NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Chapter 4

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 4 – Kolam di Bawah Langit Biru

Musim semi remaja pun tiba.

Dengan kata lain, tibalah saatnya pelajaran renang.

Reaksi para siswi terhadap kenyataan bahwa mereka akan masuk kolam renang di waktu yang sama dengan para siswa sangat beragam, tapi sejauh ini belum ada yang mengkritik secara terang-terangan.

Entah karena mereka sudah pasrah karena ini bagian dari pelajaran, atau memang tidak terlalu peduli.

Remi sempat mengeluh, “Ini benar-benar nyebelin. Kenapa sih harus bareng cowok juga? Apa yang dipikirin Sensei-Sensei?” Tapi dari sudut pandang cowok, tentu saja ini kabar menggembirakan.

Melihat situasi zaman sekarang, rasanya pelajaran renang campuran cowok-cewek sudah hampir punah, tapi menurut Hanazono, “Waktu SMP juga aku gabung kok,” katanya.

Ternyata sekolah cukup ketinggalan zaman juga, ya.

“Kita intip ruang ganti cewek, yuk?”

Saat sedang ganti baju di kelas, Minegishi Tarou—anggota kelompok Miyagi sekaligus penSenseis olahraga—mengatakan hal itu dengan nada bercanda.

Miyagi hanya tersenyum kecut sambil melipat rapi kaus yang baru ia lepas.

“Kalau di SMA, hal kayak gitu beneran nggak bisa dijadiin bahan bercanda, tau.”

“Ya sih, bener juga. Sial, padahal impian para cowok ada di sana…”

Sambil melihat Miyagi dan Minegishi bercanda seperti biasa, aku menyapa Takeru yang sudah buka baju.

“Oh iya, kemarin kamu pulang bareng Yuzuha ya.”

“Ah, iya bener. Indah banget buat dipandang, aku bahagia banget kemarin. Habis itu kami karaokean, dan serius deh, Yuzuha itu nyanyinya jago banget!”

“Ahaha, kalau kamu ngomong gitu langsung ke orangnya, dia pasti senang banget.”

“Masa? Tapi iya juga sih, kelihatannya dia bakal senang.”

Mendengar tawanya yang cerah seperti biasa, aku merasa sedikit lega.


"Grup itu, kayaknya sama aja kayak grup yang dulu pernah aku ikuti."

Tidak diragukan lagi, kemarin Hanazono sedang membicarakan grup Yuzuha.

Waktu itu, cowok-cowok yang bersama Yuzuha adalah Miyagi, Minegishi, dan Takeru.

Tapi setidaknya, Takeru tidak tampak mendekati Yuzuha dengan niat yang tidak-tidak.

“Bener kan! Aku percaya sama kamu, Takeru!”

“Uwah, apaan sih?!”

Aku menepuk-nepuk bahunya, dan dia menoleh sambil sedikit malu.

Sepertinya ini cuma kekhawatiranku yang berlebihan. Mungkin dua orang lainnya juga sama.

“Yup, aku percaya kamu memang beda.”

Takeru menjauh sambil berkata, “Jangan asal nuduh dong. Eh, nuduh soal apa sih ini?!”, dan aku pun tertawa kecil sambil melepas bajuku.

***

Beton abu-abu memancarkan panas yang disimpannya dari cahaya matahari.

Meski udara luar di bulan Juni terasa sedikit dingin saat hanya memakai baju renang, sedikit kehangatan yang menjalar dari telapak kaki cukup untuk meredakannya.

Begitu sampai di pinggir kolam, rasanya ingin langsung terjun ke dalam air. Mungkin karena kenangan masa SD yang membuat dorongan itu begitu kuat.

Menahan dorongan itu sambil duduk posisi siap dan mendengarkan Sensei berbicara rasanya seperti bentuk siksaan tersendiri.

Ekspresi semua orang tampak ceria, seakan musim panas benar-benar sudah di depan mata.

Kami pun berpindah ke sisi kolam yang lebih jauh, lalu berbaris empat baris sesuai urutan absen.

Saat kami semua duduk dengan posisi siap sambil menunggu Sensei, tiba-tiba seorang siswa laki-laki berseru, “Wah!”

Dua siswi masuk ke area pinggir kolam.

Takano Youko dan Sudou Maki.

Keduanya termasuk dalam grup gyaru milik Yuzuha—dan dikenal sebagai alasan kenapa kelas dua ini disebut punya siswi tercantik.

Salah satu cowok berkomentar,

“Dua orang itu juga cantik banget sih. Aneh aja mereka nggak terlalu mencolok padahal segitu cakepnya.”

“Liat mereka berdiri bareng gitu bikin pemandangannya jadi luar biasa. Di kelas lain mah mereka bisa jadi top dua besar.”

Komentar mereka memang ada benarnya.

Ketua grup gyaru: Yuzuha Yui.

Idola pendiam yang sulit ditebak: Hanazono Yuka.

Siswa pindahan yang muncul seperti meteor: Nikaidou Remi.

Ketiganya disebut sebagai top 3 tercantik di angkatan. Tapi Takano dan Sudou, hanya karena ada di grup yang sama, jadi sedikit tenggelam. Padahal kalau pindah kelas, mereka juga pasti jadi pusat perhatian. Itu kesimpulan umum para cowok belakangan ini.

Takano berambut pendek hitam, Sudou berambut panjang cokelat.

Keduanya sama-sama dikenal punya aura galak seperti Yuzuha, tapi aku tahu mereka sebenarnya cukup ramah.

Kalau kepribadian asli mereka mulai terlihat, bisa jadi mereka akan semakin populer dan bahkan menghancurkan konsep “top” itu sendiri.

