-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Inkya no Boku ni Batsu Game V4 Chapter 1

Chapter 1 - Awal dari Minggu Terakhir Kita Bersama


Kira-kira 3 minggu yang lalu, hubungan yang sedikit aneh antara aku dan Nanami dimulai. Sejak saat itu, kami telah mengalami sejumlah perubahan.

Sekarang tinggal seminggu lagi sampai hari jadi kami yang ke satu bulan, hari di mana hubungan kami yang sedikit aneh ini akan berakhir.

Minggu depan, aku akan memberitahu Nanami bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku tidak tahu perubahan seperti apa yang akan terjadi. Apapun masalahnya, aku dengan tulus ingin membuat perubahan itu sebaik mungkin. Tidak ada jaminan bahwa akan ada akhir yang bahagia, tetapi aku akan tetap mengusahakannya.

Saat aku memikirkannya, percakapan yang kulakukan dengan teman sekelasku sebelumnya membawa sebuah pertanyaan baru ke dalam pikiranku.

"Aku ingin tahu seberapa jauh kita bisa melangkah dan tetap baik-baik saja untuk hubungan SMA," gumamku.

"Apa maksudmu?" Nanami bertanya.

Kami berada di kamar Nanami seperti biasa, mengobrol tentang hal lain setelah selesai belajar. Aku melihat foto-foto yang kami ambil di bilik foto di arcade untuk memperingati hari di mana aku memanggil Nanami dengan namanya. Itu adalah pertama kalinya aku melakukan hal seperti itu.

Ada beberapa foto yang berbeda di lokasi syuting. Salah satu di antaranya bahkan disimpan di smartphoneku, yang tidak pernah kubayangkan bisa dilakukan.

"Nah, seperti di foto ini, apakah ciuman di pipi termasuk 'hal biasa' bagi pasangan anak SMA?" tanyaku.

Benar. Ketika kami berada di bilik foto, Nanami mencium pipiku. Hal itu sangat mengejutkan, bahkan untuk bidikan candid. Karena itu, kami berakhir dengan foto di mana dia menciumku, sementara aku menyunggingkan senyum goblok.

Jika aku melakukan hal yang sama padanya, kami pasti akan berciuman sungguhan, ya?

Ketika aku mengisyaratkan ke foto, dia mengingat kejadian itu dan sedikit tersipu malu. Tapi, dia segera berpura-pura tenang dan kembali normal. Sebagai catatan tambahan, ketika kami mengambil foto itu, Nanami merasa sangat malu dengan apa yang sudah dilakukannya, sampai-sampai wajahnya menjadi merah padam. Aku rasa, hal itu tidak perlu dikatakan.

Bagaimanapun, Nanami melakukan peregangan besar seolah-olah mengalihkan perhatian kami dari foto itu. Dia kemudian menguap sedikit, matanya sedikit berkaca-kaca.

"Tapi kalau itu benar, maka, sebenarnya, bukankah menurutmu kita seharusnya tidak pergi ke arcade sepulang sekolah? Aku tidak begitu yakin dengan kebijakan sekolah. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya," katanya, menyandarkan tubuhnya ke tubuhku sambil mengusap matanya yang berkaca-kaca. Dia mengingatkanku pada seekor kucing saat dia berguling dan berbaring di pangkuanku seperti itu.

Dia tidak menggunakan pangkuanku sebagai bantal seperti yang kadang-kadang dia lakukan, tetapi aku bisa merasakan kehangatan dan tekanan lembut dari tubuhnya yang menyebar di kakiku yang terentang. Aku tahu aku hanya membayangkannya, tetapi aku merasa seperti melihat telinga kucing di kepala Nanami.

Telinga kucing... Ya, aku pasti bisa melakukannya.

Nanami bergeser berbaring telentang dan menatapku. Karena aku telah melihat kepalanya, mata kami bertemu ketika dia membalikkan badannya. Dia tampak terkejut sejenak, tetapi segera menyeringai nakal kepadaku. Dia kemudian mengangkat jari telunjuknya ke bibirnya dan memiringkan kepalanya. Rambutnya jatuh di atas lututku, menggelitikku.

