NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Nageki no Bourei wa Intai Shitai V1 SS Chapter 2 Part 1

 


Penerjemah: Sena

Proffreader: Sena


Catatan Latihan Tino dan Rhuda



“Kau ingin tahu isi latihanku...?”


“Ya. Kita sama-sama thief kan, ya? Kupikir bisa jadi referensi.”


Ucapan Rhuda yang terdengar setengah bercanda membuat Tino sedikit mengernyit.


Bagi seorang Treasure Hunter, latihan harian adalah garis hidup. Terutama bagi thief, yang tugas utamanya adalah mendeteksi dan menjinakkan jebakan serta pengintaian. Maka dari itu, kemampuan mereka dituntut melebihi sekadar kekuatan bertarung biasa.


Asosiasi Penjelajah juga menganjurkan agar para hunter pemula belajar di bawah bimbingan veteran untuk mengembangkan kemampuan dasar mereka.


Tino dan Rhuda adalah hunter independen. Namun, bahkan hunter solo pun hampir selalu memiliki seorang mentor. Dunia hunter tidak sebaik itu untuk bisa bertahan hanya dengan kemampuan otodidak.


“...Aku juga masih dalam masa pelatihan, jadi kupikir... akan lebih baik kalau kau belajar langsung dari mentormu.”


“Aku tidak punya mentor. Maksudku, dulu aku punya sebelum datang ke Ibu Kota Kekaisaran, tapi beliau cuma mantan hunter level 3...”


Rhuda menjawab dengan tawa canggung atas jawaban datar dari Tino.


Dari penjelajahan mereka di Sarang Serigala Putih, Tino tahu bahwa Rhuda memang memiliki keterampilan sebagai thief.


Kalau mentornya hanyalah mantan hunter level 3, berarti yang diajarkan pada Rhuda kemungkinan besar hanyalah dasar-dasar paling mendasar. Banyak hunter yang tidak memiliki bakat akan pensiun dan mengajar dasar-dasar itu sebagai pekerjaan sampingan.


Waktu pertama bertemu, Tino tak begitu tertarik padanya. Tapi kini, setelah melewati bahaya bersama, ia menganggap Rhuda sebagai rekan sejati. Memberi tahu isi latihannya pun tak terlalu masalah—namun...


“...Latihan yang kujalani... kurasa bukan tipe latihan biasa bagi seorang thief...”


Tino hendak menolak ketika tiba-tiba sebuah pencerahan turun dalam benaknya.


Rhuda, yang menunggu jawaban, membelalakkan mata melihat perubahan ekspresi Tino.


Lalu, dengan pandangan menyudut ke atas, Tino bertanya dengan suara kecil:


“......Mau coba... ikut latihan bersama... Onee-sama?”


“Eh!? ...Boleh!?”


Rhuda bersorak bahagia dan hampir melompat kegirangan, membuat Tino merasa sedikit bersalah. Diam-diam, ia mengepalkan tangan di tempat yang tak terlihat.


◇◇◇


Mentor Tino—Liz Smart—tidak mengenal kata “menahan diri”.


Latihan yang ia berikan selalu terasa seperti neraka, tak peduli berapa lama telah dijalani.


Awalnya Tino tidak sadar karena ia belum tahu seperti apa latihan “normal”. Tapi meskipun sulit dipercaya dari sifatnya, ia terlalu serius dalam melatih Tino. Mungkin karena diminta oleh sang Master juga.


Namun, latihan yang terasa berat saat dijalani sendirian akan lebih ringan jika dijalani berdua.


Lagipula, mentornya hanya satu. Kalau muridnya jadi dua, beban tiap orang otomatis jadi setengah—itu sudah jelas.


“Heeh. Ya sudah, tidak masalah sih. Kalau begitu, kita mulai dari latihan dasar ya.”


Liz berkata sambil mendengus kecil pada Rhuda yang kini tampak jinak seperti kucing rumahan, tak tahu rencana Tino sebenarnya.


“Latihan dasar...?”


“Ya. Kalau kemampuan dasar tidak ada, sehebat apa pun teknikmu akan sia-sia, kan? Meskipun kau seorang thief, bukan berarti kau boleh tidak bisa bertarung.”


Melihat isinya ternyata cukup normal, Rhuda tampak sedikit lega. Tino hanya menatap mereka berdua dengan wajah masam.


