Chapter 121 — Aku
Mencintaimu
—Sudut pandang Michitaka—
Keesokan harinya setelah kencan, aku pergi
berjalan-jalan ke taman.
Di sana, aku kebetulan bertemu Rika yang sedang
duduk di bangku sambil membaca buku.
Kami berdua spontan mengeluarkan suara pendek,
“Ah,” lalu tersenyum kecut.
“Kamu sedang jalan-jalan?” tanya Rika.
“Ya. Kamu sedang membaca?” balasku.
“Kalau bukan membaca, menurutmu aku sedang apa?” jawabnya, membuatku
kembali tertawa.
“Bahkan di hari libur pun kamu belajar?”
“Iya. Dari semua anggota klub, aku yang paling sedikit prestasinya. Jadi aku harus banyak belajar, kan?”
Sifat pantang menyerahnya itu sangat
menggemaskan. Tapi aku juga khawatir kalau ia berusaha terlalu
keras sampai stres.
“Jangan terlalu memaksakan diri. Kemarin saja kamu
sampai masuk angin dan terbaring sakit.”
Saat aku mengatakan itu, Rika mengangguk patuh.
“Iya. Aku juga akan berusaha tidak memaksakan diri.
Dan setelah kejadian itu, kalau merasa tubuhku tidak enak, aku akan pergi ke
dokter secepat mungkin.”
Mendengar itu, aku sangat lega. Meski tetap
tidak boleh lengah, kalau ia rutin memeriksakan diri, tanda-tanda awal penyakit
mungkin bisa ditemukan lebih cepat. Aku teringat perkataan dokter di kehidupan
sebelumnya—katanya penyakit Rika semakin cepat berkembang karena ia masih muda.
Mungkin saat ini belum ada gejalanya sama sekali.
Tapi karena takdir sudah mulai berubah, aku tidak tahu kapan Rika bisa mulai
merasa tidak enak badan.
“Begitu ya. Terima kasih.”
“Kenapa Senpai yang berterima kasih?”
“Entahlah, hanya merasa begitu saja.”
“Tapi memang benar, kok. Soalnya waktu Senpai datang
menjenguk, senpai tampak begitu khawatir sampai hampir menangis. Aku berpikir,
sebagai orang yang dicintai, aku tidak boleh membuatmu terlalu khawatir.”
Waktu itu aku terseret kembali pada kenangan melihat
Rika terbaring di rumah sakit. Padahal aku tahu itu hanya masuk angin, tapi aku
tetap hampir menangis. Rika bahkan menyadarinya—itu membuatku malu sampai
wajahku memanas.
“Justru karena sekarang kita pacaran, aku semakin
berpikir begitu. Aku tidak ingin membuatmu sedih.”
Ia berkata begitu sambil tersenyum seperti seorang
malaikat.
Semua itu dilakukan demi aku.
Tidak banyak orang yang bisa mencintai seseorang
sedalam itu. Aku bertekad membuatnya bahagia, dan di kehidupan kali ini, aku
ingin bersamanya sampai akhir. Aku ingin memakaikan gaun pengantin padanya—yang
tidak sempat ia kenakan di kehidupan sebelumnya—dan hidup bahagia bersama.
Untuk itu, aku harus melangkah maju.
Karena keseharian yang sederhana seperti inilah yang
selalu ingin kukembalikan—keseharian yang biasa.
“Rika, aku mencintaimu.”
Tanpa sadar kata-kata itu keluar. Rika memerah,
menarik napas panik, lalu menatapku lurus.
“Itu seharusnya kata-kataku, senpai.”
Chapter 122 — Rika Setelah Kencan
—Sudut pandang Rika—
Setelah kencan berakhir, aku kembali ke kamar dan
langsung menjatuhkan diri ke tempat tidur.
Rasanya menegangkan. Pergi bermain dengan orang yang
sangat aku sukai benar-benar membahagiakan. Terlalu bersemangat sampai pusing
memilih pakaian, dan karena itu aku kurang tidur sejak kemarin. Sekarang
setelah semua keseruan mereda, rasa lelah menyerang sekaligus.
“Hari ini aku harus tidur lebih awal.”
Untungnya, persiapan pelajaran sudah selesai dan
tidak ada PR. Tinggal mandi lalu langsung tidur nyenyak.
Tapi…
“Dia bilang dia mencintaiku…”
Aku mengingat adegan kencan tadi dan tanpa sadar
mengibas-ngibaskan kaki di tempat.
Hanya karena mengingatnya saja, rasa berdebar
kembali menyerang, jantungku berdetak cepat.
Bukan hanya ‘suka’, tapi ‘mencintai’. Memikirkan bahwa aku benar-benar sangat berharga baginya membuat
wajahku memanas.
Kupikir mungkin hari ini kami akan berciuman… tapi
itu tidak terjadi. Namun, aku merasa menerima sesuatu yang jauh lebih besar
dari itu.
Bukan tubuhku, tapi hatiku yang terasa penuh. Ini
adalah pengalaman yang belum pernah kurasakan. Dicintai oleh seseorang dulu
selalu terasa seperti sesuatu yang masih sangat jauh.
Seperti perasaan yang hanya muncul saat lamaran
menjelang pernikahan, atau ucapan ringan sambil minum teh saat sudah tua
bersama.
Yang muncul di benakku hanya definisi kamus.
Meski begitu, saat dia tiba-tiba mengatakan “Aku mencintaimu”, aku bisa
menjawab secara alami bahwa aku juga merasakan hal yang sama.
Itu adalah sesuatu yang ingin kuberi pujian
untuk diriku sendiri.
Lalu…
“Aku juga hampir bilang ‘aku mencintaimu’…”
Memang aku tidak mengatakannya secara langsung,
tapi maknanya hampir sama.
Kali ini aku memeluk bantal sambil kembali
mengibas-ngibaskan kaki. Karena melakukannya lebih lama dari sebelumnya, aku
agak kelelahan dan akhirnya berhenti. Gelombang emosi datang berkali-kali,
mengingatkan kembali kebahagiaan yang kurasakan saat kencan tadi, membuat
hatiku kembali terisi. Jika hanya satu kencan saja membuatku sebahagia ini… aku
tidak tahu bagaimana nanti jadinya.
Aku memejamkan mata sejenak dan membayangkan
diriku mengenakan gaun pengantin putih.
Aku buru-buru menggelengkan kepala untuk
mengusir lamunan itu.
“Masih terlalu cepat. Pernikahan…
kenapa aku malah memikirkan hal seperti ini!!”
Meskipun aku menyalahkan diri sendiri, perasaan
bahagia itu tidak bisa diredam. Ah, padahal ini baju terbaikku, tapi jadi
kusut. Sambil memikirkan itu, aku buru-buru berganti pakaian.
Entah kenapa, seolah masih ada bau dirinya yang
tertinggal.
Hari bahagia ini terus berlanjut dengan lembut. Aku ingin menikmati sedikit lebih lama sisa kebahagiaan ini. Aku merasa
diriku begitu rakus, dan hanya bisa tertawa.
Semoga hari-hari bahagiaku bersama dirinya terus
berlanjut selamanya.
Chapter 123 — Mimpi Baru
―Sudut pandang Michitaka―
Setelah kencan selesai, aku mengantar Rika pulang ke rumahnya, lalu
kembali ke rumahku sendiri.
Rasanya sangat menyenangkan. Sudah lama sejak terakhir kali kami
berkencan sebagai sepasang kekasih. Terasa begitu bermakna, dan mungkin aku
tidak akan pernah melupakan kebahagiaan hari ini.
Rika benar-benar terlihat bahagia. Aku ingin
melihat senyum itu terus menerus, sampai rasanya ingin membingkai setiap momen
untuk disimpan selamanya. Setelah sakit, dia selalu terlihat terlalu memaksakan
diri—seolah-olah ia berusaha tersenyum demi diriku.
Jadi, melihatnya tertawa lepas tanpa memikirkan apa
pun, itu membuatku benar-benar senang.
“Aku pulang.”
Saat aku berkata begitu, Ibu menyambutku dengan,
“Selamat datang. Cepat juga ya pulangnya.”
Ibu sedang makan masakan yang sebelumnya
kubuat—tumis cumi dan tomat—sambil minum sedikit alkohol. Masakan itu kubuat
dengan minyak zaitun, bawang bombai, dan bawang putih, supaya tetap enak
meskipun bumbunya ringan.
Hari ini aku seharian kencan, jadi aku sudah
memasak sedikit lebih banyak untuk dua porsi.
“Misato di mana?”
“Dia tiba-tiba pergi bermain dengan teman
klubnya, jadi belum pulang. Katanya makan malam di luar, jadi Ibu makan duluan.”
“Begitu ya. Kalau begitu aku juga akan makan
sesuatu.”
Saat aku masuk ke dapur, ternyata Ibu sudah
menyiapkan makanan untukku. Ada napolitan dan salad di atas meja.
“Ibu sengaja memasak pasta untukku?”
“Iya. Sesekali tidak apa-apa kan. Selama ini kamu
yang selalu memasak untuk kita, rasanya tidak enak kalau Ibu tidak membalas.
Lagipula, sesekali Ibu juga ingin kamu makan masakan Ibu.”
“Senangnya… terima kasih. Aku memang suka napolitan
buatan Kaede-san.”
“Ah, kamu panggil Ibu Kaede-san lagi.”
“Maaf, maaf. Maksudku, Ibu. Tapi sebenarnya aku bisa
makan masakan yang sudah kubuat dari tadi.”
Ini sudah jadi kebiasaan yang sulit dihilangkan.
“Yang ini buat Ibu, untuk teman minuman. Kan kamu
sengaja bikin rasanya ringan untuk Ibu. Jadi ini Ibu saja yang makan.”
Mendengar itu, rasanya jadi malu sekaligus hangat.
Aku melirik ke arah ruang tempat altar keluarga
berada. Sepertinya Ibu sedang minum bersama ayah dan keluarga yang telah tiada.
Membayangkan Ibu membagi masakanku untuk mereka membuatku merasa sedikit
canggung… tapi juga sangat bahagia.
“Barusan Ibu bilang pada mereka, ‘Michitaka
sekarang sudah menjadi anak yang hebat.’”
