NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Chapter 5

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 5 – Karena Demam

Sesaat sebelum bangun, entah kenapa aku menyadari bahwa aku akan segera terjaga.

Saat mencoba membuka mata, tubuhku terasa sangat berat.

Bagian belakang kepalaku seolah-olah tertempel di bantal dan bahkan napasku terdengar lebih keras dari biasanya.

Sudah lama aku tidak merasakan hal seperti ini.

Saat SMP, aku menyatakan perasaan ke Seto dan Miyabi, lalu gagal dan akhirnya terasingkan.

Selama beberapa bulan sebelum diselamatkan oleh Yuzuha, aku bahkan makan di toilet.

Saat itu, pergi ke sekolah terasa menyiksa dan tubuhku menjerit. Aku tidak mau pergi. Kalau pergi, aku akan ditertawakan. Dan ketika aku mulai terbiasa dengan semua itu, tiba-tiba tubuhku tak bisa bergerak.

…Rasanya mirip dengan sekarang.

Tapi—

Di tengah kesadaran yang samar, seseorang menolak pikiran itu.

──Itu beda dengan waktu itu, kan.

Seseorang menarikku keluar dari alam bawah sadar.

Saat membuka mata, langit-langit kamar yang biasa kulihat menyambutku dari atas.


“Ugh…”

Dengan menyeret tubuh yang terasa jauh lebih berat dari biasanya, aku turun ke lantai satu.

Sepertinya kedua orang tuaku sudah berangkat kerja, karena ruang tamu kosong.

Ketika aku menoleh ke arah kamar mandi, aku melihat adikku yang sedang mengenakan seragam sekolah sedang mengeriting rambut dengan catokan.

Begitu Seira menyadari kehadiranku, dia melepaskan catokan dari rambutnya yang melengkung dan berkata,

“Eh? Onii, hari ini kesiangan ya? Baru mulai bersiap sekarang? Kayaknya nekat banget deh.”

“Ah… ya, asal nggak sarapan aja mungkin masih sempat…”

Hari ini aku berencana berangkat ke sekolah bersama Hanazono.

Setelah pelajaran renang selesai dan beberapa saat berlalu, dia tiba-tiba mengajakku.

Makanya aku nggak boleh telat.

Mengorbankan sarapan sih sudah sewajarnya.

“Hmm, ya udah, terserah deh. Tapi aku hari ini ada tes dari pagi, nyebelin banget.”

Seira mematikan catokan lalu berbalik menghadapku.

Lalu matanya membelalak seperti terkejut.

“Tunggu, Onii demam ya?”

“Eh?”

“Muka kamu merah banget. Udah cek suhu? Itu pasti demam.”

“Nggak tahu sih… tapi kalau bolos sekolah malah makin susah masuk lagi. Kalau tahu aku demam, aku malah makin nggak bakal kuat bangun. Jadi aku coba aja dulu masuk.”

“Ah, iya ya. Dulu juga kamu pernah seminggu bolos kan? Tapi tetep aja, masuk sekolah sambil sakit malah nyusahin orang lain. Mending tidur deh! Atau nggak, harus tidur!”

…Memang, kalau tahu bakal nularin flu ke orang lain, tetap nekat ke sekolah itu justru nyusahin.

Lebih buruk lagi kalau aku menularkan flu ini ke Hanazono daripada sekadar membatalkan janji. Itu malah gagal jadi pacar yang baik.

Fakta bahwa Seira sekarang bisa mikir sejauh itu, sebagai kakak, aku merasa senang.

Saat aku berniat menggoda dia sedikit sebagai balasan atas logika benarnya itu, pandanganku tiba-tiba berputar.

Suara Seira terdengar semakin jauh, dan tahu-tahu aku sudah jatuh ke lantai seperti sedang menjilatnya.

“Eh!? Onii!? Kamu pingsan!? Ini parah banget!”

“…Kamu kan ada tes, pergi aja. Aku nggak papa.”

“Nggak mungkin nggak papa dong! Masih bisa ngomong malah! Tunggu di sini, aku panggil seseorang!”

…Kata-katanya kasar juga ya.

Tapi, punya adik yang biasanya galak jadi khawatir itu nggak buruk juga.

Dengan pikiran itu, aku pun menyerahkan kesadaranku.


“...Nn.”

Saat membuka mata, aku sudah dipindahkan ke karpet ruang tamu.

...Ngomong-ngomong, aku sempat merasa diguling-gulingkan oleh seseorang tadi.

Memindahkan cowok yang lagi tidur dari lantai dua itu susah, jadi ini mungkin solusi terbaik.

“Kamu udah bangun?”

“Mm, udah bangun…”

Secara refleks aku menjawab dan menoleh ke arah suara.

Remi sedang menatapku dengan ekspresi campur aduk antara khawatir dan jengkel.

Tangan Remi mendekati wajahku.

“Uwah!?”

Saat aku buru-buru bangkit, selimut yang menutup tubuhku melorot.

…Ternyata dia menutupiku tadi.

Aku menatap Remi yang duduk kembali di sofa, lalu berkata dengan suara kering,

“…Remi, kenapa kamu di sini?”

“Seira-chan nelepon aku. Dia khawatir jadi minta aku cek. Katanya kamu juga sempat membentur kepala, ya?”

Aku nggak begitu ingat, tapi kepalaku memang terasa nyut-nyutan.

Kalau begitu, diguling-gulingkan tadi bisa dibilang lumayan berbahaya.

…Ya sudahlah, toh pada akhirnya nggak apa-apa. Dan sudah jelas Remi repot karena aku.

Sambil memegangi bagian yang sakit, aku pun berkata,

“Oh begitu. Maaf ya, jadi merepotkan.”

“Kenapa minta maaf?”

“Ya, karena bikin kamu repot. Bantal dan selimut juga pasti kamu yang bawa, kan?”

Aku mengambil bantal dengan tanganku dan duduk di atasnya.

Lumayan buat jadi alas duduk.

“...Maaf, bukan aku. Itu Seira-chan yang bawain. Aku nggak bisa masuk ke kamarnya Ryouta lagi, kan.”

“Seira? Padahal dia nyaris telat ya.”

──Dan, sebenarnya kamu masih bisa masuk ke kamarku juga sih.

Aku ingin menambahkan itu, tapi aku tahan.

Toh waktu itu kita sepakat kalau itu yang terakhir, jadi aneh kalau aku yang mulai lagi.

Lagipula, membawa seseorang ke rumah sendiri itu juga udah termasuk hal yang seharusnya nggak dilakukan.

…Tapi aku kan pingsan, jadi harusnya bisa dikecualikan?

Saat aku bingung mencari jawaban, jam dinding menunjukkan pukul sembilan.

