Penerjemah: Arif77
Proffreader: Arif77
Chapter 1 – Kehidupan Baru Sehari-hari
“Wih, mantap juga , Yoshiki!”
Pagi itu, sesaat setelah masuk kelas, si gyaru berambut pirang—Yuzuha Yui—langsung memujiku.
Dia duduk di bangku depanku dan bersandar di mejaku sambil menatapku dengan wajah berbinar penuh semangat.
Sebenarnya, bangku itu milik Arino Takeru, cowok dengan kepala nyaris botak. Tapi yah, itu cerita lama.
Aku tahu persis kalau Arino juga pasti rela kalau bangkunya direbut oleh Yuzuha.
Sementara aku memikirkan itu, Yuzuha—yang mengenakan hoodie ungu melilit pinggangnya di atas kemeja putih—menatapku dari bawah sambil tersenyum riang, seolah bisa mendengar nyanyian dari hatinya sendiri.
“Eh, jujur deh, ini semua kan gara-gara aku, ya kan? Maksudnya, karena aku bantuin, makanya berhasil, kan? Yoshiki, kamu bersyukur dong sama aku?”
“U-uh, itu… gimana ya…”
Aku resmi berpacaran dengan Hanazono—baru kemarin.
Lewat bantuan Yuzuha Yui, teman masa kecil dan pusat perhatian kelas 2-2, aku berhasil jadi pacarnya Hanazono.
Sejujurnya, ini seperti keajaiban.
Kalau aku yang waktu SMP tahu soal ini, pasti langsung pingsan.
Meskipun kami sekolah di SMP yang berbeda, aku dan Hanazono dulunya sering pulang bareng dari bimbel.
Tapi karena sikapnya yang ketat dan menjaga jarak, sudah tak terhitung banyaknya cowok yang ditolak.
…Dan sekarang, Hanazono membuka hatinya padaku sebagai lawan jenis.
Jujur saja, aku nggak punya cukup keberanian untuk mengajak dia kencan sendirian, jadi mungkin memang berkat Yuzuha-lah semua ini bisa terjadi.
Tapi… mengingat aktingnya yang lebay waktu itu, aku agak susah untuk tulus mengucapkan terima kasih sepenuhnya.
Bahkan si Remi pun sempat bingung sendiri.
“Eh, kenapa tuh mukanya aneh gitu? Masa kamu perlu waktu segitu lama buat bilang terima kasih ke aku?”
“...Ya, iya deh. Kita anggap aja gitu. Makasih, Yuzuha. Semua bisa berjalan lancar karena kamu juga.”
“Hei! ‘Anggap aja’ itu maksudnya gimana!? Hakim, ini penghinaan loh!”
“Ssst! Jangan teriak-teriak!”
Aku buru-buru menghentikannya.
Soalnya, aku belum sempat bahas dengan Hanazono, sejauh mana hubungan kami boleh diketahui orang lain.
“Yah—Yoshiki hari ini nggak semangat banget, sih. Padahal aku tuh datang sekolah khusus buat ngomongin ini loh!”
“Aku apresiasi, beneran. Tapi gini, soal itu…”
Baru saja aku mau mengeluarkan larangan bicara untuk Yuzuha, seorang cowok tiba-tiba datang dengan semangat tinggi.
“Pagi, Yoshiki!”
“Ugh… Takeru…”
“Ugh apaan tuh.”
Takeru membalas dengan senyum getir.
Rambutnya yang dulu botak kini mulai tumbuh, nyaris jadi cepak.
Dialah pemilik sah bangku yang diduduki Yuzuha.
Melihat aku dan Yuzuha tampak akrab, kemungkinan besar dia mencoba mendekatkan diri juga.
Wajar aja sih, secara bangkunya diambil.
Tapi Yuzuha malah cemberut kayak anak kecil yang mainannya diambil.
“Maaf, pagi Takeru. Jadi, ada apa?”
“Ya, karena kalian berdua kayak lagi seru banget ngobrol, aku penasaran. Kalian lagi ngomongin apa sih?”
Tatapan Takeru sesekali melirik ke arah Yuzuha.
Sebelum dia mulai mengorek lebih dalam, aku buru-buru menghentikannya.
“Tolong deh, jangan tanya terlalu jauh. Aku belum siap ini ketahuan.”
“Apaaan! Kalau mau ngucilkan orang, setidaknya ngomongnya lebih halus, dong. Sakit tau!”
“Arino-chi, soal ini kamu orang luar. Aku tahu kamu deket sama Yoshiki, tapi ini tuh bukan soal kedekatan aja, ngerti nggak?”
“Kalau Yuzuha yang ngomong, ya… aku masih bisa nerima sih… Tapi, ini soal apa sih? Jangan pelit-pelit gitu dong, kasih tahu lah.”
Takeru kembali menatap Yuzuha dengan suara manja.
Sekilas, matanya seolah tertarik ke arah belahan dada Yuzuha yang terbuka.
Bahkan aku yang ngelihat dari samping pun sadar, apalagi Yuzuha sendiri pasti lebih ngeh.
Tapi Yuzuha sama sekali nggak terganggu, malah menjawab riang.
“Hmm… Arino-chi pengen tahu ya?”
“Pengen banget!”
“Tapi yaa~ aku juga harus dapet izin dari Yoshiki dulu sih──”
“Berhenti!”
“Fumugyu!?”
Aku tanpa sadar menutup mulut Yuzuha dengan telapak tangan.
Awalnya cuma mau memberi isyarat, tapi karena panik, tanganku langsung menutup mulutnya.
Menyentuh Yuzuha secara langsung… dulu aku nggak akan pernah membayangkan itu terjadi.
Tapi ini semua karena Takeru menciptakan situasi darurat.
“Faan dee!”
Yuzuha menggoyang-goyangkan meja sebagai bentuk protes.
Tapi dia tidak berusaha menghindar. Sepertinya dia memahami bahwa aku ingin menyembunyikan hubungan dengan Hanazono.
Tadi juga dia sempat bilang “kalau Yoshiki izinin…”
…Mungkin saja dia memang berniat untuk menjaga rahasiaku.
Yuzuha memang sering disalahpahami karena penampilannya yang mencolok, tapi dia nggak pernah melewati batas dalam hubungan antar manusia.
Justru, dia ahli membaca jarak dengan orang lain dan tahu kapan harus mendekat atau menjaga jarak.
Makanya waktu SMP, dia bisa jadi pemimpin kelas dan disukai banyak orang.
Tapi sayangnya, karena dia adalah pusat perhatian kelas, apa pun yang dia katakan pasti jadi bahan spekulasi.
Maka dari itu, cara terbaik adalah… secara fisik menutup mulutnya seperti ini.
“Mugugugu!”
Akhirnya Yuzuha mulai bersuara, kelihatan kesulitan bernapas.
Aku pun buru-buru melepas tanganku. “Uwah, maaf!”
“Haa… haa… tadi aku hampir dibunuh sama Yoshiki…”
“Maaf banget, tadi nggak sengaja kepencet. Awalnya pelan kok.”
“Masalahnya bukan itu! Awalnya iya sih, tapi makin lama makin sesak!”
“Aku traktir roti manis deh.”
“Hidupku cuma seharga seratus lima puluh yen!?”
Takeru terlihat agak kaget melihat percakapan kami, lalu nyeletuk penasaran, “Y-Yuzuha… jangan-jangan kamu tuh M…?”
Yuzuha langsung mengernyit.
“Ha? Aku bukan M, oke! Aku cuma nggak seberapa jijik karena yang nyentuh Yoshiki. Tapi bukan berarti aku suka, ya? Cuma… ya aku masih bisa maafin kalau cuma roti manis.”
Aku bersyukur atas kebesaran hatinya.
Takeru lalu menatapku tajam dan berkata, “Eh, Yoshiki! kau nutup mulut Yuzuha kayak gitu, kalian berdua tuh deket banget, jangan-jangan kau pacaran sama dia!? Apaan coba tadi, ‘karena Yoshiki’!?”
Aku menatapnya dan tersenyum lebar.
“E-Eh, senyum-senyum apaan kau!?”
“Fufufu… ya, gitu deh.”
Mungkin sekarang aku berada di titik paling jauh dari dugaan Takeru.
