Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 1
Pertanda Musim Panas yang Panas
Aku terbangun oleh kicauan burung kecil chun-chun. Meski aku selalu menyetel jam alarm sebagai pencegah terlambat, tubuhku sudah terbiasa bangun lebih awal dari itu. Lagipula, aku punya kartu anti-kesiangan paling ampuh bernama Mikami-san. Karena dia selalu menekan bel rumahku setiap pagi, meskipun aku sampai ketiduran lagi, kecil kemungkinan aku akan terlambat.
“Hmm…?”
Saat hendak bangkit, aku baru sadar bahwa lenganku terasa berat. Ada hangat yang samar terasa. Kesadaranku perlahan kembali, dan bersama itu ingatan tentang kejadian semalam ikut mengalir.
Ah, benar. Aku samar-samar masih ingat.
Mikami-san, sesuai janjinya, menggunakan kunci cadangan untuk masuk larut malam, lalu menyusup ke dalam futon-ku. Aku yang tengah tertidur sempat terbangun karena suara berisik, tapi karena rasa kantuk masih berat, aku menanggapinya dengan sangat asal-asalan. Bahkan menolak Mikami-san yang masuk ke ranjangku pun terasa terlalu merepotkan.
Yah, itu tidak terlalu penting. Apa pun jawabanku, hasilnya tidak akan berubah. Mikami-san pasti tetap akan mencapai tujuannya dengan berbagai cara. Kalau tujuan kali ini memang sudah ia tetapkan sebagai “kunjungan malam”, maka apa pun yang kulakukan tetap saja sia-sia.
Sekarang, Mikami-san yang sedang memeluk lenganku erat-erat dan terlelap dengan napas kecil yang teratur, melengkapi potongan ingatan samar itu. Seingatku aku sempat menyuruhnya pulang, jadi kalau akhirnya begini, berarti dia berhasil memaksa jalannya.
Memang Mikami-san luar biasa.
Sambil menghela napas kagum, aku berpura-pura bingung hendak berbuat apa. Kalau mau melepaskan diri, aku tidak perlu banyak tenaga. Tapi kurasa tidak ada salahnya membiarkan ini lebih lama sedikit. Jadi aku memilih menikmati wajah tidurnya.
Bagaimanapun juga, yang bangun lebih dulu berhak menikmati momen ini. Lagipula, dialah yang tanpa malu-malu menyusup ke ranjang orang lain. Bahkan Mikami-san tidak berhak mengeluh. Namun… dia benar-benar imut. Seorang gadis cantik memang bisa terlihat memesona hanya dengan tidur.
Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan wajahnya: bulu matanya panjang, kulitnya benar-benar mulus, bibirnya lembut berkilau, dan yang paling memikat adalah wajah tidurnya yang terlihat lebih polos dari biasanya. Membuatku ingin terus menatapnya. Wajah tidur, sesuai namanya, adalah ekspresi saat seseorang tertidur. Dan memperlihatkan wajah tidur pada orang lain sejatinya sama dengan menunjukkan rasa percaya. Kalau seseorang bisa tidur lelap di dekatmu, artinya dia merasa aman dan percaya padamu. Karena itu, diperlihatkan wajah tidur seseorang memberi rasa istimewa tersendiri.
(Padahal belum lama sejak kami bertemu, tapi dia sudah bisa sebegitu percaya padaku…)
Semuanya bermula pada pertengahan April, ketika aku secara kebetulan menolong Mikami-san. Dari situlah hubungan kami dimulai. Tapi hubungan itu jauh berbeda dari teman biasa. Sikapnya yang selalu mendekat tanpa henti lebih cocok disebut “invasi”.
Sekolahku, kehidupanku sehari-hari, semuanya dengan cepat diwarnai kehadirannya. Sampai akhirnya aku pun memberikan kunci cadangan. Kini, invasinya makin merajalela.
Saat aku mengenang hari-hari singkat tapi padat oleh “invasi” itu sambil menatap wajah tidurnya, lengan Mikami-san yang melingkari lenganku tiba-tiba terlepas karena ia berguling kecil. Lenganku pun bebas. Hangat dan lembut yang tersisa membuatku agak merasa kehilangan. Tapi, ya, sudah.
(Baiklah, bangun saja.)
Aku sempat tergoda untuk tetap berbaring, tetapi akhirnya kupaksakan tubuhku bangun. Saat itu, selimut ikut tersibak… dan pakaian tidur Mikami-san yang sangat berani pun terlihat jelas.
(…Hah? Apa-apaan ini?)
Pakaian tidurnya terlalu menggoda, cukup untuk membuat otak seorang siswa SMA jantan langsung korslet dalam hitungan detik.