Saat sedang larut dalam pikiran itu, Sudou tampaknya menyadari tatapan panas dari kami para cowok.

Takano pun langsung cemberut begitu menyadarinya dan berseru, “Ih, jangan liatin kami, dasar cowok!”

“Waduh, ketahuan!”

Para cowok langsung duduk buru-buru.

Menghadapi dua gyaru yang tampaknya akan meledak kapan saja, Takeru meletakkan tangannya di bahuku dengan panik.

“Yoshiki! Tolong tenangin Takano dan yang satunya! Kalian kan lumayan akrab!?”

“Hah!? Nggak akrab juga, cuma mereka aja yang ramah, makanya kelihatannya adem!”

“Itu justru luar biasa! Kemarin aku diperlakukan kayak budak sama mereka, tau nggak!”

“Serius!?”

Aku terkejut. Lalu Miyagi yang duduk agak di depan menoleh dan menjawab dengan nada pahit.

“Kayaknya karena mereka tahu Takeru naksir Yuzuha. Nggak kayak lo, Yoshiki. Gue sama lo kan disukai Yuzuha, makanya Takano dkk juga bersikap lebih baik ke kita.”

“Ngomong-ngomong, Miyagi dan Minegishi emang disukai juga ya. Tapi walau begitu, perlakuan ke gue tetap paling parah… Tapi tunggu, bisa jadi mereka suka sama gue juga? Cuma ngeledek aja?”

“Kalau gitu buktikan aja. Takeru, berdiri!”

Dengan komando Miyagi, Takeru pun langsung berdiri.

Dan saat itu juga, dua gyaru langsung menembakkan hujatan.

“Duduk! Jangan liatin ke sini!”

“Itu pasti ulah Miyagi, paling nyebelin, jijik pula, nggak lucu sama sekali!”

“Ah, Yui belum boleh ke sini! Ada monyet dan gorila yang nungguin!”

Sepertinya Miyagi tak menyangka dirinya juga bakal kena semprot, terlihat dari wajahnya yang mulai berkedut.

Takeru pun duduk kembali dengan gaya pura-pura menangis.

Lalu dia menepuk punggungku dengan ekspresi menyesal, membuatku akhirnya bangkit berdiri.

Di seberang kolam, aku bertemu tatap dengan dua gyaru itu.

Cahaya matahari yang memantul di permukaan air seakan menyoroti ruang di antara kami.

Takano lebih dulu membuka mulut.

“…Eh, Yoshiki? Kalau nyari Yui, dia ada di belakang. Tunggu bentar ya.”

“Yoshiki juga semangat banget, ya. Boleh aja sih berdiri, tapi kalau cara kamu segamblang itu, ya tahan-tahan aja pandangan kamu sama kita dulu.”

Ucap Sudou dengan nada setengah jengkel tapi entah kenapa terasa agak ramah, membuatku terpaku sesaat.

Memang terasa perbedaan perlakuan, tapi senyum geli dari mereka berdua terasa agak mencurigakan.

Dan saat aku duduk kembali, terdengar suara mereka yang geli,

“Eh, dia duduk.”

“Bener kan kata Yui!”

Di saat itulah aku sadar kami semua baru saja dijebak oleh para gyaru. Langsung saja para cowok melempar protes padaku.

“Kenapa lo bisa aman-aman aja sih!?”

“Filter akrab sama Yuzuha terlalu kuat, bagi dong! Kita juga mau akrab sama mereka!”

“Salah paham, dengerin yang terakhir tadi! Mereka denger obrolan Miyagi, makanya ngasih respons bagus biar makin bikin ribut! Kalau kita malah berantem, nanti malah kelewatan bagian serunya—eh, maksudnya pemandangan serunya…”

Saat sedang ngomel begitu, aku memalingkan pandangan dan melihat para cewek masuk ke pinggir kolam satu per satu.

Seorang cowok langsung menepuk jidatnya.

“Wah, Yuzuha udah di situ!? Dan yang lain juga!”

“Tuh kan, bener!”

Ternyata Takano dan Sudou adalah pasukan pembuka.

Dengan keberanian dan minim rasa malu, mereka datang lebih dulu untuk menarik perhatian para cowok.

Lalu saat kami sibuk ribut, para siswi lainnya masuk ke kolam dengan cepat, menghindari tatapan cowok-cowok.

Kalau ada Sensei pasti udah ditegur, tapi rencana para gyaru berjalan lancar. Hanazono Yuka dan Nikaidou Remi—yang jadi target utama cowok-cowok—berhasil duduk di barisan belakang dan tak terlihat.

“Sial, Remi di mana. Mereka sengaja nyembunyiin dia!”

“Emangnya kita bakal ngapa-ngapain? Nggak punya nyali juga…”

Miyagi, yang kelihatan paling mungkin melakukan sesuatu, menoleh padaku.

“Yoshiki, giliran lo. Maju!”

“Lo pikir gue ini apaan? Mana bisa ke sana sendirian!”

Meski membantah begitu, aku sangat paham perasaannya.

Karena aku juga sangat ingin melihat Hanazono pakai baju renang.

Saat cowok-cowok lain mulai terang-terangan mengintip, aku tetap duduk dan memicingkan mata dari jauh.

Dengan mengintip dari celah antara teman-teman, cewek-cewek takkan bisa melihatku.

Tapi Hanazono tampaknya duduk di posisi yang benar-benar tak terlihat, dan saat aku mulai menyerah, Sensei olahraga wanita, Kaga-sensei, muncul di pinggir kolam.

Cowok-cowok langsung membungkuk rapi, seolah tak terjadi apa-apa.

