NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Aru Hi Totsuzen Gyaru no Iinazuke ga Dekita V1 Chapter 4

Chapter 4 - Masih Terlalu Dini untuk Tinggal Bersama

 

Aku merasa pernah mengalami hal seperti ini.  Saat turun dan datang ke ruang tamu, ada ayah dan ibuku yang duduk di seberang meja dengan ekspresi misterius di wajah mereka. Lalu mereka berbicara dengan nada yang serius.

 

"Shuuji, kita perlu bicara. Duduklah."

 

Aku pernah mengalaminya dan sekarang ini adalah yang ketiga kalinya.

 

"Lagi?"

 

Aku muak dengan apa yang sudah kulihat. Aku tahu bahwa kali ini tentang tunanganku lagi, tetapi aku hanya duduk dengan gemetar karena tidak tahu apa yang akan mereka katakan padaku.

 

Semuanya berawal dari kekhawatiranku setelah berakhirnya kencan.

 

***

 

Aku kembali merasa khawatir. Tentu saja, itu berkaitan tentang tunanganku yang seorang gyaru. Sampai sekarang, aku berprasangka buruk terhadap para gyaru-ekstrovert. Namun, Hanatsuki Miran yang merupakan seorang gyaru sekaligus tunanganku, adalah gadis yang baik hati. Dia membuatkanku makan siang dan tanpa ragu menunjukkan ketertarikannya pada hobi otakuku. Meskipun aku masih memiliki beberapa kebingungan tentang menjadi tunangannya, tetapi aku berharap bisa mengenal Miran lebih baik lagi.

 

"Meski yang kupikirkan begitu, aku tidak tahu bagaimana harus melakukannya."

 

Itulah masalah yang kuhadapi. Atau lebih tepatnya, aku mulai lebih mengkhawatirkannya lagi setelah kencan itu. Di sisi lain, walaupun kencan itu tidak sempurna, Miran merasa senang dan aku juga bisa melihat sisi baru dirinya yang berbeda saat di sekolah. Berkat itu, aku merasa jarak kami lebih dekat daripada sebelumnya, tetapi karena itu juga aku tidak tahu bagaimana harus berinteraksi lebih dari sebelumnya. Bisa dianggap, aku justru lebih gugup saat berada di hadapan Miran daripada yang lalu-lalu. Seperti, jantungku berdebar tak menentu.

 

Karena itu, akhir-akhir ini, aku tidak bisa berkomunikasi dengan lancar kepada Miran. Entahlah, apakah itu karena memang aku orang yang tidak pandai berkomunikasi sejak awal.

 

"Hah ….”

 

Aku yang sebenarnya terjadi padaku? Selain itu, apa yang harus aku lakukan mulai sekarang? Haruskah aku lebih proaktif? Akan tetapi, yang seperti apa arti proaktif itu? Haruskah aku mengajaknya kencan lagi? Seperti saaT liburan akhir pekan berikutnya?

 

"Hmm~"

 

Aku mengambil foto yang kuambil bersama Miran saat di pusat permainan dari meja dan menatapnya. Apa yang Miran pikirkan tentang hubungan kita, ya? Aku berharap kami bisa saling mengenal lebih baik, tetapi apakah Miran berpikir begitu? Jawaban yang tidak akan aku temukan di buku-buku panduan cinta ataupun internet.

 

Serius, ada banyak sekali hal yang harus dipikirkan sejak aku dan Miran menjadi tunangan. Namun anehnya, aku tidak merasa keberatan karenanya. Ketika aku berpikir dengan penuh penderitaan sambil menatap foto-foto itu—

 

"Apakah itu foto dari kencan terakhir kalian?" tiba-tiba terdengar suara dari belakang yang membuatku benar-benar terkejut.

 

"Whoa. H-Hei!" aku buru-buru menyimpan foto itu dan menoleh ke belakang. Benar saja, itu adalah ibuku.

 

"Aku sudah mengetuk pintumu, kan?" dia sudah memberitahuku sebelumnya aku bertanya, tetapi aku tidak percaya.

 

Sepertinya aku harus mengunci pintu! Saat aku memikirkan hal ini, dia mendesakku untuk turun ke bawah dengan wajah serius.

 

"Shuuji, turunlah."

 

"Itu … tidak mungkin!"

 

Rasanya seperti sebuah déjà vu.

 

Ketika aku turun dan mendatangi ruang tamu, ada ayah dan ibuku yang duduk di seberang meja dengan raut wajah yang misterius, sebuah pemandangan yang sudah biasa kulihat.

 

***

 

"Apakah kamu bergaul dengan baik dengan Miran-chan?"

 

Pertanyaan ayah seperti yang sudah kuduga, membuatku menghela napas dalam hati.

 

"Eh, yah ... begitulah.”

 

Aku lebih mengkhawatirkan tentang bagaimana berinteraksi dengannya daripada yang sudah-sudah, tetapi aku tetap memberikan jawaban yang aman untuk saat ini.  

 

Ibu pun menghela napas sedih ke arahku, "Karena ini mengenai Shuuji … bukannya kamu sudah lebih peka daripada sebelumnya, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa, kan? Pengecut, dah."

 

"Ughh!" menurutku itu adalah kata-kata yang berlebihan, tetapi Ibu benar-benar tepat dan membuatku takut.

 

"Orang tua dari pihak lain khawatir tentang bagaimana perkembangan kalian …." dengan menyilangkan tangan dan membuat wajah yang rumit, Ayah menatap Ibu lalu berkata padaku.

 

"Setelah banyak mendiskusikannya, kami memutuskan bahwa liburan kali ini, kami dan pihak lain akan melakukan tamasya bersama."

 

Ayah dan ibu akan bertamasya bersama orang tua dari pihak lain? Sambil memiringkan kepala pada frasa yang aneh itu, aku mencoba mengonfirmasikannya.

 

"Jadi, aku dan Miran juga akan ikut bertamasya bersama?"

 

"Tidak, Shuuji dan Miran akan tinggal di sini."

 

"Apa maksudnya?”

 

Aku tidak dapat menangkap maksudnya, tetapi Ibu berkata seolah-olah menyatakan,"Shuuji, selama kami pergi berlibur, kamu dan Miran-chan akan tinggal di rumah ini."

