Chapter 101 – Ketika Ketua OSIS Mulai Hancur & Airi dan Michitaka
—Sudut Pandang Ketua OSIS—
Saat aku berdiri terpaku, drama panggung sudah
dimulai di dalam aula olahraga.
The Count of Monte Cristo.
Kisah seorang pria yang dijebak dengan tuduhan palsu, dipenjara, lalu
membalaskan dendamnya.
Kenapa ya… dalam cerita, sang tokoh utama selalu
bisa terus melangkah maju?
Sementara aku… bahkan tak mampu bergerak.
Aku mencoba kembali ke ruang OSIS, melangkah ke
arah gedung sekolah.
Baru sedikit lagi sampai, tiba-tiba pengumuman
sekolah terdengar.
Namaku dipanggil, diminta untuk segera datang ke
ruang bimbingan siswa.
Rasanya seperti tanah di bawah kakiku runtuh.
Aku langsung tahu—kehancuran sedang menunggu.
***
—Sudut Pandang Michitaka—
Kami masih melanjutkan sesi ramalan.
Mulai semakin ramai.
Perangkat lunak ramalan yang dibuat ketua klub
bekerja dengan memasukkan nama dan jumlah goresan kanji untuk menilai
keberuntungan nama. Bahkan bisa untuk ramalan kecocokan pasangan.
Seperti yang diduga, festival budaya memang identik
dengan pasangan muda, jadi banyak sekali yang berkonsultasi soal cinta.
Walaupun begini, aku pernah menikah, jadi konsultasi
cinta anak muda cukup bisa kujawab.
Dari mulut ke mulut, reputasi semakin tersebar, dan
antrean pun semakin panjang.
Tapi… kepalaku mulai tidak berfungsi.
Seminggu ini terlalu padat. Aku hampir mencapai
batas fisik.
“Hei, Michitaka. Ganti shift. Kau kelihatan lelah.
Sisanya biar aku yang urus, istirahatlah.”
Katsuya datang membantu.
“Boleh ya?”
“Tentu saja. Kau sudah membuat dua video dengan
kualitas gila begitu. Pengarahan live dan setlist juga sempurna. Produser
terhebat sudah boleh istirahat.”
Kalau sudah dibilang begitu… mana bisa kutolak.
Dan aku tak ingin menolak kebaikan orang.
“Terima kasih.”
Rika juga menatapku dan seolah berkata, "Tolong
istirahat."
Aku menuju ruang persiapan, duduk di kursi, dan
merebahkan tubuh di atas meja.
Rasa lelah langsung menyerang.
Aku menyetel alarm di ponsel, lalu tertidur.
***
Aku bermimpi lagi.
Airi memakai seragam SMP yang sama denganku dulu.
Benar juga… karena Misato tinggal di rumah orangtuaku, Airi pasti
bersekolah di sekolah yang sama denganku.
Pikiran itu membuatku sedikit terharu.
Di depan altar peringatan milikku, ia duduk bersimpuh, menangkupkan
tangan.
“Ayah… mulai hari ini, aku resmi jadi anak SMP. Seragam ini cocok nggak,
ya?”
Aku ingin berteriak, “Cocok! Sangat cocok!” Tapi tentu saja,
suaraku tak bisa menjangkau dia.
Seragam itu masih terlihat kebesaran, tapi ia tampak
sangat cantik dan dewasa.
Melihat itu, aku hanya bisa menangis sendirian.
Maaf… aku tak bisa ada di dekatmu.
Maaf karena tak bisa memujimu secara langsung.
Ingin rasanya aku berbicara lebih banyak dengan Airi.
“Ayah, aku kangen. Rasanya sepi tanpa Ayah. Itu
tidak pernah berubah. Tapi bibi Misato dan yang lainnya sangat baik. Mereka
memperlakukanku seperti anak sendiri, jadi jangan salah paham ya. Tapi… aku
tetap berharap bisa banyak bicara dengan Ayah dulu.”
Aku juga begitu.
Tak pernah terpikir bahwa aku akan mati.
Seandainya aku tahu, ada begitu banyak hal yang
ingin kusampaikan.
“Jadi ya… aku memutuskan satu hal. Aku tidak mau menyesal lagi. Karena itu, aku akan langsung
melakukan apa yang aku ingin lakukan. Juga langsung mengungkapkan apa yang
harus kusampaikan. Aku sudah menulis surat untuk bibi. Untuk mengungkapkan rasa
terima kasih… nanti malam aku akan berikan. Dan ini untuk Ayah.”
Airi membungkuk dalam kepada altar.
“Ayah, terima kasih karena sudah membesarkanku. Aku…
benar-benar… sangat mencintaimu. Kalau ada kehidupan lagi, semoga kita bisa
jadi ayah dan anak kandung. Maaf kalau ini terdengar egois… tapi bagiku, Ayah
tetap ayahku yang sebenarnya. Aku sayang Ayah.”
Dia telah tumbuh menjadi anak yang begitu baik.
Sebagai ayah, aku merasa sangat bangga.
Aku juga mencintaimu, Airi.
Kuharap kau bisa menjalani masa muda yang
menyenangkan.
Lalu aku terbangun.
Waktu menuju pengakuan cintaku… tinggal 4 jam lagi.
Chapter 102 — Free Café & Interogasi untuk Ketua OSIS
Alarm berbunyi. Mimpinya berakhir. Aku ingin melihat Airi yang sudah
tumbuh sedikit lebih lama. Namun, di sinilah tempatku hidup sekarang... Sambil
menahan keras keinginan untuk memeluk putriku, aku melangkah maju.
Pasti Airi juga sedang berjuang, jadi aku tidak boleh menjadi
satu-satunya yang berhenti.
Ketika kembali ke stan ramalan, giliran kami sudah selesai, dan ketua
klub serta Katsuya yang mengurusnya.
“Aku gantiin, Katsuya.”
Aku menawarkan diri, tapi…
“Kemarin kamu kerja keras karena peduli dengan
live-ku. Jalan-jalanlah di festival budaya. Kalau mau, tidur siang juga nggak
apa-apa.”
Aku berterima kasih, lalu pergi berkeliling.
Sepertinya Rika pergi ke stan kelasnya. Kalau tidak salah, itu semacam kafe. Di
panduan tertulis “Free Café”. Free? Maksudnya apa?
Rasanya Rika bilang jangan datang karena malu, tapi
aku penasaran.
Katanya karena kesibukan klub, perannya dikurangi di
acara kelas, tapi apakah dia tetap melayani tamu?
Boleh lah mampir sebentar. Hanya untuk menggoda
sedikit, aku menuju kelas Rika.
Minum kopi untuk mengusir kantuk juga terdengar
bagus. Dengan perasaan ringan seperti itu, aku datang berkunjung…
“Selamat da… ah…”
“Ah…”
Saat membuka pintu kelas, Rika dalam balutan pakaian
maid berdiri di sana.
Aku buru-buru melihat papan di pintu. Hanya tertulis
“Free Café”.
Namun, para pelayan memakai kostum sesuka mereka.
Lalu aku sadar: ini adalah kafe “kostum bebas”.
Siswa laki-laki bahkan ada yang jadi Gundam dari kardus, ada yang jadi pelayan,
dan berbagai kostum lucu lainnya.
Kostum maid milik Rika bukan tipe imut berlebihan;
lebih klasik dan hampir tidak terbuka, sangat sopan. Sangat cocok dengannya.
Entah bagaimana, itu membuat aura lemah-lembutnya semakin kuat, membuatnya
terlihat lebih anggun.
“Kenapa… aku sudah bilang jangan datang karena itu memalukan…”
Wajahnya memerah, matanya sedikit berair. Aku
menatapnya dan langsung berpikir, aduh, salah langkah.
Lalu bantuan datang dari arah yang tak terduga.
“Itu salahku. Aku yang mengajaknya. Karena aku ingin
bicara banyak sambil minum teh dengannya.”
Dari belakangku, Presiden Hongo muncul, seakan
mengerti seluruh situasi. Ia mengenakan setelan khusus buatan luar negeri yang
dikenakannya dengan sempurna.
Dengan suara hanya terdengar olehnya, aku
bertanya, “Kenapa Anda di sini?”
“Untuk melihat keadaan Mitsumasa. Setelah
berpisah karena dia bilang sebentar lagi giliran klubnya tampil, aku melihatmu,
jadi kupikir ayo minum kopi bersama,” katanya sambil tertawa.
Kenapa selalu muncul di waktu paling pas? Saat aku memikirkan itu, dia berkata sambil tersenyum, “Bagi seorang
pengusaha, penting untuk berada di tempat yang tepat pada waktu terbaik.
Pengusaha hebat bisa menarik keberuntungan.” Kedengarannya bercanda, tapi bukan
jenis candaan yang bisa membuatku tertawa.
Rika tampak memahami setelah mendengar
penjelasan itu. Setelah diselamatkan Hongo-san, rasanya tidak mungkin menolak.
Yah, bisa minum teh dengan legenda dunia bisnis
saja sudah seperti mimpi bagi diriku di kehidupan sebelumnya.
Tinggal 3 jam sebelum pengakuan.
***
—Sudut Pandang Ketua OSIS—
Aku memasuki ruang bimbingan siswa. Di sana sudah
menunggu kepala sekolah dan guru bagian pembinaan siswa.
“Kau tahu kenapa dipanggil ke sini?”
Aku mengangguk pelan. Padahal aku berencana menang
sebelum mereka bertindak… tapi mereka benar-benar bergerak lebih cepat dariku.
“Ternyata begitu. Sayang sekali. Saat aku ikut
campur waktu itu, seharusnya kau berhenti. Karena terus ngotot, kau kehilangan
segalanya.”
Kehilangan segalanya. Kata-kata itu
menunjukkan hukuman yang menantiku jauh lebih berat dari perkiraanku.
“Tidak! Saya hanya bertindak sebagai ketua
OSIS—”
“Sayangnya… ucapan kasarmu saat live tadi sudah
menyebar ke internet. Tidak mungkin disembunyikan. Dan juga, klub komputer
telah melaporkan dugaan pemalsuan dokumen. Ada yang ingin
kau jelaskan?”
Aku merasakan kepalaku mendadak kosong.
Chapter 103 — Kejatuhan Ketua OSIS… & Kafe
—Sudut Pandang Ketua OSIS—
Aku tidak bisa mengatakan apa pun.
Karena semua bukti sudah berada di tangan mereka.
“Tidak bisa berkata apa-apa, ya? Kalau begitu, tidak
ada pilihan. Keputusan resminya akan kami beritahukan nanti, tapi…”
Kepala sekolah menyampaikan hukuman dengan dingin.
“Kau menggunakan dana sekolah untuk tindakan
pelecehan, memalsukan dokumen, dan bahkan menyebabkan keributan di internet.
Pada kenyataannya, penggunaan dana tersebut bisa dikategorikan sebagai
penggelapan, dan pemalsuan dokumen hampir merupakan tindakan kriminal. Itu belum menjadi kasus hanya karena klub komputer tidak mengajukan
laporan.”
Saat dosaku dijelaskan secara tenang, keringat
dingin mengalir tanpa bisa kutahan.
“A-Aku melakukan semua itu demi semua orang
sebagai ketua OSIS…”
“Itu mungkin benar, namun jika perbuatanmu sudah
termasuk tindak kriminal, kami tak bisa mengabaikannya. Semua tugas ketua
OSIS akan dialihkan pada wakil ketua. Kau akan dikenakan tahanan rumah mulai
sekarang. Kemungkinan besar, kau juga harus mengundurkan diri dari sekolah.”
Aku tidak mengerti apa yang beliau katakan. Mulutku
bahkan hanya bisa terbuka-tutup tanpa suara.
Dikeluarkan? Aku? Aku yang seharusnya terpilih?
Teriakan tanpa suara keluar dari mulutku.
Dan dari situlah, hidupku mulai terjerumus.
