NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Aru Hi Totsuzen Gyaru no Iinazuke ga Dekita V1 Chapter 2

Chapter 2 - Aku Harus Memikirkan untuk Terlibat di Sekolah (Dengan Bersungguh-sungguh)

 

Aku punya seorang tunangan. Terlebih lagi, dia adalah seorang gyaru yang bernama Hanatsuki Miran

 

***

 

Keesokan paginya, setelah hari aku diberitahu fakta yang mengejutkan itu. Ketika terbangun di tempat tidur, aku hanya bisa tertawa sendiri.

 

"Sepertinya aku mengalami mimpi aneh, Hanatsuki-san adalah tunanganku …,” aku bergumam sendiri.

 

Begitu mustahil untuk dipercaya, sehingga yang terlintas di benakku bahwa kejadian itu hanyalah mimpi semata. Kejadian di mana orang tuaku berpakaian begitu rapi, lalu aku buru-buru mengganti pakaian dan bersiap-siap. Kemudian, Hanatsuki Miran yang merupakan tunanganku berkunjung untuk menyapa. Sambil menganggap bahwa semua itu hanyalah mimpi, aku mengingat kembali isi kejadiannya dengan keadaan setengah sadar. Namun—

 

"Tidak, ini sangat realistis ...."

 

Biasanya dalam mimpi, akan ada beberapa bagian yang tidak jelas atau ambigu, tetapi aku dapat dengan cukup jelas mengingat suasana dan isi percakapannya. Dengan kondisi berkeringat dingin, aku bangun dan melihat ke arah pakaianku, di saat itu pula terkejut.

 

"Ini adalah pakaian kemarin!"

 

Dalam mimpiku, ini adalah pakaian yang aku kenakan ketika menyapa Hanatsuki-san dan orang tuanya. Aku tertidur tanpa sempat mengganti pakaian dan saat itu juga ingatanku tentang mimpi itu terputus.

 

"A-Apa, itu bukan mimpi? Tidak, atau sekarang ini yang mimpi?"

 

Aku menampar pipiku, tetapi rasa sakitnya sama seperti biasa. Saat rasa sakit itu menyadarkanku dari kondisi setengah tidur, kesan realistis dari ingatanku semakin meningkat.

 

"Apakah yang terjadi kemarin itu … nyata?"

 

Aku terkejut ketika menyadari bahwa kenangan kemarin bukanlah mimpi, melainkan kenyataan. Aku hanya pernah melihat orang memastikan apakah sesuatu itu mimpi atau kenyataan dalam manga dan anime, tetapi tidak kusangka bahwa aku akan mengalaminya. Sementara duduk di tempat tidur, aku mengingat kembali apa yang terjadi kemarin.

 

"Hanatsuki Miran … adalah tunanganku.”

 

Seorang gyaru ekstrovert yang kukira tinggal di dunia yang berbeda. Populer di kalangan anak laki-laki dan perempuan, selalu dikelilingi banyak orang, dan berada di puncak kasta sekolah. Orang seperti dialah yang ditunangkan dengan otaku introvert sepertiku. Meskipun itu bukan mimpi, tetapi tetap saja terasa tidak nyata bagiku.  

 

'Sampai jumpa di sekolah besok—' ucapan Hanatsuki-san ketika dia akan pulang. Tiba-tiba teringat kembali hal itu, aku menjadi sangat panik sekarang.

 

"Sebelum itu ….”

 

Aku lupa mengkonfirmasi sesuatu yang penting. Karena aku berada di sekolah dan kelas yang sama dengan Hanatsuki-san, kami pasti akan saling bertemu.

"Apa yang harus aku lakukan … saat di sekolah?”

 

Wajah seperti apa yang harus aku tunjukkan padanya? Bagaimana aku harus berinteraksi dengannya? Tindakan seperti apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap sebagai seorang tunangan. Haruskah aku berbicara santai atau semacamnya? Tidak, itu adalah rintangan besar bagi seorang introvert sepertiku, dan bahkan lebih sulit lagi, karena dia selalu dikelilingi oleh orang-orang yang ekstrovert.

 

Bahkan, hanya dengan interaksi sepihak dari Hanatsuki-san saja, aku sudah menarik perhatian. Lantas, bagaimana mereka akan memandangku ketika aku bersikap ramah dengannya?

 

Lagipula, kalau dipikir-pikir— "Lebih baik merahasiakan hubungan pertunangan kami di sekolah, kan?"

 

Kami harus mendiskusikan hal itu lebih serius lagi. Sekarang saja, aku bahkan tidak tahu apa yang Hanatsuki-san pikirkan tentangku, dan sebagai tunangannya, aku tidak tahu harus bagaimana bersikap kepadanya. Sebagai hasilnya, "Untuk saat ini, kurasa aman untuk berperilaku seperti biasa.”

 

Pada saat isi rapat strategi di benakku telah diselesaikan, sudah hampir waktunya untuk pergi ke sekolah, dan aku juga sudah mendengar suara ibuku yang membangunkanku.

 

"Pokoknya sekarang, ayo bersiap-siap dulu ….”

 

Aku bangun dari tempat tidur sekali lagi dan akhirnya membuka tirai kamarku. Cahaya matahari begitu cerah dan aku mulai bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sambil memikirkan bahwa aku adalah tunangan dari seorang gyaru.