 

Aku tidak bisa menerima kata-kata itu lagi. Umm … yang Ibu katakan?

Apakah maksudnya itu … aku harus tinggal dengan Miran berdua di rumah ini, kan?

 

Merasa sama terkejutnya saat aku memiliki tunangan, aku mencoba mengonfirmasinya lagi.

 

"Tinggal di rumah ini berdua dengan Miran? Kalian serius?"

 

"Serius. Shuuji tidak akan pernah bisa mengatasi kecanggungan selama sisa hidupmu jika kami tidak melakukan hal ini," entah kenapa mata Ibu menjadi basah sedangkan Ayah menganggukkan kepalanya dan berkata, "Untuk tumbuh dewasa, kamu harus terus melangkah."

 

Aku menggelengkan kepala sebagai penolakan.

 

"Tidak, langkah seperti apa itu? Ini sudah di luar batas!"

 

Aku langsung menerobos banyak hal, meskipun aku baru saja menjalani kencan pertama dalam hidupku. Remaja laki-laki dan perempuan tinggal di atap rumah yang sama, seperti sesuatu yang muncul di manga atau anime. Ini adalah perlakuan yang tidak etis.

 

"Selain itu, b-bagaimana jika sesuatu terjadi!?"

 

“Maksudmu, terjadi apa?”

 

"Tidak, itu—” aku kehilangan kata-kata, tetapi Ayah dan Ayah terlihat sangat lega.

 

"Tentang itu kami tidak perlu khawatir. Lagipula, kamu Shuuji."

 

(TLN: Astaga haha, orangtuanya aja enggak menganggap dia sebagai ancaman)

 

Entah apakah aku harus senang dengan kepercayaan diri mereka itu.

 

“Setidaknya, kamu harus merantai tanganmu.”

 

"Tangan …?"

 

Kemudian, seperti itulah pertemuan keluarga kami berakhir.

 

Aku berharap rencana tamasya itu hanyalah lelucon, tetapi ternyata mereka serius. Pagi-pagi sekali di hari pertama liburan, orang tuaku benar-benar melakukan tamasya bersama orang tuanya Miran.

 

***

 

Setelah melihat orang tuaku pergi, hari itu—jantungku berdebar kencang saat berada di dalam rumah. Aku tidak bisa tinggal diam, jadi dengan teliti aku membersihkan kamarku lagi, yang sudah kulakukan berkali-kali. Aku menyembunyikan sebanyak mungkin barang-barang otaku di kamarku yang mungkin akan menarik perhatian, dan mendekorasinya dengan beberapa barang interior yang elegan.

 

Aku membersihkan ruang tamu, dapur, kamar mandi, toilet, dan semua bagian rumah lainnya. Aku belum pernah membersihkan seperti ini sebelumnya, rasanya bersih-bersihnya lebih banyak daripada yang kulakukan di akhir tahun. Namun, aku tidak memiliki pekerjaan lagi karena sudah kubersihkan beberapa hari sebelumnya,

 

"............"

 

Apakah aku akan tinggal bersama Miran di rumah ini untuk sementara waktu?

 

Sementara berusaha membayangkan apa yang akan terjadi di dalam rumah yang sudah kebersihkan ini, bayanganku justru tidak bisa tergambarkan karena aku belum pernah mengalaminya. Hanya ada perasaan gugup yang samar-samar.

 

Di tengah-tengah kondisi seperti itu, aku berada sendirian di ruang tamu sambil melihat jam—

 

Ding-dong! Interkom berdering, membuat jantungku berdegup kencang.

 

"Y-Ya!”

 

Aku menuju pintu depan dengan melewati lantai yang sudah dipel. Saat membuka pintu, cahaya matahari masuk, memperlihatkan seorang gadis cantik yang diterangi olehnya.

 

"Yahoo!" Miran menatapku dan memberikan salam ringan.

 

Tunanganku, yang seorang gyaru tampak sedikit gelisah dengan membawa tas besar.

 

"Ha, halo!" yang kujawab dengan canggung.

 

Selama beberapa saat, suasana hening.

 

"Um … ee …"

 

Bingung apa yang harus aku lakukan, Miran tersipu malu dan tersenyum kepadaku.

 

"Mohon bantuannya mulai hari ini, ya Shuuji …."

 

"A-Aku juga," jawabku dengan sangat tegang.

 

Mungkin karena dia juga merasa gugup, wajah Miran tampak lebih merah dari biasanya. Demikianlah … kehidupan kami berdua selama liburan berturut-turut pun dimulai.

 

***

 

Aku memberikan panduan singkat tentang rumah kepada Miran. Setelah mengajaknya berkeliling ruang tamu, dapur, kamar mandi dan toilet di lantai pertama, kami naik ke lantai atas.

 

"Di mana kamarmu Shuuji? Uw.”

 

"E-ehm, itu ….”

 

Tiba-tiba aku ditanyai hal itu, dan pandanganku mulai tak menentu.

 

Miran terkekeh dan dengan tepat berjalan ke pintu kamarku.

 

"Di sini?"

 

"Um, ya, eh ….” Saat aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa tahu, Miran tersenyum.

 

"Sudah jelas terlihat, tahu? Mudah menebaknya."

 

Sungguh, aku akan berhati-hati lain kali. Aku beralih dan mencoba menunjukkan Miran kamar tamu tempat dia tidur, tetapi tunanganku itu tidak mau beranjak dari depan kamarku.

 

"Hei, hei, bolehkah aku masuk?" dia bertanya.

 

"Eh?"

 

Aku sudah menduga bahwa dia akan datang ke kamarku ketika kami tinggal bersama, tetapi itu terlalu cepat sehingga membuatku terperangah.

 

"Tidak boleh?"

 

Miran yang pipinya memerah, menatapku dan bertanya. Aku yakin telah merapikan kamarku … jadi, ini tidak apa-apa, kan? Mengingat kembali hal itu, aku menganggukkan kepala.

 

"Ya, tidak apa-apa, tapi itu sangat kotor, lho?"

 

Aku juga tidak lupa untuk meyakinkan dia terlebih dahulu.

 

"Kalaupun itu kotor, aku tidak keberatan, kok!"