"Apa? Yoshin... apa kamu mau melakukan sesuatu yang lebih nakal?"

Nanami menggerakkan jari telunjuknya perlahan-lahan membentuk lengkungan di sepanjang bibirnya. Dengan gerakan yang agak sensual, dia mengangkat jarinya dan mengarahkannya ke arahku... Pipinya langsung memerah.

"Jangan katakan itu kalau hanya membuatmu malu," kataku.

Mungkin dia sudah mencapai batasnya, mengingat foto itu. Karena merasa hal itu menggemaskan, aku tersenyum lebar, membuatnya semakin memerah. Dia mulai memukul-mukul pangkuanku, memukul-mukul dadaku dengan tinjunya.

"Jangan berkata seperti itu!" serunya. "Muu, kita harusnya memutuskan ke mana kita akan pergi pada kencan berikutnya!"

"Maaf, maaf! Habisnya kamu imut sekali."

"Serius nih! Aku tidak bercanda, oke?!"

Dia memukulku, tapi tidak sakit sama sekali-bahkan, aku bisa bilang kalau itu terasa menyenangkan. Nanami terus memukulku untuk beberapa saat, tetapi akhirnya, dia mengangkat kedua kakinya dan mengayunkannya ke bawah, menggunakan momentum untuk duduk.

Beban yang kurasakan pada diriku lenyap dan aku merasakan sedikit rasa kesepian pada sedikit kehangatan yang tersisa. Entah dia tahu apa yang kurasakan atau tidak, Nanami mengambil smartphone nya dan mulai mencari ide. Masih merasa kehilangan kehangatannya, aku bergabung dengannya untuk mencari tempat kencan yang memungkinkan.

Hari ini, Nanami dan aku telah memutuskan bahwa kami masing-masing akan menemukan ide untuk kencan kami berikutnya. Sepertinya kami tidak perlu berada di ruangan yang sama untuk melakukan hal ini. Tapi, kami bisa saja dengan mudah mendapatkan ide setelah aku pulang ke rumah. Meski begitu , kami punya alasan untuk melakukan hal ini.

Untuk kencan pertama kami, aku mengajak Nanami menonton film bersama. Untuk kencan kedua kami, Nanami mengajakku pergi ke akuarium dan kami membuat kenangan yang tak terlupakan. Untuk kencan ketiga kami, kami melakukan perjalanan ke pemandian air panas dan menikmati bunga sakura. Pada akhirnya, kami bahkan bermain gim bersama di kamarku dan saling memberi kejutan dengan berbagai cara.

Setiap kencan itu sangat menyenangkan, masing-masing memiliki kenangan yang tidak tergantikan. Tapi sekarang, dengan hanya 1 minggu tersisa sampai hari jadi kami, kami mulai merencanakan apa yang harus dilakukan untuk kencan keempat kami.

Dan di situlah letak masalah kami.

Karena itu adalah kencan tepat sebelum hari jadi kami, aku dan Nanami sangat bersemangat tentang hal itu. Semakin sering kami berbicara, semakin banyak tempat yang ingin kami kunjungi yang pada gilirannya membuat kami semakin sulit untuk memutuskan tempat mana yang harus dipilih.

Kami bisa kembali ke akuarium untuk menonton pertunjukan lumba-lumba yang kami lewatkan, melihat bunga sakura lagi hanya berdua, mencoba taman hiburan atau kebun binatang yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya... Kami juga bisa menjelajahi kota, menonton film yang ingin kami tonton atau bahkan nongkrong dan menonton film di rumah seperti yang kami sebutkan sebelumnya. Dengan begitu, kami terus mendapatkan lebih banyak ide.

Sungguh menyenangkan hanya dengan duduk di sana bolak-balik, bahkan jika rencana kami tidak tampak sejalan sama sekali. Namun, pada suatu saat, kami harus mengambil keputusan yang solid tentang apa yang harus dilakukan.

"Agak sulit untuk menentukan satu hal, ya?" Nanami bergumam.

"Ya, kurasa ada terlalu banyak hal yang ingin kita lakukan. Kita tidak akan bisa menyelesaikan semuanya hanya dalam 2 hari."