 

***

 

Dengan begitu, aku berjalan kaki ke sekolah, melewati gerbangnya, masuk ke dalam gedung, dan menyusuri koridor seperti yang biasa dilakukan oleh para siswa. Aku sekarang siswa tahun kedua, dan sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Seharusnya ini adalah pemandangan yang sudah bosan aku lewati, tetapi hari ini entah kenapa terasa seperti sesuatu yang baru. Seolah-olah aku adalah seorang siswa baru, dan segala macam hal menarik perhatianku.

 

Sesampainya aku di depan ruang kelas, aku melihat kondisi di dalam. "Sepertinya … dia belum datang …,” gumamku.

 

Setelah memastikan matahari yang menyilaukan itu tidak ada di sana, aku bersikap seperti biasa, segera masuk tanpa menarik perhatian, dan duduk di tempat duduk. Aku telah menguasai keterampilan introvert saat datang ke sekolah, sehingga tidak ada yang menyadari kalau aku sudah tiba di sana. Sempurna. Di depan pandanganku, aku bisa melihat pemandangan kelas yang sama seperti biasanya, dengan para siswa ekstrovert yang sedang bercanda dan ada juga yang buru-buru menyalin pekerjaan rumah mereka.

 

"............"

 

Sekolah yang sama seperti biasa, begitu pun dengan ruang kelasnya. Namun, meski aku bisa melakukan kamuflase tanpa menarik perhatian seperti biasa, tetap saja ada perasaan gelisah seolah-olah aku sedang berkelana ke dunia yang berbeda. Tentu saja aku tahu alasannya.

 

"Selamat pagi," sapa seseorang tiba-tiba.

 

Suara yang nyaring dan ceria bergema di seluruh ruang kelas, membuat jantungku berdebar. Pemilik suara itu adalah gyaru ekstrovert yang merupakan teman sekelasku—Hanatsuki Miran. Dia adalah gadis yang datang untuk menyapa sebagai tunanganku kemarin. Ketika dia datang ke sekolah dengan begitu ceria, teman-teman perempuannya dan anak laki-laki yang gaul menyapanya, dan tidak perlu waktu lama, sebuah lingkaran orang-orang pun terbentuk. Suatu pemandangan yang sudah biasa terjadi di ruang kelas ini. Pemandangan yang sebelumnya tidak pernah kupedulikan, tetapi entah kenapa aku sangat memperhatikannya hari ini. Belum lagi, aku secara tidak sengaja mengamati setiap tindakan Hanatsuki-san.

 

"............"

 

Aku merasa Hanatsuki-san yang dikelilingi oleh banyak orang, benar-benar terasa seperti orang yang populer, dan hal yang sungguh mengagumkan adalah dia menanggapi semuanya. Kemudian, aku juga merasa bahwa dia terlihat sedikit berbeda saat mengenakan seragam sekolahnya dibandingkan dengan pakaian biasa saat dia mengunjungi rumahku kemarin.

 

"----!"

 

Tiba-tiba mataku berpapasan dengan mata Hanatsuki-san dan aku buru-buru memalingkan wajahku. Bukan bermaksud buruk, tetapi hanya spontanitas. Apakah aku membuat kesan yang buruk? Aku minta maaf akan hal itu … tetapi memalingkan wajah darinya karena aku tidak tahu harus memasang ekspresi seperti apa. Meskipun aku baik-baik saja pada akhir pekan kemarin, tetapi di sekolah aku merasa aneh dan tidak mampu menghentikan degupan jantungku. Aku penasaran, apakah Hanatsuki-san merasakan perasaan seperti ini sebelumnya?

 

‘Bagaimana mengatakannya ya … aku itu merasa malu … ketika menyadari bahwa aku adalah tunanganmu, tahu?’ kata-kata Hanatsuki-san kemarin.

 

Kurasa, aku sudah memahami kembali maksudnya. Namun, aku juga bingung apakah aku bisa terus seperti ini.

 

Bingung dengan perubahan pikiranku, aku merebahkan diri di atas meja dengan penuh rasa yang tidak menentu—hanya bisa mendengar suara Hanatsuki-san.

 

 

Kelas berlangsung seperti biasa, dan waktu istirahat juga berakhir tanpa masalah. Aku sedang kebingungan memikirkan bagaimana harus menanggapi ketika Hanatsuki-san berbicara kepadaku, meski dia belum juga mendekati aku. Karena dia, aku merasa lega dan bisa bersikap biasa. Namun, sebagai gantinya—

 

"Hei, Miran, apa kamu mendengarkanku?"

 

"Hah? Ya, aku mendengarmu."

 

Aku cukup sering melakukan kontak mata dengan Hanatsuki-san yang berada di antara teman-teman gyaru-nya.

 

"............"

 

Tidak, itu salah. Aku adalah satu-satunya orang yang sedang menatapnya.  Saat istirahat, aku biasanya menghabiskan waktu membungkukkan tubuh di atas meja dan berpura-pura tidur, atau membuka buku tanpa membacanya, atau hanya menatap kosong ke arah pemandangan di luar. Namun hari ini, aku menyadari diriku memperhatikan gyaru yang paling populer di kelas. Hal yang sama berlaku saat pelajaran sedang berlangsung, aku merasa sedang memandangi dirinya. Karena selalu mengarahkan pandanganku ke sana, jelas saja mataku akan berpapasan dengannya.

 

"----!"

 

Aku terus-menerus mengulangi kesalahan bodoh dengan tergesa-gesa memalingkan muka. Suatu tindakan tidak sopan yang aku sendiri tidak ingin melakukannya. Namun, ketika mata kami bertemu, perasaan gugup menguasai dan membuatku memalingkan muka. Setiap kali aku mengikuti pelajaran dan saat istirahat, frekuensi kontak mata dengan Hanatsuki-san pun meningkat. Pada suatu kesempatan, dia mulai menunjukkan ekspresi nakal, seolah-olah dia terhibur dengan reaksiku dan sengaja mengarahkan pandangannya kepadaku.

