Chapter 5 - The Terrifying Cave Where Me and Himegi Must Go
Aku bermimpi dan aku langsung tahu bahwa itu adalah mimpi. Karena aku tidak mengenal tempat ini dan belum pernah datang ke sini. Jadi aku memaksa diriku sendiri menganggap bahwa bunga-bunga merah yang bermekaran indah itu adalah palsu. Meskipun hanya mimpi, tetapi aku merasa takut dan gemetaran saat melihat gugusan bunga higanbana beserta langit merah di sekitarnya.
(TLN: Bunga Higanbana atau Lycoris radiata dikenal sebagai bunga kematian oleh orang Jepang.)
Aku takut pada bunga merah cerah yang mekar seperti percikan api ini. Oleh karenanya, aku melarikan diri, berteriak, dan menggerakkan kakiku secepat mungkin. Aku mati-matian menggerakkan kakiku yang berat, tidak tentu arah, ke kiri atau ke kanan. Jelas, tidak akan ada yang datang menyelamatkanku karena dunia ini sendiri adalah mimpiku. Jadi, aku hanya berpasrah, membayangkan tidak akan pernah bertemu dengan siapa pun di dunia kematian ini.
Namun, aku salah. Itu adalah kekeliruan besar. Nyatanya, ada seorang gadis yang berdiri di atas bukit. Seorang gadis, dengan rambut hitam indahnya. Aku berlari mati-matian ke dasar bukit untuk menghampirinya, merasakan kelegaan dan sukacita bahwa aku tidak sendirian di dunia yang mengerikan ini. Kemudian, tatkala aku mencapainya. Aku mengenal sosok itu dan dia juga mengenaliku. Anehnya, dia sedikit berbeda dari sosok yang kukenal. Gadis yang kukenal tersebut memiliki rambut putih, bukan hitam. Dia juga tidak bisa berdiri dan mengenakan kacamata.
Kemudian, gadis itu tersenyum padaku dengan wajah yang tidak kukenal. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa tersenyum di tempat seperti ini. Hal yang jelas, aku harus melarikan diri dari tempat ini bersamanya. Aku mencoba meraih tangannya, tetapi tidak bisa. Rasanya seperti hantu atau mungkin hanya ilusi. Meskipun aku mencoba untuk bertahan, tetapi tangannya senantiasa terlepas dari genggamanku.
Aku sangat sedih dan takut. Aku mengira jika aku bisa memegang tangannya, aku bisa mengubah hasil yang tragis ini. Namun, dunia tidak mengizinkannya. Dunia tidak berbaik hati kepada kami. Melihat aku yang begitu berusaha, dia menggelengkan kepalanya dengan lembut dan tersenyum sekali lagi. Kemudian, dia mengucapkan selamat tinggal padaku dan menghilang begitu saja. Aku merasa putus asa, kecewa dengan ketidakberdayaanku. Seketika, bunga-bunga higanbana itu bertebaran di langit yang merah. Dunia pun berubah menjadi semakin merah. Aku yang sudah kehilangan harapan, hanya bisa terdiam pingsan di tempat.
Aku terbangun dengan sangat terkejut. Keringat mengucur deras di wajahku, dan napasku pun terasa sangat sesak. Kemudian, aku menyeka keringat dengan lengan bajuku, mengambil smartphone dan memeriksa jam berapa sekarang. Aku mengalami mimpi yang menakutkan. Itu adalah mimpi yang sangat menyedihkan. Bagaimanapun, aku merasa sangat tidak nyaman, seakan ada sesuatu yang buruk akan segera terjadi.
Ada dua panggilan tidak terjawab terpampang di layar smarthpone-ku. Kedua panggilan itu berasal dari Harukawa Takashi. Ketika aku hendak meneleponnya kembali, ponselku itu berdering. Ternyata, itu adalah panggilan ulang darinya. Aku pun menjawab panggilannya dan berkata, “Ada apa?”, berpura-pura tidak menyadari sesuatu. Meskipun, aku sudah menyadari tujuannya meneleponku, tetapi aku begitu pengecut dan membuatnya mengatakannya sendiri padaku. Mungkin, itulah sebabnya kami menutup mulut.