Aku memang belum bisa bilang tanpa izin dari Hanazono, tapi… aku sekarang punya pacar.
Dengan suara agak pelan, aku menjawab:
“Tenang aja, Takeru. Aku tuh nggak mungkin jadian sama Yuzuha.”
“Bener tuh. Emang sih aku deket banget sama Yoshiki, tapi kita nggak sampai sejauh itu. …Eh, tunggu, kalau kayak gini, batas ‘sejauh itu’ tuh dari mana, ya?”
“Jangan ngomongnya ambigu gitu dong!”
Melihat arah pembicaraan makin runyam, aku nyaris menutup mulut Yuzuha sekali lagi.
Yuzuha tertawa ngakak, tapi kecurigaan Takeru belum reda.
“Bisa aja kalian berdua nipu aku, loh. Aku tuh kalau udah curiga, susah percaya lagi! Jangan-jangan kalian tuh beneran pacaran diem-diem kayak gosip yang pernah beredar dulu──”
“Itu tidak mungkin.”
Suara tenang menyela suasana.
Bagaikan riak air yang langsung menghilang, suasana jadi hening seketika.
Bukan cuma Takeru, bahkan Yuzuha pun menoleh dengan ekspresi terkejut.
Di belakang kami bertiga, sesosok gadis berdiri.
“Ha—Hanazono…”
Dia menatapku perlahan.
“Selamat pagi, Yosshi.”
“O-oh, pagi.”
Aku mengangkat tangan sedikit lalu buru-buru menurunkannya lagi.
Hanazono membalas dengan senyuman kecil.
…Gawat, dia manis banget.
Mata hijau zamrudnya, auranya yang anggun.
Walau terlihat seperti hewan kecil yang menggemaskan, aku tahu lebih dari siapa pun bahwa dia adalah seorang gadis, sepenuhnya.
Hanazono adalah pacarku.
Hanazono, pacarku.
Apa aku menganggap dia manis karena statusnya sebagai pacar?
Tidak, bukan itu.
Sudut pandang objektif dalam diriku yang berseru seperti itu.
Sensasi ketika aku berpelukan dengan dia kemarin masih terasa di tubuhku.
Ketika bayangan itu muncul di benakku, Takeru mengajukan pertanyaan pada Hanazono.
“Ke-kenapa itu tidak mungkin? Yah, memang Yuzuha-san sendiri yang membantahnya, jadi kalau dia bilang begitu ya mungkin memang begitu sih…”
Biasanya Hanazono tidak berbicara dengan laki-laki, jadi Takeru terlihat agak canggung.
Hanazono terdiam sejenak.
Setelah menatapku dengan tenang, dia berkata, “Ya. Aku serahkan pada Yoshiki-kun,” lalu berjalan kembali ke tempat duduknya.
Aku, Yuzuha, dan Takeru hanya bisa memandangi punggungnya dengan wajah bingung.
…Kalau dia mengatakan itu di sini, berarti aku boleh menjawab pertanyaan itu, kan?
Benarkah tidak apa-apa?
Hanazono biasanya tidak banyak bicara dengan laki-laki. Bahkan dengan sesama perempuan pun, dia bukan tipe yang sering memulai percakapan.
Alasan dia dikenal di sekolah lebih karena para laki-laki yang diam-diam membicarakannya, padahal Hanazono sendiri termasuk orang yang tenang.
Bagi orang seperti dia, gosip tentang berpacaran adalah topik yang sebisa mungkin harus dihindari.
Takeru yang memecah keheningan.
“A-aku tadi bicara dengan Hanazono-san…”
Aku hampir saja menimpali, “Kamu malah senang soal itu?”
Yah, aku bersyukur juga karena hubungan kami tidak digali lebih dalam.
Namun, tampaknya pikiran Takeru sudah melayang ke arah yang tak terduga.
“Wah… apa ini awal dari kisah cinta yang baru? Gawat, sepertinya aku baru saja menemukan cara untuk menjadi lebih bahagia. Aku akan mencoba mendekati Hanazono—”
Sebelum aku sempat memahami maksud dari ucapannya, Yuzuha mengangkat bahu.
“Jangan, Arino-cchi.”
“Eh, kenapa? Aku bahkan belum selesai bicara.”
“Sudah hampir selesai sih? Intinya, Hanazono-san terlalu berat buat Arino-cchi.”
“Uwaah, terlalu jujur banget sih!?”
Takeru memegangi kepalanya dengan gaya yang berlebihan, sementara Yuzuha tertawa terbahak-bahak.
“Hanazono-san itu bunga yang tumbuh di puncak tebing, tahu. Kebalikan banget dari aku.”
“Jangan merendahkan diri sendiri.”
Saat aku menegur dengan nada tegas, Yuzuha mengedipkan mata.
“Hmm… kalau terdengar begitu, berarti kata-kataku agak menyesatkan ya. Ahaha, meski begitu, aku senang kamu membelaku, Yoshiki. Tapi rasanya lucu juga, ya.”
“Enggak lucu sama sekali.”
“Maaf ya, Arino-cchi. Maksudku tadi, kamu boleh langsung ambil kontakku dari grup Line kelas. Bukankah aku termasuk yang gampang dicari?”
“Be-benar juga. Aku juga boleh ambil dari Line kelas?”
“Ya jelas boleh, dong.”
Yuzuha tersenyum cerah.
Takeru pun langsung berbinar dan balik bertanya.
“Jadi, Yoshiki juga dulu mulai ngobrol lewat kontak dari grup?”
“Hmm, aku pernah bilang begitu ya? Gimana ya, Yoshiki?”
“Sepertinya begitu. Mungkin kamu yang duluan peka dan menanyakannya.”
Saat itu aku jelas tak mungkin bisa memulainya duluan.
Sebelum aku sempat menambahkan hal itu, Takeru menghela napas dan menunduk lesu.
“Jadi Yoshiki yang didekati duluan oleh Yuzuha-san ya… Memang ada perbedaan perlakuan rupanya…”
“Eh, berlebihan banget sih.”
Yuzuha menurunkan alisnya dengan ekspresi bingung.
Melihat Takeru yang seakan-akan hancur setelah mendengar percakapan barusan, aku justru merasa lega dalam hati.
Dengan gaya bicara yang ringan seperti ini, mungkin ucapannya soal ingin mendekati Hanazono tadi hanya bercanda setengah hati.
Bahkan mungkin sekarang dia sedang senang.
Bagaimanapun, Takeru adalah salah satu penggemar berat Yuzuha di kelas 2-1.
Bisa berbicara dengannya saja sudah seperti sebuah peristiwa penting, apalagi sampai bisa ditertawakan dan dipastikan akan bertukar kontak—ini mungkin sudah seperti pencapaian besar dalam hidupnya sebagai laki-laki.
Aku meninggalkan mereka dan berjalan menuju Hanazono.
Saat aku berdiri di depan tempat duduknya, Hanazono tampak sedikit terkejut melihatku.
“Yosshi. Ada apa?”
“Ah, itu…”
“Ya?”
Hanazono menunggu kata-kataku.
Dengan kepala sedikit dimiringkan, dia menatapku. Aku pun akhirnya berhasil bertanya.
“Bagaimana? Apa kita akan memberi tahu teman-teman di kelas?”
“...Terserah kamu. Aku tidak keberatan, mau bagaimana juga.”
Hanazono tersenyum lembut.
Bulu matanya yang panjang sedikit bergetar.
“...Tapi.”
“Tapi?”
Hanazono bersandar dengan satu tangan menopang pipinya, memandang ke luar jendela.
“Aku rasa, lebih baik tidak usah diberi tahu.”
Meskipun tetap menyerahkan keputusan padaku, ia menyampaikan sarannya.
Namun, bagiku yang adalah pacarnya, itu sudah seperti keputusan mutlak.
“Aku tidak mau terlibat dalam hal-hal yang merepotkan.”
“...Iya, aku juga sudah sadar soal itu. Aku juga merasa tidak enak kalau sampai merepotkanmu.”
“Ah, maaf. Bukan maksudku menyuruh Yosshi untuk memikirkan perasaanku, kok.”
Ucapan Hanazono membuatku tertegun sejenak.