"............"

 

Begini, ketika aku memikirkannya dengan tenang, aku merasa sangat tidak enak sekarang. Jika dilihat dari luar, aku yang introvert ini seperti tipe pria playboy yang sengaja melirik para gyaru dan kemudian memalingkan muka. Meskipun aku merasa begitu, anehnya aku tetap saja menatap Hanatsuki-san, dan ketika mata kami berpapasan, aku kembali memalingkan muka, bersama dengan perasaan kesal terhadap diri sendiri.

 

"............"

 

Di sisi lain, Hanatsuki-san hanya terlihat seperti biasanya, kecuali pada saat dia mengarahkan pandangannya padaku dengan sengaja untuk menghibur diri. Dia juga mengikuti kelas secara normal, berbicara dengan riang bersama teman-temannya dan tidak berperilaku aneh sama sekali. Aku sendiri mulai merasa malu karena begitu peka terhadap tunanganku.

 

"Haaa ….”

 

Secara keseluruhan, jika aku mengambil dari sudut pandang seorang gyaru yang berada di puncak kasta sekolah—Menurutku, dia tidak ingin orang-orang tahu bahwa dia punya tunangan seorang introvert penyendiri seperti aku.

 

"Tenanglah, wahai aku ….”

 

Apa yang membuatku begitu bersemangat? Tenanglah. Meskipun Hanatsuki-san adalah tunanganku, tidak ada yang akan berubah di sekolah, dan memang semestinya tidak perlu berubah. Aku hanya perlu menjalani hari-hariku dengan langkah introvert seperti biasanya.

 

Tenangkanlah pikiran ini, wahai aku!

 

Saat istirahat makan siang, aku akhirnya mulai memilah-milah pikiran dan pendirianku tentang situasi saat ini. Kemudian, terjadi sesuatu yang menghancurkan semuanya sekaligus.

 

***

 

Waktu istirahat makan siang adalah waktu yang paling sulit bagi seseorang yang introvert penyendiri. Mengapa? Karena, aku harus pergi ke tempat makan siang tanpa disadari oleh siapapun.

 

Segera setelah istirahat makan siang dimulai, para siswa di kelas membentuk kelompok-kelompok dengan berbagai ukuran, semacam komunitas makan siang. Dalam situasi seperti itu, makan siang sendirian adalah tindakan yang menunjukkan, "Aku tidak punya teman!”, seperti memamerkan kesengsaraan sebagai seorang penyendiri. Dengan kata lain, itu sangat mencolok dalam artian yang aneh. Jadi, saat jam makan siang dimulai, aku selalu meninggalkan ruang kelas tanpa ada yang menyadari.

 

"Tunggu! Shuuji!" suara seseorang memanggil dari dalam kelas. Itu adalah suara yang ceria, sejuk dan familiar. Aku pun berbalik dan melihat Hanatsuki-san yang tersenyum mendekati aku.

 

"Eh … aku?!"

 

Sudah lama sekali aku tidak dipanggil dengan nama depanku saat di sekolah, sehingga ada jeda yang cukup lama dalam meresponnya. Lebih-lebih lagi, aku tidak menyangka akan didekati oleh Hanatsuki-san sekarang, jadi aku terdiam karena terkejut.

 

"Ayo makan siang bersama!" Hanatsuki-san mengajakku begitu saja bersama dengan senyum polosnya.

 

Aku diajak makan siang oleh gyaru yang paling populer di sekolah. Biasanya itu akan menjadi hal yang membahagiakan dan menyenangkan, membuatmu merasa lebih unggul. Namun, melihat suasana di dalam kelas, aku tidak bisa merasa senang secara terus terang.

 

"Eh, Miran, kamu serius?”

 

Teman-teman perempuan yang selalu makan siang bersama Hanatsuki-san sangat terkejut. Para laki-laki gaul yang selalu nongkrong di dekatnya pun saling berpandangan. Seakan-akan waktu di ruang kelas telah terhenti. Tentu saja akan seperti itu, ketika seseorang dari kasta teratas sekolah tiba-tiba mengajak makan siang si introvert dari kasta bawah.

 

Pandangan mereka menyakitkan!

 

"Miran-chan, apa kamu serius?" setelah beberapa saat hening, salah seorang anak laki-laki gaul angkat bicara sambil tersenyum kecut.

 

"Hm? Ya, ada masalah?"

 

Hanatsuki-san tersenyum saat dia balik bertanya, tetapi aku merasakan sedikit aura ketegangan. Anak laki-laki itu juga merasakan hal ini, dan berkata, "Tidak, tidak apa-apa.”

 

"............” entah kenapa, suasana mencekat menyelimuti ruang kelas.

 

Ini buruk! Aku menoleh ketika merasakan hal seperti itu. Orang yang introvert sensitif terhadap suasana seperti ini. Aku tidak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku. Namun, tidak bagus kalau Hanatsuki-san jadi bahan perhatian orang lain karena aku! Jelas tidak baik!

 

"Huuu—" aku menarik napas berat dan berkata dengan berani sambil menggaruk-garuk kepala. "Ha, Hana-tsuki-san baik sekali, ya! Kamu selalu mengkhawatirkan aku ketika aku sendirian, dan juga menyapaku! Terima kasih!”

 

"Shuuji?”

