NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Interlude

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Interlude – Di Antara Tirai

Hidup hanyalah cara menghabiskan waktu sampai mati.

Ketika aku mengetahui kata-kata itu, aku merasa dikuatkan.

Karena aku selalu merasa bosan.

Di rumahku, hampir tidak pernah ada orang.

Hari-hari biasa, makan siangku adalah bento dari toko.

Akhir pekan, hanya ada uang yang diletakkan di atas meja untuk makan. Hidup seperti itu sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun sejak aku bisa mengingat.

Rumah tanpa orang tua adalah hal yang biasa bagiku.

Untungnya, di SMP ada makan siang dari sekolah. Kalau tidak ada, mungkin uang di atas meja hanya akan lebih banyak.

Tentu saja, aku tetap bersyukur karena tidak harus kelaparan.

Aku harus bersyukur, karena kalau tidak, aku tidak bisa bertahan hidup.

Aku yang diberi jaminan hidup setiap hari ini, tidak memiliki cara untuk keluar dari kehidupan seperti ini.

Dan aku juga tidak punya semangat juang untuk berusaha keluar dari kondisi ini.

Meskipun begitu, aku masih punya pola pikir yang menginginkan hidup yang lebih bermakna setiap hari.

Karena itu, pikiran ini selalu berputar di kepalaku:

—Setiap hari terasa membosankan.

Bahkan setelah masuk SMP, perasaan itu tidak berubah.

Kami hanya berganti pakaian ke seragam, tapi kepribadian semua orang jadi makin menghilang, dan aku makin kehilangan ketertarikan.

Ada yang mencoba melanggar aturan dengan membuka kancing baju sampai bawah, tapi justru terlihat menyedihkan.

Aku sadar akan hal itu.

Aku punya kepribadian yang menyebalkan.

Padahal aku bisa saja cuek pada orang lain, tapi bahkan orang yang tidak akrab pun bisa mengganggu emosiku.

Salah satu alasannya, mereka yang datang lebih dulu padaku.

“Hei, kamu kan pacaran sama Sato? Kalian udah ngelakuin ‘itu’ belum?”

“Dia kayak gimana sih rasanya?”

Cowok-cowok yang menyatakan perasaan padaku sering kali salah paham.

Karena mereka orang yang populer, karena mereka merasa hidup mereka berjalan lancar, karena mereka punya banyak teman, mereka pikir pengakuan cinta mereka adalah sesuatu yang berharga.

Mereka pikir, kalau pengakuan mereka ditolak, itu tidak akan jadi beban buatku.

Jauh dari itu.

Justru karena mereka populer, semuanya jadi merepotkan.

Kalau aku menolak mereka dengan cara yang terlalu lembut, mereka tidak akan menyerah.

Karena mereka percaya diri, mereka akan berpikir, "Mungkin kalau aku tunggu waktu yang tepat, bisa berhasil", atau "Mungkin setelah dia sadar aku suka dia, bisa berhasil", dan terus-terusan menyatakan perasaan.

Artinya, kerugian datang bertubi-tubi.

Karena itu, kalau aku ditaksir oleh tipe cowok yang populer, aku akan menolaknya dengan sangat tegas agar hal seperti itu tidak terjadi lagi.

Kalau hanya tegas, mereka masih bisa mengingatnya di hati. Jadi aku akan menolak dengan cara agar mereka tidak pernah mau mendekatiku lagi.

Dengan begitu, meskipun kami tidak pernah pacaran, dan aku cuma tiba-tiba ditaksir, aku tidak perlu dipikirin terus-terusan.

Tentu saja aku akan dibenci, dan karena itu juga aku sering dijadikan bahan gosip buruk.

Tapi aku harus rela melakukan itu, karena mereka adalah orang-orang populer.

Sebaliknya, cowok-cowok yang sendirian sangat berbeda.

Kalau pengakuan mereka gagal, bisa saja mereka jadi bahan tertawaan.

Mereka mungkin takut aku akan menyebarkan gosip soal pengakuan cinta mereka.

Namun mereka tetap menelan semua ketakutan itu dan mengungkapkan perasaan mereka.

Itu sangat keren. Sangat menggugah. Sangat menarik.

Kepada orang seperti itu, setidaknya aku akan berusaha agar tidak menyakiti mereka.

Kalau pengakuannya gagal, aku tidak pernah mengalami kerugian apa pun.

“Katanya kamu ditaksir sama si Sasayama si anak cupu? Kasihan banget, jadi cewek murahan deh.”

Komentar atau label yang tidak nyambung seperti itu tidak pernah menggangguku.

Karena aku yakin, mataku tidak salah dalam menilai seseorang. Justru aku merasa senang.

Terkadang, orang-orang yang disebut anak cupu itu pun mencoba mendekatiku.

Tapi saat aku menyadari kalau itu pendekatan, mereka sudah menghilang entah ke mana, atau sikap mereka jadi memaksa dan egois.

Sebaliknya, kalau mereka sampai masuk ke kelompokku hanya untuk mendekatiku, hubungan sosial jadi rumit dan menyusahkan.