Kemudian dia memecah keheningan yang panjang dan berkata. “ ….. Natsumi Onee-san … meninggal dunia ….”
Kata-kata yang memecah keheningan itu amatlah kejam.
***
Seseorang yang seiras dengan senyumnya telah meninggal dunia. Himegi Natsumi, yang dicintai semua orang, telah meninggalkan dunia ini.
Aku berada di sekolah, sengaja memilih untuk mengikuti kelas di sekolah. Aku berbuat keributan besar di kamarku sejak pagi hari, membalikkan dan menghancurkan semua yang ada di kamarku. Entah ke mana, harus menyalurkan kemarahan yang tiada tujuan itu. Tidak tahu kepada siapa aku harus mengajukan banding atas ketidakadilan ini. Aku tidak punya pilihan selain menghantam barang-barangku, meskipun aku tahu itu memalukan. Adapun orang tuaku, mereka tidak menyalahkanku atas tindakanku. Mereka hanya memeluk aku dengan penuh kesabaran. Melihat kamarku yang berantakan, membuat hatiku semakin hampa.
Oleh karena itu, aku melarikan diri ke sekolah. Itu adalah pertama kalinya aku mencari ketenangan di tempat itu. Kanako tidak ada di sekolah, Harukawa Takashi tidak hadir, dan tentu saja Himegi Touka juga tidak datang. Wali kelas pun memberitahukan tentang duka keluarga Himegi dengan wajah tertunduk. Semua orang di sini mendengarkan kata-katanya dalam keheningan. Kemudian, seperti biasa, kelas dimulai. Ya, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Tentu saja, isi pelajaran tidak masuk ke dalam kepalaku sama sekali. Aku tahu bahwa tempat ini memang tidak memberikanku ketenangan.
Pada malam hari itu, hujan turun begitu deras seolah-olah langit menangis. Orang tuaku dan aku telah datang ke aula pemakaman untuk menghadiri upacara penghormatan bagi Himegi Natsumi. Banyak orang yang telah menghadiri upacara penghormatannya, banyak orang yang meneteskan air mata atas kematiannya. Bahkan para staf melihat foto di altar dengan sedih, dan berkata bahwa kepergiannya masih terlalu dini.
Semua orang menyesali kematiannya yang terlalu cepat. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain meratapi kenyataan yang sudah tidak memiliki harapan. Ibu Himegi terus menangis, sedangkan ayahnya hanya menundukkan kepalanya kepada orang-orang yang datang ke upacara secara bergantian, dan menyapa mereka sebagai tuan rumah. Adapun Himegi Touka, berada dalam keadaan sangat putus asa, hanya bisa memandang foto kakak perempuannya sepanjang waktu. Di sisi lain, Himegi Harune mencoba bersikap tegar, meskipun tangannya sendiri tidak berhenti gemetar. Rasanya sangat menyakitkan. Itu adalah pemandangan yang tidak sanggup kulihat secara langsung.
Jika apa yang dikatakan Touka-san benar, Ouji Hakuma di masa depan akan bisa mengatasi kesulitan ini. Namun, apakah aku memiliki kekuatan untuk menyembuhkan rasa sakit keluarga ini? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa. Rasanya memilukan, ketika tahu bahwa aku tidaklah istimewa. Hari ini, aku pun menyadari, betapa menyakitkannya ketidakberdayaan itu.
Dalam fotonya, dia memiliki rambut hitam yang indah. Rambut hitam yang tidak pernah kuketahui. Lantas, kenapa dia memakai wig dengan rambut putih? Aku tidak tahu jawabannya. Karena, orang yang harus ditanya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Inilah yang namanya kematian. Inilah perpisahan yang kekal.
