NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Anokoro ii Kanjidatta Joshi-tachi to Onaji Kurasu ni Narimashita Volume 2 Chapter 2

 Penerjemah: Arif77

Proffreader: Arif77


Chapter 2 – Sisi Lain dari Taman Bunga

Pelajaran olahraga itu, entah kenapa, selalu bisa membangkitkan semangat cowok.

Itu berlaku juga buatku, yang sebenarnya sudah berhenti dari klub olahraga sejak SMP.

Berganti pakaian hanya bersama para cowok di dalam kelas juga selalu terasa agak berbeda dari keseharian, meskipun sudah sering terjadi.

Mungkin itu bagian dari budaya sekolah campuran—karena ingin menikmati momen langka di mana suasana seperti sekolah khusus cowok, pembicaraan soal cinta dan obrolan jorok pun jadi bebas keluar.

Saat aku menanggapi obrolan mereka dengan asal-asalan, Takeru menyapaku.

“Eh, jujur deh, YOSHIKI sama NIKAIDOU udah sampai mana sih?”

“Eh, enggak ada apa-apa, tahu. Dia cuma teman masa kecilku.”

“Wahh, cuma teman masa kecil! Kapan ya aku bisa bilang kayak gitu!”

Takeru menjerit ke arah langit-langit setelah mendengar jawabanku.

Cowok-cowok di sekeliling langsung tertawa keras sambil bilang, “Kalau sekarang aja gak punya teman masa kecil, ya kapan pun gak bakal bisa!”

Fakta bahwa aku dan Remi adalah teman masa kecil sudah diketahui seluruh kelas.

Sejak bulan lalu, tepat saat Remi muncul sebagai murid pindahan di kelas—dalam sekejap langsung ketahuan.

Waktu itu aku yang nggak tahu apa-apa, refleks bersuara saat melihat sosok teman masa kecilku yang sudah lama tak kulihat.

Karena itulah, sekarang banyak cowok yang datang ke aku buat cari info tentang Remi, menjadikanku semacam ‘narasumber’.

Jujur saja, aku cukup lega karena gak langsung jadi omongan negatif kayak waktu kasusnya Yuzuha dulu.

“Eh, Nikaidou itu emangnya ada hal-hal yang cuma dia omongin sama teman masa kecil doang, gitu? Soalnya dia kan kelihatan kayak anak orang kaya, tapi siapa tahu beda ya aslinya?”

“Eh iya, iya! Soalnya tiap kali aku ajak ngomong, matanya tuh kayak gak ikut senyum, ngerti gak?”

“Yah, bisa jadi karena dia terlalu cantik juga sih. Muka terlalu sempurna gitu lho.”

“Setuju sih, mungkin itu alasannya.”

Obrolan masih dalam batas yang bisa diabaikan, jadi aku nggak terlalu memikirkan. Tapi hari ini kok rasanya lebih ramai dari biasanya.

Karena mulai muncul dugaan soal ‘wajah asli’ Remi, aku pun jadi agak waspada.

Saat itulah, Miyagi Satoru—teman dekat Takeru—ikut membuka mulut.

“Nikaidou tuh, ternyata cukup sering ngobrol sama cowok lain juga ya. Awalnya kukira dia cuma bakal ngobrol sama Yoshiki doang.”

“Iya kan. Ya, meski kita yang sering mulai ngajak ngobrol sih, tapi tetep aja suasananya jadi hidup gitu.”

“Mungkin dia naksir aku kali!”

“Ya kaliii!”

Takeru dan Miyagi saling lempar canda dengan ceria.

Miyagi Satoru ini rambutnya cokelat, punya ekor rambut yang agak panjang, dan anak klub atletik.

Dengan tinggi sekitar 175 cm dan penampilan yang segar, dia benar-benar kebalikan dari Takeru yang dulunya botak. Gak heran kalau dia terkenal di kalangan cewek.

Dia satu-satunya di kelas yang bisa ngobrol dengan siapa aja—baik cowok maupun cewek.

Itu membuktikan kalau kepribadiannya memang nggak buruk.

Saat aku lagi berpikir seperti itu, Miyagi menatapku penuh percaya diri.

“Eh Yoshiki, lo kan deket sama Nikaidou bukan cuma karena teman masa kecil kan? Bisa gak lo tanyain, cowok seperti apa yang dia suka? Buat kita-kita gitu.”

“Aduh jangan deh. Ntar gue yang canggung. Lagian lo sendiri bisa nanya langsung, kan?”

“Eh masa sih! Tolong banget lah! Soal cinta-cintaan kayak gitu, cuma lo doang yang bisa tanya ke Nikaidou!”

“Ah enggak juga. Nikaidou mungkin malah lebih mau ngomong ke lo. Gue malah yang susah buat nanya.”

Justru karena kami teman masa kecil, kadang malah makin susah buat tanya soal begituan. Dan dengan kemampuan komunikasi Miyagi, dia pasti bisa dapat jawaban—meskipun mungkin jawaban bohong demi jaga citra.

Mungkin ekspresiku menunjukkan kegelisahan, Miyagi pun merapatkan kedua tangan, seolah memohon.

“Tolong! Nanti gue traktir makan siang spesial!”

“Ugh… licik banget lo…”

Saat aku sedang bingung, Takeru tiba-tiba membantu.

“Yoshiki kan bukan ngobrol sama Nikaidou buat nyari info ke kita. Biarin aja, itu juga sikap yang baik kok.”

“Wah… iya juga ya. Kalau dipikir-pikir bener sih.”

Miyagi tampak mengangguk puas.

Lalu dia pun dengan cepat pindah ke cowok lain, seolah sudah kehilangan minat.

Memang beda ya, orang populer itu.

Kalau bukan Miyagi, mungkin dia nggak bakal nyerah secepat itu.

Saat tinggal berdua, Takeru berbisik padaku.

“Eh, nanti kasih tahu aku tipe cowoknya Yuzuha ya.”

“Eh, malah yang itu?!”

Memang agak jadi masalah kalau cewek-cewek di kelas terlalu mencolok.

***

Saat aku dan Takeru sampai di lapangan olahraga, para cowok sudah asyik bermain bola.

Di tengah kerumunan itu, Miyagi terlihat paling mencolok dengan gerakannya yang lincah.

Aku bisa merasakan kalau Takeru di sebelahku kelihatan pengin ikutan banget.

Aku juga paham sih perasaannya.

Pelajaran olahraga dari April sampai Juni ini isinya cuma senam sama latihan dasar, jadi gak begitu menarik buat yang suka olahraga bola.

