NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V1 SS Chapter 1

 



Sang Hunter Terlemah Bermimpi Menjadi Pahlawan



Di zaman ini, masyarakat berputar berkat kekayaan yang dihasilkan dari Treasure Hall yang muncul secara alami di berbagai belahan dunia. Dalam masyarakat yang menganut prinsip kekuatan adalah segalanya, menjadi Treasure Hunter adalah pekerjaan impian nomor satu bagi anak-anak (dan sekaligus pekerjaan nomor satu yang tidak diinginkan orang tua untuk anak mereka), karena bila berhasil, menjadi bangsawan pun bukan lagi mimpi.


Dari semua itu, pekerjaan yang paling diimpikan oleh anak laki-laki adalah Pendekar Pedang (Swordsman). Suatu hari, seorang paman yang dulunya juga pernah berjaya sebagai Treasure Hunter memanggilku secara khusus di antara sekian banyak anak laki-laki yang diajarnya dan berkata:


“Krai Andrey... ini mungkin terdengar agak menyakitkan, tapi sepertinya... kau tidak punya bakat dalam ilmu pedang.”


“Apa...?”


Itu adalah seperti petir di siang bolong. Pasalnya, di tempat paman mengajar, ada banyak orang dari berbagai usia dan jenis kelamin datang untuk belajar pedang, dan tak satu pun dari mereka pernah dibilang tidak berbakat.


“Tapi... aku selalu latihan duel dengan Luke, kan...”


Aku menyebut nama teman masa kecilku yang juga rival, yang sempat gembira karena dipuji sebagai murid paling berbakat. Tentu saja, bahkan aku pun sadar bahwa aku kalah dari Luke. Tapi, karena kami selalu menjalani latihan yang sama, rasanya tidak bisa begitu saja menerima ucapan bahwa aku tidak berbakat.


Aku ingin berdiri di garis depan bersama Luke dan memimpin party kami!


“Itulah... maksudku... Luke Sykol itu punya bakat alami. Kau sudah cukup lama berduel dengannya, tapi hasilnya... ya begitulah...”


Paman berkata dengan susah payah, melihatku yang terbelalak kaget.


“Lagipula, Krai... kau sebenarnya tidak terlalu suka pedang, kan?”


“Eh, bukan begitu... kan keren saja.”


“Yah, pendekar pedang itu sebenarnya tidak sekeren itu. Menurutku, kau lebih cocok jadi thief Meski tanpa kekuatan atau kemampuan bertarung, kau tetap bisa berkontribusi pada party. Dan dalam menjelajahi Treasure Hall, itu adalah peran yang sangat penting, walau terlihat sederhana.”


“Eh—tapi swordsman jauh lebih keren, dan Liz juga bilang dia ingin jadi thief. Lagipula... sebenarnya aku sudah pernah mencoba jadi thief, dan... aku malah dibilang tidak ada harapan dan disuruh pulang.”


“!?”


Sebenarnya, dari kelompok teman masa kecilku, yang paling sering menarik tanganku untuk mencoba sesuatu biasanya Liz atau Luke. Kali ini Liz yang menang, tapi pengalamanku dalam menjadi thief bahkan tidak bertahan setengah hari.


“Katanya, aku kurang stamina, kurang mental, dan kurang perhatian juga. Aku tidak suka orang itu.”


Orang yang mengajari kami sebagai thief bersama Liz jauh lebih kasar dan buruk kelakuannya dibanding paman swordsman. Kupikir, dia mungkin hanya pelampiasan karena gagal jadi swordsman.


Saat aku memikirkan hal tak sopan itu, paman buru-buru berkata dengan nada panik:


“Kalau begitu... bagaimana kalau jadi Penyihir (Magi)? Kau bisa menyerang dari belakang dengan sihir tanpa harus maju ke depan.”


“Eh, tapi jadi Magi itu rencananya adikku, Lucia...”


“Dua orang! Tidak masalah kalau ada dua Magi! Malah bagus kalau kalian jadi Magi bersaudara! Berbeda dengan swordsman, mereka tidak berada di garis depan jadi jarang terluka, dan Magi itu inti dari serangan! Ganti peran dengan temanmu juga tidak apa-apa! Lagi pula, karena kau tidak punya banyak otot, mungkin aliran Mana-mu justru lebih cocok!”


“Eh, tapi aku dengar biasanya yang jadi Magi itu perempuan? Katanya laki-laki punya terlalu banyak otot, jadi cocoknya di barisan depan...”


Walaupun begitu, aku juga sudah banyak memikirkan hal ini. Dengan penuh percaya diri, aku menyampaikan pengetahuan yang baru saja kudapat. Mendengarnya, paman swordsman menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan dan berkata:


“Sudahlah, kau jadi Magi saja. Meski aku sendiri merasa kecewa mengatakan ini... tapi barisan depan adalah tiang utama sebuah party, dan untuk mengemban peran itu, kau kekurangan bakat dan mental. Setidaknya jadi Magi masih ada harapan.”


◇◇◇


Sebagai seorang Magi yang cukup terkenal di kota, nenek itu membuka matanya lebar-lebar saat melihat bola kristal yang kusentuh.


“Luar biasa... nilai Mana ini... Tak kusangka kau punya bakat seperti ini. Nenek ini sudah jadi Magi selama 50 tahun, tapi... bahkan membayangkannya pun belum pernah.”


“Eh, apa benar aku benar-benar punya bakat jadi Magi?”


Sudah jadi anggapan umum bahwa yang bisa sukses sebagai Magi biasanya adalah perempuan. Tapi kalau aku memang punya bakat, mungkin menjadi Magi bukan pilihan yang buruk. Kalau dipikir-pikir, menggunakan sihir terasa lebih menyenangkan daripada mengayunkan pedang berat di barisan depan.


Lucia, adikku, bahkan sudah senang karena dibilang jenius oleh nenek. Tapi karena Lucia masih 8 tahun dan sangat imut, mungkin nenek hanya berkata begitu supaya dia tidak sedih. Tapi... mungkinkah ini saatnya lahirnya pasangan kakak-adik penyihir jenius? Apakah ini artinya aku masih bisa menjaga wibawa sebagai seorang kakak?


Namun saat aku menatapnya penuh harapan, nenek memandangku seperti sedang melihat sesuatu yang menyedihkan dan berkata:


“Tidak... bakatmu itu, sama sekali tidak ada. Bahkan mengejutkan betapa tidak berbakatnya kau.”


“!? G-gah!”


“Melihat hasil tes yang lain juga, tampaknya kau kurang konsentrasi, kurang semangat terhadap sihir, dan imajinasi pun kurang. Kukira siapa pun bisa jadi Magi asal punya sedikit saja bakat... tapi tak kusangka ada orang di dunia ini yang bahkan tidak punya bakat sekecil itu. Padahal adikmu begitu penuh talenta... sungguh kejamnya dunia.”


“Tapi... tapi, aku sudah membuat banyak buku sihir, lho!”


Aku menunjukkan catatan berisi daftar sihir yang ingin kupelajari jika menjadi Magi. Namun nenek bahkan tidak menyentuhnya, dan dengan nada menasihati, ia berkata:


“Dengar, Nak. Nenek tak ingin kau menderita. Jadi lupakan saja soal jadi Magi. Sejujurnya, nenek juga tak merasa kau punya bakat sebagai seorang hunter... tapi kalau kau tetap ingin jadi hunter, carilah pekerjaan lain. Itu satu-satunya saran yang bisa nenek berikan.”


Kalau begitu... aku seharusnya jadi apa? Teman-temanku sudah menentukan jalan hidup mereka di percobaan pertama.


“Hmm... kalau begitu aku akan ikut Ansem dan jadi Prajurit Berat (Heavy Warrior)...”


Atau mungkin lebih tepatnya Ksatria Pelindung (Paladin), karena sepertinya mereka juga belajar sihir kepercayaan. Ansem, teman masa kecilku yang bertubuh lebih kecil dan berhati lembut, kabarnya dianggap punya potensi besar. Kalau begitu, mungkin aku juga punya sedikit harapan?


Catatan sihirku akan kuberikan pada Lucia nanti.


Nenek menatapku dari atas ke bawah, lalu mengusap kepalaku dengan tangan kurusnya dan berkata:


“...Jangan lakukan itu.”


“Eh, terus aku harus jadi apa? Thief juga katanya tidak cocok buatku—”


Nenek menunjukkan ekspresi sulit seakan sedang ditanyai sesuatu yang mustahil.


“Hmm... bagaimana kalau jadi Alkemis? Pekerjaan itu tidak membutuhkan Mana atau tenaga besar. Yang penting adalah pengetahuan, pengalaman, inspirasi... dan sedikit keberuntungan.”


“Alkemis kan sudah dipilih oleh Sitri... Lagi pula, katanya itu tidak terlalu cocok untuk hunter, kan?”


Sitri adalah gadis yang baik hati. Karena dia juga bingung mau jadi apa, aku sempat menyarankan beberapa pilihan dan dia memilih itu. Dia juga belajar sendiri dari perpustakaan. Rasanya tidak enak jika aku ikut-ikutan dan mengganggunya. Lagipula, berbeda dengan swordsman atau Magi, satu Alchemist saja dalam satu party sudah cukup.


“Yah, kalau begitu... aku akan pilih yang ini saja.”


Untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang hunter, aku sebenarnya tidak berdiam diri saja. Walau sudah didahului dalam berbagai profesi, dari swordsman, Magi, thief, Paladin, sampai Alchemist, aku masih punya beberapa ide lain.


Dengan penuh percaya diri, aku menyampaikan pada nenek Magi yang menatapku dengan penuh rasa kasihan:


“Penari (Dancer) atau Penyair Kelana (Bard)!”


“Apa katamu!?”


“Dua-duanya! Sudah kupilih, aku akan jadi Penyair Penari (Dancing Bard)!”


Nenek langsung memelukku erat, suaranya parau bergetar oleh emosi.


“Oooh... Hunter yang menari dan menyanyi? Pekerjaan seperti itu bahkan tidak ada... Sungguh kasihan, sungguh malang...”


“Hmm... aku sih yakin bisa, tapi masalahnya adalah... siapa yang bisa jadi mentorku? Tidak ada yang bisa mengajarkannya...”


Saat aku berbicara penuh semangat, nenek melepaskan pelukannya dan berkata dengan wajah serius:


“Dengar baik-baik... nenek mohon, jangan lakukan itu.”


◇◇◇


Dan begitulah akhirnya aku tidak menjadi siapa-siapa. Selama 5 tahun penuh, aku berpindah-pindah dari satu guru ke guru lain, meski sering ditolak dan dianggap menyusahkan. Kini aku hanya bisa bersyukur karena pada akhirnya, ada yang menghentikanku dari menjadi Dancing Bard.


Hingga akhirnya tiba hari takdir. Aku, yang tidak punya bakat, motivasi, ataupun profesi, akhirnya menjadi pemimpin party—murni karena semua pilihan lain telah habis. Tanpa kusadari, party beranggotakan teman-teman masa kecilku ini akan tumbuh menjadi tim terkuat, dan dengan penuh percaya diri menyerbu ke masa kejayaan Treasure Hunter.


Namun, saat itu... aku sama sekali belum mengetahuinya.















Jejak Permulaan



Akhirnya aku sampai juga.


Pintu kayu besar yang diperkuat dengan logam itu memancarkan aura yang cukup membuat nyali menciut hanya dengan melihatnya. Di sampingnya, berkibar bendera kecil berwarna merah. Gambarnya, meskipun sudah pudar karena lama terkena hujan dan angin, jelas menggambarkan sebuah peti harta karun.


Bahkan anak kecil yang belum genap berusia 10 tahun pun tahu artinya.


Peti harta karun—Treasure Box—adalah simbol para Treasure Hunter—pahlawan yang kadang menghadapi berbagai phantom dan monster, kadang harus lolos dari perangkap jahat, kadang menantang keganasan alam, demi menjelajahi Treasure Hall.


Dan gedung yang mengibarkan bendera itu tak lain adalah markas besar para Treasure Hunter, yakni Asosiasi Penjelajah.


Bahkan saat aku mengamatinya dari seberang jalan, beberapa hunter masuk melalui pintu tersebut.


Seorang pria kekar bertampang garang membawa kapak raksasa yang ukurannya melebihi tinggi badanku. Seorang wanita anggun membuka pintu dengan gerakan luwes yang memukau. Dan seorang penyihir misterius yang seluruh tubuhnya tertutup jubah.


Mereka adalah tipe orang yang kalau lewat di jalan, kau pasti akan menoleh dua kali. Dan mereka semua berkumpul di Asosiasi Penjelajah.


Mungkin tempat ini memang tempat berkumpulnya orang-orang eksentrik, pikirku sejenak. Pintu besar itu kini terlihat seperti gerbang menuju neraka.


Dan seperti yang bisa ditebak, tak banyak anak muda seperti kami di sini. Kami baru saja dewasa, dan dibandingkan dengan para hunter yang barusan kulihat, perbedaan kami bagaikan langit dan bumi.


Namun, kami tetap harus masuk ke dalam bangunan penuh warna itu.


Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantung yang berdentum seperti genderang perang.


Ini adalah mimpi.


Bukan hanya mimpiku, tapi mimpi kami.


Walau hatiku sudah nyaris hancur bahkan sebelum masuk, aku tak boleh berhenti di sini.


Aku menoleh ke belakang, ke arah teman-teman yang menunggu.


“Bagaimana kalau… kita batal saja?”


“Eh!? Kita bahkan belum masuk, tahu!? Lagi pula, bukankah Krai-chan, yang bilang mau ke Ibu Kota Kekaisaran?”


Gadis berambut pirang kemerahan—Liz—mengeluh sambil menatapku tajam. Yang lain juga tampak mengiyakan dengan wajah lelah.


Benar juga.


Kami memutuskan ingin menjadi Treasure Hunter 5 tahun lalu, saat kami masih berumur 10 tahun. Sejak itu, kami terus berlatih demi hari ini. Dan sekarang aku malah gentar? Sungguh memalukan. Jika aku ada di posisi mereka, aku juga akan merasa kesal.


Tapi masalahnya… aku satu-satunya yang tidak punya bakat.


Kenapa aku—yang sejak dulu sudah sadar akan kekuranganku—masih nekat bilang ingin menuju Zebrudia, kota suci para Treasure Hunter?


Dan kenapa sekarang aku malah jadi pemimpin?


Saat kami melakukan latihan terakhir di Treasure Hall, aku memperlihatkan kegagalan yang menyedihkan. Meski begitu, mereka tetap menunjukku jadi pemimpin, seolah tak terjadi apa-apa. Aku sungguh kagum dengan keteguhan hati mereka.


Aku pun menasihati teman masa kecilku—seorang anak laki-laki bernama Luke Sykol, yang mungkin paling bersemangat dalam hal menjadi hunter.


Luke memang pemberani, tapi kadang kurang pikir panjang.


“…Kalau hanya kalian, mungkin masih ada harapan. Tapi aku pasti takkan bisa. Aku akan pulang. Kalian saja yang jadi hunter. Aku akan mendukung dari jauh.”


Kalau ingin mundur, sekaranglah saatnya.


Luke mendengus, bukan dengan nada menghina, tapi seperti orang yang kesal melihat teman yang pengecut.