Ibu berkata begitu sambil tertawa kecil,
wajahnya terlihat agak mabuk.
Saat itu, satu mimpi baru terlintas di benakku.
Dalam kehidupan kedua ini, aku telah mengumpulkan terlalu banyak mimpi, sampai
rasanya hanya bisa tertawa sendiri.
Namun mimpi ini, aku harus mengatakannya dengan
jelas.
“Ibu, kalau aku sudah berusia 20 tahun nanti, aku
ingin minum bersama Ibu. Hanya berdua.”
Mendengar itu, mata Ibu sedikit berkaca-kaca, lalu
ia tersenyum.
“Nanti kita minum berempat.”
Ia berkata begitu sambil menunjuk ke ruang altar.
“Ya!”
Aku mengangguk dengan penuh semangat.
Chapter 124 — Niat
Sebenarnya Misato
―Garis Dunia α(alpha) · Sudut pandang Misato―
Aku sedang dalam perjalanan menuju izakaya tempat aku dan suamiku akan
bertemu dengan Katsuya-san.
Kami sama-sama sibuk, dan akhirnya kami bisa meluangkan waktu untuk
berbincang dengan santai setelah sekian lama. Sudah lama sejak kami terakhir
bertemu dengan sahabat kakakku itu—orang yang kini meneruskan perusahaan milik
kakakku.
Meskipun secara formal, perusahaan yang kakakku dirikan telah diakuisisi
oleh Grup Hongo, namun bentuknya hanya di atas kertas. Pada
kenyataannya, Katsuya-san dan yang lain mendirikan perusahaan baru.
Sementara itu, Hongo Kantaro—orang yang membuat
kakakku sampai meninggal—telah diusir dari keluarga, lalu terjerumus dalam
alkohol, mengalami kecelakaan, dan kini masih kritis tanpa kesadaran, hidupnya
bergantung pada alat bantu di rumah sakit.
“Maaf menunggu. Aku terlambat ya?”
Seperti biasa, Katsuya-san terlihat bersemangat.
Hari ini kami memesan ruang pribadi di sebuah izakaya yang agak bagus.
Airi-chan kami titipkan di rumah.
“Tidak, sama sekali tidak. Terima kasih sudah
meluangkan waktu padahal sibuk.”
Saat aku berkata begitu, Katsuya-san tertawa lebar
sambil berkata, “Kok ngomong begitu sih. Untuk kalian berdua, aku akan datang
kapan saja. Meski sayang sekali aku tidak bisa bertemu Airi-chan.”
“Bagaimana perkembangan pekerjaan?”
“Tentu saja bagus. Aku tidak boleh sampai membuat
perusahaan Michitaka bangkrut. Akhir-akhir ini, hubungan dengan Grup Hongo juga
makin baik, seperti pepatah ‘setelah hujan, bumi mengeras’. Calon presiden
mereka ternyata junior waktu SMA. Entah kenapa, kami nyambung banget.”
Begitu ya. Aku pernah mendengar bahwa demi
melindungi orang-orang yang bekerja dengan kakakku, Katsuya-san bekerja sama
dengan kelompok non-arus utama dalam Grup Hongo untuk menjatuhkan pria itu.
Mungkin hubungan baik dengan Grup Hongo yang sekarang adalah hasil dari hal
itu.
“Sekarang, membayar gaji karyawan saja sudah
menguras tenaga. Michitaka hebat banget, ya,” katanya sambil tertawa.
Kami pun ikut tertawa.
Kami bertiga minum bersama. Katsuya-san menggoda
suamiku, “Cepetan kerja di perusahaanku dong.”
Ah… nostalgia sekali. Dulu waktu minum berempat bersama kakak, pembicaraan kami
juga seperti ini.
Saat mengingatnya, tiba-tiba mataku terasa panas.
“Misato, kamu tidak apa-apa?”
“Ada apa, Misato-chan!?”
Keduanya menatapku dengan cemas. Rupanya aku tidak
bisa menahan air mataku.
“Tidak… maaf. Aku hanya merasa rindu…”
Keduanya mengangguk pelan.
Selama ini, aku tidak boleh menangis di depan
Airi-chan, yang paling terluka. Jadi semua perasaan itu kini akhirnya meleleh
keluar.
“Pada akhirnya… aku sama sekali tidak bisa membalas
kakakku. Setelah Ibu meninggal, dia mengurus biaya sekolahku, jadi orang tua
bagiku… Dia masih begitu muda. Seharusnya aku bisa banyak membalas kebaikannya
ke depannya… tapi…”
Keduanya ikut meneteskan air mata.
“Nangislah sepuasnya. Selama ini kamu menahannya
demi Airi-chan, kan? Kalau ada apa-apa, bilang saja kapan pun. Aku juga akan
bantu semampuku.”
Kata-kata Katsuya-san terasa begitu dalam menusuk
hati.
Akhirnya, aku bisa menangis.
Chapter 125 — Airi dan
Michitaka
―Garis Dunia α(alpha) · Sudut pandang Airi―
“Tadaima (Aku pulang).”
Hari ini, tidak ada orang yang menjawab sapaan pulangku seperti biasa. Rasanya sedikit sepi, tapi tidak apa-apa. Mereka berdua pasti pulang.
Saat ayah tiba-tiba meninggal, aku masih sempat
mengucapkan “Ittekimasu (Aku pergi),” tapi tidak pernah bisa mengatakan
“Tadaima (Aku pulang)” padanya lagi.
Hari ini, giliran aku yang menyambut mereka
pulang.
Kalau saja aku tidak ada kegiatan komite, aku bisa
ikut juga. Sudah lama aku tidak bertemu Katsuya-ojiichan.
Tapi hari ini adalah kesempatan penting bagi mereka
bertiga untuk bicara serius tentang urusan orang dewasa...
Mereka sudah menyiapkan makanan untukku. Itu
membuatku sangat senang. Padahal aku bilang makanan beku juga tidak apa-apa,
tapi di kulkas ada kari dan nikujaga—dua makanan favoritku.
Kari buatan Misato-obachan mirip sekali rasanya
dengan buatan Ayah, makanya aku sangat menyukainya.
Yah, wajar sih, mereka sering memasaknya bersama.
Aku belum pernah bertemu nenek—ibu dari dua orang
itu. Katanya beliau meninggal sebelum aku lahir.
Ayah selalu datang ke rumah bibi, lalu pertama-tama
pergi ke ruang altar keluarga untuk memberi kabar tentang kami pada nenek. Aku
masih ingat itu.
Aku juga setiap hari memberi kabar pada Ayah di
altar.
Tentang apa yang terjadi hari ini, bagaimana keadaan
mereka berdua, dan perkembangan belajarku.
Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan.
Tapi bagaimanapun juga, tidak ada jawaban yang
kembali.
Di depan altar, aku menangkupkan tangan dan
berbicara pada Ayah.
“Ayah… aku ingin kamu tetap berada di dekatku.
Aku ingin ngobrol lagi.”
Karena aku sendirian di rumah, rasa sepi itu muncul
sedikit lebih kuat.
Tapi mengeluh bukan hal buruk. Mereka berdua
selalu bilang begitu.
Hari ini hanya ada aku dan Ayah, jadi aku
membiarkan semua keluhanku mengalir.
“Berkat mereka berdua, aku bahagia. Itu pasti. Tapi
tetap saja, aku merasa hanya Ayah yang aku punya… Padahal kita tidak punya
hubungan darah. Aneh ya? Ayah juga tidak punya hubungan darah dengan nenek,
kan? Tapi katanya kalian benar-benar akur seperti orang tua dan anak kandung.”
Kalau dipikir-pikir, mungkin kami juga seperti itu.
Aku tahu hubungan darah penting dalam menjadi
keluarga.
Tapi aku rasa itu bukan sesuatu yang mutlak.
“Aku ingin bertemu nenek juga… Aduh, aku jadi
terdengar murung. Tapi Ayah pasti memaafkanku, kan? Aku mau makan kari
buatan Obachan dulu ya. Aku bawa juga satu porsi buat Ayah, kita makan bareng.”
Aku mengatakan itu untuk mengubah suasana hatiku,
lalu menuju dapur.
Tapi ada satu hal yang tetap ingin aku
sampaikan—sesuatu yang sudah berkali-kali kukatakan pada Ayah, namun ingin
tetap kuungkapkan lagi.
“Kalau aku terlahir kembali… tolong jadikan aku
anakmu yang sesungguhnya ya, Yah. Tidak ada orang di dunia ini yang lebih cocok
menjadi ayahku selain kamu.”
Aku juga pasti akan mencarimu.
Tanpa mengucapkannya lagi, aku berjalan menuju kari
kesukaanku— masakan yang menjadi simbol keluarga kami.
Chapter 126 – Kakak
—Sudut pandang Misato—
Waktu mengalir perlahan.
Kami berada di ruang pribadi sebuah izakaya, tenggelam dalam obrolan tentang
kenangan kakakku.
“Yah, karaage di sini itu kesukaan Michitaka. Sambil minum bir atau highball, dia bisa habis makan beberapa piring.”
Katsuya-san tertawa. Aku memang tidak pernah
pergi ke izakaya bersama kakakku, tapi aku tahu dia sangat menyukai karaage,
jadi aku ikut tertawa. Dari kecil, dia selalu suka karaage jahe buatan ibu.
“Dia benar-benar orang yang luar biasa, ya.”
Suamiku ikut menimpali. Dia memang cocok
berteman dengan kakakku, dan mereka sering minum bersama.
“Benar.”
Katsuya-san mengangguk sambil meneguk birnya.
“Soalnya, meskipun dia pengusaha yang sangat
diperhatikan dunia industri, dia tidak pernah sombong. Dia santai,
selalu perhatian pada kami. Meski sudah berkali-kali ditampilkan dalam majalah,
tapi kata-kata andalannya selalu…”
Mendengar perkataan suamiku, kami pun meneruskannya
sambil tertawa.
“‘Aku sama sekali tidak hebat. Yang hebat itu bawahan yang mau bergerak mengikuti instruksiku.’”
Kami bertiga tertawa terbahak.