Waktu SMP dulu, kayaknya lebih sering main basket, sepak bola, atau softball. Tapi mungkin memang seperti ini kurikulum di SMA.

Padahal dalam jadwal, pelajaran bola baru dimulai nanti. Jujur aja, kecewa.

Takeru mulai melakukan gerakan kecil di tempat, jadi aku bertanya.

“Mau gabung sama mereka?”

“Eh? Ya pengin sih… Tapi lo juga gak ikut, kan?”

“Yah, bentar lagi juga jam istirahat selesai.”

“Ya udah, gue juga nggak jadi.”

“Eh, kenapa gitu?”

Mungkin dia nggak mau ninggalin aku sendirian.

Takeru memang punya sisi perhatian begitu.

“Yah, udah mulai panas juga sih. Hari ini gue gak niat nyuci baju olahraga, ribet kalo kotor.”

“Jangan bikin rencana jorok begitu. Lagian gak main bola pun pasti tetap kotor.”

“Nyahahaha.”

…Kalau begini terus, aku malah jadi ngerasa bersalah.

Mungkin sebaiknya aku ikut main bola demi Takeru, biar dia bisa senang-senang juga.

Saat aku sampai pada kesimpulan itu—

Takeru menengadah ke langit dengan ekspresi riang.

“Tapi akhir-akhir ini gue lagi seneng banget, tahu! Soalnya panas gini berarti bentar lagi itu, kan?”

“Hmm…”

Aku paham maksudnya, dan tersenyum kecil sambil menjawab, “Ah, jadi itu ya.”

Awan cumulus membumbung di langit biru.

Bahkan cowok-cowok pecinta bola pun gak bisa mengabaikan satu event besar yang semakin dekat.

“Pelajaran renang, kan? Emang udah mau mulai, ya.”

“Gue excited banget! Dibanding baju renang, bola mah lewat!”

“Hahaha, ya iyalah, semua cowok juga gitu. Apalagi sistem renang di sekolah kita ini kan unik.”

Pelajaran renang di SMA ini memang pertama kalinya buat kami.

Dan alasan kenapa cowok-cowok, terutama kayak Takeru, sangat antusias itu jelas.

“Beneran deh, sekolah kita tuh unik, ya? Zaman sekarang mana ada lagi sih, kolam renang campur cowok-cewek. Terlalu bahagia gitu!”

Ya, di sekolah ini, pelajaran renang dilakukan bersama cewek.

Waktu SMP aja dipisah, masa SMA malah gabung lagi? Siapa yang nyangka.

Jujur aja, aku juga diam-diam menantikannya.

“Sistem kuno yang paling top. Meskipun udah empat tahun lalu, beda banget sama waktu SD.”

“Bener, gak nyangka di SMA bisa gabung lagi! Rasanya usaha belajar buat masuk sekolah ini terbayar deh!”

Saat Takeru mulai kegirangan, bola menggelinding ke arah kami.

Miyagi datang mengambilnya sambil nyamperin, “Eh, ngomongin baju renang ya?”

Sepertinya dia dengar bagian akhir obrolan kami tadi.

Seperti biasa, Miyagi memang cepat menangkap suasana, dan cowok-cowok lain pun langsung ikut berkumpul. Dalam sekejap, terbentuk lingkaran besar.

Buat cowok-cowok, obrolan kayak gini tuh semacam alat komunikasi juga.

Apalagi di tempat yang gak ada cewek, jadi makin terasa bebas.

“Baiklah, untuk kalian yang sudah berkumpul… Menurut kalian, siapa yang paling gede dadanya?”

Pertanyaan Miyagi disambut dengan antusiasme para cowok yang mulai menyebutkan nama.

“Si Nikaidou, si murid pindahan?”

“Enggak, jelas si ‘Matahari’ Yuzuha lah!”

“Bener tuh! Yuzuha tuh bener-bener punya daya tarik tersendiri gitu!”

“Eh tapi temennya Yuzuha, si Takano juga lumayan, tahu. Cuma ketutupan aja. Coba lihat sendirian, bisa jadi idola dari balik bayangan!”

“Kalo gitu gimana sama si Sudou?”

“Itu mah kecil banget…”

“Jagoan tersembunyi: Hanazono-san!”

Meski topiknya rada mesum, justru karena itu, mereka jadi makin semangat.

Obrolan semacam ini emang punya kekuatan tersendiri buat mempererat hubungan.

“Eh Yoshiki! Menurut lo siapa yang paling gede?”

Karena itu, meski agak merasa bersalah, aku pun menjawab dengan enggan.

“Hmm… Kalo soal ukuran doang, mungkin Yuzuha, ya.”

“Tuh, kan! Emang si ‘Matahari’!”

Miyagi mengangguk puas.

Tapi karena aku tahu arti dari sebutan “Matahari”, aku jadi penasaran: Miyagi itu maksudnya yang mana?

Kalau maksudnya hanya sebagai pusat perhatian kelas, sih nggak apa-apa.

Tapi kalau maksudnya “semua orang bisa diajak begituan”—alias cewek yang kelihatan gampang—aku harus menghentikannya.

Tentu, aku gak bisa nanya langsung soal itu di depan umum.

Saat aku lagi mikir begitu—

“Eh eh, ngomongin aku ya?”

“Oho?”

Miyagi sedikit membuka mulutnya.

Yuzuha, yang sudah pakai baju olahraga, tiba-tiba masuk ke lingkaran cowok-cowok.

Dengan kaos lengan pendek dan celana pendek, plus jaket yang diikat di pinggang, Yuzuha kelihatan lebih terbuka dari biasanya.

Kehadirannya membuat Miyagi agak gugup.

Ketika Yuzuha nanya, “Ngomongin apa sih? Penasaran!” Miyagi, yang biasanya percaya diri, justru terlihat ragu.

Melihat situasinya, aku bisa menebak isi pikirannya.

Kalau dia ngomong terang-terangan soal ukuran dada Yuzuha, mungkin akan dicibir di depan, tapi diam-diam dihormati.

Sebagai pusat perhatian cowok-cowok, Miyagi pasti paham kondisi ini. Dan dia juga cukup berani buat melakukannya.

Benar saja, Miyagi akhirnya buka suara dengan tekad bulat.

“Eh… Kita lagi ngomongin soal… dada kamu, sih.”

“Eh!?”

Yuzuha membuka mata lebar-lebar.

“Kita tadi bikin ranking siapa yang paling gede. Tapi jangan kasih tahu cewek lain ya?”

Para cowok langsung menunjukkan ekspresi, “Wah dia beneran ngomong…”

Kalau lawannya bukan Yuzuha, bisa jadi situasi bakal mati kutu.