Kalau aku keluar sekarang pun, tetap aja bakal telat 40 menit.

“Wah, ini sih udah telat parah!”

Saat aku mengeluh tanpa sadar, Remi menggelengkan kepala dengan kesal.

“Denger ya, Ryouta itu bukan telat. Ryouta itu libur.”

“Ugh… jadi harusnya begitu?”

“Jelaslah, kamu sampai pingsan, lho. Aku mau berangkat sekarang, kamu masih ada makanan, kan?”

“Enggak.”

“Jangan bohong. Gak mungkin ibunya Ryouta sampai membiarkan kulkas kosong.”

…Ngomong-ngomong, dulu waktu Remi datang ke rumah, ibu sering masak kebanyakan ya.

“Maksudku, makanan untuk orang sakit kayak bubur atau jelly gitu nggak ada. Di rice cooker ada nasi sisa kemarin sih, tapi aku nggak semangat buat masak sendiri.”

Saat bicara, aku merasa kepala mulai terasa hangat.

“Hmm, daripada makan, aku mending tidur aja.”

“Tidak boleh.”

Remi menegur dengan tegas.

“Kalau kayak gitu, sakitmu malah nggak sembuh. Lagi pula, obat gimana?”

“Itu bisa diatur. Ibuku juga tipe yang agak asal soal begituan—”

“Ya udah, aku minta izin langsung aja ke ibumu. Tunggu sebentar, aku masakin sesuatu.”

Setelah bilang begitu, Remi mengambil ponsel dari sakunya.

Setelah scroll sebentar, dia menempelkannya ke telinga. Sepertinya benar-benar nelepon.

Ketika sudut bibir Remi sedikit terangkat, terdengar suara ibu dari seberang telepon.

“Ah, Ibu. Ini Remi, terima kasih banyak untuk yang kemarin. Ya, sangat menyenangkan. Tidak, tidak sama sekali. Nanti waktu saya berkunjung lagi, saya akan bawa oleh-oleh yang Ibu suka.”

…Cara dia mengucapkan terima kasih terasa dewasa. Tapi memang dari dulu dia selalu sopan.

Aku sendiri nggak yakin bisa bicara sefasih dan setenang itu. Bisa jadi, bahkan aku masih kalah dari Remi waktu SD.

Dari seberang telepon, suara ceria ibuku terdengar: “Aduh ya ampun!”, “Pakai aja sesuka hati! Maaf ya!”

Suaranya kenceng banget, sampai kedengaran dari sini.

“Obatnya… ah, di lemari putih itu ya. Terima kasih. Tidak, sama sekali tidak merepotkan. Baik, kalau begitu. Mohon bantuannya lagi nanti.”

Setelah menutup telepon dengan nada sopan, Remi berbalik ke arahku.

“Aku udah dapat izin. Sekarang kamu tinggal tiduran aja di situ.”

“Ah, makasih…”

“…Hah? Kenapa kamu malah kelihatan sedih?”

“Jangan dipikirin.”

“Oh ya?”

Remi bisa mempertahankan karakternya yang anggun dan lembut mungkin karena sejak awal sudah terbiasa berbicara dengan nada sopan.

Sebagai teman masa kecil, sebenarnya aku agak sulit untuk benar-benar mendukungnya, tapi setelah menyadari bahwa karakter itu pun butuh teknik tingkat tinggi, entah kenapa aku merasa bisa lebih menghargainya lagi.

Kalau aku sudah sembuh nanti, sebagai ucapan terima kasih, mungkin aku akan mentraktir roti manis.

...Traktirannya makin lama makin banyak, ya.

Sambil memandangi Remi yang cekatan bergerak di dapur, aku memejamkan mata seakan hendak terlelap.


“Hei, bangun.”

“Hmm...”

Saat terbangun dari tidur sekejap, aroma sedap langsung menyebar dari arah meja makan.

Aku bangkit perlahan dan menelusuri sumber bau itu.

Tepat di depanku, ada bubur yang paling ingin dimakan saat sedang sakit.

Dan kuning telurnya tampak berkilau seolah-olah bersinar.

“Whoa, beneran disiapin bubur. Kelihatan enak banget.”

“Bukan sesuatu yang spesial kok. Masih ada buat makan siang di panci, jadi sisanya tinggal dipanaskan lagi nanti.”

“Boleh dimakan, nih?”

“Kalau disisain pun yang lain di rumah Yoshiki pasti kerepotan. Lagian kalau nggak habis, masih ada Seira. Dia pasti mau bantu cuci piring juga. Anak itu cukup bisa diandalkan.”

Soal Seira bisa diandalkan atau tidak, masih bisa diperdebatkan sejauh seratus meter, tapi untuk sekarang abaikan saja.

Begitu duduk, aku menyatukan kedua tangan.

“Kalau begitu, dengan hormat... Itadakimasu.”

Aku menyendok bubur dengan sendok kecil dan menyuapkannya ke mulut.

Bubur yang masih panas dan baru dimasak itu meleleh di dalam mulut, lalu dengan mudahnya tertelan begitu saja.

Bubur yang bisa dimakan tanpa perlu banyak dikunyah—betapa bersyukurnya aku.

Dan fenomena ini—telur terasa jauh lebih enak saat sedang flu.

“Enak banget…”

Aku bergumam, lalu menatap ke arah Remi.

Remi hanya tersenyum tipis untuk beberapa saat, kemudian mengangguk pelan.

“...Syukurlah. Makan pelan-pelan, ya.”

Suaranya terdengar penuh kasih sayang.

Ucapan yang hangat itu membangkitkan ingatanku.

“...Nostalgia juga, ya. Dulu aku juga pernah dirawat begini.”

“Pernah juga, ya. Kamu cukup ingat banyak hal dari masa kecil.”

“Ya iyalah. Gara-gara main sampai belepotan lumpur di taman, terus mandi di sungai, akhirnya masuk angin.”

“Alasannya bodoh banget sampai bikin nyesek.”

Remi memegangi pelipisnya seakan kesal.

Aku tersenyum kecil, lalu kembali menyendok bubur beberapa kali.

Dari mulut ke tenggorokan, lalu ke perut.

Rasa panas menyebar ke seluruh tubuhku.

Padahal tadinya tidak nafsu makan, tapi rasanya bubur ini bisa kuhabiskan sampai tuntas.

Kalau begini, sakit pun rasanya tidak terlalu buruk.

“Jadi, demammu gimana?”

“Gak tahu. Belum ukur soalnya.”

“Hadeh.”

Tangan Remi mendekat ke dahiku.

Sendok kecil yang hendak kuangkat ke mulut langsung terhenti sesaat.

Remi juga tampak terkejut, lalu buru-buru menarik tangannya kembali.