 

Kemudian, ekspresi sedih dan gelisah muncul di wajahnya. Ucapanku terdengar kaku, dan aku sempat ragu apakah suara ini terdengar jelas, karena aku tidak terbiasa berbicara dengan suara yang lantang. Namun begitu, aku merasa lega saat mengetahui bahwa kata-kataku itu dapat dipahaminya.

 

"Aku … akan pergi ke toko, jadi jangan khawatir!” aku berkata seakan-akan menyatakan kepada orang-orang di sekelilingku, dan berjalan perlahan-lahan keluar dari ruang kelas untuk membuatnya tampak, "tidak perlu dikhawatirkan".

 

"Aku sangat gugup!” gumamku.

 

Segera setelah aku melangkah keluar menuju koridor dan tidak lagi kelihatan, aku bergerak secepat seorang pejalan kaki.

 

***

 

Tempat makan siangku berada di sudut belakang gedung sekolah. Aku selalu makan siang dengan duduk di tangga darurat, sambil melihat ke arah tempat parkir sepeda. Jika mengabaikan pemandangan suram tempat itu yang hanya berisikan sepeda, maka bisa dikatakan aku menyukainya karena pada dasarnya tidak ada yang akan datang kecuali siswa yang terlambat atau pulang lebih awal. Kebetulan, di sini aku merekomendasikan permainan menebak kepribadian pemilik sepeda.

 

"Aku menghabiskan seluruh keterampilan berbicaraku selama satu tahun …,” aku bergumam.

 

Aku yang baru saja keluar dari ruang kelas, duduk di tempat makan siangku dan masih merasakan jantung yang berdetak kencang. Biasanya Aku akan makan siang di sini, tetapi—

 

"............"

 

Aku tidak membawa apa-apa. Di sekolahku, sebagian siswa membawa makan siang sendiri dan sebagiannya lagi membeli makanan di toko. Selama tahun pertamaku, aku minta dibuatkan makan siang, tetapi pada tahun kedua dan seterusnya, aku mulai membelinya di toko setelah mempertimbangkan kemudahan dan kesulitan dalam membuat makan siang. Namun, aku tidak membeli apapun untuk hari ini karena—

 

"Dompetku, tertinggal di ruang kelas—"

 

Biasanya itu tidak akan pernah terjadi! Mungkin karena aku terlalu gelisah memikirkan tentang tunangan tadinya.

 

"Aku tidak bisa kembali lagi sekarang—"

 

Setelah kejadian tadi, aku tidak memiliki keberanian untuk kembali ke kelas dan mengambil dompetku. Memang, adakalanya hal-hal nahas seperti ini terjadi sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku yang menyerah, hanya bisa menatap kosong ke langit dan merenungkan apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Hanatsuki-san barusan.

 

"Aku tidak pernah menyangka kamu akan mengajakku ...."

 

Perasaanku campur aduk, aku merasa bahagia tetapi di sisi lain juga merasa bingung. Namun bagiku, perasaan bahagialah yang lebih dominan. Sudah lama sekali aku diajak makan siang di sekolah oleh seseorang. Aku juga merasa menyesal karena telah menolak undangan itu, apa pun alasannya.

 

"Mampukah aku menjadi tunangan yang baik untuknya?" tanyaku sendiri.

Aku terus berputar dalam pikiran yang tidak jelas, memikirkan kesenjangan yang cukup besar antara gyaru ekstrovert dan otaku introvert sambil memandangi kembali tempat parkir sepeda yang membosankan

 

Sementara aku dalam keadaan lapar menghabiskan waktu dengan merenung seperti itu, terdengar suara seperti, "Aku tahu kamu ada di sini!" yang mencapai telingaku, dan ketika berbalik, "Hanatsuki-san?"

 

Seorang gyaru dengan warna rambut yang terang berlari ke arahku sambil membawa kantong kertas besar.

 

"Apa yang kamu lakukan di sini?" kataku.

 

Aku agak gugup karena merasa tidak pantas jika seorang gyaru yang cantik datang ke bagian belakang gedung sekolah yang sederhana. Saat aku panik, Hanatsuki-san memberikan senyum yang sama seperti saat dia mengajakku makan siang di ruang kelas tadinya.

 

"Mengapa? Akulah yang memintamu untuk makan siang bersamaku."

 

"Bukan begitu, maksudku bagaimana kamu bisa tahu di mana aku berada?"

 

"Karena aku pernah melihat Shuuji makan di sini sebelumnya. Saat itu kamu sedang menatap sepeda itu dan tertawa ketika menebak bahwa pemilik sepeda itu adalah orang yang suka berpesta, kan?"

 

"Uwaa ….”

 

Serius? Dia benar-benar memperhatikanku ….

 

Aku kaget dan malu karena tidak menyangka ada orang yang memperhatikan. Ketika aku menggeliat hebat di dalam hati, Hanatsuki-san memiringkan kepalanya.

 

"Hah? Di mana makananmu? Kamu tidak membeli apa-apa?"

 

"Aku lupa … membawa dompet,” ucapku dengan ragu-ragu.

 

Sementara aku mempersiapkan diri akan diolok-olok dan ditertawakan, dia justru memberikan reaksi yang tidak terduga.

 

"Syukurlah!" dia bergumam lega.

 

"Syukurlah?" aku kebingungan.

 

Di depanku yang kebingungan, Hanatsuki-san mengeluarkan bungkusan dengan pola kekinian dari tas kertas yang dibawanya, dan menawarkannya kepadaku sambil berkata, "Ini”.

 

"I-Ini?”

 

Saat aku menerimanya dengan sedikit ragu-ragu, Hanatsuki-san menjawab dengan sedikit rona merah di pipinya.