***
Kami diantar ke kursi. Di tengah itu, Pak Hongo membisikkan, “Ada hal
yang seharusnya lebih dulu kau katakan pada gadis itu, kan?” Benar juga… Tadi
aku sempat terkejut dengan reaksi Rika, tapi tetap saja, dia tampak begitu
cocok dengan pakaian klasik itu.
Saat aku ingin bicara, Rika berbalik dan kali
ini dia yang berbisik di telingaku.
“Maaf soal tadi. Aku gugup dan jadi agak dingin…
bagaimana menurutmu?”
Saat ia menjauh, wajahnya merah padam.
Aku pun menjawab dengan suara yang hanya bisa ia
dengar—
“Kamu sangat cocok. Kamu yang paling cantik.”
Karena langsung mengucapkan kata-kata memalukan itu,
wajahnya makin merah.
“Sudah, bodoh… terima kasih,” bisiknya sebelum
buru-buru kabur.
Aku duduk di kursi yang disiapkan. Pak Hongo
mengangguk, seolah berkata itu sudah tepat.
“Mau pesan apa? Mumpung bisa bertemu, biar aku
yang traktir.”
Memang benar, aura orang yang mengelola
perusahaan itu berbeda. Karena sudah ditawari, aku menerimanya.
“Kalau begitu, milk tea saja.”
“Kue tidak usah?”
“Nanti kami akan makan yakiniku untuk perayaan
bareng Takuji dan yang lain. Perut harus disiapkan.”
“Begitu ya. Itu benar-benar masa muda. Aku pesan iced coffee dan cheesecake.”
Aku ingat pernah membaca di majalah bahwa beliau
menyukai makanan manis. Rika mencatat pesanan kami dengan sopan.
“Kamu hebat sekali. Tak kusangka kau akan membuat
promosi semewah itu hanya untuk festival budaya sekolah. Pasti itu juga
merupakan kesulitan bagimu.”
Seperti biasa, tepat sasaran.
“Benar. Aku tidak menyangka akan jadi begini.”
“Pasti. Sebenarnya, kau ingin berkembang lebih
perlahan. Pertumbuhan yang mendadak memang membuat seseorang keteteran. Tapi
meski ingin tumbuh cepat, tak semua orang bisa. Itu hanya bisa terjadi karena
grup tempatmu berada. Namun jujur saja, aku terkejut. Itu sudah seperti
self–media-mix, tahu?”
“Itu semua berkat kemampuan semua orang. Tanpa satu
pun dari mereka, itu tidak akan terwujud.”
Pesanan kami datang. Berkat kehadiran Pak Hongo dan
Rika yang begitu cantik, ruang kelas biasa terlihat seperti ruang tamu rumah
mewah.
“Tadi juga kubilang, pengusaha hebat akan berada di
tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Dan itu juga bukti bahwa kau pengusaha
yang hebat. Tapi yang paling bagus, kau yakin tanpa ragu bahwa itu semua berkat
rekan-rekanmu.”
“Kalau dipuji sejauh itu, aku jadi malu.”
“Kamu punya bakat. Bakat yang bahkan tidak kumiliki.
Di tengah masalah bahkan peperangan, kamu bisa memikat orang asing dan
menjadikannya sekutu. Di perjalananmu nanti, sekutu-sekutumu akan terus
bertambah.”
Aku tidak bisa menyangkalnya.
Kali ini pun begitu. Tanpa Takarada-kun dan
Okawa-kun yang baru kukenal kemarin, kami tidak akan bisa menangani antrean
yang panjang.
“Dan kamu tidak mengambil terlalu banyak bagian
pun sudah bagus. Nanti, mainlah ke perusahaanku. Kamu tahu, kan? Aku
akan menyiapkan kesempatan untukmu mengunjungi divisi pengembangan gim.”
Jantungku berdegup kencang.
“Terima kasih banyak!!”
Divisi pengembangan gim milik Grup Hongo adalah
salah satu yang terbaik di industri.
Konon, itu juga yang menjadi kekuatan utama dalam
mengembalikan kejayaan grup tersebut.
“Kalau ingin datang, kapan saja bilang ke aku atau
Mitsumasa. Tapi mungkin kamu akan sibuk dan tidak sempat untuk sekarang.”
Kata-katanya membuatku tersenyum tanpa sadar.
“Tidak apa-apa. Kalau bersama semuanya, aku bisa
maju terus.”
Beliau tersenyum dan berkata, “Begitu ya.”
***
“Hei, Takatsukasa-san. Itu senior yang selalu kamu
ceritain!”
Teman-temanku berkumpul di belakang kelas. Semua
ingin melihat lelaki yang kusukai itu.
“Kyaaa, dia ganteng banget!”
“Kenapa area di sekitar sana kayak beda
dimensi?!”
“Pria tampan yang bersamanya itu kan presiden
perusahaan terkenal, ya? Mereka ngobrol akrab banget… dan ekspresinya seperti
mengakui dia. Itu aura mulia banget.”
Semua memuji dia. Aku merasa bangga, tapi di saat
yang sama, rasa ingin memilikinya membuatku gelisah. Karena pesonanya telah
sampai ke semua orang.
Aku harus cepat bertindak.
Tinggal 2 jam sampai pengakuan.
Chapter 104 — Mantan Ketua OSIS yang Dinasehati & Upacara Penghargaan
— Sudut pandang Ketua OSIS —
“Kenapa saya harus menerima hukuman dikeluarkan dari
sekolah!!”
Aku menenangkan diri lalu mendekati kepala sekolah
dengan nada memaksa.
Ia menutup mata, lalu melanjutkan.
“Kenapa kamu tidak mengerti? Terus terang saja,
pemalsuan dokumen dan penggelapan dana publik secara de facto adalah masalah
besar. Kalau kamu sudah menjadi orang dewasa, besar-kecilnya jumlah dana tidak
penting—faktanya kamu melakukannya, dan itu menuntut kamu untuk bertanggung
jawab.”
“Tapi, saya sudah bekerja keras selama ini.”
“Itu aku akui. Tapi kami tidak bisa membiarkan
seseorang yang harusnya menjadi teladan sebagai ketua OSIS melakukan tindakan
kriminal. Sebagai kepala sekolah, aku harus menunjukkan tekad untuk ‘menebas Ma
Su meski sambil menangis.’”
“Meski begitu…!”
“Aku berterima kasih karena selama setahun ini kamu
mengabdi sebagai ketua OSIS. Aku juga sudah bersiap memberi dukungan setelah
kamu dikeluarkan. Kami sudah menyiapkan beberapa sekolah, terutama sekolah
jarak jauh dan sekolah malam, yang bisa menerima kamu sebagai siswa pindahan.
Aku berniat memilih sekolah yang bisa mengakui dan melanjutkan nilai kamu. Kamu
anak yang cerdas. Kami juga bertanggung jawab karena tidak bisa membimbingmu
dengan baik.”
“Tidak mungkin aku menerima itu!!”
Tidak mungkin aku dikeluarkan. Kenapa aku, ketua
OSIS, harus dikeluarkan?
“Seperti yang kubilang, tindakan kriminal
tetaplah tindakan kriminal. Kali ini hanya karena kebaikan hati pihak lain maka
kamu tidak dituntut secara resmi. Aku berharap kamu bisa memperbaiki diri
setelah kejadian ini. Meski melakukan kesalahan saat masih muda, kamu masih
bisa memperbaikinya dengan usaha. Kalau kamu punya kegelisahan, kami bersedia mendengarkan.”
Kata-kata itu justru membuat amarahku semakin
membara.
“Apa yang salah dariku!?”
Mendengar itu, nada suaranya menjadi tegas.
“Kalau kamu tidak paham, aku akan bicara terus
terang. Kamu berada pada posisi ketua OSIS yang harus melindungi kepentingan
seluruh siswa, tetapi karena dendam pribadi kamu melakukan tindakan mengganggu
klub komputer yang seharusnya kamu lindungi. Lalu ketika mereka mengajukan
protes sesuai prosedur, kamu menggunakan otoritasmu untuk membungkam mereka
secara paksa. Itu menunjukkan pola pikir elitis yang salah.”
Ia terus berbicara seolah menghancurkan semua
tindakanku.
“Bukan hanya itu—kamu menyalahgunakan posisi OSIS
yang seharusnya netral, lalu karena dendam pribadi kamu merugikan sebagian
klub. Dana yang kamu gunakan untuk pesanan besar itu memang dana klub komputer,
tetapi pada dasarnya itu uang sekolah. Sekolah kita memang swasta, tetapi juga
menerima bantuan lembaga publik—artinya itu juga uang pajak. Bahkan termasuk
donasi yang dikumpulkan melalui kerja keras para orang tua. Kamu menggunakan
itu semua demi dendam pribadi, hanya untuk melakukan perundungan. Tanggung
jawabmu sangat berat. Kalau ini diteruskan, tidak akan selesai hanya dengan
pembicaraan.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Kami akan menghubungi orang tuamu. Aku juga akan menjelaskan situasinya. Untuk sekarang, tunggulah di ruang
guru.”
***
— Di Gedung Olahraga —
Akhirnya, festival budaya selesai. Upacara penutupan
dipimpin oleh wakil ketua OSIS. Diumumkan bahwa ketua OSIS berhalangan hadir
karena alasan pribadi.
“Pertama, penghargaan untuk kategori makanan.
Pemenang utamanya adalah… kedai takoyaki Klub Basket!!”
Akhirnya acara penghargaan dimulai. Rika yang duduk
di sebelahku tampak tegang; ia memejamkan mata dan menggenggam tanganku
erat-erat.
Terlihat para anggota Klub Basket bersorak
gembira.
“Berikutnya, kategori drama, live show, dan
pertunjukan musik. Perolehan suara sangat mencolok. Pemenangnya adalah… Klub
Musik Ringan!”
Itu klubnya Katsuya. Ia diangkat orang-orang
sambil dikelilingi teman-temannya. Semua tertawa melihat pemandangan
itu.
“Ternyata benar, ya… klubnya Katsuya-san,” kata Rika
senang. Aku mengangguk pelan. Berikutnya giliranku.
“Selanjutnya, kategori permainan & hiburan.
Hasilnya juga luar biasa. Pemenangnya adalah… Klub Komputer!”
Kami berempat berdiri dan bersorak. Katsuya juga
datang ke arah kami. Takarada-kun dan Okawa-kun mengisyaratkan kami untuk
ikut dalam lingkaran, merayakan kemenangan bersama.
Dadaku dipenuhi rasa puas.
“Dan kini, kategori penjualan total—juga kategori
kepuasan—pemenangnya sama…”
Wakil ketua OSIS sengaja memberi jeda, menarik napas
dalam-dalam, membuat semua orang menunggu.
Dengan pelan dan jelas ia membacakan pengumuman.
“Secara de facto, juara umum jatuh kepada Klub
Komputer!! Selamat!!!”
Pada saat itu, tepuk tangan besar bergema—tubuhku
seakan melayang ke udara.
Satu jam lagi sebelum pengakuan cintaku.
Chapter 105 — Pengakuan
Setelah semua euforia itu, kami membereskan ruang
klub lalu menuju pesta penutupan.
Pesta penutupan diadakan dekat api unggun, tempat
semua orang berkumpul untuk menari, mengobrol, dan saling mengapresiasi kerja
keras selama kegiatan klub.
“Yaguchi-kun, kamu hebat ya. Klub musik ringan dan
klub komputer yang kamu bantu produseri, dua-duanya dapat penghargaan terbaik,
bahkan juga juara umum!”
“Tak kusangka kamu orang yang sehebat itu.”
Teman-temanku mengerumuniku.
“Semua berkat kalian kok. Aku hanya ikut terbawa
suasana. Memang banyak kesalahan seperti salah pemesanan, tapi semuanya jadi
kenangan yang bagus.”
Sambil berkata begitu, aku menarik tangan Rika
menuju api unggun. Aku ingin melindungi tangan ini selamanya. Aku ingin dia
selalu berada di sampingku. Dan akhirnya aku berhasil menggenggamnya.
