Chapter 4 - Bagian 2
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
Sandai menundukkan kepalanya untuk sementara waktu.
"Senang bertemu dengan Anda. Namaku Fujiwara Sandai. Umm, aku pacarnya Shino... Lebih tepatnya lagi, aku pacarnya Yuizaki Shino-san."
"Oh, jadi kau pacarnya Shino. Yah, aku sudah mendengar dari Putriku sendiri, Shino. Namaku Daigo, Ayah Shino."
Seharusnya ini adalah saat-saat dimana Sandai merasa sangat tegang karena tekanan yang di keluarkan Ayah Shino, tetapi entah mengapa perasaan tegang itu tidak ada sama sekali.
"Begitu, jadi Ayah Shino 'ya..."
"Yah, silakan duduk di sana." Ayah Shino berdiri dan meletakkan sebuah bantal di lantai.
Sandai duduk setelah mengucapkan terima kasih dan Shino duduk di sebelahnya.
"Umm ... ini mungkin mendadak, tapi apa boleh aku bertanya?" dengan gugup, Sandai memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu tentang hal yang mengganggunya sejak tadi.
"Hmm? Ada apa?"
"Maaf, jika perkataanku tidak sopan. Um, sepertinya ada tawon atau hewan lain di sekitar sini, ya.."
Ketika Sandai secara tidak langsung bertanya mengapa wajahnya bengkak, "Pfft," dua orang yang duduk di sisi Daigo memalingkan muka dan tertawa.
Dan kemudian Shino menatap Ayahnya dengan tatapan tajam.
Sepertinya... terjadi sesuatu.
Namun, ini bukan waktu dan tempat di mana Sandai bisa mendapatkan jawabannya, jadi ia tetap diam.
"Ah, ada sedikit masalah tadi. Kau tidak perlu khawatir."
Sandai merasakan tekanan yang begitu besar untuk tidak menanyakan detailnya pada Ayah Shino.
Sedikit saja udara menjadi tegang.
Tak lama kemudian, Ibu Shino bangkit sambil tersenyum kecut, menuangkan teh dan meletakkannya di depan Sandai.
"Ini, teh untukmu."
"Terima kasih."
"Sama-sama. Fufu, seperti yang dikatakan Shino. Ah, maaf. Mungkin kamu sudah tahu dari Shino, tapi biarkan aku memperkenalkan diriku. Aku Ibunya Shino, kamu bisa memanggilku Neko~"
Itu adalah nama yang mudah dimengerti dan mudah diingat. Dia juga seseorang yang tampak baik dan lembut.
Namun, dia juga merasa bahwa kepribadiannya tidak akan sesuai dengan kesan pertama.
Dari keadaan hidup bersama, anak-anak sangat rentan terhadap pengaruh orang tua mereka-ketika mempertimbangkan pandangan umum seperti itu, tidak masuk akal jika Ibunya benar-benar berbeda dari Shino dan Miki.
Dengan satu atau lain cara, ia merasa bahwa Ayah Shino tampak seperti Miki, tapi...
Akan berbeda jika mereka selalu berada jauh dari rumah seperti keluarga Sandai, tapi meskipun sibuk, keluarga Yuizaki memiliki waktu bersama keluarga yang tepat. Sulit untuk berpikir bahwa pengaruh di antara anggota keluarga itu kecil... Dengan kata lain, masuk akal untuk berpikir bahwa Ibunya bersikap baik.
Namun, kepribadian Ibu Shino tidak begitu penting. Jika dia tampaknya tidak menentang hubungan Sandai dengan Shino, tidak akan ada kebutuhan untuk mengetahui secara detail juga.
Jadi, alih-alih hal seperti itu, Sandai lebih tertarik pada bagaimana Shino membicarakannya.
Seperti apa yang kudengar-menebak dari kata-kata itu, sepertinya Shino membicarakannya dengan jujur, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit, tapi...
"Ayolah, Daigo-san, jangan membuat wajah cemberut seperti itu. Cepat tanyakan jika ada yang ingin kamu tanyakan."
Didesak oleh Neko-san, Daigo melipat tangannya dan menatap Sandai sekali lagi.
"Ahem, begini. Kudengar dari Shino, kau ingin pergi liburan bersamanya, benar bukan? Hanya kalian berdua.."
