NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kurasu no Gyaru ga Naze ka Ore no Gimai to Nakayoku Natta V3 Chapter 3 Part 5

 Penerjemah: Ikaruga Jo

Proffreader: Ikaruga Jo


Chapter 3 - Bagian 5 

[Reuni Musim Panas]


Suara keras menggema di taman siang bolong.


"Oke, sudah naik semua?"


Ayah yang sudah di kursi pengemudi, bertanya ke kursi belakang.


Aku dan Tsumugi duduk di kursi belakang.


Meskipun kursi belakang, mobil ini van, jadi kami tidak duduk bersebelahan. Aku di baris tengah, dan Tsumugi di baris paling belakang.


Van itu adalah mobil kesayangan Ayah.


Melihat kekayaan Ayah, dia mungkin bisa membeli mobil mewah, tapi katanya dia menyukai van yang pernah ditumpangi senior pegulat di sana saat dia masih muda dan berkeliling dunia untuk pertandingan. Jadi dia mencari model yang sama dan terus memakainya. Yah, badan Ayah besar, jadi mobil yang bisa dinaikinya juga terbatas.


Hari itu, kami berencana pergi ke kota tempat Tsumugi dulu tinggal, untuk ziarah ke makam Ayaka-san.


"Ayah, tunggu sebentar. Aku ada perlu dengan Yua."


Aku membuka jendela mobil. Yua, yang tadinya mau mengantar kami pergi, berdiri di dekat situ.


Yua juga berencana pulang ke rumah orang tuanya hari itu, tapi jadwal keberangkatannya sedikit lebih lambat dari kami, jadi aku memintanya untuk mengunci pintu. Kebetulan dia punya kunci cadangan.


"Ada apa Shinji? Sudah mulai kangen, ya?"


Begitu jendela terbuka, aku langsung bertemu dengan wajah Yua yang nyengir senang luar biasa.


"Oh, oh, serius nih Shinji! Ciuman perpisahan juga boleh, kok!"


"Tidak usah yang begitu..."


Aku melirik tajam ke arah pria tua jangkung yang menggodaku itu, lalu berbalik menghadap Yua.


"...Kau benar-benar tidak apa-apa?"


Aku mencondongkan tubuh keluar jendela mobil yang terbuka, dan berkata agar hanya Yua yang bisa mendengar.


Yua mungkin sudah mempersiapkan diri... tapi menurut kesan pertamaku, keluarga Takarai itu seperti sarang iblis yang dingin menusuk tulang, jadi aku mau tidak mau jadi khawatir.


"Aku tidak apa-apa kok. Makasih sudah khawatir."


Yua yang mendekat ke arahku, mengibas-ngibaskan foto yang kuberikan.


"Kan ada jimat pengusir setan juga, kan?"


"Jangan terlalu berharap banyak pada khasiatnya, ya."


Aku khawatir, apakah fotoku saja bisa membantu? Aku senang dia membutuhkannya sih.


"Shinji ini, masih saja pesimis, ya."


Yua menggembungkan pipinya dengan nada 'muu', menatapku tanpa mengalihkan pandangan.


"Kalau begitu, biar lebih banyak manfaatnya, aku mau minta tambahan, deh~"


Aku berpikir mungkin dia akan mengambil foto dengan ponselnya, mengaitkan kata 'minta' dengan 'foto' di benakku.


Mengikuti Yua yang menggerakkan jarinya, mengisyaratkan "Sini, sini," saat aku mencoba mencondongkan tubuh agar pas masuk *frame*.


Pipiku merasakan sentuhan lembut yang nyaman.


Aroma manis yang datang terlambat membuatku sadar bahwa Yua baru saja mencium pipiku.


"Yua, kau..."


Itu terjadi bahkan sebelum aku sempat berpikir, kenapa Yua selalu menyerang tiba-tiba seperti ini.


"Luar biasa!"


"Berisik, Ayah..."


Ayah, si pengamat ulung, membunyikan klakson tanpa alasan.


"Tidak apa-apa, kok. Aku dapat tontonan bagus."


"Tidak bagus. Ayah yang memprovokasi. Yua itu serius kalau soal begini."


Bukan hanya malu. Meskipun jarak kami lebih dekat dari keluarga pada umumnya, ayah tetaplah ayah, jadi sebagai remaja yang sedang dalam masa pubertas, rasanya tubuhku bisa terbakar karena malu.


Ayah, yang berhasil menyisihkan waktu di sela-sela 'GL' untuk berziarah ke makam Ayaka-san, terlihat sangat gembira karena dia memimpin di posisi teratas dengan tiga kemenangan beruntun, dimulai dari mengalahkan juara bertahan, Iimotom, di pertandingan pembuka.


