. Kalau pun ada, hanya kambing. Entah kenapa, di pulau itu banyak kambing. Tugasmu hanya memastikan fasilitas perusahaan tidak rusak. Untuk perbaikan dasar, akan diajarkan sebagai pelatihan sebelum berangkat. Ingat baik-baik. Kalau generator rusak dan tidak bisa diperbaiki, itu soal hidup dan mati. Gajinya cukup besar. Karena tidak ada tempat menghabiskan uang, kau bisa menabung banyak hingga kembali nanti.”
“Stafnya kambing!? Tidak mau! Berapa lama harus tinggal di sana!?”
“Rencana rotasi staf antara 3 sampai 10 tahun.”
“S-sepanjang itu…!? Tidak mau! Tidak mau!! Itu pembuangan ke pulau terpencil!!”
“Kau pikir bisa menolak?”
Mendengar kata-kata dingin ayahku, aku jatuh terduduk.
Tidak… tidak… TIDAK…
“TIDAAAAAAK!!!”
Chapter 45 — Michitaka, entah kenapa disukai oleh ayah musuh bebuyutannya
Tanpa kuduga, pria tukang selingkuh yang selama ini kuanggap sebagai hambatan terbesar dalam hidupku akhirnya lenyap.
Setidaknya, sampai aku lulus SMA nanti, dia akan berada di tempat yang tidak bisa kembali. Hal seperti ini tidak pernah terjadi di kehidupan pertamaku.
Hidupku memang telah berubah. Pengalaman hidup pertamaku benar-benar berguna. Jika bukan karena pengalaman tersebut, aku tidak akan mampu membangun kepercayaan sedalam ini dengan ayah lelaki itu. Semua ini berkat orang-orang yang telah menolongku di kehidupan pertama.
Terima kasih banyak.
Meskipun aku tidak bisa lagi menyampaikan rasa terima kasih itu.
Mungkin ada banyak orang yang tak bisa kutemui lagi. Tapi di saat yang sama, ada pula pertemuan baru seperti sekarang…
Karena itulah, aku ingin menghargai hubungan dengan orang-orang yang kutemui.
Kalaupun aku bisa mengulang hidup lagi, tetap akan ada banyak orang yang tak dapat kutemui dua kali. Aku tidak ingin menyesal.
***
“Yaguchi-kun. Mulai sekarang, akan sangat menyenangkan jika kamu bisa akrab juga dengan Mitsumasa.”
Sambil menyeret pria tukang selingkuh yang tampak linglung, ayahnya tersenyum cerah.
Aku merasa sedikit kagum pada pria ini. Senang rasanya bisa berbicara langsung dengannya hari ini.
“Baik.”
“Ini, kartu namaku. Nomor ponsel pribadi yang hanya kuberikan kepada orang-orang penting tertulis di situ. Kalau ada apa-apa, hubungi kapan pun. Termasuk jika suatu hari kamu ingin masuk ke perusahaan kami. Aku akan memberimu jalur khusus langsung ke wawancara final dengan presiden. Yah, sejujurnya, aku yakin kamu akan langsung lolos. Kupikir kamu cukup mampu untuk kupercayakan perusahaan.”
Aku merasa dadaku hangat mendengar pengakuan dari orang besar di dunia industri. Meskipun aku tahu ada sedikit bumbu pujian di dalamnya, tetap saja itu adalah kata-kata yang luar biasa.
“Terima kasih banyak. Kalau suatu saat aku benar-benar tidak punya jalan lagi, aku akan menghubungimu. Tapi…”
“Tapi?”
“Aku ingin mencoba sejauh yang bisa kulakukan dengan kekuatanku sendiri. Eh, bukan—bukan hanya kekuatanku, tapi bersama teman-temanku. Kami ingin mencobanya bersama. Dengan cara itu, aku yakin bisa berkembang. Aku ingin berusaha melalui jalur yang benar, dan pada akhirnya diakui oleh Anda. Suatu hari, aku ingin dapat melampaui Anda.”
Aku menyampaikan tekad itu, penuh makna, kepada “bos terakhir” dunia industri.
“Begitu ya. Tapi, Yaguchi-kun… aku tidak akan mudah dikalahkan begitu saja. Saat ini, dari segi posisi, kekuasaan, dan modal, aku jauh di atasmu. Akan sangat sulit mengalahkanku, tahu?”
Syukurlah. Sepertinya terasa dengan sangat jelas maksudku tadi sampai kepadanya.
Di kehidupan sebelumnya, tantangan itu berhenti di tengah jalan. Tapi sekarang, aku sudah mulai jauh lebih cepat.