Meskipun aku sudah tahu, tetap saja sulit untuk menerimanya. Aku mengingat kembali kenanganku tentang Natsumi-san. Dia adalah orang yang paling berkesan bagiku dari awal hingga akhir. Dia orang yang menyenangkan, punya senyum yang manis, orang yang lucu dan baik hati. Aku senang masa-masa di mana kami bertukar pesan melaluli smartphone. Aku sangat menikmati kenangan yang dia ceritakan tentang keluarga Himegi.
Seandainya bisa, aku ingin menemuinya saat dia sehat. Aku berharap, bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Kemudian, aku mengucapkan selamat tinggal padanya saat dia tertidur di peti matinya. Ketika memikirkannya, aku menyadari bahwa Natsumi-san selalu memikirkan orang lain. Bahkan, hingga akhir hayatnya, dia senantiasa mengutamakan keluarganya daripada dirinya sendiri. Menurutku, dia adalah orang yang luar biasa dan semua orang akan memujinya karena tindakannya. Namun, aku berharap dia mau mempriortaskan kebutuhannya sendiri, setidaknya di penghujung hidupnya.
Aku ingin Natsumi-san melihat ladang bunga matahari yang mekar dengan mata kepalanya sendiri. Itulah satu hal yang tidak dapat aku sesali, meskipun aku menginginkannya. Hanya kata 'terima kasih' yang bisa aku ucapkan untuknya.
Pada saat upacara penghormatan selesai, hujan telah berhenti. Keluargaku meninggalkan aula pemakaman, den membelakangi keluarga Himegi, yang telah kehilangan senyumnya. Tubuhku sama sekali tidak lelah, tetapi pikiranku begitu terkuras, dan itu adalah sensasi yang aneh bagiku. Oleh karena itu, aku tidur di kamarku yang masih berantakan. Tertidur lelap seperti di dalam kubangan lumpur.
***
Keesokan harinya, aku terbangun, mengerahkan seluruh kekuatanku dan menampar kedua pipiku. Tentu saja, suara tamparan keras bergema di seluruh rumah kecil itu.
“Uggggh! …. Sakiiiiiiiit!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
Namun, aku berhasil terbangun, pikiranku akhirnya kembali jernih, dan bagian bodohku telah menghilang. Sudah cukup meratapinya, hentikan sudah pemikiran yang rumit ini, dan tiada lagi yang namanya rengekan. Aku tidak tertekan lagi! Tidak ada lagi keluhan! Tidak ada lagi yang namanya melarikan diri!
Aku memang kalah kemarin, dikalahkan oleh rasa takut. Ketakutan yang membuatku tidak menjadi diriku sendiri. Aku merasakan ketidakberdayaanku. Aku menyadari bahwa aku bukanlah orang yang istimewa.
Lalu kenapa? Apa hubungannya? Persetan dengan itu!
Apa maksudku mengatakan, “terima kasih”? Itu berbeda! Sama sekali berbeda!Apa yang sudah aku janjikan pada mereka berdua? Apa yang sudah aku putuskan untuk diwarisi, dan apa yang sudah aku putuskan untuk ditanggung?
Kata-kata yang harus aku ucapkan pada Natsumi-san bukanlah rengekan lemah seperti 'terima kasih'. Kata-kata yang harusnya aku ucapkan padanya adalah 'Jangan khawatir' dan 'Serahkan semuanya padaku!'.
Itulah yang akan kukatakan pada Natsumi-san hari ini. Aku harus mengatakannya. Kalau tidak, aku tidak punya wajah untuk ditunjukkan padanya nanti. Aku harus meyakinkannya dan mengantar kepergiannya dengan tenang. Itulah harga dan tanggung jawab yang harus aku tanggung karena mengetahui sedikit tentang masa depan. Aku sudah tidak takut lagi! Aku akan melakukan apa yang harus aku lakukan.
Setelah membulatkan tekad itu, aku menampar pipiku sekali lagi dengan sekuat tenaga. Suara tamparan yang keras bergema di seluruh rumah kecil itu. Aku yakin kedua pipiku akan bengkak dan berwarna merah padam. Namun, tidak apa-apa, karena itu menyadarkanku sepenuhnya.