"Yua juga, jangan melakukan hal seperti itu di sembarang tempat..."


"Kenapa? Tidak apa-apa, kan, aku kan 'pacar'mu. Aku tidak bisa menahan diri untuk menciummu karena sedikit sedih harus berpisah, kamu tidak mengerti perasaanku, ya?"


Yua meletakkan ujung jarinya di bibirnya, nyengir tak henti.


"Enak ya~. Shin-nii bisa ciuman sama Yua-san."


Tsumugi, yang entah sejak kapan sudah ada di belakangku, menyandarkan tubuhnya ke punggungku, jadi kami seperti induk dan anak kura-kura.


"Kalau begitu, Tsumugi juga lakukan saja..."


Aku berkata dengan perasaan putus asa, tapi minat Tsumugi sepertinya ada di tempat lain.


"Yua-san! Sesuai janji, kalau sudah pulang, ajak aku menginap di apartemen Yua-san, ya!"


Tsumugi, sambil terengah-engah, melambaikan tangannya ke arah Yua.


"Janji apa itu?"


"Kami berdua yang memutuskan," jawab Yua.


"Benar kan, Tsumugi-chan. Kita sudah janji kalau sudah pulang, kamu mau datang ke apartemenku, kan?"


"Benar~"


"Oh, Shinji juga ikut kok."


"Kenapa?"


Tidak, sebagai wali Tsumugi, aku tidak keberatan ikut, sih.


"Shin-nii, tenang saja. Waktu tidur, aku akan pindah ke kamar lain kok."


"Itu adalah perhatian yang malah membuatku khawatir..."


"Yah, pokoknya, aku juga punya hal yang sangat kunanti-nanti saat kalian pulang, jadi Shinji jangan khawatir dan pergilah."


Kata Yua.


"...Baiklah."


Meskipun aku tidak terlalu khawatir, Yua sudah mengambil keputusan sendiri.


Khawatir berlebihan justru bisa membuat tekad Yua goyah.


"Kalau begitu, aku pergi dulu."


"Yua-san, aku pergi dulu ya~"


Aku melambaikan tangan kecil ke arah Yua, sementara Tsumugi melambaikan tangan besar.


"Oke, oke, dadah! Sampai nanti ya~"


Yua melambaikan tangan kembali ke arah kami sambil mundur.


Mobil yang dikendarai Ayah melewati gerbang keluarga Nagumo, meninggalkan Yua.


Aku tidak bisa tidak berharap bahwa ketika kami bertemu Yua lagi, dia akan tetap seceria saat mengantar kami pergi.



Ziarah ke makam Ayaka-san berjalan lancar.


Aku sempat khawatir Tsumugi akan menangis mengingat ibunya, tapi di luar dugaanku, Tsumugi justru senang bisa bertemu lagi setelah sekian lama, merawat makam, dan menceritakan keadaannya saat ini.


Tampaknya, Tsumugi sudah tumbuh lebih kuat dari yang kuduga.


Melihat pemandangan itu, air mataku hampir menetes, dan aku merasa lega telah membawa Tsumugi.


Setelah ziarah ke makam Ayaka-san, kami pergi ke sebuah restoran keluarga di dekat apartemen tempat Tsumugi dulu tinggal.


Saat Ayaka-san masih sehat, setiap kali liburan panjang sekolah, Golden Week, atau libur tiga hari berturut-turut, aku sering sekali datang bermain ke apartemen Ayaka-san.


Saat itu, Ayaka-san sering mengajakku ke restoran keluarga ini.


"Rasanya nostalgia banget~"


Tsumugi, yang duduk di sampingku, berkata sambil melahap habis *hamburger set*-nya.


"Apartemen tempat aku tinggal sama Ibu, padahal baru beberapa bulan lalu, tapi sudah terlihat seperti tempat yang sudah lama ditinggali. Padahal kadang-kadang aku masih lewat dekat sana, lho."


Tsumugi tidak pindah sekolah SMP meskipun sudah pindah ke keluarga Nagumo, jadi wajar saja dia kadang mampir ke apartemen tempatnya dulu tinggal.


"Itu karena Tsumugi sudah nyaman di rumah kita, kan?"


Ayah, di depannya, menumpuk menu-menu yang disukai anak laki-laki SD seperti omurice, kari, pasta, dan tendon seperti benteng, dan melahapnya dalam sekejap mata.


"Pasti dia menghabiskan waktu yang berharga di rumah kita, sampai-sampai hal yang baru beberapa bulan lalu saja sudah terasa nostalgia."


Meskipun itu hanya perbedaan kecil yang hanya aku yang sadar, Ayah agak sungkan terhadap Tsumugi. Volume suaranya mengecil, dan nada suaranya jadi lebih lembut.