 

"Ini bento, kurang-lebih seperti itu."

 

"B-Bento, ya?” aku terkejut mendengar kata-katanya yang tidak terduga dan meninggikan suaraku.

 

"Shuuji selalu membeli makan siang di toko, kan? Itulah kenapa, aku membuatkan porsi Shuuji juga hari ini."

 

"Hanatsuki-san, membuatkan ini untukku ….”

 

Orang yang introvert sepertiku, mendapatkan makan siang?! Dari Hanatsuki Miran yang gyaru itu?!

 

"Jika tidak keberatan, maukah kamu memakannya?"

 

"Eh, b-baiklah! Terima kasih!” ucapku menyetujuinya dan memegang kotak makan siang itu dengan hati-hati, meski aku sendiri masih belum bisa menghilangkan keterkejutan itu.

 

"Kalau begitu, aku duduk ya?" katanya menunjuk tepat di sebelah tempatku biasanya duduk.

 

Di sana, Hanatsuki-san duduk dan merapikan roknya, lalu mengeluarkan bungkusan bento lain dari kantong kertas yang dibawanya. Sikapnya membuatku gugup, sehingga aku terlambat menyadari situasinya.

 

"Umm ..." Situasi ini berarti bahwa aku duduk di sebelah Hanatsuki-san dan makan siang bersamanya, kan? Terlebih lagi, dengan makan siang buatan sendiri!

 

"Ada apa?"

 

"Tidak, tidak ada apa-apa. M-Maaf, aku akan duduk sedikit ke samping!”

 

Aku, yang terdiam di tempat karena bingung dengan situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, buru-buru pindah ke samping Hanatsuki-san.

Aku duduk sedikit lebih ke samping daripada posisi biasanya. Tentu saja, jarak kami menjadi lebih jauh. Bisa dikatakan, dalam jarak yang wajar dan juga tidak terlalu kasar terhadap tunangan yang telah membuatkanku makan siang. Itulah batasanku sekarang.

 

"T-Terima kasih banyak atas bento-nya.”

 

Sekali lagi aku berterima kasih padanya dan membuka bungkusan itu. Di hadapanku, terdapat kotak makan siang dengan warna-warna yang tenang. Sedangkan, yang punya Hanatsuki-san berwarna merah muda, satu ukuran lebih kecil dari kotak makan siangku.

 

"Itu masih baru, jadi jangan khawatir."

 

"Oh, ya—eh?" apakah itu berarti dia membelikan kotak makan siang yang baru untukku? Aku tidak bisa bertanya karena malu rasanya jika anggapanku salah, tetapi ada perasaan yang berdebar-debar di dalam dadaku.

 

Di samping itu, aku merasakan tatapan dari sebelahku yang ingin aku segera melihat isinya, dan ketika aku meletakkan tangan pada tutup kotak makan siang dan membukanya—Terdapat telur dadar, karage, dan sosis gurita. Adapula tomat kecil dengan tangkainya yang sudah dibuang, salad kentang, dan sebagainya. Lauk pauknya terlihat lebih berwarna dan lezat dari yang aku bayangkan. Selain itu, semua hidangan ini bukan hidangan yang sudah jadi, melainkan dibuat sendiri dan diolah dengan baik.

 

"Apakah ini semua … Hanatsuki-san yang membuatnya?"

 

"Benar, sih. Tapi aku tidak tahu apakah mereka enak atau tidak—” Hanatsuki-san mengatakannya dengan santai, tetapi pipi dan telinganya memerah. Merasakan kesenjangan dari penampilan yang biasanya mencolok dan glamor, dengan sisi yang tidak terduganya dari dekat, aku merasakan jantungku berdetak kencang.

 

"Itadakimasu.”

 

Aku menyatukan kedua tanganku dan segera memasukkan salah satu lauk dari makan siang itu ke dalam mulut. Jika dia sudah berusaha sampai sejauh ini, aku akan tetap memujinya meskipun rasanya tidak enak. Namun, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, karena hidangannya lezat seperti yang dirasakan oleh lidah. Tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan, cita rasanya pas. Apalagi, ini adalah makan siang buatan sendiri pertama kalinya bagiku, yang sudah terbiasa dengan makan siang siap saji dari toko, sekaligus itu membuatku merasa senang.

 

"Ini sangat, sangat lezat!”

 

"Benarkah? Kalau begitu, syukurlah."

 


Mendengar pujian tulusku, mata Hanatsuki-san berbinar-binar dan pada saat yang sama, dia mengelus-elus dadanya. Dari reaksinya itu, aku merasa bahwa dia telah berusaha sangat keras untuk membuat makanan tersebut, sehingga apresiasiku terhadap makan siangnya menjadi dua kali lipat. Kemudian, kami berdua mulai menyantap makan siang bersama ....

 

"............"

 

Setelah beberapa saat, muncul masalah yang membuatku bingung. Yaitu, percakapan. Makan dalam keheningan terasa hambar, tetapi di sisi lain aku tidak memiliki sesuatu yang bagus untuk diobrolkan. Aku terus mencari-cari topik pembicaraan, tetapi satu-satunya hal yang ada dalam benakku hanyalah pengetahuan tentang otaku. Lagipula, tidak akan cocok jika aku membicarakan hal-hal yang berbau otaku kepada seorang gyaru. Namun, saat aku mau membuka mulut untuk membahas tentang cuaca, "Ah! ya!" kata Hanatsuki-san. "Aku sudah lama penasaran tentang ini!" lanjutnya.