Padahal aku masuk ke kelompok itu hanya untuk mengusir rasa bosan. Kalau jadi ribet, aku tidak mau lagi.

Artinya, tidak ada orang yang pas.

Namun, meskipun aku seperti itu, suatu hari aku merasa tertarik.

Di meja lesku, ada balasan dari seseorang.

Aku hanya menuliskan "Bosan" sebagai keluhan atas keseharian yang monoton.

Lalu, seseorang membalas dengan "Aku juga".

"…Eh?"

Sepertinya, itu tulisan tangan seorang cowok.

Bukan tulisan yang bergaya, tapi tulisan yang sedikit berantakan, seperti ditulis dengan pensil mekanik mengikuti arus hati.

—Orang aneh.

Begitu pikirku, tapi karena rasa penasaran, aku membalas.

Tak lama kemudian, komunikasi kami berkembang menjadi percakapan lewat tulisan.

Di zaman sekarang, berkomunikasi tanpa media sosial itu langka.

Kami bahkan tidak tahu wajah atau nama masing-masing, tapi aku merasa diperhatikan. Itu membuatku bersemangat.

Kehangatan dalam hubungan antar manusia yang tidak bisa kurasakan di SMP, justru ada di meja dingin itu.

Kebetulan aku mengikuti les di luar wilayah sekolahku, dan berkat itu, untuk pertama kalinya aku merasa seperti punya teman sejati.

"Kamu Yoshiki, kan?"

Saat akhirnya bertemu langsung, aku tidak yakin apakah dia keren atau tidak.

Tapi dia sangat jago bermain handball, dan bahkan dari sudut pandangku yang tidak tahu banyak, gerakannya sangat mencolok.

Biasanya, kalau aku tidak tertarik pada seseorang, aku tidak akan mengingat bagaimana dia bergerak. Bahkan gerakan beberapa detik yang lalu pun tidak terekam dalam ingatan, dan dalam sepuluh detik, aku tidak tahu siapa ada di mana, dan tiba-tiba aku malah melihat ke langit.

Tapi gerakannya membuatku tidak merasa bosan sedetik pun.

Saat menonton pertandingannya, aku berpikir, aku ingin lebih dekat dengannya.

Kami mulai menyelaraskan waktu belajar di les, dan pulang bersama.

Awalnya, aku juga sempat waspada.

Takut dia akan langsung menyatakan cinta.

Kalau sampai ditaksir saat kami mulai merasa cocok, aku akan sangat kecewa.

Hubungan cinta seharusnya datang setelah menjadi teman sebagai sesama manusia.

Cowok yang mendekat sejak awal demi cinta biasanya punya maksud yang menjijikkan.

Aku mungkin kesepian.

Tapi aku tidak begitu lapar sampai harus bergantung pada hubungan yang lahir dari hasrat seksual.

“Aku tuh nggak begitu tertarik sama orang lain.”

“...Oh ya?”

Dari ucapannya itu, aku bisa menebak sesuatu.

Orang ini, mungkin...

Bukan ingin mendekatiku, tapi hanya merasa kesepian.

Mungkin, dia bukan tidak tertarik pada orang.

Hanya saja, sekarang dia berada di lingkungan yang membuatnya tidak bisa tertarik. Itu hanyalah bentuk pertahanan diri terhadap kenyataan.

Tapi aku paham.

“Aku juga sama seperti kamu.”

“Eh? Jadi kamu juga gitu, Hanazono?”

“Iya. Aku juga.”

Seperti kamu, aku berpura-pura tidak tertarik pada orang lain.

Kalau benar-benar tidak tertarik, kamu tidak akan melanjutkan komunikasi lewat tulisan.

Kamu sedang memaksakan diri.

Sosoknya membuatku teringat pada diriku di masa lalu.

Karena itu, aku...


Saat aku membuka mata, langit-langit kamar yang biasa menatapku dari atas.

“...Mimpi yang aneh.”

Dua bulan telah berlalu sejak masuk SMA.

Cowok yang menarik perhatianku secara alami menjadi pacarku.

Ya, secara alami.

Hidupku belum banyak berubah.

Tapi, ada sedikit harapan.

Orang yang bisa mengajakku keluar dari kehidupan membosankan ini adalah orang yang juga bosan dengan kehidupan yang sama.

Awalnya kupikir, di SMA pun aku akan kembali menghindari para cowok. Tapi ini di luar dugaan.

Yoshiki Ryouta.

Orang yang menyukaiku.

Orang yang mungkin bisa kucintai.

Kalau aku melewatkan dia, kurasa aku tidak akan jatuh cinta untuk waktu yang lama.

Aku tidak akan bilang, “Tolong tarik aku keluar dari kehidupan membosankan ini.”

Kalau aku hanya menunggu, aku tidak akan pernah berubah.

Karena itu, aku juga akan berusaha.

Agar aku tidak putus asa pada hidup, agar aku bisa menjalani hidup dengan bahagia mulai sekarang.

Demi diriku sendiri, aku akan berusaha.

Meskipun perempuan-perempuan di sekitarmu bukan tipe orang yang kusukai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close