Benar-benar seperti kakakku. Mungkin dia menilai
dirinya terlalu rendah, tapi dia sangat rendah hati, dan selalu mengatakan
bahwa pencapaiannya adalah milik orang lain.
Karena itu, katanya orang yang paling tidak tahu
tentang kemampuan Yaguchi Michitaka adalah dirinya sendiri.
“Dia itu tidak diragukan lagi seorang jenius. Semua orang yang bersamanya terpesona olehnya. Kalau demi dia, kemampuan
kami bisa jadi 120 persen. Dia menciptakan lingkungan yang membuat orang
mengeluarkan kemampuan melebihi batas. Dan dia melakukannya secara alami,
seolah itu hal yang wajar.”
Terdengar helaan napas panjang dari Katsuya-san.
Dia melanjutkan.
“Baru setelah menggantikan posisinya, aku
benar-benar paham. Aku juga pernah dielu-elukan, jadi aku punya rasa percaya
diri. Tapi Michitaka itu jauh melampaui aku… dia adalah jenius yang berada di
tingkat yang berbeda.”
Itu adalah kata-kata yang ingin kudengar kakakku
dengarkan.
“Oh ya, ada sesuatu yang harus kusampaikan pada
Misato-chan. Dulu Michitaka menyuruhku merahasiakannya, tapi aku merasa kau
harus tahu.”
Ekspresi Katsuya-san tampak seperti sedang
membayangkan kenangan masa lalu. Aku mengangguk pelan. Aku ingin tahu apa pun
tentang kakakku.
“Perusahaan kami itu, awalnya cuma kerja sampingan,
kan? Dia berusaha keras untuk biaya pendidikanmu. Katanya setelah kehilangan
dua orang penting, dia hanya ingin lari dari kenyataan. Saat itu, dia jarang
minum, tapi suatu hari dia mabuk berat dan berkata pelan…”
Katsuya-san menenggak birnya. Seolah sedang
meneguhkan hati untuk melanggar janji dengan sahabatnya.
“‘Buatku saat ini, aku masih bisa punya harapan
hidup karena Misato ada. Dia merasa bersalah karena membebani aku, tapi itu
sama sekali tidak benar. Justru karena Misato ada, aku bisa maju. Aku tidak
akan pernah bisa cukup berterima kasih. Kalau adikku bahagia, itu sudah cukup
bagi seorang kakak.’”
Mendengar itu, air mataku kembali tak dapat
dibendung.
“Terima kasih, Kak…”
Tapi, kenapa kau meninggalkanku?
Aku ingin bertemu lagi.
Chapter 127 – Si Tukang Selingkuh Kabur (LOL)
—Di atas kapal · Sudut pandang si pria
selingkuh—
Aku gemetar sendirian di dalam kamar. Kenapa?
Kenapa, padahal seharusnya aku sudah memulai ulang hidupku, tapi semuanya
berakhir dengan kegagalan seperti ini?
Di usia segini, aku punya utang. Orang tuaku
hampir memutus hubungan denganku. Kalau aku kehilangan pekerjaan ini juga, apa yang
harus kulakukan? Hidupku… rumah… makan… bahkan kalau pun aku ingin bergantung
pada ibuku, aku tak bisa menghubunginya karena dia di laut Arktik.
Tubuhku gemetar tak terkendali.
“Mungkin lebih baik kalau aku mati saja.”
Pikiran itu melintas di kepalaku.
Benar. Kalaupun aku kembali ke kehidupan sebelumnya,
aku akan menghabiskan sisa hidupku di rumah sakit. Kalau begitu, lebih baik aku
mati di sini.
Di depan kamar memang ada penjaga, tapi kalau
kupaksakan, mungkin saja aku bisa menerobos.
Lalu kalau aku terjun ke laut… mungkin aku bisa
menjalani hidup baru lagi!
“Benar! Aku adalah orang terpilih. Karena itulah aku bisa menjalani kehidupan terbaik sebelumnya. Kali ini pun
aku bisa memulai ulang. Tidak apa-apa, aku bisa mengulang hidup sebanyak apa
pun.”
Dengan berkata begitu, aku menyingkirkan rasa takut
yang merambat dari naluri.
“Aku bisa. Aku bisa. Aku bisa.”
Aku berulang kali bergumam, berusaha menahan
tangan yang terus gemetar.
Aku menarik napas dalam-dalam dan berlari sekuat
tenaga. Aku membuka pintu lebar-lebar. Di hadapanku, penjaga yang terkejut
mendengar suara keras itu tampak bingung. Sepertinya ia tidak mampu merespons
gerakanku yang tiba-tiba.
Aku mengabaikan penjaga itu dan berlari.
“H-h-hey! Berhenti!”
Ia buru-buru mengejarku, tetapi tentu saja ia
tertinggal. Mereka pasti tidak menyangka aku akan kabur. Ini
kapal, tidak ada tempat untuk melarikan diri.
Kalau orang normal, begitu pemikirannya…
Tapi aku adalah orang yang terpilih. Karena itu aku
bisa mengulang permainan ini. Dengan mudah.
Karena itu, bahkan di tengah laut seperti ini, aku
bisa kabur.
Lebih cepat… lebih cepat. Benar, aku adalah burung.
Aku akan menjadi burung dan terbang bebas di dunia ini.
Di lorong sempit, aku menjatuhkan kardus-kardus
untuk menghalangi pengejarku.
Akhirnya, geladak terlihat.
Dengan ini aku bisa bebas. Tak ada seorang pun
yang bisa menghentikanku.
Saat aku berpikir bahwa bahkan takdir
menyebalkan dunia ini tak mampu mengalahkanku, aku berteriak.
Mungkin karena terlalu bersemangat, tiba-tiba
aku mendengar suara perempuan yang belum pernah kudengar sebelumnya.
“Mana mungkin aku membiarkanmu.”
Itu suara yang sangat dingin. Seakan penuh
keputusasaan…
Hanya mendengarnya saja membuat bulu kudukku
berdiri.
“Aku tidak akan membiarkanmu melarikan diri.
Tebuslah dosamu sambil menderita di dunia ini.”
Sesuatu menyambar kakiku. Rasanya seperti logam
dingin. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh ke depan. Di depan mataku
terlihat pagar pengaman besi. Semuanya terasa seperti gerakan lambat ketika
jarak di antara kami semakin dekat.
Aku berusaha keras menoleh, mencoba melindungi
kepala, tapi kepalaku bergerak sangat lambat.
Sretuk! Suara tumpul terdengar, rasa
sakit yang luar biasa menjalar, dan kesadaranku menghilang.
Dalam kesadaran yang memudar, aku menyadari bahwa
dunia ini adalah penjara jiwa… tempat yang jauh lebih tak terhindarkan daripada
pulau tak berpenghuni.
Chapter 128 – Bisakah Hidup Si Tukang Selingkuh Diulang?
—Dunia ?—
Aku kembali berada di dunia yang sepenuhnya
gelap.
Di depanku, berdiri sosok pemilik suara tadi. Ia
memancarkan cahaya, tetapi hanya siluet samar yang terlihat.
“Kau yang menghalangi aku?”
Aku menatapnya dengan penuh dendam, namun dia
hanya mendengus seakan mengejek.
“Aku sudah menolongmu, tapi kenapa cara bicaramu
seperti itu?”
“Menolong!? Kaulah yang menjatuhkanku ke neraka
seperti ini, lalu berani-beraninya bilang begitu!”
“Kalau otakmu yang cupu itu tidak bisa memahami,
biar kujelaskan dengan sederhana. Sepertinya kamu pikir bisa reinkarnasi sekali
lagi, kan? Itu kesalahan besar.”
“Apa?”
Aku naik pitam dan hendak memukulnya—namun tanganku
menembus tubuhnya, membuatku jatuh tersungkur dengan menyedihkan.
“Itu, itu! Itulah kenapa aku bilang kamu
benar-benar… bodoh. Dalam istilah game, kamu sekarang dalam kondisi nyawa
habis. Kalau kamu mati di sini, kamu akan kembali ke dunia pertamamu. Ke
neraka di mana kamu hanya bisa sadar sambil terbaring koma.”
Mendengar itu, tubuhku mulai berkeringat dingin tak
terkendali.
Apa-apaan!? Jadi aku tidak bisa memulai hidup lagi!?
Jadi pilihanku cuma neraka ini atau neraka yang
lebih parah!?
Kenapa aku bukan tokoh utama!?
“Sampah.”
Ia mengucapkan kata itu dengan suara dingin, seperti
sedang membuang sampah.
“Selanjutnya terserah kamu. Menurutku, lebih baik
kamu menebus dosa di kehidupan yang sekarang.”
Kesadaranku perlahan kembali ke tubuh.
***
—Di Kapal · Ruang Medis—
Saat membuka mata, aku sudah terikat di ranjang.
Tubuhku diikat dengan tali sehingga aku tak bisa
bergerak.
“Sudah sadar? Untuk mencegahmu kabur, kami harus
mengikatmu. Yah… dalam kondisi begitu, kamu memang tak akan bisa bergerak.”
Melihatku bangun, seorang pria yang terlihat
seperti kapten kapal berbicara.
Seluruh tubuhku terasa sakit luar biasa.
Yang paling parah adalah rasa mual dan pusing.
“Kata dokter kapal, tulang wajahmu patah. Kami sudah memanggil helikopter
darurat, tapi kondisimu parah. Bisa jadi kamu akan mengalami cacat permanen
atau perlu operasi wajah. Untuk sementara, kamu juga kami beri perlakuan
pencegahan bunuh diri.”
Saking sakitnya, aku bahkan tak bisa bicara.
Cacat permanen? Operasi wajah?
Wajahku… wajahku yang berharga…
“Aku… tidak bisa mengulang hidup lagi!?”
Dengan kesadaran yang kabur, aku bergumam.
Aku gemetar, menyadari telah melakukan sesuatu
yang tidak bisa diperbaiki lagi.
Utang… wajah rusak… kemungkinan cacat?
Dan semua itu salahku sendiri…
Tidak! Aku tidak mau hidup seperti ini!
“Ini tidak bagus, dia mulai mengigau karena rasa
sakit. Cepat, obat pereda nyeri!”