“Ououou. Semangatmu kembali membara pagi ini.”
Ayahku berdiri di depan pintu dan menatapku dengan tangannya yang terlipat.
“Aku akhirnya mengerti apa yang harus aku lakukan,” kataku.
“Ya, baiklah. Wajahmu terlihat lebih baik … dan kamu sudah kelihatan bertambah dewasa.” Ayahku terkekeh.
Aku juga tertawa kecil.
“Aku akan mengucapkan salam perpisahan untuk kedua kalinya.”
Orang tuaku ada urusan yang harus mereka kerjakan, jadi hanya aku yang menghadiri upacara pemakaman dan perpisahan hari ini.
“Ya, aku tahu kamu bisa mengatasinya sekarang.”
“Aku akan berganti pakaian dan pergi.”
Tiba-tiba smartphone-ku berdering. Sepertinya, ada seseroang yang meneleponku.
“Kanako?” gumamku.
Layar ponsel menampilkan nama 'Kanako Chibi’ dan aku mengetuk layarnya untuk menjawab panggilan itu.
“Ada ap—?”
“I-Ini darurat! Ini sangat darurat!” dia langsung menyelaku.
Kanako sangat panik dan aku bisa tahu dari suaranya yang memecah ke dalam smartphone-ku. Samar-samar juga, aku bisa mendengar Harune-chan yang menangis. Sepertinya, keluarga Himegi ada di dekatnya.
“Ada masalah apa?”
“Himegi-san mengunci diri di kamarnya. Dia tidak mau keluar dari kamarnya!”
Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku tidak terkejut mendengar kata-kata itu.
“Kanako, aku ingin kamu memberitahu keluarga Himegi,” jawabku serius.
“Beritahu mereka apa?”
“Aku yang akan mengurusnya.”
“T-Tunggu! Apa yang mau kamu lakukan, sih? Ini—”
Aku menutup telepon. Kemudian, aku mengambil kendali smartphone-ku dan mengetuk aplikasi penyimpanan foto. Di sana, ada seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin dan seorang wanita yang mengenakan pakaian rumah sakit. Dua orang yang pakaiannya bertolak berlakang itu, tersenyum bahagia. Aku sudah berjanji. Aku berjanji kepada dua orang yang sudah tidak ada di dunia ini, janji yang tidak bisa aku ingkari.
“Ayah, ada permintaan yang ingin aku sampaikan.”
Aku tidak akan membiarkannya berakhir seperti ini.
***
Kerumunan orang berkumpul di depan kamar Himegi-san. Semua orang tidak mengenakan pakaian biasa, melainkan pakaian berkabung. Harune-chan menangis. Gadis yang selama ini tersenyum bak malaikat tidak peduli betapa sakitnya, sekarang dia meneteskan air mata.
“Dasar bodoh …. Jangan membuat adik kecilmu menangis ….” Kataku dalam hati
Sementara itu, pria yang merupakan tuan rumah itu menggedor-gedor pintu, mencoba membujuk putrinya yang mungkin ada di dalam sana. Wajah ayah Himegi terlihat sangat cemas, mungkin tidak mengira bahwa putrinya akan mengurung diri di dalam kamarnya. Kemudian sang tuan rumah berhenti dan merosot ke lantai.
Aku memang tidak menyukainya, tetapi aku sangat menghormati pria ini karena masih bertindak sebagai kepala keluarga yang tegar meski telah kehilangan putrinya yang sangat berharga. Aku diperlihatkan kekuatan pria ini yang mencoba memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang dewasa. Namun, sekarang dia jatuh tersungkur, dan menangis dengan hatinya yang hancur. Kalau terus begini, semua orang di sini akan bubar dan aku tidak akan punya wajah untuk ditunjukkan pada Natsumi-san.
Aku menghampiri Kanako, yang masih ragu-ragu, dan meletakkan tanganku dengan lembut di bahunya.