Rika tadinya terlihat canggung saat aku dikelilingi
perempuan lain, tapi begitu aku menarik tangannya, ia tersenyum cerah. Aku
teringat dirinya yang perlahan melemah di ruang rumah sakit, dan buru-buru
menggeleng. Aku akan mengubah takdir.
Kami mendapatkan posisi terbaik di sekitar api
unggun.
Kami duduk berdampingan, memandangi kobaran api.
Ngomong-ngomong, ada legenda di sekolah: bila pasangan yang menyatakan cinta di
depan api unggun saat pesta penutupan festival berhasil, mereka akan bahagia
selamanya.
Dalam kehidupan sebelumnya, aku dan Rika baru
menjadi pasangan setelah ujian masukku selesai.
Jadi aku tidak tahu apakah legenda itu benar. Tapi untuk momen seperti ini, aku rasa tak apa untuk percaya pada legenda
itu.
Aku mulai berbicara.
“Terima kasih atas kerja kerasmu. Berkat kamu, semua ini bisa terlewati dengan lancar.”
Memang benar. Meski belum
terbiasa menulis novel, dia menemani panggilan telepon sampai larut malam demi
pekerjaanku. Dia terus mendukungku. Sama seperti di kehidupan sebelumnya.
“Aku tidak melakukan apa-apa kok. Aku hanya berada di sampingmu.”
“Bukan begitu. Hanya dengan berada di samping
seseorang saat ia membutuhkannya, itu sudah cukup untuk menyelamatkan
seseorang.”
Aku bertanya-tanya… apakah aku bisa menjadi
penyelamat bagi Rika?
“Dalam sekali seperti biasa…”
“Mungkin begitu. Pasti itu kutipan dari seseorang.
Mulai sekarang kita akan makin sibuk. Kita sudah jadi cukup terkenal. Bahkan
tawaran pekerjaan di luar gim pun mulai berdatangan. Mulai sekarang akan makin
berat.”
“Tak kusangka hanya dengan masuk SMA, hidupku bisa
berubah sejauh ini.”
“Kamu tidak suka?”
“Tentu saja tidak! Pengalaman seperti ini tidak bisa
didapatkan oleh semua orang.”
Saat itu, ketika Rika meninggal di usia muda, aku
tidak bisa memberinya pengalaman istimewa apa pun. Aku menyesali itu. Karena
itu, kali ini aku ingin melakukan hal-hal yang bahkan orang lain tidak bisa
lakukan, bersamanya.
Setelah lulus nanti, aku ingin banyak berwisata
dengannya. Aku ingin melihat berbagai tempat bersamanya.
Sejak kesempatan mengulang hidup ini dimulai, aku
kerap memikirkan apakah tidak berpacaran dengannya akan membuatnya tetap hidup.
Jawabannya masih belum kutemukan.
Tapi, bisakah aku tahan melihat dia bersama orang
lain?
Aku akan menyesal. Dan jika pada akhirnya aku tetap
kehilangan Rika…
Maka tidak ada lagi arti dari kesempatan hidup kedua
ini.
Karena itu, aku menggenggam tangannya erat. Bukan
tangan dingin dan lemah yang kugenggam di rumah sakit dulu, tetapi tangan
hangat dan lembut miliknya…
“U-um, senpai?”
“Maaf. Kayaknya aku menggenggam terlalu kuat.”
Aku buru-buru melepas tangannya, tapi…
“Bukan itu maksudku,” kata Rika, sedikit kesal, lalu
menggenggam tanganku lebih kuat.
“Aku ingin kamu terus menggenggamnya selama
mungkin.”
Ucapan itu terdengar seperti telah menetapkan tekad.
Mungkin itu juga semacam pengakuan.
Kalau begitu, aku juga harus menyampaikan perasaanku
dengan jelas.
“Benar. Aku tidak akan melepaskan tangan ini. Sama sekali…”
Meski ucapanku masih berputar-putar, Rika
memandangku lurus, terkejut. Di sini aku tidak boleh mundur lagi.
“Rika, aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi
kekasihku?”
Pengakuan pertamaku setelah sekitar 18 tahun itu
menjadi lebih sederhana dari yang kubayangkan.
Tapi kurasa, tidak ada kata lain yang lebih tepat.
Satu detik lagi sebelum kami menjadi sepasang
kekasih.
Chapter 106 — Pengakuan ~ Sudut Pandang Rika
~
— Sudut pandang Rika —
“Yaguchi-kun, kamu hebat ya. Klub musik ringan dan klub komputer yang
kamu produseri, dua-duanya dapat penghargaan terbaik, bahkan juga juara umum!”
“Tak kusangka kamu orang yang sehebat itu.”
Senpai dikelilingi oleh teman seangkatannya.
“Semua berkat kalian kok. Aku hanya ikut terbawa
suasana. Memang banyak kesalahan seperti salah pemesanan, tapi semuanya jadi
kenangan yang bagus.”
Seperti biasa, dia tetap rendah hati. Sikap itu
sangat luar biasa, dan membuatnya layak dihormati sebagai manusia.
Tapi saat aku melihat senior dikelilingi para
gadis, perasaanku menjadi campur aduk. Aku senang semua orang mengakui
kemampuannya, tapi aku tetap takut pesonanya sampai pada gadis lain.
Mungkin dia menyadari perasaan rumitku.
Ia segera menggenggam tanganku dan menarikku
pergi.
Hati ini dipenuhi rasa bahagia, namun juga
sedikit benci pada diriku sendiri yang begitu sempit hati. Perasaan yang saling
bertentangan itu membuat wajahku menggelap.
Kami duduk di depan api unggun. Karena kami
berlari, kami berhasil mendapatkan tempat yang sangat dekat.
“Tidak apa-apa?”
“Ah, soal yang tadi. Tidak apa-apa. Soalnya,
sekarang aku ingin banyak bicara dengan Rika. Setelah ini kita akan makan
yakiniku bersama semua orang, jadi mungkin ini satu-satunya waktu untuk
berbincang denganmu dalam suasana festival.”
Kebaikannya membuatku bahagia. Tanpa sadar, aku
memberanikan diri menyandarkan kepala di bahunya. Sejak masuk SMA, jarak kami
menjadi jauh lebih dekat. Meski begitu, hanya melakukan kontak fisik sekecil
ini pun masih sangat menegangkan.
Jika saja dia mengungkapkan perasaannya kepadaku,
aku pasti langsung mengiyakannya. Sisi diriku yang pengecut itu sering muncul.
Tapi aku tetap tidak ingin melihat dia berjalan bersama perempuan lain.
Pernah, aku melihat senior dan mantan pacarnya
berkencan di depan stasiun. Saat itu, aku membenci diriku sendiri yang tidak
bisa melakukan apa pun. Aku menangis berkali-kali. Aku tidak ingin merasakan
hal menyakitkan seperti itu lagi.
“Kali ini kita bekerja keras ya. Berkat kamu,
semuanya bisa berjalan dengan lancar.”
Itu dia… sifatnya seperti itu…
“Aku tidak melakukan apa-apa kok. Aku hanya berada di sampingmu.”
Aku tahu benar bahwa aku tak bisa melakukan
banyak hal. Aku menggenggam tangannya sedikit lebih kuat.
“Bukan begitu. Hanya dengan berada di samping
seseorang saat ia membutuhkannya saja, manusia bisa terselamatkan.”
Semoga demikian adanya. Jika keberadaanku bisa
berarti baginya, meski sedikit saja, aku akan sangat senang.
“Dalam… seperti biasa…”
Aku tak bisa mengucapkan kata-kata yang lebih
baik. Aku benci diriku yang seperti itu.
“Mungkin itu hanya kutipan dari seseorang. Mulai
sekarang kita akan makin sibuk. Kita sudah cukup terkenal. Bahkan tawaran
pekerjaan di luar gim pun mulai berdatangan. Mulai sekarang akan makin berat.”
Dia benar-benar selalu melihat ke depan. Dia sangat
bersinar di mataku.
“Tak kusangka hanya dengan masuk SMA, hidupku bisa
berubah sejauh ini.”
Kalimat itu seharusnya bisa kulanjutkan dengan ‘karena aku bisa lebih
dekat denganmu’, tapi tetap tidak bisa keluar.
“Kamu tidak suka?”
Tentu tidak. Itu harus kutolak tanpa ragu.
“Tentu saja tidak! Pengalaman istimewa seperti ini
tidak bisa didapatkan oleh semua orang.”
Dan apa pun pengalaman istimewanya, semua itu akan
tampak tidak berarti dibandingkan nilai kebersamaan denganmu. Mengapa aku tidak
bisa menyampaikan itu juga? Lalu, dia menggenggam tanganku erat. Saking
kuatnya, aku sampai sedikit cemas.
“U-um, senpai?”
Mungkin terkejut dengan responku, dia buru-buru
melepaskan tanganku.
“Maaf. Kayaknya aku menggenggam terlalu kuat.”
“Bukan itu maksudku,” kataku, lalu aku yang
menggenggam tangannya balik dengan kuat.
Aku mengucapkan kata-kata yang muncul dari hatiku.
“Aku ingin kamu menggenggamnya selama mungkin.”
Itu sudah usaha terbaikku saat ini. Sebenarnya aku
ingin kita tetap bergandengan tangan selamanya. Aku sedih karena tidak bisa
mengekspresikan perasaanku dengan baik. Tapi bisa berada di sampingnya saja
sudah membuatku sangat bahagia.
“Ya. Aku tidak akan melepaskan tangan ini lagi. Sama
sekali…”
Awalnya aku tidak bisa menangkap maksud ucapannya.
Apa maksudnya? Jangan-jangan…
Eh!?
Saat aku masih kebingungan, dia memandangku dengan
ekspresi serius.
Baru kusadari betapa dekatnya kami satu sama lain.
Dan itu membuatku malu. Namun perasaan lain yang jauh lebih besar membanjiri
hatiku.
“Rika, aku mencintai. Maukah kamu menjadi
kekasihku?”
Jawabannya sudah jelas.
Hanya satu.
“Ya, aku juga.”
Saat itu, aku merasa menjadi orang paling bahagia di
dunia.
Dan hubungan baru kami pun dimulai.
Chapter 107 — Momen Kebahagiaan
— Sudut Pandang Rika —
Tanpa memedulikan pandangan sekitar, kami terus
berpelukan.
Aku berharap waktu ini bisa berlangsung
selamanya. Tapi, sekarang kami tak lagi membutuhkan alasan
khusus untuk bisa saling menyentuh seperti ini.
Itu saja sudah membuatku sangat bahagia.
Namun, hari ini adalah hari peringatan kami menjadi
sepasang kekasih.
Karena itu, aku ingin pelukan ini menjadi sesuatu
yang spesial—yang hanya terjadi sekali.
Tubuhnya terasa lebih kuat daripada yang
kubayangkan. Begitu bahagianya aku sampai merasa seolah bisa meleleh di dalam
pelukannya—sebuah momen singkat yang penuh kebahagiaan.
Aku selalu ingin seperti ini. Selama ini, bahkan
hanya untuk bergandengan tangan saja, aku harus mencari alasan dan keberanian.
Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau hubungan
kami rusak?
Hal-hal negatif seperti itu terus berputar di dalam
kepalaku sejak tadi, namun kini, karena momen bahagia ini, semuanya terlupakan.
Waktu berlalu begitu cepat.
Momen yang terasa seperti mimpi ini akhirnya
berakhir.
Mulai besok, kami kembali ke kehidupan sehari-hari.
Namun itu bukan lagi kehidupan seperti sebelumnya—melainkan keseharian yang
bahagia.
Semoga aku bisa terus bersama dengannya—selamanya.
Dengan doa itu dalam hati, kami melepaskan pelukan,
lalu duduk bersebelahan sambil memandangi api unggun. Kami berharap hubungan
ini akan bertahan selamanya.
