NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Chapter 3

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 3 – Perkembangan yang Perlahan

Dalam perjalanan pulang, aku janjian bertemu Hanazono di tempat sekitar dua menit berjalan kaki dari gerbang sekolah.

Aku sengaja mengatur agar tidak ketahuan oleh siswa lain, tapi karena hampir tidak ada anggota kelas yang tidak ikut klub, risikonya nyaris nol.

Di sekolah kita, Kitakou, yang pada prinsipnya mewajibkan siswanya ikut kegiatan klub, jumlah siswa yang tergolong sebagai "klub pulang cepat" sangat sedikit.

Di kelasku, kelas 1-2, tidak terkecuali. Hanya ada lima orang yang bisa dibilang tidak ikut klub.

Remi dikecualikan karena dia murid pindahan.

Kelompok gyaru yang termasuk Yuzuha membentuk semacam klub hobi bernama "Klub Fashion", jadi mereka berada di zona abu-abu.

Hanazono sendiri adalah sekretaris OSIS, jadi pada kenyataannya, akulah satu-satunya yang benar-benar termasuk klub pulang cepat.

Yuzuha pernah bilang, “Justru kamu malah mencolok!”, tapi gosip tentang aku pacaran dengan Yuzuha sudah terlanjur menyebar, dan hubunganku sebagai teman masa kecil Remi juga sudah terbongkar, jadi percuma juga.

Walau aku mencoba menyembunyikan diri, aku tetap akan diseret ke bawah sorotan, jadi aku sudah lama menyerah untuk menjalani kehidupan SMA yang tidak mencolok.

Remi dan Yuzuha tampaknya sudah sangat akrab, dan sepulang sekolah tadi, mereka pergi entah ke mana bersama dua orang lainnya dari kelompok mereka.

Saat aku berjalan sambil memikirkan kelompok Yuzuha, aku melihat sosok Hanazono.

Berdiri di dekat jalan pintas, penampilannya yang berdiri diam di sana terlihat luar biasa imut, bahkan tanpa rasa memihak, membuat semua pikiranku tadi langsung menguap dari kepala.

“Hai~”

“O-oh.”

“Hehe. Kenapa gugup?”

“Nggak kok, nggak sama sekali, beneran nggak.”

“Yakin?”

Hanazono tersenyum lembut dan berdiri di sampingku.

“Karena ini momen spesial, gimana kalau kita lewat jalan pintas hari ini?”

Aku membelalakkan mata mendengar usulan Hanazono.

Untuk pulang dari Kitakou, siswa yang berjalan kaki harus memilih salah satu dari dua rute utama.

Entah jalan menurun yang landai, atau menuruni tangga curam terus-menerus.

“Eh, tapi itu ‘kan tangga terus sepanjang jalan.”

“Justru di sana kita bisa berdua saja.”

“...Tangga, kedengarannya bagus juga ya?”

“Hehe, gampang dibaca banget.”

“Maaf ya.”

Meskipun jawabanku bisa saja dianggap agak aneh, Hanazono tetap tertawa lembut.

Setelah menuruni jalan sekitar lima menit dari gerbang sekolah, kami sampai di tangga.

Tangga yang tidak terlalu terawat ini diapit pagar di kedua sisi, dan di balik pagar itu terbentang deretan pegunungan.

Belakangan ini katanya babi hutan suka muncul saat malam, jadi jalan ini cukup populer di kalangan siswa laki-laki.

Di jam segini, sebagian besar siswa sedang sibuk dengan klub masing-masing.

Kalau bukan karena itu, tempat ini pasti ramai.

“Gimana tadi ulangan kecil?”

“Gimana ya... parah banget pokoknya.”

“Serius? Segitunya?”

“Kayaknya hasil murni dari kemampuanku. Sebenernya sih oke aja, cuma karena sempat berharap bisa dapet nilai bagus, jadi makin nyesek.”

Kalau saja aku nggak dibantu (sedikit) sama Remi, aku bisa lebih pasrah. Tapi ujung-ujungnya aku nggak bisa jawab soal sama sekali.

Yah, meskipun begitu, aku tetap senang karena dia mau bantuin.

“Kalau kamu sendiri gimana, Hanazono?”

“Aku mungkin dapet sekitar 80. Ya, standar aja sih.”

