Selama pelajaran terakhir dari wali kelas kami, dia memberikan kami tugas rumah di akhir akhir pelajaran.
“Baiklah, pastikan untuk mengisi lembaran itu dan memberikannya kepada orang tua kalian.”
Itu adalah kata-kata terakhir wali kelas kami sebelum pergi meninggalkan kelas. Dan, tepat setelah wali kelas kami pergi, suasana kelas langsung meledak dalam kebisingan. Biasanaya, setelah pelajaran terakhir mereka akan langsung mengambil tas dan pergi meninggalkan kelas. Namun tidak kali ini, semua teman sekelasku masih duduk di kursi masing-masing, mulai membicarakan sesuatu seperti,
'Hei, bagaimana denganmu?'
'Apa yang akan kau tulis?
Suara-suara seperti itu mulai memenuhi ruangan. Sementara beberapa orang menerima saran dari orang lain di sekitar mereka, yang lain hanya menatap kertas di depan mereka. Masing-masing dari mereka memiliki cara mereka sendiri dalam menghadapi situasi, namun mereka semua menganggapnya serius. Bagaimanapun, kertas yang diberikan kepada kami adalah pertanyaan tentang rencana masa depan kami setelah lulus. Pertemuan orang tua-guru kami akan diadakan pada akhir bulan ini. Dengan kata lain, kuesioner aspirasi kursus di masa depan dianggap sebagai bagian dari tugas sekolah dan para guru akan mendiskusikannya dengan kami dan orang tua kami yang hadir.
"Hm, tahun ini juga, ya ..."
Aku mengutak-atik selembar kertas di tanganku dan berbicara dengan orang di depanku, yang kebetulan adalah teman baikku Maru Tomokazu.
“Yah, bagaimanapun.. kita sudah kelas dua sekarang. Tingkat keparahan situasinya benar-benar berbeda dibandingkan dengan sebelumnya. Tapi menilai dari reaksimu barusan, kau juga belum sepenuhnya mengambil keputusan, ya?” Maru berbalik sambil mengerutkan kening.
"Begitulah, bagaimana denganmu?"
"......"
"Eh, kau juga belum memutuskannya, ya?"
"Kenapa kau terlihat sangat terkejut?"
"Tidak, kupikir kau akan menapaki jalur bisbol."
Klub bisbol sekolah kami cukup kuat. Terlebih lagi, Maru sudah menjadi Catcher untuk klub bisbol selama hampir dua tahun. Dengan tim mereka saat ini, mungkin mereka bisa menang di Koushien dan dia mungkin bisa menjadi pemain bisbol profesional. Itu bisa dilihat dari keahliannya dalam bidang olahrga atau lebih tepatnya bisbol. Aku bisa melihat dia memilih masa depan yang terkait dengan itu. [TN: Koushien adalah turnamen tahunan bisbol antar SMA seluruh Jepang yang diadakan di Stadion Koshien]
“Kau benar juga ....”
"Apa? Lalu, kenapa kau memasang wajah seperti baru saja menelan serangga?"
“Serangga, ya? Aku belum pernah memakannya. Jadi, aku tidak bisa memberi tahumu."
“Kurasa tidak banyak orang yang pernah makan serangga."
Yah, karena itu idiom, seharusnya ada banyak orang seperti itu, tapi lebih dari itu...
“Hei, Asamura, bahkan kau seharusnya bisa mengerti bahwa menjadi bagian dari klub bisbol tidak berarti pekerjaan masa depanku akan langsung berhubungan dengan olahraga, kan? Tentu saja aku kesulitan dengan itu. Selain itu, kau salah paham tentang satu hal."
"Hah?"
“Aku tidak terlalu peduli tentang rencana masa depan atau semacamnya. Aku lebih khawatir tentang pertemuan orang tua-guru nanti. Apalagi itu akan berlangsung dalam dua minggu lagi. Jadi, menurutmu apa hasil dari itu?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu."
Aku mengalihkan pandanganku ke selembar kertas di tanganku. Ada beberapa baris informasi di sebelah baris yang menanyakan rencana masa depan. Menurut informasi, selama pertemuan orang tua-guru. Pelajaran akan di persingkat dan kelas akan dibubarkan pada sore hari.
“Sepertinya pelajaran sore sudah tidak ada dan diganti dengan rapat, ya?”
“Asamura, itu artinya sesi latihan klubku akan lebih lama.”