***
Dengan Rika, kami bahkan tak perlu lagi bertukar
kata.
Cukup berbagi waktu sejenak seperti ini saja sudah
membuat kami diselimuti kebahagiaan.
Waktu yang seharusnya telah hilang, mulai kembali
berjalan.
Akhirnya.
Sepertinya, waktuku sempat berhenti ketika
kehilangan Rika.
Aku menyadari bahwa sesuatu dalam diriku tertinggal
di kamar rumah sakit itu.
Bagian dari hatiku seolah ikut mati bersama kematian
Rika.
Dan bagian itu… akhirnya kembali.
Aku teringat saat pertama kali merayakan Natal
bersama Rika di kehidupan sebelumnya.
Kami berkencan di sebuah taman.
Tempat itu terkenal dengan bunga kamelia musim
dingin—camellia (sazanka). Saat melihat bunga berwarna merah muda yang mekar
indah, Rika berkata:
“Michitaka, kamu tahu arti bunga camellia? Artinya
adalah ‘cinta abadi’ dan ‘mengalahkan segala kesulitan.’”
Meskipun sekarang bukan musim camellia, aku akan
mengukir makna bunga itu dalam hati.
Aku ingin berkencan lagi dengan Rika di taman
itu—taman penuh kenangan.
Dan saat itu tiba, aku akan berjanji—kali ini
sungguh-sungguh—bahwa demi dirinya, aku akan mengatasi kesulitan apa pun…
Wajahnya yang diterangi cahaya api berwarna merah
tampak begitu cantik.
Chapter 108 — Penderitaan Miyabi & Pesta Yakiniku
— Sudut Pandang Miyabi —
Festival budaya telah dimulai. Tidak—sebenarnya
dimulai kemarin, dan kini hampir berakhir.
Dalam kehidupan pertamaku, aku berkeliling festival
bersama Michitaka. Itu sangat menyenangkan.
Kenapa aku melakukan hal seperti itu…?
Padahal, aku sangat mencintainya.
Saat dia yang pertama kali mengajukan perpisahan,
aku putus asa dan membiarkan diriku terjerumus.
Aku bermain mengikuti ajakan senpai, nilai-nilaiku merosot tajam, gagal masuk
universitas impian, dan pekerjaanku pun tidak berjalan baik.
Meski begitu, hubunganku dengan senpai terus
berlanjut, dan saat itu… aku masih punya sedikit harapan.
Namun, ternyata dia sudah memiliki tunangan.
Sejak saat itu, takdirku berubah menjadi penuh
kesialan.
Saat itu aku bertemu kembali dengan Michitaka
setelah sekian lama.
Dia baru saja kehilangan kekasihnya dan sedang
terpuruk, namun berkat Katsuya-kun dan Misato-san, ia mulai perlahan menatap ke
depan.
Ketika kuceritakan pada senpai bahwa aku bertemu
lagi dengannya, ia berkata:
“Bukannya bagus? Mari balas
dendam pada dia—si brengsek yang memutuskan Miyabi, perempuan hebat sepertimu. Aku
memang tidak bisa menikah denganmu, tapi pergilah dan pacari dia. Lalu, saat momen yang tepat, campakkan dia. Kalau begitu, dia pasti tidak
akan bisa bangkit lagi.”
Iya… aku berhak membenci Michitaka. Sejak dia
memutuskanku, hidupku tidak berjalan lancar.
Itu semua salah dia.
Sekarang, aku sadar bahwa itu hanyalah dendam picik.
Aku memanfaatkan kelemahannya—seseorang yang begitu
baik—dan mengakhirinya dengan cara paling menyedihkan.
Aku merasa tidak pantas lagi untuk bahagia.
Aku memandang festival malam yang penuh kenangan itu
dari jauh.
Di depan api unggun, aku menemukan Michitaka.
Ia bersama seorang adik kelas yang manis.
Mungkin dialah gadis takdirnya.
Mereka terlihat benar-benar bahagia.
Dan aku merasa… ia belum pernah tersenyum
sehangat itu padaku.
Kenapa aku merasa cemburu?
Padahal aku tidak memiliki hak untuk merasakan itu.
Mungkin aku bahkan tidak pernah memberikan senyum
seindah itu pada senpai.
Aku kalah telak sebagai manusia dari gadis SMA itu.
Sebenarnya, dalam kehidupan sebelumnya, aku pernah
membaca surat darinya.
Aku menemukannya tersembunyi di laci meja Michitaka.
Sebenarnya aku tidak ingin membacanya, tetapi aku
tidak bisa menahan diri.
Lalu aku menyesal.
Aku menyadari bahwa aku tidak bisa menjadi perempuan
paling berharga dalam hidupnya.
Harusnya Michitaka menjadi pengganti senpai—tapi aku
bahkan tidak bisa menjadi pengganti gadis itu.
Aku terus menatap pasangan yang tersenyum bahagia
itu dari kejauhan.
Aku tahu aku takkan bisa menebus dosaku.
Tapi setidaknya…
Aku berharap Tuhan mengizinkan aku mendoakan
kebahagiaan mereka.
Dengan rasa hina pada diri sendiri—yang masih tak
mengerti apa itu cinta, meski telah mengulang hidup berkali-kali…
***
— Restoran Yakiniku —
“Kalau begitu, semuanya—sudah ambil minuman?”
Semua orang membawa minuman pilihan mereka dari drink bar.
Aku memilih soda anggur yang terlihat mewah.
Andai saja aku bisa minum bir tanpa alkohol… tapi karena masih SMA, aku menahan
diri.
Takuji berusaha meracik minuman orisinal dari menu yang didengar dari
Takara dan Okawa—dan malah menciptakan cairan semacam dark matter, tapi
ya… itu juga bagian dari masa muda.
Di atas meja terhidang daging kalbi dan lidah sapi yang menggugah selera,
salad, kentang goreng, kimchi, dan namul.
Warnanya terlihat sangat menggugah, sampai aku
merasa sangat lapar.
Rika sesekali melirik ke arahku.
Begitu tatapan kami bertemu, ia buru-buru
memalingkan wajah.
Tadi kami datang ke sini sambil bergandengan tangan,
tapi sepertinya karena baru resmi menjadi pasangan, ia masih merasa malu dan
tidak bisa menatap mataku.
Fakta bahwa dia gugup karenaku… membuatku sangat bahagia.
Lalu, untuk menikmati pesta bersama teman-teman tersayang ini, aku
mengangkat suaraku:
“Kanpai!”
Yang lain pun membalas, “Kanpai!” dengan riang, dan suasana dipenuhi
tawa.
Aku bisa merasakan… hidup baru kami baru saja
dimulai.
Bagian 109 — Masa Depan Ketua OSIS
— Sudut Pandang Ketua OSIS —
Festival budaya hampir berakhir ketika aku, tanpa
sempat menyiapkan upacara penutupan, dibawa ke ruang tamu oleh kepala sekolah.
Ayah sudah ada di sana.
Wajahnya pucat—sepertinya dia sudah tahu apa yang
terjadi.
“Kenapa kau melakukan hal seperti itu?”
Ayah berdiri dan memegang bahuku.
Aku membenci ayah.
Pecundang dalam masyarakat yang tak pernah
berhasil.
Tak dibutuhkan di rumah, bahkan ibu meninggalkannya.
Hak asuhku hanya jatuh padanya karena satu-satunya
hal yang ia miliki hanyalah uang—itu saja.
“Diam. Aku berbeda darimu. Aku bukan pecundang
sepertimu…”
Saat aku berkata begitu, ayah menatapku dengan
mata terbuka lebar, lalu menunduk.
“Benar… ini salah kami dalam membesarkanmu. Kau
tumbuh menjadi seseorang yang bahkan tidak mengerti rasa sakit orang lain. Sekalipun
prestasimu bagus, aku gagal mengajarkan hal terpenting sebagai orang tua. Kepala
sekolah, saya adalah orang tua yang gagal. Untuk masalah ini, saya akan
bertanggung jawab dan menanggung semua biaya ganti rugi.”
Ia membungkuk dalam-dalam.
Memang, ayah ini pecundang.
Hanya bisa meminta maaf seperti ini.
“Tolong angkat kepala Anda, Pak. Kami juga
memiliki tanggung jawab…”
“Tidak. Bahkan kami masih bersyukur, meski dia
hanya seorang siswa, sekolah masih memikirkan solusi. Ngomong-ngomong, jika ia
pindah ke sekolah korespondensi, berapa banyak hari ia perlu hadir?”
Pembicaraan berjalan tanpa melibatkan diriku.
“Tunggu! Kenapa aku harus keluar dari sekolah ini!? Yang
salah itu mereka—!”
Ayah menatapku tajam.
Untuk pertama kalinya, wajahnya terlihat sangat
menakutkan hingga aku tak bisa berkata apa pun.
“Diam.”
Suaranya rendah, berbeda dari biasanya.
“Ya… di sekolah korespondensi seperti ini, biasanya
diperlukan sekitar 20 hari hadir dalam setahun…”
“Begitu… kalau begitu, kalau kami pulang saat libur
musim panas, seharusnya tidak mengganggu, ya?”
Kata-kata yang mengerikan itu menyentuh telingaku.
Seolah takdirku sedang terbawa entah ke mana…
“Apa… yang kau bicarakan…”
Akhirnya aku berhasil mengeluarkan suara, dan ayah
menjawab:
“Sebenarnya, beberapa waktu lalu aku ditawari untuk
ikut serta dalam proyek penghijauan Gurun Sahara. Karena aku seorang ayah
tunggal dengan anak perempuan di SMA, aku awalnya menolak. Tapi melihat apa
yang terjadi, aku memutuskan untuk menerimanya. Sebagai orang tua, ada hal yang
lebih penting daripada pelajaran—dan itu harus kita pelajari bersama di sana.”
“Gu…run… Sahara…?”
Aku merasa seolah pijakanku runtuh.
Kalau pergi ke sana, aku benar-benar tidak akan bisa
bersekolah di Jepang.
“Tidak! Aku tidak mau!”
Ayah yang biasanya mudah menyerah, justru menatapku
tajam dan berkata:
“Kalau begitu, apa kau mau keluar dari rumah dan
hidup sendiri? Meski kau meremehkan orang tuamu, kau tetap seorang anak SMA. Kepala
sekolah, di sekolah korespondensi, dia tetap bisa belajar meski di luar negeri,
kan?”
Keyakinanku runtuh tanpa suara.
“I–iya… kalau begitu, saya akan rekomendasikan
sekolah dengan sistem online yang kuat.
Sekarang sudah ada kelas melalui video.”
Bahkan kepala sekolah terlihat terdesak.
Mungkin ini pertama kalinya aku melihat ayah
menunjukkan tekad seperti itu.
“…Tolong bantu kami.”
Lalu aku dibawa pulang dalam keadaan linglung, naik
mobil ayah.
Di perjalanan, setelah ia berkata:
“Jika kau melakukan kesalahan, kau harus bertanggung
jawab sendiri. Jika kau belum mengerti itu, berarti kau masih anak-anak.”
Kami berdua terdiam panjang.
Chapter 110 — Janji Kencan
— Garis Dunia α(alpha) • Sudut Pandang Rika —
Hari ini, aku menerima vonis hidup. Karena itu, aku
sedang menulis surat untuknya.
Anehnya, aku tidak begitu putus asa. Mungkin karena
aku sudah menyiapkan mental saat mendengar nama penyakitnya. Meski aku tak bisa
bilang aku tidak sedih, tapi yang paling terasa adalah penyesalan. Rasanya
seperti semua masa depanku bersama dia direnggut begitu saja. Aku hanya merasa
bersalah padanya. Di saat sepenting ini, aku malah menjadi beban untuknya.