Ayah, karena tubuhnya yang besar, sering membuat Tsumugi menangis saat Tsumugi masih jauh lebih kecil dari sekarang. Dia pasti masih belum melupakan kejadian itu.


"Soalnya~, Yua-san baik hati, dan ada Shin-nii juga, jadi aku pikir sekarang ini juga menyenangkan."


Aku, nyaris meneteskan air mata karena terharu.


Tsumugi di sekitar musim semi, karena syok kehilangan ibunya, meskipun dia bersikap tegar setelah datang ke rumah kami, kadang-kadang masih menangis.


"Tapi..."


Tsumugi, meskipun tidak menunjukkan kesedihan secara langsung, mengalihkan pandangannya ke tangannya.


"Hari ini, waktu aku pergi ke tempat Ibu, aku jadi berpikir, apa tidak apa-apa kalau aku senang? Kalau aku tidak terlalu sedih, apa Ibu tidak akan sedih? Apa Ibu tidak akan merasa seperti dilupakan...?"


Tsumugi menatapku.


Aku juga pernah memikirkan kekhawatiran itu. Aku bisa memahami keraguan Tsumugi.


"Ayaka-san yang kukenal, dia selalu memikirkan kebahagiaan Tsumugi di atas segalanya."


Kataku. Aku tidak mengalihkan pandangan dari Tsumugi, dan memang tidak boleh.


"Ayaka-san akan lebih sedih kalau Tsumugi terus-menerus terlihat sedih, kan."


Ayaka-san memiliki rasa tanggung jawab yang luar biasa, jadi jika Tsumugi sedih, dia pasti akan menyalahkan dirinya sendiri, berpikir bahwa Tsumugi sedih karena dia sudah meninggal.


"Mmm, mungkin juga..."


Tsumugi sepertinya sedikit mengubah pikirannya, tapi sepertinya kata-kataku terdengar biasa saja baginya, tidak terlalu mengena.


Sial. Aku benci diriku yang kurang mampu... Andai saja aku punya lebih banyak pengalaman hidup, aku bisa langsung menenangkan Tsumugi.


"Begini Tsumugi. Yah, Shinji juga. Jangan terlalu memusingkan hal-hal kecil."


Ayah, memukul dadanya yang kencang karena kaus yang ketat.


"Kalian berdua, cukup ingat saja semua hal menyenangkan yang kalian lalui bersama Ayaka. Malah, pegang saja kenangan indah itu. Pikiran sedih bahwa dia sudah tiada sekarang, serahkan saja semuanya padaku. Kalau digabungkan bagianku dan bagian kalian, itu semua adalah kenangan Ayaka."


"...Benar juga."


Ekspresi Tsumugi yang terangkat, tidak menunjukkan kesedihan, melainkan senyum tenang yang menunjukkan hatinya sudah lega sepenuhnya.


"Grrr... Ayah sialan, mentang-mentang lebih tua dariku, jadi sok-sokan..."


Perasaan iri muncul terhadap Ayah yang telah mengusir kekhawatiran Tsumugi.


"Aku tidak sok-sokan kok. Jangan asal tuduh. Aneh-aneh saja kau ini."


Ayah, meskipun tampak kaget, hendak memesan *katsudon* tambahan. Apa dia mau makan semangkuk nasi berukuran besar sebagai makanan penutup? Aku saja sudah merasa kenyang hanya dengan melihat cara makannya. Jangan meremehkan porsi makanku yang kecil, yang sudah puas hanya dengan menyeruput soba sejak tadi.


"Shin-nii juga, terima kasih."


Tsumugi mencolek-colek gipsku.


"Shin-nii juga kan sering sama Ibu, jadi aku yakin apa yang Shin-nii bilang itu pasti benar."


"Oh, begitu, ya..."


Syukurlah. Aku tidak mengatakan hal yang salah.


...Tapi, kenapa aku yang dihibur?


Padahal di depan makam Ayaka-san, aku baru saja bersumpah, 'Tsumugi akan kuurus sebaik mungkin, jadi jangan khawatir.' Aduh, suasana hatiku jadi biru langit. Rasanya ingin nekad menghabiskan semua kuah soba tanpa dicampur air.



Setelah itu, kami kembali naik van Ayah, dan pulang ke rumah.


Dari kursi belakang, terdengar dengkuran Tsumugi yang terlihat senang dan nyaman, mungkin karena kekenyangan.


"Ngomong-ngomong, Ayah."


Meskipun ziarah makam berjalan lancar, ada hal yang menggangguku.


"Seperti yang kubilang waktu ziarah tadi, kenapa Ayah melakukan tindakan sembrono seperti itu?"