Melihat kejadian di Sarang Serigala Putih, Rhuda pasti menyangka akan diberi latihan yang gila-gilaan.


Dan... kemungkinan besar dia benar.


“Pertama-tama kita lihat kemampuan fisikmu. Kau masih level 3, jadi belum banyak menyerap Mana Material kan? Kita mulai dari yang ringan saja, lari dulu ya?”


“Ba-baik! ...Berapa putaran?”


Rhuda melihat-lihat arena latihan. Arena yang ada di bawah tanah Clan House First Step ini cukup luas. Satu putaran kira-kira 500 meter.


Sebagai hunter solo kelas menengah yang sudah menjelajahi banyak Treasure Hall, Rhuda seharusnya tidak akan menyerah hanya karena 10 atau 20 putaran.


Menjawab pertanyaan Rhuda, Liz tersenyum cerah.


“Kan mau lihat kemampuanmu. Ya sampai kau tumbang, dong? Kalau kau tidak lari serius, latihan ini jadi tidak ada artinya. Jadi lari total, sampai mati-matian. Kalau kelihatan pura-pura, kubunuh.”


“...Eh?”


“Setelah itu, latihan otot ringan, sparing ringan, dan sedikit pelajaran, ya~”


Sambil menghitung dengan jari, Liz menjelaskan agenda selanjutnya.


Wajah Rhuda semakin pucat mendengarnya.


Melihat itu, Tino hanya bisa meminta maaf dalam hati, tanpa suara.


Ternyata, meskipun lawannya orang luar, Onee-sama tetap tidak akan menahan diri.


“Ayo, cepat mulai. Aku juga tidak punya waktu luang.”


“!!”


Tak bisa berkata apa-apa lagi, Rhuda langsung berlari.


Ia benar-benar berlari sekuat tenaga tanpa memikirkan pace. Dengan kecepatan seperti itu, ia tidak akan bertahan lama.


Namun, Tino merasa terkesan—meski tidak ia tunjukkan di wajah—karena Rhuda memilih untuk langsung berlari sepenuh tenaga.


Pasti dia langsung paham bahwa ucapan sang mentor bukanlah bercanda.


Sebagai hunter solo, kepekaannya terhadap bahaya memang luar biasa.


Saat itu juga—ketika Tino memperhatikan Rhuda yang berlari seperti anak panah, terdengar suara “gachan” di kakinya.


Ia buru-buru melihat ke bawah dan mendapati pergelangan kaki kanannya telah dipasangi belenggu besi.


Rantai baja setebal jari Tino, dengan bola besi besar yang mungkin beratnya seratus kilogram.


Tino yang terpaku tak percaya, hanya bisa menatap saat kaki kirinya juga dipasangi belenggu serupa.


Di hadapannya, sang mentor tersenyum miring.


“Sekalian kita lanjutkan latihan Tino juga, ya. Saat di Sarang Serigala Putih, aku merasa kakimu masih kurang kuat.”


“Eh... A-apa... Onee... sama...?”


Dengan suara bergetar, Tino mencoba memahami.


Namun sang mentor hanya menunjuk ke arah Rhuda yang berlari mati-matian dan berkata:


“Kejar dia dan tangkap. Kau kan sekarang sudah senior. Bisa dong? Kalau tidak bisa... kubunuh.”






Wawancara Eksklusif dengan Senpen Banka - Zebrudia Days



Di segmen ini, kami mewawancarai para hunter tingkat tinggi yang aktif di garis depan di ibu kota para Treasure Hunter, Kekaisaran Zebrudia.


—Apa yang membuat Anda memutuskan menjadi seorang Treasure Hunter?


Waktu itu, aku mendengar cerita petualangan dari seorang hunter yang sedang singgah di kota tempatku tinggal. Salah satu temanku jadi terinspirasi dan bilang ingin menjadi hunter… aku sendiri tidak sepenuhnya menolak gagasan itu, jadi kami memutuskan untuk mencobanya bersama.


—Berarti Anda tidak memulainya karena tekad atau niat yang kuat, ya?


Benar. Tidak ada niat seperti itu.


—Adakah kesulitan yang Anda alami setelah menjadi Treasure Hunter?


Aku merasa tidak bisa menguasai apa pun. Aku benar-benar tidak punya bakat… Sebenarnya aku sudah agak menyadarinya bahkan sebelum menjadi hunter, tapi begitu terjun langsung, rasanya benar-benar putus asa. Aku sempat berharap mungkin aku akan menemukan sesuatu, tapi ternyata tidak juga.