Shino mengatakan bahwa ia sudah menceritakan semuanya kepada mereka. Sepertinya dia sudah menceritakan segalanya kepada orang tuanya, secara harfiah, tentang hubungan mereka dan juga tentang perjalanan ini.
"Iya, itu benar. Itu sebabnya aku datang ke sini untuk menyapa kalian. Aku tidak ingin membawa pergi Putri Anda tanpa seizin kalian."
"Oh, begitu."
"Jadi? Apakah kalian memberiku izin?"
"Bagaimana dengan uang?"
"Aku yang akan membayar semuanya. Aku memiliki pekerjaan paruh waktu. Jadi, aku punya uang simpanan. Dari awal, aku sudah memikirkannya jika kami ingin melakukan perjalanan maka uang sangat dibutuhkan. Jadi, aku yang akan membayar semua kebutuhan Shino-san selama perjalanan ini."
"Itu benar. Uang memang diperlukan untuk segalanya... Hmm."
Sambil mengelus dagunya, Daigo menatap Sandai dengan mata mengevaluasi.
Wajah Daigo sedang dalam keadaan yang buruk, tapi mungkinkah alasan Sandai merasakan sesuatu yang mirip dengan martabat misterius adalah karena tugas sebagai seorang Ayah (?)
Meskipun, mungkin yang merasakan hal itu hanya Sandai, karena Miki terkekeh sambil menatap Daigo dan Neko serta Shino terlihat muak.
"Hmm.. Begitu, kau sudah memikirkannya dengan matang, ya. Hmm, tapi bagaimana dengan orang tuamu?"
Apakah orang tua pacar mereka (anak laki-laki) adalah sesuatu yang perlu dikhawatirkan sebagai seorang Ayah? Bukankah mencari tahu orang seperti apa pacarnya adalah hal yang penting?
Tapi yah, itu bukan bukan sesuatu yang perlu disembunyikan. Selama dia ingin tahu, Sandai akan menjawab dengan jujur.
"Pertama-tama, baik Ayah maupun Ibuku sedang di luar negeri."
"O-Oh, mungkinkah kedua orang tuamu berasal dari luar negeri?"
"T-Tidak, keduanya orang Jepang. Mereka berada di luar negeri untuk bekerja."
"... Oh, begitu. Kalau begitu, bolehkah aku tahu pekerjaan seperti apa yang di miliki orang tuamu? Btw, mereka bukan penyelundup sindikat kriminal atau semacamnya, kan?"
Cara berpikir Ayah Shino benar-benar di luar nalar.
Apa dia terlalu banyak menonton film barat atau semacamnya?
Meski cara berpikirnya agak di luar nalar, Sandai tidak boleh menyindir dan membuatnya tidak senang.
"Ayah dan Ibuku adalah ahli vulkanologi. Mereka berdua melakukan penelitian kolaboratif; semacam itu."
Ketika Sandai menyebutkan fakta itu dengan jujur tanpa kebohongan, Daigo, Neko Miki, dan kemudian Shino, "Hmm?" menyipitkan mata.
Yang memecah keheningan sejenak adalah Daigo.
"Ahli vulkanologi, nama keluarga 'Fujiwara'. Um, mungkinkah nama Ayahmu Fujiwara Nidai? Apa dia sedang tinggal di negara bernama Islandia atau sejenisnya?"
Baik nama lengkap maupun tempat tinggalnya sama persis dengan apa yang Daigo katakan.
Namun, seharusnya tidak ada hubungan apapun antara Daigo dan Nidai. Jadi bagaimana dia bisa tahu?
"Itu benar, Fujiwara Nidai. Dia Ayahku. Apa Anda mengenal Ayahku?"
"Hmm, kalau dipikir-pikir. Sekitar Minggu lalu, ada program khusus tentang bencana alam di TV yang aku tonton. Nama yang disebut ahli vulkanologi yang muncul di sana adalah itu. Aku juga sudah merekamnya karena berpikir itu bisa membantu untuk mempersiapkan diri pada saat bencana. Tunggu sebentar, Ya, ini dia."
Ayah Shino menggunakan remote TV dan BGM pembuka yang ringan dimainkan, dan program khusus seperti dokumenter tentang bencana alam pun dimulai.
Mata Sandai terpaku pada layar latar belakang program tersebut. Seorang pria berjubah putih yang mengenakan kacamata berbingkai hitam terpantul di sana dan tidak diragukan lagi, pria itu adalah Ayah Sandai.