Di sebelah Miyagi, Minegishi berbisik pelan.

"Kagami yang Erotis"

Sensei olahraga perempuan, Bu Kagami, berusia dua puluh delapan tahun.

Dia juga merangkap sebagai pembina OSIS, dan dikenal sebagai Sensei yang sangat disiplin.

Kabarnya, dia sangat sensitif terhadap istilah “ara-sa” (around thirty), sampai-sampai pernah mengusir siswa laki-laki bernama Minegishi ke koridor hanya karena bercanda soal itu saat pelajaran kesehatan. Melihat anak SMA dihukum di lorong adalah pemandangan yang langka dan menarik.

Kini, Bu Kagami dengan penuh semangat menoleh ke arah kami, para siswa laki-laki, dan Minegishi langsung menyembunyikan wajahnya.

“Anak laki-laki—! Salah satu dari kalian, ke sini!”

Panggilan tajam dari Bu Kagami membuat para cowok saling pandang.

“Kenapa tuh?” “Minegishi ngapain lagi?” “Bukan gue, sumpah!”

“Miyagi aja, paling aman, kan?” “Nggak lah, gue dibilangnya gorila, tau.” “Kalau gitu, gue aja!”

“‘Takeru mah out of the question!’”

Saat semua tertawa karena Takeru berpura-pura menangis, Miyagi tiba-tiba mengajakku bicara.

“Yoshiki gimana? Kamu kan lumayan disukai cewek.”

“...Hah, gue?”

Sepertinya nama yang dilemparkan ke tengah itu dianggap pilihan masuk akal oleh semua.

“Yah... kalau Yoshiki sih bisa diterima. Tadi juga Takano sama Sudou nerima dia.”

“Pas lah, kamu juga deket sama Yuzuha.”

“Meski, aneh juga sih, Miyagi ditolak, padahal dia favorit kita.”

Yang terakhir itu komentar dari Minegishi, tapi Miyagi langsung meringis, “Jangan diungkit, malu.”

Ada yang salah di sini. Perlakuan ini berlebihan banget.

Cowok-cowok ini terlalu tinggi menilai aku. Isu aku pacaran sama Yuzuha, pengakuan bahwa aku teman masa kecilnya Remi—semua itu cuma valid kalau pihak cewek yang ngakuin.

Artinya, popularitasku sendiri tuh nggak seberapa. Masa iya aku cocok dikirim ke “wilayah cewek”?

Tapi, ini kan misi menyusup ke dunia perempuan, mungkin masuk akal juga, ya?

Kalau teman SMP-ku lihat aku sekarang, mereka bakal bilang apa ya?

Miyagi dan Minegishi itu tipikal cowok keren, lho.

“Udah, Yoshiki aja sana.”

“O-oke, deh.”

Karena dorongan Takeru yang ngomel kesal, aku cepat-cepat bangkit berdiri.

Saat aku berlari kecil ke arah tepi kolam, suara Bu Kagami langsung membentak, “Jangan lari!”

Tadi juga cewek-cewek lari-larian, lho. Tapi karena aku sekarang lagi “bertugas ke wilayah musuh”, aku cuma bisa pasang wajah polos dan minta maaf, “Maaf, Bu!”

Bu Kagami, yang tingginya hampir selevel denganku, memakai baju renang yang hampir menutup seluruh tubuhnya.

Tapi tetap saja, entah dia tidak sadar atau memang menganggap ini lebih baik daripada terlalu terbuka, posturnya tetap terlihat cukup... mencolok.

Dia menyilangkan tangan, dan... ya, bagian dadanya tampak menonjol dengan jelas.

Tanpa aku niatkan, otakku tetap saja menangkap informasi visual itu sebagai sesuatu yang “menyimpang dari norma”. Pusat perhatian jadi tidak bisa dihindari.

Dan fakta bahwa dia adalah wanita dewasa berusia dua puluh delapan tahun juga ikut memperkuat dampaknya.

Saat pikiranku mulai melayang ke arah yang tidak-tidak, terdengar suara “Uhuk” dari arah belakang.

Ketika aku melirik ke arah sumber suara, kulihat Remi duduk paling belakang dan mengarahkan pandangannya kepadaku dari sudut yang tidak terlihat oleh cewek lain.

Aku tidak bisa menebak dia ingin menyampaikan apa dari sini.

Karena aku bisa merasakan tatapan seluruh siswa perempuan tertuju padaku, menatap satu titik terlalu lama sangatlah berisiko.

Saat aku menurunkan pandangan dari Remi, aku melihat lututnya menekan dadanya yang sedang duduk dengan posisi berpeluk lutut. Bagian dadanya menyembul ke samping.

Sepertinya dia menyadari ke mana arah pandanganku, karena Remi langsung mengubah posisi duduknya dan melotot tajam ke arahku.

Aku pun kembali menghadap Bu Kagami, sambil dalam hati gemetar.

—Gawat, dia marah banget.

“Namamu Yoshiki, ya. Jadi begini, Sensei laki-laki kalian, Pak Kino, mendadak izin hari ini. Katanya beliau sedang kurang sehat.”

“Hah?”

“Karena itu, aku harus mempertimbangkan kelas gabungan untuk hari ini. Tapi, kamu tahu jadwal kurikulum kalian hari ini?”

“‘Eeeeh!?’”

Teriakan kaget dari para cewek.

Sepertinya suara Remi dan Yuzuha juga ikut terdengar.

Aku pun hampir ikut berteriak.

Jadi bukan cuma kolamnya bareng, pelajarannya juga gabungan!?

Tenang. Jangan panik.