(Uh… gila… ini sensual sekali…)
Bahunya, belahan dadanya, yang langsung tertangkap mata saja sudah membuatku panik. Belum lagi kain tipis yang menempel di tubuhnya, transparan, menampakkan garis tubuh, perut, pusar, bahkan celana dalamnya yang minim sekali. Benar-benar tidak ada usaha untuk menutupi apa pun.
Begitu kulirik lantai, terlihat seragam sekolahnya tergeletak sembarangan. Situasi ini… berbahaya, bukan?
Skenario semacam ini bisa saja berarti “sesuatu sudah terjadi.” Bahkan sempat terlintas di kepalaku, apakah ini yang disebut asa-chun (adegan setelah semalam bersama). Tapi aku ingin percaya bahwa itu tidak benar. Tidak ada apa-apa, kan?
Ya, tidak ada. Pakaianku masih sama dengan saat sebelum tidur. Itu artinya aman.
Memang aku ingat sempat terbangun semalam, dan Mikami-san mengatakan sesuatu seperti “kalau dibulatkan aku ini telanjang.” Rupanya benar-benar seperti itu.
Fakta bahwa dia masuk ke ranjangku dengan pakaian seperti ini sungguh sulit dipercaya. Tapi pemandangan di depan mata adalah buktinya.
Ini gawat. Mataku tidak bisa lepas darinya. Aku tahu tidak seharusnya menatap terlalu lama. Tapi tubuh ini seakan terpaku pada sosoknya yang terlalu sensual.
Aku ini memang remaja lelaki. Pagi-pagi sudah disuguhi pemandangan menggoda semacam ini sungguh keterlaluan. Aku ingin terus melihatnya. Namun, pada saat yang sama aku tahu aku tidak boleh. Dorongan hati bertabrakan. Akhirnya kupilih keluar diam-diam dari kamar agar tidak membangunkannya.
Saat hendak bergerak besar, ranjang berderit. Aku mencoba melangkah melewati Mikami-san untuk keluar, tapi pada saat bersamaan dia ikut bergerak, membuat kakiku tersangkut hingga aku kehilangan keseimbangan.
Refleks, aku menahan tubuh agar tidak menindihnya. Tanganku terhentak di samping kepalanya. Aku pun jatuh dengan posisi seolah menindih Mikami-san. Kesadaranku langsung berteriak: ini gawat.
Aku terengah-engah, masih agak terbawa suasana, sementara Mikami-san dengan pakaian tidur super minim terbaring tepat di bawahku. Dari sisi mana pun, situasi ini tampak seolah aku tinggal selangkah lagi akan “menyerangnya.”
Dan karena tempat tidur berguncang cukup keras…
“Ah…”
Akhirnya, mataku bertemu tepat dengan mata Mikami-san yang terbangun. Jarak kami begitu dekat hingga terasa hangatnya hembusan napas. Mata Mikami-san bergetar halus.
“Jadi… akhirnya kamu berniat untuk menyentuhku?”
“Itu salah paham.”
“Jangan bilang hanya lima kali saja… boleh kok lebih banyak lagi, tahu?”
“Tunggu, mari kita bicarakan dulu.”
“Tidak perlu sungkan.”
Ada sesuatu yang tidak beres. Namun justru kegugupan itu menjadi celah sesaat. Lengan yang melingkar di leherku menarik tubuhku semakin dekat.
Aku tidak mungkin benar-benar menindih tubuh ramping dan indah Mikami-san, jadi aku menggulingkan diri ke samping untuk menghindar. Tetap saja, Mikami-san menempel padaku, menyandarkan telinganya di dadaku sambil menggesekkan kepala dan tubuhnya. Rasanya geli.
“Kirishima-san, jantungmu berdetak sangat kencang.”
“...Ya, wajar saja.”
Aku pun bukan orang yang sudah mati rasa. Kalau ada gadis secantik ini, dengan pakaian seperti itu, mendekat sedemikian rupa… siapa pun
pasti jantungnya berdetak lebih cepat.
“Aku selalu dibuat berdebar-debar sendiri, tapi Kirishima-san tampak biasa saja. Itu membuatku cemas. Tapi… sekarang aku senang, karena ternyata kamu benar-benar memperhatikanku.”
Mana mungkin aku tidak memperhatikannya. Kalau dalam situasi seperti ini aku sama sekali tidak terangsang, berarti aku sudah tamat sebagai laki-laki.
“Kalau begitu… silakan saja. Tidak hanya lima kali, sepuluh kali, bahkan seratus kali pun, sebanyak yang kamu mau.”
“...Untuk itu sungguh salah paham.”