'Pemanasan global semakin nyata. Banjir dan kekeringan besar terus-menerus terjadi di berbagai tempat di dunia. Hal ini juga tidak asing lagi di Jepang yang selalu disambut oleh bencana tersebut sejak dahulu kala. Hari ini kami ingin membahas 'bagaimana jika letusan gunung berapi terjadi di Jepang'. Kami memiliki tamu yang akan memberikan penjelasan hari ini yang terhubung melalui video; seorang ahli vulkanologi, Profesor Fujiwara Nidai.' [TN: Gak heran kalo Sandai itu pintar wkwk]
'Senang bertemu dengan Anda. Saya Fujiwara Nidai. Senang sekali bisa hadir di sini.'
'Senang sekali Anda bisa hadir di sini... Karena Profesor Fujiwara saat ini tinggal di Islandia, kami melakukan siaran langsung melalui video.'
'Saya berharap bisa terbang langsung ke Jepang, tetapi mengingat jadwal penerbangan, saya rasa saya tidak akan bisa datang dan begitulah yang terjadi. Saya minta maaf atas ketidaknyamanan ini.'
'Tidak sama sekali, sayalah yang seharusnya mengatakannya. Terima kasih telah meluangkan waktu dari kesibukan Anda untuk kami.'
'Saya harap saya bisa membantu.'
'Tamu kita hari ini adalah Profesor Fujiwara Nidai, lulusan ilmu alam dari Massachusetts Institute of Technology yang dikenal dengan julukan MIT, yang kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah pascasarjana di Universitas yang sama di mana dia menerima gelar PhD-nya. Beliau telah dimintai masukan oleh beberapa kepala negara di forum internasional tahun lalu. Saat ini, ia disebut-sebut sebagai orang yang paling dekat dengan Hadiah Nobel sebagai warga negara Jepang...'
Tidak pernah terbayangkan oleh Sandai bahwa Ayahnya akan muncul di layar TV, tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Entah bagaimana, hal itu terasa tidak nyata.
"Mungkinkah orang itu... Ayahmu, Fujiwara-kun?"
"Iya, dia Ayahku."
"Apa dia tipe orang yang akan mendapatkan Hadiah Nobel?"
"Yah, kurasa itu tidak terlalu berlebihan. Meski aku tidak tahu secara detail tentang pekerjaan orang tuaku, tapi mereka sudah bekerja keras untuk itu."
Sandai tidak pernah mendengar detail tentang pekerjaan orang tuanya, baik dari Ayahnya maupun Ibunya. Ia hanya tahu secara samar-samar bahwa mereka adalah para cendekiawan.
Ketika Sandai mengalihkan pandangannya, Daigo berdiri tanpa mengatakan apapun, memberi isyarat pada Neko dan Miki dengan tangannya dan menuju ke lorong.
Sepertinya ketiganya akan mengadakan pertemuan keluarga tanpa Shino.
* * *
"Um, Shino. Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh? Aku tidak dianggap sebagai orang yang tidak sopan atau semacamnya, kan?"
"Hm? Ah, tentang sikap Ayahku yang tiba-tiba? Tidak apa-apa kok."
"Benarkah?"
"Yup. Ayahku itu tipe orang yang serius. Terlebih lagi jika menyangkut laki-laki. Jadi, dia mengkhawatirkanku, seperti apakah kamu itu orang yang baik atau bukan. Tapi, setelah bertemu denganmu. Menurutku, dia sudah tahu kalau kamu bukan orang yang dipikirkannya. Ayah meras kaget mengetahui fakta kamu Putra dari seorang Profesor yang jenius."
"B-Begitu."
"Mnm~ Juga, aku baru tahu jika Ayahmu seorang Profesor loh."
"Apa aku tidak pernah memberitahumu sebelumnya?"
"Hmm, kalau dipikir-pikir sih, kayaknya pernah. Saat kamu kesulitan untuk membalas pesan Ayahmu, tapi pada saat itu aku juga tidak menanyakan apa pekerjaannya dan aku merasa itu juga tidak perlu ditanyakan."
"... Kau tidak begitu penasaran dengan orang tuaku?"