Tapi Yuzuha langsung ketawa lepas.

“Ahaha, dasar cowok-cowok! Tapi selera kalian bagus juga. Soalnya kayaknya emang aku sih yang paling gede~”

Miyagi yang semakin semangat langsung nanya lagi, “Serius? Ukurannya berapa, nih?”

Suasana jadi mencair. Semua cowok setengah ketawa, menunggu jawaban Yuzuha.


“Terus terang banget, ya. Tapi, apa sih, kalian semua kayak nunggu jawaban aku gitu?”

Beberapa cowok—lima atau enam orang—mengalihkan pandangan mereka ke dada Yuzuha, seolah-olah momen itu adalah satu-satunya kesempatan yang sah.

Dada Yuzuha yang penuh makin terlihat jelas karena baju olahraga yang ketat.

Mungkin karena risih dengan tatapan yang terlalu mencolok, Yuzuha akhirnya mengenakan jaket training yang tadi melingkar di pinggangnya.

Beberapa cowok menyadari hal itu dan mengalihkan pandangan dengan canggung, tapi suasana tetap santai karena Yuzuha langsung meledek mereka.

“Ugh, sumpah, tempat ini makin berasa bau cowok jomblo deh.”

Miyagi menyeringai bangga dan membuat gestur aneh dengan tangannya.

“Makanya mereka beneran ngarep, tuh. Tau nggak sih bakal gimana kalau segerombolan serigala haus kasih sayang kayak gitu mulai liar?”

“Ugh, serem. Kayaknya kalau aku nggak jawab, bakal diserbu deh.”

Yuzuha menutup mulutnya dengan tangan dan menyipitkan mata seolah kesal.

Lalu akhirnya, dia menjawab pertanyaan yang dari tadi dilontarkan.

“Hmm... kayaknya cup E, deh?”

Jawaban itu langsung disambut sorakan penuh suka cita dari para cowok.

Yuzuha nyengir geli sambil berkata, “Ugh, beneran deh, cowok tuh kayak monyet ya~”

Aku yang nggak tahan dengan situasi di sekelilingku, diam-diam keluar dari kerumunan cowok itu.

Entah kenapa.

Tapi yang jelas, ada rasa tak nyaman mengganggu di dalam dada.

Begitu menjauh dari grup dan sendirian, otomatis aku jadi lebih mencolok.

Tapi rasanya, menjauh dari kelompok cowok itu lebih penting ketimbang rasa nggak enak karena terlihat sendiri.

“Fuh...”

Saat mataku berkeliling, mencoba mencari kelompok lain untuk bergabung, suara langkah kaki terdengar dari belakang.

Begitu aku menoleh, ternyata Yuzuha mengejarku.

Begitu pandangan kami bertemu, dia langsung berhenti mendadak dan mengeluh kesal.

“Ugh, ketahuan! Parah!”

“Ya ketahuan lah. Suara langkahmu di pasir tuh berisik. Terus, yang lain mana?”

Kulihat ke arah belakang Yuzuha—kelompok cowok tadi sudah mulai main bola lagi.

Takeru juga ikut di antara mereka. Beberapa cowok masih terlihat penasaran dan melirik ke arah kami.

“Ya soalnya... ya, gimana ya? Aku sih nggak enak ngomong, takut dibilang jahat…”

“Berarti kamu juga sebenernya nggak nyaman di sana, kan?”

“Bukan, jangan ngomong gitu dong!”

Ekspresinya jelas banget kalau dia lagi kena omongan yang tepat, tapi aku memutuskan untuk memakluminya.

Kalau aku terus desak, pasti suasananya bakal makin buruk buat Yuzuha.

“Eh, tapi... Yoshi sendiri kenapa keluar? Sakit perut?”

“Bukan. Dan kamu juga jangan langsung nyusul gitu.”

“Wah, jahat!?”

“Eh, maaf. Maksudku karena kita jadi makin kelihatan menonjol.”

Begitu aku buru-buru mengoreksi ucapanku, Yuzuha menanggapi dengan “Ooh, gitu...” sambil sedikit memiringkan kepala.

“...Kamu lagi bad mood, ya?”

Aku langsung berhenti melangkah.

...Bad mood?

“Jangan lihat aku dengan muka aneh gitu dong. Aku ada salah, ya? Kayaknya nggak, deh.”

“Enggak kok, nggak gitu maksudnya...”

“Yah, jangan marah dong.”

“Maaf, aku nggak merasa lagi marah, kok.”

“Ya tapi kelihatan banget kamu kayak gitu, makanya aku bilang.”

...Jujur aku sendiri nggak merasa begitu, tapi kalau Yuzuha sampai bilang begitu, mungkin memang aku terlihat seperti itu.

Apa penyebabnya?

Yuzuha tadi dengan santainya jawab soal ukuran dadanya ke para cowok.

Aku pikir aku risih dengan reaksi para cowok itu, tapi bisa jadi... aku juga ngerasa begitu ke Yuzuha?

Karena pikiran yang makin nggak jelas arah itu, aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri.

“Aku nggak marah. Cuma... tadi suasananya bikin nggak enak aja. Cowok-cowok yang bahkan nggak akrab sama kamu, lihat kamu dengan tatapan kayak gitu... itu nggak sopan, kan?”

Mendengar jawabanku, Yuzuha terlihat bingung.

“Hah? Tapi itu kan emang udah biasa?”

“Hah?”

“Soalnya... kamu juga pasti bakal terangsang kan kalau lihat dada cewek. Masa aku doang yang harus dikecualikan, itu malah nggak adil, tahu.”

“...Oke, masuk akal juga??”

Agak bingung karena logika yang beda dari biasanya, aku melanjutkan,

“Berarti... kamu sendiri nggak masalah ya, dilihatin kayak gitu sama cowok?”

“Yaa... kadang risih juga sih. Tapi yang barusan tuh biasa aja, udah kayak keseharian. Aku udah terbiasa, kok.”

“Hmm.”

Aku mengangguk pelan, lalu Yuzuha menyeringai nakal.

“Ahaha~ ketahuan deh~ Kamu tadi ngiri ya? Wah, aku cewek berdosa nih~”

“Bukan begitu.”

“Langsung dibantah!? ...Eh, ya sih, sekarang sih wajar juga.”

Yuzuha mengetuk dahinya dengan jari, pura-pura bertingkah lucu.

Kayaknya dia baru ingat soal Hanazono.

Yuzuha Yui ini kan yang jadi mak comblang antara aku dan Hanazono. Si cupid cinta gitu.

Meski waktu hari kencan... ya, aktingnya parah banget sih.