Ketika aku mendengar komentar itu dari Maru, aku akhirnya mengerti apa yang dia bicarakan. Tetap saja, itu mengejutkanku. Terlepas dari motivasinya untuk olahraga, dia mungkin tidak ingin harus berlatih tanpa henti.
“Tentu saja aku menginginkan itu. Aku menyambut setiap latihan tambahan yang bisa kudapatkan."
“Hmmm???”
“Namun, selama pertemuan orang tua-guru, beberapa anggota harus absen, kan? Akibatnya, ada beberapa jenis latihan yang tidak bisa kita lakukan. Dengan kata lain, sesi pelatihan akan jauh lebih sederhana dari sebelumnya, sehingga terasa kurang efektif dan lebih memuaskan.” kata Maru. “Aku memang menyukai latihan ini, tetapi aku ingin itu efektif dengan waktu yang dibutuhkan.”
Itu adalah jawaban dengan gaya Maru, yang suka menghabiskan waktunya bermain game. Itu membuatnya terlihat seperti fanatik efisiensi atau semacamnya.
“Asamura. Efisiensi bukan satu-satunya daya tarik dalam hal game.”
"Salahku karena menggunakan game sebagai contoh.” Aku mengatupkan kedua tanganku, membuat pose minta maaf.
Seorang ahli sesuatu akan selalu pilih-pilih tentang hal itu, kurasa. Menyentuhnya sembarangan hanya akan membakar diriku sendiri.
“Ngomong-ngomong, apakah ayahmu akan datang ke pertemuan lagi? Atau mungkin Ibu barumu yang akan datang?"
"Hah?"
Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa Ayahku bukan satu-satunya orang tua di rumah, tetapi Akiko-san juga dapat berpartisipasi dalam pertemuan itu. Tapi meski begitu…
"Yah, kupikir sama seperti tahun lalu."
Mengatakan itu, pikiranku tiba-tiba memikirkan Ayase-san. Aku ingin tahu Apakah Akiko-san juga ikut denganya?
* * *
Memasuki bulan September, warna langit sedikit berubah. Matahari masih seterang biasanya, tapi bukan biru musim panas yang cerah seperti biasanya. Itu lebih buram dan memiliki warna agak keabu-abuan seolah-olah melihat melalui satu atau dua lapisan kaca. Aku merenungkan hal-hal ini ketika aku naik ke apartemenku. Lift berhenti, tetapi butuh beberapa saat bagiku untuk bergerak. Semua karena kertas yang kusimpan di tasku. Alih-alih mengkhawatirkan rencana masa depanku, gagasan memiliki Ibu baru lebih menarik perhatianku. Selain itu, Ayahku cukup berpikiran terbuka dalam hal masa depanku. Jadi, dia tidak pernah menunjukkan kekhawatiran.
..... Aku ingin tahu bagaimana perasaan Akiko-san tentang itu?
Sambil memikirkan itu, aku membuka pintu depan, mengumumkan kedatanganku dan memasuki ruang tamu. Dugaanku dari melihat sepatu di pintu masuk itu benar, karena aku bisa melihat Ayase-san dan Akiko-san duduk sekitar meja. Akiko-san sepertinya siap untuk pergi kapan saja karena dia sudah selesai dengan riasannya.
“Selamat datang kembai, Nii-san.” Ayase-san melihatku masuk, menyapaku sambil mengangkat kepalanya.
“…Aku pulang, Ayase-san.” Aku menjawab sambil berharap dia tidak menyadari jeda canggungku.
Sudah sekitar sebulan sejak dia mulai memanggilku seperti itu. Namun, aku masih tidak bisa memaksakan diri untuk memanggilnya 'Saki' sebagai balasannya.
"Ern, apa yang kalian bicara—? Ah."
“Kamu juga mendapatkannya, kan? Kuesioner aspirasi masa depan.”
Di atas meja, aku melihat salinan lain dari apa yang kumiliki di tasku, kertas yang merinci pertemuan orang tua-guru. Mereka mungkin memutuskan hari apa yang terbaik untuk menghadirinya.
"Waktu yang tepat." kata Akiko-san, menatapku.
"Ya?"
"Sebelumnya, aku sudah membicarakan dengan Taichi-san tentang bagaimana menangani pertemuan orang tua-gurumu kali ini."
"Milikku?"
“Um. Masalahnya adalah… Saat ini Taichi-san sangat sibuk.”