Setelah beberapa kali bertukar pikiran, kami mendapatkan daftar ide yang sangat panjang. Namun, tidak peduli berapa banyak yang kami masukkan ke dalam jadwal kami, kami tidak akan bisa menyelesaikan semuanya dalam satu hari. Oleh karena itu, kami menemui jalan buntu.

Alasanku begitu bersemangat untuk membuat keputusan yang tepat adalah karena kencan ini berpotensi menjadi yang terakhir bagi kami. Itulah mengapa aku merasa sangat ingin membawanya ke tempat yang kupilih sendiri.

Nanami juga tampak sangat berniat untuk membuat kencan ini menjadi kencan yang sempurna. Aku bisa tahu dia benar-benar ingin menghabiskan hari bersamaku di tempat yang dia sarankan.

"Maukah kamu membiarkanku melakukan sesuatu untukmu untuk menebus kesalahpahaman yang aku mulai tempo hari?" tanyanya.

Namun, mengingat betapa sugestifnya hal itu terdengar, dia langsung tersipu malu dan berteriak, "Lupakan!"

Tentu saja, aku meyakinkannya bahwa kesalahpahaman sebelumnya bukanlah sebuah perkelahian dan dia tidak perlu khawatir tentang hal itu, karena aku juga pasti bersalah.

Bagaimanapun, kembali ke topik kencan kami, kami tidak dapat bergerak maju kecuali kami memutuskan apa yang ingin kami lakukan. Karena kami tidak bisa menentukan satu hal, aku mengusulkan bahwa pada hari Sabtu, kita akan pergi ke tempat yang Nanami inginkan dan pada hari Minggu, kita akan pergi ke tempat yang aku inginkan. Dengan begitu, kami masing-masing bisa membuat rencana kencan yang berbeda.

Nanami tampak senang dengan ide tersebut. "Ayo kita lakukan itu! Kedengarannya menyenangkan!" katanya.

Jadi, untuk mencegah kami membuat rencana yang sama persis, kami sekarang duduk bersebelahan di ruangan yang sama, mengeksplorasi ide-ide potensial di smartphone kami. Dengan begitu, kami bisa terus mengobrol sambil mencari ide.

Sampai sekarang, tidak ada satu pun dari kami yang menyebutkan rencana kepada yang lain. Kami tampaknya memiliki kesepakatan tak terucapkan bahwa kami hanya akan memberitahu satu sama lain setelah kami memutuskan sesuatu, tetapi kami masih berpikir bahwa lebih baik untuk berbagi rencana kami sebelumnya, daripada saling mengejutkan pada hari H. Sepertinya kami berdua merasa bahwa kencan ketiga kami telah memberikan cukup banyak kejutan yang akan terus diingat seumur hidup.

Saat kami duduk di sana, masing-masing dengan smartphone kami, Nanami tiba-tiba mengubah topik pembicaraan 

"Tidakkah menurutmu itu terdengar agak rumit?" Aku akhirnya bertanya, masih belum bisa menerima argumennya. Aku tidak sepenuhnya senang tidak setuju dengannya, tetapi aku juga merasa enggan untuk menyetujui apa yang dikatakannya.

Nanami, di sisi lain, tidak terlihat kesal dengan reaksiku. Malahan, ia sama sekali tidak terpengaruh olehnya. "Ya, kamu benar," jawabnya.

Aku tidak menduga dia akan bereaksi seperti itu. Jadi, aku hanya menatapnya dan memberinya senyuman canggung. Dia sepertinya juga mengharapkan reaksi seperti itu dariku, karena dia melanjutkan penjelasannya.

"Seorang teman punya pacar, dan dia, err, melakukan hal-hal dengannya yang bahkan aku tidak yakin aku harus mendengarnya. Maksudku, itu sangat banyak sehingga aku bahkan tidak bisa mengatakannya dengan lantang..."

"Hal-hal apa yang dia katakan padamu?! Itu membuatku agak khawatir dalam banyak hal."

"Dulu aku hanya mendengarkannya tanpa terlalu memikirkannya, tapi sekarang semuanya berubah karena aku juga punya pacar."