“Tapi itu tetap jauh lebih tinggi daripada aku.”

“Masa? Jadi semangat deh!”

“Eh, woi!”

Hanazono terkekeh mendengar responku.

Percakapan mengalir begitu saja.

Entah ini sebagai teman, atau sebagai sepasang kekasih—aku sendiri nggak yakin.

Tapi kalau memang pacaran, bukankah obrolannya akan sedikit berbeda dari biasanya?

Mungkin merasakan perubahan suasana, Hanazono melirikku dengan hati-hati.

Saat aku terdiam, dia bicara seolah menanggapi diamku.

“...Mau coba... pegangan tangan?”

“...Eh? Boleh?”

“Iya. Soalnya, aku yang pengin gandeng kamu.”

Setelah mengulangi perkataannya, Hanazono mendekat sedikit padaku.

“...Eii~”

Sebelum aku bisa merespon dengan benar, tanganku sudah bersentuhan dengan tangan Hanazono.

Tak lama setelah tangga terlihat akan berakhir, Hanazono langsung melepaskan tanganku.

Cuma beberapa detik saja.

Tapi selama beberapa detik itu, aku merasa sangat sadar bahwa aku adalah pacarnya.

“...Aku ini, pacarnya Hanazono ya...”

“Kenapa? Baru sekarang kamu ngerasa begitu?”

“Nggak, lebih ke makin ngerasa aja.”

“...Kita akan pelan-pelan, ya.”

“Apa maksudnya?”

“...Ih, jahil.”

“Eh, bukan gitu maksudku…”

Mungkin maksudnya soal perkembangan hubungan kami.

Tapi kalau ditanya langsung, kesannya agak janggal, bisa bikin dia ilfeel juga.

Karena itu, aku tidak sanggup membahasnya lebih jauh.

“Ngomong-ngomong, menurutmu aku gimana sejauh ini?”

“Eh? Apa tuh maksudnya? Pertanyaannya susah dijawab…”

“Hmmm…”

Remi pernah memperingatkan aku.

Kalau aku tanya “Boleh nggak aku ngobrol sama cewek lain?”, maka dia pasti merasa harus jawab "boleh".

Tapi… benarkah begitu?

Kalau hal-hal yang sulit ditanyakan tidak dibahas sejak awal, bukankah itu bisa jadi masalah nanti?

Dengan tekad, aku pun membuka suara.

“Aku pengin nanya… aku ini boleh nggak ngobrol sama teman cewek? Teman cewekku nggak banyak sih, tapi ada beberapa.”

“Nggak masalah, kok?”

“Beneran boleh?”

Dia langsung mengiyakan, membuat saran Remi terdengar lebih masuk akal.

…Apa aku jadi bikin dia sungkan, ya?

Saat aku mulai merasa menyesal, Hanazono menambahkan:

“Soalnya, aku pacaran sama kamu karena aku udah tahu kamu bergaul sama siapa aja. Aku bakal cemburu kalau ada cewek lain yang lebih dekat dari aku, tapi kalau cuma ngobrol biasa aja udah nggak boleh, ya harusnya kamu bilang sebelum kita jadian, ‘kan?”

“Oh… begitu, ya.”

Pendapatnya terdengar logis dan sangat masuk akal.

Setidaknya aku sudah dapat lampu hijau, dan fakta bahwa dia bilang “kalau terlalu dekat itu nggak boleh” menunjukkan kejujurannya.

“Tapi, kalau itu cewek yang pernah deket sama kamu dulu, beda cerita, ya?”

“Eh?”

“Soalnya, kalau gitu, kamu bisa aja balik ke dia, ‘kan?”

Aku sempat berkedip beberapa kali sebelum paham maksud perkataannya.

“Apa-apaan, nggak mungkinlah!”

“Soalnya, kayaknya kamu tuh… populer.”

“Nggak lah, beneran enggak. Malah itu bisa dibilang bentuk ejekan, tahu.”

“Eh, tapi aku aja mau nerima pernyataan cintamu, lho.”

Hanazono melanjutkan seolah itu hal biasa.

“Artinya, kamu cukup populer dong.”

“...Kamu mendadak pede banget, ya?”

“Bukan percaya diri sih… lebih ke... soal probabilitas aja.”