Dokter kapal panik dan mulai menyiapkan obat. Adegan itu mengingatkanku pada trauma hidupku yang pertama.
Tidak… aku tidak mau kembali ke kehidupan itu…
Tolong… seseorang tolong aku…
Miyabi… ayah… ibu…
Chapter 129 – Di Afrika
—Gurun Sahara · Sudut Pandang Mantan Ketua OSIS—
Mobil melaju di jalan yang sangat buruk.
Kalau mobil ini mogok, mungkin aku akan mati di
tempat seperti ini.
Neraka yang membakar.
Tak ada air, tak ada listrik, tak ada gas.
Sulit dipercaya.
Apa aku harus hidup di tempat seperti ini untuk
sementara waktu?
Pemandangan kota modern di Jepang terasa seperti
kenangan dari masa yang sangat jauh.
Ayah sedang berbicara dengan staf lokal dalam
bahasa Inggris.
Kemampuannya jauh lebih baik dariku; aku merasa
tertusuk oleh rasa cemburu dan muak.
Padahal dia ayah yang menyedihkan, tapi di sini
dia terlihat begitu kompeten.
Aku tak paham apa yang mereka bicarakan, jadi
aku hanya bisa melihat keluar jendela.
Waktu terus berjalan perlahan di tengah gurun tanpa
perubahan.
Tanpa kusadari, air mata mengalir.
Ayah dan sopir di depan terlihat bercengkerama
dengan gembira.
Mungkin mereka sedang membicarakan hal teknis.
Aku merasa tersisih.
Tak ada yang mengakui keberadaanku.
Tak ada yang mengenal diriku.
Padahal di SMA bukan begitu.
Semua orang menghormatiku.
Seorang siswi berprestasi dengan nilai yang luar
biasa.
Ketua OSIS yang rajin dan berdedikasi.
Cukup dipuji seperti itu saja sudah membuat hatiku
penuh.
Tapi sekarang, harga diri yang dulu mengisi diriku
itu, telah hancur berkeping-keping.
Aku kalah dari pria suram itu.
Baik dalam debat, lobi, maupun hasil akhir—aku
kalah.
Aku bahkan melakukan hal buruk, dan itu tetap
terbongkar.
“Kenapa aku bisa kalah dari orang seperti itu…?”
Aku teringat mimpi yang kulihat di pesawat.
Apakah itu masa depanku?
Kalau saja aku tak bertemu Yaguchi Michitaka,
mungkin aku akan gagal di suatu tempat, dan pada akhirnya kalah darinya… Lalu
mungkin mati.
Rasa kegagalan yang kurasakan saat itu menjurus pada
dorongan untuk mati.
Aku ingin cepat-cepat keluar dari tempat itu.
Sekarang pun sama.
Hanya saja bentuknya berbeda— Aku kalah dari pria
yang dulu kuanggap remeh, dan kini dibuang ke tempat terpencil seperti ini.
Aku… harus menghabiskan masa mudaku yang berharga di
tempat seperti ini?
Tak ada apa-apa.
Bahkan seolah-olah hidup pun dilarang ada di sini.
Di neraka seperti ini, waktu berhargaku terus
tergerus.
Sambil membawa aib dikeluarkan dari sekolah
bergengsi itu.
Pasti mantan teman-teman sekelas menertawakan aku.
Rasanya begitu hina sampai aku ingin mati.
Sepertinya kami telah sampai di barak perusahaan
yang menjadi tujuan hari ini.
Mobil berhenti.
“Pak Kepala Divisi, Anda datang!”
“Kami sudah menunggu!”
“Jika Kepala Divisi ikut proyek ini, kami seperti
dapat kekuatan seratus orang!”
Semua orang memuji ayah.
Aku tak bisa mempercayai itu.
Di rumah, ayah dianggap tak punya nilai apa pun dan
selalu diremehkan…
Tapi di sini, dia diperlakukan bak penyelamat.
Aku tak bisa memahami situasinya.
Rasa kalah yang tak tertahankan menusuk diriku
dalam-dalam.
Chapter 130 – Industri
—Sudut Pandang Sugawara · Grup Hongo—
Aku berlari memasuki ruangan presiden direktur.
Belum pernah aku merasa rambut panjang
kebanggaanku begitu mengganggu.
Hari ini aku memakai rok, dan aku langsung
menyesal karena berlari terburu-buru.
Meski aku membuka pintu tanpa mengetuk, presiden
sama sekali tidak terlihat terkejut saat menyambutku.
“Anda tidak terlalu terkejut, ya?”
Justru aku yang terengah-engah hingga sulit
bernapas.
“Aku sudah menduga kau akan datang. Jadi,
bolehkah aku mendengar pendapatmu tentang game yang kuberikan?”
Benar-benar pria yang sulit dibaca.
Bukan hanya berhasil membangkitkan kembali
perusahaan yang dulu berantakan, ia bahkan memimpinnya hingga menjadi raksasa
terbesar di industri game.
Dan pagi ini, dia datang ke ruanganku dan
berkata seperti ini—kepada diriku, kepala divisi pengembangan game.
“Putraku, Mitsumasa, sepertinya membuat game melalui
klub sekolah. Hanya proyek main-main anak SMA, tapi maukah kau mencobanya?
Katanya dia ingin ikut melihat tempat kerja suatu hari nanti.”
Bahkan presiden hanya menganggap hal itu biasa
sebagai kasih sayang orang tua.
Di CD itu bahkan tidak tertulis judul
gamenya—sebuah karya indie polos.
Unduhan selesai dengan cepat, dan ketika aku
menjalankan gamenya, aku terpaku sesaat.
Ternyata game itu adalah karya yang sedang ramai
dibicarakan di internet—sebuah game dengan kualitas yang tak terbayangkan
dibuat oleh anak SMA.
Ah… aku pernah mendengar bahwa putra presiden
pandai menggambar.
Kalau begitu, kupikir mungkin hanya visualnya
yang bagus—sekadar game biasa.
Namun, ketika kumulai bermain sambil berpikir
begitu, aku langsung tenggelam ke dalam dunia game tersebut.
BGM yang dikomposisi dengan sangat matang,
skenario yang membisikkan adanya kisah megah yang tersembunyi, serta ilustrasi
yang memukau.
UI dan efek yang halus dan tidak membuat
frustrasi.
“Ini… karya anak SMA!?”
Mungkin saja ada profesional yang membantu
karena hubungan keluarga.
Tapi mengingat sifat presiden, rasanya mustahil ia
meminta bantuan seperti itu.
Artinya, ini adalah karya penuh ambisi yang
diciptakan oleh sekelompok anak SMA yang memiliki kemampuan setara profesional.
Tidak heran game ini begitu ramai
diperbincangkan online—benar-benar menarik.
Sayang ini hanya versi demo, jadi hanya bisa
dimainkan sampai titik tertentu.
Dan setelah itu, aku berlari ke sini.
Presiden tersenyum puas.
“Bagaimana?”
“Setiap anggota tim memiliki karakter dan bakat
yang begitu menonjol. Benturan individualitas yang luar biasa.”
Presiden mengangguk dengan senyum seolah sangat
setuju.
“Benar, kan?”
Namun, sang jenius bisnis itu tampak bertanya
dengan tatapan, “Hanya itu?”
Seakan tahu betul apa yang ingin kusampaikan.
“Dan… meski mereka semua adalah kreator
muda—anak SMA yang seharusnya belum mampu mempertimbangkan orang lain…”
Aku menarik napas dan melanjutkan dengan
bersemangat.
“Mereka bentrok pada bagian yang memang mesti
berbenturan, dan mampu selaras di bagian yang harus selaras. Ada sosok
pendukung terkuat yang berhasil menyatukan para jenius ini. Biasanya posisi
pendukung semacam itu membutuhkan pengalaman dan prestasi hidup, tetapi seorang
anak SMA yang seharusnya belum memilikinya dapat melakukan semuanya dengan
sempurna.”
Jawabanku tampaknya memuaskan sang presiden.
“Seperti yang kuharapkan. Kreator jenius memang
cepat memahami sesuatu—itu sangat membantu. Kau ingin bertemu dengan pendukung
terkuat itu, kan?”
Aku mengangguk tanpa ragu, seolah menjawab sebelum ia selesai berbicara.
Chapter 131 – Legenda yang
Hidup
—Sudut Pandang Michitaka—
Saat aku membolak-balik halaman buku yang sedang kubaca di atas tempat
tidur, ponselku berbunyi.
Dari Pak Hongo.
“Selamat malam, ada apa?”
Aku menjawab seperti biasa, dan dia tertawa kecil.
“Sekarang bisa bicara?”
Di belakangnya terdengar suara keras. Suara mesin… pesawat?
“Bisa sih. Apa Anda sedang dalam perjalanan ke suatu
tempat?”
“Betul. Ini jet pribadi, jadi kita bisa bicara seperti
ini. Ada karyawan bodoh yang membuat masalah besar. Aku sedang pergi untuk
menangani ‘pembersihan’ akhirnya.”
Mendengar itu, aku terkejut dengan betapa cepat
orang kaya bertindak, tapi kata “mengurus kekacauan bawahan” langsung membuat
perutku ikut sakit.
Memang, jadi pucuk pimpinan perusahaan besar itu
berat.
“Di tengah kesibukan seperti ini, tidak apa-apa
menelepon saya?”
“Justru karena sedang begini, aku ingin
mendengar suaramu.”
Walau kedengarannya seperti perkataan kekasih, aku
tak bisa menahan tawa kecil.
Tapi waktu untuk berbicara dengannya sangat
berharga. Ia sering menuturkan pemikiran luar biasa tanpa sengaja—orang ini
benar-benar hebat.
“Saya tersanjung.”
Saat kukatakan itu, ia tertawa.
“Baiklah, masuk ke inti. Soal berkunjung ke
perusahaan tempo hari, kau masih ingat?”
Mendengar itu, rasa antusiasku langsung
meningkat.
Bagaimana tidak—perusahaan presiden itu seperti
legenda hidup.
Bisa dibilang saat ini mereka berada pada masa
keemasan.
Bertemu langsung dengan legenda industri
membuatku gemetar.