Mikami-san menatapku dengan mata yang setengah sayu.
Sial, meskipun aku berusaha keras menahan diri, dia malah terus memelukku dan bahkan melingkarkan kakinya. Dia salah mengartikan ‘gokai’ (salah paham) sebagai ‘gokai’ (lima kali), tapi… aku tidak berniat melewati batas itu. Lagi pula, kami bahkan belum resmi berpacaran, jadi belum saatnya membicarakan batas semacam itu.
“Untuk sekarang… aku keluar dulu dari kamar. Jadi tolong ganti pakaianmu. Terus terang… terlalu erotis sampai aku tak sanggup menatapmu.”
“...A-ah…”
Kalau saat malam mungkin masih bisa tersamarkan oleh kegelapan, tapi sekarang cahaya pagi menyoroti tubuhnya tanpa ampun. Kalau aku terus melihatnya seperti ini, rasanya aku bisa kehilangan kendali.
Saat aku memohon sungguh-sungguh, Mikami-san memeriksa penampilannya sendiri…
lalu wajahnya memerah seketika, seperti apel masak.
“...Uuuh, memang memalukan. Tapi kalau Kirishima-san yang melihat… tidak apa-apa kalau ingin melihat lebih banyak. Mau melihatku ganti pakaian…?”
“...Tidak.”
“Tadi sempat kepikiran, kan?”
“Tidak.”
“Sebenarnya?”
“...Anggap saja itu urusan imajinasi.”
Aku mengakhiri percakapan sebelum kelemahan lainku terbongkar, lalu keluar dari kamar.
Bersandar pada pintu yang tertutup, seluruh tenagaku seakan lepas, membuatku terduduk. Mikami-san… benar-benar gadis yang curang. Detak jantungku begitu keras sampai aku sendiri bisa mendengarnya. Rasanya butuh waktu lama untuk menenangkan diri. Menyebalkan… tapi entah mengapa aku merasa, kalau dia melakukan “yobai” (menyelinap ke kamar di malam hari) lagi, mungkin aku tidak keberatan. Selama bersama Mikami-san… bahkan pagi yang penuh kekacauan seperti ini terasa tidak buruk. Aku sendiri terkejut dengan pikiranku itu.
(Terlalu menggoda sejak pagi…)
Untuk menenangkan hati dan meredam hasrat yang tergoda, aku mencoba memikirkan hal lain. Menghitung bilangan prima, menyebutkan nama unsur berdasarkan tabel periodik—dari luar mungkin aku terlihat seperti orang aneh yang melantunkan mantra dengan cepat.Namun tiba-tiba, sosok Mikami-san muncul dalam pikiranku. Kali ini seluruhnya berwarna hitam, lengkap dengan tanduk dan ekor layaknya iblis. Dengan suara menggoda, dia berbisik padaku:
『Kalau mengintip sekarang, mungkin tepat saat aku sedang ganti pakaian. Bisa jadi, tanpa perlu perumpamaan ‘seperti telanjang’, kamu benar-benar akan melihat aku… telanjang. Jadi masuklah ke kamar, cepat, dan abadikan tubuhku dalam ingatanmu. 』
Saat aku sedang berusaha keras menyingkirkan pikiran kotor, apa-apaan ucapan iblis ini…! Mengintip gadis yang sedang berganti pakaian jelas tidak boleh!
『Jangan berharap Mikami-san bertindak normal atau wajar. Lepaskan saja nafsu yang kamu tahan. Menahan diri hanya menyiksa diri sendiri, bukan? 』
Ugh… omongannya masuk akal, sulit untuk dibantah. Tapi tetap saja, sekalipun Mikami-san tidak punya rasa malu, mengintipnya berganti pakaian adalah salah besar. Kalau tidak sengaja terlihat karena kecelakaan, itu lain cerita. Tapi masuk dengan sengaja ketika tahu dia sedang berganti baju… itu hanya menjadikanku brengsek mesum. Aku tidak boleh terbuai rayuan iblis. Harus kutolak dengan tegas…!
『Kalau begitu, penolakan itu… aku tolak. 』
Curang sekali! Tolong jangan ucapkan kalimat khas Mikami-san dengan wujud iblis di kepalaku! Hampir saja aku terpancing.
Sungguh merepotkan. Bahkan isi kepalaku pun sudah dikuasai oleh Mikami-san. Padahal untuk mengusir nafsu, aku ingin berhenti memikirkannya… tapi justru kepalaku penuh dengan dirinya.