"Sebaliknya, aku sangat penasaran. Aku juga berpikir untuk bertemu dan menyapa mereka. Tapi, karena orang yang aku cintai itu kamu. Jadi, aku tidak terlalu memikirkan pekerjaan orang tuamu. Seperti, aku sudah tahu. Mungkin di luar sana, ada gadis-gadis yang tertarik pada hal-hal semacam itu ketika jatuh cinta pada seseorang. Yah, aku berbeda dengan mereka."
".... Err, bagaimana aku mengatakannya. Jadi, kau sangat mempercayaiku, ya."
"Tentu saja~! Bagaimanapun juga, kamu itu pacarku~"
Kedengarannya juga seperti dia sedang menantang, tetapi sebenarnya tidak demikian. Kata-kata itu justru karena dia mengenal dirinya sendiri dengan baik.
Ia cenderung memikirkan ini dan itu, dan terkadang hal itu membuatnya tampak seperti orang yang mengerikan ketika melihat Shino.
Kadang-kadang, dia tiba-tiba merasa khawatir, bertanya-tanya apakah seseorang seperti dia akan baik-baik saja menjadi pacarnya. Kadang-kadang ia juga berpikir, bertanya-tanya apakah tidak ada pria yang lebih pantas untuk Shino.
Namun, Sandai tidak akan mengungkapkannya.
Orang yang sudah menciptakan percikan api bagi mereka untuk berpacaran dan orang yang telah menyatakan cinta adalah Shino, tapi sekarang Sandai juga benar-benar mencintai Shino.
Itulah sebabnya ia tidak ingin melepaskannya dan menyingkirkan kemungkinan bahwa hal itu akan berubah menjadi seperti itu.
Sandai sering bertingkah seperti orang dewasa. Tapi sebenarnya, ia menyimpan pikiran-pikiran yang mengganggu, berbeda dengan Shino yang cenderung membiarkan perasaannya menjadi liar.
Sandai sadar akan sisi dirinya yang merepotkan. Namun, ia berpura-pura tidak menyadarinya dan melihat ke arah lain.
Jika ia akhirnya mengakui hal itu, ia merasa tidak akan bisa mengendalikan dirinya.
Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak sisi, kata-kata yang diucapkan Nakaoka sebelumnya baru sekarang ini begitu menohoknya. Ia sendiri juga begitu.
"Ada apa? Apa perutmu sakit?"
"Tidak, aku baik-baik saja. Daripada itu, apa aku terlihat seperti itu?"
"Iya. Jika aku membandingkannya dengan sesuatu... apa, ya? Ah, lihat itu! Ada patung perunggu yang duduk dengan tangan memegangi rahangnya, kan? Itu seperti yang aku pelajari di seni rupa atau semacamnya."
"Maksudmu karya dari Rodin yang berjudul "The Thinker"?"
"Benar! Nah, sekarang. Cobalah memikirkan sesuatu dan buatlah terlihat seperti The Thinker untuk sementara waktu."
"Tunggu, Shino. Bukankah itu-?"
"Lakukanlah."
"Harus nih?"
"Yup."
Sepertinya dia harus melakukannya. Jadi dengan enggan, Sandai mengambil pose yang sama seperti The Thinker.
"S-Seperti ini?"
"Hmm, tapi yang aku lihat dibuku pelajaran matanya tertutup."
Bahkan Sandai tidak mengingat secara detail, apakah The Thinker karya Rodin memiliki mata yang tertutup.
Mungkin jumlah orang yang mengingatnya sampai sejauh itu juga sedikit.
Meski begitu, ini bukannya waktunya untuk marah dan menolaknya. Jadi Sandai dengan patuh menutup matanya.
Segera setelah itu, Chu~ Shino mencium Sandai. Itu bukan ciuman di pipi, melainkan di bibir.
"... Shino, kau ini ya."
Sandai perlahan membuka matanya dan mendapati Shino tersenyum dengan lidah terjulur.
"Berpikir secara normal, tidak mungkin orang sepertiku yang tidak memperhatikan buku pelajaran akan mengingatnya dalam keadaan mata tertutup atau tidak, kan?"
Benar sekali, dan selain itu, Sandai punya firasat bahwa Shino sepertinya akan melakukan hal seperti ini. Ia dengan patuh mendengarkannya. Jadi dengan kata lain, jauh di lubuk hatinya ia telah mengantisipasi hal itu.
"Fufu, pipimu agak merah~! Apa kamu senang?"
"Uh-huh."
Ketika Sandai mengangguk singkat, Shino menyeringai seolah-olah mengatakan bahwa ia telah menunggu reaksi itu.