“T-tentu saja!!”
Saking bersemangatnya, suaraku naik nada.
Dari telepon, kudengar ia tertawa kecil seolah
merasa lucu.
Tapi siapa pula yang bisa tetap tenang kalau bisa
bertemu orang-orang yang ia kagumi?
“Begitu ya, bagus. Sebenarnya, saat kuberikan game
yang kalian buat kepada Kepala Divisi Sugawara, dia tertarik. Dia bilang ingin
sekali kalian datang berkunjung.”
Kepala Divisi Sugawara!?
Mendengar nama “legenda hidup” itu keluar, tubuhku
bergetar.
Aku sudah berkali-kali membaca kisah hidupnya.
Seorang jenius pemrograman yang sudah terkenal sejak
masa sekolah, lalu direkrut perusahaan komputer Amerika—makhluk luar biasa.
Game yang ia buat saat masih kerja paruh waktu
menjadi hit jutaan kopi.
Saat masih menjadi pegawai biasa, ia terjun ke
proyek game yang mandek, menghapus semua progress yang ada, dan membuat game
baru dari nol hanya dalam setahun—sebuah legenda.
Ia bahkan pernah menggunakan bug dengan sengaja
untuk menciptakan perilaku yang melampaui batas perangkat keras—kegilaan yang
terpuji.
Berapa kali aku merasa dadaku terbakar oleh
kisah-kisah luar biasanya?
Dan dia—sosok yang kuimpikan—ingin bertemu
denganku.
Rasanya seperti pusing karena terlalu
bersemangat.
Tanpa pikir panjang, aku menyetujui undangan itu
dan memutuskan untuk datang setelah pulang sekolah bersama teman-teman.
Waktu seperti mimpi itu sudah di depan mata.
Saking bersemangatnya, aku tidak bisa tidur.
Chapter 132 — Kunjungan ke
Perusahaan
Setelah pulang sekolah, Presiden Hongo mengirim mobil untuk menjemput
kami di dekat sekolah.
Kami menerima tawaran itu dengan senang hati dan menunggu di tempat yang
telah disepakati di depan stasiun.
“Aku tidak sabar,” kata Rika dengan senyum
lebar.
Semua orang tampak gelisah.
Wajar saja—kami akan mengunjungi tempat kerja para
profesional papan atas.
Bahkan Takuji, yang mengajukan ide ini, terlihat
gugup.
“Kenapa kamu yang paling gelisah, Takuji?” tanya
Katsuya sambil tersenyum miring.
“Ya… soalnya kesempatan ini jarang sekali. Waktu
dulu aku minta, mereka bilang ‘ini bukan tempat bermain’, jadi ditolak. Tapi
sekarang, justru mereka yang mengundang. Jadi… rasanya aneh saja.”
Takuji tertawa kecut.
Mungkin itu karena hasil kerja kami telah diakui.
Rasanya aku bisa memahaminya.
Presiden Hongo mengakui pencapaian kami dengan
tulus.
Karena itulah, ia memenuhi keinginan Takuji—karena
ini bukan lagi sekadar main-main.
Tentu saja kami tahu perusahaan juga punya tujuan
mereka sendiri.
Tapi tetap saja, itu adalah kehormatan besar.
Ini mungkin bagian dari strategi untuk merekrut
para talenta muda.
Akan bagus jika kelak kami bisa menjadi
karyawan, tapi meski tidak, hubungan yang baik bisa membuat kami bekerja sama
dalam proyek tertentu.
Bagaimanapun, itu akan menguntungkan perusahaan.
Seperti memborong bibit unggul sebelum yang lain—blue-chip
scouting.
Dan fakta bahwa si monster bisnis itu melihat “potensi masa depan” dalam
diri kami… jujur saja, itu sangat menyenangkan.
Aku sendiri punya keinginan membangun perusahaan
independen.
Karena itu, hubungan seperti ini sangat berharga.
Dan bila bisa dimanfaatkan, tentu harus
dimanfaatkan.
Presiden Hongo seakan berkata tanpa suara,
“Silakan manfaatkan kami. Dan kami juga akan
memanfaatkan kalian.”
Selain itu, kami juga akan bertemu “legenda hidup”.
Di kehidupan sebelumnya, aku hanya bisa melihatnya
dari kejauhan saat pesta—belum pernah berbicara dengannya secara langsung.
Selain itu, waktu itu ia sudah menjadi direktur
eksekutif dan jarang turun ke lapangan, jadi tak pernah ada kesempatan untuk
melihatnya bekerja sebagai praktisi sejati.
Aku tidak sabar menantikan kesempatan ini.
Yang menakutkan adalah… meski sudah beralih ke
posisi manajerial, ia tetap sangat kompeten, bahkan disebut sebagai calon
penerus Presiden Hongo—seperti tangan kanannya.
Sebuah mobil hitam berhenti di depan kami.
Dari depan, tampak seperti mobil mewah biasa… Tapi panjangnya… terlalu panjang.
“Limusin?”
Takuji ternganga.
Sepertinya bahkan anak kandung sang presiden pun
tidak diberi tahu soal ini.
Aku tak bisa menahan senyum kaku.
Tidak mungkin, kan… Menjemput anak SMA dengan
limusin?
Apa si monster bisnis itu sebegitu putus asanya
ingin merekrut kami?
Atau mungkin… Ini semacam kekuatan simbolis—untuk
menunjukkan posisi dan superioritas.
Mungkin untuk membuat kami terintimidasi.
Atau mungkin juga… Ini bentuk perlakuan istimewa.
Apa pun maksudnya, rasanya jelas: Mereka tidak
memandang kami sebagai anak SMA lagi.
Kami pun perlahan masuk ke dalam mobil.
Chapter 133 — Limusin & Hukuman
“Selamat datang. Saya sudah menerima
pemberitahuannya. Silakan naik.”
Seorang sopir yang tampak seperti pria paruh baya
berwibawa menyambut kami dengan ramah, mempersilakan kami masuk ke mobil.
Kami masuk ke limusin itu dengan canggung.
“Karena kalian masih terlalu muda untuk minum
alkohol, kami sudah menyiapkan minuman ringan dingin. Ada ginger
ale, air mineral, dan lainnya di dalam kulkas kecil. Silakan dinikmati.”
Sungguh lingkungan yang luar biasa.
Bahkan saat aku menjadi presiden (di kehidupan
sebelumnya), aku tidak pernah dijemput seperti ini—biasanya naik kereta.
Memang luar biasa ya perusahaan besar… dana
hubungan masyarakatnya benar-benar besar…
“Tuan Hongo berkata agar kalian menikmati
perjalanan sedikit, jadi kita akan berkeliling tempat-tempat terkenal di Tokyo
selama sekitar satu jam. Silakan bersantai.”
Tunggu… jangan-jangan ini bukan biaya perusahaan,
tapi uang pribadi?
Penjemputannya juga atas nama pribadi, bukan
perusahaan…
Seandainya kami sudah cukup umur, kami pasti diberi
sampanye untuk minuman sambutan.
Sedikit menyedihkan.
Saking mewahnya interior mobil, aku hampir saja
mencari tarif sewanya di internet… untung aku menahan diri.
“Luar biasa… orang dewasa memang hebat…” Rika
berkata sambil gemetar kagum.
Aku juga sependapat.
Meski jiwaku sudah tua, aku belum pernah melihat hal
seperti ini.
Pengalaman seperti ini mungkin hanya sekali seumur
hidup—jadi harus dinikmati sebaik mungkin.
“Kalau begitu, ayo minum sesuatu. Kan sudah
disiapkan, masa tidak diminum. Ginger ale mirip minuman beralkohol, jadi
lumayan buat gaya.”
Terbayang sampanye yang seharusnya jadi minuman
sambutan.
Aku menuangkan ginger ale untuk semua.
Di sofa ada lubang seperti tempat gelas agar
minuman tidak tumpah. Keren juga.
Mobil mulai bergerak.
Badan mobil yang besar ditambah teknik mengemudi
profesional membuat perjalanan hampir tanpa guncangan.
Sungguh nyaman.
Sepertinya kami menuju Tokyo Tower, simbol ibu
kota.
Pengalaman sekali seumur hidup ini membuat mata
kami berbinar—tenggelam dalam dunia yang jauh dari keseharian.
***
— Semalam, Sudut Pandang Si Pria Selingkuh —
Aku dibawa ke ruang rapat rumah sakit, dan di sana ayahku sudah menunggu.
Melihat wajahnya saja, aku tahu ia sedang marah.
“Menurut hasil pemeriksaan, kesehatanmu baik-baik saja. Syukurlah.”
Ia melemparkan berkas hasil pemeriksaan itu ke meja
dengan kasar.
Aku hampir menangis karena tekanan suasananya.
“Kasus ini memang juga salah kami karena memberikan
tugas penting pada orang baru. Tapi aku dengar kau bahkan tidak memeriksa
peralatan penting, lalu berdalih tidak tahu cara melakukannya. Kau bisa
menanyakan melalui komunikasi internal. Lagi pula, kau juga tidak melapor
sesuai jadwal. Itu adalah kesalahan besar… tidak, sama saja seperti merusak
aset perusahaan dengan sengaja.”
Aku sudah diberi tahu tentang utang itu.
Aku kehilangan semuanya—dan bahkan menanggung
utang besar.
“Biasanya, perusahaan akan memecatmu dan
mengharuskanmu bertanggung jawab penuh…”
Kalau sampai kehilangan pekerjaan juga… aku harus
bagaimana?
Kakiku gemetar, aku hampir jatuh dari kursi.
“M-mohon… jangan… saya mohon… apa saja akan saya
lakukan…”
Suaraku sangat menyedihkan bahkan bagi diriku
sendiri.
“Kau bilang ‘apa saja’, ya? Kau bisa bertanggung
jawab atas kata-katamu?”
Aku mengangguk keras sambil hampir menangis.
“Baik. Kau akan ditugaskan dalam proyek
penghijauan Gurun Sahara. Setelah selesai menjalani perawatan, berangkatlah
segera.”
Gurun Sahara…?
Di mana itu…?
Kepalaku tak sanggup memproses apa-apa lagi.