Michitaka-kun pasti berniat meninggalkan segalanya
dan tetap berada di sisiku. Namun, setelah aku pergi, satu-satunya orang yang
bisa mendukungnya hanyalah Misato-chan. Kenyataan bahwa aku tidak lagi bisa
berada di sisi orang yang sangat kucintai—itu lebih menyakitkan daripada vonis
hidup itu sendiri, dan rasanya aku sangat tak berdaya. Jika benar ada kehidupan
berikutnya, kali ini aku ingin bisa berbahagia bersamanya. Setidaknya,
permintaan egois seperti itu boleh kutitipkan pada Tuhan yang usil itu, kan?
Jika aku diberi kesempatan untuk hidup sekali lagi,
semoga kali ini aku bisa bersama dengannya.
Jadi untuk sekarang, aku hanya bisa mendoakan
kebahagiaannya setelah aku tiada.
***
— Garis Dunia β (beta)—
Acara barbeque berakhir, dan semua orang bubar. Aku
dan Rika belum memberi tahu siapa pun bahwa kami mulai berpacaran. Karena ini
adalah acara untuk menghargai semua orang, aku pikir urusan kami bisa
diceritakan lain waktu.
Tapi mungkin saja mereka sudah menyadarinya. Ketua klub, yang datang terlambat, terus melirik kami… dan Takuji-kun
tampak tersenyum senang saat melihat kami datang bersama.
Yah, wajar saja.
Seperti biasa, aku mengantar Rika pulang.
“Rasanya seperti mimpi. Aku tidak pernah
menyangka bisa merasakan masa remaja yang begitu indah,” katanya sambil
tersenyum puas.
Melihat itu membuatku ikut bahagia. Ya… aku ingin
membuat Rika semakin bahagia. Aku juga ingin menghiburnya.
“Aku juga. Padahal aku seharusnya terpuruk karena
diselingkuhi mantan pacar… tapi justru berakhir sangat menyenangkan.”
“Kamu terlalu memaksakan diri. Tapi mulai hari ini,
aku akan berusaha mengisi semua yang hilang… sebagai…” Rika menatap ke bawah,
malu, menggantungkan kalimatnya.
Aku sengaja berpura-pura menjadi protagonis romcom
yang pura-pura tidak peka.
“Eh? Sebagai apa?”
Rika terkejut dan cemberut, “Ayolah… pasti kamu
dengar, kan?” Tapi setelah meneguhkan hati, ia berkata:
“Sebagai pacarmu… aku akan berusaha keras!!”
Aku merasa sangat bahagia mendengarnya. Berkat Rika,
aku sudah lebih dari cukup bahagia.
Tapi demi dirinya yang sudah menahan malu untuk
mengatakannya, aku juga membalas:
“Kalau begitu… aku juga akan berusaha sebagai
pacarmu.”
Rika terdiam sejenak, lalu memiringkan kepala.
“Maksudnya apa?”
Sepertinya dia belum mengerti. Tapi mungkin lebih
baik begitu, karena itu membuatku semakin senang.
“Ini ajakan kencan. Kencan pertama setelah resmi
jadi pasangan. Bagaimana kalau besok?”
Hari ini hari Jumat, jadi besok lusa libur.
“Benarkah? Bukannya kamu mau istirahat?”
Memang aku cukup lelah, tapi tubuh muda ini cukup
tidur semalam saja, pasti pulih.
“Kalau begitu, mulai siang saja, ya? Pagi-pagi aku
juga ingin istirahat.”
Aku tak ingin memaksanya—barangkali dia juga lelah.
“Mm! Aku menantikannya.”
Aku harus memikirkan rencana kencan besok. Dalam
kehidupan sebelumnya, kencan pertama kami… kalau tidak salah setelah ujian
selesai, kami pergi ke taman hiburan. Katanya, kencan pertama ke tempat seperti
itu adalah bendera kematian, tapi meski waktu menunggu lama, kami tidak pernah
merasa canggung dan bisa terus mengobrol. Ah, nostalgia…
Menirunya lagi terdengar menyenangkan, tapi setengah
hari tidak cukup untuk menikmatinya. Kalau begitu, mungkin yang klasik
saja—nonton film. Nanti di rumah, aku cari film yang menarik. Tapi banyak film
yang sudah kutonton sebelumnya, jadi mungkin biarkan Rika yang memilih.
“Ngomong-ngomong… Senpai?”
“Hm?”
Dengan wajah berbunga-bunganya, ia bertanya:
“Hari ini… kamu akan terus menggenggam tanganku,
kan?”
“Tentu saja.”
Sejak hanya berdua, tangan kami tak pernah lepas.
Dan aku memutuskan dalam hati—aku tak akan melepaskan tangan ini lagi.
Chapter 111 — Pulau Tak Berpenghuni dan Kepergian ke Afrika
— Pulau Tak Berpenghuni —
Aku diserang oleh monster kambing, lalu
tiba-tiba terbangun di atas tempat tidur kantor.
Ketakutan, aku segera pergi ke pantai.
“Tolong aku!!”
Aku berteriak ke arah laut entah berapa lama. Mungkin aku bisa diserang lagi oleh monster itu. Aku tidak mau itu
terjadi.
Sebuah kapal terlihat. Sepertinya semakin
mendekat ke arahku. Aku melepas pakaianku dan mati-matian melambaikan tangan
memanggil kapal itu. Entah mereka melihatku atau tidak, kapal itu semakin
dekat.
Syukurlah… aku akan selamat.
Aku mencoba menenangkan diri dan menyentuh
rambutku. Beberapa helai rambut tercabut—semuanya putih.
“Tidak mungkin…”
Padahal sebelumnya tidak ada sehelai pun rambut
putih di kepalaku. Aku ingin melihat cermin.
Sejak kapan aku tidak melihat cermin?
Di dalam saku, ada ponselku yang baterainya sudah
habis.
Pada layar hitam itu, terlihat diriku—tapi begitu
tua, tak dapat dipercaya.
“Ini bukan aku…”
Dengan mata hampir berlinang, aku terpaku melihat
wajah yang dulu kupikir penuh percaya diri, kini berubah drastis menjadi tua.
Bahkan lebih tua daripada aku di kehidupan sebelumnya.
“Hey! Dia ada di sini!”
Saat aku larut dalam keputusasaan, beberapa pria
turun dari kapal dan menolongku.
Sepertinya mereka adalah pegawai perusahaan ayah.
“Kami datang menjemput karena tidak ada kabar
darimu.”
Sebenarnya aku seharusnya bahagia, tapi aku
tidak mau pulang. Kalau aku pulang dengan wajah seperti ini, aku bahkan tidak
bisa bermain dengan wanita lagi. Hidupku benar-benar berakhir.
“Hei, ini gawat. Gensetnya rusak!”
“Kau bercanda? Ini nggak bisa
dibeli meski jutaan yen!”
“Tentu saja. Ini yang memasok listrik kantor dan
pos pengamatan!”
“Bagaimana ini? Tidak ada tanda-tanda sudah
dirawat.”
“Dia yang merusaknya? Apa cukup hanya diberi
hukuman disipliner?”
Mendengar semua itu, ditambah keputusasaan yang
sudah menumpuk, darahku serasa surut.
***
— Sudut Pandang Ketua OSIS —
Sejak pulang, aku mengurung diri di kamar.
Dikeluarkan? Afrika? Sekolah jarak jauh?
Jalan hidup elitis yang selama ini kujalani, hancur
dalam sekejap. Setelah proyek itu dimulai, akan sulit kembali ke Jepang.
Bahkan bisa berdampak pada ujian masuk universitas.
Jika itu terjadi, aku mungkin bahkan kalah dari orang tua bodoh yang selalu
kucemooh karena pendidikannya. Aku tidak sanggup menanggung penghinaan itu.
Kenapa aku…
Kenapa gara-gara dia…
Gara-gara mereka…
Aku harus menjalani hidup menyedihkan seperti ini?
Benar. Aku akan kabur.
Aku mengambil ponsel, tapi terdiam. Tidak ada satu
pun teman yang terpikir bisa menampungku.
Benar… aku bukan ketua OSIS lagi. Tidak ada yang
peduli padaku.
Lagipula, diberi sanksi tepat pada hari festival sekolah—itu kejadian
yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Dengan muka seperti apa aku harus menelepon
kenalan?”
Mereka pasti menertawakan. Pasti sudah muncul
berbagai rumor—yang benar maupun tidak.
Kalau aku menghubungi seseorang dalam kondisi
seperti ini, aku hanya akan jadi bahan tertawaan.
Aku tidak sanggup menanggung penghinaan lebih jauh.
Akhirnya aku sadar tidak ada yang bisa dilakukan.
Satu-satunya cara untuk mempertahankan harga
diriku—sekecil apa pun—adalah pergi ke Afrika.
Kenapa Yaguchi Michitaka bisa menerima pujian dari
semua orang, diperlakukan seperti pahlawan…
Sementara aku berakhir seperti ini…
Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menggulung
tubuhku dalam selimut dan menangis tanpa suara.
Chapter 112 — Tuntutan Ganti Rugi Si Tukang Selingkuh
& Kegembiraan Memilih Baju
— Pulau Tak Berpenghuni —
Aku dibawa ke kapal dan menjalani pemeriksaan tanda-tanda vital.
Kabarnya, tubuhku mengalami kerusakan besar akibat stres ekstrem.
Tapi itu bukan yang terpenting. Setelah ini, aku
akan melakukan panggilan video dengan ayah.
Aku dibawa ke ruang radio, lalu telepon video
tersambung.
“Lama tidak bertemu.”
Begitu panggilan tersambung, itu adalah kalimat
pertama yang keluar dari mulut ayah.
“...Maafkan saya.”
Karena ketakutan, aku langsung minta maaf. Ayah
menghela napas lelah.
“Begitu ya. Dari tim investigasi di lapangan, ada
laporan bahwa perawatan terkait mesin generator tidak dilakukan. Apa
pekerjaanmu?”
“Me-meng-memeriksa peralatan di pulau tak
berpenghuni ini untuk mendapatkan data penelitian…”
Suaraku bergetar. Ayah marah dengan tenang.
“Jadi, kau tidak melakukannya. Kau ingat, kan, bahwa
aku sudah menjelaskan aturan kerja sebelum kau masuk perusahaan?”
Keringat mengucur. Padahal AC menyala.
“…”
“Yah, baiklah. Tak perlu buang waktu. Perusahaan
tidak dapat meminta ganti rugi pada karyawan yang menyebabkan kerugian, kecuali
dalam kasus tertentu. Tapi tentu saja ada pengecualian. Jika kerugian terjadi
karena kesengajaan atau kelalaian besar, perusahaan berhak menuntut ganti
rugi.”
Ayah menjelaskan dengan dingin sebagai seorang
pengusaha.
“Kesengajaan atau kelalaian besar…?”
Darahku serasa mengalir terbalik, tubuhku
gemetar.
“Pertama, perusahaan telah menjelaskan pentingnya
tugas itu padamu. Di kapal pun sudah diberikan pelatihan dasar tentang cara
memeriksa peralatan dan prosedur penanganan bila terjadi kerusakan. Selain itu,
aku sudah bilang untuk mengirim laporan harian. Dari laporan itu, kalau ada
yang tidak kau mengerti, kami masih bisa membantumu meski dari jauh.”
“…”
Memikirkan semua yang kulakukan, membuatku
ketakutan.
“Tapi kau malah meninggalkan tugas, tidak mengirim
laporan, dan bahkan tidak melakukan pemeriksaan yang diwajibkan. Ini lebih dari
sekadar kelalaian—ini bisa dianggap sebagai tindakan dengan sengaja merusak
peralatan berharga milik perusahaan. Sebagai pengusaha, aku tidak bisa
membiarkan itu.”
Darahku menghilang dari wajah.
“Memang, ada kesalahan di pihak kami juga karena
menempatkan pegawai baru sendirian di pulau tak berpenghuni. Karena itu, kami
tidak akan meminta penggantian penuh. Untuk kasus ini, perusahaan akan menuntut
ganti rugi sebesar 25% dari harga alat yang rusak.”
Mendengar itu bukan jumlah penuh, aku sedikit lega.