 

Miran mengangguk dengan penuh rasa penasaran, sedangkan aku pergi ke pintu dan melirik ke dalam untuk memastikan sebelum membukanya.

 

"Tidak sama sekali, ini sangat indah! Maaf mengganggu !"

 

Miran memasuki ruangan dengan senyuman di wajahnya dan melihat ke sekeliling dengan tatapan penasaran.

 

"............"

 

Ini adalah pertama kalinya seorang gadis memasuki kamarku. Rasanya benar-benar tidak nyaman dengan kehadiran gyaru cantik di ruanganku, tetapi pada saat yang sama aku juga gugup. Sungguh, senang rasanya bisa menjaga ruanganku tetap rapi.

 

"Shuuji biasanya tidur di sini ya ...." Miran bergumam, dan memiringkan kepalanya ke arah barang-barang interior bergaya yang aku dekorasi agar terlihat bagus.

"Benarkah ini hobinya Shuuji? Kupikir akan ada banyak barang anime dan sebagainya, begitu."

 

Gyaru ini, jeli!

 

Ngomong-ngomong, aku menyembunyikan barang-barang otaku di dalam lemari dan laci.

 

"Oh, kamu pasti menyembunyikannya, kan! Kamu tidak perlu menyembunyikannya, tahu!”

 

Seperti tadi, aku hampir mengalihkan pandanganku ke tempat tersembunyi, dan buru-buru berkata kepada Miran, "Sudah, sudah, lupakan kamarku, ayo kita pergi! Aku akan mengantarkanmu ke kamarmu!"

 

Miran bergumam kepadaku saat aku memintanya keluar dari ruangan.

 

"Oh, begitu, kita tidak tidur bersama, kan?"

 

"Tidak, kita tidak akan tidur bersama, tidak boleh, oke!”

 

Miran pun tertawa melihat kegugupanku. Aku tahu bahwa itu adalah lelucon, tetapi sulit bagiku untuk mengabaikannya!

 

***

 

Setelah menunjukkan Miran sekeliling rumah—

 

"............"

 

Kami sekarang berduaan di ruang tamu, tetapi berbeda dengan sebelumnya, ada keheningan.

 

"............"

 

Biasanya Miran yang berbicara kepadaku, tetapi dia hanya berdiam diri, mungkin karena gugup atau sedang memikirkan sesuatu. Jika begitu, aku pun tidak tahu harus berbuat atau berkata apa! Aku adalah King of Indoor, yang tiada duanya dalam hal menghabiskan waktu di dalam rumah, tetapi saat aku sudah berada di dalam ruangan sekarang, aku malah tidak tahu harus berbuat apa.

 

"............"

 

Setelah keheningan berlanjut untuk beberapa saat—Tiba-tiba, kruuuk~ perutku berbunyi. Kalau dipikir-pikir, aku belum makan apapun sejak pagi tadi! Saat itu juga aku berusaha mendiamkan perutku, tetapi Miran tiba-tiba berdiri seolah-olah bersemangat.

 

"Aku akan memasak sekarang!"

 

“Ehm, aku juga akan membantumu."

 

"Tidak apa-apa! Shuuji bisa menunggu di sana.”

 

Meskipun dia bilangnya begitu, aku merasa tidak nyaman jika tidak melakukan apa-apa, jadi aku mengikuti Miran dan melihat-lihat kondisi dapur. Miran yang berdiri di dapur, dengan cepat memeriksa peralatan, bahan-bahan, dan mulai memasak.

 

"Hebat ….”

 

Ini adalah pertama kalinya aku melihat Miran memasak, tetapi nyatanya dia lebih mahir daripada yang aku bayangkan sehingga aku tertegun melihatnya. Tidak ada celah untuk terlibat membantunya! Hal yang aku bisa hanyalah meletakkan piring dan menatanya tanpa mengganggu Miran.

 

***

 

"Ini dia!"

 

"Uwaa, kelihatannya enak sekali!”

 

Dalam waktu singkat, makanan sudah siap dan ada sarapan yang mengenyangkan dengan sup miso terhidang di meja makan.

 

"Miran, hebat sekali!"

 

"Aku malu tahu jika dipuji," Miran tersenyum malu-malu saat aku memberikan pujian umum.

 

"Itadakimasu!"

 

Kemudian kami menyatukan kedua tangan dan mulai makan, seketika rasa yang sesuai dengan apa yang dibayangkan memenuhi mulut kami.

 

"Ini sangat lezat!"

 

Mendengar komentarku, Miran mengelus-elus dadanya dengan lega.

 

"Syukurlah. Aku telah berlatih untuk hari ini."

 

"Untuk hari ini ......!"

 

"Sama halnya seperti bento, aku ingin Shuuji menikmati makanan rumahan yang lezat.”

 

"Oh, terima kasih ….” aku sangat senang mendengar kata-kata itu dan terus makan demi meredam debaran di dadaku.

 

Eh? Aku melihat tangan Miran dan memiringkan kepala, menyadari bahwa tangannya berhenti dan dia hampir tidak makan.

 

"Miran, tidak makan?"

 

"Ya, tidak terlalu lapar sih, aku hanya sedang melihat Shuuji makan saja."

 

"Entah kenapa rasanya memalukan … tapi terima kasih telah berusaha keras untukku."

 

Aku menggaruk-garuk kepala dan berterima kasih lagi kepada Miran. Dengan Miran yang menatapku, aku menyelesaikan sarapanku—lalu mencuci piring.

 

 

Namun, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah selesai mencuci piring, dan rasanya bosan sekali sekarang. Aku melihat Miran duduk di sofa ruang tamu, lalu memikirkan sesuatu. Haruskah kami pergi keluar? Atau tetap berdiam di rumah dan menonton film? Saat membayangkan apa yang harus kulakukan, Miran menoleh dan bertanya kepadaku.

 

"Oh iya, bisakah kita menonton anime yang kamu ceritakan saat kita kencan itu?"

 

"Uh, iya, bisa. Kita bisa menontonnya."

 

Aku memilikinya di aplikasi streaming video, dan aku juga punya BD BOX yang kubeli dengan uang Tahun Baru.

 

"Jika kamu tidak keberatan, bolehkan aku melihatnya?"