“Kalian pergilah ke aula pemakaman dulu. Aku akan memastikan membawanya bersamaku.”
Semua orang di ruangan itu menoleh ke arahku sekaligus.
“Kamu mau melakukan apa? Pintunya terkunci, tahu?!”
“Aku akan memikirkan sesuatu,” kataku.
Lalu, aku menghampiri pria yang terperosot di lantai di depan pintu dan berkata, “Maukah kamu membiarkan aku mengurusnya?”
Ayah Himegi berdiri dan menatapku seolah-olah dia baru saja bertemu dengan musuh orang tuanya. Sebaliknya, aku balas menatapnya tanpa memalingkan muka. Kemudian ayah Himegi menoleh dan berkata, “Maaf. Tolong bawa putriku.”
Pria itu membungkuk dengan penuh kesungguhan. Dia menundukkan kepalanya yang sebelumnya tidak pernah dia turunkan. Kemudian, aku berlutut di depan Harune-chan, yang sedang menangis, dan berkata, “Semuanya akan baik-baik saja.”
Aku berkata dengan semua kekuatan yang bisa aku kumpulkan dan mengelus pelan kepala Harune-chan.
“Kumohon. Tolong bawa Touka-Nee.”
“Ya, aku janji.”
Kemudian semua orang di sini pergi ke aula pemakaman, percaya bahwa aku akan membawanya pergi ke sana.
“Yosh, mari kita mulai.”
Aku mengeluarkan peniti dari saku dan menancapkannya di lubang kunci pintu.
“Oke, sudah terbuka!”
Dalam hitungan detik, aku berhasil membuka pintunya. Mungkin aku seharusnya lebih cocok untuk menjadi seorang pencuri dibandingkan pesulap. Akan tetapi, ini bukan waktunya untuk membual. Kemudian, aku membuka pintu dan masuk ke kamarnya Himegi-san.
Saat memasuki kamarnya, aku melihatnya duduk di tempat tidurnya dengan mengenakan pakaian berkabung. Kemudian, Himegi-san memelototiku dan melemparkan sebuah boneka ke arahku. Namun, aku berhasil menghindarinya.
“Sungguh tidak terduga, ya ….”
Kamar Himegi-san berantakan. Dia mungkin mengamuk seperti aku. Di sisi lain, dia memelototiku, tetapi aku mengabaikan tatapan tajamnya. Lalu, tanpa meminta izin, aku duduk di sebelahnya. Kami pun duduk bersebelahan. Kemudian dia menjauh dariku dengan jarak seukuran kepalan tangan. Yah, itu membuat perasaanku terluka. Aku yang merasa kesal, bergerak mendekatinya untuk menutupi jarak yang renggang. Kali ini dia menjauh dua kepalan tangan dariku dan membuat perasaanku lebih terluka.
“Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan pernah pergi! Aku tidak ingin melihat Nee-san menjadi tulang belulang!”
Sama, aku juga tidak ingin melihatnya. Aku tidak ingin melihat wanita cantik itu menjadi tulang belulang di depan mataku. Namun, kita memiliki kewajiban untuk melihatnya. Kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
“Aah. Baiklah. Aku mengerti.”
“Kalau begitu ....”
“Kalau begitu aku akan tinggal di sini bersamamu.”
“—Eh?”
Aku melakukan banyak simulasi sebelum sampai di sini. Bagaimana aku bisa meyakinkan wanita keras kepala ini? Aku menggunakan semua akalku, semua kekuatan otakku, untuk memikirkan semuanya. Membawanya secara paksa, akan bertentangan dengan prinsipku dan kuyakin itu akan meninggalkan dendam. Jadi, aku berpikir untuk mencoba meyakinkannya secara langsung, tetapi aku segera menyadari bahwa hal itu tidaklah mungkin. Bagaimanapun juga, gadis ini adalah putri yang sangat egois.