—Tapi, Anda adalah salah satu hunter level 8 terbaik di Kekaisaran…


Itu hanya kebetulan.


—Kebetulan?


Iya, kebetulan saja. Haha… Karena rekan-rekanku luar biasa kuat, tahu-tahu aku sudah level 8. Tapi yah, Asosiasi Penjelajah tidak hanya menilai kekuatan saja untuk menentukan level hunter, jadi… aku sendiri tidak merasa kuat. Itu hanya angka saja.


—Hanya angka, ya.


.....


—Senpen Banka dikenal telah menyelesaikan berbagai misi berisiko tinggi, termasuk beberapa yang menyebabkan tewasnya hunter bergelar. Menurut Anda, apa yang paling penting dalam menyelesaikan misi?


Rekan-rekan yang kuat.


—Jadi, kerja sama dan kepercayaan dengan rekan tim sangat penting, begitu?


Dan juga, jangan ambil misi yang tak bisa diselesaikan. Aku biasanya memilih mundur dengan bersujud kalau bisa.


—U-uh… jadi, penting untuk mampu melihat esensi dari suatu misi, ya?


Lalu, keberuntungan, mungkin. Kalau punya tiga hal itu, siapa pun bisa bertahan sebagai seorang hunter.


—Ngomong-ngomong, kabarnya dalam insiden terakhir di Treasure Hunter, semua korban berhasil diselamatkan tanpa satupun yang terluka, benar?


Ah, aku memang yang mengambil misi itu, tapi aku tidak melakukan apa-apa. Semua diserahkan kepada rekan-rekanku yang kuat.


—Kami mendapat komentar dari anggota tim penyelamat yang lebih dulu tiba: “Aku bahkan tidak tahu apa yang dia lakukan, dia jauh lebih hebat dari rumor,” “Sekarang aku belum bisa menyamainya, tapi suatu saat pasti,” “Phantom kabur hanya dengan melihatnya. Artinya, Master itu dewa,” “Krai-chan dari dulu memang suka menahan tenaga. Kalau dia serius, kami tidak bisa berkembang.”


Itu cuma pujian berlebihan. Satu-satunya hal yang bisa aku katakan dengan yakin adalah… aku memberi cokelat batangan sebagai camilan kepada korban yang diselamatkan.


—Cokelat batangan…


.....


—Senpen Banka bukan hanya pemimpin party tingkat tinggi, tapi juga Master dari sebuah Klan besar.


Yang paling penting tetaplah rekan yang kuat dan andal. Kalau punya mereka, semuanya akan berjalan lancar.


—Apa tujuan Anda sekarang?


Aku ingin pensiun jadi hunter sebelum mati…


◇◇◇


“………Apa ini maksudnya?”


Eva menggenggam naskah itu sambil bicara dengan suara tertahan. Jarinya pucat karena terlalu kuat mencengkeramnya. Bahunya yang ramping bergetar halus.


“Oh, itu wawancara yang aku jalani tempo hari. Katanya mereka sedang wawancara hunter level tinggi di Zebrudia Days.”


Itu memang mendadak, tapi aku cukup berutang budi pada Zebrudia Days. Meski agak malu, aku coba menjawab dengan jujur.


“A-a-apa yang Anda pikirkan saat menjawab seperti ini…? Citra First Step jadi…”


“Haha… Waktu itu si wartawan juga kelihatan sangat bingung.”


Sepertinya mereka datang untuk mendengar kisah-kisah heroik. Sayangnya, aku tidak punya cerita seperti itu. Tapi aku juga tidak bisa berbohong.


Lagipula, di kekaisaran ini banyak hunter ‘asli’ yang hebat. Kalau satu-dua orang aneh sepertiku nyempil di antara mereka, tidak masalah kan?


“……Krai-san, duduk bersimpuh.”


Refleks, aku langsung duduk bersimpuh di lantai.


Pipi Eva tampak menegang, dan dia menekan kepalanya seolah sedang menahan sakit.


Aku memang tidak menyebutkannya di wawancara, tapi kemampuan mendeteksi bahaya adalah salah satu keterampilan penting bagi seorang hunter. Mungkin itu satu-satunya skill yang benar-benar aku miliki.


“………Aku akan urus ini sebelum naskahnya dipublikasikan. Tetap bersimpuh sampai saat itu!!”