Apa yang akan terjadi nanti, aku tidak tahu.
Aku menatapnya serius penuh tekad untuk menang.
“Y-kambing?? Pulau tak berpenghuni?? Tidak ada siapa-siapa?? Tidak ada tempat bermain. Gimana ini…”
Tatapan penuh semangat kami terputus oleh ocehan tanpa arti dari lelaki selingkuh yang sedang linglung.
“Kalau begitu, sampai jumpa lagi.”
Ucap sang ayah sebelum pergi dengan gagah.
Satu babak pertarunganku berakhir.
***
“Kerja bagus, Senpai.”
Rika menungguku di lorong.
“Sudah berakhir. Katanya, dia bakal diasingkan ke pulau tak berpenghuni.”
Aku tertawa polos.
“Sekarang kita bisa berkencan dengan tenang, ya.”
“Benar…”
Kami saling tertawa.
“Tadi kamu sangat keren. Meski berhadapan dengan orang hebat seperti itu, kamu tidak mundur sedikit pun… benar-benar…”
Rika memujiku, membuatku agak malu.
Perlahan, kami kembali pada keseharian.
***
—Sudut Pandang Pria Selingkuh—
“Ayah… setidaknya sebelum aku pergi ke pulau tak berpenghuni, biarkan aku bersenang-senang dulu…”
Namun, ayah hanya menjawab, “Apa yang kamu bicarakan?” Perasaan tidak enak menyelimuti tubuhku.
“Besok kamu berangkat.”
Chapter 46 — Kehidupan Terakhir Sang Istri dalam Kegelapan
— Sudut pandang Miyabi —
Di dalam ruangan gelap, aku tidak punya keinginan untuk melakukan apa pun.
Kenapa semua ini tidak pernah berakhir?
Kenapa aku harus tetap hidup dalam neraka tanpa batas ini?
Aku dipaksa merasakan betapa beratnya dosa pengkhianatan yang telah kulakukan.
Ini adalah hukuman.
Itulah betapa mengerikannya hal yang kulakukan.
Bahkan setelah mengulang hidup tiga kali pun, rasanya dosa asliku ini tidak akan pernah terampuni.
Ponselku berdering.
Teman mengirim pesan LINE dan tautan ke media sosial.
Sepertinya sudah dibagikan juga di grup LINE.
Apa ini?
“Hei, lihat deh. Video Hongo-senpai dipukuli habis-habisan oleh junior kelas 2 sedang tersebar.”
“Eh? Bukannya dia orang jahat? Dan, itu kan Yaguchi Michitaka! Mantan pacarnya Miyabi!!”
“Anak itu biasanya baik, tapi ternyata sekuat itu, ya.”
“Mantan pacarku.” Setiap mendengar nama Michitaka, hatiku terasa sakit, jadi aku bilang pada semua orang bahwa kami sudah putus.
Aku merasa perih menyadari bahwa dia sudah menjadi masa lalu bagiku.
Bahkan Hongo-senpai—yang dulu sangat kucintai—kini terasa begitu jauh.
Pria yang telah menghancurkan hidupku itu dalam video terlihat dipermainkan dengan mudah oleh Michitaka, berguling-guling secara menyedihkan.
Melihatnya begitu konyol dan menyedihkan, entah kenapa aku merasa sedikit lega.
“Ngomong-ngomong, siang tadi Hongo-senpai katanya menantang Yaguchi-kun lagi, dan kalah lagi.”
“Hah!? Dia selalu bilang dirinya orang terkuat dan tergelap di sekolah, tapi kalah dua kali dari Yaguchi yang baik hati itu?”
“Katanya dia juga tertangkap memukuli murid lain, sampai orang tuanya dipanggil.”
“Aku juga dengar. Sepertinya dia bakal di-DO, tapi keluarganya memohon dan akhirnya dia mengundurkan diri.”
“Kabarnya dia bahkan diputus hubungan keluarga. Dia juga gak bisa mewarisi perusahaan keluarganya.”
“Serius!?”
Mereka semua terkejut.
Tiba-tiba, Michitaka dipandang sebagai orang luar biasa.
Dulu, senpai itu adalah putra orang kaya, tampan, sedikit nakal, sehingga banyak gadis menyukainya diam-diam.
Karena itu, aku pun terbawa suasana.
Rasanya menyenangkan saat idola sekolah mendekatiku.
Namun hanya dengan rumor bahwa ia kalah dari Michitaka—yang berlawanan sifat dengannya—para gadis langsung menjauh darinya seperti ombak yang surut.
Pada akhirnya, jelas bahwa popularitas Hongo-senpai hanya palsu.