Aku mulai merasa tidak nyaman, bertanya-tanya hal-hal apa saja yang dia dengar dari teman-temannya, tetapi dia tidak menjelaskannya secara rinci. Namun, dia mungkin masih mengingat sebagian isinya, karena telinganya memerah.

Beberapa waktu yang lalu, aku pernah mendengar bahwa pembicaraan perempuan cenderung lebih memalukan daripada pembicaraan di antara laki-laki.

Apa itu benar? Aku tidak pernah membicarakan hal-hal seperti itu dengan anak laki-laki lain, jadi aku tidak punya apa-apa untuk dibandingkan.

Mungkin alasan Nanami terkadang begitu berani dalam hal hal-hal seperti itu adalah karena dia telah mendengar cerita-cerita gila seperti itu dari teman-temannya. Melihat kekhawatiran di wajahku, Nanami tersenyum seolah-olah ingin meyakinkanku.

"Tapi kau tahu, Hatsumi dan Ayumi melakukan semuanya dengan sangat lambat. Mereka pernah mengatakan padaku bahwa mereka hanya benar-benar mencium pacar mereka, jadi sepertinya tergantung pada pasangan."

Hal itu cukup mengejutkan. Aku mengira bahwa kedua teman terdekat Nanami sudah cukup jauh dengan pacar mereka, tetapi ternyata tidak demikian. Mungkin itu ada hubungannya dengan pria yang mereka pacari. Aku mendengar bahwa kedua pacar mereka sudah dewasa, jadi mungkin mereka tidak bisa melakukan apa pun secara hukum dengan anak SMA. Jika itu masalahnya, maka itu sangat masuk akal.

"Tapi karena aku mendengar semua cerita itu dan selalu belajar banyak, ketika saatnya tiba, kita tidak perlu khawatir."

Saat kuikir aku bisa berhenti khawatir, dia memukulku dengan itu. Kekhawatiranku tampaknya tepat sekali. Ketika Nanami mengedipkan mata ke arahku, sangat bangga dengan dirinya sendiri, aku menyipitkan mata sedikit dan menatapnya, jengkel.

"Itu dia, mengatakan hal seperti itu lagi. Aku tidak akan membantumu ketika sesuatu terjadi tetapi kamu malah menghancurkan dirimu sendiri, terutama setelah membuat pernyataan seperti itu."

Dia tertawa. "Kurasa aku baru saja mengambil banyak cerita dari orang lain, bahkan jika aku sendiri belum pernah melakukannya. Kamu tidak pernah tahu apa yang akan berguna suatu hari nanti."

"Kenapa kamu berkata seperti itu?!"

Meskipun terkejut, aku tertawa terbahak-bahak dan Nanami ikut tertawa.

Setelah kami berdua mengeluarkan semua kekonyolan kami, Nanami menjadi serius dan mendekat ke arahku. Saat aku memperhatikannya, bertanya-tanya apa yang akan dia lakukan, dia menyandarkan punggungnya ke punggungku. Aku merasakan kehangatannya menyebar ke seluruh tubuhku. Rasanya sangat nyaman sehingga aku tidak bisa berkata apa-apa. Mungkin dia juga bisa merasakan kehangatanku, karena untuk beberapa saat dia tidak mengatakan apa-apa. Sejenak keheningan menyelimuti ruangan itu.

Kemudian Nanami berbisik, "Apa kamu ingat saat kamu menciumku ketika aku sedang tidur?"

"Eh, apa aku yang melakukan itu?"

"Muu, jangan pura-pura lupa! Aku tahu kamu ingat."

Ya, aku memang berpura-pura. Aku mencoba berpura-pura bodoh karena aku masih merasa bersalah tentang hal itu, tetapi dia melihat dengan jelas aktingku dan menertawakanku. Maksudku, tentu saja aku tidak akan lupa. Itu adalah kenangan penting tentang sesuatu yang kulakukan atas kemauanku sendiri untuk pertama kalinya-bahkan, meskipun dia sedang tidur.

Kehangatan tubuhnya saat ia bergeser ke punggungku terasa nyaman, tetapi aku sekarang duduk di sana dengan wajah memerah karena aku mengingat apa yang sudah aku lakukan malam itu.

Sungguh, aku tidak percaya aku telah melakukannya.