『Kalau aku yang begitu, pasti akan bilang… ‘tidak perlu sungkan’. 』
Ugh, memang betul. Sangat betul. Sebagai seorang gadis, itu jelas aneh, tapi setelah apa yang terjadi semalam, aku tidak bisa membantah. Ucapan Mikami-san versi iblis ini nyaris sama persis dengan aslinya. Tetap saja, mengintip itu salah.
『Keras kepala sekali. 』
Tak lama kemudian, muncullah sosok Mikami-san versi putih, seperti malaikat.
Ah… jadi ini yang biasa disebut konflik batin: malaikat dan iblis yang saling berhadapan.
Sejujurnya, aku merasa tertolong. Meski samar-samar sudah kusadari, aku memang lemah terhadap desakan Mikami-san. Karena itu, meskipun hanya sosok Mikami-san dalam benakku, jika bisikan iblisnya terus berlanjut, timbangan pikiranku pasti akan condong ke arah sana. Padahal aku tahu itu perbuatan buruk, tapi aku tetap hampir tergoda.
Saat itulah muncul penyelamat—kata-kata malaikat yang seharusnya meneguhkan hati yang lemah.
『Aku sepenuhnya setuju dengan si iblis. Cepatlah mengintip. 』
Apa-apaan itu!? Bukankah seharusnya peran malaikat adalah menegakkan kebenaran, agar aku tidak terjerumus oleh bisikan iblis?
Kenapa malah kalian berdua bersekongkol!?
『Dengan begitu, Hina-chan pasti senang. Jadi cepatlah. Hurry up. 』
『Ayo, ayo, cepat-cepat. 』
Apa-apaan ini!?
Jadi, apakah sebenarnya dalam hati kecilku aku memang ingin melihat
lebih banyak sisi Mikami-san yang memalukan? Sampai-sampai malaikat dan iblis dalam kepalaku bergandengan tangan dengan akur.
Kalau begitu, bukan keluar kamar menunggu Mikami-san selesai berganti pakaian yang benar, melainkan justru menyaksikan secara langsung dia berganti pakaian di depanku?
…Tidak mungkin. Itu omong kosong.
Memang sempat terpikir sejenak karena bisikan Mikami-san versi malaikat dan iblis dalam kepalaku, tapi tidak, sama sekali tidak. Yang jelas, Mikami-san versi malaikat sama sekali tidak berguna, justru memihak iblis. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak mendengarkan keduanya sama sekali.
“Kirishima-san? Sepertinya aku mendengar suara seperti erangan… apa Kamu baik-baik saja?”
Ini… yang mana? Malaikat? Iblis? Tidak… suara ini bukan dari dalam kepalaku, melainkan terdengar melewati pintu. Itu berarti suara aslinya.
Saat menyadarinya, aku langsung terjatuh seolah sandaran tubuhku hilang, dan punggungku membentur lantai.
Ya, benar. Tadi aku memang keluar kamar, lalu duduk bersandar di pintunya. Pintu itu kalau dari luar didorong untuk membuka, berarti dari dalam ditarik.
Ketika Mikami-san menarik pintu dari dalam, sandaran punggungku pun hilang, dan aku pun jatuh ke belakang dengan keras. Aku terjatuh tepat di kaki Mikami-san yang membuka pintu.
Dengan posisi telentang, pandanganku tertuju ke atas… ke kaki Mikami-san, dan—ke dalam roknya. Hamparan warna hitam itu… sungguh pemandangan luar biasa.
“…Mesum.”
“Maafkan aku.”
Dengan wajah malu, Mikami-san menendangku pelan. Meski ini murni kecelakaan, aku memang sepenuhnya bersalah, jadi aku tidak punya alasan apa pun. Kalau boleh berkata sesuatu… paling tidak dia bisa merasa malu, dan itu bagus. Namun…
“Mikami-san?”
“Ya, ada apa?”
“Bisakah kamu agak mundur? Aku tidak bisa bangun.”
“Tidak usah sungkan.”
Aku yang terjatuh mungkin tidak pantas berkata begini, tapi kalau dia berdiri tepat di sana, aku tidak bisa mengalihkan pandangan ke arah lain. Aku berusaha keras memalingkan wajah, jadi setidaknya tolonglah mundur sebentar agar tidak kelihatan… tapi Mikami-san tidak bergerak juga.
“Uhm… ini terlihat, tahu?”
“...Tidak usah sungkan.”
“Suaranya gemetar, dan kamu terlihat agak malu, tapi sungguh-sungguh tidak apa-apa?”
“Ya, tidak usah sungkan.”
“Benarkah?”
“Tidak usah sungkan. Silakan lihat sepuasnya.”
Eh… kenapa begitu? Padahal barusan saja dia bisa merasa malu, tapi kenapa sekarang perasaan itu seolah hilang?