“Aku minta maaf karena membuatmu salah paham. Aku bilang begitu karena aku yang merasa tidak enak sendiri.”
“Ja-jadi begitu ya.”
“Iya. Tapi… terima kasih. Pada akhirnya aku tetap merepotkanmu.”
“Enggak, bukan begitu maksudku…”
Aku harus menghargai perasaannya.
Pemikiran sederhana semacam itu, untungnya sudah tertanam kuat di benakku.
Padahal aku belum pernah punya pacar sebelumnya. Siapa ya yang mengajarkan hal itu padaku?
Saat aku sedang tenggelam dalam pikiran itu, Hanazono menyentuh ujung seragamku sebentar.
Dengan sudut matanya yang lembut, dia berkata:
“Yosshi. Mulai sekarang, aku titipkan diriku padamu, ya.”
“…Iya.”
“Fufu.”
Dia tersenyum.
Dengan suara yang hanya ingin didengar olehku saja.
Itulah bukti nyata bahwa Hanazono kini telah menjadi kekasihku.
***
Homeroom pagi ini sepertinya akan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Wali kelas kami, Pak Hasegawa, sedang mencari sukarelawan untuk membersihkan area depan ruang Sensei.
Karena waktunya saat istirahat siang dan pekerjaannya cukup berat—seperti mengangkat barang—tentu saja tidak ada yang mengangkat tangan.
Melihat situasi itu, Pak Hasegawa langsung melemparkan tugas itu, "Yuzuha, bisa aku serahkan padamu?"
"Eh, aku lagi? Pak Sensei pilih aja sendiri, dong."
Dalam situasi seperti ini, yang sering mengambil keputusan bukan Sensei, tapi Yuzuha. Mungkin karena kalau dia yang ambil alih, semuanya jadi lebih cepat selesai.
Begitu berdiri di depan kelas, Yuzuha menyapu pandangan ke seisi kelas dengan tatapan tajam.
Tanpa ragu sedikit pun, dia pun mengumumkan:
"Kalau gitu, tim yang bakal bantu ke ruang Sensei hari ini adalah grup Miyagi dan Minegishi, oke?"
"Kenapa kami!? Ruang Sensei tuh jauh banget dari kelas! Dan ini tuh pas jam istirahat, nggak masuk akal!"
Beberapa siswa cowok protes keras karena keputusan yang cukup sepihak itu.
Namun, Yuzuha hanya menggeleng santai, seperti sudah terbiasa.
"Aku ngerti kok kalau jauh itu nyebelin. Tapi tetap harus ada yang ngerjain, kan? Lagipula ini lebih banyak angkat-angkat barang, jadi waktunya cowok unjuk gigi, dong?"
"Kalau soal cowok, Pak Hasegawa juga cowok, kan!"
"Eh, iya juga sih."
"Jangan disetujuin dong!"
Pak Hasegawa yang berdiri di dekat situ ikut menyela, dan seisi kelas pun tertawa kecil.
Memasuki bulan Juni, anak-anak kelas dua mulai semakin akrab satu sama lain.
Yuzuha kembali ke topik dengan nada santai.
"Kali ini tuh bantuannya angkat barang banyak, loh? Semua cewek juga pasti pengennya minta tolong anak-anak klub olahraga."
"Ugh… ya udah deh, kalau gitu."
Begitu beberapa siswa cowok mulai menyerah, Yuzuha menjentikkan jarinya dan berkata, "Sip, udah diputusin!"
Tepat saat itu, bel berbunyi, menandakan akhir homeroom hari ini.
"Yuzuha ternyata rajin juga, ya."
"Lah, emang aku kelihatan nggak rajin?"
"Dari mananya rajin!?"
Di tengah percakapan santai itu, ada hal yang mengganggu pikiranku, membuatku berdiri.
Aku mengarahkan pandanganku ke Nikaidou Remi.
Teman masa kecilku, dan juga cinta pertamaku.
Dan, gadis yang dulu sempat jadi 'nyaris jadian' denganku.
"Remi, pagi. Tadi nyaris telat ya."
Saat aku menyapanya dari belakang, Remi langsung tersentak kaget.
Lalu, dengan tatapan seolah melihat sesuatu yang tak bisa dipercaya, dia menoleh ke arahku.
"Eh, kenapa tatapanmu gitu?"
"Kamu waras?"
"Apa maksudmu? Terus, eh… gimana kabar si kucing?"
Aku mencoba memastikan, karena Remi biasanya pakai ‘topeng’ alias bersikap manis saat di sekolah agar bisa hidup damai.
Seolah tersadar, Remi buru-buru tersenyum dibuat-buat.
"Kamu waras?"
"Kata-katanya tetap itu ya…"
Begitu aku menjawab, Remi berdiri begitu saja.
Tanpa benar-benar menjawab, dia langsung keluar ke lorong untuk menyimpan buku ke loker pribadinya.
"Kenapa sih dia…"
Aku bergumam pelan dan langsung mengejarnya.
Mungkin maksudnya memang menyuruhku ikut.
Begitu sampai di lorong, untungnya tidak ada teman sekelas lain di sekitar.
"Remi, jangan bersikap dingin gitu dong. Meski ‘itu’ berhasil, bukan berarti kita nggak bisa ngobrol lagi, kan—"
"Anda siapa, ya?"
"Haah?"
"Jangan sok akrab."
Remi mengatakan itu dengan dingin, lalu berjalan cepat meninggalkanku.
Aku cuma bisa terdiam, melongo melihat punggung sahabat masa kecilku itu menjauh.
…Kok rasanya dingin banget ya? Atau lebih tepatnya, dinginnya nggak normal?
Bulan lalu, aku dan Remi bertemu kembali untuk pertama kalinya setelah empat tahun.
Empat tahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah cara Remi bersikap pada orang di sekitarnya, dan tentu juga mengubah hubungan kami.
Tapi, selama waktu yang kami habiskan sejak pertemuan itu, dia belum pernah sejahat ini.
Lagipula, Remi bukan tipe orang yang bersikap kasar tanpa alasan.
Memang, waktu SD dulu, saat nolak cowok yang suka padanya, dia bisa sangat dingin, tapi—
Saat aku masih bengong, seseorang menepuk-nepuk pundakku dari belakang.
Saat aku menoleh, Yuzuha sudah ada di sana, tampak agak canggung.
"Yoshiki, kamu tadi bertengkar sama Nikaidou-san ya?"
"Kamu lihat?"
"Cuma bagian akhirnya sih. Aku mau ngagetin kamu, eh malah liat yang kayak gitu. Kamu bikin dia marah ya?"
"Nggak kok. Aku malah kira dia bakal ngucapin selamat hari ini."
Aku menjawab sambil mendesah, lalu Yuzuha menggaruk pipinya dengan canggung.
"…Ah, aku ngerti. Jadi soal itu, ya. Kayaknya aku paham deh."
"Aku sih nggak ngerti sama sekali. Maksudmu ‘soal itu’ apaan?"
"Umm—ya kamu tanya langsung aja ke orangnya. Tapi kalau mau, aku bisa bantu panggil dia balik ke sini, kok?"
“Kenapa juga, ini kan nggak ada hubungannya sama kamu, Yuzuha.”
Tanpa sadar aku menolaknya begitu saja, dan Yuzuha langsung melotot kaget.
“Nggak ada hubungannya? Hmm. Hmm... HMM!?”
Wajah Yuzuha semakin tampak kesal, dan aku buru-buru minta maaf, “Bukan begitu, maaf!”
Orang biasa kayak aku nggak punya kemampuan untuk menghindari tekanan dari seseorang dari kasta atas seperti Yuzuha.
Untungnya, aku bisa cepat sadar dan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda permintaan maaf.
“Maaf, sebenarnya ada hubungannya juga sih! Aku cuma ngerasa ini masalah antara aku dan Remi.”
Yuzuha menyipitkan mata mendengar penjelasanku, lalu beberapa detik kemudian mendengus pelan.
“...Yah, ya udah deh. Lagian, aku juga bisa nebak-nebak, jadi aku kasih saran aja.”
“Eh, saran apaan?”
“Alasannya cuma satu. Hal yang berubah dari kamu sejak kemarin itu... pacar, kan? Kamu udah ngobrolin soal itu sama Nikaidou-san sebelumnya?”