“……Baik.”


Tatapan Eva tajamnya menyaingi para hunter terbaik. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk.


Ngomong-ngomong, pada akhirnya isi wawancara itu tidak pernah dipublikasikan.


Bahkan tanpa Eva menghentikannya, naskah itu sudah dibatalkan dari awal.


Sejak itu, setiap naskah wawancara harus melewati pemeriksaan Eva terlebih dahulu… 


Tapi, itu adalah cerita lain.






Senpen Banka, Bangkit Kembali



“Haruskah aku mulai melatih diri sedikit...?”


Aku menyentuh lengan atasku ringan, lalu menghela napas saat merasakan kelemahannya.


Aku yang sempat menjauh dari eksplorasi Treasure Hall karena merasa muak dengan perbedaan bakat antara diriku dan teman masa kecilku, sebenarnya sudah cukup menyadari kelemahanku sendiri. Namun, setelah cukup lama tidak terjun ke Treasure Hall—yakni saat menjelajahi Sarang Serigala Putih, aku kembali merasakan betapa menurunnya kemampuanku. Bahkan aku yang biasanya tidak punya ambisi, jadi cukup tergugah untuk merenungkannya.


Seorang Treasure Hunter hanya bisa mempertahankan kekuatannya selama masih aktif menjelajahi Treasure Hall. Itu karena Mana Material—sumber kekuatan para hunter—memiliki sifat menyedihkan: bila tidak digunakan, ia akan menghilang begitu saja.


Namun tetap saja, kalau dalam kondisi prima aku hanya bisa berlari secepat rekan junior yang sedang cedera kaki, bukankah itu keterlaluan?


Tidak, bukan hanya itu.


Anggota party sementara Tino saat itu semuanya hanya hunter kelas menengah. Tapi bahkan mereka tetap lebih aktif sebagai hunter dibanding aku.


Kalau soal tidak bisa menyamai anggota Strange Grief, aku bisa menerima. Tapi tetap saja, ini memalukan.


“Hm? Ada apa, Krai-chan? Tiba-tiba begitu...”


Liz yang sedang bersantai di sofa menoleh padaku.


“Ah, aku cuma merasa sudah lama tidak latihan...”


Selama ini aku memang menjaga agar tidak sampai gemuk, tapi aku tidak benar-benar melakukan latihan seperti hunter pada umumnya. Lagipula, Treasure Hall yang dijelajahi Strange Grief sudah berada di tingkat yang tidak bisa dihadapi hanya dengan latihan biasa.


Treasure Hall tingkat tinggi adalah medan yang tidak bisa ditembus hanya dengan bakat atau usaha keras semata—keduanya harus ada.


Liz memiringkan kepala, tampak bingung mendengar ucapanku.


“Eh? Tapi keadaanmu sekarang sudah cukup bagus kok.”


“Hmm...”


Ya, jujur saja, sekeras apa pun aku berusaha, mungkin tidak akan ada yang berubah. Tidak mungkin aku bisa menjadi sekuat Greg-sama atau si bocah Gilbert, dan aku juga takkan bisa berlari lebih cepat dari Tino atau Rhuda.


Ini hanyalah masalah ego—masalah harga diri. Melihat Tino dan yang lain berusaha keras membuatku merasa tak berguna.


Liz lalu mendekap lenganku dan bersandar manja. Dari kelembutan tubuhnya, tak mungkin ditebak bahwa ia memiliki fisik jauh lebih tangguh dariku.


“Lagipula, kalau kau jadi lebih kuat dari ini, aku dan Luke-chan bisa kehilangan muka, tahu?”


“...”


Aku bingung, apakah itu karena dia percaya diri atau cuma memihak teman sendiri... mungkin dua-duanya.


“Kalau kau punya waktu buat latihan, mending bermain denganku lebih banyak~”


Liz menggesek-gesek tubuhnya ke arahku sambil berkata manja. Menyalahkan orang lain atas kemalasanku sendiri memang menyakitkan, tapi kurasa sikap seperti itulah yang jadi salah satu penyebab utama kemunduranku.


Aku mengepalkan tangan, lalu berdiri sambil tetap membiarkan Liz menempel padaku.


“Baiklah, aku mulai latihan dari awal lagi.”


“Eh~? Tapi kau kan emang tidak cocok buat itu.”