Dikatakan bahwa ia jahat, yang terkuat di sekolah, dan pewaris perusahaan besar.
Semua itu hanyalah lapisan tipis yang menutupi kenyataannya.
Hampir semuanya bukan kekuatannya sendiri; itu semua hanyalah kekuatan orang tuanya.
Keperkasaannya hanya ia arahkan pada mereka yang lebih lemah darinya.
Sungguh memalukan. Kenapa aku bisa tertipu oleh anak manja sebodoh itu?
Kalau dipikirkan, bukankah jauh lebih hebat orang seperti Michitaka, yang membangun perusahaan dari nol, menafkahi kami dengan layak, dan tetap dicintai banyak orang bahkan setelah ia meninggal?
Saat kekuasaan dan uangnya hilang, tidak ada lagi yang mau mendatanginya.
Sedangkan Michitaka—meski kehilangan segalanya—tetap dihormati.
Pria itu, setelah kehilangan segalanya, tidak berusaha membangun apa pun dari awal.
Ia hanya memukuliku dan putriku, Airi.
Di kehidupan pertama, semua ini tidak pernah terjadi…
Tapi, kini aku mengerti.
Di kehidupan pertama, dia hanya beruntung.
Sedikit saja roda takdir bergeser, semuanya akan runtuh.
Dia hidup di atas tali rapuh yang bisa putus kapan saja.
“Apa yang harus kulakukan… tidak ada lagi yang bisa kuandalkan…”
Kalaupun aku memulai hidup baru lagi, aku tidak tahu kapan hidupku akan dirampas lagi oleh sang penguasa takdir.
Dan yang menunggu hanya neraka rumah sakit itu—aku sadar sepenuhnya tetapi tak bisa bergerak, hanya tertahan oleh selang-selang tanpa bisa berbuat apa-apa seumur hidup.
Betapapun bahagianya hidup yang kujalani, ujungnya adalah penjara abadi bagi jiwaku.
Makanan tak lagi memiliki rasa, tidak ada yang dapat dinikmati.
Belajar, merias diri, bahkan harapan masa depan terasa kosong, hanyalah tumpukan tanpa makna.
Aku sempat berharap ketika bertemu keluarga Hongo, tapi kekerasan pria itu mengintai di pikiranku, hingga tidak ada yang terasa menyenangkan.
Sepertinya aku tidak bisa melakukan apa pun lagi.
Bukan begini yang kuinginkan.
Tapi sekarang aku mengerti— bahkan ini pun masih lebih ringan dibanding keputusasaan yang Michitaka alami di kehidupan pertamanya.
“Aku mendorong suamiku hingga mati… dan membuat putriku mengalami luka batin seumur hidup. Aku bahkan tak tahu bagaimana harus menebusnya. Dan aku tak tahu kapan kebebasan ini akan dirampas secara kejam. Jadi, Tuhan… apa yang harus kulakukan?”
Sambil menyadari bahwa sedikit demi sedikit aku mendekati kematian, aku jatuh berlutut dan menangis tersedu-sedu.
Chapter 47 — Hari Valentine Airi
— Garis Waktu α(alpa) • Sudut Pandang Airi —
Sudah hampir dua bulan sejak Ayah meninggal.
Hidup baru kami berjalan dengan baik.
Saat Valentine kemarin, aku membuat kue cokelat bersama Bibi Misato, lalu kami memberikannya kepada kedua ayah kami.
Paman menerimanya sambil menangis bahagia.
“Akhirnya mimpiku untuk menerima cokelat dari putriku terwujud…”
Katanya sambil berlebihan, tapi lihat reaksinya membuatku benar-benar senang karena telah memberikannya.
Meski aku juga memberikan cokelat kepada Ayah Michitaka, kata-kataku tidak bisa sampai kepadanya.
Selama ini aku belum pernah benar-benar memberikan cokelat kepadanya, dan itu membuatku sangat sedih.
Kenapa aku tidak memberinya saat beliau masih hidup?
Kalau aku memberikannya waktu itu, apakah Ayah juga akan menangis bahagia seperti Paman?
Aku yakin jika aku menaruh cokelat di depan foto Ayah, beliau pasti akan senang.
Tapi tidak ada jawaban.
Rasanya sepi.
Aku ingin bertemu lagi.
Meski aku tahu itu pasti tidak mungkin, perasaan itu terus mengalir dalam diriku dan tidak bisa berhenti.
Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi…
Justru karena hari itu hari yang menyenangkan, kenangan bahagia muncul seperti kilatan dan tidak mau berhenti.
Dua orang itu menemaniku perlahan.