“Ngobrolin gimana...?”
“Nah kan, ketebak.”
Yuzuha mengangguk-angguk seolah semuanya sudah sesuai dugaannya.
“Ya tapi, masa itu alasan Remi buat ngejauh dari aku? Kita ini kan teman masa kecil.”
“Justru karena itu.”
Yuzuha memutar-mutarkan rambut pirang keemasannya.
“Karena teman masa kecil, dia pasti nganggep kamu penting. Teman masa kecil itu kayak gitu kan? Kayaknya sih.”
“Ucapan terakhir kamu bikin aku ragu semua omongan sebelumnya...”
Ucapan yang maknanya sama kayak ‘aku nggak tanggung jawab’ itu bikin aku refleks menghela napas.
Meskipun begitu, tetap saja saran dari Yuzuha sangat berguna.
“Kamu percaya aja. Meskipun aku nggak punya bukti sih. Tapi kamu kan mau punya kehidupan SMA yang penuh warna, jadi mending buru-buru baikan deh. Rugi kalau nggak!”
“Padahal aku nggak ngerasa kita bertengkar sih... Tapi ya udah, aku coba usahain deh.”
Mendengar tekadku, Yuzuha tersenyum cerah.
“Yap! Tapi selama kamu mau baikan, jangan sampai Hanazono salah paham ya.”
“A-akan kuingat baik-baik...”
Memang, kalau terlalu agresif mau menyelesaikan masalah, bisa bikin kesalahan kayak gitu.
Saran dari Yuzuha yang kelihatannya berpengalaman benar-benar sangat membantu di saat kayak gini.
Dengan rasa terima kasih dalam hati, aku langsung mengejar Remi.
Tak butuh waktu lama, aku bisa melihat punggung sahabat kecilku itu.
Saat dia baru saja turun ke lantai satu dari lantai tiga tempat anak kelas satu berada, aku langsung mempercepat langkahku.
“Re... Nikaidou!”
“Dasar...”
Mungkin karena sudah sadar dari suara langkah kakiku, Remi langsung berbalik sambil menatap tajam.
Tatapan itu bisa bikin orang kayak Takeru terlempar puluhan meter.
Tapi untukku, yang sudah lama kenal dengannya, itu tidak berpengaruh.
Aku berjalan sejajar di sampingnya dan berbicara dengan nada santai.
“Maaf ya, aku nggak seharusnya manggil nama kamu di depan orang lain, ya?”
“Ngomong biasa juga nggak boleh. Kamu sadar posisi kamu sekarang?”
“Kamu juga udah lupa ya, soal kamu yang pura-pura jadi anak baik?”
“Bukan pura-pura, aku cuma bersikap anggun dan sopan!”
“Kalau kamu bisa ngomong begitu, itu bukti kalau kamu pura-pura.”
Remi menunjukkan ekspresi seperti sedang menahan omelan yang ingin dilontarkan, lalu menghela napas panjang.
“...Kamu udah punya pacar, kan? Selamat, dan selamat tinggal.”
“Eh, tunggu, kenapa gara-gara itu kita jadi nggak bisa ngobrol?!”
“Justru karena itu. Kamu nggak peduli pandangan orang sekitar?”
“Aku peduli, sih!”
“Makanya aku tanya. Soalnya kamu nggak kelihatan begitu.”
Remi membalas dengan nada kesal, lalu berhenti berjalan.
Kalau melangkah beberapa langkah lagi, kami akan sampai di pintu keluar ke taman tengah sekolah, yang biasanya sepi di jam seperti ini.
Waktu jadi piket, aku juga merasa seperti itu, jadi sepertinya memang benar.
Dalam keheningan yang sunyi, aku pun mencoba menjelaskan.
“Kalau gitu, nanti aku tanya ke Hanazono deh. Boleh nggak aku ngobrol sama kamu di sekolah.”
“Jangan.”
“Kenapa?”
Remi terlihat sedikit ragu sebelum menjawab.
“Kalau ditanya kayak gitu, orang jadi nggak bisa jawab selain ‘iya’, kan? Apalagi baru jadian.”
“Oh, gitu ya?”
“Mungkin. Terus juga—”
Remi tampak hendak melanjutkan, tapi menutup mulutnya lagi.
Beberapa detik hening, lalu akhirnya dia berkata,
“...Nggak jadi.”
“Apa itu? Bilang dong.”
“Nanti juga kamu ngerti sendiri pas udah pacaran.”
Remi mengangkat bahu dan mulai naik lagi ke tangga.
Kupikir dia mau ke taman atau ruang Sensei, jadi aku bertanya dari belakang.
“Eh, emang kamu tadi ke bawah ada urusan apa?”
“Mau ke toilet.”
“Lho, kenapa nggak di lantai tiga aja?”
“Lantai ini lebih sepi. Lebih tenang gitu.”
...Sama persis kayak aku waktu dulu jadi anak penyendiri di SMP.
Kalau Remi, mungkin alasannya karena iri hati orang lain atau semacamnya.
Saat aku sedang memikirkan hal itu, Remi tiba-tiba berhenti.
“...Eh, Hanazono-san itu cantik, ya?”
“...Iya. Cantik banget.”
“Oh ya. Bagus deh.”
“Kenapa kamu masih bersikap dingin sih?!”
“Soalnya ekspresi kamu menjijikkan.”
“Wajar dong, dia kan pacarku!”
“Berisik banget, ya udah ngerti kok...”
Remi menghela napas dengan wajah letih dan naik tangga lagi.
...Kenapa sih dia kelihatan kesal?
Padahal yang nyuruh aku maju dan jadian itu... kamu sendiri, Remi.
Sambil memikirkan hal itu, aku kembali mengejarnya.
***
"Yossi, mau makan siang bareng?"
Ucapan Hanazono langsung membuat suasana sekitar sedikit heboh.
Biasanya, begitu jam istirahat tiba, Hanazono langsung pergi entah ke mana. Tapi kali ini, tepat setelah bel masuk berbunyi, dia berjalan lurus ke arahku.
Saat itu aku sudah sedikit berharap, tapi ternyata dia benar-benar mengajakku.
"Eh, maksudmu aku, kan?"
Tanpa sadar aku balik bertanya, dan Hanazono mengedipkan matanya.
Lalu, dia tersenyum kecil.
"Iya, Yossi. Nggak ada orang lain juga kan."
"…Kenapa aku?"
"Eh... Hmm? Ya, soalnya aku ada perlu?"
Begitu Hanazono menjawab, terasa jelas kalau minat orang-orang di sekitar langsung surut.
Reaksi mereka seakan bilang, “Oh, ada perlu toh… ya, wajar sih.”
Di dalam hati aku merasa lega, lalu mencoba menjawab dengan gaya sok tenang, “Oke.”
Karena kami sudah memutuskan untuk menyembunyikan hubungan sebagai pacar, jika Hanazono tiba-tiba mengajakku makan siang, pasti akan menimbulkan kecurigaan.
Meski aku belum sempat mengutarakan kekhawatiran itu, sepertinya dia bisa menangkap maksudku dan menyesuaikan sikapnya.
Interaksi kami seolah sudah seirama tanpa perlu bicara—dan itu membuat hatiku hangat.
Begitu kami berdua pindah ke koridor, aku langsung bertanya.
"Heh, barusan itu cukup berisiko, kan? Hanazono biasanya nggak ngajak cowok makan siang, kan?"
"Eh, nggak apa-apa kok. Aku punya alasan jelas, kan."
"Tapi kamu nggak bilang jelas juga tadi."
Meski aku bilang begitu, Hanazono cuma menatap ke atas sejenak seperti sedang berpikir, lalu menjawab, "Nggak apa-apa kok."
"Ya udah. Kalau gitu... kita ke kantin?"
"Enggak ah. Di sana kan banyak orang yang bisa lihat. Lagian, kalau ada kakak kelas yang sempat aku tolak waktu itu, bisa jadi canggung."
"Ah… iya juga."
Waktu itu, Hanazono ditaksir oleh senior dari klub sepak bola dan dia menolaknya mentah-mentah.
Kalau sekarang mereka melihat kami makan bareng, padahal belum lama sejak kejadian itu, jelas bisa menimbulkan masalah.