 

"Apakah tidak apa-apa?” aku memastikan.

 

Bukan hal yang berat bagi seorang otaku menunjukkan karya yang disukainya. Sebaliknya, itu bisa dianggap sebuah hadiah. Pertanyaanku, ‘Apakah tidak apa-apa?’ adalah untuk mengetahui apakah menonton itu tidak membosankan bagi seorang gyaru.

 

"Ini adalah film favoritnya Shuuji, kan? Aku sangat ingin melihatnya! Oh, tapi bagi Shuuji yang sudah pernah menonton film-nya sekali, terasa membosankan, ya."

 

"Tidak, bukan seperti itu. Aku akan menyiapkannya."

 

Otaku dapat menonton dan menikmati karya favorit mereka sebanyak yang mereka mau, jadi kekhawatiran seperti itu sama sekali tidak berdasar. Seandainya kamu sudah menontonnya, lebih baik membeli BD yang punya bonus video daripada menonton ulang melalui aplikasi.

 

Dengan berpikir cepat, aku langsung kembali ke kamar untuk mengambil BD BOX yang kusembunyikan di sana. Kemudian, kembali ke ruang tamu, lalu memasukkan BD ke perangkat pemutar TV.

 

"Uwaa! Gambarnya bagus sekali!" saat melihat Miran berseru gembira, aku pun jadi ikut bersemangat. Dengan begitu, aku menonton anime bersamanya sepanjang siang hari.

 

 

Aku bisa menonton anime tanpa henti, tetapi aku tidak ingin seorang pemula menontonnya dalam sekali duduk.

 

"Aku akan membuatkanmu teh."

 

"Terima kasih!"

 

Aku mengambil jeda pada saat yang tepat, lalu pergi membuat teh dan menyajikannya kepada Miran. Sambil minum teh, kami berbicara tentang anime, sekolah, aplikasi populer terbaru, dan banyak hal lainnya. Meski pada sebagian besarnya, aku hanya mendengarkan.

 

"Jadi, Hanako bertengkar dengan pacarnya—"

 

"Rumit, ya ….”

 

"Tapi, kamu tahu? Tiga hari kemudian mereka malah berbaikan, sehingga aku dan Adzuki menertawakannya."

 

Sambil menyeruput teh, aku mendengarkan cerita tentang teman-teman gyaru-nya Miran. Saat melihat wajahku tercermin di dalam cangkir, rupanya bibirku kelihatan tersenyum lebih lebar dari yang kubayangkan. Mendengar Miran yang berbicara dengan gembira, membuatku merasakan kenyamanan. Bahkan kegugupan yang kurasakan di awal pun sudah memudar.

 

***

 

Aku pikir ketegangan sudah benar-benar mereda, tetapi ada malam harinya, sesuatu terjadi yang membuat jantungku meledak. Pemicunya adalah sebuah kalimat yang dikatakan oleh tunanganku.

 

Saat acara variety show yang kami tonton bersama sudah selesai, dia meregangkan badannya dan berkata, "Sepertinya aku harus segera mandi ...."

 

Ah, sudah waktunya, ya? Hampir saja aku membalasnya dengan kata-kata itu, tetapi ada satu kata yang melekat di otakku. Mandi?! Benarkan? Dia akan mandi rumah ini, kan? Perasaan tidak enak seperti asap mengepul di dalam pikiranku, lalu aku buru-buru menggelengkan kepala demi menghilangkannya.

 

"Aku akan memanaskan airnya dulu!" aku sangat sadar akan hal itu sehingga hanya meresponnya dengan kalimat itu.

 

Saat aku menuju kamar mandi seolah-olah tidak ada yang terjadi, Miran melontarkan pertanyaan ini, "Apakah Shuuji mau bergabung denganku?"

 

"Eh?”

 

Dia pun terkikik atas reaksiku yang canggung.

 

 

"Apa-apaan itu. Aku hanya bercanda, tahu!"

 

"Ha-ha-ha-ha, tentu saja aku tahu itu," Untuk sementara, aku juga ikut tertawa.

 

"Atau mungkin kamu benar-benar ingin masuk bersamaku?" Miran bertanya sambil menatapku. Dia yang wajahnya tersipu malu membuat jantungku hampir saja meledak, tetapi kali ini aku bersikap tegas.

 

"Sekali lagi, kamu pasti bercanda, kan? Aku akan memanaskan air untuk mandi."

 

Aku meninggalkan ruang tamu dan pergi untuk memanaskan air dengan kaki yang gemetar. Setelah beberapa saat, air di dalam bak mandi menjadi hangat.

 

"............"

 

Sekarang, aku sangat gugup dan tegang. Alasannya adalah suara air dan senandung samar yang terdengar di kamar mandi.

 

"Saat ini, Miran sedang mandi—"

 

Sebenarnya, Miran sedang mandi sekarang, tetapi setiap kali suara dari kamar mandi mencapai telingaku, Aku tidak bisa menahan diri akan perasaan gundah gulana ini. Aku mencoba meredamnya dengan TV atau suara lainnya, tetapi hanya pada saat-saat seperti ini, pendengaranku menjadi terlalu tajam sehingga aku bisa menangkap suaranya dengan jelas. Saat suara shower mulai terdengar, akhirnya aku hampir saja terbayang Miran yang sedang mandi. Demi menghindari pikiran itu, aku menggelengkan kepala dan mengucapkan nomor-nomor tertentu.

 

"3.1415926535 … 8979323846 … 2643383279— "

 

Phi! Untuk menghilangkan rasa gelisah, aku mencari phi di smartphone-ku dan dengan panik menghapalkannya. Hal ini cukup efektif, dan mampu menyingkirkan gangguan tersebut untuk sementara waktu. Namun, aku teringat sebuah teori yang aku pelajari di TV dahulu, bahwa phi mencakup semua urutan angka di dunia—jika memang begitu, apakah tiga ukuran Miran juga termasuk di dalamnya? Aku kembali terjebak setelah memikirkannya. Aku terus mengulangi perjuangan sengit itu, entah sudah berapa lama.

 

"Shuuji, aku sudah selesai mandi, nih!"