Jika aku menangis, pasti mereka juga ikut sedih, tapi tetap saja mereka berkata: “Tidak apa-apa kalau kamu tidak bisa menahan diri.” “Airi-chan memang anak yang baik.” “Ayahmu pasti sedang bahagia.”
Kata-kata yang ingin kudengar itu datang dari samping, dan emosi yang kutahan semakin mengalir keluar.
Kenapa Ayah harus meninggal?
Kata-kata yang terlontar begitu saja itu… adalah perasaanku yang sebenarnya.
Perasaan yang tidak bisa kutolak.
Tak lama lagi aku akan menjadi anak SMP.
Aku akan memiliki semakin banyak kenangan—yang Ayah tidak tahu.
Bertambah dewasa seharusnya hal yang membahagiakan, tetapi aku takut kenanganku bersama Ayah akan menjadi masa lalu yang semakin jauh.
Namun ketika ingin berkonsultasi pada mereka berdua, aku tidak bisa merangkai kata.
Aku frustrasi karena tak mampu mengungkapkan perasaan yang begitu dalam.
Meski begitu, ada sesuatu yang harus kusampaikan kepada Ayah dan pasangan yang kini merawatku.
Karena itu, aku menyeka air mataku dan menyampaikan perasaanku dengan sungguh-sungguh kepada mereka bertiga.
“Terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku sayang kalian semua!!”
Mulai sekarang, aku harus bisa menyampaikan perasaanku dengan benar.
Karena jika aku tiba-tiba berpisah seperti saat Ayah meninggal dulu… aku pasti akan menyesalinya.
Mereka berdua tersenyum hangat dan memelukku dengan erat.
***
— Sudut Pandang Misato —
Setelah Airi-chan tidur, aku dan suamiku bersantai sambil minum highball dan makan cokelat.
“Hahh… Apa aku sudah menjadi ayah yang baik untuk Airi-chan ya…? Apa aku pernah mengatakan sesuatu yang tanpa sadar menyakitinya…?”
Suamiku menarik napas panjang. Sepertinya ia terpikir soal Airi yang menangis hari ini karena emosinya meluap.
“Aku rasa kamu sudah baik kok.”
“Dibanding aku, kamu luar biasa, Misato. Kamu benar-benar menemani Airi dengan baik.”
“Aku juga masih meraba-raba. Kelihatannya berjalan lancar itu karena Airi anak yang baik.”
“Itu memang benar sih. Ngomong-ngomong, kuenya enak ya. Terima kasih, Misato.”
“Syukurlah kalau kamu suka. Besok pagi pastikan kamu berterima kasih pada Airi juga ya.”
“Tentu saja.”
Chapter inilah yang membuatnya benar-benar lelaki yang baik.
Dulu aku merasa sangat beruntung memilihnya sebagai suami.
Kakakku juga langsung menyukainya.
“Aku hanya membalas apa yang dulu kakakku lakukan untukku saat ibu meninggal.”
Sambil sedikit malu, kami berdua kembali menetapkan hati untuk berusaha dalam membesarkan Airi-chan.
Airi-chan sebentar lagi akan menjadi anak SMP.
Ini masa terpenting dalam hidupnya…
Aku harus berusaha lebih keras menggantikan peran kakakku.
Chapter 48 — Konferensi Permintaan Maaf & Menjenguk
“Jadi kamu Yaguchi Michitaka, ya? Aku sudah mendengar dari Saudaraku. Terima kasih sudah datang.”
Keesokan hari setelah insiden penganiayaan itu, aku datang ke rumah sakit karena khawatir dengan anak yang kuselematkan. Seorang pria paruh baya menyambutku.
Dari Hongo Keisuke, aku pernah mendengar bahwa kakaknya adalah seorang pelukis. Pria paruh baya berambut putih dengan janggut putih yang rapi di depanku benar-benar terlihat seperti seorang seniman. Meski seorang pelukis, dia tidak terlihat sekeras yang kubayangkan.
“Ya. Bagaimana keadaan Takuji-kun?”
Untuk sementara, aku memutuskan memanggilnya Hongo Takuji-kun. Meskipun aku dan ayahnya sudah menjalin semacam ikatan seperti sahabat, aku masih belum banyak bicara dengan adik kelas itu. Jadi, aku tidak ingin sembarangan masuk ke ranah pribadinya.
Aku membawa puding buah dan minuman dari konbini sebagai bingkisan. Karena dia masih anak SMA, kurasa tidak perlu membawa sesuatu yang terlalu mewah. Aku juga berpikir hal seperti ini bisa membuat suasana bicara jadi lebih mudah. Meski sebenarnya datang tanpa membawa apa pun juga tidak apa-apa.