 

"Y-ya?" aku menegakkan punggung sambil membayangkan apa yang akan dikatakannya padaku, dan pipi Hanatsuki-san sedikit menggembung.

 

"Shuuji umm, kamu selalu menggunakan honorifik saat berbicara denganku."

 

"Honorifik?!”

 

"Bukannya itu aneh?"

 

"Tidak sih, y-yah, tapi tetap saja ….”

 

Pengalamanku berbicara dengan para gadis sangat kurang, belum lagi Hanatsuki-san adalah seorang gyaru yang berada di puncak kasta sekolah, jadi wajar dan suatu keharusan bagiku untuk menggunakan honorifik padanya.

 

"Tapi, waktu itu kamu memperlakukanku secara normal, lho …,” kata Hanatsuki-san dengan suara cemberut.

 

Waktu itu? Aku mencoba mengingat kembali, tetapi aku tidak tahu kapan aku memperlakukannya secara normal. Memangnya pernah kami berinteraksi secara normal?

 

Aku mencoba untuk bertanya padanya, tetapi sebelum aku sempat melakukannya, Hanatsuki-san menunjuk ke arahku dan memberitahu, "Tidak ada honorifik mulai sekarang!"

 

“Ehh?”

 

"Karena, kita ini seumuran … dan juga sudah bertunangan,” dia yang pipinya merona, menambahkan kata-kata terakhir itu dengan malu-malu.

 

"Selain itu, kamu boleh kok memanggilku dengan nama depanku, bukan nama belakangku, oke?"

 

"Nama depan!?” aku terkejut.

 

Memanggil seorang gadis dengan nama depannya adalah rintangan yang sangat besar bagi seorang introvert sepertiku. Mungkin lebih menegangkan daripada berbicara dengan bahasa yang biasa.

 

"Kamu tidak suka?" tanya dia.

 

"B-Bukannya aku tidak suka, tapi—”

 

"Kamu menggunakan bahasa yang formal lagi, kan?"

 

"Uggh—"

 

Apakah begini cara berkomunikasi para kasta atas untuk menjadi lebih dekat?

Lebih dari itu, gyaru yang merupakan tunanganku ini memberikan senyuman menggoda saat aku terkejut, dan berkata, "Hei, hei, jika kamu tidak keberatan, panggil aku, dong."

 

"Memanggilmu!?”

 

"Iya, dengan nama depanku, gitu."

 

Aku pun menarik napas dalam-dalam sebanyak tiga kali, dan membulatkan tekadku, “Mi, Miran, -san."

 

Ucapanku canggung seperti Artificial Intelligence, yang dibalas oleh Hanatsuki-san dengan tawa kecilnya.

 

"Kamu keras kepala, ya. Kamu tidak perlu menambahkan ‘-san’ lho, panggil aku dengan lebih santai, oke? Ya, sekali lagi."

 

"Mi … Mi, Miran."

 

"Iya, Shuuji?”

 

"Tidak, um—”

 

Aku tidak menyangka dia akan memanggilku kembali, itu membuatku jadi lebih kikuk. Rasa malu dan canggung menyelimutiku sekaligus, dan aku merasakan wajahku memanas. Miran, yang merupakan tunanganku tersenyum bahagia melihat reaksiku, sedangkan aku di dalam hati merasa amat gelisah. Tak terbayangkan, apa yang akan terjadi selanjutnya jika memanggilnya hanya dengan nama depannya. Terutama dampaknya bagiku—

 

***

 

Begitulah seterusnya, dan kami baru saja menyelesaikan makan siang.

 

"Shuuji … apa yang kamu pikirkan tentang aku yang menjadi tunanganmu? Mungkinkah itu mengganggumu?"

 

Tiba-tiba, aku mendapat pertanyaan dari orang yang di sebelahku. Ketika menoleh, aku melihat raut wajah Hanatsuki-san—atau sebaiknya aku sebut Miran, yang sedikit cemas

 

Meskipun aku buruk dalam berkomunikasi, aku menganggap ini adalah pertanyaan yang serius, dan berusaha untuk serius dan jujur mengatakan apa yang kurasakan.

 

"Sejujurnya aku agak bingung, sih … tapi itu tidak menggangguku, kok."

 

Kebalikan dariku, Miran adalah seorang gyaru yang ekstrovert. Namun begitu, dia adalah gadis yang cantik dan juga perhatian. Mengatakan bahwa pertunangan kami itu mengganggu adalah hal yang sangat lancang. Justru sebaliknya, Miran tidak akan menjadi masalah jika dia adalah tunanganku, tetapi akulah yang akan menyebabkan masalah terhadap dirinya. Mengingat kembali apa yang baru saja terjadi di dalam kelas, aku melanjutkan kalimatku dengan kata, "tetapi".

 

"Tetapi, akan lebih baik jika kamu tidak memberitahu siapa pun di sekolah tentang pertunangan kita."

 

Aku tahu persis apa yang aku bicarakan setelah mengamati kondisi sekolah setengah hari ini. Miran sangat populer di kalangan anak laki-laki maupun perempuan—jika orang-orang tahu bahwa dia bertunangan dengan seorang introvert penyendiri sepertiku, nama baiknya pasti akan jatuh. Aku tidak ingin awan sepertiku menaungi matahari yang menyinari semua orang.

 

"Oh, begitu," Miran bergumam seakan-akan sedang menghela napas.

 

Beberapa saat kemudian, "Kalau begitu!" katanya sambil bertepuk tangan, lalu meraba-raba sakunya untuk mengeluarkan smartphone-nya. 

 

"Mari kita bertukar kontak. Beritahu aku ID REIN-mu ."