Kalau aku panik di sini, bukan cuma kelas gabungan yang batal, tapi aku juga bakal dicap buruk sama cewek-cewek, dan kalau itu nyebar ke cowok, bisa-bisa aku dikucilkan.

Apa-apaan ini. Tadinya aku cuma disuruh bantu sebentar, kenapa jadi seintimidasi ini?

Dewasa. Aku harus bersikap dewasa.

“Ka-kari...ku...kulumnya nggak... masalah!”

“Apa?”

Aduh, parah banget belibetnya.

Bu Kagami mengernyit curiga, lalu berbicara dengan nada agak ketat.

“Kalau begitu, sepertinya kalian bisa belajar mandiri. Sebenarnya aku ingin menyuruh kalian kembali ke kelas untuk belajar sendiri. Bagaimana menurutmu? Maaf ya, padahal kalian sudah ganti baju.”

Rencana kelas gabungan langsung buyar. Rasanya campur aduk antara kecewa dan lega.

Tapi kalau disuruh balik ke kelas, para cowok pasti kecewa berat.

“Eeeh, tapi... gimana ya. Kayaknya banyak yang pengen renang, deh...”

“Kalau cuma ingin berenang, kan ada kolam renang umum.”

“Eh, bukan gitu! Ini kolam renang pertama di SMA, lho. Kalau dibatalkan, bisa-bisa semangat mereka turun drastis.”

“Aku nggak pertimbangkan ‘semangat’. Kalau turun ya tinggal tinggal kelas. Kalian itu sudah SMA, tahu?”

Diserang dengan logika tak terbantahkan, aku cuma bisa membuka dan menutup mulut seperti ikan.

Lalu, suara penyelamat datang dari samping.

“Yoshiki gugup banget ya? Lucu sih.”

Saat menoleh, kulihat Yuzuha menatap ke arahku dengan senyum menggoda.

Dengan rambut pirang terang dan baju renang warna navy, dia mencolok banget.

Tubuhnya agak tersembunyi di balik teman-temannya, untunglah. Kalau tidak, mungkin mataku bakal terpaku tanpa sadar.

“Sensei~ Apa Ibu mempertimbangkan ini karena khawatir soal kelas campuran cewek-cowok?”

“Ya... itu juga jadi pertimbanganku. Memang dasarnya ingin menghindari kelas campuran. Karena biasanya cowok bakal ribut kalau dibiarkan di kolam, mending mereka balik ke kelas.”

Bu Kagami mengiyakan dengan jujur.

Dalam hati aku panik.

Seperti sudah menduga, Yuzuha mengangguk-angguk, “Iya sih, paham kok,” lalu menoleh ke arahku.

“Tapi kan ada Yoshiki yang bisa ngawasin cowok-cowok. Jadi aku agak tenang sih. Ya kan, Remi?”

“Eh? Y-ya. Tenang juga, sih...”

Remi sekarang bagian dari kelompok Yuzuha, dan dia pegang peran sebagai yang kalem. Jadi dari segi posisi sosial, dia nggak bisa bilang “nggak setuju”.

Aku pura-pura nggak lihat tangannya yang mengepal diam-diam.

Dia tahu betul isi hatiku nggak sesuci kelihatannya.

Yuzuha juga pasti tahu.

“Sensei~ Kalau dikasih garis pembatas di kolam, aku sih oke-oke aja.”

Nada cerianya benar-benar mengubah atmosfer, dan aku bisa lihat Bu Kagami mulai bimbang.

“Tapi... kalau yang ngomong cuma teman-teman dekat Yoshiki sih agak kurang meyakinkan. ...Hanazono-san?”

Tatapan semua cewek tertuju ke arah Hanazono, dan baru sadar dia duduk di sudut paling pinggir.

Begitu bertemu pandang denganku, dia langsung menunduk malu.

“Hanazono-san, kamu dengar?”

“Y-ya.”

“Bagus. Gimana menurutmu?”

...Bu, sebenarnya dia pacar saya.

Saya sendiri masih belum percaya juga.

Dengan nada tenang, Hanazono menjawab.

“Aku... terserah saja. Kalau ada tali pembatas, cowok juga nggak bisa masuk kan?”

“Tentu. Kalau nekat masuk, langsung diskors. Tapi... ya, kalau Hanazono juga setuju, mungkin nggak apa-apa. Yang lain juga oke? Kalau ada yang keberatan, bilang aja.”

Cewek-cewek saling pandang. Entah mereka tidak mau jadi “si pembuat masalah”, atau memang nggak terlalu peduli.

Setelah itu terdengar gumaman setuju seperti, “Gak apa-apa, kok~”

“...Yah, sesuai peraturan, semua siswa punya hak untuk belajar.”

Serem juga ya, Bu Kagami hafal isi aturan sekolah kata per kata. Aku juga bakal hafal sih, kalo gitu.

Akhirnya, Bu Kagami menyerah.

“Yoshiki-kun. Siapa ketua kelas olahraga di pihak kalian?”

“Uh, Minegishi.”

“Oh iya, Minegishi. Hari ini, kamu bisa kerja sama sama dia dan atur latihan mandiri, ya? Pastikan nggak ada yang cedera. Ingat, kalian sudah SMA.”

“Siap.”

Jadi aku beneran harus jadi pengawas juga, ya? Padahal biasanya cukup ketua kelas olahraga aja. Ini pasti karena ulah Minegishi sebelumnya.

Saat aku mau balik ke sisi kolam cowok, salah satu anak dari grup Yuzuha berteriak dari belakang.

“Oi! Jangan liatin kami dengan tatapan mesum yaaa~”

“Nggak liatlah! Serius, jangan ngomong gitu!”