Entah kenapa, Liz terdengar tidak antusias. Kalau seorang hunter tingkat tinggi saja bilang aku tidak cocok, kira-kira seberapa buruk kemampuan hunterku sebenarnya? Dan kenapa aku masih jadi hunter kalau memang tidak cocok?


“Tapi kalau kau memang mau, aku bikinin kurikulum latihan deh!”


Liz tersenyum cerah, lalu dengan semangat menawarkan program latihan spesial ala hunter tingkat tinggi.


“Pertama-tama… lari! Lari sekencang mungkin! Sampai kau jatuh! Ini bagus buat daya tahan dan biar kakimu makin cepat!”


“Iya iya... eh?”


“Lanjut, latihan tebasan! Ayunkan pedang terus! Sampai kau jatuh! Ini bakal menguatkan lenganmu. Kalau sudah biasa, kita tambahin beban!”


“Hmm...?”


“Setelah itu, sparring! Sampai kau jatuh juga! Ini melatih ketahanan terhadap rasa sakit dan intuisi terhadap bahaya! Sekalian otot sekujur tubuh juga dilatih! Lengkap sekali, kan? Itu baru dasar!”


Tampaknya dalam kamus Liz, kata “batas” tidak ada. Kenapa semua latihan berakhir bukan dengan jumlah tertentu, tapi sampai jatuh? Artinya, seberapa sering pun dilakukan, tetap akan menyiksa.


Dan yang lebih mengejutkan: itu semua baru dasar.


Senyum di wajah Liz sama sekali tak menunjukkan tanda lelah atau bercanda. Sepertinya dia benar-benar serius.


“Kalau latihan seberat itu, nanti badanku rusak, tahu...”


Dan sebelum tubuhku rusak, mungkin mentalku yang akan hancur duluan. Pola pikirnya benar-benar tidak masuk akal.


Mendengar kekhawatiranku, Liz menangkupkan kedua tangan sambil memiringkan kepala, tampak polos.


“Tentu saja tubuhmu bakal rusak. Tapi tenang, kita punya banyak potion buat penyembuhan! Dulu aku tidak punya uang buat itu, tapi sekarang kita aman kok!”


Itu sama sekali tidak membuatku tenang...


Aku tersenyum, menandingi senyum Liz, dan berkata:


“Sepertinya ini memang bukan jalanku.”


“Lihat, kan~?”


Sejujurnya, aku rasa tidak ada orang waras yang cocok dengan latihan neraka semacam itu...


Mengingat kembali Tino yang tetap bisa berlari cepat meski terluka, bahuku gemetar tak sadar.










Bunga Hitam Pekat



“U-um… Anda Noctus-san, bukan!?”


Ucapan yang tiba-tiba terdengar dari belakang membuat Noctus Cochlear langsung berpikir, “Gawat.”


Noctus Cochlear telah dikenai hukuman pengasingan permanen dari Zebrudia. Meskipun ia mengenakan sedikit penyamaran, jika identitasnya sampai terbongkar, hukuman selanjutnya tidak akan sesederhana pengasingan.


Pikiran kedua yang melintas di benaknya adalah “Kenapa?” Tempat Noctus berada sekarang adalah salah satu sudut ibu kota kekaisaran—sebuah kafe. Biasanya Noctus mengurung diri di ruang penelitiannya, namun hari itu ia sedang menemani seseorang untuk persiapan awal dalam sebuah bisnis baru, demi mendapatkan bahan percobaan. Jika tujuan gadis itu adalah menangkapnya, tempat ini terlalu ramai oleh warga sipil biasa. Bukan tempat cerdas untuk memulai keributan.


Dengan siaga penuh agar bisa mengaktifkan sihir kapan saja, Noctus pun berbalik.


Yang berdiri di sana adalah—seorang gadis dengan rambut merah menyala laksana api. Wajahnya menawan, tetapi mata merah gelapnya bersinar suram, menciptakan aura yang mirip dengan para Magi gila yang pernah Noctus temui.


“……Siapa kau?”


“Aku… Sophia Black. Merupakan suatu kehormatan bisa bertemu Anda, Master Magus.”


Tak ada kebohongan dalam suara maupun ekspresinya. Wajahnya tetap tenang, namun suaranya menyimpan kegembiraan yang tak dapat ia sembunyikan—perasaan yang sering Noctus hadapi saat ia masih dikenal sebagai salah satu Magi terbaik di ibu kota. Ucapan gadis itu yang tak terduga membuat mata Noctus membelalak.