Ayahku memberitahu Akiko-san bahwa dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, dia tidak bisa datang untuk menghadiri pertemuan itu. Jujur saja, aku tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan Ayahku karena dia jarang membicarakan soal pekerjaan ketika berada di rumah. Meski begitu, dia sepertinya masih berusaha mencari hari bebas lain, tetapi beban kerjanya terlalu banyak. Jadi, bahkan istirahat setengah hari saja sudah berlebihan. Mungkin itu alasan kenapa dia sangat kelelahan akhir-akhir ini.
Akibatnya, Akiko-san menawarkan untuk menemaniku ke pertemuan orang tua-guru. Persis seperti yang diprediksi Maru.
... Dia bukan paranormal, kan?
Yah, mengesampingkan hal itu, sebenarnya ada satu masalah besar tentang Akiko-san yang ikut denganku ke pertemuan orang tua-guru.
"Kalian berdua tidak pernah memberi tahu siapa pun di sekolah bahwa kalian bersaudara, kan? Taichi-san bilang dia tidak ingin membebani kalian berdua dengan itu sama sekali dan aku setuju."
Kami menyembunyikan fakta bahwa kami adalah saudara tiri untuk mencegah rumor aneh menyebar di sekolah. Kami bahkan membuatnya agar nama belakang kami tidak berubah sampai lulus. Namun, jika siswa/i lain mengetahui bahwa Ayase-san dan aku memiliki Ibu yang sama, mereka pasti akan menarik kesimpulan bahwa mereka berdua memiliki hubungan keluarga. Tentu saja, sebagian besar siswa/i datang sebelum pertemuan dimulai. Jadi, itu bukan sesuatu yang terlalu berhati-hati — orang akan berpikir begitu, tapi Akiko-san cukup berhati-hati tentang masalah itu.
“Begitu, ya ...."
“Itu sebabnya, aku berpikir untuk datang ke pertemuan orang tua-guru pada dua hari yang berbeda.”
""Hah!?""
Baik Ayase-san dan aku mengungkapkan keterkejutan pada saat yang sama. Menghadiri pertemuan pada dua hari yang berbeda berarti…
"Apa kau berencana datang ke sekolah kami dua kali, Akiko-san?"
“Yah, setidaknya itu lebih aman daripada pergi ke pertemuan dua kali di hari yang sama, kan? Bagaimana menurut kalian?" kata Akiko-san meminta pendapat kami.
"Um, Akiko-san.. Apa kau yakin tidak apa-apa?"
"Apanya?"
“Ern, bukan cuma Ayahku saja yang sibuk. Tapi, kau juga sibuk dengan pekerjaanmu, kan? Apalagi Akiko-san bekerja hingga larut malam di bar. Jadi ...."
Shift Akiko-san biasanya dimulai dari sore sampai larut malam dan karena dia masih harus membersihkan dan menyiapkan makanan untuk keesokan harinya, lalu tidur sampai sore. Meskipun Akiko-san selalu mencoba untuk bangun pada waktu yang sama seperti kami di akhir pekan atau hari libur kerja, dia umumnya orang yang aktif di malam hari. Kurasa pergi ke sekolah di sore hari saja sudah cukup sulit baginya, apalagi dua kali: Satu untuk pertemuanku, dan satu lagi untuk pertemuan Ayase-san. Belum lagi dia harus mengambil lebih banyak waktu cuti. Namun, Akiko-san mengabaikan kekhawatiranku dengan senyuman dan berbicara dengan nada lembut.
“Tidak apa-apa~”
"Tidak, tapi-"
“Ah… maaf, Yuuta-kun, aku harus pergi sekarang.”
Dia melirik jam yang tergantung di dinding dan dengan cepat mengambil tas bahunya dari meja dan menuju pintu depan.Setelah mendorong sebagian besar kakinya ke sepatu hak tingginya, dia mengetuk lantai untuk memposisikan kakinya agar pas dengan sepatunya. Kemudian dia memutar kenop pintu dan menatapku dari balik bahunya.
“Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti. Pikirkan baik-baik sampai saat itu, oke?”
"Ah, iya."
"Sampai jumpa lagi!" Dia mengucapkan selamat tinggal dengan suara energik dan berlari keluar pintu dengan bingung, "Aku akan terlambat jika begini terus!"
"Haruskah dia benar-benar berlarian seperti itu?"
“Jangan tanya aku. Aku hanya berharap dia tidak tersandung.”