“Tch. Kau kebanyakan mikir. Yasudahlah, aku yang buka pintunya.”


“Ah!? Luke-chan curang! Kan sudah janji yang buka pintu itu pemimpin!”


Liz memprotes keras dengan nada tinggi. Tapi Luke mengabaikannya dan langsung berlari ke arah pintu Asosiasi—dan, entah kenapa, dia malah menendang pintu itu terbuka.


Pintu besar itu berderit keras. Aku langsung merasa sesak.


Padahal bukan aku pelakunya, tapi… yah.


Kalau boleh jujur, rasanya… aku mau muntah.


Dengan gaya seolah sedang menyerbu, Luke masuk ke dalam. Ratusan tatapan langsung tertuju padanya.


Namun dia tak peduli. Ia melangkah masuk, menghunus pedang kayu dari pinggangnya, dan menunjuk lurus ke depan sambil berteriak:


“Oi, siapa swordsman terkuat di sini!? Aku Luke Sykol! Swordsman terkuat di dunia! Aku dengar Zebrudia adalah tanah suci para hunter! Siapa saja boleh, ayo lawan aku!!”


Suasana pun hening. Bahkan para hunter kawakan tampak tak bisa berkata-kata karena ulahnya yang terlalu ceroboh.


Meskipun datang dari desa terpencil, tak banyak orang yang bisa seceroboh Luke.


Seorang pria raksasa tiga kepala lebih tinggi dari Luke, dan pria kurus yang berpakaian bak bandit, hanya bisa melongo.


Bukan begitu konsepnya! Siapa yang suruh kau nyatakan perang segala!?


Saat aku ingin maju menarik Luke kembali, Liz justru lebih dulu berlari melewatinya. Ia mendorong Luke dan ikut-ikutan berteriak:


“Curang curang! Selalu saja kau yang cari perhatian! ──Aku Liz Smart! Thief terhebat di dunia! Hari ini aku datang untuk daftar jadi Treasure Hunter!!”


Selesai sudah. hancur semua.


Aku, bersama teman-teman masa kecil lainnya—Sitri, Lucia, dan Ansem—menguatkan hati dan perlahan melangkah masuk ke dalam Asosiasi sambil menunduk.


“Kikiki… Oi oi, para pendatang baru ini semangat sekali, ya. Terpukau dengan keramaian ibu kota, mungkin? Mau ngapain bawa-bawa pedang kayu? Main masak-masakan, ya?”


Pria itu punya tatapan tajam seperti reptil. Peralatannya lusuh dan penuh noda darah. Di atas mejanya tergeletak pedang dengan bilah melengkung yang tak seperti pedang biasa—menunjukkan pengalamannya dalam banyak pertarungan.


Namun Luke tetap tenang, menggenggam pedang kayu yang telah dipakai lama.


Meskipun tak punya mata tajam, pedang kayu itu terlihat agak menghitam di bagian bilah—tanda bekas pemakaian.


“Sejatinya orang kuat, itu… tidak pilih-pilih senjata. Keren kan kata-kata itu? Itu ucapan dari pemimpin kami! Artinya… secara logis, karena aku membawa pedang kayu, aku adalah yang terkuat di dunia.”


“…Oh. Kau, benar juga.”


Sang hunter senior tampak kehabisan kata. Tatapannya menunjukkan bahwa ia tidak tahu harus kagum atau kasihan.


Sebenarnya dulu Luke membawa pedang sungguhan, tapi karena dia terlalu cepat panas dan kekuatannya jauh di atas rata-rata, aku takut dia akan membunuh seseorang dalam perkelahian.


Maka dengan segala bujuk rayu, aku berhasil membujuknya untuk memakai pedang kayu saja. Dan sejak itu, ia tak pernah lagi membawa pedang tajam—melainkan memilih untuk “memukul, bukan menebas”. Keren, dalam artian tertentu.


“…Rookie, kau memang nomor satu. Seumur hidup, baru kali ini aku lihat hunter sebodoh ini.”


Mendengar sindiran itu, Luke mengerutkan alisnya, namun tetap menjawab tanpa ragu.


“Rookie...? Namaku Luke. Luke Sykol. Dengarkan baik-baik! Hari ini, saat ini juga—legenda kita dimulai! Benar kan, Krai!? Julukanku adalah Testament Blade, tolong catat itu!!”


Karena suaranya yang terlalu lantang, seluruh area sekitar konter bisa mendengarnya. Ucapannya terlalu konyol untuk dianggap sebagai provokasi yang serius.


Aku merasa sedikit mual sekarang, jadi tolong jangan sebut namaku.


Melihat Luke yang terus melaju dengan caranya sendiri membuat rasa gugupku ikut menguap. Rasanya ingin mengubur diri ke dalam lubang.


Dengan menahan tawa, pegawai perempuan cantik di konter tetap memproses pendaftaran kami sebagai pemburu. Aku menundukkan suara dan bertanya pelan padanya.


“…Apa ada juga pendatang baru yang sebodoh kami?”


“…Yah, kadang—sangat jarang, sih.”


Kebaikannya begitu menyentuh hati. Masa depan kami tampak penuh rintangan.


Deklarasi Luke yang sewenang-wenang disambut dengan sorak gembira dari Liz, dan Lucia yang mencoba menghentikannya dari kejauhan. Aku menekan dadaku, berusaha menenangkan diri dari ketegangan yang membuat kesadaranku nyaris kabur.


Awal dari sebuah legenda? Apa benar semua ini akan berjalan lancar?


Tidak, bahkan jika keajaiban terjadi dan semuanya berjalan baik—aku tetap akan menjadi beban.


Anting artefak yang menggantung di telingaku terasa sangat berat. Itu adalah artefak perpisahan yang diberikan oleh seseorang yang telah membimbing kami selama pelatihan sebelum kami meninggalkan kampung halaman. Sebuah anting yang konon dapat sedikit meningkatkan stamina—diberikan padaku karena aku memiliki fisik paling lemah dibanding yang lain. Meskipun katanya itu adalah artefak tingkat terendah, bagi kami yang bahkan belum resmi menjadi hunter, itu sangatlah berharga—dan yang lebih penting, perhatian yang menyertainya sangat berarti bagiku.


Namun, sekalipun dengan bantuan itu, aku masih belum bisa menyamai teman masa kecilku.


Saat itu, mataku tertumbuk pada seorang pria bertampang bengis di balik konter. Tatapannya seolah sudah membunuh banyak orang. Badannya besar luar biasa. Kepala plontos, tato yang menjalar, bekas luka lama, dada dan lengan atas yang berotot besar—sampai seragam pun tampak tidak cocok sama sekali.


Tatapan tajamnya membuatku mengecilkan badan. Apa orang seperti itu juga staf dari Asosiasi Penjelajah…? Ibu kota Kekaisaran benar-benar tempat yang menakutkan. Bukankah seharusnya dia dirantai di dalam penjara?


Saat aku gemetar karena “sambutan” dari ibu kota Zebrudia, staf di konter kembali berkata padaku.


“Terakhir—silakan daftarkan nama dan simbol untuk party kalian.”


Nama dan simbol party—ya? Aku belum memikirkannya sama sekali… harus bagaimana?


Ansem yang pendiam, Sitri, dan Lucia semua menungguku berbicara dengan tenang. Entah sejak kapan Luke dan Liz yang sebelumnya ribut kini ikut menatapku penuh harap.


Nama party adalah wajah dan lambang dari party itu sendiri. Itu mencerminkan jati diri dan tidak bisa dipilih sembarangan.


Nama-nama yang sedang tren biasanya bernuansa “suci”. Atau memakai simbol kekuatan seperti naga atau petir.


Hmm… biar mereka tahu seperti apa jadinya kalau aku yang jadi pemimpin.


…Aku akan memilih nama yang sama sekali tak terkesan kuat, dan simbol yang bahkan tak pantas diperlihatkan di depan umum—


“Baiklah. Nama partynya adalah: Strange Grief. Untuk simbolnya, yang agak… menyerupai tengkorak begini…”


“Nii-san… seleramu buruk sekali…”


“Oi oi, Krai. Kita ini bakal jadi party pahlawan, kan!? Pilih nama yang keren dong!”


“Aku lebih suka yang imut-imut!”


“Um, Krai-san… kalau pakai nama itu… kemungkinan kita akan disangka Red Party…”


“…Humu.”


Protes datang dari segala arah. Tampaknya aku berhasil lolos dari selera estetik Luke dan yang lainnya.


Tapi, ya, ini memang nama yang buruk. Semakin kulihat, semakin kusadari betapa tidak masuk akalnya—dan justru karena itulah, ini nama yang sempurna.


Dengan ini, pasti mereka akan kecewa. Maka dengan sengaja aku menghela napas panjang dan berkata:


“Aku, bagaimana ya… rasanya kalau bukan dengan nama ini, aku tidak termotivasi. Ah, sepertinya aku sudah gagal jadi pemimpin. Bagaimana kalau kita ambil jalan tengah saja—aku mundur dari party dan jadi tim pendukung?”


“Nii-san, seleramu luar biasa!”


“Strange Grief… Strange Grief ya? Bukankah ini nama yang keren sekali! Dengar baik-baik, kalian semua! Kami adalah Strange Grief! Ingat itu baik-baik! Ini adalah party para pahlawan masa depan!!”


“Kyah! Krai-chan yang terbaik!!”


“Yah… asalkan tidak melakukan kejahatan, sepertinya tidak masalah. Aku setuju. Malah rasanya, ini memang satu-satunya pilihan…”


“Humu.”


Serius?


Bahkan pegawai Asosiasi pun memandangku seolah mempertanyakan kewarasanku. Melihat teman-temanku kembali heboh seolah lupa pada penolakan mereka sebelumnya, aku hanya bisa memaksakan senyum kaku.


◇◇◇


Demikianlah, awal dari kehidupan panjang sebagai seorang hunter.


Kisah tentang sebuah party bernama Strange Grief pun dimulai.












Strange Grief Ingin Bertualang ①



Hanya seminggu yang lalu, baju zirah kulit milik Luke masih mengilap dan terlihat baru. Kini, luka berbentuk salib besar tercetak di permukaannya, dan noda merah kehitaman menempel di sana-sini.


Dan bukan hanya bajunya—dari mantel luar wajib para hunter yang dikenakan di atasnya, hingga sepatu bot kokoh yang diklaim bisa tahan satu tahun, semuanya kini compang-camping sampai tak layak pakai.


Bukan hanya Luke yang berada di garis depan yang menderita. Zirah baja khusus seharga mahal yang dikenakan Ansem, sang petarung sekaligus penyembuh, juga penuh kerusakan. Bahkan Liz, yang selama ini gesit dan mampu menghindari hampir semua serangan, kini tampak seperti tentara kalah perang.


Lucia dan Sitri yang berada di lini belakang memang masih lebih baik, namun tongkat sihir yang baru dibeli Lucia untuk memperkuat sihirnya hampir patah karena beban penggunaan bertubi-tubi. Jubah mereka juga robek di banyak tempat karena serangan musuh yang lolos dari garis depan, dan noda darah mulai merembes keluar.


Satu-satunya yang masih utuh adalah aku—karena sepanjang waktu hanya bisa mondar-mandir tanpa tahu harus berbuat apa, akhirnya hanya berteriak menyemangati mereka.


Sudah satu minggu kami berada di ibu kota kekaisaran, Zebrudia. Kami, party Strange Grief, datang dengan harapan besar akan profesi Treasure Hunter. Namun kami segera dihantam kenyataan: level perburuan di tanah suci para hunter ini jauh melampaui bayangan kami.


Memang, kami adalah pemula yang baru saja terdaftar di sini. Tapi kami sudah menjalani pelatihan hampir 5 tahun di kampung halaman. Selain aku, semua teman-temanku mendapat pengakuan dari guru mereka masing-masing bahwa mereka berbakat. Bahkan sebelum datang ke ibu kota, kami berhasil menaklukkan Treasure Hall lokal dalam waktu tercepat sepanjang sejarah.


Namun pada akhirnya, kami hanyalah anak-anak desa.


Baru saja menyelesaikan eksplorasi pertama kami di Treasure Hall di ibu kota, kami kembali dalam keadaan babak belur dan sekarang sedang menggelar acara refleksi sekaligus syukuran karena selamat di sebuah kedai di samping Asosiasi Penjelajah, bernama Challenger’s Learning Place.


Bahkan Luke yang biasanya penuh percaya diri dan Liz si pengangkat suasana, kini tak bisa menyembunyikan kelelahan mereka.


Luke menyandarkan tubuh di kursi, lalu menggaruk-garuk kepala seperti orang menyerah.


“Tanah suci para hunter, ya… Sudah kudengar sih, tapi ternyata luar biasa. Aku tidak menyangka Testament Blade milikku bisa patah…”


“Itu kan… kayu biasa. Lagian bukannya itu cuma nama julukan?” sahut Liz dengan nada bingung.


“Liz, pendekar sejati tidak memilih senjata. Jadi Testament Blade itu bukan cuma julukan masa depanku, tapi juga nama pedang tercintaku!”


Luke mengangkat separuh bagian bawah dari pedang kayu yang patah saat digunakan bertarung—dan menatapnya tajam.


Senjata itu memang terlalu berlebihan untuk sekadar bertarung, tapi jelas tidak cukup untuk menghadapi monster.


Sitri tersenyum kecil mendengar ucapan kekanak-kanakan Luke.


“Setidaknya, Luke-san harusnya membawa senjata tajam…”


Aku juga berpikir begitu.


Waktu dia menyerang phantom dengan pedang kayu, aku juga heran—kenapa masih pegang itu?


Memang, akulah yang dulu menyarankan dia membawa pedang kayu, agar tidak sembarangan mencabut pedang asli saat ribut-ribut. Tapi aku tidak pernah menyuruhnya menggunakan pedang kayu dalam pertarungan hidup mati!


Saat kami berangkat menuju Treasure Hall, aku tidak menyadari dia tak membawa pedang sungguhan. Mungkin karena sudah terbiasa melihat dia membawa pedang kayu, aku jadi tidak curiga.


Padahal aku sudah memberinya uang untuk membeli peralatan, tapi entah kenapa semuanya dia habiskan untuk beli pedang kayu baru. Aku baru tahu itu saat pertarungan sudah berlangsung—rasanya jantungku nyaris berhenti.


“Ini bukti ketidakdewasaan ku! Petarung sejati tak memilih senjata! Kalau sudah cukup hebat, mau itu baja atau orihalcon (logam langka), bahkan pedang kayu pun bisa membelah musuh! Benarkan, Krai!?”


“…Ya, ada juga sih yang seperti itu… “


Di novel atau manga, maksudku…


“Tapi tetap saja, di tempat level 1 Goblin Cave bisa muncul Ogre dan Cyclops? Awalnya kupikir kita bisa langsung loncat ke level 2, tapi ternyata keputusan Nii-san untuk mulai dari bawah itu sangat tepat.”


Lucia, yang berhasil menggunakan rekor sihir terbanyaknya, kini tampak pucat. Meski sudah istirahat sebentar, kekurangan Mana-nya belum pulih.


Sitri menimpali.


“Mereka memang kuat… Padahal menurut buku, Cyclops itu setidaknya level 4 meskipun tergolong rendah…”


“Humu”


Ansem, yang hanya melepas helmnya, mengangguk.