Tawa cekikikan langsung menyebar, dan aku merasa sedikit lega.

Setidaknya, hari ini tidak akan jadi awal keretakan hubungan antar siswa cowok dan cewek.

Begitu aku kembali ke sisi kolam, Miyagi langsung menyambut dengan satu pertanyaan:

"Yoshiki, gimana tadi?"

"...Hari ini Pak Kino nggak masuk! Jadi kita belajar mandiri di kolam renang!"

"Serius!? Dewa, asli dewa! Yoshiki dewa!"

Aku sama sekali nggak tahu kenapa namaku tiba-tiba disebut.

Tapi gara-gara kejadian ini, selama beberapa hari ke depan, aku bakal dielu-elukan sebagai legenda Yoshiki.

***

Sudah sekitar tiga puluh menit sejak pelajaran dimulai.

Awalnya, para cowok berusaha sekuat tenaga untuk menatap tubuh para cewek dalam baju renang, tapi begitu masuk kolam, ternyata para cewek tenggelam sampai pundak dan pantulan air bikin pandangan jadi buram, akhirnya sebagian besar cowok menyerah dan mulai asyik bermain sendiri-sendiri.

Ada yang lomba tahan napas paling lama di dalam air, ada yang balapan siapa cepat sampai ke ujung seberang, ada juga yang cuma ngambang telentang sambil santai-santai.

Aku sedang istirahat di pinggir kolam sambil menyandarkan punggung untuk berjemur, ketika Minegishi datang menghampiri.

Dia duduk di sampingku dan mulai bicara.

"Ahh, bahagia banget. Meskipun cuma sejam, bisa puas-puasin lihat cewek-cewek pakai baju renang. Kalau pelajaran biasa, mana bisa begini."

"Kalau terlalu lama ngelihatin, bisa-bisa pada ilfeel, lho."

"Ahaha, iya juga sih. Kalau kelihatan terang-terangan, bisa langsung disuruh keluar. Mending liatnya nyicil, ya? Tuh, liat deh, Hanazono ada di sana."

"Hmm..."

Aku mengarahkan pandangan, dan melihat Hanazono sedang turun ke sisi kolam.

Gerakannya yang membuat permukaan air beriak pelan terlihat anggun.

Entah kenapa, ekspresinya terlihat sedikit bosan.

Mungkin karena kami pacaran, jadi aku bisa merasakan hal-hal kecil semacam itu.

Apa pun alasannya, rasanya menyenangkan bisa semakin memahami dia.

"Kalau Hanazono sih, ketahuan ngelihatin juga mungkin masih bisa dimaafkan. Gimana kalau kita dekatan dikit? Tapi yang kalem aja gitu."

"Nggak, gue mending di sini. Takut ketahuan."

Jujur saja, aku juga ada keinginan untuk melihat Hanazono lebih dekat, bareng Minegishi.

Tapi karena aku tahu persis tatapan jijik yang bisa dia berikan kalau melihat hal menjijikkan, aku nggak sanggup terus mengamati seperti itu.

Lebih tepatnya, sebagai pacar, ikut-ikutan gaya Minegishi itu jelas dilarang keras.

"Fuhh, ternyata lu anaknya bener juga, ya. Mungkin itu alasan si anak baru suka sama lu."

"Gue sama dia tuh cuma teman kecil. Jadi nggak ada urusannya sama 'suka' segala. Gambaran dia ya masih kayak waktu SD."

"Yaa elah, katanya sih. Tapi katanya Miyagi juga ngincer Nikaidou tuh. Jujur aja, Nikaidou sekarang beda banget kan sama yang dulu?"

"Memang sih, tapi itu soal gimana kita menyikapinya aja. Eh, emang Miyagi suka sama Nikaidou?"

Sebenernya pengen bilang, "Dia itu salah sangka, lho," tapi kalau sampai Remi denger, tamat riwayatku.

"Mungkin bukan 'suka' sih, tapi dia tuh paling sreg sama Nikaidou. Soalnya Nikaidou tuh kayak udah 'jadi'. Maksudnya... paling aman lah, gitu."

"Ah, jadi ada juga ya yang mikir kayak gitu."

Sambil mendengarkan suara cipratan air dan teriakan seru di sekeliling, kami ngobrol santai berdua sebagai sesama cowok.

Kelompok cowok dari kelas dua itu memang kelihatan banget kayak kelompok anak populer.

Dulu pas SMP, aku nggak pernah nyambung sama kelompok kayak mereka, tapi setelah sering ngobrol, emang terasa sih kalau orang-orang yang menonjol itu biasanya jago ngobrol.

Waktu aku nggak banyak bicara pun, mereka tetap bisa bawa suasana.

Dengan posisi begitu aja, rasanya udah nyaman banget.

"Ngomong-ngomong, gue penasaran deh. Kok lu bisa akrab sama Yuzuha?"

"Eh?"

Aku kaget, dan menoleh ke arah Minegishi.

Tapi ekspresinya nggak ada maksud aneh, dan dia langsung mengibaskan tangannya panik.

"Ah, eh, tunggu, jangan salah paham. Bukan maksud yang aneh-aneh. Cuma... dari awal kalian udah kelihatan akrab, jadi gue penasaran aja."

"Yaa... emang sempat ada gosip kita pacaran sih."

Waktu aku bilang begitu, Minegishi langsung pasang wajah bersalah.

"Maaf, itu gara-gara gue."

"Hah?"

"Pas ngobrol santai, gue asal bilang kayaknya Yuzuha pacaran sama Yoshiki, terus yang lain malah jadi semangat ngebahasnya. Maaf ya."

"Nggak apa-apa sih sebenernya."