Sambil mengingat akting Yuzuha yang super kaku waktu itu, kulihat dia tersenyum lembut, lebih hangat dari biasanya.

Matahari tertutup awan, angin sejuk membelai pipi.

“Ya, makanya... kamu nggak usah bad mood gitu, Yoshiki.”

Raut wajahnya terlihat begitu rapuh, sampai-sampai aku cuma bisa menjawab, “Oh, gitu.”

Lalu buru-buru aku tambahkan kalimat, baik untuk klarifikasi maupun menghiburnya.

“...Kalau semua cowok itu temenmu, ya bebas aja kamu ngomong soal itu. Tapi kalau sama cowok yang bahkan bukan temen, ngebahas soal dada tuh... kayaknya nggak pas aja. Tapi ternyata kamu nggak masalah, jadi ya udah, aku lega sih.”

"Kyuu-kyuu. Aku juga kadang ngomongin hal mesum sama kamu, kan? Itu sama aja."

"Itu kamu yang mulai sendiri. Lagipula, aku bilang, kalau sama teman, sih, bebas aja, kan?"

"Iya!"

Jawabannya terlalu ceria sampai-sampai aku mengernyit curiga, lalu akhirnya sadar.

"...Eh? Jadi maksudmu kita bukan teman?"

"Benar!"

"Serius!?"

"Ahaha, becanda, becanda."

Yuzuha menepuk-nepuk pundakku sambil tertawa.

Aku merasa sedikit lega.

"Sebagai orang yang pernah jadi anak kesepian waktu SMP, itu becandaan yang cukup pedih, tau."

"Tapi sekarang kamu punya pacar, kan? Dan itu Hanazono-san."

Yuzuha mengucapkan bagian akhirnya dengan suara pelan.

"Ya, benar juga sih. Aku bersyukur dan bahagia..."

"Hiiih, nyebelin banget. Jangan-jangan mau bikin channel pasangan bahagia penuh cinta, ya?"

"Cerewet. Siapa juga yang mau bikin. Balik ke topik, maksudku, ngomong di belakang sama ngomong langsung tuh beda banget. Udah ya, selesai pembahasannya!"

"Aku malah lebih gak suka kalau diomongin di belakang, loh."

"Jadi gak selesai-selesai!"

"Memang nggak mau diselesaiin. Aku suka, loh, ngobrol kayak gini sama kamu, Yoshiki."

Yuzuha tersenyum membentuk lengkungan manis di bibirnya.

Kalau cuma ngobrol, kan bisa kapan aja...

Begitu aku hendak menjawab, lonceng sekolah berbunyi dengan suara ceria.

Aku menoleh ke arah lapangan, tapi Sensei belum juga datang.

"Eh, Senseinya belum kelihatan, ya?"

"Iya. Jarang-jarang banget, ini pertama kalinya, deh."

Ketua olahraga dari kalangan cowok, Minegishi, berlari menaiki tangga menuju gedung sekolah untuk memanggil Sensei.

Melihatnya, aku membuka mulut.

"...Yah, pokoknya aku jadi belajar sesuatu hari ini. Ngomong langsung lebih baik daripada ngomong di belakang. Orang kayak kamu emang luar biasa, Yuzuha."

"Itu sih sarkas banget. Malah bikin kesel, tahu nggak. Aku ini orang biasa, loh!"

Yuzuha manyun.

Reaksi tipikal dari Yuzuha yang gak suka dianggap berbeda dari orang biasa.

Tapi aku gak sedang bercanda.

"Kalau benar-benar orang biasa, kayak aku ini, gak akan bisa melawan keburukan secara langsung."

"Hah?"

"Pas SMP, kamu pernah nolong aku, kan. Waktu itu aku gak berani ngelawan Seto langsung karena kupikir mempertahankan kondisi sekarang lebih baik daripada ambil risiko situasi makin buruk. Tapi kamu malah datang dengan berani, itu tandanya mentalmu kuat."

Yuzuha punya dua pengalaman jadi pembela.

Satu waktu SMP, satu lagi saat baru masuk SMA. Waktu gosip tentang aku dan Yuzuha menyebar, dia sempat bilang secara terbuka kalau punya nyali ngomong di belakang, mendingan ngomong langsung. Ngomong kayak gitu di kelas yang masih canggung jelas butuh keberanian.

"Oooh, jadi gitu. Aku anggap itu pujian, ya? Boleh seneng nggak?"

Aku mengangkat bahu menanggapi gaya gal-nya yang seperti biasa.

"Boleh aja. Jujur, aku kagum soal itu."

"Cha-ching! Dapet rasa kagum dari Yoshiki! Nggak terlalu butuh sih!"

"Kalau gitu jangan bikin aku ngomong!"

Setelah membalas ucapannya, aku menoleh ke atas.

Belum ada tanda-tanda Sensei datang, jadi aku lanjut bicara.

"Tapi ya, tetap aja itu beda masalah. Kalau kamu terus ngomongin hal-hal cabul sama cowok-cowok itu, takutnya malah makin banyak gosip aneh kayak soal Taiyou dan sebagainya."

"Oh, itu? Gak apa-apa, udah tersebar semua juga kok."

Yuzuha menjawab dengan ringan, lalu tersenyum jail padaku.

"Dan soal ukuran tadi, itu bohong. Aku bukan E cup."

"Eh, masa? Serius?"

"Iya. Sebenarnya F. Malah hampir G, sih."

"Apa... beneran? Eh, maksudku kamu bisa ngomong kayak gitu tanpa malu-malu..."

"Mau liat?"

"Nggak mau!!"

Meski menolak sekuat tenaga, Yuzuha tetap tersenyum nakal seperti iblis kecil.

"Kalian semua kelihatan kayak cowok polos banget. Ini masa iya E cup, sih."

Yuzuha menunjuk dadanya.

Jujur aja, antara E, F, dan G, aku gak bisa bedain. Yang kutahu, semuanya masuk kategori 'besar'.

"Kalau disentuh pasti ngerti deh. Tapi karena kamu punya pacar, ya udahlah, aku gak mau godain lebih jauh."

Untuk menghindari bahasan soal dadanya, aku mencoba mengalihkan topik.

"Ya-ya, tolong gitu. Tapi kenapa kamu bohong di depan umum, sih?"

Yuzuha melirik ke arah tangga.

Minegishi terlihat sedang turun ke lapangan bersama dua Sensei yang terlambat datang.

"...Mungkin karena aku cuma pengen ngasih tahu hal kayak gitu ke orang yang aku suka. Aku juga masih gadis, tahu."

"...Kalau begitu, artinya kamu sebenarnya gak suka kejadian tadi, dong..."

