Penerjemah: Ikaruga Jo
Proffreader: Ikaruga Jo
Chapter 3 - Bagian 3 [Kenangan itu Analog]
Tsumugi, hari itu juga, dengan riang pergi ke tempat Momoka-chan.
Katanya, besok keluarga Ousaki berencana pergi ke rumah nenek dan kakek di pedesaan, jadi mereka tidak akan bisa bermain bersama untuk sementara waktu. Mungkin mereka ingin puas-puasin bermain sekarang.
Tsumugi tidak ada, dan ayah juga sedang di prefektur lain untuk pertandingan.
Sementara itu, aku juga di rumah hari ini.
Bukan berarti aku mengurung diri. Belajar adalah pekerjaanku. Aku sedang *work from home*, tahu. Aku hanya di rumah karena ada yang harus kulakukan.
Bahkan saat aku bermalas-malasan di sofa ruang tamu seperti ini, itu bukan karena aku bosan, tapi karena aku sedang istirahat belajar. Pekerjaan kan butuh istirahat...
"Kok rasanya lama banget ya kita berduaan doang?"
Yua yang sedang rebahan di sofa dua dudukan di seberang sambil memainkan ponselnya, berkata.
Rebahan sih boleh saja... tapi tolong jangan rebahan sampai menonjolkan lekuk tubuhmu begitu dong. Pakaian rumahnya juga lengan, kaki, dan pusar terlihat semua, itu terlalu menggodaku.
Hari itu, Yua sedang libur kerja paruh waktu.
Meskipun liburan panjang adalah waktu terbaik untuk mencari uang, Yua yang *yang-kyara* (ceria dan populer) juga punya urusan dengan teman sekelasnya, jadi dia tidak bekerja setiap hari. Hari itu adalah hari libur penuh yang tiba-tiba kosong di tengah kesibukan harinya.
"Selama liburan, aku seringnya bareng Tsumugi-chan sih."
Yua dengan nyengir mendekat ke arahku, lalu dengan paksa mendorong pantatnya ke sofa satu dudukan tempatku duduk, merebut tempat. Tentu saja, dia datang ke sisi yang tidak terluka, tapi aku berharap dia tidak terlalu menempelkan tubuhnya seolah ingin membuatku merasakan sentuhannya.
Meskipun itu sofa satu dudukan, kecuali jika ayahku yang bertubuh besar yang duduk, aku yang duduk tidak akan bisa memenuhi seluruh sofa, jadi aku dan Yua jadi duduk sangat rapat, bersampingan.
"Betul juga. Semoga liburan musim panas ini jadi liburan yang menyenangkan untuk Tsumugi, ya."
"Pasti dong. Tsumugi-chan kayaknya seneng banget, lho? Sebelum tidur saja dia bilang, 'Kapan ya besok datang?', gitu."
Kalau Yua yang bilang begitu, pasti benar. Tsumugi kan paling percaya pada Yua.
Mengingat kembali, Tsumugi sudah dekat dengan Yua sejak pertama kali bertemu, menunjukkan persahabatan yang bisa dibilang agak tidak biasa.
Yah, kalau dibilang itu karena pesona Yua, ya memang begitu. Yua pasti bisa melakukan hal seperti itu.
"Syukurlah kalau begitu. Beberapa tahun terakhir, dia pasti tidak bisa menikmati liburan musim panas dengan layak..."
Berkat jaminan Yua, akhirnya aku bisa merasa lega.
Kalau boleh jujur, aku ingin mengajaknya pergi ke lebih banyak tempat, tapi jika Tsumugi tidak merasa kesepian, mungkin lebih baik menganggapnya cukup baik saja.
"Mumpung begini, gimana kalau kita lakukan sesuatu berdua saja?"
Yua menyandarkan bahunya ke dadaku, lalu menggenggam tanganku yang ada di pangkuannya.
"Shinji punya... tunjukkan padaku?"
"Eh?"
Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang dia katakan, dan itu malah mempercepat detak jantungku.
Apa yang dia suruh aku tunjukkan...? Di sini?
"Makanya, aku bilang, tunjukkan albummu, Shinji."
"Ah, album, ya..."
Dia bikin aku kaget saja.
"Shinji kira aku bilang apa?"
Yua tersenyum mengejekku.
Sialan dia... Dia sengaja bilang dengan suara pelan, ya.
Dalam situasi seperti ini, aku harus berhati-hati agar tidak termakan godaan Yua. Nanti aku makin dijadikan mainan. Yang lebih merepotkan lagi adalah, aku sama sekali tidak merasa buruk lagi meskipun Yua menjadikanku mainan...
"Album, ya... Yua juga ingin melihat benda yang sangat analog seperti itu."
"Aku kira Shinji punya."
"Jangan mengejekku. Di rumah kami yang lengkap dengan TV, dapur, kamar mandi, semua peralatan terbaru, mana ada barang analog seperti itu... Ada juga, sih."