"Oh? Kau akan pergi juga, Ayase-san?”
Saat aku berbalik, aku melihat Ayase-san sudah bersiap dengan tas olahraga yang tergantung di bahunya.
"Iya, ini giliran shiftku..."
"Begitu, hati-hati di jalan ..."
"Mnm.. Kalau begitu, aku pergi dulu, Nii-san."
Ayase-san berjalan melewatiku. Rambutnya sedikit bergoyang dengan setiap langkah. Lalu aku mendengar pintu depan ditutup. Aku tidak ada shift hari ini. Hari-hari yang telah kuhabiskan bersama dengan Ayase-san baik di tempat kerja atau di rumah semakin berkurang.
Setelah meletakkan tasku di kamarku, aku kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa.
Huhh .....
Tanpa sadar aku menghela nafas berat. Aku ingin tahu apa penyebabnya? Apa yang membatku sangat kecewa?
Namun, untuk beberapa alasan aku merasa lega karena aku sendirian.
Nii-san, huh ....
Setiap kali Ayase-san memanggilku seperti itu, aku selalu merasakan rasa sakit di dadaku. Apa ini? Perasaan tidak nyaman apa yang kumiliki saat ini?
Namun, tanpa orang lain menjawabnya. Aku sudah tahu jawaban dari perasaanku ini.
"Yah, mari kita lupakan itu sejenak. Untuk saat ini, ayo makan.. perutku sudah mulai lapar..."
Sendirian di malam hari, membuatku sangat lapar. Berjalan ke arah dapur, aku membuka lemari es. Aku menemukan beberapa sayuran, tetapi tidak ada daging atau ikan yang terlihat.
Sial, seharusnya aku tadi pergi belanja dulu.
Sejak perubahan shift di pekerjaan paruh waktuku dengan Ayase-san, pekerjaan dapur dan penggunaan bahan berubah secara drastis.
Aku juga tidak ingin memaksa Ayase-san memasak makan malam untukku setelah dia pulang dari tempat kerja. Itu sebabnya, aku memutuskan untuk membuat makan malam sendiri ketika Ayase-san sibuk dengan pekerjaanya, begitu juga sebaliknya.
Meski begitu, apa yang kubuat hampir tidak layak disebut makanan.
Ding!
Ketika aku sedang memikirkan menu makan malam yang akan kubuat. Tiba-tiba, smartphoneku berbunyi memberitahu bahwa ada pesan LINE baru masuk. Melihat ke layar, aku bisa melihat isi pesan itu tanpa harus membukanya.
'Maaf, Yuuta.. Hari ini, aku pulang terlambat. Jadi, aku akan makan malam diluar.'
.... Sepertinya dia benar-benar sibuk dengan pekerjaannya.
Yah, itu artinya aku harus membuat lebih sedikit makanan untuk makan malam. Masih ada nasi yang tersisa di penanak nasi. Jadi, aku hanya perlu membuat lauknya saja.
"Hm, sup miso sajalah.."
Memasak makanan terbaik dengan bahan paling sedikit dalam waktu sesingkat mungkin adalah yang terbaik. Ayase-san biasanya menggunakan kaldu sup untuk membuat sup miso. Jadi, aku akan menirunya juga. Aku mengisi panci dengan air, memasukkan irisan rumput laut seukuran telapak tangan ke dalamnya dan membiarkannya selama tiga puluh menit.
Sambil menunggu, aku melirik ke a lemari es lagi…
"Telur... Itu saja, ya?"
Beberapa resep berbahan dasar telur muncul di benakku. Tapi, tetap saja.. aku tisak bisa membuat hidangan itu. Keterampilanku tidak bisa mengikuti resep yang ingin kubuat. Satu-satunya hidangan dengan telur yang bisa kubuat adalah—
"Tamagoyaki?"
Atau mungkin Yudetamago, tidak.. lebih baik Tamagoyaki saja.
Aku mengambil dua butir telur dari lemari es, meletakkannya di piring. Dulu, ketika pertama kali aku memasak. Aku meletakkan telur di atas meja tanpa alas apapun, mereka berguling dan pecah. Sejak itu, aku selalu memastikan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dua kali. Aku juga mengambil beberapa sayuran, memotongnya menjadi irisan besar, lalu menyimpannya dalam wadah tahan panas, menambahkan air dan membungkusnya. Aku memasukkannya ke dalam microwave, lalu menunggu selama tiga menit. Jika itu tidak cukup, aku selalu bisa memasaknya sedikit lebih lama. Karena jika terlalu keras akan tidak enak untuk dimakan. Jadi, aku akan menyodoknya dengan sumpit untuk memeriksanya. Jika mereka memiliki elastisitas, mereka dimasak dengan sempurna.