"Eh, enggak, itu beda hal. Eh, keren juga ya kalimat itu. Aku mau kasih tau Takano juga, ah."

Yuzuha mengatakan itu dengan enteng, lalu kembali ke kelompok gal-nya.

...Sepertinya lebih baik gak terlalu sering bahas hal ini lagi.

Mataku mengikuti kelompok yang paling menonjol di kelas 2.

Berbeda dengan Remi, Yuzuha tak pernah bersikap dingin atau menjaga jarak.

Kalau aku gak punya pacar bernama Hanazono, pasti sudah salah paham.

Tapi, belakangan ini, sikap Yuzuha terasa sedikit... berbahaya.

...Entah kenapa, aku merasa bisa melihat Yuzuha dengan lebih tenang dari biasanya.

Mungkin, cara pandang dari atas ini adalah efek samping dari punya pacar.

Kalau begitu, aku ingin memanfaatkannya... untuk apa, ya?

Teriakan Sensei memanggil kami untuk berkumpul, dan aku pun mendorong kaki melangkah ke lapangan.

*** 

Setelah pelajaran olahraga selesai dan kami berganti pakaian, waktu langsung berlanjut ke istirahat siang.

Saat SMP dulu ada makan siang sekolah, jadi hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Tapi ini adalah salah satu keuntungan dari budaya bento.

Sama seperti minggu lalu, aku mampir ke ruang OSIS dan makan siang bersama Hanazono.

Waktu bersama Hanazono terasa berlalu dalam sekejap, dan istirahat siang telah menjadi hal yang paling aku nantikan setiap hari.

Mungkin karena setiap kali bel istirahat berbunyi aku selalu langsung menghilang dari kelas, Takeru pun sampai pindah ke kelompok lain.

Kalau kebiasaan ini terus berlanjut, aku bisa kerepotan kalau suatu saat tidak makan bersama Hanazono.

Hari ini, karena Hanazono datang sekitar dua puluh menit lebih lambat, kekhawatiran itu sempat melintas di benakku.

Tapi, begitu aku benar-benar bertemu dengannya, rasa bahagia yang luar biasa langsung menghapus semua kecemasan itu.

Saat aku sedang membereskan kotak bekalku sambil memikirkan hal itu, Hanazono yang tentu saja tidak tahu apa yang ada di pikiranku, tiba-tiba bicara padaku.

“Yosshi. Aku sudah memantapkan hati.”

“Eh? Mantap hati untuk apa?”

Karena pernyataannya yang tiba-tiba, aku menjawab dengan bingung.

Hanazono mengumpulkan sampah bekalnya ke dalam kantong, lalu mengangkat wajahnya.

“Aku ingin mulai memberitahu orang-orang sedikit demi sedikit tentang hubungan kita.”

“...Hah? Maksudmu, bilang ke orang-orang kalau kita pacaran?”

Saat aku bertanya, Hanazono mengangguk pelan.

“Kalau bisa, sedikit demi sedikit.”

“Tapi kan kamu nggak suka terlibat dalam hal-hal yang merepotkan. Nggak usah dipaksain juga nggak apa-apa, lho.”

“Tapi aku…”

Ia menunduk sedikit dan melanjutkan,

“Entah kenapa aku masih belum merasa sepenuhnya sadar kalau kita pacaran. Aku pikir, dengan bilang ke orang-orang, mungkin perasaanku bakal menyusul kenyataan.”

Aku refleks berkedip mendengar kata-katanya.

Waktu bersamaku memang menyenangkan.

Tapi aku juga merasa, hubungan kami belum terasa seperti pasangan sungguhan.

Karena sejauh ini, kami hanya ngobrol berdua—sama seperti waktu SMP dulu.

“...Aku ngerti maksudmu. Tapi menurutku, perasaan seperti itu akan muncul seiring waktu. Bilang ke orang-orang memang gampang, tapi sekali terucap nggak bisa ditarik lagi, kan? Mengingat posisi kamu, aku rasa kita harus hati-hati.”

“Kalau gitu, Yosshi udah merasa benar-benar jadi pacarku?”

“Yah, iya sih. Aku ngerasa begitu.”

“Eh, beneran? Sejak kapan?”

“Hmm…”

...Kalau aku bilang sejak malam setelah aku nembak kamu, apa dia bakal kaget?

Setiap kali berangkat sekolah, aku selalu mikirin Hanazono lagi ngapain. Dan waktu sendirian, pikiranku hampir selalu tentang dia.

Aku tahu Hanazono tidak sampai sejauh itu.

Perasaanku dan perasaannya masih belum seimbang, dan aku menyadari itu.

Tapi aku juga sudah menerima hal itu sebagai konsekuensi dari pihak yang menyatakan cinta duluan.

Melihatku terdiam, Hanazono menunduk sedikit dengan ekspresi bersalah.

“...Maaf, ya? Aku ngomong gitu padahal belum benar-benar ngerasain. Harusnya nggak usah bilang, ya.”

“Jangan minta maaf. Itu hal yang wajar kok. Aku yang nembak kamu, dan dari sudut pandangmu, semuanya terjadi mendadak, kan? Wajar banget.”

Aku mengulang kata-kataku dengan mantap.

Hanazono mengerutkan alis membentuk huruf ‘å…«’ sambil berkata,

“Ya… memang begitu, sih. Tapi ini juga pertama kalinya aku ditembak orang, jadi mungkin aku cuma belum bisa mengikuti kenyataan ini dengan perasaan yang sesuai.”

“Cuma karena kamu baru pertama kali ditembak aja udah bikin aku seneng banget, lho. Sejak kita jadian pun aku langsung ngerasa begitu.”

“Beneran?”

“Iya. Soalnya itu berarti aku adalah pacar pertama kamu, kan? Rasanya jadi kayak spesial gitu.”

Tepat saat aku hendak melanjutkan ucapanku, Hanazono memotongnya dengan ekspresi polos.

“Eh? Kenapa kamu mikir kamu yang pertama?”

“............Kenapa, ya?”

Jawaban tak terduga itu bikin otakku kosong seketika.

Tanpa sadar, aku selama ini menganggap begitu saja. Tapi memang, belum tentu aku adalah pacar pertamanya.

Aku ingin tahu, tapi juga nggak ingin tahu.

Perasaan campur aduk itu membuatku terdiam.

“Bisa aja aku yang nembak duluan, kan?”

“Ya, ya juga sih. Bener juga.”

...Kemungkinan itu nggak kepikiran sama sekali sebelumnya.

Kalau dipikir-pikir, waktu SMP dulu Hanazono sering ngajak ngobrol duluan.