Hanazono menjawab sambil agak malu-malu.

Sepertinya dia merasa itu pernyataan yang agak blunder.

“Aku ‘kan nggak sekece cewek-cewek di sekitar kamu.”

“Tapi, aku udah bilang ‘kan… aku suka kamu, Hanazono.”

“Makasih. Aku senang banget.”

“Jangan pakai kalimat lampau dong?”

Mungkin dia tidak sadar, tapi Hanazono hanya tersenyum kecil.

Kupikir dia akan terus tersenyum, tapi perlahan senyum itu menghilang.

“Waktu itu, aku cuma anggap kata-katamu setengah serius. Yang kamu bilang ‘boleh nunjukin sisi yang kamu mau aja’ itu.”

“Eh?”

“Jadi, kamu nggak perlu terikat sama ucapanmu sendiri, Yoshii. Lakuin aja sebebasnya. Kalau akhirnya tetap pilih aku, aku akan senang... tapi kalau berubah, ya nggak apa-apa juga.”

Suara lembutnya menyampaikan semua itu.

Karena suasananya berbeda dari biasanya, aku tak bisa berkata apa-apa. Hanazono pun melanjutkan:

“Manusia itu berubah, kok. Apalagi kita, di usia segini.”

“...Kamu kayak bijak banget ya.”

Aku tak sengaja mengungkapkan isi hatiku. Hanazono pun terkekeh pelan.

"Nggak suka orang yang kayaknya udah pasrah sama hidup?"

"Sama sekali nggak. Malah kelihatan dewasa dan keren."

"Senang dengarnya. Jadi orang dewasa itu keren, ya. Aku pengin cepat-cepat jadi dewasa."

"Wah, luar biasa... Aku mah, malah pengin jadi anak SMA terus. Maksudnya, masa-masa kelas satu dan dua. Nggak mau mikirin ujian masuk kuliah."

"Ahaha, aku juga nggak suka ujian masuk, sih."

"Tuh, kan! Lagian, rasanya belum bisa ngelakuin semua hal 'anak SMA banget' di putaran pertama."

"Itu sih bener. Jadi kamu pengin ngelakuin hal-hal khas anak SMA?"

"Iya dong, siapa juga yang nggak mau?"

"Aku kira kamu beda, soalnya kamu nggak ikut klub. Nggak pengin masuk?"

"Nggak, ah. Udah telat kalau mau masuk klub handball sekarang… lagipula kayaknya nggak ada klub yang enak buat masuk belakangan."

"Ada, kok. Misalnya klub relawan."

"Klub... relawan...?"

Rasanya... sangat tidak menarik.

Atau lebih tepatnya, sama sekali bukan pilihan buatku.

Relawan itu sebenarnya hal yang mulia, tapi aku nggak yakin bisa nikmatin masa muda yang berharga ini dengan ngabisin waktu buat nolong orang lain.

Lagipula, aku baru berhasil dapetin pacar impian. Setidaknya, pengin satu klub sama dia──eh, tapi OSIS kayaknya terlalu berat.

"Cuma bercanda, kok. Soalnya relawan nggak cocok sama kamu, Yo-ssi."

"Jahat banget!? Padahal dulu waktu kecil aku sering ikut bersihin sampah di sungai, lho!"

"Itu juga cukup mengejutkan, sih. Tapi aku pikir kamu lebih cocok sama kegiatan fisik."

Seolah itu adalah hal yang jelas, Hanazono menatapku.

"...Orang yang bilang begitu, mungkin hampir nggak ada di sekolah ini, deh."

"Masa, sih? Waktu pelajaran olahraga, kamu cukup kelihatan, lho?"

"Eh? Maksudnya aku jago olahraga?"

"Meski anak rumahan, kamu lumayan lincah, gitu."

"Itu jauh di bawah ekspektasi..."

Yah, emang kebanyakan orang di sini nggak tahu kalau aku dulu anak klub olahraga.

Mungkin cuma orang-orang yang kenal aku dari SMP aja yang tahu. Dan Hanazono adalah salah satu dari sedikit orang itu.

***

Begitu kami menuruni tangga, kami sampai di jalan kecil yang cukup dilewati satu mobil.

Kalau lurus terus, bakal sampai ke tangga lain, tapi kalau jalan menyusuri jalur ini, ada taman sepi.