Zirahnya yang penyok dan retak adalah bukti bahwa dia bertarung langsung melawan Ogre dan Cyclops hanya dengan tubuhnya.


Tak disangka, zirah khusus buatannya bisa rusak secepat ini.


“Sitri kau terlalu banyak baca buku. Pengalaman nyatanya kurang. Lagipula, kalau mereka muncul di tempat level 1, artinya ya mereka juga level 1. Tapi ya, untuk ukuran level terendah, ini agak… keras. Untungnya, Krai-chan selamat tanpa luka.”


Liz menoleh padaku, lalu Luke tertawa setuju. Aku memang merasa bersalah jadi satu-satunya yang tidak terluka, tapi tampaknya mereka tak mempermasalahkannya sama sekali.


Level satu di ibu kota ternyata benar-benar tidak sebanding dengan apa pun yang pernah kami hadapi.


Ogre, Cyclops, bahkan Goblin biasa pun ada yang bisa sihir, ada yang suka pasang jebakan, bahkan ada yang pakai mahkota. Semuanya bekerja sama menyerang kami.


Jika ini level 1, bagaimana dengan level 2 atau 3? Sulit dibayangkan.


Kami memang berhasil kembali hidup-hidup kali ini, tapi aku mulai yakin: profesi Treasure Hunter hanyalah untuk orang-orang jenius seperti Luke dan lainnya.


Saat aku mulai merenung dalam, tiba-tiba seorang pria mabuk di meja sebelah menyela.


“Oi oi, Cyclops? Rookie sok tahu, mana mungkin di Goblin Cave ada Cyclops! Lagipula, kalian semua masih hidup ‘kan? Jangan ngaco!”


Pria itu menatap tajam dengan mata mabuk.


Luke dan yang lainnya saling berpandangan, lalu Sitri mengangkat kantong kulit besar yang tadi diletakkan di lantai dan membukanya di atas meja.


Begitu aku refleks menolehkan wajahku, bau darah menyengat langsung menyebar ke seluruh kedai.


Teriakan pun bergema di dalam kedai.


Sudah kubilang, hobi bawa kepala musuh pulang itu benar-benar buruk. Jangan lakukan lagi, ya.


◇◇◇


Pada akhirnya, terungkap bahwa Cyclops yang kami temui bukanlah phantom yang berasal dari Treasure Hall, melainkan Cyclops tersesat yang datang dari luar.


Insiden itu menjadi titik awal nama Strange Grief mulai dikenal di kalangan Asosiasi Penjelajah.


Namun, aku yang trauma dengan mengerikannya Treasure Hall, memutuskan—meskipun ditentang Luke dan yang lain—untuk memilih misi pengawalan sebagai tugas berikutnya.


Sayangnya, di sana pun nasibku tak jauh lebih baik… 


Tapi, itu adalah cerita lain.





























Strange Grief Ingin Bertualang ②



“Uooooooooh! Akhirnya... lambang kita... sudah jadi!”


Raungan Luke menggema di dalam ruangan.


Sudah tiga bulan sejak kami memulai kehidupan sebagai Treasure Hunter di ibu kota kekaisaran. Hari-hari yang jauh lebih berat daripada yang kami perkirakan saat pelatihan membuat kami semua babak belur. Luke membalut erat tangan dan kakinya dengan perban, dan baik Liz maupun Sitri juga penuh luka—hampir tak ada satu pun yang tidak terluka.


Anehnya, kami semua masih selamat dan lengkap anggota tubuh. Aku satu-satunya yang tidak terluka sama sekali. Fakta bahwa belum ada yang tewas sampai saat ini adalah berkat kemajuan pesat kemampuan penyembuhan Sitri dengan ramuan dan sihir pemulihan Ansem.


Kami, Strange Grief, dalam tiga bulan terakhir telah mengalahkan lima bos phantom, bertarung melawan tiga monster unik, serta menghancurkan satu kelompok bandit. Tingkat pengakuan kami pun meningkat: aku mencapai level 4, sementara anggota lainnya mencapai level 3.


Tiga bulan penuh kami habiskan hanya dengan memikirkan perburuan. Semua orang kelelahan, tapi hari ini, ekspresi mereka cerah.


Ya, hari ini adalah—hari di mana lambang resmi party yang kami pesan selesai dibuat.


Sebuah lambang sangat penting bagi sebuah party. Biasanya, anggota party akan membawa atau mengenakan sesuatu yang merepresentasikan lambang itu. Itu membantu mempererat kebersamaan antar anggota. Tidak semua orang harus menunjukkannya secara mencolok, tapi contohnya adalah party terkenal Obsidian Cross, yang semuanya mengenakan perlengkapan hitam dan membawa salib berwarna hitam keemasan sebagai simbol.


Lambang party kami, Strange Grief, adalah tengkorak yang tersenyum. Itu adalah ideku saat pertama kali kami mendaftar sebagai party, dan sayangnya semua orang menyetujuinya. Pada titik ini, rasanya sudah pasrah saja. Aku memilih topeng sebagai item lambang, merancang sendiri desainnya, dan memesannya dari pandai besi terbaik di ibu kota kekaisaran.


Dan sekarang, topeng yang telah dipesan itu, telah tiba di tangan kami.


Semua mata tertuju pada kotak kayu mewah yang diletakkan di atas meja. Bahkan Lucia, yang biasanya tenang, terlihat tegang.


Aku menarik napas dalam-dalam, lalu dengan gerakan berlebihan, membuka tutup kotak itu.


“Uu... uoooooooooooh!”


“Seperti yang diharapkan dari pandai besi kelas atas, hasil buatannya sangat mengagumkan!”


“Hmm, tidak buruk. Memang hebat, Krai-chan.”


“…Humu.”


Luke mengaum, Sitri menyatukan kedua tangan, Liz matanya berbinar, dan Ansem—yang belakangan ini makin tinggi badannya—mengangguk dalam. Lucia memang tetap diam, tapi matanya bersinar.


Dan saat itulah aku menyadarinya.


Sial… lubang matanya tidak ada.


Luke mengambil topengnya dan membaliknya. Ya, bagian mata tidak dibuka.


“Ini keren sekali, Krai! Waktu dengar idemu soal tengkorak, aku sempat ragu, tapi ternyata cocok juga buat lambang kita!”


“Bahan dasarnya pakai logam hitam-keras, jadi sangat kokoh.”


“...Tapi... meskipun begitu, pakai logam semahal itu untuk lambang, yang bahkan lebih mahal dari perlengkapan tempur kita... Nii-san, kau benar-benar memikirkannya matang-matang, kan?”


“A-a-aku memikirkan soal fungsionalitas juga! Kalau dipakai, bisa sekaligus melindungi wajah, kan?”


“………”


Lucia membuka matanya lebar, tetap diam. Sitri menatapku dengan ekspresi seolah ingin mengatakan sesuatu.


Ya, aku tahu… tidak ada lubang matanya.


Liz mencoba mengenakan topeng itu. Meski tak ada pengait seperti topeng pada umumnya, bagian dalamnya sudah diberi mekanisme agar tetap menempel tanpa jatuh. Pembuatan sistem itu juga sangat mahal.


Lalu Liz berputar di tempat, menabrak kursi dan jatuh berguling. Dalam hatiku aku sempat berharap pandai besinya mungkin membuat semacam celah agar bisa melihat ke depan… tapi ternyata tidak.


Keheningan aneh menyelimuti ruangan. Saat ini, mungkin hati kami benar-benar menyatu.


Lubang matanya… tidak ada!


Kesalahanku yang fatal karena terlalu mengejar sisi desain. Aku menghabiskan banyak uang hanya untuk menciptakan sampah. Karena logamnya sangat kuat, membuka lubang mata sekarang hanya akan merusak desain. Padahal aku sudah membujuk Sitri sebagai bendahara agar memakai hampir seluruh dana party untuk proyek ini.


Tiga bulan sejak jadi hunter, party kami sudah cukup menderita karena keputusanku, dan sekarang ini... sungguh keterlaluan.


Saat aku bersiap membuka mulut untuk meminta maaf, Sitri buru-buru berkata,


“W-waah! Hebat! Ini pasti bisa mencegah serangan silau atau pengelabuan mata!”


Sitri memakai topengnya, berjalan beberapa langkah dengan hati-hati, lalu menabrak kursi.


...Kebaikan itu, sungguh menyakitkan hatiku.


“…Benar juga, pertahanan wajah jadi maksimal… entah kenapa, kita masih bisa bernapas juga.”


Luke mengenakan topeng dan berkata heran.


Kenapa ya, bisa bernapas tapi tidak bisa melihat?


Ah, ya, itu karena aku memang meminta agar bisa bernapas. Aku tahu... aku tahu...


“Bagus juga untuk latihan deteksi aura. Kalau bisa bergerak seperti biasa dengan ini, bakal hebat sekali, kan?”


“Aku tidak masalah sih… tapi memang, bisa menyembunyikan bibir seperti ini bagus juga. Lawan jadi sulit membaca mantraku.”


“Humu.”


Semua orang mulai memberikan dukungan dengan terburu-buru, berusaha menaikkan semangat.


Sakit. Kebaikan kalian itu menyakitkan. Tak apa… kalian tak perlu menutupi. Hujat saja aku sepuasnya. Katakan saja dengan jelas, “Lubang matanya lupa dibuat!”


Aku menghela napas panjang, lalu tersenyum setengah dan berkata,


“Wajah kita bisa tertutup sepenuhnya, dan kelihatannya cukup mengintimidasi juga. Tidak ada party lain yang punya lambang sekeren ini, kan?”


◇◇◇


Setelah itu, kami pun terus beraktivitas tanpa mengganti lambang party—tetap menggunakan topeng tengkorak tersenyum yang buta itu. Awalnya kupikir semua hanya bercanda, namun ternyata, selain aku, seluruh anggota benar-benar mengenakan topeng itu saat berburu. Lama-kelamaan, mereka pun bisa bergerak tanpa masalah meski dalam kondisi tidak bisa melihat.


Sebagai catatan, topeng mencolok itu tidak hanya membawa kebiasaan bertarung dalam keadaan buta, tetapi juga menyebabkan berbagai masalah: kami pernah dikira sebagai kelompok kriminal (Red Party) dan dikejar-kejar oleh para hunter keadilan, bahkan sempat mendapat tawaran untuk bergabung dari kelompok bandit. 


Tapi, itu adalah cerita lain.









Strange Grief Ingin Bertualang ③



Pekerjaan sebagai Treasure Hunter benar-benar pekerjaan yang penuh risiko tinggi dan imbalan besar. Sejak datang ke Ibu Kota Kekaisaran setengah tahun lalu, aku benar-benar merasakan itu.


Di lobi Asosiasi Penjelajah, Luke mengepalkan tangan dan berteriak lantang tanpa peduli tatapan orang-orang.


“Yoshaa! Dengan ini, semuanya sudah mencapai level 4 ke atas!”


Teriakan itu langsung mengundang keributan dari para hunter di sekitarnya. Aku bisa merasakan banyak mata tertuju pada kami.


Sejak kami tiba di ibu kota, kami, Strange Grief, sudah berkali-kali nyaris mati. Terlalu sering hingga aku berhenti menghitung jumlahnya. Luka-luka di tubuh Luke dan Ansem tak pernah benar-benar hilang (walau Ansem bisa menyembuhkannya dengan sihir pemulihan, menyembuhkan luka secara total tetap sulit), dan meski kami melihatnya setiap hari, tampaknya wajah mereka sudah mulai berubah menyerupai wajah para veteran.


Sebagai ganti dari semua pengorbanan itu, kami mendapatkan—pengakuan level 4. Level pengakuan untuk seorang hunter biasanya mudah naik sampai level 3, tapi akan menjadi sangat sulit untuk naik lebih jauh. Level 3 sendiri menandakan seseorang sudah memiliki kemampuan dasar untuk menjadi Treasure Hunter.


Oleh karena itu, meski ada hunter bertalenta yang bisa mencapai level 3 hanya dalam tiga bulan, naik ke level 4 dalam tiga bulan berikutnya sangatlah sulit—apalagi bagi kami yang nyaris tidak punya koneksi atau dukungan. Antara level 3 dan 4 ada tembok tak kasat mata bernama bakat luar biasa. Luke dan yang lainnya kini tengah melangkah menuju dunia para pahlawan.


Belakangan ini, pendapatan dari satu kali perburuan sudah mencapai jumlah yang sangat besar. Setelah dibagi rata, jumlahnya setara dengan rata-rata penghasilan tahunan masyarakat umum. Cara pandang kami terhadap uang pun mulai berubah. Tidak seperti Luke dan yang lain yang setiap hari berkutat dengan latihan, aku memiliki lebih banyak waktu luang, jadi dampaknya terasa lebih besar bagiku.


Saat kulihat ke belakang, anggota party selain aku masih tampak bersemangat. Padahal kelelahan mereka pasti lebih parah karena latihan dan perburuan, tapi mata mereka tetap bersinar penuh kehidupan. Aku sendiri sudah lama mengubur mimpi untuk bisa menyamai mereka, tapi kini rasanya seperti melihat nyala terakhir dari lilin yang akan padam—dan itu sedikit menakutkan.


Luke dan yang lainnya benar-benar luar biasa dalam segala hal. Mereka memang terlahir untuk menjadi hunter. Pada awalnya, para hunter di ibu kota yang suka cari gara-gara sempat mengganggu kami, tapi Luke dan Liz selalu melawan balik, sehingga sekarang mereka tak berani macam-macam. Bisa dibilang, itu juga bentuk pengakuan.


Bahkan di ibu kota yang dipenuhi para hunter yang andal, nama Strange Grief mulai dikenal. Salah satu staf Asosiasi Penjelajah pernah bilang kalau di antara party baru yang datang dari luar, kami termasuk yang paling menonjol.


Meski sekarang belum bisa disebut party terkenal, mungkin suatu hari nanti kami bisa jadi salah satu yang dikenal luas di ibu kota ini. Dan setiap kali aku memikirkannya, aku selalu menyesali satu hal—kenapa dulu aku memilih nama aneh seperti Strange Grief.


“Hei, Luke. Kudengar kalian semua sudah melewati level 4, ya? Kebetulan sekali, ada pekerjaan yang pas untuk kalian.”


Saat itu, Gark-san, kepala cabang Asosiasi Penjelajah yang berwajah menyeramkan, menyapa kami. Di belakangnya berdiri para anggota party tingkat atas yang rata-rata levelnya jauh di atas kami.


Tubuh mereka terlatih sempurna, senjata mereka mengilap, dan aura mereka memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. Suasananya terasa berat. Meski kami sudah menyelesaikan cukup banyak misi, di ibu kota kami masih tergolong menengah. Dan jika mantan iblis perang (Senki) sepertinya yang mengajak bicara, pasti ini pekerjaan besar.


Luke menatap para senior yang lebih berpengalaman dengan mata menyipit, menilai mereka. Liz menyeringai ganas. Sitri membelalakkan mata. Kami tak punya waktu untuk berpikir. Aku menatap mereka semua dengan ekspresi bersalah, lalu berkata tegas,


“Maaf. Saat ini kami sedang ada urusan yang tak bisa ditinggalkan. Tolong hubungi kami lain kali.”


Gark-san dan rombongannya pergi dengan ekspresi kecewa tapi tidak memaksa.