“Maaf, refleks. Termometernya ada di mana?”

“D-Di atas meja bar.”

“Baik.”

Jawab Remi singkat, lalu berdiri dari tempat duduknya.

Tak lama kemudian, dia mengambil termometer dan mendekat tanpa ragu.

“A-Ada apa sih?”

Begitu aku bertanya, dia langsung menyelipkan termometer ke ketiakku dengan cepat.

“Dingin banget!? Ini malah lebih gawat, tahu!”

“Cerewet. Diam dan ukur yang benar!”

Kalau ini dulu, dia pasti bakal menempelkan telapak tangan ke dahiku saja.

Mungkin Remi juga merasakan hal yang sama, makanya tadi sempat refleks begitu.

“...Oke deh, aku ukur, aku ukur.”

“Hmph.”

Lebih baik aku nggak bilang, "Dulu kita tempelin dahi loh."

Ingatanku memutar percakapan antara Remi dan seorang anak laki-laki waktu itu.


"Kamu demam, ya? Sini deh… Wah, bener juga. Panas."

"Ih! Remi ciuman sama Yoshiki di tangga!"

"Hah? Aku cuma ngukur suhu dari dahi, tahu!"

"Kalau gitu biasanya pakai tangan dong! Jangan-jangan kamu suka sama Yoshiki, ya!?"

"Paling tidak lebih dari kamu, sih. Tenang aja, kalau kamu sakit aku cuma bakal senang doang. Eh, kamu siapa sih?"


...Anak cowok itu sampai shock berat karena bahkan nggak dikenali. Aku juga lupa namanya sih.

Sambil mengingat itu, termometer pun berbunyi.

“Berapa derajat?”

“38,8.”

“Kamu beneran demam, kan!”

Remi menatapku cemas.

“Aku bentar lagi mau berangkat, tapi kamu beneran gak papa ditinggal?”

“Gak apa-apa kok. Remi sendiri gak apa-apa bolos segini telatnya?”

“Gak masalah. Aku udah bilang ke Sensei kalau lagi sakit.”

“Eh, jangan-jangan aku juga...?”

Remi berkedip pelan, lalu menghela napas kecil.

“Enggak. Aku cuma bilang aku yang sakit. Soalnya aneh juga kalau aku tahu kamu sakit, kan. Lebih baik hindari risiko ketahuan sama Hanazono-san. Jadi, kamu hubungi Sensei sendiri ya.”

Jawaban Remi bikin aku agak lemas, tapi aku ngerti sih.

Memang dalam kehidupan SMA sekarang, gak ada untungnya kalau orang tahu bahwa aku masih dekat dengan keluarga Nikaidou Remi.

Begitu kami melangkah keluar dari label 'teman masa kecil', kami pasti jadi bahan omongan.

Terutama bagi Remi yang berperan sebagai siswi teladan.

“Tapi, kayaknya Hanazono gak akan masalah deh. Soalnya alasan hari ini juga murni karena sakit.”

“Kenapa kamu bisa yakin begitu?”

Remi bertanya santai sambil menyisir rambutnya.

“Hmm. Perasaan pacar aja.”

“Cerewet.”

“Haha. Sebenarnya sih, karena dia kelihatan punya hati yang lapang.”

“Oh ya? Tapi itu bukan penilaian yang terlalu spesifik, ya?”

“...Maksudnya apa, coba!?”

“Ahaha, lambat amat tanggapnya.”

Remi tertawa kecil lalu menatap langit-langit.

“Hanazono-san, ya... Gimana ya.”

“Hmm? Maksudnya apa?”

“Sesuai artinya aja. Aku gak tahu gimana aslinya dia, tapi biasanya cewek itu pengin kelihatan baik di depan pacarnya. Bisa jadi dia cuma jaga image aja.”

“...Masa sih. Kalau gitu, kamu juga bakal jaga image kalau punya pacar?”

Kalau iya, masuk akal juga pernyataan Remi tadi.

Soalnya menurutku, Remi juga termasuk tipe cewek yang berhati besar.

Remi sedikit memiringkan kepala dan mengalihkan pandangan.

“Hmm... gimana ya. Kalau aku punya pacar, ya.”

“Iya.”

Sedikit hening.

Lalu Remi pun membuka suara.

“Mungkin, iya. Aku bakal jaga image juga.”

“Eh, gak nyangka. Ternyata kamu cewek juga.”

“Selama ini kamu nganggep aku apa, coba?”

“Cewek banget deh, maaf. ...Kalau begitu, keputusanmu buat pura-pura sakit tadi emang pilihan yang tepat, ya.”

Kemungkinan besar nggak akan ketahuan sih. Tapi kalau nanti ketahuan rumah kita bertetangga, bisa jadi dicurigai.

Tetap saja, ada sesuatu yang terasa mengganjal.

“Kenapa sih kita harus nyembunyiin kayak gini?”

“Eh?”

Secara logika aku ngerti.

Kalau ada hal yang bisa bikin pacarmu gak nyaman, ya jangan dilakukan. Dan kalau terlanjur terjadi, paling enggak harus disembunyikan.

Hanya karena dirawat oleh teman masa kecil, aku harus memikirkan semua ini... Kenyataan itu membuatku merasa agak tidak enak.

Entah apa yang terpikirkan oleh Remi dari ucapanku, ia menambahkan kata-kata.

“Kalau dari sudut pandang sebagai pacar, biasanya cewek lain masuk ke rumah saja sudah nggak enak rasanya. Kamu harus punya etika yang benar soal itu.”

“Aku juga tahu kok. Aku tetap sadar akan hal itu. Tapi kalau rumahnya sebelahan dan keluarga kita sudah akrab dari dulu, nggak mungkin bisa dibatasi sepenuhnya, kan? Lagipula ada Seira juga, dan aku bukan tinggal sendiri.”

“...Memang sih. Tapi aku lagi ngomongin soal perasaan Hanazono-san.”

Remi menundukkan pandangan dan terdiam.

...Remi pasti punya pemikiran yang dewasa.

Daripada terpaku pada apa yang terjadi di depan mata, dia mempertimbangkan orang-orang di sekeliling, dan mencoba memperbaiki penyebab masalah. Siapa pun yang melihat pasti akan setuju bahwa Remi yang paling benar.

Meskipun begitu... apakah memutus hubungan yang sudah terbentuk sejak lama benar-benar merupakan pilihan yang tepat?

“Bukan berarti aku pengin menjauh darimu. Aku cuma... terpaksa melakukannya karena memang harus begitu.”

“...Ya begitulah kalau kamu memutuskan untuk punya pacar.”

“Benar juga. Mungkin memang begitu kenyataannya. Aku ngerti sih, cuma...”