Meski mereka sama-sama baru dalam hal percintaan, tetapi entah mengapa Sandai merasa bahwa dia dituntun oleh Shino dalam hal ini.
Hal itu membuat Sandai ingin menghela napas.
Meski begitu, itu tidak lebih dari perasaan dari sudut pandang Sandai. Kalau kita melihat Sandai dari sudut pandang Shino, ini juga akan terlihat berbeda.
Mengambil inisiatif dengan penampilan yang tenang, dengan santai memikatnya dengan melakukan hal-hal yang akan membuat hatinya berdebar-debar-kalau dilihat dari sudut pandang Shino, Sandai juga akan terlihat seperti pria seperti itu.
Singkatnya, itulah yang disebut: perasaan yang saling menguntungkan.
'Astaga, apa yang dilakukan oleh Putriku itu? Shino, bukankah kamu tidak suka dengan laki-laki?'
'Tidak, Ayah salah. Onee-chan masih tidak suka dengan laki-laki, Onii-chan itu memang spesial bagi Onee-chan kau tahu.'
'Ini juga pertama kalinya aku melihat Shino sangat dekat bahkan menempel pada laki-laki.'
'.....'
'Kenapa kamu diam saja, Daigo-san? Apa ini tentang Ayah Fujiwara-kun? Aku juga terkejut. Pasti kamu berpikir 'Anakku memiliki pacar yang luar biasa' ya,' kan?'
'... Benar.'
'Itu jauh lebih baik daripada seorang anak nakal yang aneh yang memperkenalkan diri dan menyebut dirinya 'pacarnya' pada kita. Setidaknya aku merasa lega. Jika tipe yang akan mengatakan 'Aku pacarnya-nya! Senang bertemu denganmu~' memperkenalkan dirinya sebagai pacarnya kepada kita, aku yakin aku akan pingsan dengan mulut berbusa.'
'Ayah juga sama tau... Tapi tetap saja, Ayah merasa kesepian. Shino juga mulai diet makan tahu.. Ayah merasa ditinggalkan.' [TN: 'Tahu' di sini itu makanan bukan 'kata']
'Daigo-san, bisakah kamu berhenti bicara kasar seperti itu?'
'Nggak udah sedih, Ayah. Meski Onee-chan nantinya akan menjadi orang dewasa, Miki akan tetap di sisi Ayah. Makanya, kasih uang jajan lebih dong~'
Nah, entah pertemuan keluarga seperti apa yang telah dilalui keluarga Yuizaki tanpa Shino, tapi ketiganya kembali.
"Err... Fujiwara-kun." Daigo melipat tangannya, duduk, "Hrm," dan mengerang.
Sandai secara refleks menegakkan tulang punggungnya.
"Aku akan kembali ke topik pembicaraan. Kita membicarakan tentang kau yang akan melakukan perjalanan dengan Shino, bukan?"
"Y-Ya."
"Hmmm."
Daigo mengelus dagunya sekali. Dan kemudian untuk kedua kalinya. Dan kemudian untuk ketiga kalinya-meski saat ia akan melakukannya, kepalanya ditampar oleh Neko-san.
"Astaga! Aku sudah bersabar tapi aku sudah sampai pada batasnya! Ada apa dengan sikapmu terhadap pacar putrimu sejak tadi!? Jawabannya sudah keluar sejak kemarin. Jadi, berhentilah berpura-pura dan cepat beritahu Fujiwara-kun!"
"Ouch, aduh duh..."
"Apa maksudmu dengan 'aduh'!? Yang mendapat 'aduh' adalah hati Fujiwara-kun yang sedang menunggu balasan yang terus berlarut-larut darimu! Maaf, ya. Fujiwara-kun. Karena harus mengahadapi pria merepotkan ini."
"T-Tidak, tidak apa-apa..."
"Ya ampun, pria yang merepotkan sekali..."
Disebut pria yang merepotkan oleh Neko, Daigo hanya diam saja tanpa membantah.
Sepertinya, dia tidak perlu mengeluarkan jawaban yang sudah keluar.
Mungkin, ini adalah bagian di mana Sandai seharusnya marah, tetapi ketika ia berpikir bahwa Daigo mungkin juga memiliki segala macam hal di dalam pikirannya sebagai seorang Ayah, Sandai tidak dapat mengatakan apa-apa.