Begitu bayangan mereka menghilang, Lucia bersuara,


“Apa tidak apa-apa, Nii-san? Kudengar jarang-jarang Kepala Cabang Asosiasi langsung datang memberi tawaran, lho.”


“…Tak apa.”


Itu tadi nyaris saja. Kalau ini diriku yang dulu, aku pasti sudah terbawa arus dan mendengarkan penjelasan mereka. Mungkin ini pertanda aku juga sudah berkembang.


Aku tahu, jika Asosiasi langsung menawarkan pekerjaan, itu berarti kami dianggap punya potensi besar. Tapi pekerjaan semacam itu juga biasanya berisiko tinggi. Padahal mengambil pekerjaan berisiko rendah saja sudah membuat kami nyaris tewas. Rasanya masih terlalu dini untuk menerima misi besar.


“Yah, tidak apa-apa sih. Kan yang jadi pemimpin memang Krai-chan.”


Liz merengut kesal tanpa menyembunyikannya. Aku hanya bisa tersenyum masam dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.


Awalnya aku jadi pemimpin karena dipaksa, tapi meski sekarang perbedaan kemampuan kami sudah jelas, mereka tetap memperlakukan aku sebagai pemimpin sejati, bukan cuma boneka.


“Jadi, Krai. Pekerjaan penting yang tidak bisa ditinggal itu apa? Pastinya hal yang besar, kan?”


Luke bertanya serius. Sepertinya dia sama sekali tidak terpikir bahwa aku mungkin cuma mengarang alasan untuk menolak tawaran tadi.


Selain eksplorasi Treasure Hall, Luke paling suka misi pembasmian monster. Dia sangat suka bertarung menggunakan pedang.


Tapi akhir-akhir ini mereka bekerja terlalu keras. Memang, Luke dan yang lain punya stamina luar biasa, tapi tetap saja mereka manusia. Sesekali, kami perlu mengambil pekerjaan yang berbeda—ya, pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus keluar kota.


Saat aku hendak mengatakan itu pada Sitri, tiba-tiba sebuah suara menyapa dari belakang.


“Kalian Strange Grief, kan? Ada pekerjaan yang ingin sekali aku minta pada kalian.”


Yang berbicara adalah pria berjubah hitam mencurigakan. Sorot matanya setajam para hunter, jelas bukan orang biasa.


Didatangi langsung oleh pemberi misi adalah hal yang jarang terjadi—tanda bahwa nama kami mulai dikenal.


“…Kami sedang mencari pekerjaan yang bisa dilakukan di dalam kota.”

“Kalau begitu, pas sekali. Yang aku butuhkan adalah misi ‘pengawalan’ di dalam kota. Bayarannya lumayan, dan kalau perlu bisa kutambahkan bonus.”


…Agak mencurigakan, tapi sekali-kali menerima pekerjaan seperti ini tak ada salahnya. Toh ini hanya misi pengawalan dan dilakukan di dalam kota, kemungkinan besar tak akan ada pertarungan. Setelah mempertimbangkan semuanya, aku tersenyum tenang layaknya pemimpin party ternama dan mengangguk pelan.


◇◇◇


Pada akhirnya, kami baru menyadari bahwa target pengawalan dalam misi itu adalah bos dari organisasi kriminal yang terkenal kejam di ibu kota setelah kami berhadapan langsung dengan Gark-san dan rekan-rekannya yang datang untuk memberantas kelompok tersebut.


Dari sana sempat terjadi sedikit kekacauan, dan insiden itulah yang kemudian membuat kami dikenal sebagai para Bounty Hunter──


Tapi, itu adalah cerita lain.















Strange Grief Ingin Bertualang ④



“Entah kenapa, bosan sekali...”


Di dalam penginapan. Liz dan yang lainnya tidak ada. Aku sendirian, berguling-guling sambil menguap.


Beberapa waktu terakhir, kami terus menjelajahi Treasure Hall, jadi untuk sementara kami libur dari perburuan.


Strange Grief terdiri dari orang-orang yang semuanya teman masa kecil. Sejak kecil kami selalu bermain bersama, dan setelah menjadi Treasure Hunter serta membentuk party, kami tetap rukun tanpa satu pun yang keluar.


Kami sudah melewati banyak waktu bersama, namun dua tahun lebih sejak menjadi Treasure Hunter, hubungan kami mulai berubah.


Pemicunya adalah… jeritan putus asaku.


Kesulitan yang terus meningkat tanpa henti di Treasure Hall dan musuh-musuh yang makin kuat membuatku tak tahan lagi menjadi Treasure Hunter. Saat aku mengutarakan niat untuk pensiun, Luke menatapku dengan ekspresi serius dan berkata:


“Ini tidak bisa dibiarkan… haha... Kalau kita sampai tertahan di sini, mimpi jadi hunter terkuat cuma tinggal angan-angan. Terima kasih ya, kau sudah menyadarkanku. Aku mau balik latihan dari dasar, jadi aku bakal pergi berguru ke orang yang dijuluki Sword Saint atau semacamnya…”


…Itu salah paham total.


Aku bukan ingin berhenti karena kecewa pada mereka yang dianggap lemah, tapi karena akulah yang merasa lemah dan ingin mundur.


Tapi, begitu Luke dan yang lainnya sudah memutuskan sesuatu, mereka tidak akan mundur.


Sejak itu, tak hanya Luke, anggota lainnya pun mulai berlatih di luar selama libur. Sementara aku, yang sama sekali tidak berniat atau butuh latihan, terpaksa mengurung diri di penginapan.


Ini salahku sendiri, tapi rasanya tetap menyedihkan.


Nama Strange Grief sudah cukup dikenal di ibu kota, jadi meski aku punya waktu luang, aku tidak bisa keluar dengan santai tanpa pengawalan.


Kalau begitu, pilihanku hanya tidur atau pesan layanan kamar. Tapi itu pun ada batasnya.


Lagipula, bermalas-malasan saat semua orang sedang berlatih membuatku dilanda rasa bersalah—bahkan aku pun bisa merasa begitu.


Baru-baru ini, aku lulus ujian resmi dan resmi naik ke level 6. Tapi kekuatanku hampir tidak berubah sejak pertama kali tiba di ibu kota.


Meskipun perlengkapanku diperbarui, untukku yang bahkan tidak bisa mengangkat barang berat, peningkatan itu sangat minim. Jurang antara aku dan Luke terus melebar.


Meski kami sahabat, aku tetap tidak paham kenapa mereka ingin terus bertualang bersamaku.


Urusan memimpin party pun sekarang sudah dipegang oleh Sitri.


Kalau aku bisa melakukan sesuatu, tentu aku ingin membantu mereka. Tapi kenyataannya, aku tidak bisa berbuat apa-apa.


Malah, kehadiranku mungkin justru jadi beban.


Sambil melamun, aku bergumam tentang rencana yang sudah lama kupikirkan:


“...Mungkin aku memang harus buat Klan.”


Hunter level 5 ke atas punya hak untuk membentuk Klan—sebuah organisasi yang terdiri dari beberapa party. Biasanya, hunter yang pensiun mendirikan Klan untuk membimbing generasi baru, tapi meskipun aku masih muda, hak itu tetap kumiliki.


Mengelola Klan membutuhkan usaha.


Tapi kalau begitu, aku akan punya alasan legal untuk tidak ikut perburuan.


Meski begitu, aku sendiri ragu bisa mengelola Klan dengan baik atau tidak. Tapi dibanding mempertaruhkan nyawa dalam ekspedisi, mengurus Klan mungkin lebih mudah?


Kupikirkan sejenak, tapi tentu saja tidak ada jawabannya.


Toh, Klan tidak bisa didirikan hanya dengan rebahan di penginapan.


Luke dan yang lain pasti harus menemaniku juga. Aku harus mencari cara untuk membujuk mereka.


Aku menghela napas pelan, lalu duduk dan membuka sebuah buku catatan di atas meja.


Satu buku harganya 10 ribu gil. Catatan kulit mewah yang tebal.


Meski merepotkan, desain mewahnya punya daya tarik tersendiri. Bagi aku yang pelupa, ini barang wajib.


Aku payah dalam banyak hal, tapi sebenarnya ada satu hal yang bisa kubanggakan:


tulisanku indah.


Yah, tidak sampai luar biasa, tapi kurasa aku tidak kalah dari Sitri.


Dulu aku sering menulis sihir orisinal di buku catatan dan memaksa Lucia membacanya.


Lalu aku terbelalak.


Tunggu... jangan-jangan, aku tidak perlu repot-repot bikin Klan?


Kalau pilihannya adalah antara mengelola Klan atau mempertaruhkan nyawa, tentu aku pilih Klan. Tapi bukan berarti aku ingin banget punya Klan juga. Aku tidak punya prinsip khusus.


Kalau bisa pensiun tanpa buat Klan, lebih baik begitu.


Luke dan yang lainnya menyalahkan diri sendiri saat aku bilang ingin pensiun.


Kalau begitu... kenapa tidak kubuat itu jadi nyata saja?


Mereka memang agak kurang waras, tapi soal kekuatan, mereka sangat serius.


Aku bisa manfaatkan itu.


Sudah lama aku tidak menyeringai seperti ini.


“Sepertinya, akhirnya saatnya keterampilanku dalam membuat buku sihir berguna juga.”


Buat buku seni pedang orisinal, dan berikan pada Luke.


Lalu ngotot bilang aku tak bisa ikut kalau belum menguasai teknik itu.


Entah akan berhasil atau tidak, tapi toh ini bisa membunuh waktu. Dua manfaat sekaligus.


Lagipula aku memang suka menciptakan sihir orisinal. Justru karena tak bisa kugunakan sendiri, khayalanku semakin liar.


Aku belum pernah menciptakan teknik pedang, tapi aku sudah banyak membaca kisah heroik dan manga, dan seharusnya prinsipnya tidak jauh beda dengan buku sihir.


“Tunggu... latihan... kalau bicara latihan, pasti ada air terjun!!”


Yang perlu kupikirkan bukan hanya teknik pedangnya.


Yang penting adalah melatih tubuh dan jiwa.


Luke dan yang lainnya memang sering latihan seolah sedang bertarung sungguhan, tapi aku belum pernah melihat mereka berlatih di bawah air terjun.


Entah kenapa sekarang ide-ide tentang latihan orisinal, sihir orisinal, dan teknik pedang orisinal terus bermunculan tanpa henti seperti mata air.


Sebagian memang kupungut dari cerita fiksi, tapi tak apa.


Kalau di cerita itu bisa menebas monster legendaris, pastilah kuat.


Kalau mereka tidak bisa mempelajarinya, aku bisa jadikan alasan untuk mundur sementara.


Begitu mereka menjelajah tanpa aku, mereka pasti akan sadar seberapa besar aku hanya jadi beban.


Sedih juga sih memikirkan itu, tapi… hari ini, aku benar-benar cerdas, ya?


Dengan senyum licik di wajah, akhirnya aku pun memutuskan untuk menjalankan satu-satunya hal yang bisa kulakukan demi Luke dan yang lainnya.


◇◇◇


Setelah itu, Luke membaca buku pedang orisinal buatanku tanpa mengeluh sedikit pun,


dan—tak disangka—ia berhasil menguasai sepenuhnya teknik pedang keren yang kuciptakan.


Begitu pula Liz dan anggota lainnya, mereka membaca buku penuh imajinasi dan idealismeku tanpa satu pun komplain.


Akhirnya, semua jalan mundurku tertutup.


Dengan pasrah, aku pun mulai sibuk mengurus pendirian Klan.


Tapi, itu adalah cerita lain.









Strange Grief Ingin Bertualang ⑤



Bagi seorang Treasure Hunter, artefak adalah tujuan utama mereka menyusup ke Treasure Hall, sekaligus senjata, kartu truf, dan penentu nasib karier. Menemukan artefak yang cocok bisa sangat menentukan arah hidup seorang Treasure Hunter.


Agak tiba-tiba memang, tapi... hobiku adalah mengoleksi artefak. Yang membuatku tertarik sejak awal adalah kenyataan bahwa artefak bisa diaktifkan oleh siapa saja, asal cukup berlatih. Bagi orang sepertiku—yang tidak punya bakat sihir seperti seorang Magi, atau kemampuan tempur seperti seorang swordsman—fakta bahwa aku bisa menggunakan alat sihir hanya dengan latihan saja sudah cukup memikat.


Di Strange Grief, semua keuntungan dari hasil perburuan dibagi rata tanpa memandang kontribusi.


Tiga tahun sudah berlalu sejak aku menjadi Treasure Hunter. Anggota-anggota kami yang berbakat terus maju tanpa batas, dan aku ikut kecipratan hasilnya—uang yang tak sedikit. Hampir semua uang itu kugunakan untuk memborong artefak. Kadang aku juga mendapat bagian artefak dari hasil perburuan teman-temanku. Dalam waktu singkat, koleksiku sudah mencapai level yang cukup dihargai di kalangan kolektor artefak.


Kalau bicara soal keberuntungan, mungkin itu satu-satunya kelebihan yang kumiliki dibanding orang biasa.


Saat kami baru membentuk Klan, aku sempat sibuk mengurus ini-itu. Tapi setelah Eva, Wakil Master Klan yang sangat andal, mulai mengambil alih sebagian besar tugas, aku jadi punya banyak waktu luang.


Sementara teman-teman masa kecilku sibuk berlatih, aku mengisi waktu dengan membersihkan artefak atau bermain-main dengannya.


Hari ini pun, seperti biasa, aku sedang bersantai di ruang Master Klan yang baru jadi sambil mengelap artefak. Lalu, Liz—yang sedang rebahan bosan di sofa sambil menatapku—tiba-tiba berkata,


“Hei, Krai-chan. Apa kau punya artefak bagus yang bisa aku pakai?”


 “Eh?”


“Yaah... aku tidak terlalu tertarik sepertimu soal artefak, sih. Tapi sebagai Hunter, sepertinya bagus juga punya satu, kan?”


Ucap Liz dengan ekspresi kurang tertarik.


“Hmm... ada benarnya juga, sih.”


Artefak memang alat yang kuat. Tapi pada akhirnya, itu tetap hanya sebuah alat. Bukan inti dari seorang Treasure Hunter.


Bahkan banyak hunter hebat yang bisa bertahan tanpa artefak.


Alasan kenapa aku begitu tergila-gila dengan artefak adalah karena aku... tidak punya kemampuan apa-apa.


Liz, Luke, dan yang lain lebih fokus mengasah diri mereka sendiri. Hanya aku yang sibuk bermain artefak.


Atau justru... karena mereka tidak tertarik, akulah yang jadi tertarik?


“……Mau coba beberapa?”


“!! Mau mau!”


Liz langsung duduk tegak dengan mata berbinar. Padahal sebelumnya dia tidak tertarik sama sekali, tapi sekarang sangat antusias.


Aku sempat heran, tapi mungkin belakangan aku memang terlalu asyik sendiri hingga kurang menghabiskan waktu bersama mereka.


Sambil sedikit menyesal, aku mengajak Liz ke ruang latihan Klan.


Di jalan, kami kebetulan bertemu Luke dan yang lain. Jadinya ramai.


“Eh, curang sekali hanya Liz saja! Pilih buat aku juga, dong!”


“Akhirnya koleksi pemimpin kita yang absurd itu bisa bermanfaat juga. Semua tabungan yang selama ini disia-siakan akhirnya ada gunanya.”