 

Miran yang baru saja selesai mandi kembali ke ruang tamu. Aku terpesona akan penampilan Miran yang berbeda itu. Aku hanya pernah melihatnya yang mengenakan seragam sekolah dan pakaian kasualnya saat pergi jalan, tetapi setelah mandi, dia kelihatan begitu rentan kala mengenakan pakaian rumahannya.

 

"Aku membeli pakaian rumahan yang baru, bagaimana menurutmu?"

 

"Ya, menurutku … itu lucu."

 

"Terima kasih ."

 

Walaupun kulitnya tidak terekspos, tetapi lekuk tubuhnya terlihat jelas menembus pakaiannya. Hal ini membuatku merasa malu dan menunduk saat menatapnya.

 

"Hari ini aku lelah, jadi aku akan tidur duluan."

 

"Oh, selamat tidur. Aku juga akan tidur setelah mandi." Sambil mengucapkan selamat tidur, aku menuju kamar mandi.

 

Aku melihat ke kamar mandi dan bertanya-tanya apakah Miran ada di sini tadinya. Lalu, berusaha keras untuk tidak membayangkan hal itu karena kekhawatiranku mulai berkecamuk lagi. Ini adalah kali pertamanya dalam hidupku, aku merasa gugup saat mandi. Tanpa berlama-lama, aku segera keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarku.

 

Tentu saja, aku dan Miran berada di kamar yang terpisah. Ketika berbaring di tempat tidur—aku tidak bisa terlelap karena terus memikirkan kenyataan bahwa ada seorang gadis yang sedang tidur di bawah atap yang sama denganku—menambah kegelisahanku.

 

***

 

Kehidupan bersama yang canggung dan mendebarkan itu pun memasuki hari kedua.

 

Aku bangun lebih awal karena tidak bisa tidur dengan nyenyak, lalu membersihkan diri di kamar mandi dan pergi ke ruang tamu untuk menenangkan diri. Sehari telah berlalu, tetapi aku masih saja merasa aneh bahwa Miran tidur di rumah ini. Aku mendengar langkah kaki yang menuruni tangga saat aku hanyut dalam lamunan, memikirkan apa yang akan kulakukan hari ini.

 

Tepat ketika aku mengira bahwa Miran sedang mengintip ke ruang tamu, dia menyapaku dengan ekspresi terkejut melihatku sudah bangun.

 

"Selamat pagi! Shuuji, kamu bangunnya pagi-pagi sekali, ya!"

 

"Oh, selamat pagi, kebetulan saja aku bangunnya cepat."

 

Rasanya sangat memalukan untuk mengatakan bahwa aku begitu gelisah untuk bisa tidur nyenyak. Sambil menggaruk-garuk kepala, aku menatap sosok Miran. Rambutnya sedikit mengembang dan pakaian rumahannya juga longgar. Aku selalu melihatnya tampak begitu rapi, jadi hal yang baru bagiku untuk melihatnya yang sedikit berantakan saat bangun tidur.

 

"Hei, jangan menatapku seperti itu karena aku baru bangun tidur!”

 

"M-Maaf, dah …!”

 

Miran menutupi wajahnya dan menyembunyikan diri dari ruang tamu karena malu, lalu berlari ke kamar mandi. Ketika dia kembali beberapa saat kemudian, Miran sudah menjadi gyaru elegan seperti biasanya.

 

"Aku akan membuat sarapan, oke ...." kata Miran.

 

Kemudian dia membuat sarapan dengan cepat. Sarapan yang sudah jadi terlihat bagus dan sangat lezat tetapi orang yang membuatnya tidak banyak makan seperti kemarin sehingga aku jadi sedikit khawatir.

 

"Miran, apakah kamu baik-baik saja?"

 

"Tidak ada apa-apa kok, aku baik-baik saja! Aku cuma sedang diet!”

 

Miran, sambil melambaikan tangannya dengan riang, bertanya kepadaku, "Ngomong-ngomong, apa yang akan kamu lakukan hari ini?"

 

"Mau melakukan apa, ya? Kamu punya rencana?”

 

"Baiklah, mungkin aku ingin menonton kelanjutan dari anime kemarin."

 

"Umm, ya, kedengarannya bagus." Aku menganggukkan kepala, tetapi di saat yang bersamaan aku tidak menyangka, karena aku membayangkan Miran sebagai orang yang suka beraktivitas di luar ruangan.

 

Namun, sebagai seorang otaku, aku sangat tertarik dengan isi rencananya dan kami mulai menonton lanjutan anime seperti yang kami lakukan kemarin.

 

***

 

Kami selesai menonton semua anime setelah makan siang, dan setelah itu, aku mendiskusikan kesan-kesan kami dan mendengarkan cerita teman-teman gyaru-nya Miran.

 

Saat itu, aku pergi bersama Miran ke supermarket terdekat untuk membeli makanan.

 

"Rasanya seperti pasangan suami istri sungguhan, ya?"

 

Miran bergumam sambil cekikikan ketika kami dalam perjalan pulang ke rumah dengan membawa tas supermarket di salah satu tangan masing-masing. Apakah wajah Miran yang memerah karena malu atau karena terkena sinar matahari yang terbenam?

 

Kata-katanya sangat keterlaluan, tetapi mengingat situasiku yang kebingungan sekarang ini, aku hanya bisa menganggukkan kepala.

 

"Ya, begitulah ….”

 

Kupikir, sorang Gyaru ekstrovert dan otaku introvert, tidak akan pernah bertemu. Akan tetapi, atas nama "tunangan", kami berakhir bersama dengan cara yang membingungkan. Namun, sebelum aku menyadarinya, ada bagian dari diriku yang merasa nyaman bersama Miran.

 

"............"

 

Apakah aku menyukai Miran? Aku tidak pernah benar-benar jatuh cinta pada makhluk tiga dimensi sebelumnya, dan aku tidak terlalu mengerti tentang apa yang kurasakan. Namun, Aku memiliki keinginan kuat untuk mengenalnya lebih jauh.

 

"----"

 

Tangan Miran yang kosong menarik perhatianku.

Akankah aku mengetahui sesuatu jika aku menggandeng tangannya?

 

"Ada apa?"

 

"Tidak, tidak ada!"

