NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kurasu no Gyaru ga Naze ka Ore no Gimai to Nakayoku Natta V3 Chapter 3 Part 4

 Penerjemah: Ikaruga Jo

Proffreader: Ikaruga Jo


Chapter 3 - Bagian 4 [Ceritakan Padaku, Kamu yang Dulu itu Seperti Apa]


Kami kembali ke ruang tamu.


Yua menata album-album di atas karpet yang luas, dan mulai melihatnya satu per satu dari yang paling lama.


"Shinji, ngapain? Sini dong."


Yua, yang sedang membuka album kelas lima SD, memanggilku yang tadinya mau duduk di sofa.


"Kan kita bawa ini biar bisa lihat bareng."


"Aku sih tidak usah, bisa lihat kapan saja."


Lagipula, membayangkan kenanganku sendiri dilihat orang lain... apalagi oleh Yua, rasa maluku jadi muncul.


"Aku tidak mau lihat sendiri, tapi mau lihat sambil Shinji yang jelasin~"


Yua yang sudah berdiri, menarik-narik tangan kananku.


"...Mau bagaimana lagi, deh."


Aku sudah tahu kalau Yua tidak bisa dihentikan kalau sudah begini.


Aku pun menuruti Yua dan duduk di sebelahnya.


"Mumpung begini, ayo lebih merapat lagi."


Yua melingkarkan lengan kananku di lehernya.


Akhirnya posisiku jadi seolah-olah aku sedang merangkul bahu Yua.


"Sulit menjaga keseimbangan, nih."


"Kalau begitu aku akan menopang pinggang Shinji."


Kali ini Yua melingkarkan lengannya di pinggangku. Aku dan Yua jadi berpose seperti saling menopang untuk menjaga keseimbangan. Kita jadi seperti sedang menjelaskan filosofi huruf 'manusia' (人) dengan tubuh kita, lho.


Setelah itu, sesuai permintaan Yua, kami membuka album, dan setiap kali ada foto yang menarik perhatian Yua, aku akan menambahkan penjelasan. Begitulah cara kami melihat foto-foto itu.


"---Hee, kalau yang ini?"


"Itu waktu aku setengah nangis karena bekal yang dibeli di minimarket pas jalan-jalan sama ayah, direbut burung gagak beserta kantong plastiknya di pinggir sungai. Gara-gara ini, aku sampai sekarang masih tidak suka gagak."


"Kalau begitu, di tempat-tempat yang banyak gagak, aku akan menemanimu, deh."


"Sebenarnya tidak sampai segitunya juga sih takutnya..."


Entah karena dia membantuku yang cedera, akhir-akhir ini Yua jadi sering memperlakukanku seperti anak kecil.


"Kalau yang ini?"


"Itu waktu ayah datang ke acara olahraga sekolahku. Setiap tahun di acara olahraga ada tarik tambang khusus orang tua, dan tim yang diikuti ayahku selalu menang. Kalau tidak salah, kami berfoto ini sebagai kenang-kenangan kemenangan."


Di antara para wali murid, ada juga penggemar Ayah, jadi Ayah mulai melatih tubuhnya untuk tarik tambang sekitar seminggu sebelum acara olahraga, katanya dia tidak boleh memperlihatkan sisi yang memalukan sebagai seorang pegulat profesional.


"Oh, begitu, ayahmu benar-benar datang ya..."


Yua, yang posisinya menempelkan pipi ke dadaku, mungkin menyadari ketegangan yang merambat dalam diriku.


"A-ayo lihat yang berikutnya, masih banyak kok!"


Yua buru-buru membuka album lain.


Itu albumku waktu kelas dua SMP.


Sudah pasti, pada masa ini, karena aku sudah memasuki masa pubertas dan memang tidak ada acara sekolah yang melibatkan wali murid, foto-foto bersama Ayah di sekolah hampir tidak ada lagi.


Sebagai gantinya, pemandangan di luar sekolah jadi lebih banyak.


"Yang ini? Kok suasana luarnya beda ya?"


Yua menunjuk salah satu foto di antaranya.


"Itu waktu aku pergi ke Amerika."


Mungkin karena Ayah sering ke luar negeri untuk pekerjaan, bepergian ke luar negeri jadi hal yang biasa baginya. Berkat itu, setiap liburan panjang aku selalu diajak ke suatu tempat. Kebanyakan negara berbahasa Inggris atau Spanyol karena Ayah punya banyak koneksi di sana. Meskipun begitu, aku tidak belajar bahasa hidup apa pun sih.