...Nggak nyangka.

Gosip yang sempat beredar tak lama setelah masuk sekolah dulu itu ternyata cuma muncul dari obrolan iseng, bukan dari niat jahat.

Walaupun pasti ada yang menanggapinya negatif, tapi asal-usulnya ternyata cuma omongan biasa.

"Bagus deh, ternyata asalnya dari lu. Gue udah lama penasaran siapa yang mulai. Nggak enak kalau harus terus mikir gitu."

"Seneng dengernya lu ngomong gitu."

Setelah menjawab begitu dengan agak canggung, Minegishi melanjutkan.

"Kemarin waktu pulang bareng Yuzuha, pas cuma berdua, gue nanya lagi soal hubungan kalian. Gue juga cerita kalau gue yang pertama kali nyebarin gosip itu..."

Minegishi menggaruk-garuk kepalanya keras-keras.

"Terus dia langsung bilang, 'Pokoknya minta maaf ke dia!' Wah, parah sih, rasanya kayak nginjek ranjau."

"Oh gitu ya. Maaf juga deh..."

"Enggak, gue yang harusnya minta maaf. Pokoknya, ya gitu deh, gue udah minta maaf ya."

"Ya. Tapi gue emang nggak terlalu mikirin kok."

"Enak ya, bisa temenan kayak gitu. Gue bener-bener iri."

Minegishi manyun sambil menatap lurus ke depan.

Kebetulan banget, Yuzuha baru saja masuk ke air lagi dari sisi kolam, jadi aku pun tanpa sadar menatapnya beberapa detik.

Kalau nantinya Minegishi juga bisa jadi teman seperti Takeru, rasanya bakal menyenangkan.

Entah kenapa aku berpikir begitu.

"Eh tapi ya, Yuzuha tuh... gede juga ya dadanya..."

"Minegishi. Sebagai teman, gue mau kasih saran. Mungkin sebaiknya lu simpan komentar kayak gitu, deh."

"Hah? Maksudnya nggak boleh ngeliat dada?"

"Iya. Kalau ngeliatnya terlalu terang-terangan, dia bisa sadar dan malah ngeluarin lu dari daftar teman. Cewek itu peka banget sama pandangan cowok, lho."

"Ehh, tapi dia kan lagi sibuk berenang. Lagi pula ini juga jauh banget."

"Ya, bukan cuma soal gimana Yuzuha ngelihat lu, tapi juga cewek lain atau Sensei juga bisa—"

Tepat saat aku hendak mengingatkan, suara tajam dari Bu Kagami menggema.

"Minegishi! Tali lintasan kolam kurang satu! Pergi ambil ke gudang sekarang juga!"

"Hah? Ke gudang!? Itu butuh waktu sekitar sepuluh menit bolak-balik, lho!"

"Kamu kan penSenseis olahraga. Saya tugaskan ke kamu. Sendiri ya!"

"Eh... serius...? Jangan-jangan ini yang Yoshiki maksud tadi?"

...Ternyata benar, kalau terus-menerus melototin cewek, bisa-bisa didepak secara tidak langsung.

Mungkin ini strategi khusus dari Bu Kagami, tapi ampuh juga.

Minegishi pun tak bisa berharap bantuan dariku dan terpaksa berjalan menjauh dengan lesu.

Melihat penderitaan dari teman baruku itu, aku jadi merasa sedikit kasihan.

***

Waktu berenang pun mendekati akhir.

Saat para murid laki-laki dan perempuan naik dari sisi kolam masing-masing, aku duduk di tengah-tengah sebagai penjaga.

Sepertinya Bu Kagami merasa tenang setelah "mengasingkan" Minegishi, jadi beliau menyerahkan tugas memindahkan tali lintasan padaku.

Katanya kalau dipindahkan setelah pelajaran selesai, tidak akan sempat untuk pelajaran berikutnya, jadi harus dilakukan dari sekarang.

Pada akhirnya, Minegishi tidak kembali sampai selesai, dan aku harus memindahkannya seorang diri.

Saat aku menyentuh tali lintasan yang memisahkan sisi laki-laki dan perempuan, terdengar suara riuh.

Ketika aku menoleh, Miyagi dan Takeru sedang adu cepat berenang dengan sengit.

Melihat itu, aku merasa iri.

Kalau saja tadi aku tidak perlu menjadi perwakilan cowok untuk negosiasi, aku pasti juga bisa bersenang-senang di kolam renang.

“Rugi banget rasanya…”

Saat aku bergumam begitu, permukaan air bergetar.

“Hmm?”

Yuzuha tiba-tiba muncul dari air dan berteriak, “Baa!”

“Uwah!”

“Hehehe, kaget ya? Dari tadi kamu kelihatan bosen banget!”

Melihat air menetes dari tubuhnya, aku langsung memalingkan pandangan.

“Ya jelas bosen, kerjaan kayak gini siapa yang nggak bosen? Lagian kamu sendiri kayaknya seneng banget, ya.”

“Ya iyalah, ini kolam renang! Harusnya kamu ikut nyebur juga! Ayo, mumpung bentar lagi selesai!”

“Mana bisa, aku bisa langsung diusir dari sisi cewek. Lagian, beresin tali lintasan sendirian aja udah makan waktu banget. Eh, maksudnya kamu mau bantuin?”

“Nggak lah! Mana kuat, capek tau!”

“Itu nggak lucu. Ya, udah kuduga sih.”

Yuzuha tertawa sambil berkata, “Males banget,” lalu melepas topi renangnya.

Ujung rambutnya yang berwarna emas terang menyentuh permukaan air dan membuat gelombang kecil.