Akhirnya aku bisa bicara.
“Berapa… jumlahnya…?”
Itu yang paling penting.
“Belum dihitung penuh, tapi hanya untuk generator
yang kau rusak saja, harga totalnya sekitar 20 juta yen.”
“J-jadi… seluruhnya… aku…”
“Bukan. Bagian yang harus kau bayar adalah 20 juta
yen.”
Karena terlalu terkejut, pandanganku
berkunang-kunang dan aku jatuh dari kursi.
Aku tidak punya tabungan sebanyak itu. Di usia
semuda ini, aku harus menanggung utang lebih dari 20 juta yen… keputusasaan itu
perlahan melahap hatiku.
Tubuhku jatuh menghantam lantai, rasa sakit
bercampur dengan jeritan:
“Tidak mungkiiiinnnnnn!!”
***
— Sudut Pandang Rika —
“Pakaian untuk kencan… pilih yang mana ya?”
Kamarku dipenuhi baju berserakan.
Kencan pertama sejak resmi berpacaran.
Kencan yang penting.
Aku ingin itu menjadi kenangan yang tak terlupakan.
“Seandainya aku sempat pergi beli baju waktu itu…”
Belakangan ini kegiatan klub sangat padat, jadi aku
jarang berbelanja. Baju yang kubeli saat SMP terasa terlalu kekanak-kanakan.
Setidaknya, aku ingin terlihat dewasa lewat penampilanku.
Walaupun dia yang menyatakan cinta duluan…
Aku merasa aku masih belum sepadan dengannya…
Jadi, setidaknya penampilanku harus sesuai.
Memikirkan soal kencan seperti ini saja sudah
membuatku bahagia.
Aku merasa setiap momen ini begitu berharga.
Mungkin, saat ini…
Akulah orang paling bahagia di dunia.
Chapter 113 — Keputusasaan di Atas Kapal & Kencan yang Menyenangkan
— Di atas kapal —
“Aku harus bagaimana…?”
Hampir menangis, aku menatap ke langit.
Langit biru itu seolah membentang tanpa akhir. Di usia seperti
ini, aku sudah memikul utang puluhan juta yen.
Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana cara
melunasinya. Tidak… bahkan aku tidak yakin apakah aku masih bisa tetap bekerja
di perusahaan ayah. Ayah berkata, “Kembalilah ke kantor pusat sekali. Sanksi
resminya akan disampaikan di sana.” Mungkin ini belum berakhir.
Dia juga berkata, “Meskipun kau adalah putraku,
sebagai pimpinan perusahaan, aku harus memberikan sanksi yang tepat. Kalau
tidak, aku tidak bisa mempertanggungjawabkannya pada karyawan lain.”
Bukan hanya tuntutan ganti rugi, masih ada hukuman
besar yang menantiku.
Memikirkan itu saja membuatku putus asa.
Ini pasti hanya mimpi. Jika aku membuka mata, aku
pasti kembali menjadi calon penerus perusahaan besar, dan insiden kecelakaan
yang membuatku tak bisa bergerak… bahkan alasan kenapa aku memulai hidup dari
awal… semuanya cuma mimpi.
Andai aku tahu ini akan terjadi, aku tidak akan
pernah berurusan dengan Yaguchi Michitaka. Dia memang orang yang menyebalkan,
tapi bukan seseorang yang layak untuk dipertaruhkan seluruh hidupku. Aku benar-benar bodoh.
Maafkan aku. Seseorang… tolong maafkan aku.
Jika benar ada Tuhan, tolong berikan aku kesempatan
sekali lagi.
Kumohon… kumohon…
Berikan aku kesempatan sekali lagi untuk menjalani
hidup baru.
Siapa pun…!!
Tolong aku.
***
— Di depan stasiun —
Kami berjanji bertemu dari waktu makan siang, tapi karena sepakat untuk
makan siang bersama, aku menunggu Rika sambil sedikit merasa lapar.
Sepertinya, dia benar-benar mempersiapkan banyak
hal. Setiap kali kencan dengan Rika, dia selalu begitu. Waktu menunggu ini
selalu menjadi momen favoritku. Rika selalu datang memakai pakaian lucu, lalu merasa
bersalah karena membuatku menunggu.
Padahal masih 10 menit sebelum waktu janjian, begitu
melihatku menunggu, dia segera setengah berlari ke arahku. “Maaf telah
membuatmu menunggu,” ucapnya sambil menunduk sedikit.
Gerakannya itu sungguh lucu dan membuatku merasa
rindu.
Hari ini, Rika memakai gaun hijau bermotif bunga
yang lembut. Bahannya tipis dan terasa sejuk, menyatu dengan aura lembut yang
dimilikinya.
Saat aku memuji penampilannya begitu saja, wajahnya
langsung memerah dan ia jadi gugup.
Melihatnya gelagapan membuatku ingin menggodanya
lebih jauh, tapi kutahan diri.
“Senpai, aku sudah lama merasa… sepertinya kamu
sudah terbiasa dengan kencan, ya?”
Yah, wajar saja. Dalamnya aku adalah pria berusia
30-an. Kalau tidak terbiasa, justru itu yang bermasalah. Tentu saja aku tidak
bisa mengatakan hal itu.
“Aku sudah baca buku panduan kencan. Katanya,
langkah pertama adalah memuji pakaian perempuan. Itu penting.”
Saat aku bercanda, Rika tampak lebih rileks dan
terkekeh kecil.
Sepertinya kencan hari ini akan seru. Rencana
kencannya sudah kupersiapkan matang-matang.
Di kehidupan sebelumnya, saat kencan pertama, kami
memasukkan terlalu banyak acara hingga kelelahan. Kali ini aku membuat jadwal
yang lebih santai.
“Aduh, kamu itu selalu begitu…”
Meski berkata begitu, Rika terlihat senang.
“Kalau begitu, ayo kita makan siang.”
“Kita makan di mana?”
Mendengar pertanyaannya, aku tersenyum penuh percaya
diri.
“Di restoran hamburger yang enak sekali. Sebenarnya
aku sudah pesan tempatnya kemarin.”
Itu restoran baru. Keju spesialnya terkenal sangat
lezat, dan di kehidupan sebelumnya, ketika aku mengajak Rika ke sana, hasilnya
sangat memuaskan.
Saat aku menunjukkan menu lewat ponsel, matanya
bersinar.
“Kelihatannya enak! Tapi… itu juga dari buku
panduan?”
“Tidak, itu murni pilihanku.”
Hari ini, aku ingin membuatnya benar-benar menikmati
waktu bersama.
Dia sudah bekerja keras demi festival budaya. Tidak
ada yang akan marah kalau dia mendapat hadiah yang pantas.
Aku ingin mengajak Rika melakukan banyak hal yang ia
suka, dan menghabiskan kencan penuh tawa.
Dipenuhi perasaan polos—bahkan tak pantas untuk isi
kepala lelaki paruh baya—kencan menyenangkan kami pun dimulai.
Chapter 114 — Waktu Perjalanan yang Manis
Dalam perjalanan menuju restoran yang sudah kami
pesan, obrolan kami tidak pernah terhenti.
“Apa Ibu dan Misato-chan sudah tahu tentang hubungan
kita?”
Sepertinya dia penasaran. Memang benar, Rika sering
berinteraksi dengan keduanya, jadi wajar jika ia ingin tahu.
“Karena kemarin aku kelelahan dan langsung
tidur… jadi, belum…”
Jawabanku terdengar agak ragu.
“Belum, tapi…?”
Rika mengulanginya sambil seolah menikmati reaksiku.
“Aku yakin mereka sudah tahu. Soalnya sejak kemarin
mereka senyum-senyum aneh. Dan ketika aku bilang mau keluar hari ini, mereka
langsung bertanya, ‘Kencan dengan Rika-chan, ya?’”
Mungkin karena ikut mendengarnya, wajah Rika ikut
memerah.
“Itu agak memalukan ya…”
Rika mengutarakan perasaannya secara jujur.
“Itu saja belum semuanya.”
Tidak menyangka ada lanjutan, Rika mengeluarkan
suara pendek, “Eh?”
“Ibu bilang begini: ‘Bukan gitu. Dia itu kan
pergi berkencan dengan pacarnya, Rika-chan.’”
Mengingatnya saja membuat wajahku memanas karena
malu.
“Beliau Tajam sekali, ya…”
Meski seharusnya tak memiliki hubungan darah
denganku, Kaede-san—atau seharusnya kusebut Ibu—selalu cepat menyadari
perubahan pada diriku. Meski aku menyembunyikan bahwa aku punya pacar, tetap
saja ketahuan.
“Iya. Aku tidak pernah bisa menyimpan rahasia dari
beliau.”
Entah kenapa, sejak kecil, Ibu selalu bisa menembus
kebohonganku.
“Itu tandanya kamu sangat disayangi. Keren sekali.”
Rika bergumam penuh kekaguman.
“Masa…?”
Dia tahu kalau aku dan Ibu tidak memiliki hubungan
darah.
“Soalnya, kalian jauh lebih seperti keluarga
dibandingkan keluarga kandung pada umumnya. Sangat akrab sampai membuat orang
iri…”
“Terus terang, agak aneh mengatakan ini sebagai
siswa SMA, tapi… kalau orang melihat kami begitu, aku merasa cukup senang.”
“Tidak aneh kok. Justru bagus. Bisa membangun keluarga seperti itu… aku selalu mengaguminya.”
Seketika wajahku semakin panas. Rika yang
mengatakannya pun sadar kalau itu seperti menyerang balik dirinya, sehingga
wajahnya memerah lebih parah.
Dalam konteks ini, kata-katanya bahkan hampir
terdengar seperti lamaran.
Untungnya, tepat pada saat itu kami tiba di restoran
Western tersebut. Restoran keluarga yang terkenal dengan hamburger berlumur
saus demiglace berdasarkan resep turun-temurun.
Musim ini, mereka punya menu terbatas: hamburger
keju.
Hamburger berlumur saus demiglace, kemudian diberi
lelehan keju melimpah di atasnya.
Hidangan khas yang luar biasa.
“Bahkan dari luar, aromanya sudah membahagiakan.”
Mata Rika berkilat.
“Heh. Hanya dengan baunya saja sudah bisa makan
nasi, ya.”
Saat aku bercanda, Rika ikut tertawa.
Saat aku hendak masuk, Rika berbisik lirih di
belakangku.
“Kalau aku bisa membangun keluarga sebahagia itu
dengan Senpai… pasti aku akan sangat bahagia…”
Suara lembut berisi harapan itu seharusnya tak
terdengar.
Dengan senyum hangat, aku menatapnya sambil
bersumpah dalam hati bahwa aku akan melindunginya seumur hidup.
“Rika, ayo masuk.”
Kalimat itu merujuk pada keadaan kami saat ini…
sekaligus mengandung sedikit tekad di dalamnya.
Tekad yang… untuk saat ini masih kusimpan sendiri.
Chapter 115 — Kencan di
Restoran Western
“Selamat datang. Tuan Yaguchi yang sudah reservasi, ya? Silakan ke sini.”
Yang menyambut kami adalah seorang perempuan muda berpenampilan anggun.
Mungkin seusia mahasiswa. Suasana yang lembut dan senyum ramahnya
meninggalkan kesan tenang. Gerak-geriknya elegan, bahkan tampak begitu
berkelas. Untuk ukuran pegawai paruh waktu, gerakannya tampak sangat terlatih.
“Senpai… restoran ini jangan-jangan mahal, ya…?”
Entah karena kesan pelayannya, Rika terlihat sedikit
cemas.
“Tidak apa-apa. Tidak semahal itu.”
Memang harganya sedikit lebih tinggi untuk pelajar,
tapi menu makan siangnya cukup terjangkau dan porsinya banyak, jadi pasti
memuaskan. Bisa dibilang ini restoran yang bisa dinikmati pelajar SMA kalau mau
sedikit merogoh uang lebih.