“Ya. Dia dirawat untuk pemeriksaan, tetapi kalau tidak ada masalah, dia bisa keluar besok. Mungkin lusa dia sudah bisa kembali ke sekolah.”
“Syukurlah tidak ada yang serius.”
“Kamu melindunginya dengan mempertaruhkan tubuhmu, jadi… Meski begitu, ulah Kantaro itu benar-benar keterlaluan. Itu sudah masuk wilayah kriminal. Keponakanku juga sudah merepotkanmu. Maafkan kami.”
“Tidak, semuanya sudah selesai.”
Setelah kejadian itu, Keisuke-san juga menghubungi Kaede-san dan meminta maaf. Dia mengatakan bahwa putranya telah keluar dari sekolah dan akan dikirim ke tempat yang tidak dapat di jangkau dan tidak akan kembali sampai aku lulus SMA. Jadi dia tidak akan muncul di hadapan kami lagi.
Selain itu, dia juga menawarkan pembayaran ganti rugi yang jauh lebih besar dari harga pasaran, tetapi aku tidak tahu bagaimana keputusan Kaede-san akhirnya.
Namun, karena Kaede-san berkata, “Dengan ini, semuanya selesai,” kurasa urusannya sudah tuntas.
Hari ini, tepat tengah hari, di konferensi pers perusahaannya, dia mengakui bahwa putranya telah terlibat dalam kasus penganiayaan dua kali, menjelaskan proses penyelesaian kasus, menegaskan bahwa video yang beredar di internet adalah asli, dan menyatakan bahwa semua tanggung jawab ada pada putranya.
Aku menontonnya saat istirahat makan siang.
Sebagai pengusaha legendaris, Keisuke-san menjawab pertanyaan-pertanyaan tajam wartawan dengan tegas dan penuh ketulusan. Seperti:
“Kapan Anda mengetahui kasus ini?”
“Apakah Anda menyelesaikannya dengan uang?”
“Kami mendengar putra Anda keluar sekolah—apakah dia melarikan diri?”
“Kami juga mendengar dia calon terkuat penerus perusahaan?”
Dia menjawab semuanya secara jelas:
“Saya mengetahui kejadian ini pada hari yang sama. Pihak kepolisian menghubungi saya. Saya segera menjemputnya, meminta maaf kepada petugas, lalu menghubungi pihak sekolah. Saya berkonsultasi dengan pihak kepolisian dan sekolah mengenai permohonan maaf kepada korban, lalu mengatur pertemuan dan meminta maaf pada Senin setelah libur.”
“Kami sadar bisa disangka menggunakan uang. Tapi saya sendiri sudah menundukkan kepala memohon maaf. Uang yang diberikan itu adalah utang yang harus dibayar anak saya setelah dia bekerja nanti. Kesalahan yang telah dilakukan tidak bisa ditarik kembali, penderitaan korban juga tidak bisa dihapus, tapi kami akan berusaha melakukan tindakan yang tulus ke depannya.”
“Putra saya keluar sekolah berdasarkan pertimbangan seriusnya tindakan ini. Meski karena kemurahan hati korban laporan tidak diajukan, saya percaya ini adalah tanggung jawab yang harus dia tebus seumur hidup. Kami juga tidak meminta pihak korban untuk tidak melapor. Selain itu, tetap bersekolah di tempat yang sama dengan korban akan menjadi beban bagi korban. Kami mengutamakan perasaan mereka.”
“Dalam manajemen yang mengedepankan kepatuhan seperti saat ini, tidak mungkin membiarkan anak bodoh seperti itu terlibat. Rencana menjadikannya penerus hanya karena dia anak saya. Tapi karena dia tidak mampu memenuhi tanggung jawab sebagai manajemen, rencana itu benar-benar dibatalkan. Peluangnya nol.”
Dia menjelaskan sampai batas maksimal yang diperbolehkan.
Kupikir, dengan ini, api kontroversi akan cepat mereda.
Lalu seorang wartawan bertanya:
“Benarkah putra Anda ditempatkan di kantor anak perusahaan di sebuah pulau tak berpenghuni yang hanya berisi kambing?”
Aku hanya bisa tersenyum kecut—sejauh apa sih mereka menyelidiki?
“Menyebutnya pengasingan mungkin tidak tepat, tapi kurang lebih benar. Pulau tempatnya ditugaskan merupakan markas survei lingkungan yang penting bagi kebijakan nasional. Lingkungan di sana keras, tapi kami ingin dia menyadari beratnya perbuatan yang telah dilakukan, meninjau kembali nilai-nilainya, dan belajar mengabdikan diri untuk negara serta mereka yang lemah. Dia akan tinggal di sana setidaknya selama tiga tahun.”