Aku yang merasa nggak puas ini pasti sedang aneh.

Ini pasti gara-gara demam.

Karena otakku serasa mendidih, pikiranku jadi keluar jalur dari biasanya.

Meskipun begitu...

Aku dan Remi sudah bersama sejak kami bisa mengingat apa pun.

Kami bermain di luar sampai seluruh badan kotor penuh lumpur dan keringat, dan menghabiskan entah berapa banyak waktu bersama di rumah masing-masing.

Setelah reuni dengan teman masa kecilku itu, hubungan kami kembali seperti dulu... tapi hanya berlangsung selama sebulan. Bahkan mungkin belum sepenuhnya kembali.

Sejak aku mulai pacaran dengan Hanazono, hubungan kami tak akan pernah bisa kembali seperti dulu.

Ketika kita mendapatkan sesuatu, pasti ada hal lain yang terlepas dari genggaman.

Dari sudut pandang Remi, ia tidak mendapatkan apa pun dari kenyataan bahwa aku pacaran dengan Hanazono.

Meski begitu, dia bisa menerima semua ini. Kalau aku yang berada di posisinya, pasti aku akan merasa sangat tidak puas.

Aku ini teman masa kecilnya—dan bukan berarti Remi tak menganggapku penting.

“...Aku ini kekanak-kanakan ya, sampai bisa merasa nggak puas kayak gini.”

Toh, aku sendiri yang jatuh cinta pada Hanazono, aku sendiri yang minta bantuan Remi, dan akhirnya mendapatkan hasil yang baik.

Aku seharusnya puas dengan keadaan sekarang, jadi berpikir macam-macam seperti ini jelas salah.

Remi memandangku dengan tatapan cemas, lalu sedikit tersenyum.

“...Aku nggak tahu, sih. Tapi kalau kamu merasa kesepian, aku rasa perasaan itu bukan sesuatu yang kekanak-kanakan. Meskipun begitu, kenyataannya memang ada hal-hal yang tidak bisa dihindari.”

Kenapa dia bisa memberi jawaban yang begitu dewasa?

Mungkin aku baru akan memahami perasaan Remi seperti sekarang ini kalau suatu saat nanti dia punya pacar dan kami makin menjauh.

“Menurutku, cinta itu bisa membuat seseorang tumbuh. Jadi menurutku, pergolakan batinmu—apa pun isinya—itu tetaplah sesuatu yang benar. Atau, lebih tepatnya, nantinya pasti akan menjadi sesuatu yang benar.”

Setelah mengatakan itu, Remi mengalihkan pandangan.

Kata-katanya terasa menyentuh hati, membuatku ingin terus mengobrol lebih lama.

“Kalau begitu, aku benar-benar pulang ya.”

“Tunggu bentar. Remi, kamu nggak kepikiran buat punya pacar?”

“Geez, berapa kali kamu mau nahan aku sih?”

Meski menggerutu, Remi duduk kembali di sofa menanggapi pertanyaanku yang tiba-tiba.

“Yah, baiklah. Memangnya kenapa?”

“Enggak juga sih...”

Aku tentu saja tak bisa mengutarakan apa yang barusan kupikirkan.

──Baru dapat pacar aja udah belagu. Berharap bisa balik seperti dulu itu cuma mimpi anak SMA. Sombong banget sih.

Pikiran-pikiran semacam itu terus berdengung di kepalaku.

“...Ekspresimu kenapa gitu?”

gumam Remi sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Saat aku hendak menjelaskan, dia menghentikanku dengan, “Sudahlah.”

“Aku nggak butuh pacar.”

“Kenapa?”

“Karena nggak ada calonnya.”

Jawabannya simpel.

Justru karena itu, aku menunggu kelanjutannya, dan Remi pun melanjutkan.

“Aku sadar kalau terus-terusan berpura-pura jadi gadis anggun itu pasti ada batasnya. Kepribadianku sebenarnya nggak sebaik yang aku tunjukkan sekarang.”

“Wah... kamu sadar itu, hebat juga ya.”

“Coba sedikit bantah kek?”

“Bukan begitu maksudnya! Menurutku kamu orangnya baik kok, cuma kesannya beda aja sama sekarang.”

Remi menyipitkan mata dan tersenyum kecil.

“Aku maafin, deh.”

Aku ikut tersenyum, tapi tiba-tiba batuk keras karena tenggorokanku terasa perih.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa. Lanjut aja.”

Saat aku mempersilakan, Remi mengangguk kecil.

“Cepat atau lambat, orang-orang pasti tahu sifat asliku. Dan kalau saat itu mereka nggak bisa melihatnya sebagai sisi lain yang menarik... atau lebih parah, malah nggak bisa menerimaku sebagai pribadi yang baik, ya hubungannya nggak bakal bisa lanjut. Dan aku... nggak bisa berharap ada orang seperti itu. Makanya, aku pikir nggak perlu terlalu dipikirin karena aku juga nggak terlalu ingin punya pacar.”

...nggak bisa berharap, ya?

“Hanazono juga pernah bilang hal yang mirip.”

“Oh ya? Dia?”

“...Dia?”

Remi tampak sedikit terkejut dengan ekspresi ‘ups’.

Berdasarkan kepribadian Remi, memanggil ‘dia’ begitu biasanya ditujukan untuk teman dekat—atau minimal, pernah dekat.

Mungkin sisa-sisa masa SD saat dia jadi pemimpin alami di kelas masih terbawa.

“Remi, kamu dan Hanazono emang kenal dekat ya? Aku hampir nggak pernah lihat kalian ngobrol.”

“...No comment.”

“Nggak pernah lihat kalian ngobrol, tapi ternyata cukup akrab ya? Nanti aku tanya deh ke Hanazono langsung.”

“Jangan, bukan gitu maksudnya!”

Ada yang terasa janggal dari reaksi Remi.

Tapi sebelum aku sempat menyusunnya dalam kata-kata, Remi berkata lagi:

“Aku dan Hanazono-san satu SMP.”

“...Serius? Aku nggak pernah dengar dari Hanazono soal itu.”

“Ya wajar sih. Kita juga nggak dekat-dekat amat.”

“Eh, jangan ngomong gitu dong, dia kan pacarku.”

“Itu kenyataan, kok.”

Remi menjawab dengan nada agak masam.

Aku mengacak rambutku dan menghela napas.

“Ya udah deh. Kalau kamu punya kenalan lain di sekolah baru, wajar aja kan ngobrol sedikit. Kalau nggak dekat, ya masuk akal juga. Tapi tetap aja, kenapa aku baru tahu setelah jadian ya...”

“Aku sempat kelepasan nggak ngomong. Sekali lewat, jadi bingung kapan harus bilang.”