Hal itu justru membuat Sandai ingin menutupinya.
"Disebut sebagai orang tua yang merepotkan... Umm, aku bisa membayangkan seorang Ayah yang memiliki pikiran yang sibuk. Bukankah dia Ayah yang luar biasa?"
"Ara, Makasih, Fujiwara-kun~. Dengar Daigo-san, meski kamu melakukan hal yang tidak sopan, tetapi Fujiwara-kun memanggilmu 'Ayah yang luar biasa' dengan tatapan yang menyegarkan di sana."
Neko tiba-tiba berubah menjadi kasar, tapi Sandai sudah merasa sejak awal bahwa Neko bersikap baik. Jadi dia tidak terlalu terkejut.
Aku tahu itu, itulah kesan jujurnya.
Meski begitu, ketika ia melihat Neko mengeluh pada suaminya sendiri tanpa ragu-ragu, ia merasakan kemiripan dengan Shino dalam beberapa hal.
Dan kemudian, justru karena Sandai merasakan hal itu, ada sesuatu yang entah bagaimana dia mengerti.
Mungkin... apa yang membuatnya berada dalam suasana hati yang buruk mungkin mirip dengan Shino, bukan?
Shino juga terkadang datang memberitahu Sandai ini dan itu. Meski begitu, itu semua demi kebaikan Sandai dan perasaan cinta Shino terhadapnya.
Dan Neko mungkin juga sama.
Ada kemungkinan yang sangat besar bagi kepribadiannya untuk menjadi sedemikian rupa sehingga ia tidak akan membiarkan orang lain selain dirinya sendiri untuk menjelek-jelekkan orang yang dicintainya.
Dalam hal ini, memuji Daigo adalah pilihan yang tepat.
Jika dia mengikuti kata-kata orang tua merepotkan itu, ada kemungkinan itu akan menjadi mengerikan.
"Karena Daigo-san sepertinya tidak bisa mengatakannya dengan mulutnya sendiri, aku yang akan mengatakannya. Singkatnya kami tidak menentang hubungan kalian dan juga untuk perjalanan itu. Kalian bebas melakukan apapun yang kalia suka." Neko-san melanjutkan, "Itulah jawaban kami."
Mendengar hal itu, Sandai menepuk dadanya dengan lega dan melihat hal itu, Shino tertawa kecil.
"Tuh, kan? Aku sudah bilang. Semuanya baik-baik saja, kamu tidak perlu khawatir."
"Tidak, meski kau mengatakan itu. Wajar bagiku merasa seperti ini, kan?"
"Yah, kamu ada benarnya juga. Lagipula, kamu tidak perlu lagi bersikap sopan dan kaku. Seperti biasa saja."
"... Tunggu, tunggu. Maksudmu, aku akan sering bertemu dengan orang tuamu?"
"Tentu saja, kan? Maksudku, kamu tidak perlu lagi mengantarku sampai ke stasiun. Tapi, kamu bisa secara terbuka datang ke rumahku, baik saat mengantarku pulang atau ketika kita pergi kencan."
Memang benar. Sandai selalu mengantar Shino sampai stasiun. Namun setelah bertemu dan menyapa orang tua Shino. Dia sekarang bisa mengantar Shino sampai ke rumah tanpa menghindar.
Entah bagaimana, ia merasa telah melintasi sebuah gunung yang besar.
Meski begitu... Sandai juga sudah memikirkan hal itu saat mengantarnya pergi selama ujian. Tapi baginya, suasana keluarga Yuizaki terlihat sangat mempesona.
Sandai juga tidak memiliki hubungan yang buruk dengan orang tuanya dan mereka masih saling menghubungi satu sama lain meskipun sesekali. Meski begitu, tidak ada kesan yang menyenangkan seperti keluarga Yuizaki.
Tentu saja, Sandai juga memahami, bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dengan hal itu. Apabila memikirkan detail pekerjaan orang tuanya, jangankan di rumah, sering tidak berada di Jepang pun merupakan hal yang wajar.
Akan mudah untuk menghadapi dan mengatakan kepada orang tuanya bahwa dia ingin mereka menghargai hubungan keluarga mereka, tetapi pekerjaan orang tuanya juga terkait dengan bencana. Jika dia diberitahu bahwa itu adalah pekerjaan yang bisa menyelamatkan orang dari seluruh dunia, dia tidak akan bisa mengatakannya dengan kuat.