"Makanya, kita ke ruang OSIS aja, yuk? Kayaknya hari ini kita bisa berdua aja di sana."
Berdua saja.
Aku ingin merenungkan arti dari "berdua saja" sepanjang hari.
Bagiku yang belum pernah punya pacar, itu adalah ungkapan dengan tingkat kebahagiaan tertinggi.
"Berdua saja… iya, mari kita berdua saja."
Hanazono mengedip, lalu berkata dengan sedikit malu-malu.
"...Tapi, nggak boleh ngelakuin yang mesum ya."
"T-tentu aja nggak!"
Aku buru-buru menyangkal dengan sekuat tenaga.
***
Begitu masuk ke ruang OSIS, ternyata memang tidak ada siapa-siapa di dalam.
Situasi berdua seperti ini membuat tenggorokanku terasa tercekat.
Tapi, suara perutku justru berbunyi, menghapus momen itu.
Mendengar bunyi perutku, Hanazono tertawa kecil.
"Yossi buru-buru banget."
"Aku laper banget, tahu. Nih, jadi ketularan kan?"
"Iya, aku juga jadi lapar sekarang."
Tingkat kelaparan saat jam keempat sangat tergantung apakah kita sarapan atau tidak.
Padahal tadi pagi aku sarapan dengan cukup, tapi perut ini tetap saja keroncongan.
Yah, kalau bisa membuatnya tertawa, biarlah suara perutku itu mati dalam damai.
Dengan perasaan puas, aku membuka tutup bekal makan siang.
Entah kenapa, lauk hari ini terasa lebih mewah dari biasanya.
...Jangan-jangan Ibu menyadari sesuatu dari sikapku kemarin?
Lalu, Hanazono tiba-tiba menengok ke arahku.
"Wow, bekalnya Yossi mewah banget."
"Kamu juga, lauknya banyak banget. Itu beli di toko, ya?"
Bekalnya Hanazono adalah bento dari minimarket.
Aku sendiri jarang makan bento minimarket.
Makanya, saat sesekali muncul di meja makan, rasanya seperti menu spesial yang bikin semangat naik.
Menanggapi pertanyaanku, Hanazono menjawab dengan ringan.
"Iya. Jadi ini bekalnya ala kadarnya."
"Hah? Padahal kelihatan enak banget! Isinya menu favorit cowok semua tuh!"
"Masa sih? Buat cewek, ini agak berat lho."
Memang, kalau dilihat lagi, lauknya didominasi warna cokelat.
Lebih cocok dengan selera cowok, sih.
"Kalau gitu, di minimarket kan ada bento yang isinya salad atau sayuran. Kamu kurang suka yang begituan, ya?"
Saat aku bilang begitu, Hanazono yang sedang mengeluarkan sumpit tiba-tiba terdiam.
Lalu dia menjawab dengan suara pelan.
"...Soalnya, aku lapar. Waktu ngajak makan siang tadi, aku lupa kalau hari ini bekalnya ini. Tadi pagi aku sebenarnya mau masak sendiri... tapi malah kesiangan."
Hanazono bicara seperti sedang mengajukan alasan. Jarang sekali dia seperti itu.
Aku pun langsung bereaksi, "Kamu masak sendiri?"
Masak sendiri—aku tahu artinya, tapi apakah semua cewek memang biasa masak sendiri?
Yuzuha juga sering masak, jadi aku nggak heran kalau Hanazono juga begitu.
Tapi Remi sepertinya masih dimasakin orang tuanya, dan itu terasa lebih "normal".
"Memang sih, kadang males masak cuma buat diri sendiri... hehe, ini kayaknya nggak pantas diucapin cewek, ya?"
Hanazono mengaku dengan malu-malu.
"Nggak lah, bisa masak aja udah keren kok! Aku aja baru bisa masak nasi, itu pun kadang salah pencet atau kebanyakan air, sampai dimarahin Ibu. Lagian, soal cowok-cewek nggak ada hubungannya."
"Masa iya?"
Hanazono tidak secara langsung setuju, tapi wajahnya terlihat lebih tenang.
Sepertinya setidaknya sebagian dari kata-kataku sampai kepadanya.
"Yossi bantuin Ibu aja udah hebat, lho."
Hanazono memuji pelan, lalu membuka segel bento-nya.
Sepertinya sudah sempat dipanaskan sebelumnya, jadi masih layak makan.
Hanazono terlihat sedikit malu.
"...Tukeran lauk, yuk."
"Hah?"
"Di rumahku, lauk kayak gitu jarang banget muncul."
Kroket, lumpia, hamburger kecil, dan spageti.
Masing-masing cukup jadi menu utama sendiri.
Bagi siswa SMA laki-laki yang masih dalam masa pertumbuhan, ini benar-benar makanan mewah.
"Tapi, bekalmu kan dibikinin Ibu. Nggak apa-apa tukeran?"
"Gak apa. Aku belum makan apa-apa kok."
Sambil berkata begitu, aku mengambil satu potong karaage pakai sumpit.
"Nih. Tukeran cokelat dengan cokelat."
"Eh?"
Hanazono menatap karaage itu dengan bingung.
"Lagian, nih aku kasih juga brokoli sama tomat ceri."
"Sebanyak ini? Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, beneran."
Apa ini nggak malah nyusahin dia?
Sedikit khawatir, aku melirik ke arahnya. Tapi Hanazono sudah bersiap makan brokoli.
Aku pun merasa lega, lalu memasukkan karaage ke mulut.
Makan siang bareng Hanazono bikin lauk dari bento minimarket terasa sepuluh kali lebih enak.
Meskipun pernah jajan di minimarket, ini pertama kalinya aku makan di sekolah seperti ini.
Hanazono melipat kantong plastik yang membungkus bentonya kecil-kecil, lalu memasukkannya ke dalam tas tangan.
Dalam perjalanan balik ke kelas, kami harus lewat jalur yang ada tempat sampahnya.
Catatan kecil itu aku simpan di kepala.
***
Setelah itu, kami tenggelam dalam obrolan ringan selama makan.
Obrolan saat masih berteman, obrolan setelah mulai saling menyukai, obrolan sesaat setelah mulai menjauh—dan obrolan saat sudah menjadi sepasang kekasih.
Topik obrolan sebenarnya hampir tidak berubah, tapi kurasa, mulai sekarang akan ada perubahan yang datang sedikit demi sedikit.
Aku merasakan harapan akan hal itu sambil terus berbincang dengan dia.
“Terima kasih. Makanannya enak,”
Setelah selesai makan, Hanazono merapatkan kedua tangan di depan dada dengan gerakan sopan.
Aku pun menirunya, berbisik, “Gochisousama,” lalu menambahkan:
“Enggak perlu terima kasih, kok. Masak sendiri itu pasti capek, jadi aku senang kamu bisa istirahat. Masak sendiri itu repot banget, kan?”
Hanazono mengangguk pelan.
“Iya, menurutku sih repot banget. Kalau buat orang lain mungkin beda ya, tapi kalau cuma buat diri sendiri, aku nggak punya semangat buat masak.”
“Ah, aku ngerti. Sama kayak belajar, kan?”
“Ya kan!? Sampai mikir, ‘Ngapain juga aku sekolah?’”
“Ahaha, kalau dibilang gitu, aku jadi ngerasa tertohok.”
“Fufu.”
Aku dan Hanazono pertama kali saling kenal lewat tulisan di atas meja.
Dari awal aku sudah sadar, tapi ternyata sifat Hanazono itu terasa dekat di hati.
Hanazono pun bergumam lirih:
“Bisa ngobrol kayak gini tuh, ngebantu banget…”
“Be-begitu ya? Kapan aja kamu mau ngobrol, bilang aja, ya.”
“Makasih. Aku bakal hati-hati supaya nggak bikin kamu ilfeel.”
“Aku nggak bakal ilfeel, kok.”
“…Beneran?”
Hanazono tersenyum lembut dan menatapku tepat di mata.
Aku sempat ragu untuk mengulangi kata-kata yang pernah kuucapkan saat mengungkapkan perasaan padanya.