Suasana pun riuh.
Bahkan kepada putranya sendiri, kesan bahwa ia adalah pemimpin rasional yang menerapkan sistem penghargaan dan hukuman secara tegas semakin kuat.
Terlebih, menghabiskan tiga tahun masa remaja di pulau terpencil—mungkin lebih berat daripada hukuman penjara.
Bahkan para wartawan di layar tampak sedikit terkejut.
Mengingat konferensi pers tadi, aku berjalan menuju ruang rawat.
Pria itu mengetuk pintu dan berkata, “Takuji, Yaguchi-kun yang menyelamatkanmu datang.”
Tapi tidak ada jawaban.
Aku sedikit khawatir, namun pria itu tersenyum getir dan berkata, “Dia memang begitu. Mungkin sedang serius menggambar.”
Kami membuka pintu. Ia sedang fokus di depan kanvas, melukis.
Dari jendela ruang rawat, jalan sakura terlihat seakan memancarkan kilau yang segar, menari hidup di dalam lukisannya.
Chapter 49 — Air Mata Pria Selingkuh & Michitaka Menambah Sekutu
— Di sebuah pelabuhan / Sudut pandang pria selingkuh —
Jeritan keras aku menggema di pelabuhan malam.
“Oi, hentikan! Kalian tahu siapa aku!? Aku ini putra presiden!”
Beberapa pria berotot berbaju hitam menahanku yang sedang mengamuk. Sakitnya bukan main.
Tapi kalau aku kalah sekarang, aku bakal dibuang ke pulau tak berpenghuni. Pengasingan? Tidak sudi!
“Ayo, cepat naik.”
“Hei, bawakan penutup mata dan tali.”
“Ini sudah kayak adegan film yakuza—kasus orang yang terlilit utang terus dijual ke luar negeri, kan?”
“Perusahaan kita itu sehat, tahu!”
“Mau bagaimana lagi, katanya kalau misi ini berhasil kita dapat bonus.”
Meski sambil menggerutu, para pria berbaju hitam itu tetap menjalankan tugas mereka dengan lancar.
“Sialan! Kalian berkhianat, ya!? Biasanya kalian menunduk di depanku, dasar pengkhianat!!”
Umpatanku tampaknya membuat mereka kesal.
“Dengar itu!? Sok banget!”
“Kami nggak perlu lagi menghormatimu, calon pewaris perusahaan yang sudah dicopot.”
“Jangan terus merasa jadi orang penting, bocah!”
“Anak manja yang bahkan belum pernah cari uang sendiri… mau kami kirim ke pulau tak berpenghuni tanpa sehelai benang?”
Ucapan kasar yang belum pernah kudengar membuatku gentar seketika. Lalu, mereka mengambil tali entah dari mana dan mengikatku, kemudian empat orang menggotongku.
“Hei! Kalian pikir boleh melakukan ini? Ini kriminal, tahu!!!”
“Kami sudah dapat izin dari orangtuamu. Lagian, kamu sendiri yang masuk perusahaan. Sekarang terima konsekuensinya!”
“Aku akan ingat wajah kalian semua! Kalian pasti kubalas!”
Dengan teriakan terakhir itu, aku dilemparkan ke dalam kabin kapal, dan kapal pun segera berangkat.
Karena terikat dan tak bisa bergerak, yang bisa kulakukan hanyalah memandangi daratan yang makin menjauh lewat jendela.
Air mata mulai mengalir. Kenapa aku mengalami hal seperti ini? Tiga tahun masa mudaku harus terbuang di pulau tak berpenghuni. Tanpa wanita. Nyaris tanpa hiburan. Hanya internet seadanya, di pulau terpencil yang penuh kambing…
“Hei, Hongō Kantarō. Saatnya pelatihan karyawan baru.”
Seorang awak kapal masuk ke ruangan. Pria berkepala plontos, tubuhnya tampaknya lebih dari 100 kg. Tingginya sekitar 2 meter. Ototnya besar—tampak seperti petarung. Sangat menakutkan.
“Hiiii…”
“Barusan, kamu kelihatan sangat berani ya? Aku ini mantan marinir. Sudah biasa menghadapi anak baru yang lebih rusuh darimu. Jadi, mendidik anak tengil sepertimu itu keahlianku. Dengar sini, sampah masyarakat. Kalau sebelum sampai kamu belum paham dasar pengoperasian mesin, kamu bisa mati beneran. Siapkan mentalmu.”