Saat aku tanpa sadar menundukkan pandangan, Yuzuha kembali bicara.

“Eh iya, tadi sebelum pelajaran aku keren banget kan? Kalau aku nggak ada, anak cowok pasti pada disuruh balik ke kelas tuh. Bisa dibilang aku udah berkembang, gitu loh.”

“Maksudmu waktu itu?”

“Waktu kamu sama Hanazono-san di game center──”

“Stop, stop!”

Aku buru-buru menghentikannya dan melihat sekeliling.

Waktu itu maksudnya hari aku menyatakan perasaan ke Hanazono, kan?

Kalau ada yang dengar, bisa bahaya.

“Tolong deh, tolong banget, jangan bahas itu sembarangan. Hanazono juga, kalau mau cerita, pasti lebih milih ngomong sendiri.”

“Ya tau lah. Lagian nggak ada yang denger juga sekarang.”

“Jaga-jaga aja.”

Yuzuha membalas ringan, “Iya, iya,” dari bawah.

Nada jawabannya yang enteng bikin aku jadi ingin iseng.

“Oh ya, soal kamu yang bilang udah berkembang tadi, bukannya itu cuma akting doang waktu itu? Hari ini kamu cuma ngomong sesuka hati. Dibilang berkembang, ya... gimana ya. Tapi aku tetap terima kasih, kok.”

“Duh, ribet banget. Aku sendiri ngerasa udah berkembang, ya udah cukup dong. Nih ya, kamu tuh emang kelihatan banget masih cupu.”

“Ahaha, iya sih. Emang sengaja aku bilang begitu, biar puas. Wah, lega deh.”

“Tau! Ih, nyebelin!”

Yuzuha kelihatan kesal terlambat, lalu menarik lenganku dengan kuat.

“Eiiyaa!”

“Uwahh!?”

“Eh, gawat!”

Itulah suara terakhir yang kudengar sebelum pandanganku dipenuhi warna biru muda.

Aku terjatuh ke depan dari sisi kolam dan menghantam permukaan air.

──Dia bener-bener narik aku masuk!

Dan kalau ingatanku nggak salah, aku jatuh ke sisi tempat Yuzuha tadi berada.

Aku nggak mungkin bisa muncul ke permukaan di sisi cewek.

Di dalam air, aku memutar tubuh, menjejak dasar, dan mencoba meloncat keluar.

Tapi, aku langsung menyadari ada yang tidak beres.

Dalam pandangan cepatku, terlihat siluet para cewek.

Aku buru-buru berhenti dan memelototkan mata.

Dari siluet yang mulai menghilang satu per satu, sepertinya mereka sedang naik ke pinggir kolam.

Tapi masalahnya, aku sudah terlanjur mendekat ke mereka.

Artinya, ini sisi cewek.

...Gawat, aku salah arah lompat.

“Ugh…”

Aku nggak tahu kaki siapa yang ada di atas, dan aku udah kehabisan oksigen.

Sepertinya aku juga terpisah dari Yuzuha saat tadi loncat, jadi aku nggak bisa cari bantuan.

Kalau aku muncul sebentar buat ambil napas, gimana ya?

Kalau ketahuan... bisa-bisa aku diskors.

Hari ini aja aku udah beberapa kali ada di ujung nasib.

…Gawat, udah nggak kuat nahan napas.

Saat aku hendak diam-diam muncul untuk bernapas, tiba-tiba muncul siluet cewek yang mendekat.

Rambutku ditarik cukup kuat, tapi nggak sampai sakit banget.

Aku ditarik ke arah dinding kolam, dan langsung bisa menghirup udara luar.

“Buhaahh!”

Begitu paru-paruku terisi udara, aku baru sadar pandanganku gelap dan ada sesuatu yang menempel di wajahku.

“Mmh!”

Mulutku langsung ditutup erat.

Saat aku hampir mengerang karena sakit, terdengar suara ragu-ragu dari atas, suara Bu Kagami.

“──Nikaidou-san? Ada apa?”

“Enggak, nggak ada apa-apa kok. Karet rambutku jatuh, jadi aku buru-buru ambil sebelum hilang.”

──Remi!

Begitu aku sadar bahwa teman masa kecilku sedang melindungiku, aku langsung berjongkok agar tidak ketahuan.

Kuposisikan telinga sedikit keluar agar bisa dengar dengan jelas, dan tepat di atas kepalaku ada… dadanya.

…Sepertinya sebulan lalu aku juga pernah ada di posisi kayak gini.

Dulu aku belajar bahwa bergerak sembarangan cuma bakal merepotkan dia, jadi sekarang aku diam dan menahan napas.

“Ahaha, Nikaidou-san ternyata ceroboh juga ya.”

“Ahaha, maaf ya…”

Di atas ada Sensei. Kalau ketahuan, tamat riwayatku.

Meskipun begitu, posisi ini nggak kalah berbahaya.

Kalau ada yang masuk ke kolam sekarang, aku bakal langsung ketahuan, dan Remi pun ikut kena.


Di atas kepalaku terasa ada beban, dan jantungku berdetak kencang. Mungkin aku memang harus segera pergi sebelum terjadi sesuatu.

Kalau aku langsung menyeberang ke tengah sekarang, aku akan terlihat jelas oleh para cewek yang sedang berkumpul di pinggir kolam.

Kolam ini berukuran 25x25 meter. Aku harus bergerak dari sisi samping ke sisi membujur tempat papan loncat berada, lalu kembali ke sisi cowok.

Itulah satu-satunya cara yang realistis.

Cukup sudah Remi melindungiku di awal. Sekarang aku harus pergi sendiri.

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap menyelam.