Luke tertawa riang tanpa berpikir, sementara Lucia berdiri dengan tangan di pinggang, menghela napas kecil.


Tapi... ini baru permulaannya.


Koleksi artefakku sangat banyak. Dan jelas tidak semuanya berguna.


Aku mengoleksi artefak bukan karena mereka kuat, atau langka. Tapi karena aku suka. Malahan, artefak-artefak murahan dan “sampah” lebih mudah didapat, jadi lebih sering kukoleksi.


Golem milik Sitri mengangkut artefak dari kamarku dan gudang. Dari bentuk senjata dan aksesori, sampai yang tidak biasa seperti sapu atau meja makan—koleksiku sangat beragam hingga Liz sampai melongo melihatnya.


“Kau serius mengumpulkan semua ini? Apa kursi ini juga... artefak?”


“Ah...”


Liz tanpa pikir panjang duduk di kursi berwarna emas yang kebetulan ada di dekatnya.


Dan seketika itu juga, tubuhnya memantul tinggi.


Dengan mata membelalak, dia menjerit kecil dan jatuh terguling ke lantai.


“Itu kursi listrik. Kalau diduduki, bakal nyetrum.”


“!? Kenapa kau punya barang seperti itu!”


“……Soalnya murah.”


Artefak dengan efek negatif murni—disebut “Cursed”—biasanya memang sangat murah.


“Uuhh... Krai-chan, jahat... sangat terasa nyetrumnya...”


Liz menangis sambil merangkak ke arahku, masih gemetar. Sepertinya tubuhnya belum bisa bergerak dengan baik.


Tapi ya bagaimana ya...?


“Yah, bahkan hunter yang cukup tangguh bisa pingsan kena setruman kursi itu, tapi kau masih sadar... Liz hebat juga, ya.”


“…………”


Saat suasana semakin canggung, mataku tertuju pada gelang biru di dekatku.


“I-itu! Lihat, Liz. Se-sepertinya yang ini cocok buatmu?”


“! Mau! Pinjam dong!”


“Ah—”


Liz sudah terlanjur mengambil gelang itu dan memakainya di pergelangan tangan.


Dan begitu ia memakainya—dia langsung jatuh terjungkal dengan keras.


Kepalanya membentur lantai. Dia panik, mencoba bangun, tapi malah jatuh lagi. Tubuhnya berputar tak karuan, tangan dan kakinya berbunyi keras.


Akhirnya dia pasrah, tergeletak di lantai dengan tatapan kosong mengarah padaku.


 “……Itu Labyrinth Ring. Kalau dipakai, keseimbangan dan orientasi ruang jadi kacau total.”


“Krai-chaan... apa kau benci membenciku...?”


“...Tidak, aku cuma mau bilang ‘sepertinya cocok tapi terlalu bahaya buat dipakai’, tapi kau keburu pakai…”


“Sepertinya hanya ada artefak yang berbahaya semua ya.”


“……Humu.”


Sitri berkata lirih dengan nada jengah, dan Ansem mengangguk berat setuju.


“Ehh, tidak semua kok. Dua yang tadi memang berbahaya, tapi... artefak yang bisa aktif hanya dengan disentuh atau dipakai itu langka, sebetulnya—”


Saat aku berusaha menjelaskan, Luke—entah dari tadi lihat apa—mengangkat sebuah pedang merah tua yang bersandar di dekat dinding.


“Whoa! Pedang ini keren sekali! Krai, pedang apa ini!?”


“Ah...”


Sebelum aku sempat menghentikannya, Luke sudah mencabut pedang dari sarungnya.


Matanya membelalak. Pupil matanya bersinar dengan aura berbahaya.


Pedang itu merah darah dari gagang hingga bilahnya.


Kelihatannya seperti terkutuk... dan memang terkutuk.


“Fuh... FUAHAHAHAHAHA! AAAAAAAH! AKU... AKU MAU MENGHUNUS PEDANG! MAU TEBAS ORANG! ORANG! ORANG! ORANG!”


...Yup. Seperti biasa.


Luke berteriak liar dan melompat ke depan, membuat Lucia menjerit. Tapi sebelum dia sampai, Ansem sudah berdiri di hadapannya.


Sitri dan Liz—yang masih tergeletak di lantai—menatapku dengan mata sayu dan letih.


Aku buru-buru mencoba meredakan situasi.


“...Katanya pedang itu bisa membuat orang kehilangan akal sehat, tapi Luke masih bisa jaga kewarasan... Hebat juga ya, Luke.”


◇◇◇


Setelah itu, meskipun artefak-artefak berbahaya itu seharusnya bisa menorehkan trauma pada Liz dan yang lainnya... entah kenapa hal itu tidak terjadi, dan justru secara mengejutkan menjadi alat latihan bagi Luke dan kawan-kawan.


Dengan mengatasi artefak yang sejatinya dibenci dan dihindari, Liz dan yang lainnya berhasil memperoleh kekuatan yang lebih besar.


Tapi, itu adalah cerita lain.
















Strange Grief Ingin Bertualang ⑥



Aku sedang bermimpi—mimpi yang terasa seperti neraka.


Monster sungguh menakutkan. Makhluk hidup dan tumbuhan dengan tubuh yang jauh lebih kuat dari manusia menyerang dengan niat membunuh. Bahkan jika hanya monster level rendah, kekuatan mereka sangat jauh melampaui diriku yang entah kenapa tak kunjung berkembang meski sudah berpetualang sekian lama.


Phantom pun mengerikan. Mereka adalah wujud dari kenangan masa lalu yang tak memiliki naluri kehidupan. Tanpa memedulikan nyawa sendiri, terkadang mereka mengayunkan senjata kuno dengan mahir. Bagi diriku, mereka adalah sumber ketakutan.


Namun, yang paling menakutkan—adalah para penjahat manusia. Di Zebrudia, banyak penjahat adalah mantan hunter yang telah menyerap Mana Material dalam jumlah besar. Kadang mereka menyamar di antara para hunter biasa. Licik dan sangat hati-hati, mereka tak ubahnya monster berbentuk manusia.


Anak panah, peluru, meriam, dan sihir melesat di langit merah membara. Terdengar suara benturan pedang, jeritan, dan suara lembab dari sesuatu yang dihancurkan. Gunungan mayat, monster aneh, dan teman masa kecilku yang tampak seperti pahlawan. Di medan perang bak neraka itu, aku yang jelas tidak pantas berada di sana hanya bisa memegangi kepala dan lari pontang-panting.


Sudah dua tahun berlalu sejak aku memulai karier sebagai Treasure Hunter dengan cukup lancar. Strange Grief, nama party kami, dikenal sebagai party yang menjanjikan. Sebagai pemimpin party, aku berusaha sekuat tenaga berpura-pura tegar, tapi tetap saja aku ini penakut.


Aku ingin pulang. Ingin kembali ke kampung halaman dan hidup damai. Aku tidak mau bertarung lagi. Aku bahkan tak sanggup melihat darah, apalagi melihat teman-temanku terluka.


Dengan segenap upaya, aku mencoba berteriak secara dramatis. Mencoba.


Haruskah aku berlutut? Kalau aku bersujud, apakah mereka akan melepaskanku? Kalau begitu, Krai Andrey ini akan dengan senang hati bersujud!


Namun, suaraku tak keluar.


Sebagai gantinya, sesuatu yang panas menempel di pipiku—dan aku pun terbangun.


“Mm… uuh…”


Aku mendorong kaki yang menempel di pipi, mengusap mata, dan bangkit setengah duduk. Pakaian tidurku basah kuyup karena keringat. Di luar jendela masih gelap. Aku melihat sekeliling.


Ini adalah kamar penginapan yang familiar, tempat biasa bagi party hunter bermalam. Dan, yang menendang pipiku tadi adalah—kaki Luke.


Dalam gelap, samar-samar terlihat Luke mendengkur dalam posisi tidur yang sangat buruk, berputar 180 derajat dari posisi awal.


Enam ranjang besar dan kokoh, seperti lazimnya penginapan yang menampung enam orang hunter per kamar, telah digeser dan didempetkan menjadi satu. Awalnya tentu saja dipisahkan, tapi setelah Liz memulai, semua ranjang disatukan dan suasananya jadi bebas semaunya.


Kalau dilihat hunter lain, pasti mereka mengira kami anak-anak dan tertawa.


Di sebelah kananku, Lucia tidur dengan tenang sambil memeluk selimut. Di sebelahnya, Liz dan Sitri yang tadi berebut tempat di sampingku (dan kalah dari Lucia) tidur berdempetan, saling berhadapan.


Mungkin karena tidur bergerombol seperti ini, aku sampai bermimpi buruk yang begitu parah dan panas.


Tapi sebenarnya, ini juga karena Ansem yang belakangan tumbuh besar dan tak muat lagi di satu ranjang, jadi dia dipaksa ikut tidur di ranjang yang sudah disatukan. Kalau dia terus tumbuh seperti ini, bukan tak mungkin suatu hari nanti dia harus tidur di lantai.


Aku mengantuk. Kepalaku pusing. Tapi akhir-akhir ini aku memang sulit tidur.


Dulu, aku tidak akan terbangun hanya karena kepanasan atau posisi tidur Luke yang kacau.


Satu-satunya kelebihanku adalah bisa tidur nyenyak, dan sekarang semuanya rusak gara-gara para penjahat itu.


Seiring naiknya popularitas Strange Grief, frekuensi kami diserang penjahat pun meningkat. Katanya party baru memang mudah jadi target, tapi mungkin mereka menyimpan dendam karena beberapa kali kami menghajar mereka yang salah sangka dan mengira kami adalah teman seideologi dari nama party kami.


Pertarungan melawan monster dan phantom bisa dihindari kalau sudah kembali ke kota, tapi penjahat menyerang siang dan malam, di dalam maupun luar kota—ini benar-benar melelahkan.


Akhir-akhir ini kami sering berpindah tempat untuk menghindar, tapi entah dari mana, mereka selalu bisa menemukan kami hanya dalam beberapa hari. Kadang berturut-turut tiap malam. Ini murni jadi permainan kejar-kejaran.


Luke dan yang lain bisa tidur nyenyak meski begitu, tapi sebagai orang biasa, aku benar-benar tak tahan lagi. Fisik dan mentalku tak pernah diberi kesempatan istirahat.


Memalukan memang, tapi kalau terus begini, aku bisa tumbang karena kelelahan, padahal aku bahkan tidak ikut bertarung.


Tenggorokanku kering.


“Air…”


“………”


Saat aku bergumam, Lucia yang tertidur pulas membuka mata setengah, bangkit perlahan, dan mengisi gelas di samping bantalku dengan air menggunakan sihir.


Hunter yang andal bisa tetap setengah sadar saat tidur dan bereaksi terhadap berbagai insiden. Luar biasa.


Meski reaksinya seolah sadar sepenuhnya, aku tahu besok pagi dia tak akan ingat apa pun. Aku ingin bisa seperti itu.


Lucia kembali rebah ke ranjang setelah aku menerima airnya. Kakinya yang terbungkus piyama bergerak liar, menyingkirkan kaki Liz yang sedang berusaha mendekat pelan-pelan ke arahku.


Magi dilatih untuk berpikir paralel demi menggunakan sihir, dan memang, penjagaan Lucia sangat rapat. Andai saja dia mau menjaga dari sisi kiri, tempat Luke yang kadang mengigau dan mengayunkan pedang kayu saat tidur. Tapi rupanya sisi itu dibiarkan tanpa penjagaan.


Kami sering disebut sebagai rising star karena sering selamat dari situasi genting, tapi saat melihat wajah mereka yang sedang tidur seperti ini, rasanya tak jauh beda dari dua tahun lalu saat kami datang ke ibu kota.


“Nii-san, ayo tidur…”


Lucia bergumam setengah mengigau.


Suara-suara kecil terdengar dari kiri dan kanan, seolah menyahut. Sepertinya otak mereka memang setengah sadar.


“Toh… ini jurus seratus pedang baru…”


“Humu… humu…”


“Muu… Krai-chan… kunci…”


“Gu… gurita… perak…”


Mereka sedang mimpi seperti apa, sih?


…Dan, mereka main shiritori (berbalas kata) dalam tidur… Gurita perak itu apa?


Aku mendengarkan sebentar, lalu menghela napas kecil dan meletakkan gelas di sisi bantal.


Aku akan tidur lagi. Kalau sampai tumbang di siang hari, itu akan sangat memalukan. Meski begini, aku tetaplah pemimpin mereka. Harus bisa menunjukkan setidaknya sedikit sisi yang bisa diandalkan…


Aku melihat sekeliling sekali lagi, menguap besar, dan menyusup ke dalam selimut. Tapi saat hendak berbaring kembali—kaca jendela pecah dengan suara keras.


Sesuatu yang hitam dilempar dari luar. Tak sempat berteriak.


Saat aku menahan napas, benda hitam itu memancarkan cahaya—dan meledak kecil.


Tidak, itu bukan ledakan. Itu adalah kompresi. Ledakan yang seharusnya terjadi berhasil ditekan.


Cahayanya sangat terang, tapi segera padam. Tak ada bekas hangus di karpet.


Lucia yang tidur di sampingku entah sejak kapan sudah duduk, telapak tangannya terarah ke arah sumber suara. Matanya terbuka sepenuhnya.


Tak lama, Liz yang tadi tertidur pulas melompat keluar lewat jendela yang pecah. Luke menggerutu dengan kesal.


“Sial! Padahal aku sudah waspada, tapi Krai ternyata menyadari lebih dulu lagi, ya!”


“Eh!?”


Luke langsung bangkit, mengambil pedang kayu yang disandarkan, dan berlari.


Beberapa pria berbaju hitam menerobos masuk.


Sitri, yang tampaknya sudah benar-benar bangun, berteriak.


“Onii-chan, pintu! Luke-san, bantu Onee-chan yang sudah keluar duluan!”


“Humu…”


Ansem turun dari ranjang dengan gaya berguling, membuat lantai berderit.


Aku berkedip dan berteriak,


“Ada penyerbuan!”


“Baru sadar sekarang!?”


Lucia membelalak. Ya, baru sadar sekarang.


Meski aku sadar akan bahaya, kemampuan mengambil keputusanku benar-benar rusak.


Benda hitam—bom—dilemparkan lagi, tapi Lucia mengarahkannya dengan telapak tangan dan benda itu mental keluar jendela.


Terdengar suara ledakan tertahan dan jeritan seseorang. Sitri membawa ramuan dan berlari membantu Ansem.


Lucia menangkis bola api yang meluncur entah dari mana dengan ayunan tangan dan sihirnya. Dulu dia selalu merapal mantra, tapi tampaknya adikku kini sudah menguasai sihir tanpa mantra.


Aku yang tak bisa melakukan apa-apa akhirnya rebah kembali dan menarik selimut yang hangat dan lembut. Lucia menatapku dengan kaget.


“Haah!? Jangan tidur lagi!”

“Lucia… gurita perak itu apa ya?”

“!? ??? Aku tidak tahu! Dasar! Dasar! Dasar kau!”


Lucia berteriak sambil menggunakan sihir untuk memblokir serangan yang berhasil menembus pertahanan Ansem.