Setelah 3-4 menit menunggu, aku mengeluarkannya dari microwave, meletakkannya di piring besar. Aku masih bisa memotongnya nanti dan saus bisa ditambahkan saat makan. Lebih penting lagi, aku harus kembali ke sup miso. Aku mengeluarkan beberapa Katsuobushi |1| yang kutemukan, lalu menambahkannya ke rumput laut yang sedang direbus di dalam panci. Ini harus dilakukan untuk kaldu sup. Sambil menunggu matang, aku harus ....
"Ah, aku belum menyiapkan sayuran tambahan."
Ini adalah kecerobohanku dalam memasak. Namun, aku juga ingat cara memperbaiki kesalahan ini. Penyelamatku adalah sesuatu yang saya keluarkan dari freezer —
.... Ini dia, bawang cincang beku!
Aku menirukan suara dari robot berwarna biru. Mungkin berada di rumah sendirian seperti ini begitu lama membuatku gila dan datang dengan monolog seperti ini.
Hmm, selama itu hanya di kepalaku tidak apa-apa.
Ayase-san pernah memberitahuku bahwa dia ingin hidup sendiri setelah lulus SMA. Aku ingin tahu apakah dia akan bermonolog seperti itu, ya?
Berbicara tentang Ayase-san, aku mengeluarkan bawang yang sudah diiris oleh Ayase-san dari kantong plastik. Tidak perlu natto atau gorengan, makan sederhana saja hari ini.
“Oh, bentar lagi."
Aku membuka tutup panci, memasukkan bawang dan membiarkannya mendidih sebentar. Kecilkan apinya, aku tambahkan miso. Sekarang berhati-hatilah untuk tidak membuatnya gosong. Aku mematikan kompor dan sekarang sup miso sudah matang. Terakhir telur dadar. Saat membuatnya, tiba-tiba aku menyadari ada sedikit keringat di wajahku.
Yah, mau bagaimana lagi. Hari ini masih panas seperti biasa, ada kelembapan dan panas yang tinggi di luar dan di sinilah aku, memasak makanan di depan kompor.
Oke, kurasa sudah waktunya ...
Dengan itu, porsi telur goreng untuk dua orang juga sudah selesai. Itu berjalan cukup lancar hari ini. Aku bahkan tidak memecahkan kuning telur. Setelah itu, aku menyiapkan telur dadar Ayase-san, serta salad sayuran rebus…
Setelah berjuang di dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku kembali ke kamarku untuk bersantai.
Sejujurnya, aku ingin menunggunya pulang. Tapi, entah kenapa aku tidak ingin bertemu dengannya. Menjaga sedikit jarak di antara kami adalah yang terbaik saat ini. Dengan begitu, emosi di hatiku akan bisa sedikit tenang. Adapun catatan yang akan kutinggalkan dengan makanan… Dengan pena di tangan, aku bertanya-tanya apa yang harus kutulis dan kemudian pikiranku beralih ke hal lain. Bahkan, saat aku sedang memasak, aku selalu memikirkan—tentang pertemuan orang tua-guru.
Bahkan tidak menyadari Ayahku sibuk dengan pekerjaan membuatku merasa bersalah dan menyedihkan.
Tapi, bisakah kita benar-benar memberikan beban yang begitu besar pada Akiko-san hanya agar Ayase-san dan aku bisa menghabiskan hari-hari kami di sekolah dengan damai?
Tentu saja, ini bukan sesuatu yang harus kuputuskan sendiri. Aku harus membicarakan ini dengan Ayase-san.
Sejujurnya, apakah baik atau buruk membuang waktu berjam-jam menatap smartphonemu masih bisa diperdebatkan. Aku sedang membaca novel yang belum kubaca dan begitu aku menyelesaikan yang kedua, suara pintu depan terbuka mencapai telingaku, diikuti oleh suara 'Aku pulang' yang lembut.
.... Ah, itu pasti Ayase-san.
Dia pasti sudah memperhitungkan kemungkinan bahwa aku dan Ayahku sedang tidur, itulah sebabnya dia menjaga suaranya tetap rendah.