"Maaf, ya. Aku malah menciummu ketik akmau sedang tidur," kataku.

"Ah, tidak, tidak. Aku tidak keberatan sama sekali. Sudah kubilang itu membuatku senang, ingat?" Dia tertawa lebih lepas lagi, punggungnya masih menempel di punggungku.

Namun, bukannya marah dengan permintaan maafku, dia malah terlihat lega. Ketika aku masih duduk di sana, mencoba untuk mengatasi rasa bersalah yang tersisa, aku tiba-tiba diselimuti oleh sensasi lembut dan hangat.

Nanami memelukku dengan lembut dari belakang.

Aku bisa merasakan tubuhnya menempel di seluruh punggungku. Aromanya lembut dan menenangkan. Aku menikmati kehangatannya, melamun memikirkan betapa bahagianya diriku jika aku tertidur saat ini juga. Kemudian sebuah suara menenangkan yang entah bagaimana mengingatkanku pada suara seorang ibu bergema di telingaku.

"Aku pikir lebih baik kita mengikuti langkah kita sendiri daripada mengkhawatirkan apa yang sesuai untuk anak SMA. Kita tidak perlu memaksakan diri atau apa pun. Karena itu, ke depannya, mari kita terus berjalan seperti biasanya."

Ketika aku mendengar dia mengatakan itu, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa aku beri nama yang menguasai hatiku.

Memang benar bahwa mungkin aku terlalu terjebak dalam hal "sesuai dengan SMA". Itu mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa hari ini adalah pertama kalinya aku berbicara dengan teman sekelas laki-laki.

Ketika dia mengatakan kepadaku, bahwa para siswa SMA ingin melakukan berbagai macam hal, aku menjadi panik. Merasakan tekanan akan berakhirnya hubungan kami yang semakin dekat mungkin juga tidak membantu. Ketika aku menyadari bahwa aku menyimpang dari apa yang orang lain anggap normal, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya apakah itu hal yang buruk. Namun, penegasan Nanami tentang tindakanku membuatku merasa jauh lebih baik.

"Kamu benar. Kita punya banyak waktu di dunia ini. Kita bisa melakukannya dengan lambat dan melakukan sesuatu dengan kecepatan kita sendiri," kataku.

"Iya... Kita punya, err, semua waktu di dunia ini," jawabnya.

Sebenarnya aku tidak tahu apakah kami punya banyak waktu, tapi aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku ingin terus membangun hubungan kami secara perlahan dan tidak terburu-buru. Aku berharap hal itu terjadi karena akhir dari hubungan kami sudah semakin dekat.

Dan percakapan dengan Nanami inilah yang membuatku memikirkan tempat yang ingin aku kunjungi bersamanya untuk kencan kami pada hari Minggu. Tempat itu mungkin bukan tempat yang sangat menarik, tetapi aku merasa itu adalah tempat yang akan disukai Nanami.

Pelukan lembut yang diberikannya kepadaku dan rasa lega yang mengikutinya, mengingatkanku pada tempat itu. Aku cukup yakin aku pernah ke sana bersama Ayah dan Ibuku.

Kabut dalam pikiranku menghilang dan kepalaku terasa lebih jernih. Mungkin karena itu, sebuah pertanyaan lain muncul di benakku.

"Ngomong-ngomong, seberapa jauh kamu merasa nyaman berpacaran denganku?"

Dengan dia duduk di sana memelukku dari belakang, aku menjadi sedikit sombong. Meski begitu, Nanami sama sekali tidak terlihat gentar. Masih memelukku, dia mendekatkan wajahnya ke wajahku dan dengan lembut berbisik, "Sebenarnya, aku ingin tahu sejauh mana kamu bersedia membawaku."

Dia berbicara dengan suara yang begitu indah, lembut dan menenangkan, namun apa yang dikatakannya benar-benar mengejutkan. Masalahnya jauh melampaui fakta bahwa dia membalas pertanyaanku.

Seluruh wajahku memerah dan keringat merembes dari setiap pori-pori tubuhku. Aku pikir dia akan menjadi bingung dengan pertanyaanku, tetapi di sinilah aku, KO oleh serangan balik yang tak terduga. Hatiku dipenuhi dengan perasaan kalah-bersama dengan rasa puas yang aneh.