Dia tidak akan terbujuk oleh upaya yang setengah-setengah. Dia adalah gadis keras kepala yang tidak akan bergeming begitu dia sudah mengambil keputusan. Aku telah tinggal bersamanya selama sebulan terakhir, dan aku semakin memahaminya. Itulah jawaban yang aku dapatkan, satu-satunya cara untuk meyakinkannya. Ini adalah sebuah pertaruhan. Sebuah langkah putus asa. Di mana jika aku gagal, maka aku akan berhenti memikirkannya.
Namun, aku yakin dengan hal ini. Aku yakin jika aku memainkan kartu ini, dia akan menyerah padaku. Setelah tinggal bersamanya selama sebulan terakhir, aku merasa aku mengenalnya dengan baik. Aku tahu dia tidak akan meninggalkanku dan tidak akan menyalahkan diriku. Aku yakin orang yang membuatku jatuh cinta bukanlah gadis yang tidak berperasaan.
“A-Aku memang tidak akan pergi, t-tapi kamu harus tetap pergi.”
Dia berkata dengan mulut bergetar, jelas-jelas menunjukkan kemarahannya. Ternyata, ini adalah cara yang benar.
“Tidak, jika kamu tidak pergi, aku juga tidak akan pergi.” Aku menjawabnya dengan tegas sambil menatap matanya yang bengkak. “Aku akan menegaskan, jika kamu menghabiskan sisa hari ini dengan cara yang konyol di sini, kamu akan menyesalinya. Waktu tidak akan bisa diputar kembali. Ketika kamu menyesalinya, maka itu sudah terlambat,” lanjutku.
“Tentang itu …”
“Maka, aku akan menjadi bagian dari kekonyolan itu bersamamu.”
“Kenapa?”
“Lebih baik memiliki kaki tangan daripada menanggung rasa bersalah sendirian, kan? Setidaknya, rasa bersalahmu akan terbagi dua. Aku akan menanggung setengah dari beban itu.”
“I-Itu bukanlah beban yang bisa dibagi menjadi setengahnya!”“
Kamu benar. Malahan beban rasa bersalahnya akan menjadi dua kali lipat. Selanjutnya, dia akan harus menanggung dosa-dosa kebodohannya sekaligus dengan bebanku. Pada dasarnya, dia akan sangat menyesal karena aku tidak datang ke pemakaman kakak perempuannya. Tidak hanya penyesalan dirinya sendiri, dia juga akan terus menanggung penyesalan karena aku tidak pergi. Dia langsung mengerti dan segera membayangkan bagaimana hidupnya setelah itu.
Ya, ini bukanlah bujukan, ini semacam ancaman. Dalam beberapa aspek, ini lebih buruk daripada memaksanya pergi. Bagaimanapun, aku telah memberinya hak untuk hidup dan mati, tidak ada cara yang lebih kejam daripada hal itu. Meskipun, aku berpikir cara ini jauh lebih efektif daripada mengikatnya dengan tali dan membawanya. Jika memungkinkan, aku ingin dia melakukan perlawanan.
“Sudah agak terlambat sih, tapi ayo kita sarapan. Aku lapar sekali, karena belum makan sejak kemarin pagi. Sudah terdengar suara peko-peko no peko-chan, dah.”
Aku bangkit dari tempat tidurku. Sejujurnya, aku tidak punya waktu untuk sarapan karena Natsumi-san sendiri akan dikremasi saat aku sedang melakukan itu. Jadi, aku benar-benar tidak ingin menyia-nyiakan setiap menitnya. Namun, aku menyembunyikan kepanikanku dan mengajaknya sarapan dengan nada bicara yang seperti biasa.
“Kamu pengecut! Dasar curang! Dan apa-apaan suara peko-peko-chan itu, hah? Itu tidak lucu! Dasar menjijikkan!”
Dia juga bangkit dari tempat tidur, lalu memelototi aku dengan tatapan yang tajam.
“............”