 

Aku tidak punya nyali untuk menggandeng tangannya! Seandainya aku punya nyali untuk itu, maka tentulah aku tidak akan selalu menjadi penyendiri. Setelah menegaskan kembali perasaanku saat ini terhadap Miran dan menyadari kelemahanku, aku mulai memikirkan hal lain—Sepertinya Miran tidak memiliki nafsu makan. Sudah seperti itu sejak kemarin, dan dia hanya makan sedikit nasi.

 

Untuk makan malam setelah ini—Kami sudah pergi berbelanja, sehingga ada makan malam mewah di atas meja makan. Akan tetapi, orang yang memasaknya kembali hanya makan sedikit.

 

"Miran, kamu belum makan dengan benar, apa kamu yakin baik-baik saja?”

 

"Ya. Aku sudah sangat kenyang, dah." Miran tersenyum padaku.

 

Wajahnya merah, tetapi aku tidak menyadarinya karena dia bersikap seperti biasa saat di luar makan.

 

***

 

Keesokan paginya ….

 

"Miran?" Aku mengetuk pintu.

 

Aku khawatir karena Miran belum bangun sama sekali, jadi aku datang untuk memeriksanya.

 

"Miran, kamu sudah bangun? Aku akan membukanya—?"

 

Sebaliknya, tidak ada jawaban ketika aku memanggilnya. Kemudian, aku dengan ragu-ragu membuka pintu dan mengintip ke dalam kamar, dan terkejut melihat Miran yang sedang terbaring di tempat tidur.

 

"Miran—?"

 

"Hah, hah ...." Miran terengah-engah, seolah-olah dian sedang kesakitan.

 

Dia mengeluarkan suara minta maaf yang lirih saat aku buru-buru menghampirinya.

 

"Hah, hah … Shuuji … maaf ….”

 

"Miran, aku akan menyentuhmu sedikit." Wajah Miran memerah dan aku menyentuh dahinya.

 

"Panas sekali! Kamu demam!"

 

Demamnya terlalu tinggi sehingga aku tidak memerlukan termometer.

 

A-Apa yang harus aku lakukan?

 

Aku hampir panik saat melihat tunanganku yang kesakitan—Akan tetapi, dengan paksa aku menampar kedua pipi agar tetap tenang.

 

Tenangkan dirimu, wahai aku! Sekarang, sedang tidak ada orang tua, jadi itu artinya aku harus melakukan sesuatu. Memikirkannya dengan tenang, aku langsung memanggil taksi dan membawa Miran ke rumah sakit.

 

***

 

Hasil diagnosisnya adalah flu. Setelah mendapatkan obat, aku membawa Miran pulang dan menidurkannya di tempat tidur, lalu segera menelepon orang tuanya.

 

"Aku tidak tahu apa yang harus lakukan … aku sangat panik sekarang.”

 

Ada rasa ingin menyalahkan diri sendiri atas ketidakpekaanku. Karena, banyak sekali kesempatan untuk menyadari bahwa Miran sedang tidak enak badan. Jelas-jelas dia tidak memiliki nafsu makan, tampak kurang aktif dari biasanya, dan wajahnya juga memerah. Pada akhirnya, aku tidak menyadarinya sampai hal ini terjadi. Aku tidak bisa menjaganya.

 

"............"

 

Muncul perasaan tidak layak menjadi tunangannya. Tertekan, tetapi aku tidak bisa tetap seperti itu. Aku harus menjaga Miran. Aku—

 

"Miran, aku membuatkanmu bubur, nih. Ayo makan sedikit dan setelah itu kita minum obat."

 

Aku mengunjungi kamar Miran dengan membawa bubur yang resepnya aku temukan di internet. Dia yang sedang berbaring dengan ekspresi lelah, berkata lagi dengan nada meminta maaf.

 

"Maaf, ya Shuuji.”

 

"Kamu tidak perlu meminta maaf, oke? Sebaliknya, akulah yang harus minta maaf karena tidak menyadarinya."

 

"Padahal … aku sudah menantikan untuk tinggal bersama Shuuji … tetapi malah jadi seperti ini." Miran yang sedang demam itu merasa sedih.

 

Kemudian, aku duduk di tepi tempat tidur dekat Miran dengan segala macam emosi yang meluap, ada perasaan bahagia sekaligus bersalah saat mendengar perkataannya.

 

"Miran, ini. Bisakah kamu memakannya? Ahn~."

 

Aku yang dulu tidak akan melakukan hal ini. Walaupun sekarang dipenuhi rasa malu, aku menyendok bubur dan menyuapkannya ke mulut Miran.

 

"S-Shuuji?" Miran terkejut, tetapi karena aku terus menawarkannya, dia memakannya dengan malu-malu “Ah, ahn,".

 

Setelah menyuapkannya bubur, aku berkata dengan penuh tekad.

 

"Sepertinya orang tua kita belum bisa pulang, jadi aku yang akan menjaga Miran dengan baik sampai saat itu tiba. Jangan khawatir."

 

"Shuuji ....”

 

Aku tersenyum, lalu berkata kepada Miran yang memiliki ekspresi bersalah di wajahnya, "Jangan khawatir. Aku juga harus melakukan sesuatu yang agak mirip dengan seorang tunangan."

 

Meskipun aku mengucapkan kata-kata yang tegas seperti itu, tetap saja aku merasa malu dan tidak bisa menatap wajah Miran. Kemudian, aku lanjut menyuapi Miran, memberinya obat, dan mengganti kompresnya. Aku akan melakukan semua yang kubisa.

 

"Aku ingin menyeka keringatku ….” Dengan berbisik Miran mengatakan itu.

 

Melihat dia yang sangat berkeringat, aku bergegas mengambilkannya handuk, "Aku membawakanmu handuk," kataku.

 

"T-Terima kasih ….”