Taman itu nggak punya mesin minuman ataupun toilet, tapi kita bisa lihat lapangan kecil dari sana.

Kami menuju bangku yang sendirian di sana, lalu duduk berdua.

Tanpa bicara, kami sama-sama tahu harus duduk di situ.

Hal kecil itu bikin aku senyum sendiri.

Setiap kali menghirup udara, terasa sedikit aroma pasir.

"Aku pengin lihat Yo-ssi main handball lagi."

"Handball ya. Kalau ada turnamen olahraga antar kelas, bakal kuperlihatin aksiku, deh."

Aku menjawab begitu sambil sedikit meregangkan tubuh.

Tubuhku yang kaku berbunyi krek-krek saat digerakkan.

Terutama di sekitar tulang belikat, rasanya sangat kaku, jadi kecepatan lemparanku pasti turun drastis.

Kemungkinan besar aku udah nggak bisa bergerak kayak yang Hanazono bayangkan.

"Fufu. Tapi kamu nggak ada niat balik ke klub, kan?"

"Yah, udah cukup lah. Udah kenyang ikut klub."

"Sayang banget, ya."

Setelah itu, Hanazono nggak ngomong apa-apa lagi.

Seira, yang suka lihat aku bertanding, masih suka nyindir biar aku balik main lagi.

Tapi Hanazono, dia sepertinya benar-benar menghargai keputusanku.

"Yo-ssi, kamu masih ingat nggak?"

"Hah?"

"Waktu kamu nyatain perasaan ke aku. Kamu bilang, ‘Aku suka Hanazono dari sisi yang kelihatan aja.’"

"Mana mungkin aku lupa. Bahkan belum lama ini kita bahas itu juga."

"Fufu, iya, sih. Tapi aku pengin bilang lagi aja."

"Bilang lagi..."

Aku agak tegang waktu dengar kata itu, tapi segera tenang lagi.

"‘Kamu nggak perlu maksain nunjukin sisi lain dirimu.’ Waktu kamu bilang itu, aku bener-bener senang."

Hanazono tersenyum lembut.

"Banyak orang ngira aku orangnya baik karena penampilan, tapi aku sadar aku nggak sebaik itu. Aku juga nggak terlalu percaya diri sama diri sendiri. Jadi ke teman-teman sekelas, aku jarang bisa jujur."

Hanazono menyelipkan rambutnya yang tertiup angin ke balik telinga, lalu bicara dengan lembut.

"Ada bagian dari diriku yang belum aku tunjukin ke kamu juga. Tapi, kalau suatu saat aku pengin nunjukin sisi itu… boleh, ya? Meskipun mungkin itu sisi yang dianggap buruk sama orang lain."

"Tentu aja boleh. Malah aku senang banget."

Begitu aku langsung menjawab, Hanazono berkedip pelan.

"Senang?"

"Iya. Soalnya setiap kali kamu mau cerita, aku bisa ngerasa kalau kamu makin percaya sama aku. Rasanya hubungan kita makin dalam. Termasuk waktu sekarang ini juga."

Kalau dia sampai mau menunjukkan sisi barunya ke aku, itu nggak mungkin bikin aku nggak senang.

Itu bikin aku merasa dibutuhkan. Bikin aku benar-benar merasa dia adalah pacarku.

"...Makasih. Aku..."

Hanazono tampak sedikit ragu, lalu melanjutkan seolah mengikuti pikiranku.

"Aku juga mulai ngerasa kalau Yo-ssi beneran pacarku."

Perlahan, dia bersandar ke bahuku.

Rasanya ada beban yang nyata di sana.

...Waktu kecil, adik perempuanku pernah tidur di bahuku, tapi rasanya jelas beda.

Teman sekelas, mantan orang yang aku kagumi, kini menyandarkan tubuhnya padaku.

Kepercayaan, ya.

Aku jadi penasaran, ekspresi seperti apa yang dia tunjukkan sekarang.

Saat aku memikirkannya, Hanazono bicara dengan suara lembut.

"Jadi, kamu juga, Yo-ssi. Nggak perlu nunjukin sisi yang kamu nggak mau tunjukin ke aku. Tapi kalau nanti kamu pengin nunjukin, kamu boleh kok. Entah itu soal klub, atau hal lainnya."