"Asyik banget, ke luar negeri. Aku juga ingin pergi."


"Kalau begitu, suatu saat kita pergi. Ada banyak tempat yang mungkin Yua suka."


Album masa SMP, karena baru saja berlalu, jarang sekali kulihat lagi, jadi aku pun merasa sangat nostalgia. Saking asyiknya memikirkan kejadian di foto, aku menjawab tanpa berpikir panjang.


"Kalau Shinji mau, aku juga mau ikut sih..."


Aku merasakan nada yang penuh semangat dari suara Yua, jadi karena penasaran, aku menatap wajah Yua yang menempel di dadaku, dan dia menatapku dengan mata berbinar penuh harapan.


Sial. Maaf, aku tidak bisa bilang kalau aku menjawab hampir secara refleks...


Tentu saja Tsumugi juga ikut!


Kalau aku bilang begitu, mungkin bisa mengeles, tapi melihat ekspresi Yua yang serius, aku merasa harus membuatnya berarti 'pergi berdua saja'.


Sekarang Tsumugi tidak ada, kalau suasana jadi romantis berdua saja, mentalku sepertinya tidak akan kuat.


"Ini, ini waktu ulang tahunku dan---"


Aku mencoba mengalihkan pembicaraan kembali ke foto, dan menceritakan episode sepele yang terjadi pada ulang tahunku saat kelas dua SMP.


Saat kami melihat album terakhir yang dibawa Yua, suasana yang bisa diartikan kami akan bepergian berdua saja sudah menghilang, dan suasana tenang yang penuh kenangan kembali.


"...Kenapa Yua ingin melihat album seperti ini?"


Aku menumpuk album-album yang sudah tertutup dengan satu tangan. Meskipun kami sudah tidak menempel erat, Yua duduk di sebelahku di karpet.


"Soalnya~, aku tidak tahu Shinji yang dulu itu seperti apa, kan." Kata Yua.


"Aku berpikir, kalau ada sesuatu yang bisa membuatku tahu seperti apa Shinji yang dulu, itu bagus, dan ternyata banyak, syukurlah."


Rambut panjangnya jatuh tergerai dari bahu Yua yang tersenyum ceria.


Melihat ekspresi puas di depanku, aku hampir saja menyembunyikan rasa maluku dengan berpikir, "Apa sih menariknya tahu masa laluku yang tidak penting ini?" Tapi, di sini aku seharusnya menerima kebaikan Yua dengan tulus.


Aku tidak pernah mengorganisir foto-foto ini ke dalam album untuk ditunjukkan kepada siapa pun, tapi ada orang yang dengan antusias melihatnya, dan aku senang.


"Kalau begitu, lain kali Yua juga tunjukkan sesuatu padaku, ya."


Kataku sambil mengalihkan pandanganku ke jendela yang mengarah ke beranda.


"Kalau aku yang sekarang, aku bisa tunjukkan semuanya, dari ujung ke ujung, ke Shinji~"


Yua meletakkan tangannya di lantai seperti binatang berkaki empat, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. Karena posisinya, kerahnya tergelincir oleh gravitasi dan hampir memperlihatkan *bra*-nya.


"Hentikan, jangan lakukan hal seperti itu..."


Kadang-kadang, aku sempat berpikir untuk mengikuti kenakalan Yua dengan mengatakan sesuatu seperti, "Kalau begitu, tunjukkan padaku! Ghehehe!" seperti penjahat, tapi setiap kali kusimulasikan, itu hanya akan membuatku kehilangan kepercayaan Yua.


Seperti yang kuduga, Yua hanya menempel kembali padaku seperti saat dia melihat album, dan tidak ada tanda-tanda hal 'nakal' yang akan terjadi setelah itu. Bagiku, lenganku yang menempel padanya saja sudah cukup 'event nakal', sih.


"Yah, begini lho, aku memang penasaran seperti apa Shinji yang dulu itu, tapi ada alasan lain juga sih."


"Apa?" tanyaku, dan Yua melanjutkan.


"Aku kan, lusa nanti, mau pulang kampung sebentar karena Obon?"


Oh iya, benar juga.


Yua sudah bilang sebelumnya bahwa dia berencana pulang kampung saat aku dan Tsumugi pergi ziarah ke makam Ayaka-san untuk Obon.