"Aku kalah. Aku benar-benar menyerah. Dari mana kamu belajar mengatakan hal seperti itu?" Aku bertanya, bertanya-tanya apakah hal ini muncul dari pembicaraan yang ia lakukan dengan teman-teman perempuannya. Hatiku tidak bisa menerimanya. Aku mengangkat kedua tanganku untuk menyerah.

Nanami hanya tertawa. Dengan tubuh yang masih menempel di punggungku, dia berbicara di telingaku lagi. Nafasnya menggelitikku, membuatku merinding. "Aku benar-benar malu, tapi setidaknya aku punya punggungku sendiri. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan jika kamu benar-benar mencoba sesuatu denganku."

Meskipun dia mengatakan itu, pipinya tidak merah dan telinganya juga tidak memerah. Mungkin lebih dari rasa malu, dia merasa senang karena telah membuatku menyerah.

Apakah ini hal yang akan membuatnya malu saat ia mengingatnya kembali nanti? Aku bertanya-tanya.

Saat aku terus duduk di sana, Nanami menjauh dariku. Kemudian, seolah-olah dia tiba-tiba teringat sesuatu, dia mengangkat jari telunjuknya ke bibirnya dan tersenyum padaku dengan sensual. "Jika kamu ingin menciumku di bibir, beritahu aku. Aku mungkin siap kapanpun kamu mau."

Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah memerah dan menatap jarinya. Aku bahkan mungkin telah berhenti bernapas. Namun, akhirnya, teriakan dari Nanami memecah keheningan.

"Katakan sesuatu dong!"

Setelah menyaksikan dia merusak dirinya sendiri seperti biasa, aku merasa lega dan tertawa terbahak-bahak. Dia mencoba menangkapku dengan kemarahan di matanya, sambil tertawa.

Ya, memang begitulah seharusnya dia.

♢♢♢

Ketika aku tiba di rumah, rutinitasku pada dasarnya sama seperti biasanya. Aku akan menyalakan komputer, membuka gimku dan memberitahu teman-temanku yang bermain gim bahwa aku sudah sampai di rumah. Karena aku menghabiskan banyak waktu dengan Nanami akhir-akhir ini, aku tidak terlalu sering bermain gim di smartphoneku dibandingkan sebelumnya. Aku masih berbicara dengan teman-temanku melalui obrolan, tetapi aku benar-benar hanya bermain gim ketika aku sendirian di rumah. Aku masih terkejut bahwa perubahan itu tidak terlalu menggangguku.

Sekarang setelah aku kembali lagi, aku siap untuk melaporkan kembali tentang kehidupan cintaku. Anggota grup kami yang lain belum ada di sana. Jadi, aku membuat ruang obrolan khusus untukku dan Baron-san. Aku akan menggunakan obrolan umum untuk memberitahu anggota timku yang lain tentang semuanya nanti. Baron-san adalah orang pertama yang memberikan saran kepadaku mengenai Nanami. Berbicara dengannya secara pribadi bukanlah hal yang sopan. Aku hanya merasa ingin berbicara dengannya, hanya kami berdua.

> Baron-san: Wow, sudah lama sekali, ya?

Baron-san sangat tepat seperti biasa dalam memberikan tanggapan. Yah, aku juga merasakan hal yang sama-betapa cepatnya waktu berlalu.

Sebagai catatan, "laporan" ku ini sudah menjadi bagian dari rutinitasku sekarang. Baron-san pernah mengatakan kepadaku bahwa aku tidak perlu melakukannya lagi, tapi dia kalah jumlah dengan orang-orang yang mengatakan bahwa mereka ingin mendengar bagaimana perkembangan hubungan antara aku dan Nanami.

Sejujurnya, jika aku tidak memberitahu teman-temanku dan meminta saran mereka, aku akan merasa seperti kehilangan sesuatu, meskipun aku tidak perlu memberi mereka semua rinciannya. Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan, pikirku.

> Baron-san: Hei, bukankah ini akan menjadi kencan terakhir sebelum hari jadi kalian?

> Youshin: Ya. Sabtu ini akan menjadi yang terakhir.