“Restorannya bersih sekali, ya. Tenang juga.”
Rika menatap sekeliling dengan antusias.
“Ah, ini katanya cabang kedua. Di situsnya
tertulis kalau interiornya dibuat sedekat mungkin dengan restoran pertama saat
awal berdiri.”
“Begitu ya. Baru tapi terasa seperti restoran tua
yang bersejarah. Dewasa sekali.”
Rasanya kami agak berlebihan memilih tempat seperti
ini untuk anak SMA.
Tapi sesekali tidak masalah. Ini kencan pertama
kami—lebih baik sedikit spesial agar menjadi kenangan.
Di sudut ruangan, terlihat seorang lelaki
tua—mungkin pelanggan tetap—sedang menikmati hamburger lunch.
“Bagaimana? Pesan hamburger keju, ya? Aku pesan dengan
nasi.”
Saat aku mengusulkan, Rika tersenyum, “Iya. Aku
pakai roti saja.”
Tampaknya menu lunch sudah termasuk salad dan sup.
Setelah memesan pada pelayan tadi, ia kembali tersenyum lembut kepada
kami.
“Kalian pelajar?”
Ketika ia bertanya, aku menjawab, “Iya, kami SMA.”
“Kalau begitu, ada diskon pelajar. Kalian dapat teh
atau kopi gratis. Mau yang mana?”
“Dua iced tea, tolong.”
Rika memang lebih suka teh, jadi ia hanya
mengangguk. Wajahnya sedikit tegang—dan itu terlihat lucu.
“Baik, dua iced tea. Fufu, kalian terlihat sangat
akrab. Membuat silau, loh.”
Pelayan yang dewasa itu memandangi kami dengan
ekspresi nostalgia.
Walaupun menatap kami, seolah ia juga sedang
memandang jauh ke suatu tempat…Seperti sedang merindukan masa mudanya.
Setelah kakak pelayan itu pergi ke dapur, Rika
menggembungkan pipinya sedikit. Pandangannya bercampur rasa cemburu.
“Senpai, dari tadi hidung Senpai naik karena melihat
pelayan itu.”
Ia protes kecil dengan cara yang imut.
“Tidak, kok.”
Aku menyangkal sambil tersenyum masam.
Diprotes seperti ini justru terasa
menyenangkan—aku merasa dicintai. Hangat rasanya.
“Bohong. Tidak boleh begitu.”
Ia menegur singkat, dan aku tidak bisa berkata
apa-apa lagi.
“Hm,” hanya itu jawabku.
Rika tersenyum puas, lalu dengan malu
melanjutkan:
“Hari ini kan kencan pertama kita… jadi Senpai harus
hanya melihat aku, oke?”
Kalimat itu ia sampaikan sambil menyingkirkan rasa
malunya—suatu keberanian yang membuatku sangat senang. Maka aku pun
membalasnya.
“Aku cuma melihat Rika, kok. Dari dulu sampai
sekarang.”
Itulah yang sebenarnya.
Di kehidupan sebelumnya, aku selalu mengejar Rika.
Sejak kami bertemu lagi di dunia ini, pikiranku
tetap hanya tertuju padanya.
Rika tampak terkejut oleh serangan balik itu,
wajahnya semakin memerah dan ia jadi gugup.
Sementara itu, pelayan tadi menatap kami dari
kejauhan sambil tersenyum lembut.
Chapter 116 — Selamat
Datang Kembali
“Enak.”
Rika memakan hamburger keju itu, lalu bergumam pelan. Ujung bibirnya terangkat.
Reaksi itu sama persis seperti di masa lalu,
membuatku merasa senang entah kenapa. Begitu ya… Aku selalu ingin melihat
senyuman ini. Karena itulah aku datang ke tempat ini.
Aku juga menatap wajah Rika, lalu menyuap
hamburgerku.
Rasa saus demi-glace yang kaya dan keju yang gurih
menonjolkan kelezatan dagingnya.
Ada aroma mentega di baliknya. Gurih lembut itu
membawa rasa bahagia.
“Memang ini yang paling enak.”
Di kehidupan sebelumnya, mengunjungi restoran
ini di musim seperti ini sudah seperti tradisi kami. Meski pada akhirnya hanya
sempat datang sekitar empat kali sebelum Rika meninggal muda… tetap saja, itu
adalah kenangan berharga dari kehidupanku yang lalu.
Kami saling tersenyum puas, lalu memasukkan satu
potong hamburger lagi ke mulut.
“Apakah kalian mau tambahan air?”
Pelayan menyadari bahwa gelas kami sudah kosong,
lalu menghampiri.
“Ya, tolong,” jawabku, sementara Rika berkata,
“Sangat enak, loh.” Pelayan itu tersenyum anggun dan berkata, “Syukurlah,”
seolah ikut bahagia untuk kami.
“Aku, ya… pernah diselamatkan oleh makanan di sini.
Saat aku sedang mengalami masa sulit, terus kebetulan diajak ke tempat ini, dan
entah bagaimana aku malah bekerja di sini.”
Ucapannya terdengar mengejutkan. Karena bagiku, ia
terlihat begitu cantik, penuh perhatian, dengan gerak-gerik elegan—hampir
seperti sosok sempurna.
“Itu kenapa, kalau ada orang yang makan dengan lahap
di sini, aku ikut senang. Padahal, aku cuma mahasiswa part-time, loh.”
Ia tertawa kecil, seolah mengejek dirinya sendiri,
tapi sorot matanya memancarkan rasa puas dan bahagia. Seakan tempat ini adalah
simbol kebahagiaan baginya.
Bagiku juga sama—tempat ini adalah wujud nyata dari
kenangan masa lalu.
Sejak Rika meninggal, aku tidak pernah makan
hamburger di sini lagi. Restoran yang pernah kudatangi belasan tahun lalu
itu—nama maupun rasanya tidak pernah bisa kulupakan. Karena bagiku, itu adalah
simbol kebahagiaan.
Justru karena rasa itu membuatku sadar bahwa Rika
tak ada lagi, aku tidak sanggup kembali ke sini di kehidupan sebelumnya.
Bisa datang lagi ke tempat ini bersama Rika
membuatku sangat bersyukur.
Mulai sekarang, aku akan sering datang lagi. Tradisi
yang sempat terputus akhirnya bisa dilanjutkan. Aku tidak akan pernah
melepaskan simbol kebahagiaan ini.
Tidak ada kebetulan di dunia ini, semuanya adalah
takdir. Aku teringat sebuah kutipan dari manga yang pernah kubaca. Kupikir,
alasan kakak pelayan itu berakhir di restoran ini juga merupakan bagian dari
takdir.
Sama seperti bagaimana aku bisa kembali ke sini.
Pelayan itu hendak kembali ke dalam untuk menyiapkan
teh ketika pintu restoran terbuka.
Seorang laki-laki yang seumuran mahasiswa masuk.
“Selamat datang kembali.”
Ucapannya memang ditujukan pada laki-laki yang
barusan datang, namun entah kenapa, kata itu terasa meresap ke dalam hatiku.
Rasanya, waktu dan momen ini juga merupakan takdir.
Aku membatin dalam hati.
“Aku kembali. Dan selamat datang kembali, Rika.”
Chapter 117 — Perlawanan Terakhir Ketua
OSIS
—Sudut pandang mantan ketua OSIS—
Kenapa aku bisa berakhir seperti ini?
Aku berjalan tanpa tujuan di kota. Besok aku akan berangkat ke Afrika. Karena aku tidak mau, aku kabur
dari rumah tengah malam tadi. Aku membawa uang, jadi aku menghabiskan waktu
hanya melamun di restoran hamburger tengah malam. Mungkin, kalau
begini terus, aku bisa tidak jadi pergi ke Afrika.
Kalau sampai besok aku tidak ditemukan, aku pasti
bisa tetap tinggal di sini.
Iya… Tuhan pasti akan mengizinkannya.
Hari ini hari libur. Banyak orang terlihat
bersenang-senang. Dari jendela restoran hamburger, aku hanya bisa memandang
orang-orang santai itu dengan iri.
Benar… Aku tidak boleh sampai ditemukan. Kalau
begitu, aku harus kabur lebih jauh.
Kereta sudah beroperasi. Tanpa kusadari, waktu
sudah lewat tengah hari.
Aku tidak bisa bergerak selama ini, tapi
tiba-tiba muncul secercah harapan.
Aku harus cepat naik kereta. Tepat saat aku
memikirkan itu, seseorang melintas di depan mataku.
Itu Yaguchi Michitaka. Dia tampak gelisah sambil
berjalan ke arah stasiun. Dari gerak-geriknya, sepertinya dia akan pergi
jalan-jalan dengan seseorang.
“Padahal aku mengalami hal seburuk ini, tapi dia…?”
Rasa marah membuncah sampai membuat kepalaku kosong.
Sepertinya dia akan pergi bersama adik kelas di
klub komputer. Seorang perempuan.
“Kencan… Jadi dia sedang berada di puncak
kebahagiaan. Jadi mereka pacaran. Jangan-jangan… waktu festival budaya itu…”
Acara yang menjadi awal kejatuhanku—ternyata
justru membuatnya meraih kebahagiaan.
Rasa iri hampir membuatku kehilangan akal.
Akal sehatku menghilang. Aku menjadi monster yang
hanya ingin mengamuk, dan melangkah lurus menuju Yaguchi Michitaka dan gadis
itu tanpa mengucap sepatah kata.
Walaupun laki-laki… kalau aku menyerangnya dari
belakang… meski aku lemah…
Namun, orang yang menghentikan diriku yang dipenuhi
niat jahat itu adalah sosok yang tidak terduga.
“Kya!”
Seseorang hendak lewat tepat di depan mataku.
Sosok itu muncul tiba-tiba, dan aku tidak sempat menghindar.
Kami bertabrakan dari depan dan jatuh terduduk. Di saat itu, akal sehatku kembali. Berbahaya sekali. Jika saja aku sedang
membawa pisau, mungkin gadis itu sudah terluka karenaku.
“Apa yang barusan ingin kulakukan…?”
Tubuhku bergetar ketakutan. Lalu aku sadar.
Aku harus meminta maaf pada orang yang kutabrak.
“Ma—maaf…”
Yang kutabrak adalah perempuan muda.
“Tidak, aku juga— Huh? Ketua OSIS?”
Perempuan itu berkata dan menatapku heran. Wajahnya terasa familiar. Kalau tidak salah…
Aku lupa nama keluarganya, tapi dia adalah siswi
di kelas sebelah, dipanggil “Miyabi”.
Aku buru-buru menutupi wajahku. Aku tidak ingin
siapa pun melihat diriku yang sudah terpuruk seperti ini.
“Dengan begini… setidaknya…”
Dia berbisik lirih, terdengar sedih. dan…
tiba-tiba aku sudah dikepung polisi.
“Oh, mungkin ini anak yang dilaporkan tadi ya?”
“Maaf, apakah kamu membawa identitas? Soalnya kamu
mirip anak perempuan yang dilaporkan hilang.”
“Ayahmu sangat khawatir, tahu?”
Rasa putus asa menyelimuti diriku karena tidak bisa
kabur lagi. Tanpa kusadari, perempuan yang tadi menabrakku sudah menghilang
entah ke mana.
“T-tidak mau… Aku tidak mau pulang…”
Meski aku memohon, para polisi hanya tersenyum
pahit.
Itulah momen ketika takdirku diputuskan.
Aku tidak bisa kabur lagi.
Chapter 118 — Miyabi dan Ketua OSIS
—Sudut pandang Miyabi—
Festival budaya telah berakhir.
Dalam kehidupan pertamaku, aku menghabiskan waktu
setelah festival bersama Michitaka, bermain dan bersenang-senang. Itu
mengingatkanku pada masa ketika aku masih menjalani cinta yang murni… dan
membuatku sadar betapa kotornya diriku sekarang.