Ayahku meninggalkan ruangan, menganggap tidak perlu
ada pembicaraan lebih lanjut.
Dalam hati aku tahu dengan jelas— Nerakaku baru saja
dimulai.
Chapter 134 — Keputusasaan
di Gurun dan Awal Legenda
— Sudut pandang pria selingkuh —
Sahara… Aku memeriksa lokasi dan keamanan berdasarkan
dokumen yang diberikan.
Itu gurun raksasa di Afrika. Sepertinya aku harus bekerja di kantor cabang yang ada di sana.
Selesai sudah hidupku. Di tengah gurun, tak ada tempat melarikan diri,
bahkan lebih parah daripada pulau tak berpenghuni.
“Sudah… habis. Berapa tahun lagi aku tidak bisa kembali ke Jepang…?”
Tidak ada yang menjawab. Kondisinya bahkan lebih buruk daripada saat aku
berada di pulau tak berpenghuni sebelumnya.
Kalau aku coba kabur, ada peringatan untuk waspada terhadap teror atau
penculikan oleh kelompok ekstremis. Aku tertegun.
Mungkin pulau tak berpenghuni itu justru lebih baik.
Tidak, setidaknya di pulau itu ada orang lain selain aku.
Perusahaan sudah menyelidiki dan katanya tidak ada
siapa pun di sana, tapi mana mungkin.
Apa dia itu semacam hantu tak berwujud?
Bagaimana kalau dia mengikuti sampai Sahara?
Atau mungkin suara Tuhan yang kudengar di kapal itu…
Tubuhku bergetar ketakutan.
“Pak Hongo. Saya akan mengganti perban wajah Anda.” Ucap perawat.
Aku kemudian teringat—apa yang terjadi pada wajahku?
Setelah perbannya dilepas, aku menepis tangan perawat yang mencoba
menghentikanku dan berlari ke toilet.
Aku ingin melihat wajahku di cermin…
Apa-apaan ini…
Aku akhirnya mengerti kenapa beberapa orang di lorong rumah sakit sempat
menatapku dengan wajah terkejut.
Wajahku, yang dulu cukup tampan, kini membengkak sampai bentuknya seolah
hancur.
Sisi lain wajahku, yang tidak bengkak, justru bagian-bagiannya tampak
cekung.
Ini… aku?
“Tidak mungkin…”
Saat aku menangis, air mata terasa perih menusuk.
Saat kenyataan bahwa aku telah kehilangan segalanya
dipaksakan ke hadapanku, kesedihan itu justru semakin dalam.
***
— Tokyo Tower —
Kami tiba di tujuan drive kami, Tokyo Tower.
Kami semua turun dari mobil dan memutuskan untuk mengambil foto
kenang-kenangan.
Sang sopir mengatur agar limusin juga terlihat di latar belakang saat
memotret kami.
“Benar juga, Yaguchi-kun. Kita belum pernah foto bersama sebelumnya ya. Seharusnya kita lakukan saat festival budaya.” Kata ketua klub dengan nada
menyesal.
Aku juga merasa menyesal karena tidak terpikir untuk
melakukannya waktu itu. Namun aku senang bisa memiliki kesempatan seperti hari
ini.
“Benar juga. Tapi belum terlambat. Mulai sekarang,
mari kita kumpulkan kenangan bersama setiap ada kesempatan. Saat musim panas
nanti, bagaimana kalau kita adakan training camp?”
Ketua klub mengangguk senang mendengar idemu.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita adakan di villa
milikku?”
“Itu luar biasa. Aku tak sabar menantikannya!”
Yang lain pun mengobrol dengan riang.
Momen menyenangkan itu terekam dalam foto.
Rika mendekat dan berbisik, “Aku senang bisa
beraktivitas klub bersama Senpai.”
Aku menjawab, “Aku juga.”
Aku merasa seakan waktu, yang sempat terhenti
dan hilang perlahan, mulai bergerak lebih cepat.
Tak ada yang menyangka bahwa foto
kenang-kenangan ini kelak akan dikenang sebagai awal dari legenda yang tercatat
dalam sejarah game.
Chapter 135 — Aku Percaya
“Itu luar biasa ya.” Ketua klub tersenyum cerah.
Meski biasanya ia juga dijemput dengan mobil
asing mahal, melihat betapa senangnya dia membuatku sedikit terhibur.
Memang, limusin itu kelasnya berbeda.
“Benar!! Mungkin kita nggak bakal pernah naik lagi, jadi ini bakal jadi
kenangan seumur hidup!” Ucapan Katsuya membuat semua tertawa.
Namun bagiku, acara berikutnya adalah mimpi yang jauh lebih luar biasa.
Pada masa ini, Sugawara-san berada di puncak kariernya.
Tanpa keraguan, dia adalah salah satu kreator game terbaik di dunia.
Bagiku, dia adalah yang terbaik.
Dan dia—sang nomor satu dunia—akan menyambut kami
dengan semangat pada masa kejayaannya.
Hanya membayangkannya saja membuat dadaku bergetar.
Tubuhku bergetar tanpa bisa dikendalikan.
Seorang jenius yang selalu kukagumi… akan hadir tepat di depan mataku.
Dan dia menyisihkan waktunya demi kami.
Siapa yang tidak akan gemetar karena itu?
“Senpai terlihat sangat senang ya.”
Rika tersenyum saat melihat tingkahku.
Seperti biasa, aku memang tak bisa menyembunyikan
apa pun darinya.
“Yeah. Orang yang akan kutemui hari ini adalah
seseorang yang selalu kukagumi.”
Dan hari ini, aku akan— …Tidak. Itu masih kusimpan
dalam hati.
“Kalau Senpai sampai segugup ini, pasti orangnya
luar biasa.”
“Benar. Menurutku dia adalah jenius nomor satu di
dunia.”
Aku berkata sambil tersenyum.
Rika segera menangkap maksudku.
Ia berbisik pelan di telingaku—hanya untukku.
“Tapi… Senpai ingin menantangnya, kan?”
Aku terbelalak karena ia membaca maksudku dengan
tepat.
Ya.
Di kehidupan keduaku ini, aku ingin menantangnya.
Itulah salah satu alasan aku memulai karya ini.
Aku masih jauh di bawahnya… Begitu jauh sampai
menyebutnya saja terasa sombong.
Ini hanya pertemuan yang diizinkan secara kebetulan—
Aku masih hanya bisa menatap ke atas pada sosok yang
berada di langit…
Rika tersenyum, berkata “Tepat sekali,” lalu sekali
lagi berbisik di telingaku.
“Tidak apa-apa. Kamu pasti bisa. Memang, kita belum
punya prestasi apa pun sekarang.
Bagi orang lain, mungkin ini hanya bahan tertawaan… Tapi Senpai pasti bisa. Walau
ada yang menertawakan, aku tidak akan tertawa. Aku percaya kamu bisa. Dan bukan
cuma aku. Aku rasa semua orang di sini percaya pada Senpai.”
Wajahku terasa panas.
Rasanya bahagia… Aku kembali ke masa ini dengan
kehilangan segalanya, tapi sekarang aku dikelilingi banyak hal berharga.
Mungkin…Aku benar-benar bisa mencapai tujuan itu.
Ada sesuatu dalam kata-kata Rika yang membuatku
merasa begitu.
Aku menoleh padanya.
Wajahnya juga merah padam.
Seperti baru saja mengungkapkan cinta— Kita berdua
merasa bahagia, sekaligus canggung.
Teman-teman di sekitar menatap kami sambil
menyeringai.
Membuat suasana semakin memalukan.
Chapter 136 — Kunjungan ke Perusahaan
Kami tiba di perusahaan milik Hongo-san.
“Terima kasih banyak untuk hari ini.”
Saat kami mengucapkannya, sang sopir membalas dengan
senyum ramah.
Segera setelah itu, seorang pegawai perempuan
menghampiri kami.
“Hari ini mohon kerja samanya. Ini kartu akses
kalian,” katanya sambil menyerahkan kartu seperti name tag.
Dengan tegang, kami memasuki gedung megah itu dan
melewati pintu masuk.
Inilah divisi pengembangan game Grup Hongo.
Hanya membayangkan bahwa mahakarya lahir di tempat ini saja sudah membuat
tubuhku bergetar.
“Untuk hari ini, silakan berkunjung ke Divisi
Produksi Pertama. Sebenarnya Hongo-san sendiri yang seharusnya menyambut
kalian, tapi karena ada janji sebelumnya, beliau akan menyusul nanti. Sampai
saat itu, saya yang akan memandu kalian. Maaf lupa memperkenalkan diri, saya
Mizuki, sekretaris kepala divisi. Silakan tanya apa saja, ya.”
Seorang sekretaris cantik yang terlihat sangat
kompeten.
Karena ia sekretaris kepala divisi, berarti ia
adalah sekretaris Sugawara-san.
Rasanya seperti legenda itu makin dekat.
Pada periode ini, Grup Hongo sedang
mengembangkan hardware game yang kelak menjadi legenda.
Dipimpin oleh Sugawara-san, mereka akan
menciptakan konsol yang meledakkan jumlah pemain game secara besar-besaran.
Menyadari bahwa proyek itu sedang berlangsung di
gedung ini membuatku makin gugup.
Divisi Produksi Pertama yang kami kunjungi kali
ini adalah divisi pengembangan software game.
Dan bukan sembarang divisi—ini adalah studio
legendaris yang dipenuhi para ace Grup Hongo.
Banyak orang di sini yang kelak disebut legenda.
“Saat ini mereka sedang mengerjakan sekuel dari
game balapan populer.”
Mendengar itu, mata anggota klub langsung
berbinar.
Kami bahkan bisa melihat karakter ikonik yang
dikenal seluruh negeri.
Hanya itu saja sudah membuat semangat meningkat.
“Sekarang kita bisa melihat proses pembuatan CG. Setelah
tur singkat di studio, kalian akan dibagi sesuai bidang kalian, dan kami telah
menyiapkan para ahli di sini untuk berbincang dengan kalian. Silakan
dinikmati.”
Luar biasa.
Kupikir kami hanya akan berkeliling melihat-lihat,
tapi ternyata kami juga bisa berbicara dengan para profesional garis depan.