Bahkan konsol gim yang Sandai minta dibelikan oleh orang tuanya dengan alasan ingin memiliki teman, sekarang dia merasa bahwa itu mungkin bukan satu-satunya alasan.
Ia merasa bahwa jauh di lubuk hatinya juga ada perasaan ingin dimanjakan oleh orang tuanya.
"... Yup, yup."
Ketika Sandai menundukkan kepalanya, Shino mengulurkan tangan untuk menepuk kepalanya.
"...Ada apa tiba-tiba?"
"Bukan apa-apa kok. Kamu merasa seperti ingin dimanja~"
Pada saat seperti ini, "Itu tidak benar," Sandai akan menyangkalnya seperti itu jika itu adalah hal yang biasa. Namun demikian, kondisi mentalnya saat ini sedikit berbeda.
"Di manja, itu tidak.. Yah, sedikit."
"Hmm, fufu~ Jarang melihatmu jujur begini. Anak baik~"
"Yah, sesekali aku juga merasa seperti ini."
"Fufu, bayi besar~ Goo-goo ga-ga."
"... Goo-goo ga-ga."
"H-Hei.."
"Ehehe, maaf, maaf. Begini, Sandai. Aku mungkin belum mengeri seperti apa sebuah keluarga itu... Aku tidak bisa mengungkapkannya dengan baik, tapi aku akan berpikir, 'Kamu memiliki orang tua yang baik' jika aku melihat keluargamu..." Sandai mendengar perkataan Shino sambil tersenyum pahit.
Lalu, ia menepuk kepala Sandai sekali lagi.
"... Yup, yup."
Sandai tidak tahu apa yang dipikirkan Shino saat ini. Biasanya ia bisa menebak-nebak, tapi sekarang hal itu juga tidak mungkin baginya.
Namun, satu-satunya perasaan yang muncul adalah kebaikan.
... Aku menyedihkan, bukan.
Sandai mengira bahwa selama ini ia adalah orang yang mendukung.
Dia bisa memahami dan menangani berbagai hal sampai batas tertentu, dia juga bisa melakukan berbagai hal dengan cukup sempurna. Jadi, dia berpikir bahwa dia adalah pihak yang cocok dengan Shino, yang memiliki emosi manusiawi yang intens dan banyak hal yang tidak dia kuasai.
Itulah sebabnya ia tidak menyadarinya.
Bahwa Shino ingin mendukungnya, seperti bagaimana dia ingin mendukungnya.
"... Apa kamu sudah merasa baikkan?"
Mungkin alasan Shino bisa berbicara dengan tenang seperti ini adalah karena Shino sudah merawat Miki sejak kecil.
Posisi mereka benar-benar berbalik dari biasanya, tapi ketika melihatnya seperti ini, tak disangka Shino mulai terlihat lebih dewasa daripada Sandai.
Bagaimanapun juga, acara besar datang untuk menyapa orangtuanya berakhir tanpa ada masalah yang terjadi.
Selebihnya, tinggal menunggu hari H.
'Ara, masa muda~'
'Seperti dunia milik mereka berdua yang lain ngontrak. Rasanya seperti disuruh makan banyak gula, sekarang Miki merasa ingin muntah.'
'Ini seperti suasana dalam drama, bukan?'
,'... Ini agak keluar dari topik, tapi sebagai seorang Ayah, aku akan senang kalau pacar Shino adalah seorang pria yang bisa mengeluh meskipun hanya sedikit. Dengan begitu aku bisa memarahi-Owowow, sakit tau! Tolong jangan tarik telingaku!'
'Berhentilah mencoba mencampuri urusan percintaan Putrimu. Cepat atau lambat, mereka akan menjadi dewasa dan akan meninggalkan orang tua mereka. Jadi, daripada memasang wajah menyedihkan seperti itu lebih baik dukung mereka. Kemarin kamu juga terus berkata, 'Tidak boleh, tidak boleh,' lalu Shino menangis dan marah-marah... dan apa yang kamu dapat, Daigo-san?'
'.... Dia memukul wajahku.'
'Itu sebabnya wajahmu bengkak.'
'... Mau bagaimana lagi, aku merasa sangat kesepian.'
'Bahkan jika Putri kita meninggalkan kita, aku ada di sini, bukan? Sekarang aku merasa ingin meninjumu juga.'
Post a Comment