Yah, Ayahku sedang bekerja ekstra.
Jadi, dia belum pulang. Ketika Ayase-san memasuki ruang tamu, dia tampak sedikit terkejut.
"Um, Nii-san. Apa kamu belum makan?"
“Ya, belum. Kau juga belum makan, kan? Sudah lama kita nggak makan bersama. Jadi, bagaimana kalau kita makan bersama?"
Ayase-san mengangguk.
"Nii-san, Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu..."
"Ah, benar juga. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu..."
Baik Ayase-san maupun aku terdiam sejenak. Itu karena kami mengatakan hal yang sama, bahkan kata-kata selanjutnya juga sama.
""Tentang pertemuan orang tua-guru ...""
Terkejut dengan pernyataan satu sama lain, tatapan kami beralih satu sama lain. Dengan waktu yang aneh seperti itu, kami berdua tidak bisa menahan senyum tipis.
Begitu, ya.. Ayase-san juga memikirkan hal yang sama denganku.
"Mari kita bicarakan ini sambil makan malam, oke?"
"Iya.. Tapi, sebelum itu. Aku ingin menaruh barang bawaanku dulu."
"Oke ..."
Sementara Ayase-san berganti pakaian, aku memanaskan kembali sup miso, telur dadar dan menata meja. Setelah kami berdua duduk, kami mengambil sumpit dan mulai makan. Jujur, karena aku memasak sendiri, inilah yang membuatku paling gelisah. Mau tak mau aku melihat Ayase-san terlebih dahulu sebelum aku bisa menggerakkan sumpitku.
“Mm. enak." kata Ayase-san sambil menggigit telur dadar.
"Senang mendengarnya."
“Ini juga terlihat menarik secara visual. Nii-san, kamu sudah jauh lebih baik sekarang. Apa kamu sengaja membiarkan milikku setengah matang?”
"Kupikir itu akan membuatnya lebih mudah untuk makan."
Baik Ayase-san dan Akiko-san suka makan telur goreng mereka yang dibumbui dengan garam dan merica. Tapi, Ayahku dan aku dari golongan kecap. Setelah kami melihat perbedaan selera kami, kami menyerahkannya kepada orang lain untuk menambahkan bumbu, sehingga bagian tengah meja berubah menjadi perjamuan berbagai bumbu. Dengan pemikiran itu, aku memutuskan untuk tidak membumbui telur goreng selama proses memasak.
Jadi masalah bumbu telah terpecahkan, tetapi ketika sampai pada makanan yang sebenarnya, rasanya jauh lebih rumit. Setelah mengamati Ayase-san dan kebiasaan makannya beberapa saat, aku menyadari bahwa dia jelas lebih menyukai kuning telur yang dibuat dengan gaya peachy. Saat sudah matang, dia akan memakannya dengan miso atau sup lainnya pada saat yang bersamaan. Saat itulah aku menyadarinya. Karena Ayahku dan aku sama-sama makan omelet dengan kecap, tidak apa-apa meskipun sudah matang sepenuhnya, tetapi ketika kau hanya memakannya dengan garam dan merica, itu membuat mulutmu terasa lebih kering.
"Tapi, yah.. ini enak, kamu benar-benar memperhatikan hal-hal ini 'ya ..."
“Tidak, kau terlalu berlebihan Ayase-san. Sebaliknya, aku bahkan tidak memperhatikan isi lemari es yang kosong. Jika aku tahu, aku pasti sudah membeli beberapa dalam perjalanan pulang. Itu sebabnya, aku hanya menggunakan beberapa bawang hijau."
“Ah, soal itu. Maaf, aku tidak memberitahumu tentang itu.."
“Tidak, kau tidak salah. Ini salahku karena tidak memeriksanya sebelumnya. Padahal aku tahu kau punya pekerjaan hari ini.”
"Tap, aku seharusnya—"
“Tidak, kau tidak—”
Kami saling berpandangan, memperlihatkan senyum masam.
“Jadi, tentang pertemuan orang tua-guru,” aku mengangkat topik percakapan ini.
"Dulu kita berjanji untuk merahasiakan hubungan kita sebagai saudara tiri, kan?" tambahku.
"Mnm ..."
"Jika orang lain mengetahui hubungan kita. Tentunya itu akan menyebabkan banyak masalah—tapi itu hanya untuk kenyamanan kita sendiri, tidak lebih.”
"Mnm.."