Waktu SMA memang dia jaga jarak sama cowok, jadi sulit ditebak, tapi di usia kami, aneh rasanya kalau belum pernah suka siapa-siapa.

Dan nggak mungkin ada cowok yang nolak Hanazono kalau dia yang nembak.

Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut pun, aku langsung yakin akan hal itu.

“...Hmmm.”

Aku menanggapi datar, dan Hanazono berkedip beberapa kali sebelum bertanya dengan nada sedikit khawatir.

“Yosshi, kamu ngambek ya?”

“Enggak.”

“Beneran?”

“Bener.”

“Masa, sih~?”

Hanazono terkikik pelan lalu memiringkan kepala.

“Sebenernya, aku belum pernah nembak siapa-siapa, kok. Aku nggak seberani itu. Yosshi yang pertama.”

“...Apa!? Terus tadi omongan kita itu maksudnya apa?!”

“Fufu, maaf ya. Aku cuma pengin ngomongin kemungkinan aja.”

“Dipermainkan banget rasanya…”

“Ih, jangan ngomong gitu, kesannya aku jahat.”

Hanazono tersenyum kikuk, lalu melanjutkan,

“Kalau jujur nih, aku cuma pengin sedikit membela diri aja.”

“Membela diri? Dari apa?”

“Hmm, aku takut terlihat kayak cewek yang nyebelin gitu lho, kalau dibilang cuma menerima tembakkan tapi selalu nolak. Kesannya sombong. Tapi kenyataannya memang seperti itu, makanya aku coba ngeles dikit.”

“Enggak, itu mah bukan tanggung jawab kamu, Hanazono.”

Aku langsung membalas, dan Hanazono membelalakkan mata kaget.

“Masa, sih?”

Aku mengangguk dan berkata,

“Kalau nggak cocok sama orangnya, ditembak juga pasti rasanya nggak nyaman. Aku memang nggak bisa ngerasain langsung, tapi aku rasa aku bisa ngerti.”

Saat aku mengucapkannya, aku sadar perasaan ngambekku tadi sudah hilang.

Bahkan, aku malah merasa senang melihat sisi lain dari Hanazono.

Hanazono yang selama ini terlihat sempurna, ternyata juga ingin terlihat baik di mataku.

“Gitu ya. Tapi gimana maksudnya, kamu nggak ngerti perasaanku tapi bisa memahami?”

Dia bertanya ragu-ragu, dan aku menjawab sambil menggaruk pipi.

“...Soalnya aku belum pernah kayak kamu, Hanazono. Nggak pernah sering ditembak orang. Jadi kalau aku bilang aku ngerti perasaan kamu, malah kesannya sombong, kan? Ya emang aku nggak ngerti sih. Aku sendiri pasti bakal seneng banget kalau ditembak.”

Menurutku, zaman sekarang cowok pun pasti senang kalau ditembak.

Nggak kayak generasi orang tua yang menganggap cowok harus yang menyatakan duluan.

“Tapi aku ngerasa aku cukup kenal sifat Hanazono. Dari yang aku tahu, kamu pasti ngerasa nggak nyaman kalau terus-terusan ditembak. Makanya aku bisa ngerti perasaan itu.”

“...Begitu ya.”

Hanazono mengangguk pelan, lalu menggeser kursinya lebih dekat ke arahku.

“Kalau kamu, Yosshi, bakal seneng kalau ada yang nembak kamu?”

"Ya jelas aku bakal senang banget."

"Padahal aku ada di sini?"

"…Eh, tunggu bentar? Maksudku, itu tadi kan ngomongin soal dunia paralel di masa lalu gitu, sekarang beda lagi, dan ya, tadi aku ngomong berdasarkan nilai-nilai yang aku punya selama hidup ini, gitu deh."

Saat aku mati-matian menjelaskan, Hanazono mulai tertawa cekikikan.

Sepertinya itu cuma bercanda, dan pada akhirnya dia nggak bisa nahan tawanya.

"Makanya aku bilang kamu suka nyerempet bahaya…"

"Maaf, tapi aku senang banget, jadi itu buat nutupin rasa malu."

"Kalau kamu ngomong gitu, ya aku maafin."

"Hehe, lucu banget kamu."

Hanazono tersenyum lebar, pipinya tampak mengendur.

Lalu, dia berdiri dengan anggun.

Dia melangkah menuju jendela dan menatap ke luar.

"…Walau kita punya nilai yang beda, bisa saling ngerti itu luar biasa ya. Kadang aku mikir, jangan-jangan Yoshi itu udah dewasa."

"Nggak sama sekali. Serius, aku maksa banget biar bisa ngerti."

"Faktanya kamu berusaha ngerti dengan sungguh-sungguh aja udah hebat banget. Soalnya, kebanyakan orang cuma ngomong doang."

Lalu dia menoleh padaku, dan dengan santai bertanya:

"Bagian dari Yoshi yang kayak gitu, sebenarnya karena pengaruh siapa sih?"

Nada kebahagiaan dalam hatiku sedikit memudar.

Kenangan yang sebaiknya kulupakan muncul sekilas di pikiranku.


…Mungkin karena aku sempat terasing waktu SMP.


Dulu aku anak yang polos, seperti yang ditunjukkan dari kenanganku bersama Remi.

Aku selalu mementingkan diri sendiri, dan baru menyesal setelah bertengkar.

Padahal aku takut dibenci orang, tapi tetap nggak mau berubah—sikap itu kalau dipikir sekarang bikin gatal sendiri.

Kalau diingat-ingat, peristiwa yang bikin aku salah paham dan akhirnya dikucilkan itu bisa jadi akibat dari sikapku sehari-hari juga.

Setelah kena tamparan keras, aku menyesal berkali-kali.

Dunia yang dulu terasa seperti surga di sekolah, berubah jadi rumah yang jadi tempat paling nyaman.

Aku jadi tahu betapa berharganya tempat di mana aku nggak perlu peduli dengan pandangan orang.

Dan sebaliknya, aku jadi sebisa mungkin menghindari tempat yang penuh tatapan orang.

Apalagi tempat yang mungkin dilewati teman sekelas—makin aku hindari.

Waktu sendiriku jadi jauh lebih banyak.

Dan selama waktu itu, aku habiskan dengan penyesalan.

Kenapa aku bisa salah paham?

Kenapa nggak ada yang jadi temanku?

Kenapa orang-orang yang dulu kuanggap teman, sekarang malah diam aja?

Kenapa Seto dan Miyabi, yang dulu juga teman, malah mulai nyerang aku?

Kalau gara-gara gagal nembak cewek aja bisa dikucilkan, berarti dari awal semuanya udah penuh risiko.