Ya, meski jelas rasa malunya tetap terpancar dari wajah dan geraknya, sebaiknya jangan memaksakan diri begitu, kan?
“Sebagai gantinya… tuliskan kesanmu dan serahkan padaku. Jumlah kata… semakin banyak semakin baik.”
“Itu, semacam… penyiksaan?”
“Penyiksaan? Tidak sopan sekali. Ini untuk bahan referensi ke depannya. Kalau Kirishima-san punya warna atau bahan favorit, tolong disampaikan.”
Mikami-san, meski malu, tidak menunjukkan niat untuk menuruti permintaanku.
Dia tidak bergerak sama sekali. Aku jadi tidak tahu harus bagaimana, dan hanya bisa terdiam dalam kebingungan.
“Haa, kalau begitu tidak ada pilihan. Kalau begitu… permisi.”
Namun, pertarungan sengit antara Mikami-san yang berusaha mempertontonkan diri dan aku yang berusaha tidak melihat, ternyata berakhir dengan cara yang tak terduga.
“Uh… Mikami-san? Sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan…?”
“Tidak kelihatan, ya? Aku sedang duduk.”
“Duduk… di mana?”
“Di perut Kirishima-san. Kebetulan ada tempat yang pas, jadi aku duduk saja.”
Memang benar aku sedang tergeletak di lantai… tapi jangan anggap aku barang jatuh begitu saja! Dan jangan seenaknya duduk di situ! Apalagi aku tahu jelas kalau di balik roknya itu hanya ada celana dalam… ini berbahaya sekali. Aku segera mengajukan permintaan darurat agar dia menyingkir.
“Bisakah kamu turun dariku?”
“Tidak usah sungkan.”
“Harusnya sungkan! Kalau kelamaan begini, nanti kita terlambat masuk.”
“Tidak usah sungkan. Mari kita ambil risiko sampai batas waktu. Kalau pun terlambat atau bahkan membolos, aku siap menanggungnya.”
“Hey.”
Sebagai pelajar, ucapan itu jelas tidak pantas.
Aku tidak mau terlambat. Aku benci jadi pusat perhatian buruk di kelas. Namun… saat Mikami-san sudah seperti ini, dia sangat keras kepala. Kalau kosakata yang dia punya sudah tersisa “tidak usah sungkan” saja, maka kemampuan menolak dialognya meningkat drastis. Kalau aku tidak segera mengalihkan perhatiannya ke hal lain, ini bisa jadi masalah besar.
Kebiasaan yang buruk dan merepotkan juga, ya. Tapi… untuk membuat Mikami-san mau bergerak, sepertinya aku harus menawarkan semacam umpan—atau lebih tepatnya, sesuatu yang bisa membuat hatinya bersemangat.
“Kalau kamu mau minggir sekarang… bagaimana kalau satu kali usapan lembut di kepala?”
“Kurang. Tiga kali.”
“Dua kali.”
“Kalau ditambah satu kali pelukan, aku mau berkompromi.”
“Sepakat.”
Hasil perundingannya, Mikami-san setuju dengan dua kali usapan lembut plus satu kali pelukan. Meski yang berkompromi seharusnya dia, aku tak keberatan. Selama akal sehatku bisa terselamatkan, itu sudah merupakan kesepakatan yang baik.
“Kalau begitu… silakan.”
Begitu dia menyingkir sesuai janji, permintaan pun langsung meluncur tanpa jeda. Aku pun menepati kesepakatan itu, sampai Mikami-san benar-benar puas—dan tak perlu dijelaskan lagi, waktuku lumayan banyak terkuras.
Setelah akhirnya bebas, aku mencuci muka dan menggosok gigi. Entah kenapa, Mikami-san berdiri di sampingku dan dengan santainya juga ikut menggosok gigi.
Sebenarnya tidak ada yang aneh. Tidak ada yang aneh… kecuali kenyataan bahwa Mikami-san sudah menyiapkan sikat gigi dan gelas kumurnya seolah itu hal yang wajar.
“Kenapa kamu punya sikat gigi di sini?”
“Sejak lama aku sudah menyiapkan barang-barang penting kalau sewaktu-waktu harus menginap. Harusnya sudah bisa ditebak dari fakta bahwa aku meninggalkan pakaian dalam di sini.”
“Oh, begitu. Persiapanmu bagus sekali.”
“Kalau bersiap, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”
Aku memilih untuk tidak berkomentar lebih jauh. Bukan karena dia membawanya setiap kali datang untuk ‘menyelinap malam-malam,’ melainkan barang-barang itu memang sudah tersedia di rumahku sejak awal—itu cukup mengejutkan. Tapi… kupikir sekarang sudah tidak ada gunanya kaget lagi.