"Aku berpikir, kalau saja Shinji bisa meminjamkanku satu foto..."


Tidak seperti biasanya, Yua tampak malu-malu dan tidak mau menatapku. Tapi dia juga tidak menjauh dariku.


"Bagaimana ya bilangnya? Semacam jimat, atau apalah. Aku mau satu foto yang berwujud fisik, bukan yang diambil pakai HP."


Mungkin ini yang sebenarnya dia inginkan.


"Kalau punyaku boleh saja."


Tidak ada alasan untuk menolak.


Aku tidak tahu apakah fotoku punya khasiat, tapi jika Yua membutuhkannya, pasti ada maknanya.


Bagi Yua, pulang kampung meskipun hanya sebentar pasti butuh keberanian. Jika aku bisa membantu sedikit saja, aku tentu ingin bekerja sama.


"Boleh?! Serius?!"


"Tidak terlalu berharga sampai harus dirahasiakan, kok."


Aku sedikit terkejut karena dia lebih senang dari yang kukira.


Yua, sambil bersenandung, mulai membuka kembali album yang sudah tertutup.


"Kalau begitu, aku pilih yang ini saja."


Foto yang dipilih Yua adalah albumku saat aku kelas tiga SMP.


Aku berada di depan gerbang utama sekolah yang sekarang kudatangi, menunjuk papan pengumuman yang terpampang di sana, berisi daftar nama siswa yang lolos.


"Kelihatan sangat meriah, kan?"


Dengan gembira, Yua mengambil foto itu.


"Kalau Shinji tidak lolos, aku juga tidak akan bertemu kamu, kan."


"Tunggu. Itu kebalik, kan. Kalau Yua yang tidak lolos, kan?"


Secara akademis, kemungkinan Yua tidak lolos jauh lebih tinggi daripada aku.


"Sama saja, kan."


Yua menggenggam tanganku dengan tangan yang tidak memegang foto.


"Berkat itu, kita jadi bisa bersama seperti ini, kan."


Itu, mungkin benar.


Aku kembali berpikir, betapa beruntungnya aku memilih sekolah ini.


Saat memilih sekolah menengah atas, aku sempat bingung. Ada beberapa pilihan. Dari segi nilai deviasi, semacam standar nilai ujian masuk, aku sebenarnya bisa saja diterima di sekolah dengan peringkat lebih tinggi.


Meskipun begitu, alasan aku memilih sekolah yang sekarang adalah karena memikirkan situasi keluarga Tsumugi yang sudah menunjukkan firasat buruk sejak saat itu. Jarak yang bisa dicapai dengan sepeda dari rumah adalah faktor besar. Ayahku sejak saat itu sudah membicarakan kemungkinan Tsumugi terpaksa harus tinggal di rumah keluarga Nagumo.


"Lagipula, Shinji di foto ini kelihatan senang banget, ya. Jangan-jangan sudah bisa meramal kalau bakal ketemu aku?"


"Kalau bisa meramal masa depan, sudah kupakai untuk hal yang lebih penting."


"Apaan tuh~"


Meskipun dia bereaksi seolah ingin mengatakan, "Jahat banget," dia tetap tertawa, khas Yua. Kalau ini Ousaki, bisa-bisa ada chop yang melayang.


Tapi, secara mengejutkan, aku jadi merasa perkataan Yua mungkin benar.


Aku sudah siap hidup sendiri sejak sebelum masuk sekolah. Saat SMP, aku punya teman bicara di sekolah, tapi itu karena mereka teman dari SD, dan lingkungan di sekitarku seperti teman masa kecil semua.


Berbeda dengan SMP yang sekolahnya di dalam zona tempat tinggal, SMA itu siswanya datang dari berbagai daerah, jadi hubungan pertemanan di SMP pasti akan terulang hampir dari nol. Aku tidak punya gambaran akan mendapat teman baru.


Lagipula, aku sudah berhasil masuk ke sekolah dengan nilai deviasi yang terbilang 'santai', jadi aku seharusnya tidak sebahagia itu sampai bisa memberikan senyum lebar di depan Ayah.


Mungkin aku yang di dalam foto itu tahu, bahwa masa depan menanti di mana aku bisa berinteraksi dengan Yua, dan menciptakan tempat yang aman bagi Tsumugi.


Previous Chapter | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close