Aku akui, aku tidak menduganya. Aku telah memperhitungkan bahwa dia akan menangis pada titik ini dan datang ke pemakaman. Ternyata, dia jauh lebih keras kepala daripada yang kukira. Aku tidak menyangka dia akan memainkan kartu as “Tiba-tiba marah”-nya. Aku tidak punya pilihan lain, aku akan melawannya langsung. Aku akan membayar kontan pertarungan itu. Aku akan menghancurkan kartu yang dia mainkan dengan sangat putus asa itu sampai berkeping-keping!
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha …. Semua pesulap itu curang dan pengecut!”
“Pesulap? Kamu bukan seorang profesional, jangan bicara seperti itu! Itu sebabnya kamu tidak populer! Itu sebabnya kamu tidak populer! Itu sebabnya aku menolakmu!”
“Ugh! Kamu benar-benar memiliki kepribadian yang buruk.”
“Sama saja denganmu, kan!? Kamu benar-benar Pangeran yang Malang!”
“Jika aku adalah Pangeran yang Malang, maka kamu juga Putri yang Malang!”
“—Dasar Pangeran idiot! Pangeran Goblok! Pangeran Tolol! Pangeran yang Mengecewakan!”
“Kamu Putri yang egois! Putri yang keras kepala! Putri yang Pemalas! Putri yang Kikuk!”
“—Kamu Pangeran yang tidak berguna! Pangeran Otaku! Pangeran Chibi! Pangeran Bejat!”
“—Kamu Putri Pengecut! Putri Bobrok Moral! Dasar Jalang, a-duh!”
Di akhir penghinaanku, Putri Bobrok Moral itu menendang tulang kering kananku dengan sangat kuat. Rasanya sangat sakit! Dia benar-benar menendang kakiku tanpa ragu-ragu! Aku melompat-lompat di tempat karena terlalu sakit.
“Siapa yang bobrok moral, hah? Dan aku bukan jalang, dasar sialan!”
“Tidak, kekerasan tidak diperbolehkan!”
Bagaimanapun, karena dialah yang menyerangku pertama kali, maka aku akan menyebut pertengkaran ini sebagai kemenangan bagiku.
“Ayo kita pergi! Aku tahu kamu ingin aku pergi!”
“Harusnya bilang begitu dari awal!”
Dia benar-benar menyebalkan. Orang yang akan menjadi suaminya pasti akan kerepotan.
“Kau benar-benar banyak bicara ya, Dasar Pangeran yang Malang.”
“Kita sama saja, kan.”
“Haha ….”
“Ahahahah ….”
“Hahahaha ….”
“Ha ha ha ha ….”
Kemudian, kami saling menunjuk dan tertawa terbahak-bahak. Itu adalah pertama kalinya aku dan pacarku bertengkar. Untuk pertama kalinya kami mengatakan apa yang kami inginkan, pertama kalinya kami saling berhadapan, dan juga pertama kalinya kami saling memahami isi hati kami. Jadi, sekarang kami harus melihat ke arah yang sama. Ya, daripada saling berhadapan, kami harus melihat ke arah yang harus dituju.
“Jangan khawatir, aku akan selalu ada di sini untukmu.”
Sekarang kami sudah bersama, dan aku yakin kami bisa berbagi rasa takut.
“Janji, ya. Aku tidak akan memaafkanmu jika kamu mengingkarinya.”
Aku menggenggam tangannya yang lembut dengan erat, yang dia balas juga dengan hal yang serupa.
“Ayo kita pergi. Kita bisa mengadakan pesta pernikahan sebanyak yang kita mau, tapi kita hanya bisa menghadiri upacara pemakaman satu kali.”
Kami berlari secepat mungkin menuju taman dan sesampainya kami di sana,
“Eh? Bukankah ada taksi atau sesuatu yang menunggumu?”
Himegi-san terkejut melihat apa yang aku bawa.
“Aku tidak punya uang sebanyak itu. Jadi, aku meminjamnya dari ayahku ....”
“Jadi kamu meminjamnya?”