"...Makasih. Dengar kamu ngomong gitu, rasanya aku jadi kuat."

"Aku juga jadi kuat, kok. Berkat Yo-ssi."

Kata-katanya terasa menyentuh hati. Keinginan untuk dibutuhkan oleh seseorang pasti dimiliki semua orang. Hubungan di mana kedua pihak saling membutuhkan. Kami sudah jadi seperti itu.

Dan begitu aku menyadarinya, muncul keinginan baru.

Andai bisa melangkah satu langkah lagi.

Andai aku bisa lebih jujur pada diri sendiri.

Berat di bahu, rambut yang halus tertiup angin masuk ke pandangan.

...Rambutnya, pengin kusentuh, deh.

Apa yang dipikirkan Hanazono kalau tahu aku mikirin hal kayak gini sekarang?

Tapi keinginan menyentuh orang yang kita sayang, membelai kepalanya, itu pasti keinginan yang wajar.

Dengan tekad, aku mengelus kepalanya dengan lembut.

"...Nn."

"...Maaf, nggak apa-apa?"

"...Nggak apa-apa. Kan kamu pacarku."

"...Pacar."

Aku berbisik kecil.

Sebuah panggilan yang dulu hanya bisa kuimpikan, tapi diam-diam sudah aku anggap mustahil.

Dan sekarang, itu menjadi kenyataan.

"...Aku juga mulai ngerasa, beneran jadi pacar."

"Fufu. Yo-ssi itu pacarku, lho."

"Iya."

"Ayo jalan."

Hanazono menggenggam tanganku.

Momen yang membahagiakan. Kehangatannya mengalir dari telapak tanganku ke seluruh tubuh.

Begitu kami berdiri dari bangku, aku mengusulkan sesuatu.

"Yuk jalan-jalan sebentar."

"Hah?"

"Masih pengin jalan sedikit."

Mungkin, itu ketahuan banget.

Sebenarnya bukan karena pengin jalan-jalan. Aku cuma pengin sedikit lebih lama menggenggam tangannya. Sedikit lebih lama berbagi kehangatan ini.

Tanpa membahas lebih lanjut, Hanazono hanya menjawab singkat, "Iya."

Aku merasakannya dengan sangat nyata.

Pacar. Aku pacarnya.

Aku rasa, aku bakal makin suka sama Hanazono.

Dan aku yakin, Hanazono juga begitu.

Kami pasti, ke depannya──

***

Setelah berbincang cukup lama selama puluhan menit, kami pun meninggalkan taman.

“Pulang bareng sepulang sekolah itu ternyata menyenangkan, ya.”

“Aku ngerti. Jalur ini juga nggak banyak orang, jadi enak buat ngobrol.”

Hanazono mengangguk senang, senyumnya mengembang.

Saat kami kembali melangkah menuju tangga, terdengar suara lain selain milik kami.

Begitu aku menundukkan pandangan, kulihat grup Yuzuha sedang pulang bareng dalam rombongan besar.

“Uwah.”

Sepertinya mereka menyusul kami saat kami singgah sebentar ke taman tadi.

Hari ini, entah kenapa, mereka juga lewat jalur ini.

Dan yang mengejutkan, bahkan Miyagi Takeru pun ada di antara mereka—dan untuk pertama kalinya aku merasa lega karenanya.

Kalau mereka bisa jadi teman Yuzuha, mungkin sebutan “matahari” pun akan punya makna yang positif ke depannya.

“Kamu lagi lihat apa?”

“Nggak, itu lho, ada anak-anak kelas dua. Wah, kita jadi satu jalur, agak canggung juga. Mau balik pun repot.”

Begitu aku menjawab, Hanazono muncul dari belakangku dan mengintip dari samping wajahku.

Sebuah aroma lembut dan manis menyelimuti, membuatku diam-diam gugup.

“Oh iya, bener juga. Ada yang anak ekskul juga tuh. Kenapa ya?”

“Mungkin mereka lagi libur latihan. Terus karena senang, akhirnya habis itu nongkrong bareng.”

“Emangnya ekskul ada liburnya?”

“Kadang ada. Soalnya tubuh juga butuh istirahat biar bisa makin kuat. Tapi selain pas ujian, biasanya latihan tiap hari sih.”