—Aku nggak akan berusaha melihat sisi-sisi yang ingin kamu sembunyikan. Aku senang kalau kamu bisa menerima sisi memalukan diriku, tapi aku nggak bakal nuntut hal yang sama dari kamu. Buatku, itu udah cukup.
Hanazono yang aku lihat sekarang sudah cukup bagiku.
Tapi, toh belum beberapa hari sejak kejadian itu.
Terlalu cepat untuk mengulang ucapan itu sekarang.
Lagi pula, keinginan untuk mengenal sisi dirinya yang baru masih tetap ada. Aku hanya memilih untuk menahannya.
Kalau aku terus mengulang kata-kata itu, bisa-bisa justru jadi beban buat Hanazono untuk membuka dirinya.
Kalau dia bisa menunjukkan sisi dirinya yang baru dengan keinginannya sendiri, itu sudah jadi kebahagiaan tersendiri sebagai pacar.
Saat aku tenggelam dalam pikiran-pikiran seperti itu, Hanazono mulai bicara lagi.
“Tapi, karena kamu udah dengerin curhatku, aku juga pengin ngelakuin sesuatu buat kamu.”
“Sesuatu yang bisa kamu lakuin…”
“Hmm? Nggak ada, ya? Aku bakal berusaha semaksimal mungkin, kok.”
Mungkin dia salah paham dengan ucapanku yang cuma mengulang kata-katanya. Hanazono berkata demikian.
Aku buru-buru menggelengkan kepala.
Nggak mungkin aku nggak punya permintaan, apalagi dia adalah pacarku yang pertama.
“Yoshi?”
“Kalau gitu… suatu hari nanti, pas kamu punya waktu, aku mau kamu bikinin bento.”
Begitu aku mengucapkannya, aku langsung merasa bersalah.
Baru aja dia bilang masak itu capek, dan aku malah minta dibikinin bekal.
Tapi Hanazono langsung menjawab tanpa ragu.
“Oke, nanti aku bikinin.”
“Serius!?”
“Kalau buat Yoshi, mungkin aku bisa semangat masak. Iya, rasanya aku bisa semangat!”
“Masakan Hanazono… masakan Hanazono…!?”
“Jangan dilebih-lebihin gitu, ah. Jangan bikin ekspektasi tinggi-tinggi,”
Hanazono tersenyum malu-malu.
“Selain itu, aku yakin masih banyak kekuranganku. Jadi kalau ada apa-apa, bilang aja ya.”
“Kekurangan itu urusan kita berdua kok. Aku juga belum terbiasa sama ini semua.”
Kalau menurut Yuzuha, aku ini pasti masih pemula banget.
Aku pun sadar kalau cewek seperti Hanazono Yuka itu mungkin terlalu bagus buatku.
Aku nggak mau sombong. Dan sejujurnya, nggak bisa juga merasa sombong.
Lalu Hanazono menegaskan sekali lagi:
“Tapi, tetap saja.”
“…Iya. Aku ngerti.”
Mendengar jawabanku, Hanazono tersenyum lembut.
“Menurut kamu… sekarang aku nggak punya kekurangan sama sekali?”
…Melihat bagaimana dia bersikap, kurasa Hanazono bakal berani coba banyak hal demi aku.
Pikiran aneh sempat melintas di benakku, tapi aku cepat-cepat menepisnya.
Dan tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
“Ah.”
Aku baru sadar—dia belum bilang “suka” padaku.
…Aku pengin dengar. Banget.
Tapi ini bukan pikiran kotor. Ini murni perasaan tulus.
Kalau begitu, boleh dong aku minta?
Pikiran itu sempat muncul, tapi aku menggelengkan kepala.
Hal seperti itu, baru punya makna kalau dia yang mengatakannya duluan.
Apalagi, kalau itu pertama kalinya.
“Yoshi? Jadi kamu kepikiran sesuatu?”
“Ah… eh, itu…”
“Apa aja bilang aja.”
“Bilang apa aja…?”
“Iya. Apa aja.”
…Aku curiga Hanazono mungkin nggak benar-benar ngerti maksud dari “apa aja”.
Soalnya "apa aja" itu artinya benar-benar bebas, kan.
Tapi di sisi lain, beneran minta hal semacam itu juga rasanya kurang pantas.
Bukan itu. Yang pengin aku dengar sekarang adalah perasaan dia—apakah dia bisa mengungkapkannya.
“Hmm? Kenapa?”
Melihat ekspresi bingung Hanazono, aku pun menyerah.
Kalau aku maksa minta sekarang, rasanya satu hari ini bakal berakhir cuma dengan itu.
Kalau misalnya ada kuis kecil, aku yakin nggak bakal bisa ngerjain dengan tenang karena terlalu larut dalam kebahagiaan.
Sebagai gantinya, aku tanya hal lain.
“Hanazono, kamu suka makan?”
“Eh? Suka, dong.”
Suka, suka, suka.
Aku mengulang kata-kata itu tiga kali dalam hati, lalu menjawab dengan semangat:
“…Iya, kan!”
“Fufu, kenapa sih? Aneh banget kamu, Yoshi.”
Isi kepala yang kacau ini, meskipun ketahuan pun, kurasa dia nggak bakal marah.
Karena Hanazono adalah pacarku.
Meski katanya 'dalam hubungan dekat tetap harus sopan', kurasa hubungan pacaran itu lebih fleksibel dari itu.
…Kalau dipikir-pikir, itu luar biasa juga.
Punya pacar itu hebat banget.
Lalu, satu lagi hal terlintas di pikiranku.
Keinginan yang muncul dari dalam kebahagiaan.
Aku jadi bertanya-tanya, apakah aku akan terus memanggil Hanazono dengan nama keluarganya?
Suatu saat nanti, kami pasti akan saling memanggil dengan nama depan.
Mungkin saat itu adalah sekarang.
Setelah banyak menahan diri, paling tidak aku ingin memanggilnya sekarang.
Boleh kan?
Dengan tekad bulat, aku membuka mulut.
“Eh, kalau cuma kita berdua… aku harus panggil kamu apa, ya?”
“Eh?”
Hanazono terlihat terkejut.
“Eh?”
Aku pun tanpa sadar mengulang ucapannya karena reaksinya yang tak kuduga.
Setelah beberapa kali berkedip, dia menjawab pelan:
“Kalau dipanggil kayak sekarang… nggak boleh, ya?”
“Ka-kayak sekarang, ya…”
Saat aku bingung mencari jawaban, Hanazono memberi penjelasan dengan wajah bersalah.
“Maaf, ya. Soalnya… aku nggak nyaman dipanggil pakai nama.”
“……Begitu ya. Sayang sih, tapi kalau begitu, ya sudah.”
Hanazono tampak lega, dan tersenyum lembut.
“Makasih, ya.”
“…Iya.”
Hanya dengan dia mengucapkan terima kasih saja, aku sudah merasa cukup.
Memanggil dengan nama depan itu ideal, tapi bisa dilakukan nanti saja.
Pelan-pelan, tanpa terburu-buru.
“Tapi, nggak nyangka.”
“Apa?”
“Kamu, Yoshi, ternyata sempat kepikiran buat manggil aku pakai nama, ya.”
“Y-ya… soalnya, ka-kamu pacarku…”
Hanazono tampak terpana sejenak.
Lalu dia tersenyum manis.
“Iya. Aku pacarnya Yoshi.”
Kebahagiaan membuncah di dada.
Hari ini, aku memang belum bisa memanggilnya dengan nama, dan dia juga belum bilang suka.
Tapi hal-hal itu terasa remeh dibanding kebahagiaan ini.
Yang terjadi kemarin ternyata bukan mimpi.
Jawaban Hanazono tadi sudah membuktikannya.
***
“Hah!? Oni-nii, punya pacar ya!?”
Seminggu setelah aku mulai pacaran dengan Hanazono, di akhir pekan.
Adikku, Seira, terkejut sampai langsung lompat dari tempat tidur.
“Pacarnya siapa? Kenal nggak? Jangan-jangan itu Remi-nee!?”
Dulu waktu SMP, saat kami lagi deket, aku sempat beberapa kali cerita ke Seira tentang dia.
Aku ragu mau cerita atau nggak, tapi Seira tiba-tiba kehilangan minat dan langsung rebahan lagi.
“Eh, bo’ong ya...”