Kalau saja waktu itu aku bisa bersikap lebih baik.

Kalau saja aku bisa bertindak supaya nggak bikin musuh.

Penyesalan adalah proses berpikir.

Aku nggak punya keberanian buat mewujudkan khayalan buat balas dendam, jadi satu-satunya penyelamatku adalah berpikir.

Mungkin Hanazono bisa melihat sesuatu dari ekspresiku, karena setelah tersenyum tipis, dia kembali menatap ke luar.

"…Jadi Yoshi juga punya masa lalu ya. Maaf ya, jadi keinget lagi."

"Nggak apa-apa. Maksudku, sampai Hanazono merasa perlu khawatir juga kayaknya nggak gitu penting sih… Tapi ya, seperti yang kamu tahu, waktu SMP aku memang nggak terlalu lancar. Setidaknya, jadi banyak mikir kayak sekarang tuh karena pengaruh dari masa itu."

"Iya ya."

Hanazono menjawab singkat, lalu menutup jendela.

Sebenarnya aku merasa canggung.

Tapi karena Hanazono sama sekali nggak memperlihatkan rasa terganggu dengan masa laluku, aku malah merasa tenang.

Karena itu artinya, dia menerima aku yang sekarang.

"Aku juga sempat khawatir lho."

"Eh?"

"Soalnya waktu SMP kamu kayak nutup-nutupin kalau ada masalah dan berusaha keliatan keren gitu. Tapi kenyataannya kan nggak seperti itu. Jadi aku sempat mikir, jangan-jangan aku bakal kecewa."

Hanazono mengedip beberapa kali, tampak heran.

"Aku nggak bakal kecewa kok. Dari cara kamu ngomong aja, aku udah bisa nebak banyak hal."

"Yah, masuk akal sih. Kalau udah banyak ngobrol gitu pasti ketauan juga ya."

"Bukan gitu. Mungkin aku emang agak peka soal kayak gitu."

"Oh gitu?"

"Aku tuh dulu udah nggak mau ngarep ke siapa-siapa. Bahkan soal ditembak cowok pun aku udah muak banget. Kayaknya waktu itu aku udah di titik batas."

Aku pun teringat.


—"Kamu pernah benci alarm HP yang bunyinya itu-itu aja, kan? Dulu cowok-cowok di sekitarku kebanyakan kayak gitu."


Waktu itu, Hanazono udah sempat curhat soal isi hatinya.

"…Iya, kamu sempat bilang."

"Iya. Jadi mungkin aku cuma pengen cepat-cepat kabur aja dari semua itu."

…Arah pembicaraan ini rasanya nggak begitu bagus, tapi aku juga nggak punya keberanian buat menghentikannya.

Aku hanya bisa mengatupkan bibir.

Hanazono menunjukkan senyum tipis, seolah menahan sesuatu.

"Lalu, akhirnya aku nemu seseorang yang kayaknya bisa kuajak pacaran. Makanya aku pun akhirnya nerima."

"Hah, jangan bilang… aku ini jadi pelarian dari cowok-cowok itu?"

Dengan nada bercanda tapi dalam hati agak deg-degan, aku bertanya.

Hanazono langsung menggeleng cepat.

"Bukan. Maksudnya, sebelum aku sempat nerima siapa pun karena alasan itu, kamu udah lebih dulu nembak aku. Dan aku bersyukur banget soal itu."

Jawaban yang blak-blakan itu bikin mataku membelalak.

Waktu aku nggak bisa langsung jawab, Hanazono melanjutkan.

"Aku senang bisa pacaran sama Yoshi. Nggak ada hubungannya sama cowok-cowok lain atau apapun itu."

"Uh… makasih."

"Hehe."

Hanazono tersenyum lembut, sudut matanya menurun.

…Mungkinkah dia memang sudah menyukaiku sejak dulu?

Saat aku teringat suasana akrab kami sebelumnya, Hanazono kembali bicara.

"Kamu kosong nggak hari ini? Aku pengen kencan setelah pulang sekolah."

"Ke…kencan? Mendadak banget sih."

"Iya. Soalnya kalau aku bilang nggak ngerasa apa-apa, kesannya aku nggak pantas jadi pacar."

"Nggak juga kok…"

"Aku sendiri yang merasa begitu. Boleh?"

Tatapan mata Hanazono yang menatap dari bawah membuatku merasa lemas.

…Mana mungkin aku nolak?

Ajakan itu adalah suatu kehormatan sebagai pacar.

*** 

Mungkin karena janji kencan dengan Hanazono sudah diputuskan, jam pelajaran kelima berlalu dalam sekejap.

Untuk bersiap menghadapi jam keenam, aku menyelipkan jari ke dalam meja dan mencoba mengambil buku pelajaran.

“...Hmm?”

Isinya terlalu padat sampai tidak bisa ditarik keluar.

Memeriksa satu per satu terlalu merepotkan, jadi dengan pasrah aku mencengkeram sisi tumpukan buku dan menariknya keluar sekaligus.

Beberapa buku jatuh berhamburan ke lantai, dan saat aku hendak memungutnya, tiba-tiba seseorang menginjaknya dengan keras.

“Uwah!?”

Yuzuha mengangkat satu kakinya dan menatapku, si pemilik buku, dengan sorot mata tajam.

Lalu, dia tersenyum kikuk seolah lega.

“Eh, ternyata punyanya Yoshiki ya. Maaf, maaf~”

“Tadi kamu mikir ‘syukurlah cuma Yoshiki’, ya?”

“Iya!”

“Jangan jujur-jujur amat!!”

“Ahaha, maaf~!”

Sambil berkata begitu, Yuzuha berputar ke belakangku dan melihat ke dalam mejaku yang berantakan sambil berkata blak-blakan, “Ih, jorok banget.”

“Kamu harusnya beresin dalem meja deh. Maksudnya ya… dari sudut pandang umum aja sih.”

“Nggak butuh. Lagian nggak ganggu juga.”

“Nanti makin sering aku injek buku pelajaranmu lho?”

“Bisa nggak kamu yang coba buat hati-hati dikit?!”

Yah, sebenarnya memang lebih aman kalau diberesin.

Akhir-akhir ini entah kenapa isi meja selalu penuh, sampai-sampai aku terpaksa ngandelin loker di luar.

Aku sempat ingin nyari celah buat nyindir balik, tapi pas lihat isi meja Yuzuha, isinya rapi banget. Di luar dugaan.

Saat aku mau menyinggung soal itu, Yuzuha udah ngilang entah ke mana.