> Baron-san: Dan kalian masing-masing akan datang dengan rencana yang unik, ya? Kedengarannya bagus. Mungkin aku harus mencoba membuat rencana yang berbeda dengan istriku juga.

> Youshin: Shichimi akan merencanakan hari Sabtu dan aku akan memiliki hari Minggu untuk membawanya ke mana pun. Kami masing-masing memutuskan apa yang ingin kami lakukan dan mengajak satu sama lain berkencan. Ini pertama kalinya aku melakukan hal seperti ini, jadi aku cukup gugup.

> Baron-san: Apa yang kau bicarakan? Kau sudah sering berkencan.

> Youshin: Pertama kali, aku mendapat saran dari semua orang di chatting dan kedua kalinya, dia yang mengundangku. Yang ketiga kalinya, semua sudah diatur oleh orang tua kami. Jadi, ini benar-benar pertama kalinya aku mendapatkan ide sendiri.

> Baron-san: Dipikir-pikir, kau benar juga.

Sebelum ini, aku akan bertanya kepada Baron-san, apa yang harus kulakukan dan merencanakan seluruh kencan berdasarkan saran yang dia berikan kepadaku. Namun, kali ini, aku dengan sengaja menahan diri untuk tidak meminta ide darinya. Untuk pertama kalinya, kencan ini akan terdiri atas berbagai gagasan yang kupikirkan sendiri, sekalipun aku agak cemas, apakah dia akan menyukainya.

> Baron-san: Apa kau sudah memutuskan sesuatu?

Mungkin Baron-san sudah mengetahui maksudku, karena dia tidak memberikan saran apa pun. Dia juga tidak bertanya mengapa aku mengundangnya untuk mengobrol secara pribadi. Sungguh, aku tidak bisa berterima kasih padanya untuk semua yang telah dia lakukan untukku dari awal hingga akhir.

> Youshin: Ya, aku sudah memikirkan sesuatu.

> Baron-san: Oh, begitu. Kau tahu, kau benar-benar sudah dewasa, Canyon-kun.

> Youshin: Menurutmu begitu, ya? Jujur saja, semuanya masih terasa terlalu berat untuk kutangani.

> Baron-san: Jangan konyol. Kau bahkan tidak bertanya padaku apa yang harus kau lakukan. Kau jelas jauh lebih dewasa.

Hanya dengan mengetahui dia melihatku seperti itu, aku tak bisa menahan perasaan gembira. Yah, mari kita hadapi itu, aku tidak tahu apakah aku menjadi lebih baik dalam hal-hal seperti ini atau tidak. Itulah mengapa dia berpikir seperti itu membuatku merasa sedikit lebih percaya diri.

> Baron-san: Tapi, kau mungkin benar. Kau pasti merasa gugup karena kau mengandalkan sepenuhnya pada kepalamu sendiri untuk kali ini-seperti kau tidak yakin apakah semuanya akan berjalan baik dengan ide-ide yang kau ciptakan sendiri

Aku mengatupkan kedua bibirku dengan pahit. Baron-san memang benar, aku gugup. Aku tahu bahwa aku seharusnya tidak gugup pada saat ini, tapi aku tidak bisa menahan perasaanku. Ketika aku mulai memikirkan apakah ideku aneh atau apakah dia akan bersenang-senang pada kencan yang aku rencanakan, kegelisahan menggelegak di dalam diriku. Ini sedikit berbeda dari kepanikan yang biasa kurasakan.

Sekarang, apa pun yang kulakukan, aku tidak bisa menenangkan diri.

> Youshin: Kau benar sekali. Apa pria populer tidak merasakan kekhawatiran seperti ini?

> Baron-san: Eh, aku tidak bisa mengatakan apa yang dirasakan oleh pria populer, tapi saat pertama kali mengajak istriku berkencan, aku sangat gugup. sampai-sampai tidak bisa tidur. Jadi aku tahu persis bagaimana perasaanmu.

Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu. Bagiku, Baron-san tampak seperti orang dewasa yang bisa melakukan apa saja tanpa perlu berusaha. Jadi mendengar tentang bagian dirinya yang rentan seperti itu, entah bagaimana, terasa sangat menyegarkan.