“Ah, kayak efek bolos sekolah sehari terus jadi males masuk ya.”

“Aku nggak pernah ngerasain fenomena itu.”

“Lho, kirain semua orang ngalamin deh.”

Melihat nilai-nilai Remi yang luar biasa, dia mungkin memang serius nggak pernah bolos.

Karena aku sudah menyerah untuk menyamakan cara pikir kami di area itu, aku pun mengembalikan pembicaraan ke topik sebelumnya.

“Ya udah deh. Kalau gitu, Hanazono juga mungkin sama kayak kamu ya. Soalnya dia nggak pernah cerita apa-apa juga.”

“Sepertinya begitu. Tapi kamu nggak perlu pikirin aku, ya. Aku senang kok kamu punya pacar. Kalian juga emang udah deket dari dulu, kan?”

Remi menjawab dengan suara yang terdengar agak sendu sambil berdiri.

“Kalau gitu, aku beneran pulang ya. Soal yang tadi aku bilang, tolong jangan bilang ke Hanazono-san ya. Termasuk soal kita satu SMP.”

“Kenapa? Bukannya nggak masalah? Malah menurutku lebih baik kamu bilang dari sekarang.”

Remi tampak agak kesal dan mengernyitkan alis.

“Alasan kamu nggak tahu sampai sekarang itu, salah satunya juga karena Hanazono-san. Mungkin dia memang nggak mau bilang.”

“Kalau begitu... ya, bisa jadi juga.”

Tapi apa alasan sampai membuat mereka memilih untuk menyembunyikan hubungan mereka?

Kalau aku di posisi Remi, walau nggak akrab, pasti akan merasa lebih tenang karena ada orang yang dikenal di sekolah baru. Apalagi sesama perempuan, bisa jadi titik awal untuk memperluas pergaulan juga.

Kalau begitu, bukankah lebih masuk akal kalau mereka langsung akrab sejak awal?

Tapi kenapa justru mereka saling menyembunyikan bahwa mereka saling kenal?

──Menyembunyikan?

Saat itulah, bel rumah berbunyi.

Saat aku berdiri menuju pintu, Remi menahan.

“Kamu yang sakit duduk aja. Sekalian, aku yang bukain pintu.”

“...Makasih. Jujur aja, aku juga pengin cepet duduk.”

Dengan tubuh lemas yang bersandar ke dinding, aku menjawab, dan Remi menatapku dengan alis mengendur, penuh kekhawatiran.

Namun itu hanya sekejap. Dia segera berbalik dan memakai sepatunya.

...Kalau yang datang butuh tanda tangan, aku harus bergerak sedikit juga.

Setidaknya, aku menunggu di posisi yang memungkinkan melihat siapa yang datang ke depan pintu.

Remi membuka pintu.

Cahaya matahari yang menyilaukan masuk, terasa menyakitkan bagi orang yang sedang sakit. Aku refleks memejamkan mata.

“Eh? Nikaidou-san?”

Suara yang begitu familiar.

Aku buru-buru membuka mata, dan di sana ada—

“H-Hanazono-san...”

Remi bergumam dengan suara serak.

Pacarku sedang menatap tajam sahabat masa kecilku.

***

“Kenapa kamu ada di sini?”

Saat Remi bertanya, Hanazono sempat terkejut, namun segera tersenyum lembut.

“Soalnya hari ini aku janji pergi bareng Yosshi ke sekolah.”

“...Begitu ya? Makanya sampai datang ke rumah…”

Nada bicara Remi terdengar sedikit pahit, tapi Hanazono hanya mengangkat bahu tanpa beban.

“Soalnya dia nggak bales chat, jadi aku khawatir. Nggak mungkin Yosshi ingkar janji, kan?”

Sambil mengatakan itu, Hanazono melewati sisi Remi.

Ia melepas loafers-nya dan mendekatiku. Wajahnya menatapku penuh kekhawatiran.

“…Kamu kelihatan nggak enak badan. Nggak apa-apa? Jadi kamu nggak bisa datang, ya?”

“Maaf, aku lupa ngabarin.”

Hanazono menatapku dengan mata indahnya, lalu tersenyum lembut.

“Nggak apa-apa. Kamu demam kan, wajar aja.”

“Meski begitu, aku tetap bikin kamu nunggu... Maaf banget.”

“Aduh, udah deh. Kalau lagi sakit parah gitu mana sempat mikir ngabarin? Aku nggak mungkin marah kalau pacarku lagi menderita gitu.”

Hanazono manyun sedikit, lalu menempelkan telapak tangannya ke dahiku.

“Ah, beneran panas. Berdiri aja susah kan? Ayo cepet balik ke kamar.”

Telapak tangannya yang kecil dan dingin menyentuh dahiku, memberi sensasi lembut dan menyegarkan. Rasanya seperti demamku terserap oleh kulitnya.

Mungkin itu tandanya suhu tubuhku benar-benar naik.

Hanazono lalu menarik tangannya, menatap ke arah Remi.

“Makasih ya, Nikaidou-san, udah jaga Yosshi. Sekarang biar aku yang urus.”

Perkataannya secara tersirat meminta agar dibiarkan berdua denganku.

Remi menyembunyikan ekspresinya, lalu melangkah mendekat.

“...Enggak. Aku juga akan tetap di sini. Hanazono-san kan nggak tahu seluk-beluk rumah ini.”

“E-eh? Tadi kamu sendiri yang bilang mau pergi, kan?”

“Kamu diam saja.”

Aku langsung bungkam saat dibentak tegas olehnya.

Hanazono tampak sedikit bingung, memiringkan kepala.

“Tapi Nikaidou-san tadi keluar rumah, kan?”

“Aku keluar karena bel rumah berbunyi.”

Remi menjawab lancar, lalu kembali melepas sepatu loafers-nya.

Setelah meletakkannya rapi di samping sepatu Hanazono, ia berbalik menghadap kami.

“Aku nggak boleh di sini?”

...Kenapa suasananya jadi kayak mau ribut begini?

Bukan cuma Remi, Hanazono juga terlihat agak tegang.

Tanpa ada kata-kata kasar pun, ketegangan di antara mereka sangat terasa, bahkan untukku yang hanya penonton.

“Atau... kamu lebih suka berduaan dengan Hanazono-san, Ryouta?”

“Eh?”

“Kamu nggak apa-apa menulari Hanazono-san?”

“Jangan sampai!”

Aku langsung menjawab. Hanazono mengedipkan mata karena kaget.

Remi mengangguk, lalu melanjutkan.

“Kalau aku?”

“Kalau bisa jangan sampai ketularan juga.”

“Kalau misalnya aku ketularan? Lebih baik aku daripada Hanazono-san?”