Ia menyentuh ulu hatiku dengan tinjunya dan sambil mendekat ke telinga berkata, “Akan kubuat kamu patuh baik-baik.”
Dari lubuk hati terdalam, aku merasakan teror.
“Jangan!!”
“Hm? Tidak ada jawaban, ya, anak baru?”
Karena takut, aku menjawab lirih, “Y-ya…”
“Terlalu pelan!!”
“Y-YA!!”
Aku hampir menangis waktu berteriak balik.
Nerakaku telah dimulai.
***
— Di rumah sakit —
Aku tanpa sadar terseret ke dalam dunia lukisan itu.
Begitu melihatnya, waktu seakan berhenti, dan aku seperti tersedot ke dunia lain.
“Hei, Takuji. Ada tamu. Ini Yaguchi Michitaka yang sudah menolongmu.”
Ia akhirnya menoleh padaku, matanya terbuka lebar kaget, lalu berkata, “T-terima kasih banyak.”
Seolah baru ditarik kembali dari dunianya dan masih kebingungan.
“Aku Yaguchi Michitaka. Kelas dua. Ini aku bawakan sedikit dari minimarket.”
“Bahkan membawakan buah tangan… sungguh, aku berterima kasih. Namaku Hongō Takuji. Kelas satu ya? Jadi anda senpai, ternyata.”
“Andai aku sadar lebih cepat, bisa kubantu sebelum mereka memukulmu.”
“Hanya karena diselamatkan saja aku sudah sangat bersyukur. Berkat itu, aku masih bisa melukis.”
“Syukurlah kau tidak cedera. Ngomong-ngomong, Takuji, kamu ikut klub seni?”
“Waktu SMP iya, tapi sejak masuk SMA aku tidak ikut klub mana pun.”
“Kalau begitu, mau ikut klubku? Klub komputer—kami membuat game.”
Tanpa basa-basi aku langsung mengajak.
“A-aku!? Bikin game!? Aku hampir nggak pernah main game… melukis pun cuma hobi kecil.”
Sepertinya rasa percaya dirinya rendah. Sayang sekali, padahal punya bakat.
“Tidak kok. Begitu aku masuk ruanganmu tadi, aku seperti terserap ke duniamu.”
Aku menatap matanya dan berbicara tegas. Pengalaman seperti itu—merasa waktu berhenti saat melihat sebuah gambar—jarang terjadi.
“Bagus juga idenya, Takuji. Di klub komputer kamu bisa mempelajari keterampilan yang berguna di masyarakat nanti. Sesuai dengan pemikiranmu juga, kan?”
Sang paman mendukungku.
“Tolong beri aku waktu untuk berpikir.”
Takuji menunduk sambil berbisik.
“Tidak apa-apa. Jawab kapan saja. Sampai ketemu di sekolah.”
Tak ingin mengganggu, aku pun pamit lebih cepat.
Paman itu mengantarku pulang dengan mobil.
“Takuji itu sebenarnya berbakat dalam melukis, tapi takut melangkah maju. Mungkin karena lingkungan yang ia alami.”
“Tapi sayang sekali. Ia bisa menggambar dunia yang indah seperti itu.”
“Aku juga berpikir begitu. Terima kasih, Yaguchi. Sepertinya kamu bisa jadi orang pertama di luar keluarga yang mengerti dirinya. Kuharap kalian bisa berteman.”
Ah… orang ini sama seperti ibuku. Meski tak terikat darah, ia mencurahkan kasih sayang sebagai orang tua. Berkat itu, Takuji tidak tumbuh seperti pria itu.
“Baik. Senang bisa mengenalnya.”
Saat kami berbincang, mobil sudah sampai. Aku turun sambil berterima kasih dan masuk ke rumah.
Sepertinya Rika juga datang. Oh, sepatu ibu juga ada. Apa dia pulang lebih awal?
“Ah, Michitaka, selamat datang!! Cepat siap-siap! Kita akan makan shabu-shabu!!”
Saat mendengar aku pulang, ibu tersenyum lebar.
Chapter 50 — Shabu-Shabu & Pelatihan Si Tukang Selingkuh
Kami pergi ke restoran shabu-shabu dekat rumah. Sepertinya ini pertama kalinya Rika makan shabu-shabu.
“Di restoran ini sistemnya all you can eat. Kita ambil sendiri sayur dan saus yang kita mau.”
Aku menjelaskan singkat, dan mata Rika langsung berbinar.
“Boleh makan es krim juga?”
Saat aku hendak menjawab, Misato langsung menyelak.
“Tentu saja!! Ada es serut, crepes, puding, sampai jelly kopi! Jadi, sisakan ruang untuk dessert ya, Rika-chan! Tapi kalau cewek sih, dessert itu selalu punya perut terpisah!”