“Ini.”
“Apa?”
“Sisir.”
“Kenapa kamu memberikannya padaku?”
“Rapikan rambutku.”
“Tidak mau.”
“Kalau mau, kamu bisa mengusap kepalaku setiap saat juga, lho.”
Jangan asal bicara. Rambut Mikami-san itu indah, dan aku saja sudah tegang kalau harus merapikannya. Mana mungkin aku bisa sekaligus menyelipkan usapan kepala tiap detik.
“Ah! Kalau setiap kali selesai dirapikan langsung diacak-acak lagi dengan usapan lembut, maka itu akan jadi lingkaran tanpa akhir. Jenius sekali. Mari lakukan itu.”
“Tidak, itu mustahil.”
Itu lingkaran logika yang kacau. Kalau begitu, tanganku bisa patah di dunia paralel manapun. Jadi lebih baik jangan sekali-kali memenuhi syarat lingkaran semacam itu.
Mikami-san tampak kecewa, lalu dengan lesu menundukkan kepala ke arahku. Aku mengusap kepalanya sedikit, dan seketika dia kembali ceria. Apa-apaan ini? Seperti hewan kecil. Terlalu menggemaskan.
Setelah itu, Mikami-san mengenakan celemek dan dengan cekatan menyiapkan sarapan. Biasanya sarapanku asal-asalan saja—sekadar roti dengan selai sudah cukup. Tapi masakan Mikami-san benar-benar terlihat lezat dan membuat selera makan naik.
Roti dipanggang, ada salad, sup, bahkan telur orak-arik.
Luar biasa. Serius.
“Karena waktunya terbatas, aku hanya sempat menyiapkan yang sederhana. Maafkan aku.”
“Tidak… ini sudah lebih dari cukup, malah terlalu mewah.”
Buatku yang biasanya makan roti tawar begitu saja, fakta bahwa ini bukan hanya roti sudah membuatnya masuk kategori ‘mewah.’ Apalagi kalau ini disebut makanan sederhana… aku benar-benar terkesan.
Jujur saja, waktu Mikami-san berkata siap untuk membolos demi tetap di sini, aku sempat mengira kami bahkan tak akan sempat sarapan. Tapi nyatanya, aku malah menikmati hidangan seenak ini. Tak salah kalau aku menyebutnya penyelamat. Tidak heran kalau aku berbalik sikap begitu cepat.
“Bagaimana? Kalau aku menginap, ada bonus seperti ini, lho.”
“Memang sangat menarik.”
“Bukan begitu? Karena itu, sebaiknya aku menginap setiap hari, kan?”
“…Tidak. Kurasa tidak begitu.”
“Kedengarannya kamu ragu.”
Memang sih, itu tawaran yang menggiurkan. Tapi kalau setiap hari… itu sama saja seperti dia sudah tinggal di sini.
Karena pikiranku sejak tadi sudah kacau balau, sempat terlintas pikiran berbahaya: kalau mengizinkan ‘kunjungan malam’ berarti aku bisa dapat sarapan mewah, bukankah itu untung?
Padahal jelas-jelas Mikami-san mengucapkan hal-hal konyol, aku malah kehilangan kemampuan untuk langsung menyadarinya. Itu bukti kalau aku sudah sangat teracuni olehnya.
Sambil menikmati sarapan yang elegan, aku memandang Mikami-san. Rasanya ini pertama kalinya kami benar-benar sarapan bersama sebelum berangkat sekolah.
“Uhm… kalau diperhatikan terus begini, aku jadi malu.”
“Ah, maaf. Rasanya saja terasa segar.”
“Semoga kita bisa seperti ini setiap hari.”
“…Kalau begitu, umurku tidak akan panjang. Jadi tolong hentikan.”
Jangan coba-coba dengan licik membujuk supaya bisa menginap setiap hari. Tapi kalau kupikir lagi, karena aku sudah memberinya kunci cadangan, meskipun aku menolak, Mikami-san pasti akan masuk seenaknya.
Iya, dia pasti akan melakukannya.
“…Haa.”
“Kalau sering menghela napas, kebahagiaan bisa kabur, lho.”
“Jangan kamu yang bilang, biang keroknya.”
“Biang kerok itu keterlaluan. Justru aku ini simbol kebahagiaan, tahu? Aku seharusnya lebih banyak dimanja.”
“…Iya, iya.”
“Betul sekali.”
Simbol kebahagiaan, katanya.