“Dia membelikannya untukku, sih. Aku membayar cicilan 5.000 yen per bulan selama 60 kali pembayaran. Bisa dibilang aku mendapat pinjaman dari keluarga Ouji ….”
Menurutku, sudah menjadi kewajiban seorang ayah untuk bersedia membantu anaknya pada saat dia membutuhkan. Namun, dia menjualnya kepada anaknya dengan harga tinggi. Itulah sebabnya, kenapa aku tidak menyukai pedagang yang miskin.
“Artinya, ini sepeda motormu? Kamu punya semacam kerumitan tentang namamu, kan?”
“Asal tahu saja, aku tidak memilih sepeda motor ini hanya untuk terlihat keren. Ini atas nama ayahku, dan ini satu-satunya motor yang bisa langsung kugunakan.”
Awalnya, ini bukanlah sepeda motor yang dijual di toko, tetapi sepeda motor hobi yang diperoleh ayahku untuk dikendarai sebagai sepeda motor kedua.
“Hmm, ini bagus. Aku menyukainya,” kata Himegi-san sambil menyentuh tangki sepeda motor dengan lembut.
“Kamu benar-benar seperti pangeran yang menunggangi kuda putih, ya?”
Sepeda motor yang kubeli dari ayahku berwarna putih bersih, tanpa noda karat. Aku tidak tahu apa namanya, tetapi ada lambang kuda di tangkinya. Bisa dibilang, ini adalah kuda putih. Ya, kuda besi putih.
“Jadi, kamu bisa mengendarainya?”
Himegi-san menatapku dengan tatapan curiga, mempertanyakan kemampuan berkendaraku.
“Aku bisa. Sudah lama sekali aku tidak membawanya, tapi tidak perlu khawatir.”
“Sungguh?”
“Himegi-san, terlepas dari penampilanku, aku lebih mahir mengendarai sepeda motor daripada melakukan trik sulap. Jika kamu berpikir aku berbohong, datanglah ke tokoku kapan-kapan. Karena ada piala dan medali yang dipajang di sana ….”
Aku sangat bangga akan hal itu, tetapi aku memiliki rekor tidak terkalahkan dalam kelas Junior Road Race dan aku telah sering muncul di dalam majalah.
“Eh, begitu, ya?”
Apa? Dia sama sekali tidak terkejut? Apa dia serius tidak tertarik dengan masa laluku? Namun, lupakan saja. Hal yang lebih penting adalah kami harus segera menuju ke tempat pemakaman.
“Aku akan berkendara dengan aman, jangan khawatir.”
“Ya. Baiklah.”
Selanjutnya, kami mengendarai kuda besi putih ini ke tempat pemakaman dan berhasil bertemu dan melihat Natsumi-san sebelum dikremasi, tepat pada waktunya. Seperti yang telah dijanjikan, aku tetap berada di sampingnya. Kami menangis bersama. Melihat tubuhnya tinggal tulang belulang, aku langsung terjatuh di tempat dan menangis sejadi-jadinya. Dengan begitu, kami mengucapkan salam perpisahan kepada Himegi Natsumi selamanya.
Aku bersumpah dan kembali berjanji padanya.
—Natsumi-san, aku yakin kami akan menghadapi banyak kesulitan, berbagai kegagalan, dan berkali-kali putus asa di masa depan.
Setiap kali, aku mengutuk kelemahan dan meratapi ketidakberdayaanku, aku tetap tidak akan melarikan diri. Aku sudah memutuskan bahwa aku tidak akan pernah berpaling. Aku akan meneruskan perasaanmu ... atau lebih tepatnya, kami semua di sini akan meneruskan perasaanmu. Orang-orang yang kamu cintai juga akan mewarisi hal itu. Oleh karena itu, perasaanmu tidak akan menghilang dan tidak akan lenyap begitu saja. Jangan khawatir, beristirahatlah dengan tenang.
Selamat tinggal, orang yang kami cintai. Selamat tinggal, orang yang mencintai kami.
Selamat tinggal—Kakak iparku.
TL: Zho (YouthTL)
Post a Comment