Biasanya para penyerang jarang menggunakan sihir, tapi kali ini berbeda. Mereka ini pasti penyihir elit (Magi).


Sambil tetap berbaring di ranjang dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, aku melontarkan pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benakku, kepada Lucia yang pertahanannya bak tembok baja.


“Kenapa sih, padahal kita sudah sering ganti markas, tapi tetap saja diserang begini?”


“!? Itu karena kita tidak menghabisi musuh dengan benar! Dan terus-menerus sembunyi seperti ini! Argh! Sudah cukup!!”


Lucia menjawab dengan nada seperti teriakan, lalu menghapus bola api berwarna biru terang yang tampak sangat berbahaya.


◇◇◇


Setelah itu, meskipun setengah ragu, aku memutuskan untuk mendengarkan pendapat Lucia dan mengubah haluan: bukannya terus melarikan diri, aku memilih untuk bersikap tenang dan menetap.


Meskipun begitu, tetap saja ada serangan yang datang tanpa didahului serangan mendadak, dan Luke serta yang lainnya malah senang menganggapnya sebagai pelatihan baru, membuat keributan seperti biasa.


Tapi, itu adalah cerita lain.







Strange Grief Ingin Bertualang ⑦



“Hmmm, repot. Ini benar-benar merepotkan…”


Di meja kerja dalam ruang Master Klan, aku meletakkan kaki di atas meja besar sambil melirik Eva, mengeluh terus-menerus.


Eva sempat menunjukkan ekspresi kesal, tapi akhirnya menarik napas panjang dan bertanya padaku.


“...Kali ini ada masalah apa lagi, Krai-san?”


“Yah… aku benar-benar pusing. Belakangan ini terus saja terjadi hal-hal di luar dugaan…”


Beberapa bulan telah berlalu sejak pendirian Klan First Step. Hari-hari yang sibuk dengan berbagai urusan pendirian dan masalah-masalah lain mulai mereda sejak aku merekrut Eva yang cakap sebagai Wakil Master Klan, dan kehidupan sehari-hari yang stabil pun kembali.


Berkat itu, aku tidak perlu lagi pergi ke Treasure Hall dengan dalih terlibat dalam pengelolaan Klan. Bisa dibilang, sebagian besar rencanaku berjalan lancar.


Namun, hanya ada satu hal yang benar-benar di luar ekspektasi.


Walaupun sudah dimasukkan ke dalam sistem sosial bernama “Klan”, kerja sama antara Luke dan Liz sama sekali tidak membaik.


“Aku sedang berpikir untuk menambahkan anggota baru ke dalam party kita, menurutmu bagaimana?”


“Eh!?”


Alasanku mendirikan Klan ada dua. Pertama, supaya aku bisa fokus mengurus Klan dan tidak perlu ikut serta dalam petualangan yang mempertaruhkan nyawa.


Yang kedua, untuk meningkatkan kemampuan kerja sama antara teman masa kecilku (terutama Luke dan Liz).


Tapi sejak awal berdirinya Klan, Liz dan yang lainnya sudah berkali-kali berselisih dengan anggota lain.


Tampaknya, meskipun dikelilingi oleh orang-orang yang berbakat setara dengan mereka, tidak ada perubahan berarti dalam sikap mereka.


Artinya, tujuan pendirian Klan ini baru tercapai setengah.


Aku menghela napas dalam-dalam, lalu berbicara pada Wakil Master Klan andalku.


“Aku pikir kalau mendirikan Klan, nantinya akan muncul kandidat yang cocok dari suatu tempat… Eva, apa kau kenal siapa pun yang bagus?”


“!? Itu…”


Eva yang selama ini menangani semua urusan pendirian Klan dengan penuh kompeten, kini tampak mengernyit bingung.


Sebenarnya aku juga sudah lama memikirkan soal anggota baru. Selain untuk meningkatkan kerja sama, dari sisi kekuatan tempur, akan lebih ideal jika ada satu orang lagi.


Karena pada dasarnya, satu party terdiri dari enam orang.


Namun, tampaknya Eva pun belum punya ide bagus. Ia mengerutkan kening dalam.


“Sebagian besar hunter berbakat yang bisa mengikuti ritme party kita sudah tergabung dalam party masing-masing.”


“...Benar juga, ya…”


Ditambah lagi, reputasi party kami sangat buruk, jadi meski kami buka perekrutan, tak ada yang mau mendaftar.


“Haruskah kita menculik seseorang dari luar…?”


“Ini… bercanda, kan?”


“Yah… tentu saja cuma bercanda.”


Apa sebenarnya yang Eva pikirkan tentang aku? Mana mungkin aku bisa menculik seorang Treasure Hunter!


“Seseorang yang bisa beradaptasi dengan anggota kita yang keras kepala, cukup kuat untuk mengikuti perburuan Strange Grief, sabar, dan saat ini belum terikat dengan party mana pun—”


“Tidak mungkin ada orang seperti itu…”


Eva menyela ketika aku mulai menyebutkan kriteria satu per satu. Yah, wajar saja.


Meski begitu, aku berniat untuk berkompromi sejauh mungkin. Pokoknya, aku butuh satu orang.


Kalau tidak, Luke dan yang lain, dengan alasan “menambah jumlah anggota”, bisa saja menyeretku ikut berpetualang lagi.


Sebenarnya, mereka sudah mulai memberi isyarat halus. Katanya, petualangan berikutnya ke gurun pasir… Aku tidak mau ikut, oke!?


Aku berpikir keras, tapi tetap tidak mendapat ide yang bagus.


Kalau Eva yang serba bisa saja tidak tahu, apalagi aku.


“...Haaah… Ya sudah, tidak bisa diapa-apakan.”


Lebih baik aku lihat dalam jangka panjang. Kalau aku menolak ajakan mereka sekuat tenaga, setidaknya aku bisa mengulur waktu.


Jika Klan ini semakin terkenal, pasti akan muncul seseorang yang memenuhi kriteria. Aku hanya bisa percaya pada itu.


“Krai-san, tolong jangan tambah masalah lagi, ya?”


“Eh? Ah, iya… aku mengerti.”


Aku menjawab asal lalu menyilangkan tangan di atas perut dan memejamkan mata.


◇◇◇


Dan akhirnya, tanpa sempat menolak, aku diculik ke gurun pasir saat sedang tidur.


“Waaaah, mataharinya luar biasa! Lihat, Krai-chan! Tidak ada apa-apa di sini!”


“Uooooooo! Jadi ini gurun kematian! Aku semangat sekali!”


Jangan semangat, dong.


Suara Liz dan Luke yang penuh energi menggema di gurun yang kosong.


Gundukan pasir halus yang terbentang sejauh mata memandang terlihat indah dan sedikit fantastis.


Tak ada seorang pun di sekitar. Menyusuri jalan yang bahkan bukan jalan, rasanya seperti mau gila.


Kali ini pun tanpa kereta kuda. Katanya, kuda tidak akan sanggup menahan kondisi gurun ini.


Bisakah kau bayangkan perasaanku, yang dibawa ke tempat seperti ini saat tidur, ke gurun yang bahkan kuda pun tak tahan?


“Humu…”


“Memang benar-benar tidak ada apa-apa di sini… hanya monster.”


Ansem yang membawa semua perlengkapan mengangguk berat. Lucia mengelap keringat di dahinya dengan wajah masam.


Aku diselimuti oleh sihir pelindung Lucia, tapi aku sudah hampir mati rasanya.


Pakaian khusus gurun yang disiapkan oleh Sitri sangat nyaman dan memudahkan langkah di atas pasir.


Tapi tulang-tulang raksasa monster yang setengah terkubur di mana-mana, ditambah pertempuran terus-menerus melawan monster gurun, sudah cukup menghantam mental dan jiwa ragaku.


Untuk apa sebenarnya, kita datang ke gurun kematian ini?


Sitri, dengan timing yang luar biasa, menambahkan informasi.


“Konon di sekitar sini ada Treasure Hall. Legenda, lho! Legenda!”


Serius!? Kita ini bakal menantang legenda? Kenapa aku tidak diberitahu sebelumnya!?


Kepalaku pusing. Kenapa aku bisa berpikir naif bahwa asal menolak ajakan mereka, semuanya akan baik-baik saja?


Sudah terlambat, tapi aku seharusnya cepat-cepat mencari anggota baru.


“Ah, Krai-chan. Hati-hati, di situ ada pasir hisap.”


“Oh, iya iya, aku tahu.”


Begitu kembali ke ibu kota kekaisaran, aku akan segera merekrut anggota baru. Sementara pun tak masalah.


Itulah sumpah yang kubuat dalam hati…


Namun, tiba-tiba kakiku mulai tenggelam.


“Eh…?”


Aku menoleh ke belakang. Liz dan yang lain berhenti sekitar satu meter di belakang, dan memandangiku dengan bengong.


Tubuhku semakin dalam terbenam.


“Krai-chan, tadi aku bilang hati-hati ada pasir hisap, kan?”


“...Iya, iya. Benar juga.”


Pasir hisap—pasir hisap!? Jadi ini toh yang namanya pasir hisap…? Ah… aku sama sekali tidak mendengarkan tadi, ya.


Aku mencoba menggerakkan kaki, tapi tak bisa.


Kalau dipikir-pikir, meski aku sudah sering mengalami kejadian buruk, ini pertama kalinya aku tertelan pasir hisap.


Liz berkedip bingung. Luke mengernyit curiga.


Sementara itu, tubuhku sudah terbenam sampai dagu.


Tunggu sebentar!? Pasir hisap tuh begini!?


Karena terlalu panik, aku malah berkata pada Luke:


“Rasanya tenggelam dalam pasir hisap ini… unik juga.”


“Eh… Serius?”


Luke membelalakkan mata. Saat aku sadar seharusnya aku minta tolong, semuanya sudah terlambat.


Tanpa perlawanan, aku ditarik ke bawah tanah oleh pasir itu.


◇◇◇


“Jadi, ini dia anggota baru kita.”


“Apa!? Tunggu sebentar, bagian mana dari ceritamu tadi yang nyambung dengan anggota baru!?”


Eva membelalakkan mata, lalu memandang wanita tinggi yang berdiri linglung di sampingku.


Kulitnya yang cokelat khas rasnya, rambutnya yang tebal dan berlimpah. Tapi yang paling mencolok adalah telinganya yang panjang.


Eliza Peck.


Mental baja yang tidak terguncang oleh apapun. Ia punya kelapangan hati untuk menerima Liz dan yang lainnya, dulunya petualang solo yang hebat, dan karena matanya selalu terlihat mengantuk, jadi kalau aku pun terlihat mengantuk, tidak terlalu mencolok. Sungguh anggota baru yang sempurna.


Meski sedang kuperkenalkan ke Eva, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sepertinya dia akan sangat cocok dengan Strange Grief. Sikap tenangnya pasti jadi unsur yang selama ini kurang dari party-ku.


“Bagian mana dari ceritanya yang nyambung ke anggota baru...? Ya tentu saja, ada Treasure Hall di bawah pasir hisap, dan dia jatuh ke sana.”


“!? Tolong jangan katakan itu seolah-olah itu hal biasa! Telinga itu, warna kulit dan rambutnya... jangan-jangan, dia seorang Desert Noble!?”


“Langka, kan?”


“Langka sih langka... ini pertama kalinya aku melihat langsung...”


Aku sendiri tidak tahu, tapi rupanya Noble yang tinggal di gurun bahkan lebih langka daripada Noble biasa. Tak kusangka, terseret ke dalam pasir hisap malah membuat jumlah anggota kami bertambah. Meski ya... nyaris mati juga sih.


Melihat Eliza yang tidak bereaksi sama sekali bahkan ketika Eva melambaikan tangan di depan wajahnya, Eva menyipitkan mata dan menatapku tajam.


“Jangan-jangan, kau benar-benar menculiknya!?”


“Eh, tentu saja tidak!? Nih, Eliza. Kau, teman? Rekan? Oke?”


Aku menggenggam tangan Eliza dan mengayunkannya ke atas-bawah sambil memohon.


Setelah beberapa saat terlihat melamun, Eliza menatapku dan mengangguk pelan.


“Lihat kan, dia temanku!”


Sudah jelas dia anggota kami! Walaupun tampak seperti ini, dia bahkan sudah tanda tangan kontrak, lho!


“...Tolong jangan buat masalah ya?”


Kepalaku menegakkan diri seolah-olah baru saja membuat pengumuman penting, sementara Eva memegangi dahinya dan berkata begitu.


◇◇◇


Begitulah, Eliza akhirnya bergabung sebagai anggota baru pertama di Strange Grief.


Namun pada akhirnya, meskipun ada tambahan anggota baru, kerja sama Liz dan yang lainnya nyaris tidak mengalami perubahan. Justru karena Eliza berasal dari ras yang langka, ia sering menjadi incaran, dan keberadaannya dalam party malah membuat kami terlibat dalam berbagai masalah.


Tapi, itu adalah cerita lain.





















Strange Grief Ingin Bertualang ⑧



“Eh, Bagaimana kalau kita mulai menghancurkan organisasi besar?”


“………Hah?”


Apa sebenarnya yang dia omongin, tiba-tiba?


Aku menatap sekeliling meja, mencari jawaban dari Liz dan yang lainnya atas pernyataan aneh Luke yang tiba-tiba menyilangkan tangan dan bicara ngawur. Tapi ternyata, cuma aku sendiri yang tidak paham situasinya.


Meja putih besar dengan peralatan makan elegan. Makanan dan minuman yang tersaji di atas meja ini jelas bukan kelas warung biasa—jauh lebih mewah—dan terus terang, aku merasa sangat tidak nyaman.


Ruangan luas ini hanya punya satu meja besar. Dari langit-langit tergantung lampu gantung mewah, menyinari makanan dalam piring besar—yang sebenarnya hanya berisi sajian kecil (nama makanannya sudah dijelaskan, tapi aku lupa). Tidak ada jendela di ruangan ini, dan selain suara alat makan serta obrolan kami, tidak ada suara sama sekali dari segala penjuru.


Wajar saja. Ini adalah—ruang bawah tanah.


Kita sedang berada di ibu kota kekaisaran, Zebrudia. Tepatnya, di sebuah restoran mewah paling aman yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.


Konon, para bangsawan dan pedagang besar sering menggunakan tempat ini untuk pertemuan rahasia. Restoran eksklusif ini hanya menerima anggota dan wajib reservasi jauh hari, dengan biaya pemesanan yang bisa bikin pingsan.


Dan di tempat bergengsi penuh cerita ini, kami sedang merayakan ulang tahun ke-18 Luke.


Sambil menusuk sepotong daging besar dengan garpunya, Luke mengunyah sekali lahap dan berkata,


“Akhir-akhir ini, yang kita tebas cuma phantom, kan? Aku ingin sekali ngebantai orang lagi.”


“Aaah, aku mengerti sih. Soalnya akhir-akhir ini, tidak ada yang menyerang kita duluan yaa,” kata Liz.


Tunggu, tunggu dulu. Memang sih, sekarang jarang ada yang menyerang kita. Tapi itu kan hal yang bagus!


Kenapa malah jadi keluhan!?


Sambil menyesap wine dengan gerakan elegan, Sitri berkomentar,


“Yah, kita juga lumayan sering membalas serangan. Lagipula, orang berbeda dari phantom—mereka tidak muncul begitu saja.”