Ayase-san mengangguk. aku melanjutkan.
“Tapi, di sisi lain. Kita tidak bisa menyerahkan semuanya pada Akiko-san. Membuatnya membuang waktu di dua hari yang berbeda membuatku merasa sangat bersalah.”
“Aku juga memikirkan hal yang sama denganmu. Kupikir kita terlalu egois."
"Sejujurnya, aku tidak keberatan jika orang lain mengetahui bahwa kita saudara tiri. Tapi, ini bukan hanya masalahku saja.”
Ayase-san mengangguk sekali lagi.
“Itu sebabnya, aku ingin membicarakan ini denganmu.”
"Aku juga, Nii-san. Itu bukan sesuatu yang bisa kuputuskan sendiri. Terlebih lagi, aku juga melihat Ibu bekerja sangat keras sampai-sampai dia hampir pingsan.”
.... Eh? Pingsan? Jadi begitu ....
“Itulah mengapa aku tidak ingin Ayahku atau Akiko-san memaksakan diri untuk melakukan sesuatu demi kita.”
"Mnm, sudah diputuskan kalau begitu,” kata Ayase-san dan aku mengangguk setuju.
Sekali lagi, aku menyadari bahwa cara berpikir kami sangat mirip, terutama di saat-saat seperti ini.
“Kalau Ayahku benar-benar sibuk, mari kita lakukan pertemuan kita berdua di hari yang sama. Itu akan menghemat satu perjalanan Akiko-san ke sekolah.”
"Oke, selain itu—” gumam Ayase-san."Ini tidak seperti dia sibuk atau apa. Aku ingin kita berdua mengadakan pertemuan orang tua-guru pada saat yang sama. Jadi, Ibu hanya perlu datang sekali."
Suaranya sangat pelan, membuatku bertanya-tanya apakah dia benar-benar ingin aku mendengar itu atau apakah kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Baiklah, aku akan memberitahu Ibu..."
"Katakan padanya bahwa aku setuju denganmu dalam hal ini."
"Iya ..."
Tanpa aku sadari, kami berdua sudah selesai makan. Ketika Ayase-san ingin meraih mangkuk dan hendak berdiri, di saat itu juga aku menghentikannya.
"Ayase-san, biar aku saja. Kau pasti lelah karena baru pulang."
“Kalau begitu, mari kita lakukan bersama-sama,” kata Ayase-san sambil tersenyum.
Ngomong-ngomong, sudah berapa lama sejak kami berdiri mencuci piring berdampingan seperti ini?
Meskipun aku tahu bahwa ini bisa dilakukan oleh satu orang saja karena kami bahkan tidak menggunakan peralatan makan sebanyak itu. Tapi, entah kenapa aku hanya ingin melakukannya.
Aku ingin tahu apakah Ayase-san juga merasakan hal yang sama sepertiku? Atau, ini hanya kebetulan?
Sambil mencuci piring bersama, kami membicarkan beberapa hal yang terjadi di sekolah, buku yang kami baca baru-baru ini dan video lucu yang kami temukan di medsos. Kami berdua mencuci piring dengan sangat cepat. Setelah Ayase-san mencuci piring terakhir dengan hati-hati, dia segera kembali ke kamarnya. Momen bahagia ini hanya berlangsung sesaat.
"Yah, kurasa ini baik-baik saja."
Di dunia ini, pasti ada saudara kandung yang akhirnya saling menjauh karena masalah sepele. Aku seharusnya menganggap diriku beruntung bisa melakukan pekerjaan rumah bersama seperti ini. Aku harus puas dengan ini—atau begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri.
Ketika orang tua kami memutuskan untuk menikah lagi, mereka pasti telah mempertimbangkan perasaan kita, Aku yakin Ayahku dan Akiko-san sama-sama ingin kita akur. Aku tidak bisa memaksa diriku untuk mengkhianati harapan dan keinginan mereka. Itu sebabnya, aku harus menekan perasaanku ini, menutupnya dan mengunci keinginanku. Bagaimanapun, Ayase-san adalah saudara tiriku.
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
|1| Katsuobushi, Ikan serut Jepang terbuat dari tuna asap, garam kering. Irisan tuna katsuobushi dan rumput laut kering adalah bahan utama kaldu dashi, bahan dasar untuk membuat sup miso dan berbagai saus seperti soba no tsukejiru dalam masakan Jepang. Sumber mbah Wiki
6 comments