> Youshin: Aku tidak percaya kau juga seperti itu...

> Baron-san: Memang benar! Kadang-kadang aku membuat rencana yang berlebihan sehingga kami kehabisan waktu untuk melakukan sesuatu atau aku melakukan berbagai macam kesalahan lain di sepanjang jalan. Bahkan pernah suatu kali restoran yang aku rencanakan untuk mengajaknya makan malam ternyata tutup. Aku kira itu adalah kenangan yang indah sekarang, tapi tetap saja.

> Youshin: Aku tidak akan pernah membayangkannya.

Saat aku mendengarkan Baron-san berbagi berbagai kisah tentang kegagalannya di masa lalu, aku merasakan kegugupanku perlahan-lahan hilang. Walaupun terdengar sombong, mendengar bahwa seseorang yang aku pikir orang dewasa yang sempurna pun pernah melakukan berbagai macam kesalahan, membuatku merasa bahwa aku tidak jauh berbeda dengannya.

> Baron-san: Jadi, ya, kau juga tidak perlu merasa gugup.

> Youshin: Apa kau benar-benar berpikir begitu?

> Baron-san: Sebentar lagi, akan genap 1 bulan sejak pengakuan itu. Sebagai seseorang yang telah berada di sini untukmu selama itu, aku jamin. Jika yang dimaksud adalah kau dan pacarmu, maka apa pun yang terjadi, aku yakin kau akan dapat mengubahnya menjadi kenangan yang membahagiakan.

> Youshin: Terima kasih. Aku sangat menghargainya.

Rasa gugup yang kurasakan sebelum berbicara dengan Baron-san hampir hilang. Nasihatnya sangat berharga bagiku dan sangat meyakinkan. Aku merasa aku selalu bisa percaya dengan apa yang dia katakan dan senang bisa berbicara dengannya sebelum kencan.

Sangat bersyukur memiliki seseorang yang begitu dewasa di sisiku, aku memberitahu Baron-san tentang hal lain yang sudah kuputuskan.

> Youshin: Baron-san, aku ingin menjadikan ini laporan terakhirku sebelum hari jadi. Lain kali aku akan berbicara denganmu tentang semua hal ini setelah... setelah semuanya berakhir. Itu rencanaku.

> Baron-san: Oh, begitu. Dan apa yang membuatmu memutuskan itu?

> Youshin: Kencan kita berikutnya akan menjadi kencan yang aku pikirkan sendiri untuk pertama kalinya. Jadi, membicarakannya dengan orang lain sepertinya...

> Baron-san: Ya, kau benar. Itu akan terasa agak tidak sensitif. Kau harus menyimpan kencan itu sebagai kenangan khusus antara kalian berdua. Jangan khawatir. Aku mengerti. 

Melihat Baron-san setuju dengan mudahnya, aku merasa bersyukur dan juga meminta maaf.

> Youshin: Maaf. Kau telah banyak membantuku sampai sekarang. Jadi, sepertinya aku tidak tahu berterima kasih.

> Baron-san: Tidak sama sekali. Jangan biarkan hal seperti itu membuatmu khawatir. Tapi bolehkah aku menambahkan satu syarat?

> Youshin: Satu syarat?

> Baron-san: Laporan yang kau berikan setelah semuanya berakhir... pastikan laporan itu menyenangkan.

Aku langsung menyetujui syarat itu. Aku tidak berniat untuk memberikan laporan apa pun. Aku masih merasa sedikit cemas, tetapi aku percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.

> Baron-san: Bagaimanapun, mengingat ini tepat sebelum kencanmu, bukankah seharusnya kau berbicara dengan pacarnu, bukannya denganku?

Tentu saja, Baron-san bersikap penuh perhatian, tetapi setelah percakapan ini, aku tidak akan berbicara dengannya dan yang lainnya untuk sementara waktu. Ini adalah satu-satunya saat aku harus memberinya kabar terbaru. Selain itu...

> Youshin: Tidak apa-apa. Dia mungkin sedang mengobrol dengan banyak orang saat ini.

Dengan itu, sambil tetap memikirkan pacarku, aku melanjutkan pembicaraanku dengan Baron-san





|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close