“…Mungkin karena nama Pemimpin sudah makin dikenal juga.”


“Humu…”


Lucia melirikku sambil bicara, dan Ansem mengangguk dalam-dalam seperti biasa.


Sejak jadi Treasure Hunter di ibu kota, waktu berlalu begitu cepat. Aku yang awalnya dipaksa jadi pemimpin oleh logika ngawur Luke, mengalami berbagai hal—kesal, apes, pura-pura jadi sok tangguh, sampai terbawa arus—tapi bagaimanapun juga, sejauh ini perjalanan kami sebagai Treasure Hunter dari Strange Grief bisa dibilang… sangat lancar.


Sebagai orang yang dari awal ingin pensiun, tentu aku punya banyak hal untuk dikatakan. Tapi meskipun bisa kembali ke masa lalu, aku rasa aku tak akan bisa mengulangi semuanya lagi.


Aku meletakkan alat makan dan menatap Luke—bintang utama pesta ulang tahun malam ini—sambil mengacungkan satu jari.


“Kita sudah menjelajah hampir semua Treasure Hall di sekitar ibu kota. Kita sudah tangkap banyak buronan ternama, dan bertemu teman-teman yang hebat. Level pengakuan kita sebagai Hunter meningkat jauh lebih cepat dari rata-rata. Kita berkali-kali hampir mati, tapi belum ada satu pun dari kita yang tewas.”


“Yup, benar.”


“Di ibu kota, masing-masing dari kita diakui sebagai Hunter berbakat. Kita juga sudah dapat gelar. Bahkan aku punya murid yang imut. Kita juga baru saja buat Klan, dan itu berkembang pesat. Sekali berburu saja, penghasilannya sudah cukup buat hidup santai seumur hidup. Dan—baru-baru ini, kita kedatangan anggota baru yang ditunggu-tunggu!”


Ya, anggota baru itu adalah Eliza Peck. Dia pasti jadi kekuatan besar untuk Luke dan yang lainnya.


Memang agak aneh, tapi dia bukan Noble yang jahat. Sejauh ini, dia juga tidak ribut dengan anggota lain. Aku bisa bilang, merekrut Eliza adalah salah satu keputusan terbaik dalam hidupku sebagai Hunter. (Satu lagi tentu saja Eva.)


“Sayang sekali Eliza-chan tidak ikut. Dia selalu hilang di waktu-waktu penting, ya.”


“Walaupun sudah janji, dia tetap saja lupa. Itulah Eliza-san.”


Tidak apa-apa, nanti aku bawain oleh-oleh buat dia.


Tapi sekarang bukan itu topiknya. Aku membanting tangan ke meja dan berkata pada Luke,


“Jadi? Luke, masih kurang apa lagi menurutmu?”


“Yah, aku ingin menghancurkan organisasi besar. Kalau isinya swordsman hebat, itu semakin mantap!”


Gawat. Sepertinya ini bukan salah dengar, dan tekanan dariku juga tidak mempan. Padahal tadi aku sudah coba ngomong dengan gaya hard-boiled…


“Memang, aku senang kalian buatin pesta. Tapi tempat ini terlalu sepi, dan daging di piring sangat kecil! Ini makanan apaan sih!?”


Sitri, yang membantu menyiapkan tempat ini atas permintaanku, cuma bisa tertawa masam atas komentar blak-blakan Luke.


Yah, aku juga merasa tempat ini terlalu mewah. Begitu masuk, aku langsung sadar ini tempat yang salah. Beda sekali dengan kedai tempat biasa kami nongkrong, yang porsi makanannya besar.


Tapi tetap saja—aku memilih tempat ini meski harus keluar uang banyak demi keamanan! Di kedai biasa, kita bisa kena ribut atau celaka. Makanya, aku pilih tempat ini!


Restoran ini melarang keras kekerasan. Mereka punya banyak pengawal tangguh, dan karena tempatnya di bawah tanah, bahkan kalau kota di atas hancur pun, mereka tetap aman. Kedap suara juga sempurna, jadi pembicaraan tidak bocor keluar. Tempat ini benar-benar ideal untuk makan dengan tenang.


Menurut Sitri, bahkan para petinggi organisasi kriminal sering pakai tempat ini untuk pertemuan rahasia. Artinya, keamanannya sangat dipercaya.


Lagipula, menghancurkan organisasi besar bukan tugas utama Treasure Hunter. Selama ini kita lawan bandit juga karena mereka yang mulai… eh, walau kita juga sering cari gara-gara duluan sih.


“…Luke, bukannya kita sudah menghancurkan beberapa organisasi?”


“Sudah. Tapi aku ingin yang lebih besar! Organisasi kecil mah tidak seru! Tapi Akasha jangan, ya. Mereka lebih ke arah Magi. Aku ingin menebas organisasi yang isinya swordsman! Ada tidak ya…”


“Akasha belum bisa diganggu sekarang,” potong Sitri sambil mengernyit.


Benar. Jangan. Bahkan jika bukan Akasha pun, tetap tidak bisa. Organisasi kriminal besar itu tidak sembarangan ada di mana-mana.


Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Lalu menyentuh gelas dan membasahi bibir.


Luke Sykol itu hanya otot saja. Dia luar biasa dalam hal menebas orang, tapi di luar itu, kemampuan dia nol besar. Dia bisa menebas organisasi kriminal, tapi tidak bisa menemukan mereka.


Tenang, Krai Andrey. Kau sudah tahu dari dulu kalau omongan Luke itu suka ngelantur.


Aku mendesah, meletakkan gelas, dan berusaha menenangkannya.


“Luke, yang kau cari itu kan pertarungan berdarah, ya? Organisasi besar tidak akan mengumpulkan kekuatan mereka di satu tempat tanpa alasan, lho.”


Dengan bantuan Liz dan Sitri, mungkin kita bisa menemukan musuh. Tapi, mencari medan perang yang bisa memuaskan si gila bertarung ini sepertinya mustahil. Kalau ada, pasti sudah kita hancurkan duluan.


“Hmm… iya juga sih. Sial, kenapa ibu kota belakangan ini damai sekali!? Argh, ingin sekali ngebantai! Aku ingin menebas banyak kriminal kuat! Tangan ini sangat gatal!!”


Kenyataannya, para swordsman jahat itu sudah dia tebas semua… Mungkin Luke sendiri penyebab ibu kota jadi damai.


Oh, dan perlu dicatat—dia juga sering menebas swordsman yang tidak terlalu jahat. Makanya banyak sekali yang komplain.


Ya sudahlah, hari ini ulang tahunnya Luke. Mari kita dengarkan keluhannya.


Saat aku memperhatikan Luke yang duduk malas dan mengeluh sambil bertopang siku di meja, tiba-tiba Liz yang duduk di seberangku berdiri dengan suara keras.


Mata terbuka lebar, dia menatap ke arah pintu satu-satunya di ruangan ini—tepat di belakangku.


“Ada apa?”


Aku bertanya sambil berkedip, dan Liz menjawab dengan suara tenang,


“Barusan, salah satu petinggi ‘Ular’ lewat di balik pintu.”


Luke langsung berdiri, menoleh ke arah pintu. Tapi pintu tebal itu tertutup rapat, jadi mustahil untuk tahu siapa yang ada di luar.


Tapi kemampuan Liz sebagai thief dalam merasakan keberadaan seseorang tidak pernah meleset.


“!! Yang kau maksud, organisasi kriminal terbesar itu!? ‘Ular’!?”


“Tidak salah lagi. Aku lihat wajahnya—dia ada di daftar buronan.”


Eh… tunggu, bagaimana caranya lihat wajahnya? Pintu ini kan tidak ada kacanya?


“Eh!? Benarkah!?”


Bahkan Sitri yang punya koneksi dan menyewa tempat ini pun kelihatan terkejut.


“Tidak salah. Mereka banyak. Ada di ruangan ketiga dari sini.”


Ehh… Jadi, organisasi besar bernama “Ular” itu sedang rapat rahasia… di restoran ini!?


Sulit dipercaya, tapi Liz tidak pernah bercanda dalam situasi begini.


…Dan mereka cukup nekat ya. Sudah jadi buronan, masih berani nongol di tengah ibu kota.


Tapi untungnya, kami tidak membawa perlengkapan tempur lengkap. Hari ini cuma untuk pesta. Paling-paling kami bawa Safe Ring. Di tempat ini, perkelahian dilarang. Jadi… kita anggap hari ini mereka beruntung.


Liz menempelkan telinga ke dinding, menahan napas.


Sitri dengan gerakan anggun mengangkat rok dan mengeluarkan senjata sihir berbentuk pistol air. Luke mengambil pisau perak di atas meja, dan Ansem mengenakan helmnya setelah mengelap mulutnya.


Lucia berbicara dengan nada kesal,


“Jadi bagaimana, Pemimpin? Tempat ini melarang perkelahian, lho.”


“Jelas kita hajar mereka! Ini hadiah ulang tahun yang sempurna! Aku tidak akan ke restoran seperti ini lagi yang cuma menyajikan makanan kecil begini! Ayo, kita berangkat!!”


Luke berteriak menggantikan aku, lalu menendang pintu dan melesat keluar.


◇◇◇


Dan demikianlah, kami menghajar habis para petinggi organisasi yang sedang mengadakan pertemuan rahasia itu, dan akhirnya dilarang masuk kembali ke restoran tersebut.


Meskipun jumlah pengawal yang dibawa para petinggi itu tidak banyak, kemampuan mereka setara dengan Treasure Hunter tingkat atas, sehingga pertarungan pun menjadi pertaruhan nyawa. Namun, Luke dan yang lainnya tetap tersenyum sepanjang waktu.


Insiden ini menjadi titik awal tersebarnya reputasi buruk Strange Grief—bahwa mereka tak memilih cara dalam bertindak. Gara-gara itu, kami dimarahi habis-habisan oleh Gark-san, dan bahkan diburu oleh organisasi bawah “Ular” yang kehilangan pimpinannya... 


Tapi, itu adalah cerita lain.
















Strange Grief Ingin Bertualang ⑨



Sudah beberapa tahun sejak kami menetap di ibu kota. (Terlepas dari kemampuan pribadiku), Klan yang kami dirikan, First Step, terus berkembang pesat dan kini menjadi contoh teladan bagi para Treasure Hunter.


Meski awalnya Klan ini dibentuk karena keadaan yang memaksa, berkat bantuan banyak orang—terutama Eva—Klan ini tumbuh besar. Tak banyak yang bisa menandingi kontribusi kami terhadap Asosiasi Penjelajah di ibu kota.


Dan tepat ketika posisi kami mulai mapan di kota ini, sebuah surat undangan dari Asosiasi Penjelajah datang—penuh dengan ucapan selamat.


Asosiasi Penjelajah adalah organisasi yang sangat menjunjung tinggi hierarki. Bukan lembaga nirlaba ataupun lembaga negara, tetapi mereka memberi banyak kemudahan sesuai besarnya kontribusi yang kita berikan.


Aku pernah dengar desas-desusnya. Katanya, Asosiasi akan memberikan berbagai hadiah istimewa kepada kelompok yang paling berjasa setiap tahunnya.


Hadiah itu bisa berupa senjata legendaris, artefak langka, makanan mewah yang bahkan bangsawan pun jarang mencicipinya, tiket liburan ke tempat populer, hingga rumah megah di lokasi strategis. Tak heran, Asosiasi Penjelajah adalah salah satu institusi paling berpengaruh di era ini, jadi wajar kalau hadiahnya juga luar biasa.


Saat kami mendatangi kantor Asosiasi dengan penuh semangat, yang menyambut kami adalah tepuk tangan meriah dari seluruh staf—termasuk Gark-san—dalam standing ovation. 


Kami masuk ke ruang tamu Asosiasi, tempat yang sudah tak asing lagi. Para staf berdiri di kanan kiri, memberi tepuk tangan selamat. Aku melongo karena sambutan mereka jauh melampaui dugaan, lalu Gark-san menyunggingkan senyum penuh arti dan berkata:


“Senang kau datang. Selamat, Krai Andrey. Berdasarkan prestasi luar biasa yang telah kau torehkan, kami memutuskan untuk memberimu hak mengikuti ujian sertifikasi level 7.”


“……Hah?”


Kalau dilihat lebih dekat, meski wajahnya tersenyum, matanya sama sekali tidak ikut tertawa. Luke dan yang lain juga terlihat melongo—mereka jelas mengira kami akan menerima hadiah, bukan… ini.


Level adalah indikator kekuatan Treasure Hunter yang ditetapkan oleh Asosiasi Penjelajah. Memang hanya pengakuan dari satu lembaga, tetapi karena para hunter hebat dibutuhkan di seluruh dunia, level ini punya nilai yang berlaku global. Walau tidak selalu sebanding dengan kekuatan, karena dihitung dari kontribusi ke Asosiasi—yang biasanya berarti menyelesaikan Treasure Hall berbahaya atau memburu monster yang kuat—level, umumnya mencerminkan kekuatan sesungguhnya.


Semua hunter memeiliki tingkatan, jadi tentu saja aku—yang kemampuannya nyaris nihil—juga memilikinya. Bahkan, karena aku memimpin Klan yang menjanjikan seperti First Step, levelku cukup tinggi.


Namun, bagi orang sepertiku yang tak bisa bertarung, level itu bukan kebanggaan melainkan beban. Ada banyak perampok yang mengincar hunter tingkat tinggi, atau bangsawan yang memaksa mereka bekerja. Alih-alih hadiah, ini jelas tiket ke neraka.


“Ahaha, Gark-san, kau pasti bercanda. Aku tidak pernah mengajukan diri untuk ujian level 7, lho.”


Untuk mendapatkan level baru, perlu ada proses: bukti prestasi dan pendaftaran ujian. Aku mungkin punya prestasi, tapi mana mungkin aku yang ingin tidak naik tingkat malah mendaftar?


Aku memandangnya seolah menatap orang tua yang mulai pikun. Tapi Gark-san tetap tersenyum lebar.


“Apa maksudmu, Krai-san? Prestasimu sudah kami dengar. Sepertinya kau terlalu sibuk untuk mendaftar, jadi… dengan segala hormat, aku sudah daftarkan atas namamu.”


“……Gark-san, kau sedang senggang, ya?”


“Karena kau tak kunjung mendaftar, bodoh! Kau pikir kami bisa terus-terusan biarkan hunter sepertimu di level 6? Kami juga punya reputasi yang harus dijaga! Apalagi belum lama ini Ark Rodin naik ke level 7, dan selama ini kau malah diam sajaaaaa!”


Kenapa dia marah-marah? Bukannya Ark itu aset berharga Klan kami?


“Kami sudah rayakan besar-besaran waktu itu.”


“Nah, sekarang giliranmu yang dirayakan! Masalahnya justru di situ! Atasan curiga, jangan-jangan kau sengaja menahan pendaftaran Ark demi pilih kasih! Kau dikenal sebagai hunter yang sebanding dengan darah bangsawan Rodin, tahu!?”


Ya ampun… meski dia bilang begitu, aku tetap tak mau. Tapi kalau sudah begini, Gark-san pasti takkan menarik ucapannya.


Yah, aku akan ikut saja lalu gagal dengan sengaja. Aku bahkan tak tahu ujian macam apa itu, tapi jelas bukan untukku. Level 6 saja sudah berlebihan… apalagi level 7, yang bahkan di ibu kota ini pun hanya segelintir yang memilikinya.