“Bener-bener orangnya semau sendiri, ya…”

Aku mengeluh setengah putus asa dan berdiri dari tempat duduk.

Saat berjalan menuju loker, kulihat beberapa siswa juga sedang mencari buku pelajaran.

Waktu SMP dulu, loker ditempatkan di belakang kelas, tapi aku lebih suka sistem sekarang yang pakai loker di lorong.

Soalnya tempat dudukku paling belakang, jadi setidaknya bagian belakang nggak terlalu rame.

Kulihat Remi sedang membungkuk, jadi aku menyapanya.

“Hari ini berakhir juga, ya~”

Sejenak dia terdiam.

Lalu Remi menoleh dengan ekspresi curiga.

“...Kamu tadi ngomong ke aku? Bakat ngobrolmu nol banget deh.”

“Aku juga ngerasa begitu, jadi jangan dikritik lebih parah lagi dong? Nanti aku trauma ngobrol.”

“Kayaknya kamu nggak bakal trauma walau aku bilang apa pun deh.”

Remi menghela napas, lalu seolah tak penting, menyampaikan fakta mengejutkan.

“Ngomong-ngomong, katanya hari ini ada kuis bahasa Jepang, lho. Yang waktu itu sensei bilang, lumayan ngaruh ke nilai akhir.”

“...Serius? Parah banget, cepet banget rentangnya. Eh, ini kuis mendadak?”

“Iya. Tadi pas aku ke ruang Sensei waktu istirahat siang, kudengar sensei ngobrol. Katanya, ‘karena mendadak, jadi justru ada artinya’, gitu.”

“Kenapa kamu baru bilang sekarang!? Tinggal lima menit lagi, bisa ngapain coba!? Tamat udah!”

“Aku udah bilang lho. Kamu aja yang nggak lihat pesanku.”

Saat kulihat ponsel, memang ada pesan darinya.

Dan bukan cuma satu, tapi tiga pesan selang satu menit.

Remi: “Hari ini katanya ada kuis itu, lho.”

Remi: “Kamu lihat pesanku nggak?”

Remi: “Terserah deh ya kalau kamu nggak tahu.”

Aku langsung melirik ke arah Remi, dan dia menatapku seolah berkata, “tuh kan, udah kubilang.”

“Eh, beneran segitunya langsung nyerah!? Kenapa nggak bilang langsung sih!?”

“Karena aku nggak punya kewajiban sejauh itu.”

“Bukannya kita teman masa kecil? Nggak termasuk kewajiban?”

“Terus kenapa kalau teman masa kecil? Ngobrol gini aja udah cukup, kan?”

“Ugh... belakangan kamu dingin banget... Aku ngerti sih kenapa, tapi nggak gitu juga caranya...”

“J-Jangan sedih dong. Maaf deh…”

Remi terlihat agak canggung saat meminta maaf.

Mungkin dia memang sengaja menjaga jarak, tapi cara dia langsung minta maaf menunjukkan kalau dia orang yang baik.

Jujur saja, aku sebenarnya ingin menolak ide menjaga jarak dari Remi.

Menjauh dari orang itu gampang.

Tapi untuk mendekat kembali, itu yang susah.

Tentu saja, ngundang dia ke rumah atau semacamnya sudah nggak mungkin sekarang, tapi ngobrol di sekolah setidaknya masih boleh, kan?

Toh, hubungan di kelas bukan cuma soal aku dan Hanazono.

“Tapi ya, kalau kamu dapet nilai jelek, itu murni salahmu sendiri ya. Aku nggak tanggung jawab.”

“...Iya juga sih.”

Aku sepenuhnya sadar kalau ini salahku karena nggak belajar.

Pikiran tentang nilai jelek membuatku stres, tapi setelah kupikir, ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.

“Ya udah lah, namanya juga kuis. Kalau jelek, masih bisa dikejar pas ulangan tengah semester. Bisa ketutup lah.”

Aku bilang begitu buat nyemangatin diri sendiri, dan Remi memalingkan wajah sejenak.

Lalu dia mengambil buku catatan dari lokernya dan menyerahkannya padaku.

“...Nih, kupinjemin. Aku udah tandain bagian yang kira-kira bakal keluar.”

“Eh, beneran boleh?”

“Kupinjemin aja ya. Kalau kuisnya beneran di akhir pelajaran, kayaknya masih sempet baca dikit-dikit.”

“Serius, makasih banget. Tapi... kamu yakin nih catatannya beneran bisa diandelin? Maksudku, maaf banget tapi... gimana ya, kualitas isinya?”

Soalnya aku nggak tahu gimana nilai Remi sekarang.

Dulu waktu SD dia memang lebih pintar dariku, tapi aku juga waktu itu nilainya jelek, jadi belum tentu sekarang juga bisa diandalkan.

Remi mungkin menangkap keraguanku, dan dia mengerutkan kening.

“Kamu ngeremehin aku ya? Di sekolahku yang dulu, aku itu peringkat satu lho.”

“Serius?”

“Iya. Kamu mungkin nggak tahu, tapi pindah ke sekolah ini itu sebenarnya lebih susah daripada masuk dari awal.”

“Wah, terima kasih sebesar-besarnya!”

“Dasar mata duitan...”

Dengan nada jengah, dia menyerahkan catatan itu padaku.

Ngomong-ngomong, aku jadi ingat kalau dulu aku sering ke rumah Remi buat minjem buku latihan kanji.

Saat menerima catatan itu, kenangan lama itu tiba-tiba muncul kembali.

Setelah kembali ke kelas, kulihat Yuzuha mondar-mandir di sekitar mejaku.

“Ada apa?”

“Ah, Yoshiki! Mau pinjem catatanku nggak?”

“Nggak usah.”

“Kenapaa!? Nilai bahasa Jepangnya aku peringkat dua, tahu!?”

“Soalnya aku udah dipinjemin sama kandidat peringkat satu nih.”

Dengan bangga aku jawab begitu, dan Yuzuha langsung manyun.

Nggak nyangka juga sih, ternyata bahkan di SMA, aku masih bisa diselamatkan sama Remi di momen kayak gini.

Namun, harapanku ternyata meleset.

Padahal aku udah menghafal semua bagian yang ditandai, tapi ternyata satu pun nggak keluar di soal kuis.

Hasilnya: 45 poin.

Karena Remi dapet nilai 100, berarti dia cuma gagal dalam hal memprediksi soal. Bisa dibilang, gaya belajarnya kayak gorilla berotak pintar tapi nggak bisa nebak.

Meski begitu, aku tetap berterima kasih atas perhatian Remi, dan memutuskan untuk meminjam dari Yuzuha aja lain kali.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close