 

"REIN?!”

 

Aku tahu itu adalah aplikasi untuk mengirim pesan, tetapi aku yang seorang introvert penyendiri ini tidak mungkin menggunakan aplikasi seperti itu, bahkan aku sendiri belum mengunduhnya. Sebagai tambahan, orang tuaku sudah menggunakan REIN dan memintaku untuk mengunduhnya, tetapi aku tidak tertarik dan belum melakukannya sampai sekarang.

 

Menurutku, sudah waktunya untuk menggunakan REIN. Aku juga merasa sedikit kehilangan status karena tidak menggunakan aplikasi yang sedang tren, tetapi hal itu sudah berakhir hari ini. Sambil dilihat oleh mata berbinar-binar tunanganku, aku segera mengunduh aplikasi tersebut. Kemudian, dengan bantuan Miran, kami bertukar ID REIN.

 

"Lihat, kamu bisa mengirim stiker dan hal-hal seperti ini, tahu. Kamu juga dapat menelepon seseorang."

 

Ada stiker kucing yang lucu dikirimkannya kepadaku.

 

"Sudah sering sih aku mendengarnya, tapi ini sungguh luar biasa. Fitur yang bisa mengetahui apakah pesan sudah dibaca juga sangat berguna," ungkapku.

 

"Tapi, terkadang agak melelahkan juga, dah."

 

"Serius?"

 

Mungkin karena Miran memiliki banyak teman, dia mengalami kesulitan tersendiri karena kelebihan dari fitur-fitur ini. Sementara merenungkan hal itu, Miran mengangkat wajahnya dari smartphone dan tersenyum padaku.

 

"Sekarang, aku dapat menghubungi Shuuji kapan saja, kan?"

 

"Y-Ya begitulah—” aku menganggukkan kepala dengan gugup. Namun, aku bingung akan membahas topik apa dalam obrolan menggunakan REIN ini. Mungkin aku harus membaca sesuatu dari buku referensi percakapan.

 

Saat memikirkan hal ini, smartphone Miran berdering. Sepertinya ada notifikasi dari REIN.

 

"Temanku lupa mengerjakan PR-nya, dan dia ingin menyalin yang punyaku. Jadi, aku akan kembali ke kelas duluan, ya."

 

Miran tersenyum, memasukkan kotak makan siang yang sudah dibungkus ulang ke dalam kantong kertas, dan bersiap-siap untuk kembali ke kelas. Aku pun berterima kasih sekali lagi padanya, "Um, terima kasih untuk bento-nya dan terima kasih atas makanannya."

 

"Aku senang kalau kamu menyukainya. Aku akan membuatkannya lagi!"

 

"Oh tidak, kamu tidak perlu melakukan itu! Pasti repot untuk membuatnya!"

 

"Tidak kok, ini juga bukan pekerjaan yang berat. Malah, hal ini membuatku bahagia,” Miran tersenyum dan berkata dengan malu-malu. "Ayo kita makan bersama lagi," lanjutnya.

 

Aku terpesona oleh parasnya itu, sehingga baru merespon setuju setelah beberapa saat berlalu dan di saat itu juga aku tanpa sadar mengamati punggung Miran yang beranjak kembali ke ruang kelas.

 

***

 

Kemudian, aku juga kembali ke kelas pada akhir waktu istirahat makan siang.

Rasanya seperti sedang bermimpi. Dengan perasaan berdebar-debar di dalam hati, aku berjalan menyusuri koridor.

 

"Oi! Tunggu!" terdengar suara lantang laki-laki dari suatu tempat.

 

"Tunggu!"

 

Siapa yang dia panggil?

 

Menurutku, suasana hatinya sedang tidak enak, sehingga aku berhati-hati berjalan, tanpa menarik perhatian di kala menyusuri koridor—

 

"Jangan abaikan aku!" pemilik suara itu mencengkeram bahuku.  Sepertinya memang akulah yang dipanggil.

 

"Umm, ada apa?”

 

Ketika aku berbalik dengan ekspresi kaget, aku melihat seorang anak laki-laki yang tinggi, tampan, dan gaul sedang memelototi aku. Berdasarkan warna dasi seragamnya, dia adalah seorang senpai yang satu tahun lebih tua dariku dan merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

 

"Jangan salah paham hanya karena Miran-chan bersikap baik padamu!"

 

Senpai yang gaul itu berkata seolah-olah ingin menggertakku. Mendengar kata-katanya, aku jadi mengingat siapa dia. Dia adalah salah seorang anak gaul kelas lain yang sering berkunjung ke kelas kami demi mengejar Miran dan teman-temannya. Itu artinya, setelah mendengar tentang apa yang terjadi saat makan siang tadi, dia sengaja repot-repot untuk menunjukkan keluhannya yang sopan ini, kan?

 

(TLN: wkwk sarkas si MC)

 

"Biarkan aku memberitahumu, dia berbicara kepadamu hanya karena kamu adalah seorang introvert yang unik, oke? Jangan salah paham dengan mencoba dekat-dekat dengannya!"

 

Yah, sejak masuk tahun kedua, aku telah menarik banyak perhatian, terutama tentang interaksiku dengan Miran dan sepertinya dia sudah tidak tahan lagi setelah mendengar apa yang terjadi hari ini. Memahami hal itu, beberapa kata tertentu melayang-layang di benakku.

 

—Membosankan!