 

Aku memberikannya kepada Miran, tetapi dia tampaknya mengalami kesulitan untuk bangun dan menyeka dirinya sendiri. Jadi aku berkata, "Biarkan aku—"

 

Biarkan aku menyekanya? Hampir saja kalimat itu terucap, tetapi aku segera menghentikan mulutku. Piyama Miran basah oleh keringat dan menempel di kulitnya, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Mataku yang menyadari hal itu, mulai berkunang-kunang. Aku sadar bahwa tidak pantas memandang seperti itu terhadap orang yang sedang tidak berdaya. Namun, aku tidak bisa mengalihkan perhatianku dari tubuh Miran yang basah oleh keringat. Meskipun aku tidak memiliki niat jahat, hanya ingin menyeka keringatnya, tetapi aku ragu menawarkan bantuan. Menyeka keringatnya berada di luar jangkauan kemampuanku.

 

Aku sampai pada kesimpulan seperti itu—tetapi melihat Miran yang kewalahan, tanpa sadar aku mengatakan, "Baiklah, biarkan aku yang menyekanya untukmu."

 

"Maaf … tapi terima kasih, ya."

 

Kemudian, aku menerima handuk dari Miran. Karena telah memutuskannya, maka aku harus melakukannya dengan serius. Dengan mengabaikan pikiranku, aku menyeka dahinya terlebih dahulu yang dilanjut dengan wajahnya. Saat beralih ke lehernya, jantungku mulai berdebar-debar tatkala menyentuh kulit lembut kemerahannya, tetapi aku berusaha keras mengabaikannya. Tubuhku jelas merasakan sensasi itu sehingga aku menarik tanganku karena merasa ragu—di saat itulah Miran berkata,

 

"Bagian depanku tidak apa-apa, tolong seka bagian punggungku saja, boleh?”

 

"P-Punggung!?” Aku terkejut.

 

Miran yang kelihatan linglung, berbalik membelakangi aku dan kemudian dengan gerakan perlahan mulai melepas piyamanya.

 

"----!?"

 

Punggung Miran yang terbuka nyaris membuat wajahku terbakar. Ada bahu dan pinggang yang terlihat menggairahkan, yang biasanya tidak bisa kulihat. Selain itu, adapula cekungan punggungnya yang memanjang, dan kulit putihnya yang berkeringat begitu menggoda—

 

A-Apakah aku akan menyeka punggung ini sekarang? Tatkala pandanganku mengembara, jalan pikiranku kacau, dan aku terdiam berdiri di sana, terdengar—

 

"Hatsyi!" Aku tersadar kembali ketika Miran bersin.

 

Aku harus segera menyekanya agar dia tidak kedinginan. Dalam keadaan linglung, aku menyeka punggungnya dengan handuk. Punggung gadis yang merupakan tunanganku itu ternyata lebih panas dan juga lebih ramping dari yang kubayangkan. Aku bisa merasakannya lewat sentuhan menggunakan handuk. Meskipun jantungku berdebar-debar, tetapi di sisi lain aku merasa cemas karena mengetahui Miran masih lemah berdasarkan panasnya handuk itu.

 

"K-Kalau begitu, aku akan meninggalkan baju ganti untukmu. Panggil saja aku jika kamu membutuhkan sesuatu."

 

"Terima kasih, Shuuji ….”

 

Setelah selesai menyeka punggungnya, aku memalingkan muka dan memberikan handuk kepada Miran. Aku merasa akal sehatku akan kehilangan kendali jika tetap berada di sini lebih lama lagi dengan situasi seperti ini, dan itulah sebabnya aku segera meninggalkan ruangan.

 

 

Kemudian, aku menghabiskan sisa hari itu untuk merawat Miran, dan tanpa disadari, malam pun telah tiba.

 

"Aku akan kembali ke kamarku sekarang.”

 

“Tunggu, Shuuji." Ketika aku mau kembali ke kamar, Miran menghentikan aku.

 

"A-Ada apa?" tanyaku.

 

Saat aku menoleh, Miran berkata seperti anak kecil yang sedang mengeluh, "Aku kesepian … dan aku ingin kamu menemaniku sampai aku tertidur.”

 

"Baiklah."

 

Dia sangat lucu meskipun itu bukanlah hal yang pantas, dan aku duduk di tepi tempat tidurnya sambil tersenyum.

 

"............"

 

Namun, haruskah aku melakukan sesuatu untuknya sampai dia tertidur? Ketika aku memikirkan hal ini, Miran meminta bantuanku.

 

"Hei, maukah kamu menceritakan tentang anime favoritmu, Shuuji?"

 

"B-Bukannya tidak seru mendengarkan hal itu?"

 

"Aku suka ... melihat Shuuji yang berbicara tentang apa yang dia sukai, tahu."

 

"Eh, b-benarkah? Um, kalau begitu ...."

 

Yah, kalau begitu, aku mulai bercerita tentang anime sekaligus kesanku tentangnya dengan pelan agar tidak mengganggu tidur Miran.

 

“—Itulah sebabnya aku berpikir bahwa dunia ini berputar-putar … Miran? Kamu sudah tidur?"

 

Aku begitu menghayatinya sehingga terus berbicara tanpa menyadari bahwa Miran telah tertidur.

 

"Ha … ha ….”

 

Meskipun begitu, napas Miran tersengal-sengal saat dia tertidur. Melihat penderitaannya, aku berkata, "Cepat sembuh, ya …,” dan dengan lembut menggenggam tangannya. Tangan tunanganku yang begitu panas ternyata lebih kecil dari yang aku bayangkan. Sembari terus menggenggamnya, aku berharap dia akan segera sembuh.

 

***

 

"—Haa!"

 

Astagaa, aku tertidur!

 

Seketika sadar bahwa aku telah tertidur, aku mengangkat wajahku hanya untuk melihat cahaya pagi telah menyinari mataku.

 

"Shuuji, selamat pagi."

 

Aku menyipitkan mata dan melihat Miran tersenyum saat dia duduk.

 

Syukurlah … dia kelihatan sudah jauh lebih baikan sekarang!

 

"Selamat pagi—eh!"

 

Ketika aku merasa lega, aku terlambat menyadari sensasi yang ada di tanganku. Terasa agak panas, karena aku sudah menggenggam sesuatu yang ramping sepanjang waktu—dan aku melihat bahwa itu adalah tangan tunanganku. Mengingat apa yang terjadi sebelum tertidur, aku menjadi panik.

 

"M-M-Maafkan aku!" Aku mencoba menarik tanganku dengan tergesa-gesa, tetapi dia malah meremasnya dengan erat.