“Maaf atas ketidaksopananku. Master Magus, mohon jadikan aku murid Anda!”


“Jadi kau… Sophia. Kau tahu posisi apa yang sedang kududuki saat ini, dan tetap mengatakan itu?”


Sudah cukup lama sejak Noctus diasingkan dari ibu kota. Mereka yang mengenalnya pun tak lagi menyebut namanya. Melanggar Sepuluh Dosa—kejahatan tertinggi di Kekaisaran—berarti menghapus eksistensi seseorang dari masyarakat.


Faktanya, satu-satunya pihak yang pernah mendekatinya sejak saat itu hanyalah Menara Akasha.


Namun meskipun dihadapkan dengan pertanyaan tajam dari Noctus, ekspresi gadis yang menyebut dirinya Sophia tidak berubah sedikit pun.


“Tentu saja, Master Magus. Aku tahu itu—dan tetap mencari Anda. Penelitian Anda… luar biasa. Aku mohon, ajarkan aku sebagian dari kebenaran yang telah Anda gali selama bertahun-tahun.”


Rekan Noctus yang datang bersamanya memandang Sophia dengan tatapan penuh kecurigaan.


Jika ini adalah penyamaran dari seorang mata-mata, mestinya ia akan mendekat dengan cara yang lebih halus. Tak peduli seberapa hebat kemampuannya, yang jelas gadis di depan Noctus ini tergolong orang gila.


Saat ini, Noctus sudah memiliki banyak murid yang cakap. Tapi menambah satu lagi bukanlah kerugian.


“…Baiklah. Tapi aku tak menerima murid secara cuma-cuma. Akan ada ujian. Aku akan menghubungimu nanti.”


“Ya! Terima kasih banyak! Aku pasti akan lolos ujiannya!”


Setelah menundukkan kepala dalam-dalam dan meninggalkan kontaknya, gadis yang menyebut dirinya Sophia Black pun menghilang di tengah keramaian. Rekan Noctus, yang selama ini diam dan membiarkannya membuat keputusan, akhirnya bertanya hati-hati.


“Apakah dia bisa dipercaya?”


“Itu akan kutentukan nanti. Tapi… yang jelas dia bukan orang suruhan negara.”


Lalu—sambil menyuapkan es krim yang ia pesan untuk pura-pura melakukan inspeksi, Noctus melanjutkan.


Di balik mata merah menyala laksana api itu, jelas terlihat sinar gelap yang membara. Manusia menyebut itu kegilaan… atau mungkin—tekad.


“Aku kira menjual es krim itu omong kosong… tapi sepertinya aku menemukan harta karun di tempat yang tak disangka.”


◇◇◇



Untuk mencapai status legenda, usaha saja tidak cukup—diperlukan bakat yang bersinar cemerlang.


Tanpa itu, siapa pun yang ingin menciptakan legenda harus bersiap menanggung risikonya.


Sitri Smart menerima kenyataan bahwa bakatnya kalah dibandingkan rekan-rekannya setelah sekitar setengah tahun menjadi seorang hunter.


Sejak awal, bertahan di dunia Treasure Hunter sebagai seorang Alkemis telah dianggap sebagai pilihan yang sulit. Karena itu, jika ia ingin menyamai teman masa kecilnya yang memilih profesi yang lebih cocok untuk menjadi Treasure Hunter, sekadar memiliki bakat yang sama takkan cukup. Lagipula, semua rekannya adalah pekerja keras, jadi mengejar mereka hanya dengan kerja keras pun tak akan berhasil.


Hari-hari terus berlalu dengan cepat, dan hanya jarak yang semakin melebar di antara mereka. Dalam kondisi tak berdaya itu, satu cahaya yang memberi harapan bagi Sitri datang dari ucapan pemimpin mereka, Krai Andrey.


“Sitri, kau terlalu banyak berpikir. Semua orang di sini melakukan apa yang mereka suka, jadi kau juga harus coba mengekspresikan dirimu dan melakukan apa yang kau inginkan.”


Ucapan itu terasa menyelamatkan. Meski tak menyebutkan hal konkret, dalam benak Sitri selalu terlintas sebuah… bukan, lebih tepatnya bayangan samar yang belum bisa disebut ide.


Jika tak bisa mengejar dengan bakat atau usaha biasa, maka ia harus melakukan sesuatu yang lebih.