 

Mereka-mereka yang gaul itu, sering mengucapkan kata-kata yang membosankan dan menyebalkan, tetapi hari ini adalah pertama kalinya aku memahami makna sebenarnya dari kata itu. Terlebih lagi, aku merasa fakta bahwa siswa dari kelas lain yang datang berkunjung ke kelas kami hanya untuk melihat Miran dan yang lainnya, jauh lebih menyebalkan. Namun, aku tidak cukup bodoh untuk mengatakannya.

 

"Hei, apakah kamu mendengarkanku?"

 

"Uh, ya. Aku akan berhati-hati."

 

Dalam situasi ini, akan lebih baik menurutinya dan tetap bersikap rendah hati. Karena, keterampilan dasar dari seorang introvert yaitu tidak mudah terpancing emosi. Setelah itu, dia mengucapkan beberapa kalimat lagi, tetapi aku mengabaikan semuanya dengan "Ah, ya". Meski merasa cukup tidak senang, dia hanya mengendus dan pergi meninggalkanku. Pada saat itu juga, sekali lagi aku merasakan bahwa anak gaul itu memanglah menyebalkan.

 

 

Aku kembali ke ruang kelas dengan cara yang tidak menarik perhatian siapapun. Ketika aku mengintip ke dalam, rupanya Miran tidak ada di sana, dan hanya ada para ekstrovert yang sedang mempersiapkan diri untuk kelas siang ataupun mereka-mereka yang sedang terlihat mengantuk. Diam-diam, aku memasuki ruang kelas tanpa diketahui oleh siapa pun, tetapi—

 

"Hei, tunggu sebentar—!”

 

Kali ini ada gadis yang memanggilku. Dua orang gyaru yang sering bergaul dengan Miran memanggil dan mengelilingi aku.

"Apakah kamu punya hubungan dengan Miran?" tanya seorang dari mereka.

 

"Aku sudah lama berpikir bahwa ada sesuatu di antara kalian ...," sambung yang lainnya.

 

Kedua gadis itu berbicara kepadaku satu demi satu. Masalah kali ini tidak dapat diatasi hanya dengan keterampilan yang dimiliki oleh seorang introvert! Saat aku bingung harus berkata apa, salah satu dari mereka memberiku pandangan yang menyadarkan aku.

 

"Oh iya, bukankah ini pertama kalinya kita mengobrol?"

 

"Benar juga ya. Karena aku sering melihat Miran berinteraksi denganmu, aku jadi salah paham, dah."

 

Kemudian, kedua gadis yang sedang tertawa itu memperkenalkan dirinya.

 

"Aku Hanako."

 

"Aku Adzuki. Halo~."

 

Gyaru yang memperkenalkan namanya sebagai Hanako memberikanku kesan bahwa dia memiliki aura onee-san, sementara yang memperkenalkan namanya sebagai Adzuki itu memberikanku kesan seseorang yang lemah lembut.

 

"Oh, aku… Eizawa Shuuji."

 

Untuk sekarang, aku membalas mereka dengan menyebutkan namaku sendiri, tetapi masalah yang sebenarnya belum selesai.

 

"Jadi, seperti apa hubunganmu dengan Miran?" Hanako-san bertanya lagi dan aku berusaha sekeras mungkin untuk tidak menunjukkan emosi saat menjawabnya.

"Kami tidak memiliki hubungan apa pun.”

 

"Eh~ mustahil itu, mah!" Hanako-san curiga padaku, sedangkan Adzuki-san juga tampak tidak yakin.

 

"Mood Miran hari ini jelas berbeda dengan pekan lalu. Pasti ada sesuatu yang terjadi."

 

"Meskipun kamu mengatakannya begitu, aku memang tidak punya hubungan apa-apa."

 

Saat aku mencoba memainkan peran sebagai orang yang tidak bersalah, mereka tetap saja menatapku dengan penuh kecurigaan.

 


 

Saat itulah hal itu terjadi—

 

"Ah, gawat!" Hanako-san dan Adzuki-san melirik ke arah pintu masuk, lalu bergegas meninggalkan aku. Mereka memasang wajah biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku sempat bingung, tetapi segera menyadari penyebabnya.

 

Miran sudah kembali. Sejenak, dia melakukan kontak mata denganku dan tersenyum, lalu langsung menghampiri Hanako-san dan Adzuki-san. Mungkin karena akting mereka yang kurang bagus, mereka agak canggung saat berbicara kepada Miran yang terlihat bingung.

 

"Ada apa?"

 

"Eh, apanya?" “Oh iya, Miran-san—"

 

Keduanya secara paksa mengubah topik pembicaraan dan memulai obrolan mereka yang biasa. Aku merasa hanya masalah waktu saja sebelum mereka mengetahui bahwa aku dan Miran sudah bertunangan. Sambil merasakan kekhawatiran akan kejelian para gyaru tersebut, aku menuju tempat dudukku. Namun, aku merasa seperti sedang diperhatikan dan melihat ke sekeliling. Saat itulah aku menyadari bahwa pandangan anak-anak gaul tertuju padaku.

 

"............" aku terpaksa melakukan ini semua. Apa pun yang kulakukan, kedua gyaru itu akan terus mengejarku dengan pertanyaan.

 

Kalau terus begini, bisa-bisa aku terlibat lagi dengan Senpai itu. Oleh karenanya, aku harus berhati-hati untuk tidak menarik perhatian lagi. Aku menguatkan tekad dan menghabiskan sisa waktu siangku untuk fokus pada pelajaran.

 

Bertunangan dengan Miran—adalah hari di mana aku merasakan terjadinya perubahan pada orang-orang di sekitarku dan pada diriku sendiri.

 

TL: Zhone-sensei (YouthTL)

 

Prev Chapter || ToC || Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close