“Eh, bukan gitu... Yah, bisa dibilang begitu sih. Tapi kita udah banyak ngobrol tadi juga—”

“Oke, cukup.”

Remi memotong ucapanku di tengah jalan.

Aku langsung menyesal karena kesannya seperti aku plin-plan.

Hanazono menyipitkan mata, tampak tidak senang.

“Apa sih maksudnya? Aku nggak terlalu mikirin hal kayak gitu. Jangan ngomong aneh-aneh, deh.”

“Maaf, Hanazono. Aku yang mikirin banget. Kalau kamu ketularan dari aku, aku bakal ngerasa bersalah banget.”

Remi ikut menimpali, seakan menyetujui.

“Begitu maksudnya. Kalau kamu hargai keinginan orang sakit, harusnya aku yang tetap tinggal.”

Hanazono diam sejenak, lalu menatapku.

“Yosshi, kenapa kamu nggak masalah kalau yang ketularan Nikaidou-san?”

“Bukan nggak masalah. Tapi kamu pacarku, jadi aku nggak mau kamu ketularan, itu aja. Kalau sampai kamu sakit, aku gagal jadi pacar.”

Remi terbatuk kecil.

...Ngomong-ngomong, aneh juga ya. Remi tahu aku dan Hanazono pacaran.

Tapi ya sudah lah. Remi yang memulai topik ini juga.

Untuk jaga-jaga, aku menunduk dan berkata:

“Maaf ya. Aku udah bilang ke Remi soal hubungan kita.”

Padahal aku dan Hanazono sepakat untuk merahasiakan hubungan kami.

Meski begitu, aku menceritakannya ke Remi tanpa izin Hanazono.

Remi yang bantu aku bisa jadian, jadi aku merasa wajar memberitahunya. Tapi tetap saja, memberitahu pacar soal bantuan dari lawan jenis bukanlah ide yang bagus.

Dengan pemikiran itu, aku pun minta maaf, tapi Hanazono hanya mengangguk santai.

“Enggak apa-apa kok. Aku ngerti.”

Aku merasa agak aneh, lalu bertanya:

“Kamu tahu aku udah cerita ke Remi?”

“Iya, aku udah menduganya. Hubungan kalian cukup dekat, pasti kamu bakal cerita.”

Lalu Remi berkata pada Hanazono:

“Ryouta nggak bermaksud mengabaikanmu, aku yakin.”

“Tenang aja. Aku beneran nggak masalah. Nikaidou-san juga bukan orang yang suka menyebar gosip sembarangan, kan? Setidaknya dari yang kulihat selama di kelas dua.”

Nada bicaranya terdengar mengandung makna.

Sebelum aku sempat memahaminya, Hanazono berjalan mendekati Remi.

Dengan suara pelan namun jelas, ia berbisik:

“Atau, kamu mau mengulangi kesalahanmu lagi?”

“──!”

Wajah Remi langsung memerah.

Aku hanya bisa diam karena tidak tahu maksudnya.

Hanazono lalu menatapku.

“Yosshi, aku masuk ke dalam ya. Boleh?”

“Ah... iya.”

Dengan suasana seperti ini, aku tidak bisa berkata lain.

Hanazono menoleh pada Remi dan berkata:

“Nikaidou-san, kalau kamu memang mau tetap di sini, aku juga nggak keberatan. Aku percaya kamu.”

“...Nggak. Nggak jadi, deh. Nggak enak juga. Aku nunggu di sini aja.”

“Oke. Jadi kamu mau pergi bareng aku ke sekolah, ya.”

Sepertinya mereka sepakat untuk mengambil jalan tengah.

...Sepertinya hubungan mereka benar-benar buruk.

Aku jadi paham kenapa Remi nggak pernah cerita soal Hanazono.

Soal Hanazono yang menyembunyikan hal ini, aku tidak tahu.

Tapi melihat sikapnya sekarang, mungkin memang dari awal dia tidak berniat menyembunyikan apa pun.

Hanazono berjalan ke ruang tengah dan bicara dengan nada ceria.

“Nanti aku bawain print-an tugas sekolah ya, kalau ada.”

“Wah, makasih.”

Aku menjawab singkat, lalu berkata hati-hati:

“...Hanazono.”

“Apa?”

“Nikaidou ke sini karena dipanggil adikku. Soalnya keluarga kami udah kenal lama, makanya dia datang. Tolong pahami hal itu aja.”

“Kalau gitu, makin wajar dia datang. Lagi pula, aku juga nggak marah dari awal kok. Kamu lagi sakit, jadi punya teman dekat di sekitar malah bagus, kan?”

Hanazono berhenti, menatap bubur yang masih tersisa dua-tiga sendok.

“...Oh, buburnya masih ada sisa.”

“Iya, barusan aku makan.”

“Mau lanjut makan sekarang?”

“Ah, iya. Tapi nanti aja, setelah kalian berangkat.”

“Jangan. Bubur kalau kelamaan bisa mengeras.”

Hanazono langsung mengambil piring dan sendok sup, lalu menuangkan bubur ke sendok.

“Nih. Aa—n.”

...Sebenarnya aku agak risih juga.

Tapi saat ini—

“...Aa—n.”

Aku menerima suapan dari Hanazono.

Telur yang tercampur dalam bubur meleleh di dalam mulutku.

“Enak?”

“Iya. Enak banget.”

“Syukurlah.”

“U-uh.”

Aku tak bisa banyak berkata. Sementara itu, Hanazono dengan santai memandangi ruang tengah.

Pasti terlihat berbeda dari saat terakhir kali dia ke rumah.

“Banyak futon ya. Bawa naik ke atas pasti berat. Mau aku bantu bawa ke kamar?”

“Nggak usah. Aku bisa sendiri. Nggak enak nyuruh pacarku.”


"Tidak boleh. Sebelum aku jadi pacarmu, Yossi itu orang sakit, kan."

"Ugh..."

Karena Remi sedang menunggu di depan pintu, tidak baik jika waktu ini diperpanjang sembarangan.

"Kalau begitu, aku minta tolong, ya. Maaf, aku merepotkanmu."

"Sama sekali enggak, kok."

Hanazono tersenyum manis dan berkata, "Yosh," sambil mengangkat kasur.

Aku buru-buru menopang dari sisi berlawanan, dan beban berat itu langsung terasa menyerang tubuhku.

Aku berdiri di bagian bawah tangga dan menahan beban utamanya, sehingga berat tubuh terasa semakin jelas.

...Mungkin karena percakapan dua cewek tadi, suhu tubuhku jadi naik.

Saat kami menuruni tangga perlahan, Hanazono memanggil namaku pelan.

"Heh, Yossi."

"Hm?"

"Soal aku kenal sama Nikaidou-san... jangan dipikirin, ya."