“Oh, gitu ya. Hebat juga mereka bisa terus latihan kayak gitu.”

“Kalau emang suka olahraganya sih, nggak terlalu berat juga. Asal pembinanya nggak galak banget, ekskul itu justru bisa seru.”

“Gitu ya?”

“Ya gitu, deh.”

Padahal aku sekarang anak pulang cepat, tapi sok tahu banget aku barusan.

Sedikit malu, aku pun mengalihkan pembicaraan.

“……Ngomong-ngomong, Hanazono. Kamu pernah kepikiran pengin gabung ke grup kayak gitu nggak?”

Itu pertanyaan yang keluar secara spontan.

Bukan karena aku penasaran, tapi cuma nyambung dari obrolan barusan.

Lagipula, dari kesehariannya, Hanazono jelas-jelas bukan tipe yang suka bergabung dengan kelompok ramai.

Masih memandangi grup Yuzuha, Hanazono menjawab pelan.

“Grup-grup kayak gitu tuh... ngapain sih.”

“Eh?”

Jarang-jarang Hanazono bicara dengan nada tajam seperti itu. Aku sampai refleks bertanya balik.

“Bukan maksudku ngomongin Yuzuha dan teman-temannya ya. Maksudku, maksa masuk ke grup itu nggak bikin senang juga, kan?”

Suaranya jauh lebih dingin dari biasanya, nyaris tanpa ekspresi.

Entah siapa yang sedang dia lihat di sana.

Aku penasaran, tapi juga takut untuk tahu.

“Ah... ya juga sih. Tapi kenapa kamu bisa kepikiran begitu?”

“……Aku nggak punya kenangan bagus soal grup. Mungkin kalau dari awal memang kumpulan orang yang benar-benar akrab, bakal beda ceritanya.”

……Aku baru tahu soal itu.

Ternyata Hanazono juga punya kenangan pahit tentang grup.

Mungkin itulah alasan kenapa dia lebih sering sendiri di kelas.

Hanazono lalu menoleh padaku dengan wajah sedikit kikuk, kepala dimiringkan sedikit.

“……Maaf ya, tiba-tiba pengin nunjukin sisi aku yang kayak gini. Kamu nggak ilfeel, kan?”

Aku merasa deg-degan dan buru-buru menjawab.

“……Nggak lah, justru aku senang kamu bisa terbuka. Lagipula, aku juga ngerti kok, kalau ada grup yang kelihatannya cuma pengin eksis doang dan malah nyusahin orang lain.”

“Kalau memang grupnya niat buat saling kenal dan jadi teman beneran sih bagus aja. Tapi itu pun kalau emang niatnya tulus sebagai teman.”

……Bukan karena motif romantis, ya.

Tapi jujur, rasanya hampir mustahil cowok masuk ke grup campuran cowok-cewek tanpa mikir soal cinta sama sekali.

Meski begitu, aku memilih diam. Aku takut kalau jujur malah bikin Hanazono menjauh.

“……Kayaknya grup itu, mirip sama grup yang pernah aku ikuti dulu.”

Hanazono menjauh dariku, mulai berjalan mengikuti jalan kecil di samping.

Kalau tidak pakai tangga, rute ini akan memutar cukup jauh.

“Eh, tangganya gimana—”

“Aku nggak mau ketemu mereka. Dan aku juga nggak nyaman kalau omongan barusan didengerin orang lain. Aku cuma pengin ngobrol sama Yoshi doang.”

Nada Hanazono tetap lembut, tapi tak memberi ruang untuk dibantah.

……Mungkin karena kami sekarang pacaran, dia jadi berani bicara tentang hal-hal yang benar-benar personal seperti ini.

Seharusnya, aku merasa bahagia karenanya.

Tapi kenyataan bahwa Takeru ada di antara mereka membuatku tidak bisa sepenuhnya senang.

Lagi pula, sikap dingin Hanazono tadi… hanya pernah kulihat saat dia menolak kakak kelas yang pernah suka padanya dulu.

“Yoshi?”

“Ah, iya. Oke, kita ambil jalan memutar aja.”

Aku mengejar Hanazono.

Menyingkirkan perasaan berat yang masih tersisa dalam hatiku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close