Yah… mungkin tidak sepenuhnya salah juga. Tapi kalau kukatakan langsung ke Mikami-san, dia pasti akan kelewat senang dan semakin menjadi-jadi. Padahal dia sudah cukup manja, polos, dan sulit dikendalikan layaknya seorang putri…
“Ada apa? Menatapku begitu… apa kamu sedang ingin memanjakanku? Aku kapan saja siap, lho.”
“…Kalau aku sedang mood, mungkin.”
“Kirishima-san pasti sedang mood sekarang. Ini jelas. Aku kan pemegang sertifikasi tingkat satu Kirishima-san, jadi tidak mungkin salah.”
“Aneh sekali, bikin sertifikat begitu.”
Membawa-bawa sertifikasi aneh untuk mengarang suasana hatiku… sungguh semaunya saja anak ini. Tapi… justru itulah daya tarik Mikami-san. Itu satu hal yang bisa kukatakan tanpa ragu.
“…Ya sudah, tidak ada pilihan lain. Sedikit saja, ya.”
“Tambahin waktunya, tolong!”
“…Cepat sekali.”
Semakin lama aku menghabiskan waktu dengan Mikami-san, semakin lama pula aku dibuat kewalahan olehnya. Kadang aku merasa kewalahan itu merepotkan… tapi di sisi lain, aku juga merasa tidak buruk. Dengan kata lain… aku sudah terlambat.
Sudah pertengahan Juni. Musim panas semakin terasa, dan seragam musim panas kini benar-benar sesuai dengan cuaca. Rasanya awal musim panas telah datang. Seperti biasa, aku berangkat sekolah, ikut pelajaran, lalu saat jam istirahat berkumpul di tempat biasa untuk makan siang.
“Panas sekali ya.”
“Iya. Tapi… kalau memang merasa panas, bisakah kamu agak menjauh sedikit?”
“Tidak usah sungkan.”
“Kenapa tidak? Aku kepanasan, lho.”
“Tidak usah sungkan.”
“…Panas.”
“…Tidak usah sungkan.”
Kalau di awal musim semi, tempat ini memang nyaman sekali untuk makan siang. Tapi karena lokasinya di luar ruangan, sekarang duduk sebentar saja sudah membuat tubuh berkeringat. Dan panas yang kurasakan ini jelas semakin bertambah karena jarak fisik Mikami-san yang terlalu dekat.
Akhir-akhir ini dia suka duduk di antara kakiku, lalu bersandar padaku seolah aku ini sandaran kursi. Tidak cukup sampai di situ, dia juga bersandar penuh dengan berat tubuhnya agar makin menempel, bahkan memintaku untuk memeluknya.
Karena makan siangku hanya berupa roti yang bisa dimakan dengan satu tangan, dia bisa semaunya begitu. Tapi duduk sedekat ini jelas membuat kami berdua kepanasan. Mustahil semua ini semata-mata karena sinar matahari. Namun Mikami-san malah menutupi wajahnya dengan tangan dan menatap matahari dengan penuh dendam, tanpa sedikit pun menyadari bahwa penyebab utamanya adalah dirinya sendiri. Padahal delapan puluh persen penyebab panas ini murni karena situasi ini.
Seharusnya dia sadar… lalu cepat-cepat menyingkir. Walau aku mulai terbiasa, tetap saja memeluk seorang gadis sambil makan itu membuatku gugup dan jantungku berdebar. Ditambah lagi kami melakukannya di sekolah, risiko ketahuan orang lain membuat degup jantungku semakin tak menentu.
Panas. Terlalu panas.
Padahal ini baru bulan Juni, dan aku sudah merasa seperti akan meleleh. Atau mungkin… bukan musim panasnya, melainkan Mikami-san yang membuatku meleleh.
“Kirishima-san, panas sekali.”
“Itu karena kamu menempel terus.”
“Tidak ada kemungkinan Kirishima-san akan dipasangi fitur pendingin suatu saat nanti?”
“…Sayangnya, tidak ada rencana seperti itu.”
“Itu sungguh disayangkan.”
Menyedihkan, tapi aku tidak berniat berhenti jadi manusia. Jadi lebih baik berhenti berharap aku punya fitur pendingin.
Sebenarnya, cukup dengan menjauhkan diri sedikit saja, panas ini bisa berkurang. Kalau dia masih sempat memikirkan ide aneh soal fitur pendingin, lebih baik langsung praktikkan solusi yang ada di depan mata.
Tentu saja, Mikami-san tidak mungkin menyingkir dengan sukarela, dan aku sendiri juga tidak tega mendorongnya menjauh. Kesimpulan-nya… aku hanya bisa menerima kenyataan bahwa mulai sekarang aku harus menghadapi panas ini.
“Ngomong-ngomong… mulai akhir Juni nanti, pelajaran renang akan dimulai ya.”