Aku terbelalak dan menatap ke arah Hanazono dari bawah.

"Aku nggak mau kamu mutusin hubungan lama cuma demi aku."

Itu memang usulan yang sangat menyelamatkan.

"...Terima kasih. Tapi, kalian berdua... emang nggak akur, ya?"

"Bukan nggak akur, tapi kami itu dua tipe orang yang sangat berbeda. Aku aja yang suka cemburu tanpa alasan."

Hanazono tersenyum canggung, lalu menambahkan:

"Ah, tapi beneran, nggak usah dipikirin. Itu hal yang berbeda, kok."

Setelah membuka pintu kamar, dia kembali menatapku.

"Aku senang kamu jadi pacarku, Yossi."

"...Terima kasih."

"Orang-orang yang udah lama kenal sama kamu, mereka ngasih pengaruh besar ke dirimu yang sekarang. Artinya, mereka yang ‘membentuk’ pacarku saat ini. Jadi aku juga harus berterima kasih."

...Itu cara berpikir yang indah.

Sisi Hanazono yang belum aku kenal ternyata lebih dalam dari yang aku kira.

Tapi sisi Hanazono yang aku suka juga langsung muncul seperti ini. Itu membuatku merasa tenang.

Begitu kami meletakkan kasur ke tempat tidur, rasanya seperti beban di hati juga ikut terangkat.

"Fuh... sekarang aku bisa istirahat di ranjang. Makasih, ya."

"Iya. Sekarang kamu istirahat, ya? Pasti badanmu lagi nggak enak."

"Anehnya, rasanya nggak terlalu sakit. Kayak cuma demam aja."

"Masa, sih? Aku juga pernah kayak gitu sih, tapi..."

"Iya, kan? Ngomong-ngomong soal tadi, kita ngobrol bentar, yuk. Mau duduk di kasur?"

"Ngobrol sih boleh, tapi kamu aja yang duduk, Yossi."

"Makasih. Aku juga bakal duduk di sebelahmu."

Hanazono mengendurkan pipinya dan duduk di tepi ranjang.

Berat badannya membuat tempat tidur sedikit tenggelam.

Saat aku ikut duduk di sebelahnya, ranjang mengeluarkan bunyi berderit.

"Empuk, ya."

"Iya, dong. Aku dibeliin kasur yang bagus."

"Katanya kualitas tidur itu penting banget. Enaknya kamu."

...Melihat dia duduk di kasur begini, jantungku rasanya nggak kuat.

Pikiran aneh melintas di kepala, dan aku kesulitan untuk mengusirnya.

Lalu...

"...Kamu nggak bakal dorong aku, kan?"

"Hah!? Tentu aja enggak!"

"Ah, tentu aja, ya. Tapi... rasanya agak campur aduk sih dengernya."

Hanazono menunduk dengan kedua tangan di lutut, bahunya turun.

Aku buru-buru menambahkan, "Lagipula nanti malah ketularan flu."

"Kamu mikirin omongan Nikaidou-san, ya? Aku nggak apa-apa kok ketularan flu."

"Nggak, aku nggak mau nularin. Aku pacar yang bertanggung jawab."

"Fufu, apa itu. Karena aku pacarmu, nggak apa-apa kalau nyusahin aku. Karena aku pacarmu, kamu boleh nyusahin aku."

Hanazono tiba-tiba berdiri dan melanjutkan:

"Tapi jangan nyusahin orang lain. Paham?"

"O-oke..."

"Nikaidou-san juga orang lain, lho?"

Aku refleks membuka mata lebar-lebar.

Aku nggak nyangka Hanazono akan bicara sejelas itu.

Dan nada suaranya kembali dingin.

Jelas sudah, hubungan mereka berdua sangat buruk.

Bahkan lebih dari itu, pasti ada sesuatu di masa lalu mereka—.

"...Aku ngerti. Aku sepenuhnya sadar kalau Nikaidou bukan pacarku."

Hanazono adalah cewek yang paling harus aku jaga.

Tapi Remi juga bukan orang asing bagiku.

Kalau aku nggak mau mengingkari kebenaran itu, jawaban ini adalah batas yang bisa aku berikan.

Hanazono, seolah bisa membaca pikiranku, tersenyum tipis.

"...Bagus. Untuk sementara, aku anggap begitu dulu, ya."

"...Makasih."

"Tapi aku cemburu. Memang ya, teman masa kecil itu spesial."

"Hanazono bisa cemburu juga, ya... Senang sih dengernya."

"Ya jelas lah. Aku ini pacarmu, tahu!"

"...Iya, kamu benar. Maaf."

Sebenarnya, dari sudut pandang seorang pacar, keberadaan cewek lain di rumah itu udah nggak bisa ditoleransi.

Bahkan aku sebagai cowok pun bisa paham soal itu.

"Mungkin kamu juga kurang sadar kalau kamu itu pacar. Soalnya kamu nggak pernah nyoba mengandalkan aku. Aku juga belum sempurna sih, jadi kita sama-sama belajar."

"Iya... benar juga. Aku memang belum sadar sepenuhnya. Aku selalu merasa hubungan kita baik-baik aja dan diam-diam berharap bisa jadi pasangan. Tapi langsung mengandalkanmu itu..."

Sulit untuk langsung mengubah sikap. Kalaupun bisa berubah, pasti butuh waktu.

Karena manusia nggak bisa berubah kalau belum menyadari sepenuhnya di alam bawah sadarnya.

"Waktu kita pegangan tangan dulu, kamu bilang kamu makin yakin, kan?"

"Iya, aku bilang begitu. Kalau gitu..."

Gimana kalau kita lebih sering pegangan tangan?

Saat aku hendak mengusulkan itu...

"...Mau lanjut lebih jauh?"

Aku langsung membeku.

Lanjut.

"Lanjut" maksudnya... jangan-jangan, ke arah itu?

"Eh. Tunggu, hal seperti ini kan... harusnya ada suasana, gitu."

"Memangnya sekarang nggak ada suasana?"

Hanazono tersenyum lembut.

Latar belakangnya adalah tempat tidur. Bokong Hanazono tenggelam sedikit, membentuk lipatan pada seprai.

Di bawah satu atap, seorang cewek ada di kamar cowok.

"Ah... mungkin memang ada, ya..."

"Yoshi, kamu nggak mau?"

Hanazono bertanya dengan lembut.

Menyadari maksudnya, aku jadi gelagapan.

"Bukan, maksudku... hal kayak gini tuh, biasanya dilakukan setelah kencan, setelah banyak hal dilewati bareng... kalau kamu punya bayangan ideal seperti itu──"

"Kamu nggak mau sekarang?"

"Sekarang tuh... bukannya terlalu mendadak?"