 

"Tidak apa-apa kok kita seperti ini."

 

Miran yang sambil memegang tanganku, bergumam dengan penuh emosi., "Tangan Shuuji … lebih lembut dan lebih besar dari yang kubayangkan, sih."

 

Jantungku berdegup kencang karena kegembiraan. Karena Miran meremas tanganku dengan erat, membuat sensasi tangannya sekali lagi menyebar ke telapak tanganku. Aku penasaran apakah tanganku berkeringat!

 

Ini adalah kebiasaan burukku dalam berpikir.

 

"Tangan Miran lembut dan ramping,” jawabku, tetapi karena malu aku mengatakannya sambil menundukkan kepala.

 

Setelah itu, Miran berterima kasih dengan raut wajah bahagia, "Terima kasih ya telah merawatku kemarin," katanya.

 

"Aku senang kamu sudah baikan ….”

 

Senang karena Miran merasa lebih baik, aku pun kembali menggenggam tangannya.

 

"Bolehkah kita tetap berpegangan tangan seperti ini untuk sementara waktu?" dengan perasaan bahagia Miran bertanya, sedangkan aku menyetujuinya dengan malu-malu.

 

Setelah itu, kami terus menggenggamkan tangan untuk beberapa saat.

 

***

 

Ketika Miran terserang demam, orang tua kami harus mempersingkat perjalanan mereka dan pulang ke rumah. Itu berarti akhir dari kehidupan bersama kami. Ketika Miran mendengar berita itu, dia tampak tidak senang.

 

"Aku ingin pergi bersamamu untuk sebelum hal ini berakhir." Miran berkata kepadaku di tempat tidur, yang kubalas dengan helaan napas, "Tidak bisa, kamu masih sakit.”

 

"Aku ingin pergi denganmu … sebentar saja." Miran merengek seperti anak kecil.

 

Dia adalah gyaru yang populer di sekolah, tetapi sekarang dia sangat berbeda dengan kesan kasta atasnya, yang membuatku tidak bisa menahan tawa.

 

"Kenapa kamu tertawa?" tanya dia.

 

"Tidak, tidak ada apa-apa, sih."

 

"Hei, boleh ya, Shuuji?" Miran menatapku dengan serius.

 

Aku hanya bisa menghela napas kecil ketika ditatap oleh matanya yang bulat dan indah itu, "Yah, kita boleh jika berjalan-jalan di sekitar sini saja”

 

"Yatta!" Miran segera bangkit dari tempat tidur, tetapi aku buru-buru menopangnya karena tubuhnya goyah dan hampir terjatuh.

 

"Rupanya kamu masih belum kuat. Berarti, lain kali saja," ungkapku.

 

"Kalau begitu, berikan aku gendongan punggung, ya?"

 

Aku panik ketika sebuah bisikan mencapai telingaku.

 

"G-Gendongan punggung!? Sampai segitunya kamu ingin pergi keluar?"

 

Untuk seseorang yang sering berada di dalam ruangan sepertiku, itu adalah ide yang tidak terpikirkan.

 

"Maaf, aku hanya bercanda, kok. Aku akan bersabar." Miran kembali ke tempat tidur dengan perasaan sedih.

 

Memang, dia belum keluar selain berbelanja dan pergi ke rumah sakit. Oleh karena itu, aku yang ingin memenuhi permintaan Miran sebelum ini berakhir, menekan rasa malu dan berkata, "Aku akan memberimu gendongan punggung."

 

***

 

Aku berkeliling di sekitar rumah sembari menggendong Miran yang mengenakan pakaian tebal, agar menjaganya tetap hangat di punggungku. Sempat menjadi pertanyaan, bagaimana orang-orang di sekitar akan memandangku, tetapi aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu sekarang. Karena, ada benda lembut Miran yang menekan punggungku, ditambah sensasi pahanya yang mengenai tangan dan lenganku, justru aku lebih fokus menghitung nilai phi di dalam hati.

 

"Shuuji sebenarnya tinggi, ya?"

 

"Itu karena aku biasanya sering menunduk."

 

Sensasi tergelitik oleh suara Miran yang terdengar di dekatku, aku terus berjalan di bawah sinar matahari yang cerah. Entah apa mungkin penyebabnya karena aku yang sedang menggedong Miran, aku merasa pergi ke luar bukanlah hal yang buruk. Padahal, aku adalah King of Indoor. Setelah berjalan mengelilingi sekitaran rumah, aku bertanya kepada Miran yang ada di punggungku.

 

"Bagaimana? Kamu puas?"

 

"Ya, Aku puas!"

 

Walau hanya perjalanan yang singkat, Miran merasa senang saat kami kembali ke rumah.

 

"Terima kasih ... Shuuji dari dulu selalu saja bersikap baik, ya."

 

"Selalu?" Aku penasaran, tetapi Miran baru saja pergi untuk mengganti pakaiannya sehingga tidak sempat menanyainya.

 

Apakah maksudnya itu sejak tahun pertama SMA? Memutuskan bahwa Aku tidak perlu repot-repot bertanya, aku pergi ke dapur untuk memasak makanan ringan agar Miran bisa meminum obatnya.

 

Pada malam hari itu, orang tua kami pulang dari liburan, yang mana menjadi akhir dari kehidupan singkat bersama antara aku dan Miran.

 

***

 

Kesehatan Miran tampaknya telah pulih selama liburan, dan dia menghabiskan waktu bersama teman-teman gyaru-nya di sekolah sama seperti biasanya. Melihatnya seperti itu, aku merasa seolah-olah peristiwa di mana kami tinggal bersama di rumah hanyalah sebuah mimpi. Namun, aku masih ingat betul bagaimana sensasi saat tanganku menggenggam tangannya.

 

"----"

 

Tiba-tiba, pandanganku bertemu dengan Miran saat di kelas. Senyum yang ditujukannya padaku membuatku merasa senang. Aku pun jadi lebih sering mengamatinya saat di sekolah. Walaupun hidup bersamanya terlalu merangsang dan sulit, tetapi dampak lainnya aku merasa seperti bisa mengenal Miran lebih baik dari sebelumnya.

TL: Zhone-sensei (YouthTL)

 

Prev Chapter || ToC || Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close