“Bukan bo’ong, kok!”
Aku teriak dengan suara besar karena merasa nggak terima disangka bo’ong.
Tapi Seira cuma santai aja balasannya.
“Eh, tapi keliatannya itu bukan Remi-nee, kan? Kalau gitu nggak mungkin, kakak punya pacar apalagi. Pasti bo’ong deh.”
“Eh, jangan gitu kasar banget dong?”
Karena aku merasa dipandang rendah banget, aku jadi pengen banget ngenalin Hanazono ke dia.
Kalau ketemu Hanazono, kira-kira Seira bakal bereaksi gimana ya? Aku pengen lihat reaksinya.
“Ah, aku bisa bayangin deh, Seira jadi nggak bisa ngomong apa-apa karena liat dia yang imut banget...”
“Ah, ngeselin. Aku kan yang imut, jadi itu nggak mungkin terjadi.”
“Adikku malah bilang imut?”
“Iya, satu-satunya aibku itu jadi adiknya kakak.”
“Balesannya pedas banget, hampir bikin aku nangis.”
“Kan tadi aku juga nyindir diri sendiri.”
Setelah puas dengan serangan baliknya, Seira mengangkat bahu dan lanjut bicara.
“Tapi, kalau emang bener punya pacar, situasinya agak nggak enak ya.”
“Kenapa? Jangan-jangan kamu sama cowok dan cewek di bawah satu atap, terus ada ending kayak gitu?”
“Beneran nyebelin banget! Bukan gitu. Aku sekarang mau ketemu Remi-nee.”
“Oh, begitu.”
Seira pasti nggak tahu nomor handphone aku, mungkin dia telpon rumah.
Dia sebenarnya agak pemalu dan kurang suka telepon rumah, jadi ini pasti karena pengen banget ketemu Remi.
“Tapi, aku nggak ngerti juga kenapa situasinya jadi buruk?”
“Ugh, kamu emang payah banget ya. Remi-nee bakal dateng ke rumah kita, aku yang panggil.”
“Hah!?”
Seira cemberut waktu aku bereaksi seperti itu.
“Aku nggak niat main sama kakak loh? Malah aku bakal pergi selama main, jadi kamu keluar rumah aja, ya.”
“Ah... jadi begitu.”
Seperti yang aku bilang, aku sekarang punya pacar.
Walaupun aku baru tau dari teori aja, aku tahu banget kalau ngundang cewek lain ke rumah selain pacar itu nggak bagus.
“Tapi ini kan Seira yang manggil, asal aku nggak keluar kamar, masih oke kan?”
“Ya, mungkin... asal kamu nggak keluar sama sekali. Eh, kapan mau stop terus-terusan pura-pura punya pacar gara-gara Remi-nee nolak? Udah mending main game di kamar aja, kakak yang sok keren!”
“Kan aku bilang ini bukan bo’ong! Eh, jangan bilang hal yang kedengeran kayak makian yang masuk akal banget itu dong!!”
Seira ketawa terbahak-bahak sambil nyuruh aku keluar kamar.
Akhirnya, dia nggak percaya sampai akhir.
Setelah bunyi bel pintu, lantai bawah langsung jadi rame.
Dari balik pintu kamarku, aku bisa dengar suara Seira memanggil, “Remi-nee!” dan suara girang Remi, “Seira-chan, lama nggak ketemu!”
Lalu obrolan santai ibu dan Remi pun mulai, sementara aku menunggu Seira ‘dibebaskan’.
Pintuku tipis banget sampai aku bisa dengar hampir semua percakapan.
Kamar aku juga yang paling dekat tangga, jadi kalau kuping aku tempel ke pintu, aku bisa denger semuanya.
Nggak bisa tenang karena mikir Remi ada di dekat, aku yang biasanya belajar malah jadi susah konsentrasi karena suara tawa ibu yang kencang.
Akhirnya aku pakai headphone dan menutup diri di duniamu sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara langkah cepat menaiki tangga.
...Akhirnya.
Dinding kamar Seira tebal, jadi suara di sana bakal lebih kedap.
Saat aku menengadah ke langit-langit,
“Bam!” pintu terbuka dengan keras.
“Oni-nii! Remi-nee dateng!!”
“Aduh!? Ketok pintu dulu dong!?”
Aku spontan berdiri sampai kursi berbunyi.
Di belakangku, Remi agak terkejut dan membelalak.
“M-maaf mengganggu.”
“Ah, ya... silakan santai aja.”
Aku mengangguk kikuk pada salam sopan Remi.
Seira terkejut dan bertanya, “Kalian berdua, jadi pacaran ya?”
Sebelum aku menyangkal, Remi panik dan geleng-geleng kepala.
“Nggak! Denger, sekarang bukan waktu bercanda soal itu! Kamu ngerti kan? Sekarang adalah waktu yang paling nggak tepat!”
“Ehh? Remi-nee dulu juga kan nggak nolak kakak kok—”
“Eh, jangan!”
Remi langsung mencekik leher Seira dengan penuh semangat, dan Seira mengeluarkan suara nggak imut sama sekali, “Gueeh!?”
Sebagai kakak, aku cuma bisa bilang ‘pantat kamu kena semprot deh’ dalam hati.
Remi lalu menyeret Seira seperti gorila dan masuk ke kamar Seira.
...Mending aku pura-pura nggak lihat aja.
Meskipun Seira masih senang kalau aku ‘deket’ sama Remi, walaupun sekarang aku sudah punya pacar.
Aku melirik koridor yang jadi sepi, lalu Remi mengintip dari pintu.
“Makasih sudah menerima aku ya.”
“Hah, Seira mati?”
“Bodoh.”
Dibilang begitu singkat, lalu pintu tertutup rapat.
Sejak itu aku tak dengar suara Seira lagi, dan jadi suasana nyaman.
Aku makin sadar kalau adikku berbeda kelas dengan aku karena dia mudah nurut sama Remi.
Sudah dua jam Remi di rumah.
Sambil mendengar suara tawa dari kamar Seira, aku turun ke ruang tamu.
Tugas matematika yang susah-susah sudah aku hampir selesai, jadi aku santai aja.
Aku ambil teko teh dari kulkas, lalu melirik sekeliling.
Ibu sepertinya pergi entah ke mana dengan mobil, jadi ruang tamu jadi tempat aku bisa santai.
Aku lebih suka sendiri di ruang tamu daripada di kamar sendiri. Rasanya seperti menikmati kemewahan.
Karena tugas sudah selesai, aku mau santai baca manga di sofa.
Sambil menyeruput teh, aku merasa ada kehadiran orang selain keluarga di sampingku.
Aku menoleh, dan yang berdiri adalah teman masa kecil.
Dia membawa nampan, jadi mungkin Remi juga datang ambil minuman.
...Seira memang suka menyerahkan tamu ke orang lain.
Aku mau minta maaf, tapi Remi yang mulai bicara duluan.
"...Maaf ya, sudah datang tanpa izin."
"Ah, enggak apa-apa. Toh, pasti Seira yang maksa ngajak kamu, kan? Dia emang deket banget sama kamu."
Mendengar ucapanku, Remi menjawab, "Yah, itu juga sih. Tapi aku bersyukur, kok."
Waktu kecil, aku sering banget main bareng Remi.
Otomatis, waktu yang dihabiskan Remi dan Seira juga banyak. Buat Seira, Remi udah kayak teman masa kecil juga.
Walau usia mereka terpaut cukup jauh, tapi justru karena itu, Remi pasti jadi sosok kakak yang paling bisa diandalkan bagi adikku.
"Seira mana? Tadi kayaknya aku denger suara dari arah pintu depan."
"Oh, dia lagi belanja. Aku menang main Othello, jadi aku suruh dia beli camilan."
"Mainan cowok banget sih..."
"Ya wajar dong. Aku sama Seira kan dari kecil selalu main bareng kamu. Jadi kebawa juga lah."
"Jangan dibilang kebawa racun gitu dong! Maaf deh!"
Sampai pernah aku ajak nyari kumbang tanduk dan nangkepin jangkrik segala, jadi kalau dibilang beracun, aku sih gak bisa bantah.
Remi tersenyum kecil lalu berkata, "Ngomong-ngomong..."