"Memang mendadak, aku juga baru kepikiran sekarang. Tapi terus kenapa? Kamu nggak pengin memastikan kalau aku ini pacarmu, dan kamu pacarku, Yoshi?"

Hanazono mencondongkan kepala sedikit sambil berkata begitu.

"Kalau memang nggak mau, ya nggak apa-apa sih."

"Bukan nggak mau..."

Hanazono terkikik kecil dan melangkah lebih dekat padaku.

"Kalau gitu, yuk? Ciuman."

Ciuman.

Dua suku kata itu keluar dari mulut Hanazono, dan saking terkejutnya, sebuah kenangan terlintas di benakku.

Ucapan Hanazono saat menolak kakak kelas dulu.

──Kalau begitu, kita ciuman, lalu berhubungan… dan baru setelah itu orang akan menilai isi hati kita yang sebenarnya, ya.

"Hanazono... kamu yakin mau lanjut sekarang? Maksudku, dengan aku... kita akan ciuman, lho?"

"Ada ya, cewek yang nggak suka ciuman sama pacarnya sendiri?"

Nada suaranya tetap lembut.

"Dan Yosshi, kamu meskipun dekat banget, kan belum pernah ciuman sama Nikaido-san, kan?"

"Ya jelaslah. Dia itu──"

"Teman masa kecil. Jadi, kalian pasti pernah pegangan tangan, mungkin juga mandi bareng."

Tepat sasaran.

Hanazono menyipitkan mata, seolah cemberut.

"Jujur banget, sih."

"Ma-maaf... soalnya itu waktu kecil..."

"Kamu terlalu gampang ditebak. Belajar lah sedikit bohong yang baik."

"Aku emang nggak mau bohong sih, sebisa mungkin."

"Itu memang kamu banget, ya. Aduh, Nikaido-san udah jauh lebih dulu dari aku, padahal aku pacarnya."

Ucapan itu membuatku bulatkan tekad.

Mungkin menyadari perubahan ekspresiku, Hanazono menurunkan sudut matanya dan bertanya dengan nada seperti menguji.

"...Boleh nggak aku ketularan sakitnya?"

"Kalau nggak mau ketularan, menjauhlah."

"Kalau aku menjauh sekarang, kamu nggak apa-apa?"

"Nggak."

"Fufu, jadi yang mana nih?"

Jarak kami sekarang, paling dekat dari sebelumnya.

Hanazono melingkarkan lengannya ke punggungku, lalu menatap ke atas dengan mata berbinar.

Bulu mata panjangnya bergetar halus. Kami saling mendekat.

"Hei!"

Hanazono menarikku ke dalam pelukannya.

Aku tak lagi bisa melihat bibirnya. Sebagai gantinya, pipiku merasakan hangat yang menyentuhnya.


──Ini ciuman.

Ciuman yang selama ini aku impikan.

Ciuman yang dulu sering kubayangkan saat malam-malam di masa SMP.

Bagaimana rasanya, di situasi seperti apa, dan dengan siapa akan kulakukan.

Meski hanya di pipi, ciuman yang begitu kurindukan itu terjadi di momen yang tak terduga.

Dan itu adalah waktu yang begitu berharga, sampai semua hal lain terasa tak penting.

Begitu ciuman itu berakhir, Hanazono melepaskan pelukan dan tersenyum kecil.

"...Sayang ya, cuma di pipi."

"Ha-Hanazono..."

Aku menatapnya dan memegang ujung lengan bajunya, lalu menggenggam tangannya.

"Umm... sekali lagi?"

Hanazono menatapku sambil tersenyum manis.

"Boleh kok."

Kali ini, dari aku.

Aku mengecup pipi lembutnya. Kulitnya bening dan terasa hangat di bibirku.

Otakku yang panas berbisik agar aku memeluk tubuh Hanazono.

Apa ini yang disebut hak istimewa dalam hubungan pacar?

Setelah ciuman kedua, Hanazono berbisik lirih.

"...Padahal cuma di pipi, tapi rasanya enak banget ya."

"Iya... luar biasa sih."

"Aku baru pertama kali dicium... dan mencium."

"...Aku juga."

"Semua orang... pada akhirnya akan melangkah ke tahap ini, ya. Hebat banget, ya, mereka."

Dulu pun, saat SMP, sudah ada yang mulai melangkah ke tahap 'dewasa'.

Aku pernah merasa iri, sekaligus kesal.

Tapi sekarang...

"...Kita juga, nanti ya. Setelah kamu sembuh."

"Yakin? Dengan aku?"

"Aku maunya kamu. Pertamaku, ya kamu."

Hanazono berbisik lembut, dan kembali memeluk pinggangku.

Pelukan itu seolah menyampaikan bahwa dia siap menerimaku sepenuhnya.

"Aku pernah dikatain sama kamu, kan? Kamu bilang aku cuma suka hal-hal yang kelihatan aja."

"...Iya. Aku pernah bilang."

"...Sekarang, hal-hal yang nggak kelihatan, mulai kelihatan sedikit. Tapi... kamu masih suka aku? Atau kamu lebih suka aku yang dulu, yang kelihatan sempurna aja? Kalau sekarang kamu mau mundur, masih bisa, lho."

Berubah.

Hanazono saat SMP.

Tatapannya saat melihat kelompok Yuzuha.

Tatapannya saat melihat Remi.

Ada Hanazono Yuka yang tidak aku kenal.

Tapi, aku...

"Kerjaan pacar adalah menerima semua apa adanya."

"...Gitu ya. Berat juga ya, kerjaan pacar."

Aku terdiam menatap wajah Hanazono yang tersenyum memesona.

***

Saat kami menuju pintu depan, Remi berdiri di sana, tampak tak tahu harus berbuat apa.

Begitu melihat kami, Remi berkata dengan nada tak senang.

"Lama banget, ya."

"Iya, sedikit urusan."

"Begitu. Ngapain aja sih."

Hanazono menjawab dengan nada lembut, tanpa terlihat terganggu oleh respon dingin Remi.

"Yuk, kita berangkat ke sekolah bareng?"

Padahal kalau mereka nggak akur, lebih baik berangkatnya terpisah, deh.

Entah kenapa, tapi hubungan mereka berdua memang terasa agak aneh.

"Kalau gitu, Yoshi. Cepat sembuh ya."

Setelah menatapku sesaat, Remi pun pergi keluar rumah tanpa berkata apa-apa lagi.

Akhirnya, mereka pun berangkat ke sekolah berdua.

Aku penasaran apa yang mereka bicarakan di jalan.

Tapi, meskipun aku tanya, kemungkinan besar mereka bakal mengelak.

Entah kenapa... aku merasa begitu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close