Bahkan mereka menyesuaikan pembagiannya sesuai
spesialisasi setiap orang.
Mungkin kami bisa berkonsultasi tentang hal-hal yang
menjadi masalah kami.
Menyadari semua persiapan ini dibuat untuk
perkembangan kami membuatku merasa sangat berterima kasih pada Presiden Hongo.
Para karyawan juga memperlakukan kami dengan ramah.
“Dari situ nggak kelihatan. Sini, lebih dekat.”
“Ini lucu, kan?”
“Masih muda ya. Masih SMA. Semangat terus, ya.”
“Itu game kalian beneran? Gila!!”
Meski sibuk, para karyawan berusaha memberi kami
pengalaman terbaik.
Setelah sesi tur selesai, masing-masing diarahkan ke
ruang pertemuan tempat para ahli menunggu sesuai bidang mereka.
Aku bertanya-tanya, siapa yang akan membimbingku?
Hatiku berdebar tak karuan.
Aku tetap tinggal di ruang rapat bersama Mizuki-san.
“Saya nggak ikut ke ruangan lain?”Aku mulai gelisah
saat menyadari hanya aku yang tertinggal.
“Tidak apa-apa. Ruanganmu
memang di sini. Kepala divisi akan datang sebentar lagi.”Ia berkata lembut.
Namun bagiku, kata-katanya tadi terasa seperti
sesuatu yang luar biasa.
Kepala divisi akan datang?
Tidak, mungkin sejarah yang kukenal berbeda.
Mungkin bukan Sugawara-san.
Pasti bukan dia.
Tidak mungkin kreator terbaik dunia menyisihkan
waktu untukku seorang.
Benar, dia memang bilang ingin bertemu, tapi
kupikir hanya sekadar perkenalan di akhir.
Atau paling banter sebentar sambil berdiri
bercakap ringan.
Tapi setelah mendengar penjelasan Mizuki-san… aku
tak bisa berhenti cemas.
Kemudian pintu terbuka.
Sosok yang selalu kukagumi melangkah masuk dengan
tegap, berjalan menyusuri ruangan, dan duduk tepat di hadapanku.
Auranya jelas berbeda.
“Senang berkenalan dengan mu. Aku Sugawara,
kepala divisi. Kamu Yaguchi Michitaka, kan? Terima kasih
sudah datang hari ini. Aku senang bisa bertemu denganmu.”
Legenda itu—berada dalam jarak yang bisa kuraih
dengan tangan.
Chapter 137 — Dua Orang yang Saling Mengakui
Legenda itu ada tepat di hadapanku.
Begitu mengerikan sampai aku terpaku.
Aura—atau mungkin tekanannya—sungguh berada di
tingkat yang berbeda.
Tidak pernah terbayang ia akan meluangkan waktu
untuk bertemu hanya berdua denganku.
“Yaguchi-kun. Pertama-tama, aku sudah memainkan game
yang kalian buat.”
Tanpa basa-basi, ia langsung masuk ke topik
utama.
Ia mulai memberi komentar tentang game kami.
Hanya bisa mendengar pendapatnya saja rasanya
seperti puncak kehormatan.
“T-terima kasih banyak.”
Aku hanya mampu berkata sejauh itu, namun ia
membalas dengan senyuman lembut.
“Tidak terasa seperti game buatan anak SMA. Itu
kesan jujurku. Kualitasnya setara dengan para amatir kelas atas yang membuat
game doujin, atau bahkan profesional. Setidaknya, dalam kondisi sekarang pun,
kalian sudah hampir berada di level yang bisa hidup di industri ini…—di dunia
profesional. Kalau amatir, kalian sudah masuk kategori kelas atas. Bagaimanapun
juga, kalian sudah mencapai tingkat yang bisa mencari nafkah melalui pembuatan
game.”
Jantungku berdegup keras. Seorang yang berada di
puncak industri berkata begitu kepada kami, padahal seharusnya kami bahkan
tidak pantas bertemu dengannya.
“Bisa dipuji sampai seperti itu… sungguh
berlebihan.”
Aku mencoba sedikit merendah, tetapi ia
menggeleng.
“Kamu tak perlu merendah padaku. Para anggota
klubmu benar-benar berbakat. Kamu sudah mengumpulkan bakat-bakat terbaik di
generasimu—batu permata yang masih kasar.”
“Benar, aku tidak mungkin bisa membuatnya
sendiri.”
Memang begitu.
Aku hanya orang belakang layar.
Tugasku adalah menciptakan lingkungan yang
memungkinkan para kreator hebat seperti ketua klub, Rika, Katsuya, dan Takuji
bekerja dengan nyaman.
Jujur saja, aku sempat berpikir ia akan
mengatakan sesuatu seperti: “Kamu cuma orang belakang layar, jadi jangan
sombong.”
Aku sempat sedikit menyiapkan diri.
Semua ini terasa terlalu baik untuk nyata.
Kupikir pasti akan ada omelan untuk
menyeimbangkannya—semacam penahan agar aku tidak besar kepala.
“Tapi ya, Yaguchi-kun. Memang benar
kamu sendirian tidak akan bisa membuat game itu. Tapi, tanpa kamu, game itu
tidak akan bisa dikenal sejauh ini.”
Arah pembicaraan yang tak terduga membuatku
tercengang.
“E—eh(A-are)…?”
“Kamu punya bakat yang sangat unik. Kemampuan untuk
mengenali bakat para kreator, kemampuan menempatkan masing-masing orang di
posisi yang tepat, serta kemampuan promosi yang mampu menyampaikan daya tarik
game kepada banyak orang dengan jelas. Semua itu bukan sekadar level anak SMA. Bahkan
di dunia profesional, kemampuanmu sudah berada di jajaran teratas. Itulah hasil
analisisku.”
Dibilangi seperti itu oleh orang yang merupakan
kreator dan produser terbaik di dunia—aku hampir menangis karenanya.
“Tapi… baru satu judul. Bisa jadi hanya kebetulan
kami berhasil…”
Sugawara-san mengangguk.
Benar.
Itu juga kupikirkan.
Tapi segera setelah itu, ia menepis kemungkinan
tersebut.
“Justru hebatnya adalah kamu bisa melakukan itu di
karya pertamamu. Industri ini, dalam banyak hal, dibangun dari akumulasi
kepercayaan. ‘Aku beli karena itu dari seri tersebut.’‘Aku beli karena yang
membuatnya adalah orang itu.’ Begitulah konsumen menilai. Karena itu, sekalipun
sebuah game adalah mahakarya, sangat mungkin ia akan tenggelam tanpa dikenal. Untuk
menutupi hal itu, perusahaan harus mengambil risiko dengan memasang iklan
mahal…”
Ucapannya berat—kata-kata seorang yang hidup di
dunia kejam tersebut.
“Kamu berhasil melakukan hal yang paling sulit,
tanpa modal kepercayaan maupun uang.
Bahkan jika anggota lain berada pada level yang melampaui siswa SMA, di dunia
profesional bakat mereka mungkin masih dianggap mentah. Di sisi lain, kamu
sudah memiliki kemampuan yang dapat bertahan bahkan di kelas teratas
profesional. Itu… sesuatu yang tidak normal.”
Ia berbicara padaku dengan penuh semangat.
“Hey, Yaguchi-kun. Maukah kamu membuat game
bersamaku? Kalau kamu ada di tim, aku bisa fokus sepenuhnya pada lapangan.”
Chapter 138 — Michitaka vs Sugawara
Mendengar kata-kata itu, aku merasa sesuatu dalam diriku seakan terisi
penuh.
Aku diakui.
Oleh kreator nomor satu di dunia—seseorang yang selalu kuimpikan.
Hanya kenyataan itu saja sudah membuatku hampir
menangis.
Aku memejamkan mata dan meneguhkan tekad.
“Maaf. Saat ini… aku belum bisa pergi bersama
Anda.”Dengan jujur, aku menyampaikan perasaanku.
Ia tersenyum seolah sudah memahaminya sejak awal.
“‘Belum’, ya. Syukurlah. Aku memang sudah menduga
kamu akan menolak, tapi setidaknya aku masih punya harapan. Boleh kau jelaskan
alasannya?”
Ketahuan.
Sejauh apa orang ini bisa membaca ke depan?
“Aku belum punya prestasi yang nyata. Benar,
demo yang kami buat berhasil besar.
Tapi itu belum menjadi produk sungguhan. Kalau aku menyerah sekarang, semua
usaha akan sia-sia… dan aku akan mengkhianati teman-temanku. Selain itu…”
Sepertinya ia sudah memahami apa yang ingin
kukatakan.
“Kami masih belum bisa menyamai Anda, Sugawara-san. Kalau
kami membuat game bersama dalam kondisi seperti ini, aku yakin kami hanya akan
tertelan oleh bakat Anda. Karena itu, untuk saat ini… kami belum bisa membuat
game bersama Anda.”
Ia mendengarkan kata-kataku, lalu tersenyum puas.
“Begitu ya. Memang
disayangkan, tapi… seperti dugaanku, kamu memang menarik. Kalau begitu, aku
batalkan tawaranku. Aku akan menunggu sampai kalian berkembang. Tapi, kalau perkembangan kalian membosankan, aku tidak akan memaafkan. Saat
itu, aku akan melupakan kalian sepenuhnya.”
Kenyataan yang berat.
Namun, aku menyanggupi syarat tersebut.
“Mohon bimbingannya,” jawabku.
“Benar-benar tanpa keraguan, ya. Dan kamu tampak
yakin bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama, kalian akan bisa menyusulku. Sedikit…
mengesalkan, tapi aku menyukainya. Kalau begitu, aku jadi punya motivasi. Aku
tidak akan membiarkan kalian menyusul dengan mudah.
Siapkan dirimu.”
Sugawara-san menyeringai penuh percaya diri.
Di kehidupan sebelumnya, ia pernah berkata bahwa setelah memenangkan
semua penghargaan bergengsi dan mendapatkan tempat di jajaran legenda industri
game, ia tak tahu lagi harus menuju ke mana.