“Iya, ada pemberitahuannya.”
“Itu untuk persiapan.”
Di sekolahku, pelajaran olahraga memang mencakup renang. Makanya pemberitahuan diberikan lebih awal, supaya kami sempat menyiapkan perlengkapan. Kami harus menyiapkan sendiri baju renang, topi, dan kacamata renang, jadi memang harus siap sebelum pelajaran dimulai.
“Kirishima-san sudah menyiapkan baju renang?”
“Belum.”
“Aku juga belum. Kalau begitu, akhir pekan ini kita beli bersama-sama.”
“Eh, aku sih gak mau.”
“Terima kasih. Aku tidak sabar menantikannya.”
Hei, jangan mengubah penolakanku jadi persetujuan sesukamu. Dan berhentilah dengan seenaknya mencatat ‘belanja bersama Kirishima-san’ di kalender ponselmu… ah, sudahlah. Meski tidak baik, aku malas membantah. Lagi pula, aku memang sudah berencana membeli perlengkapan akhir pekan ini, jadi sebenarnya tidak terlalu masalah. Meskipun… kalau kupikir lagi, masalahnya bisa jadi besar sekali.
“Eh… tapi kan baju renang untuk pelajaran itu seragam sekolah, jadi sebenarnya tidak perlu repot beli berdua.”
“Ada, dong. Selain itu, aku ingin Kirishima-san yang memilihkan baju renang pribadiku.”
“…Tidak mau.”
“Karena saat liburan musim panas nanti kita sudah berencana pergi ke laut bersama, jadi tolong pilihkan yang imut, ya.”
“…Mati. Malu sampai mati…”
“Aku ingin mencoba baju renang yang dipilihkan Kirishima-san, lalu memakainya di depanmu, supaya bisa tahu seperti apa seleramu.”
Apa-apaan itu, acara memalukan begitu. Seorang laki-laki kalau sampai diajak masuk ke bagian pakaian renang wanita, bisa mati pelan-pelan karena tatapan orang sekitar, tahu?
Nyawa sebanyak apa pun tidak akan cukup. Itulah yang ingin kusampaikan, tapi melihat senyum lebar Mikami-san, sepertinya ini sudah jadi keputusan tetap baginya. Toh kalau kutolak juga akan ditolak balik, jadi sebaiknya aku pasrah saja…
“Namun… sayang sekali kita beda kelas, ya. Tidak bisa ikut pelajaran
renang bersama…”
“Memangnya itu hal yang patut disesali?”
“…Karena kamu tidak bisa melihat baju renangku.”
Kenapa sih anak ini bisa mengucapkan hal-hal memalukan tanpa sadar begitu? Bagian tidak sadar seperti itu… benar-benar…
“Kalau begitu tidak ada pilihan lain. Kalau tidak bisa kulihat di pelajaran, ya kutunjukkan di rumah Kirishima-san saja.”
“Jangan begitu.”
“Tidak akan berhenti.”
Aku benar-benar bisa merasakan tekad kerasnya untuk tetap memperlihatkannya.
Yah… percuma juga kalau aku melarang, toh dia tidak akan dengar. Lagipula… bisa melihat Mikami-san dengan baju renang, itu mungkin justru sebuah kebahagiaan.
Meski aku punya firasat buruk, kalau dipikir secara keseluruhan… seharusnya ini menguntungkan juga. Tolong bertahanlah, wahai rasio sehatku.
“Kalau ujian akhir sudah selesai, liburan musim panas tinggal sebentar lagi.”
“Semester ini tinggal sekitar sebulan, ya. Cepat sekali.”
“Tugas liburan harus cepat-cepat diselesaikan… supaya kita bisa banyak bermain.”
“…Mohon perlahan saja, ya.”
“Aku tidak akan menahan diri!”
“Tidak menahan diri, ya…”
Hari-hari biasa saja sudah penuh dengan dominasi Mikami-san. Apalagi kalau liburan musim panas—acara terbesar bagi para siswa—tiba nanti… entah sebesar apa aku akan diputar-balik olehnya.
“Kirishima-san, aku tidak sabar. Dari sekarang saja aku sudah menantikan musim panas.”
“Ah… iya, benar.”
Mikami-san menoleh dengan senyum selebar matahari musim panas. Senyumnya yang menyilaukan itu hampir membutakan mataku, membuatku mendongak ke langit, menyipitkan mata menahan cahaya awal musim panas, lalu hanya bisa menjawab begitu saja.
(Panas…!)
Benar-benar panas. Sepertinya musim panas tahun ini… akan panas, dan penuh gairah.




Post a Comment