Saat aku hampir menyerah dalam gaya hard-boiled, Liz yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara:


“Ya ampun, baru sekarang? Harusnya dari dulu dong! Langsung naik ke level 8 saja sekalian!”


“Akhirnya Krai juga level 7… aku semakin tertinggal. Tapi kali ini aku takkan kalah, Krai!”


“Maafkan pemimpin kami yang selalu merepotkan… aku sempat mau mendaftarkan atas namanya, tapi dilarang.”


“Selamat, Krai-san! Level 7, lho! Di ibu kota saja jumlahnya tak sampai sepuluh orang! Para bangsawan pasti langsung bereaksi!”


“Humu, humu!”


…Mereka semua jauh lebih bersemangat daripada saat mendengar soal hadiah barusan. Kenapa?


Bahkan Lucia, meski tak tersenyum, terlihat senang. Padahal sejak membentuk Klan, dia jarang ikut berburu. Tapi kenapa mereka senang, padahal aku sendiri tidak?


Kaina-san hanya bisa tersenyum masam. Melihat anggota party yang kegirangan, Gark-san buru-buru menegaskan:


“Tunggu dulu! Belum tentu tingkatnya naik! Masih ada ujiannya! Untuk level 7, bisa dibilang kau membawa nama baik Asosiasi, jadi ujiannya akan sangat berat!”


“Hah? Tidak mungkin Krai-chan kesulitan menghadapi ujian yang sudah Ark-chan selesaikan!”


Liz benar-benar meremehkan Gark-san, tapi… ada benarnya juga. Kalau bicara kekuatan total Klan, Strange Grief dan Ark Brave setara. Kalau boleh ujian secara tim, kami pasti menang.


Tapi aku akan gagal. Maaf ya semuanya, aku benar-benar tak mau naik tingkat lagi. Aku senang akhirnya tingkatku di bawah Ark, dan tak ingin disamakan lagi.


Lalu Gark-san berbicara dengan nada resmi:


“Ujian untuk level 7 memerlukan kemampuan berbeda dari sebelumnya—harus bisa mengalahkan monster berbahaya. Setelah diskusi dengan pihak Asosiasi, target ujianmu adalah… Naga Lava (Lava Dragon), yang tinggal di kawah dan setara level 7.”


Lava Dragon… namanya saja sudah menyeramkan. Hah… ini pasti gagal. Tak apa kalau kalah!


Aku tertawa kecil dalam hati, tapi lalu Liz mengerutkan alis dan berkata:


“Eh? Yang bisa menyembur lava itu? Kami baru saja mengalahkannya, lho.”


“Memang belum kami laporkan, tapi kami bisa ajukan bukti kapan saja.”


“A-apaa!?”


Gark-san melotot kaget pada perkataan Sitri—tapi aku juga sama kagetnya! Kapan mereka mengalahkannya?


“…Tapi ini ujian, jadi yang sudah dikalahkan sebelumnya tidak sah. Sebagai gantinya, mungkin… naga petir-api (Lightflame Dragon), naga tulang (Bonedead Dragon), atau monster berbahaya seperti Manticore—“


“Hee? Yang itu juga baru saja kami kalahkan. Ada yang lain tidak? Yang pakai pedang misalnya!”


“……………Kalian ini, sebenarnya berburu apa tiap hari?”


“Waktu kami ke tempat yang direkomendasikan Nii-san, kami diserang oleh gabungan Lava Dragon, Lightflame Dragon, Bonedead Dragon, Manticore, dan monster lainnya. Ya ampun, kupikir kami akan mati.”


“!? Mana mungkin ada cerita segila itu!”


Sungguh, aku setuju. Mana ada cerita segila itu? “Gabungan monster”? Apa-apaan itu?


Aku menarik napas panjang dengan gaya hard-boiled, menatap staf Asosiasi yang kini memandang kami dengan ekspresi luar biasa, lalu berkata:


“Tidak masuk akal? Lagipula, sejak kapan aku merekomendasikan tempat seperti itu?”


◇◇◇


Pada akhirnya, hampir semua monster yang diajukan setelahnya pun ternyata sudah berhasil dikalahkan, sehingga aku pun secara khusus dinaikkan ke level 7. Dan fakta ini pun kemudian menyebar dengan berbagai tambahan cerita, yang kelak akan kembali menyeretku ke dalam masalah.


Tapi, itu adalah cerita lain.




Strange Grief Ingin Bertualang ⑩



Bagi seorang Treasure Hunter, tingkatan resmi adalah simbol kepercayaan.


Level yang tinggi berarti telah menyelesaikan banyak permintaan sulit, dan para hunter tingkat tinggi secara alami memiliki berbagai koneksi. Asosiasi Penjelajah, yang mengatur para hunter dan menetapkan tingkat pengakuan ini, sangat ketat terhadap tindakan yang bisa merusak kredibilitas sistem peringkat tersebut. Maka dari itu, level ini secara umum bisa dianggap cukup dapat dipercaya.


Dengan naiknya tingkatan, pertemuan tanpa janji dengan bangsawan atau pedagang menjadi mungkin, dan bahkan orang yang baru pertama kali bertemu pun akan langsung mempercayai kita. Tapi di sisi lain, hal itu juga berarti berbagai macam orang dari berbagai latar belakang akan mendekat demi mendapatkan kepercayaan dan kekuatan itu.


Hal ini juga berlaku bagi pemimpin Strange Grief yang terkenal akan sifatnya yang intens dan dijauhi banyak pihak.


Beberapa hari telah berlalu sejak aku, yang sama sekali tidak menginginkan pengakuan ini, ditetapkan sebagai huntar level 7. Jumlah orang yang mendekat padaku meledak dengan luar biasa.


Aku, yang hanya dengan enggan terus menjadi hunter berkat bantuan teman masa kecil dan sahabat-sahabatku, kini entah bagaimana telah menjadi:


Hunter muda level 7 yang sebanding dengan Ark Rodin yang terkenal,


Pemimpin Klan dari Strange Grief yang dikenal luas,


Master Klan dari Klan muda yang sedang naik daun First Step, dan seseorang yang dijuluki Senpen Banka.


Jika hanya melihat gelarnya, aku tampak seperti orang besar. Padahal kenyataannya, aku hanya bermalas-malasan di ruang kerja Master Klan, namun tetap terlihat seperti sedang melakukan sesuatu yang hebat.


Saat aku bermalas-malasan di meja Master Klan, Eva datang membawakan setumpuk surat.


“Krai-san, hari ini pun surat ucapan selamat datang lagi. Akan aku letakkan di sini ya.”


“Sebanyak ini lagi... Semua orang memang aneh. Padahal aku cuma jadi level 7 saja.”


“Dapat pengakuan sebagai hunter level 7 di usia seperti Krai-san itu hal yang sangat langka, lho? Ark-san memang luar biasa, tapi dia sudah jadi hunter sebelum Krai-san, dan dia juga berasal dari keluarga Rodin, jadi—”


Eva mencoba menyanggah perkataanku, tapi bukan itu yang ingin kukatakan.


Yang kumaksud adalah, aku hanya terbawa arus, tak melakukan apapun, dan entah bagaimana berakhir sebagai level 7!


Aku tahu bahwa Treasure Hunter biasanya bekerja dalam tim, tapi kalau sampai tak melakukan apapun, rasanya sungguh menyedihkan.


Apalagi, aku sendiri sebenarnya tidak ingin jadi Level 7—hal itu makin memperparah rasa sesalku.


Melihat wajahku yang lesu, Eva—yang akhir-akhir ini sering menghela napas—mengernyit dan berkata:


“Bagaimanapun juga, ini adalah kesempatan yang baik. Demi masa depan Klan, mari kita manfaatkan perhatian ini untuk membangun koneksi, Master Klan! Katakan saja ingin membalas yang mana dan dengan isi seperti apa, nanti akan kutulis surat balasannya.”


“Justru aku yang ingin kau beri tahu harus membalas apa, biar aku saja yang menulis...”


“...........Maaf?”


Tatapan membekunya menusukku, jadi dengan terpaksa aku menurunkan pandangan ke surat-surat itu. Sebagian besar pastilah undangan ke rumah atau pesta. Kemungkinan besar, mereka ingin memanggilku untuk menawarkan suatu permintaan. Di negara ini, baik bangsawan maupun pedagang memang seperti itu. Awalnya aku memeriksa semua surat dengan cermat dan membalasnya satu per satu dengan serius, tapi jumlahnya terlalu banyak sekarang. Tak mungkin kuhadapi semuanya dengan sungguh-sungguh.


Lagipula, permintaan itu satu hal, tapi kenapa para pedagang sampai mengirim surat untuk meminta nasihat? Belakangan ini surat seperti itu makin banyak. Aku ini tidak punya bakat sebagai hunter, tapi bakat dagang juga tidak ada, lho?


Yah, kalau dibandingkan harus menemani Liz yang akhir-akhir ini makin gencar menantang Treasure Hall, ini mungkin masih lebih baik.


Dengan berat hati, aku bangkit dan memutuskan untuk mulai menangani surat-surat merepotkan ini, sesuai dengan permintaan Eva.


Sebenarnya, aku punya ide jitu untuk menyelesaikan tumpukan surat ini dengan cepat.


Bersama Eva, aku mulai membuka surat dan memilah permintaannya. Klasifikasinya ada dua: yang berupa permintaan nasihat dan bisa kutangani sendiri, dan yang berupa pekerjaan nyata yang harus dilakukan secara langsung. Karena jumlahnya banyak, kali ini aku tidak memeriksa isinya terlalu dalam. Toh, surat permintaan yang datang seperti ini hampir selalu merepotkan.


“...Umm... Apa tidak diperiksa dulu isinya?”


“Eh? Tidak perlu diperiksa ulang, kok...”


Kalau sampai kulihat isinya, bisa-bisa aku malah jadi berat sebelah tanpa sadar!


Dari surat-surat yang sudah dipilah, aku mengumpulkan yang termasuk pekerjaan nyata.


Kemudian, dengan santai aku mengambil salah satu surat dan meletakkannya di depan Eva.


“Yang ini buat Ark ya. Dari Ark Brave.”


“Eh?”


“Yang ini dari Obsidian Cross. Yang ini... serahkan saja ke Lyle, mungkin...”


“Eh? Eeeh?”


Eva melongo, matanya membelalak bingung.


Inilah strategi jitu terbaru dari Senpen Banka, si licik Master Klan First Step: metode acak kirim surat alias Surat Shuffle.


Sudah cukup lama aku menjadi Master Klan. Selama itu pula, meski mendapat banyak protes, aku terus mendelegasikan berbagai permintaan yang ditujukan ke Klan ataupun ke diriku kepada Ark dan yang lain. Dan belakangan ini aku menyadari satu hal:


Tunggu... apa aku tidak perlu repot-repot menyeleksi isi surat sama sekali?


Ini tindakan sembrono yang hanya bisa dilakukan karena semua anggota First Step adalah elite.


Dulu aku berusaha menyeleksi surat dan mendistribusikannya sebaik mungkin, tapi hasilnya tidak pernah bagus. Aku memang tidak punya naluri dalam hal ini. Kalau begitu, membagikannya secara acak justru mungkin bisa cocok karena faktor keberuntungan.


Melihat betapa asalnya tindakanku, pipi Eva sampai berkedut.


“...Anda serius?”


“Ya ya, ini percobaan saja kok... Untuk negosiasi, aku serahkan padamu ya?”


“...Tapi, permintaan yang Anda berikan pada Ark-san ini, menurutku jelas tidak cocok—”


“Tunggu, jangan bilang apa-apa! Aku tidak mau dengar!”


“Eeeeh...”


Lagipula, Ark itu serba bisa. Permintaan yang agak tidak cocok pun justru pas untuknya. Dia itu terlalu sempurna. Aku saja yang tak bisa apa-apa kebanjiran permintaan seperti ini, jadi dia juga harus menderita sedikit!


Sebagian besar permintaan sudah kubagikan ke para petarung tangguh. Tapi surat yang tersisa masih cukup banyak.


Bisa saja aku memberikan beberapa lagi pada Ark atau Sven—tapi kemudian aku mengangkat satu surat dan melirik ke arah Eva.


“...Yang ini buat Starlight.”


“!? Itu party para Noble, lho!? Memberikan permintaan dari bangsawan pada mereka bisa berisiko terhadap reputasi Klan... Apa yang Anda pikirkan!?”


Mau bagaimana lagi, permintaannya kebanyakan! Lagi pula, reputasi First Step akhir-akhir ini terlalu bagus. Kalau menurun sedikit, justru lebih seimbang, kan?


Aku meregangkan tubuh, lalu menarik sisa surat ke arahku.


“Yang tersisa... biar Strange Grief yang tangani.”


Jumlahnya agak banyak, tapi Luke dan yang lain justru semakin bersemangat kalau jumlah dan tingkat kesulitannya tinggi. Dengan mempertimbangkan kemampuan mereka, ini wajar saja. Kalau nanti Sven mengeluh, aku bisa bilang, “Tapi aku sudah mengandalkan yang terbaik, lho.”


Hari ini... aku cukup jenius, bukan?


Sekarang tinggal yang permintaan nasihat...


Lalu, aku bertanya pada Eva yang sedang menatapku curiga.


“Kenapa para pedagang sampai kirim surat minta nasihat padaku? Aku tidak pernah memberi saran ke siapa-siapa, kan?”


“Itu... Umm, sebenarnya... Sepertinya ada seorang pedagang yang mengikuti saran Krai-san dan akibatnya tokonya bangkrut...”


Aku sama sekali tak ingat... Tapi mungkin salah satu dari mereka yang sering meminta pendapat padaku. Soalnya aku sering menjawab sembarangan... Tapi, tunggu dulu!


“...Kenapa bisa, walau tokonya bangkrut, malah semakin banyak yang minta nasihat? Bukankah ini aneh sekali!?”


“...Karena dia menjadikan kegagalan itu sebagai motivasi dan berhasil meraih kesuksesan besar. Sekarang dia mengaku sebagai pedagang yang berhasil melewati ‘Seribu Ujian’. Sepertinya cerita itu menyebar, dan para pedagang lain berpikir, ‘Kalau begitu aku juga bisa!’...”


...Apa mereka semua masokis?


◇◇◇


Begitulah, strategi baru pun dijalankan. Permintaan-permintaan mengalir merata kepada semua anggota Klan, menciptakan neraka penuh jeritan dan kekacauan berkat penunjukan tugas yang sepenuhnya mengabaikan kemampuan masing-masing anggota—sebuah bukti kepemimpinan yang tidak cakap. 


Tampaknya, menyerahkan semuanya pada keberuntungan karena tidak mampu mengatur dengan baik pun tidak membawa hasil apa-apa. Bahkan nasihat-nasihat yang kuberikan secara langsung justru semuanya berujung buruk, membuatku kembali merasakan betapa tidak mampunya diriku.


Namun, meskipun semua penugasan itu meleset total dan tidak satu pun berhasil, semua kata-kataku justru ditafsirkan sebagai “ujian” oleh para anggota. Akibatnya, nama “Senpen Banka” yang dikenal sebagai ahli strategi jenius terus bergema, ini mengkhianati harapanku sendiri. 

Tapi, itu adalah cerita lain.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close