Misato tampak sangat bersemangat—maklum, masa pertumbuhan.
Aku bertanya pelan pada ibu.
“Kenapa shabu-shabu?”
Di keluarga kami, kalau merayakan sesuatu biasanya pergi makan yakiniku, shabu-shabu, atau sushi berputar. Tapi… apa ada hal yang perlu dirayakan?
“Ya tentu, kan Michitaka sudah menolong seseorang. Ibu benar-benar terkejut waktu dapat kabar dari sekolah. Kerja yang bagus ya.”
“Uh… iya.”
“Makanya hari ini Ibu pulang lebih awal. Biar kita bisa makan shabu-shabu sampai kenyang. Belakangan ini kamu juga sudah membantu masak, sangat membantu, terima kasih ya.”
Sejak aku mulai memanggilnya “Ibu”, rasanya jarak kami semakin dekat. Entah kenapa itu membuatku senang. Seolah semua rasa sungkan di antara kami hilang.
Selain itu…
Di kehidupan sebelumnya, aku begitu menikmati shabu-shabu sampai di kantor aku dijuluki “Grand Master”. Saat pesta akhir tahun, menu pasti mengikuti seleraku: shabu-shabu. Di restoran ini, ada banyak bumbu untuk dicampur ke dalam saus. Tingkat kustomisasinya tinggi.
Membuatku jadi bersemangat.
Kami memesan, lalu pergi mengambil minuman dan mulai membuat saus.
Pertama, saus ponzu dasar.
Untuk mengurangi garam demi ibu, memanfaatkan bumbu tambahan adalah kuncinya. Aku menuang sedikit ponzu, lalu banyak menambahkan daun bawang, momiji-oroshi (parutan cabai), jahe, dan okra. Dengan begitu, sedikit ponzu saja sudah memberi kepuasan. Jadilah ponzu spesial ala aku.
Selanjutnya, mencampur saus wijen.
Saus wijen garamnya relatif rendah, jadi bisa dikreasikan bebas. Mencampurnya dengan chili oil dan sedikit bawang putih, terciptalah saus wijen ala mapo. Kalau tidak khawatir soal garam, menambahkan zha cai atau doubanjiang juga enak. Bahkan buat kuah celupan mie di akhir pun nikmat seperti tantanmen—rekomendasiku!
Varian penutup lain: mie Cina + bawang putih + sup ayam kecap, atau masukkan udon ke kaldu dasarnya dan padukan dengan saus Jepang plus kari all-you-can-eat, jadi tsukemen-style kari udon. Top banget.
Kustomisasi di restoran ini benar-benar tiada habisnya.
“Nih, untuk kalian.”
Aku membagikan saus rekomendasiku, lalu kami mulai makan.
“Apa ini? Enak banget. Hebat juga kamu, Michitaka.”
“Abang makin jago ya.”
“Aku baru pertama kali makan, tapi ternyata cuma dari sudut saus itu bisa jadi rasa selengkap ini, ya.”
Kami menikmati makan malam yang menyenangkan.
***
— Di kapal —
“Dengar baik-baik. Struktur generator mandiri itu seperti ini. Perhatikan kekurangan bahan bakar dan oli. Kalau kau memaksakannya tanpa itu, alatnya langsung rusak, dan kau terpaksa hidup sebagai manusia gua tanpa listrik selama setengah tahun.”
Hanya membayangkannya saja sudah membuatku hampir menangis.
“Hiii…”
Mendengar suara menyedihkanku, instruktur itu malah tertawa.
“Hei, ini bukan penitipan anak. Mengerti? Jawab!”
“Siap, yes sir!”
Aku menjawab dengan menangis-nangis seperti yang dia ajarkan.
“Yah, saat badai atau petir, mesinnya bisa rusak juga sih. Kalau bencana alam, ya mau bagaimana. Tinggal kirim pesan lewat radio, nanti kami datang menolong. Tapi butuh sekitar seminggu. Nikmati saja waktumu bersama kambing, manusia gua.”
“Tidak mauuu!”
Pada titik ini, statusku sebagai putra presiden tak ada artinya lagi. Aku sudah sadar bahwa di kapal ini dan pulau tujuan, HAM nyaris tidak berlaku. Aku sadar… dan itu menyakitkan.
“Hei! Lupa bilang apa!?”
“Siap, yes sir!!”
Aku… akan jadi apa setelah ini?
“Ayo makan malam. Tenang, hari ini makanannya hangat. Besok? Entahlah.”
Keputusasaan semakin dalam.



Post a Comment