Mungkin karena itu, Remi pun menyadari maksudku. Ruang antara tubuhnya dan dinding sedikit terbuka.

Begitu aku menyelam, dunia yang tadinya tegang langsung berubah menjadi sunyi senyap, seolah semua ketegangan tadi hanyalah kebohongan.

Aku menyelinap lewat sisi bawah ketiak Remi, menjaga tubuh tetap sejajar dengan dasar kolam.

Dengan satu dorongan kaki di dalam air, aku bisa bergerak dengan mulus, dan ternyata lebih mudah dari yang kukira untuk keluar dari sana.

"Buhaah!"

"Oh, Yoshiki! Mau balapan gaya bebas bareng kita nggak?"

Tawaran ceria dari Takeru membuatku sedikit lega.

Kalau ada yang melihatku tadi, pasti sudah terjadi keributan besar sekarang.

***

Setelah berganti pakaian dan keluar ke lorong, aku melihat Remi bersandar pada loker.

Ia menyibakkan rambutnya yang masih basah, lalu bertanya:

"Cowok-cowoknya belum kelar ganti baju?"

"Sebentar lagi juga kelar. Eh, sini bentar deh."

"…Apa sih."

"Udah ikut aja."

Kami berjalan menjauh dari kelas 2-kumi dan berhenti di antara kelas 1-kumi dan tangga yang mengarah ke luar.

"Wah, tadi bener-bener nyaris. Untung nggak ketahuan, hoki banget sih."

"Haa..."

"A-apaan sih."

"Kamu serius ngomong gitu? Itu karena aku yang ngambil perhatian semua orang, tahu."

"Ngambil perhatian? Serius? Kukira karena aku langsung kabur cepet."

Aku buru-buru mengucapkan terima kasih pada sahabat masa kecilku yang menghela napas kelelahan.

"Makasih ya. Gara-gara kamu aku bisa selamat."

"Nggak masalah. Tapi sebagai gantinya, traktir aku nanti. Makanan spesial kantin, gitu."

Seolah tak mau berlama-lama di tempat itu, Remi langsung berbalik.

Aku pun ikut kembali ke lorong depan kelas 2-kumi sambil bertanya:

"Oke, bakal kutraktir. Tapi, gimana caranya kamu ngambil perhatian semua orang tadi?"

Saat Remi menyipitkan mata seolah enggan menjawab, tiba-tiba Yuzuha berlari mendekat.

Aku agak kaget, lalu dia berkata:

"Remi-Remi, tadi permainan kata-katamu lucu banget loh!"

"…Permainan kata?"

"Kalau kamu ungkit itu lagi, aku bunuh kamu."

Dengan suara pelan tapi penuh tekanan, Remi mengancam, membuatku refleks mundur menjauh.

Aku jadi berdiri dekat dengan Yuzuha, yang langsung menatapku dengan wajah merasa bersalah.

Masalah ini berawal dari Yuzuha yang menarikku jatuh ke kolam.

Tapi sebelum aku sempat menegurnya…

"Yoshiki, maaf banget soal tadi! Aku panik nyari kamu tapi kamu udah hilang aja gitu!"

"Ugh… ya udahlah…"

"Hehe, aku beneran nyesel sih. Tapi makasih, udah maafin."

Karena dia langsung minta maaf dengan tulus, kemarahanku jadi melemah, dan aku hanya bisa mengangguk sambil berkata "nggak usah dipikirin."

Remi tampak tidak tertarik dengan obrolan kami, dan karena dia bilang bakal "membunuh kalau diungkit", aku tak berani menyebut-nyebut soal itu lagi di depan Yuzuha.

Saat itulah sekelompok cewek yang sudah selesai ganti baju tiba di lorong.

Karena arus balik dari ruang ganti, mereka berkumpul di sisi lorong yang berlawanan dari tempat kami berdiri.

"Cowok-cowoknya lama amat sih~"

Dengan senyum lebar, Yuzuha mendekati kelompok cewek dan berkata, "Iya ya, lama banget!"

Lalu tanpa ragu, ia membuka pintu kelas.

"Cowok-cowok, udah selesai belum!? Cewek-cewek udah nungguin nih!"

Dari dalam kelas terdengar berbagai balasan:

"Sebentar lagi!"

"Baru selesai nih!"

"Udah boleh masuk!"

"Kyaah, mesum!"

Remi juga mulai melangkah untuk masuk ke kelas.

Sekarang, hanya dia yang bisa mendengarku.

Aku pun bertanya dengan suara pelan:

"Eh, Remi."

"Hm? Kenapa?"

Meski tampak tak senang dipanggil namanya, Remi tetap berhenti.

"Waktu itu, gimana caranya kamu tahu aku nyasar ke sisi cewek? Gara-gara itu kamu bisa bantu aku, kan? Tapi kalau kamu tahu, bukannya orang lain juga bisa lihat?"

Remi bereaksi dengan sedikit kaget, lalu menatapku.

"…Kebetulan aku lihat aja. Cuma kebetulan, dan mungkin cuma aku yang nyadar. Kalau nggak, aku nggak bakal bisa nutupin kamu."

"Iya sih. Wah, aku beruntung banget kamu ngelihat aku waktu itu."

Di tengah riuhnya suara dari kelas, suara Remi masih terdengar jelas.

Bahkan bisikannya yang nyaris tak terdengar, masih sempat mengguncang gendang telingaku.

"Iya, bener. …Benar-benar nyebelin."

Sebelum aku sempat bertanya maksudnya, Remi sudah kembali masuk ke kelas.

Aku hanya bisa memiringkan kepala, menatap punggungnya yang menjauh.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close