"Tindakan sembrono apa?"


"Tadi, padahal ada yang sudah meletakkan bunga di vas, tapi Ayah malah mencabutnya dan membawanya pergi, kan. Bukankah itu diletakkan oleh seseorang yang dekat dengan Ayaka-san?"


Ayah, meskipun dia heel (karakter jahat dalam gulat), aku mengira dia adalah orang yang berakal sehat, jadi aku terkejut melihat pemandangan itu.


"Hah? Sudahlah, tidak apa-apa itu. Itu ulah si brengsek itu."


"Tadi juga Ayah mengelak begitu. Dari cara bicaramu, Ayah pasti tahu siapa yang meletakkan bunga itu, kan? Beritahu aku dong, Ayah."


Aku mengguncang-guncang kursi pengemudi Ayah.


Tepat saat lampu merah, Ayah menghela napas panjang seolah pasrah.


"...Bagaimana kabar Tsumugi?"


"Tidur. Dia lagi konsentrasi mencerna hamburger yang ukurannya sebesar wajahnya sendiri."


Baru saja aku hendak bertanya, "Ada apa dengan Tsumugi?"


"Yang meletakkan bunga itu... pasti ayah Tsumugi."


"Ayah Tsumugi?"


Ruangan yang akrab antara ayah dan anak itu seolah diselimuti ketegangan yang tajam.


Tsumugi tidak tahu wajah ayah kandungnya. Aku pun tidak tahu.


Ayaka-san melahirkan Tsumugi saat usianya masih belasan tahun.


Keluarga utama Nagumo yang katanya dikenal sebagai keluarga terpandang di daerah, tidak mengizinkan Ayaka-san yang tidak menikah dan tidak pernah mengungkapkan identitas ayah Tsumugi. Akhirnya, Ayaka-san bertengkar dengan orang tua dan kerabatnya, lalu pergi dari rumah seperti melarikan diri. Untungnya, Ayah, yang paling dekat dengan Ayaka-san di antara saudara-saudaranya, diam-diam memberikan dukungan, sehingga Ayaka-san dan Tsumugi tidak sampai kesulitan. Tapi selama itu, aku tidak tahu apa yang dilakukan ayah Tsumugi. Aku juga tidak pernah mendengar cerita bahwa dia pernah membantu ibu dan anak itu, jadi jujur saja, aku juga tidak punya kesan baik pada ayah Tsumugi.


"Jadi Ayah tahu ayah Tsumugi?"


Ayah juga belum pernah sekali pun membicarakan ayah Tsumugi sebelumnya.


"Yah, begitulah."


"Siapa dan dari mana dia?"


"Aku tidak mau bilang. Itu sudah selesai."


"Tidak, jangan anggap itu sudah selesai seenaknya... Kan dia ayah Tsumugi? Tsumugi..."


Aku hendak berkata, "Bukankah dia ingin bertemu?", tapi aku tidak bisa melanjutkan.


Aku takut jika Tsumugi bertemu ayah kandungnya... dia akan berkata, 'Aku ingin tinggal bersama keluarga kandungku.'


Aku menoleh ke arah Tsumugi yang sedang tiduran memenuhi seluruh kursi paling belakang.


Jika Tsumugi masih seperti saat musim semi, yang penuh kecemasan karena baru kehilangan Ayaka-san, aku mungkin akan berpikir bahwa dia harus tinggal bersama ayah kandungnya.


Tapi, sekarang berbeda.


Berkat Yua, Tsumugi sudah berhasil melewati penderitaan kehilangan ibunya, setidaknya untuk saat ini.


Dalam proses itu, aku juga terlibat.


Bagiku yang melihat Tsumugi, yang setelah kehilangan ibunya, berusaha bersikap tegar tapi terkadang menangis kesepian di malam hari, melihatnya menunjukkan ekspresi ceria di depan makam Ayaka-san, aku merasakan kepuasan dan emosi spesial.


Kasih sayangku pada Tsumugi menjadi jauh lebih kuat daripada saat musim semi.


Sekarang, jika ayah Tsumugi datang dan berkata ingin tinggal bersama Tsumugi, aku tidak akan menjawab 'baiklah'. Aku bahkan tidak mengharapkan momen seperti itu datang.


Maka dari itu... seperti yang Ayah bilang, lebih baik tidak terlalu dalam mencampuri masalah ini.


Mobil yang menuju rumah memasuki terowongan, dan setelah melewati kegelapan serta suara gemuruh, kami kembali di bawah langit senja yang indah.


Aku dan Ayah, seolah-olah telah membuang percakapan suram tadi di terowongan, memulai percakapan ayah-anak yang sepele.


Previous Chapter | Next Chapter

0

Post a Comment

close