Mungkin saja… aku telah menciptakan monster yang lebih hebat daripada
dirinya di masa lampau.
Namun lebih dari itu, aku merasa berdebar penuh semangat.
Bertarung di lingkungan yang sama dengan legenda yang berada dalam masa
puncaknya— Pernahkah aku merasa seantusias ini?
“Aku masih punya sedikit waktu, jadi mari banyak mengobrol hari ini. Bagaimana kalau kita makan malam di kantin perusahaan dulu? Ceritakan
padaku tentang game yang kamu sukai!”
“Dengan senang hati! Apa mungkin… kita bisa makan kari Hongo yang
terkenal itu?”
“Tentu saja.”
Begitulah, hari terbaik dalam hidupku pun berlalu.
***
—Dikutip dari “Perempuan yang Mengubah Sejarah Game” karya Mirai
Mizuki, Dunia Alpha—
Selama bertahun-tahun aku mengabdi sebagai sekretaris Sugawara-san,
beliau benar-benar orang yang baik.
Walaupun selalu membuat keputusan cepat dan menunjukkan kepemimpinan luar
biasa, hanya satu kali aku melihat Sugawara-san kehilangan ketenangannya di
depanku.
Tidak… mungkin itu bukan sekadar hilang kendali,
melainkan tangisan pilu.
Itu terjadi ketika beliau menerima kabar wafatnya Yaguchi Michitaka.
Sugawara-san selalu memikirkan dirinya.
Mungkin alasan beliau sengaja tidak menemuinya
adalah karena rasa cemburu.
Yaguchi-san perlahan mulai menimbulkan
pergerakan dalam industri.
Kemudian datanglah kabar duka itu.
Padahal beliau sudah mempertimbangkan
kemungkinan menjadikan perusahaannya bagian dari grup—sebagai penerus tidak
resmi.
Rasa kecewanya begitu besar, sampai-sampai beliau
tidak menyadari bahwa pena yang sedang dipegang terjatuh ke lantai.
Lalu dengan nada mengejek dirinya sendiri,
beliau berbisik:
“Lari sebelum kalah itu curang. Tapi… mungkin akhirnya kami jadi seimbang. Kalau Yaguchi Michitaka
berpasangan dengan Takahashi Katsuya… aku pasti tidak akan bisa menang.”
Di lain kesempatan, beliau juga berkata:
“Takahashi Katsuya adalah jenius yang begitu jelas
terlihat. Tapi yang paling menakutkan justru adalah Yaguchi Michitaka, yang
bersembunyi di belakangnya. Karena dialah, Katsuya bisa menunjukkan seluruh
bakatnya. Yaguchi Michitaka adalah monster yang sangat langka.”
Chapter 139 — Kari dan Seseorang
Setelah itu, kami terus tenggelam dalam obrolan
tak berujung tentang game.
Awalnya, Sugawara-san hanya mengangguk-angguk
sambil mendengarkan, tetapi perlahan ia mulai menceritakan kisah-kisah di balik
layar pada masa itu. Dan itu membuat makan malam kami menjadi sangat
menyenangkan.
Menjelang akhir pertemuan, Presiden Hongo juga
bergabung. Ia duduk di sebelah Takuji-kun, tampak akrab, sambil
menikmati kari.
“Untuk kari ini… kalian sengaja memakai daging ayam,
ya? Agar tidak ada yang kesulitan makan karena alasan agama?”
Saat aku bertanya pada Sugawara-san, ia tertawa,
“Kamu tahu banyak juga, ya.”
Katanya, saat ia baru mengambil alih perusahaan dan
kinerjanya masih buruk, ia sudah memikirkan bagaimana membuat perusahaan ini
mampu bersaing di dunia, dan suatu saat bisa mempekerjakan talenta terbaik
tanpa memandang kewarganegaraan.
Jadi, hal-hal yang perlu diubah harus mulai diubah
dari sekarang—begitulah pemikirannya.
Pada saat itu, katanya banyak yang
menertawakan—menganggap pewaris perusahaan yang hampir bangkrut itu hanya
sedang berkhayal.
Namun akhirnya, ia membungkam semua dengan kemampuan
dan hasil nyata.
Ngomong-ngomong, beberapa tahun ke depan, kari khas
Hongo ini akan punya varian sayur—tapi itu masih cerita masa depan, jadi lebih
baik ku diamkan dulu.
Itu kari tanpa air, dengan cita rasa tomat yang
dominan; daging diganti dengan kacang.
Rasanya enak sekali.
Bahkan sampai menjadi produk populer yang dijual
sebagai kari instan di minimarket.
Memang benar, kehebatan Presiden Hongo adalah
kemampuannya melihat jauh ke depan—dan menghitung balik dengan tepat bagaimana
cara mencapainya.
Mungkin, kunjungan perusahaan kali ini pun merupakan
bagian dari perhitungan menuju masa depan.
Seakan melihat sisi orang dewasa yang sedikit
menakutkan; membuat jantungku berdebar.
Namun, itu mungkin juga pertanda betapa besar
harapan yang mereka miliki terhadap kami.
Saat perjalanan pulang, Presiden Hongo menawarkan
untuk menyediakan mobil lagi, tapi kami menolak dengan sopan dan kembali naik
kereta.
Waktu yang terasa seperti mimpi itu harus terasa benar-benar
hanya mimpi.
Kebetulan saat itu bukan jam sibuk, jadi kami dapat
tempat duduk.
Sambil mengobrol santai, kami mengenang kejadian
hari ini bersama.
Rasanya bahagia.
Kami telah membuat janji besar.
Justru karena itu… kami harus berusaha lebih keras
lagi.
Kereta berguncang ringan selama sekitar tiga puluh
menit.
Mungkin karena tegang seharian, semua tampak
mengantuk.
Kami sepakat bahwa pasti akan ada salah satu dari
kami yang terbangun saat kereta sampai tujuan.
Sambil tertawa kecil, kami pun terlelap.
***
—Sudut Pandang ???—
Semuanya terlihat tidur dengan wajah bahagia.
Aku benar-benar merasa… sesuatu yang luar biasa telah dimulai.
Dan mereka percaya bahwa mereka sanggup
melakukannya.
Apakah itu perasaan serba bisa karena masih muda?
Atau mungkin…
Karena mereka menjalani hidup untuk kedua kalinya.
Sambil menatap wajah Yaguchi Michitaka yang tertidur
dengan bahagia, aku tak sengaja berbisik:
“Kali ini… aku akan membuatmu bahagia.”
Seperti yang kuduga, ia tidak
mendengarnya—karena ia benar-benar tertidur.
Chapter 140 – Katsuya
— Garis waktu α ・ Sudut pandang Katsuya —
Benar-benar, setiap kali ada sesuatu, aku selalu datang ke makam sahabatku.
Sifat seperti ini mungkin juga mirip denganmu, ya? Aku teringat bahwa
saat Mitsutaka punya masalah, dia juga sering berziarah ke makam Rika-chan. Jika saja kalian berdua bisa hidup bahagia, mungkin semua ini tidak akan
terjadi.
Kalau begitu, kau pasti masih hidup panjang, dan
semua orang di perusahaan juga akan bahagia.
Aku meletakkan sesaji berupa bir kaleng kesukaan
Mitsutaka. Seharusnya, kami berdua masuk ke izakaya di dekat stasiun seperti
biasa, memesan gyoza, karaage, dan edamame, lalu ngobrol banyak sambil minum
bir. Kau pergi terlalu cepat. Aku ingin kita bisa bekerja sama setidaknya 30
tahun lagi.
“Ada perkembangan baik tentang proyek itu. Entah
bagaimana, hubungan dengan kelompok Hongo juga membaik, dan perusahaan baru
berkembang dengan lancar. Semua orang yang kau khawatirkan di perusahaan juga
baik-baik saja. Oh iya, Saito… dia mau menikah. Dia bilang ingin aku jadi saksi
nikahnya. Padahal, itu seharusnya tugasmu.”
Saito datang ke sini seminggu lalu dan mengatakan
ingin menyampaikan salam padamu, jadi pasti kau sudah tahu. Waktu dia masuk ke
perusahaan, dia anak baru yang tidak bisa diandalkan. Kerjanya penuh kesalahan.
Tapi karena Mitsutaka bilang dia pasti akan berkembang, semua orang
memperhatikannya dengan hangat, dan sekarang dia sudah memiliki kemampuan
hingga disebut sebagai pemain baru yang bersinar di industri ini.
“Kenapa kau bisa begitu hebat menilai orang, hah?”
Tapi kenapa… kenapa kau bisa tertipu oleh wanita
seperti itu? Kau itu terlalu baik hati…
“Kita ini pasangan yang hebat, kan? Setelah kita
mendirikan perusahaan bersama, 10 tahun itu terasa benar-benar cepat. Betapa
padat hidup kita waktu itu. Tapi, tetap saja, kau pergi terlalu cepat, dasar
bodoh. Kau tahu betapa sedihnya Airi-chan, kan? Tapi ya, aku akan berusaha.
Tentu saja, Misato-chan juga berusaha keras. Aku harus bisa mendukung mereka
semampuku. Meskipun tidak sedarah, mereka adalah peninggalan berharga yang kau
tinggalkan. Aku akan menjagai mereka sebisa mungkin.”
Aku membuka bir untuk diriku sendiri dan meneguknya
sampai habis. Separuh hidupku yang kuhabiskan bersama Mitsutaka berputar
kembali seperti kilas balik, sampai mataku terasa panas.
Aku teringat pertemuan minum bersama dengan
Misato-chan beberapa waktu lalu. Pada hari itu aku masih bisa menahan diri,
tapi hari ini rasanya tidak bisa.
“Misato-chan dan Airi-chan yang paling
menderita, jadi aku tidak bisa menangis di depan mereka. Sial, aku pun tidak
mau menangis di depanmu, sebenarnya… Sebagai balasannya, aku akan pergi ke
restoran China dekat stasiun sekarang, makan gyoza, ramen, dan minum bir. Biar
kau iri di sana, Mitsutaka!”
Dengan berkata sinis untuk menutupi rasa malu,
aku berkata “Aku akan datang lagi,” dan berpamitan pada sahabatku.



Post a Comment