Meskipun ayah sekarang sering pergi ke luar negeri untuk pertandingan, dulu, sampai aku SMP dan masih wajib belajar, dia hanya bertanding di Tokyo atau paling jauh di pertandingan besar di daerah.
Jadi, aku punya lebih banyak waktu bersamanya daripada sekarang.
Entah kenapa, ayah selalu ingin mengambil foto setiap kali ada acara sekolah atau pergi ke mana pun. Ayahku adalah pria yang bahkan tidak bisa menggunakan *smartphone* dengan benar, jadi foto yang dimaksud di sini adalah yang diambil dengan kamera. Itu adalah gaya klasik, mencetak film di tukang foto. Kadang juga pakai Polaroid. Pokoknya, dia sering membawa kamera.
Meskipun begitu, foto-foto yang diambil ayah secara teknis tidak terlihat begitu bagus. Dia mungkin bukan pecinta kamera, tapi membawanya sebagai simbol peran ayahnya yang sering absen dari rumah, untuk mengabadikan sosok putranya.
Begitulah, banyak kenangan bersama ayah yang tersimpan dalam bentuk foto.
Di rumah kami, ada banyak album yang berisi foto-foto yang sudah di-file satu per satu.
"Ada rak buku di gudang, isinya banyak di sana."
Dulu, itu tempat aku pergi mencari tangga untuk mengganti lampu neon, jadi Yua pasti pernah masuk ke sana.
Aku datang ke gudang bersama Yua dan menunjukkan rak buku di bagian dalam.
"Jangan-jangan, ini semua?"
"Ya. ...Sebegitu banyaknya sampai bikin kaget, ya?"
Aku memang mengira punya lebih banyak dari keluarga lain, tapi tidak menyangka sampai bikin dia kaget.
"Yah, begitulah. Biasanya cuma dua atau tiga buku, kalau tidak salah."
Yua menjawab dengan santai, tapi aku menyesal telah bertanya.
Yua kan tidak akur dengan orang tuanya. Mungkin dia tidak punya kenangan berfoto bersama sebanyak itu sampai bisa membuat banyak album keluarga.
Namun, kalau aku meminta maaf di sini, rasanya seperti pamer tentang hubungan baikku dengan orang tua, jadi aku tidak bisa berkata apa-apa.
"Ngomong-ngomong, ini diatur rapi banget, ya."
"Aku yang melakukannya. Kupikir biar mudah dipahami."
Rak buku untuk album diatur seperti bagian novel di toko buku, dikelompokkan per tahun dari taman kanak-kanak sampai SMP.
"Rajin juga, ya."
Dengan nyengir, Yua mengelus kepalaku.
"Sudah, jangan... Lagipula, kalau mau lihat, ya lihat saja, kan?"
"Sok pamer banget. Aku kira Shinji itu tipe yang malu-malu dan tidak akan mau menunjukkan?"
"Ya, malu sih."
Aku membuang pandanganku dari Yua.
"...Kalau ada sebanyak ini album, tapi cuma aku yang sesekali melihatnya, waktu yang kuhabiskan untuk menyusunnya kan jadi sia-sia, kan?"
Rasa malu kalah oleh makna dari usaha yang telah kucurahkan.
"Mungkin juga."
Minat Yua beralih ke punggung album.
"Kayaknya tidak mungkin selesai semua hari ini, jadi ayo bawa beberapa yang menarik ke ruang tamu dan lihat bersama."
Yua melihat ke rak buku dari atas sampai bawah, lalu membungkuk. Karena itu, celana pendeknya sedikit memperlihatkan sesuatu berwarna putih yang sepertinya pakaian dalam dari pinggangnya, tapi aku harus berusaha tidak melihatnya...
"Tapi, aku punya niat untuk melihat semuanya meskipun butuh waktu."
Yua yang masih membungkuk menatapku, tersenyum memperlihatkan gigi putihnya.
Meskipun aku bilang akan menunjukkan album... aku tidak ingat semua fotonya, jadi aku khawatir mungkin ada foto yang memalukan jika Yua melihatnya.
"Sepertinya, yang zaman TK jangan deh..."
Mungkin saja ada foto telanjangku yang polos dan aku jadi *never mind*. Aku tidak ingin Yua melihat sesuatu yang tidak pantas.
"Kalau begitu, yang Shinji waktu TK akan kusimpan untuk dilihat bersama Tsumugi-chan, ya."
"Jangan, jangan tunjukkan ke Tsumugi. Kalau memang mau lihat, lihat saja sendiri diam-diam."
"Shinji ini, kalau aku melihat foto memalukanmu sendiri diam-diam, kamu mau aku jadi bagaimana?"
Meskipun menutupi mulutnya dengan album yang diambilnya, mata Yua tetap tersenyum.
"Aku tidak mau jadi bagaimana-bagaimana juga..."
"Ayo cepat lihat, cepat lihat."
Yua yang sudah tidak sabar, mendorong punggung album yang dia peluk ke punggungku, mendesakku.



Post a Comment