"Boleh nggak aku masuk ke kamar kamu sekarang?"
"Hah?"
"Ada barang yang harus aku ambil dari kamarmu."
"Eh!? Tapi aku kan sekarang udah punya—"
Saat aku mau menolak, Remi langsung mengerutkan alis.
"Apa? Aku harus mikirin kalau kamu sekarang punya pacar? Atau justru aku gak usah mikirin itu?"
"Uuh..."
Aku terdiam, teringat ucapanku sendiri di lorong tadi.
Aku nggak mau hubungan kami jadi canggung. Tapi sekarang aku punya pacar, pasti ada batasan yang harus dijaga.
...Lagian ini juga salahnya Seira yang ngundang.
"Tapi soal ini beda. Maksudku waktu aku bilang 'gak usah dipikirin' itu buat hal-hal biasa, bukan yang kayak gini."
"Aku cuma mau ambil barangku yang dulu kamu pinjam."
"Hah?"
"Waktu kecil, kamu pinjam barang-barangku lumayan banyak, kan? Aku masih inget semuanya, loh."
"Be-benarkah? Duh... kalau kamu bilang gitu sih aku nggak bisa ngelak..."
Parah banget aku waktu kecil.
Mungkin malah lebih parah kalau aku tetap nahan barang yang dulu kupinjam, daripada sekarang masukin cewek ke kamarku.
"Tapi, gimana kalau aku yang nyari aja?"
"Cuma aku yang tahu barangnya. Lagian, aku juga gak mau dilihat-lihat."
"Kenapa emangnya?"
"Tenang aja, aku cuma sebentar kok."
...Antara membiarkan Remi masuk kamar, atau tetap jadi manusia peminjam abadi.
Kalau dia gak mau kelihatan, berarti tetap aja harus dia yang masuk kamar.
Dua-duanya bukan pilihan bagus, dan akhirnya timbangan neraka itu miring ke arah Remi.
"...Ya udah deh. Tapi beneran ya, sebentar aja."
Saat aku pasrah dan menghela napas, Remi mengangguk kecil.
"Gak apa-apa. Aku juga gak berniat lama-lama. Lagian, aku masih inget kira-kira lokasinya, dan aku bakal usahain gak liat-liat yang lain."
"...Terakhir, ya."
Dulu aku sering banget ngajak Remi masuk ke kamarku.
Tapi pas dia bilang ini terakhir kalinya, rasanya jadi agak sedih juga.
"Yah, liat-liat dikit sih gak apa-apa."
"Yes!"
Remi tersenyum lebar dan menjentikkan jari. Gerakannya mirip banget sama Yuzuha.
Sikap yang gak pernah dia tunjukkan di kelas ini bikin aku ikut tersenyum juga.
Setelah meneguk teh, aku mengantar Remi ke kamarku. Begitu masuk, hal pertama yang dia katakan adalah:
"Wow, banyak berubah ya."
"Poster-poster zaman dulu udah aku simpan di lemari. Gimana, sekarang lumayan stylish, kan?"
"Ya, lumayanlah untuk seumuran kamu. Tapi aku juga suka kamar kamu yang dulu, loh. Banyak board game-nya."
"Serius?"
Kedengarannya sih bagus, tapi kenyataannya board game itu dulu berantakan banget di lantai, sampai sering dimarahin orang tua.
Waktu aku mulai masuk masa pemberontakan dan males interaksi sama ortu, semuanya aku masukin ke dalam lemari dan gak pernah dikeluarin lagi.
Main lagi sama Remi kayaknya seru juga, tapi Seira cuma ke minimarket yang jaraknya lima menit, jadi waktunya gak cukup.
Saat aku lagi mikir begitu, Remi tiba-tiba bertanya:
"Kamu sama pacarmu gimana?"
"Hah?"
"Sama Hanazono-san."
Aku sedikit memiringkan kepala mendengar pertanyaannya.
"Yah... baru seminggu juga sih. Jujur aja, aku gak yakin ini berjalan baik atau nggak. Tapi kayaknya sih gak buruk."
Apakah kami makin dekat atau tidak, aku sendiri belum tahu pasti.
Tapi setidaknya, ada beberapa hal yang berbeda dari hubungan pertemanan biasa.
Dan dengan adanya perubahan itu, seharusnya jarak kami memang makin dekat.
"Jangan senyum-senyum sendiri, deh."
"Hah, aku senyum ya?"
"Iya. Jijik banget liatnya."
"Pedes banget ngomongnya!"
Remi mengangkat bahu dan kembali ke topik.
"Yah, buat pacar pertama kamu, bisa akur selama seminggu aja udah hebat, loh."
"S-serius? Tumben kamu muji gitu."
"Aku gak muji. Ini cuma analisa dari fakta dan probabilitas aja."
"Ya ampun, gak bisa jujur dikit, ya kamu."
"Bawel. Apa sih cara ngomongmu itu."
Remi menghela napas kecil.
Aku tertawa pelan lalu mengganti topik.
"Kamu sendiri gimana? Udah sebulan lebih pindah ke sekolah sini."
"Aku sih lancar-lancar aja. Sekarang aku juga udah bisa ngobrol biasa sama kelompoknya Yuzuha-san."
"Kalau kamu bisa bersikap kayak sekarang di sekolah, pasti lebih enak, ya."
"Kan udah aku bilang, aku gak bakal nunjukin sisi asliku di sekolah."
"Ya, ya."
Akhirnya aku mulai terbiasa dengan prinsip Remi yang gak mau nunjukin jati dirinya di sekolah.
Walaupun tampilannya mencolok dengan warna rambut dalam dan anting, dia bisa menyeimbangkan semuanya dengan sikap santun dan nada bicara lembut.
Sekarang orang-orang udah mulai menyebutnya "Nikaidou-san yang anggun," dan dia juga makin akrab dengan kelompok Yuzuha.
Dengan bergabungnya Remi, kelompok Yuzuha jadi makin solid, dan sekarang kemungkinan besar udah jadi grup paling mencolok di sekolah.
Di kelas 1-2, bisa dibilang perhatian semua orang selalu tertuju ke arah Remi.
"Tapi ya, kalau terus begini, kamu bisa aja ada yang nembak dalam waktu dekat, loh. Banyak cowok yang ngomongin kamu."
"Eh, lagi?"
Remi menghela napas dalam dan terlihat agak lelah.
"...Kalau sampai kejadian, aku harus mikirin jawaban, ya."
"Kalau kamu butuh bantuan, tinggal bilang aja."
"Iya. Makasih."
"Sekarang ada yang kamu suka?"
"Enggak. Atau lebih tepatnya, udah gak ada lagi."
"Maksudnya gimana?"
"Gak ada apa-apa."
Remi memalingkan wajah.
Lalu, seolah baru menyadari sesuatu, dia mendekati rak buku.
Di atas rak itu ada kotak harta karun yang masih sama sejak Hanazono datang ke kamarku.
Isinya cuma medali dan manik-manik, kotak kenangan masa kecil.
Remi menatap kotak itu sejenak, jadi aku berkata, "Kalau mau buka, silakan."
Pasti ada barang yang familiar buat Remi di dalamnya.
Aku menunggu di tempat, sementara Remi perlahan membuka tutup kotak. Dia mengambil sesuatu, tapi langsung disembunyikan di telapak tangan, jadi aku gak tahu itu barang apa.
Setelah memasukkannya ke saku, dia berbalik dan berkata:
"Udah, urusanku selesai."
"Hah? Cuma itu? Kayaknya masih ada yang lain deh."
"Gak ada. Barang yang mau aku ambil udah ketemu."
"Enggak, sekalian aja semua diambil. Aku kan bisa aja lupa, gak sadar masih nyimpen."
Itu bukti kalau aku selama ini gak sadar.
Tapi Remi menggeleng pelan.
"...Enggak. Yang lain gak perlu."
"Kenapa? Bisa aja ada yang lain yang belum ketemu, kan?"
"...Kalau aku nemu yang lain, nanti malah jadi pengen ngambil juga."
"Lah, ya tinggal aku balikin aja..."
"Makanya aku bilang gak bisa."
Remi menunduk.
Nada suaranya terdengar... entah kenapa, seperti menyimpan kesedihan.
Post a Comment