Isak tangis bergema di dalam rumah yang tak
berpenghuni. Ayah dan ibu hampir tidak pernah pulang ke rumah. Dari dulu selalu
begitu. Bukan hanya pasangan palsu—kami sekeluarga adalah keluarga palsu.
Mungkin karena itu, aku selalu mendambakan
kehangatan manusia. Semakin lama semakin terperosok, sampai akhirnya
tidak bisa keluar.
Keluarga kami bisa runtuh kapan saja. Meski begitu,
rumah tangga bahagia yang dulu kujalani bersama Michitaka dan Airi adalah
sesuatu yang selalu kuinginkan.
Namun aku menghancurkannya. Dengan cara yang takkan
pernah bisa dimaafkan.
Lingkungan yang bagai neraka ini adalah hukuman.
Tapi hukuman ini bahkan terasa terlalu ringan.
Aku melukai Michitaka—yang menciptakan keluarga
hangat hanya untukku—dan juga melukai putri yang sangat kusayangi. Bahkan aku
menjadi salah satu penyebab kematian Michitaka.
Mungkin satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah
tidak pernah lagi mendekatinya. Dan menjalani hidup sendirian.
Aku ingin menghirup udara luar meski hanya sebentar.
Aku tidak punya nafsu makan.
Setidaknya, aku ingin membeli minuman jelly berisi
nutrisi.
Aku berjalan ke minimarket dekat stasiun untuk
membelinya.
Seperti yang kuduga, karena hari libur, tempat
itu penuh sesak.
Mereka semua tampak bahagia—dan aku merasa sedikit
iri. Tidak boleh… Aku yang telah menghancurkan kebahagiaan tak punya hak untuk
iri pada orang lain.
Ketika melewati restoran cepat saji, aku melihat
ketua OSIS sedang duduk di dekat jendela.
Biasanya, ia terlihat seperti perempuan yang tegas
dan keren, tapi hari ini ia tampak kusam dan kacau.
Lalu aku teringat pesan yang kudapatkan pagi ini.
Katanya, ketua OSIS sudah menghilang sejak kemarin,
dan orang tuanya sedang mencarinya.
Mungkin ini hanya kabur dari rumah, tapi… Seorang gadis muda sendirian di luar sangat berbahaya.
Meski aku sudah menyimpang dari jalan yang
benar, aku masih tidak ingin ada korban lain.
Di pesan itu tertera nomor polisi terdekat.
Aku pun menelepon polisi dari ponselku.
Aku menyampaikan keperluanku dengan singkat, lalu
menggambarkan ciri-cirinya.
Saat aku sedang melakukan itu, seseorang lewat di
sampingku. Aku sedang memakai hoodie, jadi ia tidak menyadari.
Itu adalah Michitaka.
Aku menyingkir, berusaha bersembunyi di antara
restoran cepat saji dan toko di sebelahnya agar tidak terlihat.
Syukurlah… Dia tidak menyadari keberadaanku.
Saat aku sedikit lega, ketua OSIS keluar dari
restoran dengan panik.
Dan aku mendengar gumamannya:
"Yaguchi Michitaka… Kalau saja dia tidak
ada…"
Itu tidak terdengar normal.
Tatapannya dipenuhi dengan niat membunuh, seperti
seorang penyerang acak.
Sementara itu, Michitaka bertemu dengan adik kelas
perempuan dan terlihat tertawa bersama.
Sepertinya mereka tidak sadar.
Mungkin… dia membawa pisau.
Meskipun aku berpikir begitu, aku justru berlari dan
menabrak ketua OSIS dari depan, tepat di antara dia dan Michitaka.
Kami jatuh terduduk. Tapi aku tidak merasakan
sensasi ditusuk.
Sepertinya dia tidak membawa senjata.
Aku bisa melihat polisi yang kupanggil tadi
berada di belakangnya.
Sepertinya semuanya sudah aman.
Berpura-pura seolah tabrakan tadi hanyalah
kebetulan, aku bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu.
Aku berjalan ke arah yang berlawanan dari
Michitaka dan adik kelasnya agar tidak mengganggu mereka.
Chapter 119 — Kencan Menonton Film
Setelah selesai makan hamburger, kami pergi untuk
menonton film.
Rika bilang tidak masalah menonton film yang ingin kutonton, jadi aku
memilih film “The Theory of Everything”. Film ini diadaptasi dari
autobiografi yang ditulis oleh mantan istri ilmuwan fisika teoretis terkenal,
Stephen Hawking.
Film ini sebenarnya sudah menarik perhatianku di kehidupan sebelumnya.
Aku bahkan sudah memasukkannya ke daftar tontonan di layanan streaming, tapi
lupa menontonnya sampai masa tayangnya habis. Karena itu, ini
juga pertama kalinya bagiku. Aku memilihnya karena kupikir, menonton pertama
kali akan membuatnya lebih seru.
Dr. Hawking menderita penyakit keras ALS
(Amyotrophic Lateral Sclerosis), yang perlahan membuat tubuhnya tidak dapat
bergerak. Meski begitu, ia tidak menyerah dan terus menekuni penelitiannya.
Film tersebut menggambarkan bagaimana keluarganya mendukungnya, namun di sisi
lain, perlahan juga terkuras habis.
Penggambaran penyakit itu terasa sangat nyata dan
tidak berakhir hanya dengan hal-hal manis semata. Aku sampai menangis saat
menonton. Rika pun tampak berkaca-kaca.
Di belakang wadah popcorn yang kami letakkan di
tengah, tangan kami saling menggenggam sepanjang film.
***
Saat film berakhir dan kami keluar, hari sudah hampir sore.
Rika terlihat sedikit gelisah. Sepertinya dia sedang gugup. Memang benar,
ini adalah kencan pertama. Sulit menentukan jarak yang tepat, dan rasa
berdebar itu tentu ada. Aku pun dulu pernah merasakan hal yang sama.
Tapi kami masih pelajar SMA. Hubungan ini bisa
dijalani perlahan.
“Rika. Setelah ini mau ke mana?” tanyaku.
“Eh? K–ke mana maksudnya…” jawabnya dengan wajah
memerah. Sepertinya dia
benar-benar gugup.
“Ayo jalan-jalan sebentar. Tidak perlu terburu-buru.
Kita bisa melangkah maju perlahan, sesuai ritme kita.”
Mendengar itu, Rika tampak sedikit lega.
Wajar saja. Bahkan belum 24 jam kami resmi
berpacaran. Hubungan kami dahulu dan hubungan kami
sekarang—apa yang berbeda? Mungkin banyak hal yang belum dapat dipahami.
“Meski hubungan kita berubah, hubungan
sebelumnya dan kepercayaan yang sudah kita bangun tidak akan hilang. Jadi,
kalau ada apa pun, langsung bilang, ya. Mau itu keinginan atau apa pun—kita
bukan lagi dalam hubungan di mana kita harus saling memainkan permainan.”
Aku berkata begitu, dan Rika pun tersenyum.
“Syukurlah. Aku sempat takut kalau karena kami sudah
menjadi pasangan, kami harus bersikap berbeda. Tapi kalau begitu, apa
sebenarnya yang berbeda dari hubungan kita yang sekarang? Aku jatuh cinta pada
dirimu yang apa adanya. Jadi kupikir, bagaimana kalau aku tidak bisa melihat
itu lagi… Dan, meski orang lain bilang tidak ada bedanya dari sebelumnya, entah
kenapa aku juga tidak nyaman.”
Kata-kata itu benar-benar membahagiakan.
Namun, kekhawatiran seperti itu sama sekali tidak
perlu.
“Tidak apa-apa. Tidak peduli bagaimana orang lain
memandang kita, aku ingin menjaga Rika. Aku ingin menjaga hubungan kita yang
hanya bisa dimengerti oleh kita berdua.”
Tidak ada kata lain yang dibutuhkan.
Rika menggenggam lenganku dan melangkah
selangkah ke depan.
Itulah jawabannya.
Chapter 120 — Garis Waktu Dunia α sang Ketua OSIS
—Di dalam pesawat (Sudut pandang Ketua OSIS)—
Aku berpura-pura tidur tanpa berbicara dengan ayah yang duduk di
sebelahku. Kemarin, aku dimarahi habis-habisan oleh polisi.
Ketika dia datang menjemput, kami berdua tidak mengatakan apa pun. Lalu, tanpa
bisa tidur, aku sampai di sini. Bahkan, bisa dibilang aku dipaksa untuk ikut
sampai ke tempat ini.
Sekarang, aku sudah tidak bisa kembali lagi.
Ayah di sampingku hanya minum anggur sambil menonton
film, tetap diam. Ia memakai headphone, seolah-olah untuk menghindari berbicara
denganku. Dan hal itu justru membuatku semakin kesal.
Aku hanya manyun dan tidak menyentuh makanan pesawat
yang diberikan.
Tanpa melakukan apa pun, perjalanan menuju Afrika
terasa sangat jauh. Setelah dua hari sulit tidur, saat aku berusaha
berpura-pura tidur, rasanya aku benar-benar tertidur.
Lalu, entah sejak kapan, aku terseret masuk ke dalam
dunia mimpi.
***
—Dunia α(alpha)—
Di dalam mimpi itu, aku sedang menjalani kehidupan
lain. Aku tidak pernah bertemu dengan Yaguchi Michitaka di SMA. Tanpa terlibat
dalam masalah apa pun, aku melaju mulus di jalan kehidupan seorang elit.
Aku masuk ke universitas ternama di dalam negeri,
dan saat mencari kerja pun aku berhasil besar.
Aku berhasil diterima bekerja di inti kelompok
perusahaan besar, Hongo Group. Namun, masa kejayaanku berakhir di situ.
Perusahaan raksasa terbesar di Jepang itu dipenuhi
orang-orang yang jauh lebih hebat dariku.
Kenyataan bahwa kemampuanku hanya rata-rata
membuatku panik. Dulu aku selalu berada di puncak, dan kini hanya bisa menjadi
“rata-rata” adalah sebuah penghinaan.
“Kenapa harus aku…?”
Itulah yang terus kupikirkan. Aku harus segera
meningkatkan kemampuan diriku.
Saat bekerja, aku selalu terburu-buru.
Karena itu, gaya kerjaku menjadi semakin memaksa.
Meski berhasil memaksakan hasil, aku perlahan mulai terasing dari orang-orang
di sekitarku.
Tapi meski merasa terasing, aku tidak bisa berhenti.
Satu-satunya cara hidupku adalah dengan terus membuktikan kemampuanku.
Walau kadang aku bisa menghasilkan pencapaian, tetap
saja selalu ada orang lain yang jauh lebih hebat dariku.
Pada akhirnya, aku semakin tenggelam.
Ketika aku membuat kesalahan besar, tidak ada
seorang pun yang membelaku.
Rasanya seperti seluruh dunia menjadi musuhku. Aku merasa orang-orang menertawakanku di belakang, dan aku tak lagi
punya tempat.
Satu bulan kemudian, setelah menahannya, aku
berhenti bekerja.
Harga diriku yang terlalu besar telah
menghancurkanku sendiri.
Aku tidak bisa pulang ke rumah, tempat ayahku yang
kubenci berada, dan sedikit demi sedikit aku terpuruk.
Saat itu, di sudut majalah di perpustakaan, aku
menemukan artikel khusus tentang perusahaan milik Yaguchi Michitaka.
Dia adalah teman seangkatanku di SMA, yang bahkan
aku hanya tahu namanya saja. Nilai akademisnya jauh di bawahku.
Namun dia menjadi sorotan sebagai pengusaha muda.
Jika dibandingkan dengan diriku yang jatuh terpuruk…
aku hanya bisa merasa putus asa. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa. Tubuhku
tenggelam dalam sensasi dingin.
***
—Dunia β(Beta)—
Aku terbangun. Tubuhku basah oleh keringat.
“Kenapa sih, bahkan di dalam mimpi pun, dia
menggangguku…”
Terlalu menyedihkan, air mataku tidak berhenti mengalir.



Post a Comment