Seorang Alkemis selalu berada di bawah sorotan etika. Jika tak ragu melakukan eksperimen pada manusia, kecepatan pengembangan potion kuat bisa meningkat drastis. Bahkan, ada potion berbahaya yang dilarang pembuatannya, yang efeknya jauh melampaui potion biasa, meski dengan risiko besar.


Dalam pembuatan makhluk sihir pun—bahkan untuk sekadar eksperimen, ada banyak standar ketat yang harus dipenuhi.


Terlalu banyak belenggu. Tapi justru karena itulah, jika belenggu-belenggu itu dilepas, bahkan seseorang tanpa bakat pun bisa mengejar para jenius.


Tidak—bahkan mungkin bisa melampaui mereka.


Yang dibutuhkan adalah tekad.


Untuk mendapatkan kekuatan yang melebihi dirinya saat ini, ia harus berani melakukan tindakan yang biasa dihindari oleh orang waras.


Menggunakan kelemahan sebagai pembenaran, melanggar hukum dan etika, menodai tangan dengan darah, lumpur, dan dosa—dan tetap menyembunyikan semuanya tanpa diketahui siapa pun.


Sekadar membayangkannya saja sudah terasa mustahil. Bahkan Master Magus, yang pernah memiliki kekuasaan begitu besar, akhirnya juga diasingkan dari ibu kota.


Namun, Sitri tidak merasa takut. Master Magus memang seorang jenius sejati, tapi ia sendirian. Ia memiliki kekuatan, namun terlalu mempercayai dirinya sendiri. Sitri berbeda.


Sitri mungkin tak setara dengan para jenius sejati. Tapi ia memiliki rekan-rekan yang bisa diandalkan.


Teman-teman yang tak akan pernah mengkhianatinya, apa pun yang terjadi.


Bahkan jika Sitri membuat kesalahan dan akhirnya diasingkan, mereka pasti akan tetap bersamanya.


Fakta itulah yang memberi Sitri keberanian.


Setelah melepas wig dan lensa kontak berwarna, ia berlari kecil kembali ke kafe tempat awal.


Namun arah langkahnya bukan menuju Noctus, yang masih terlibat dalam pembicaraan, melainkan ke kursi paling belakang tempat sang pemimpin duduk.


“Ada apa? Tiba-tiba menghilang. Apa kau tidak suka es krim?”


“Tidak… maaf. Aku tadi pergi untuk menyapa seseorang yang sudah lama sekali kucari.”


“Begitu, aku senang untukmu.”


Melihat senyum lembut pemimpin mereka, Sitri membalas dengan senyum cerah penuh kebahagiaan.


“Iya. Terima kasih banyak!”
























Wawancara Eksklusif Senpen Banka - Hunter’s Blade



“Wawancara dari Hunter’s Blade, ya…?”


Eva, yang seperti biasa mengenakan seragam Klan First Step, membelalakkan mata mendengar ucapanku.


“Iya. Kalau kau bersedia, tolong terima saja, ya. Memang merepotkan, tapi kita punya utang budi pada mereka.”


Hunter’s Blade adalah majalah informasi bertema hunter.


Majalah ini memuat beragam informasi mulai dari Treasure Hall yang sedang populer, karakteristik monster atau phantom berbahaya, hingga ulasan barang dan item.


Sebagai majalah spesialis hunter terbesar, pembacanya bukan hanya para hunter tetapi juga masyarakat umum.


Salah satu segmen populernya adalah wawancara dengan para hunter berlevel tinggi yang memiliki julukan khusus.


Sejujurnya, aku sendiri enggan diwawancara, tapi kami memang punya urusan pribadi dengan majalah itu.


Lebih tepatnya, mereka telah banyak membantu menyembunyikan berbagai skandal teman masa kecilku—jadi tak bisa sembarangan menolak.


“Itu sebabnya… bisakah kau bantu buatkan draf jawabannya? Kau ingat waktu wawancara kemarin aku sampai dimarahi, kan?”


“Itu karena Krai-san jawabnya asal-asalan waktu itu—!”


Masih segar dalam ingatan saat aku menjawab wawancara terlalu jujur dan dimarahi Eva karenanya.


Padahal aku sendiri merasa sudah menjawab dengan sungguh-sungguh, tapi kalau disebut tidak pantas secara isi, aku pun tak bisa membantah.


Karena itu pula, waktu itu aku sampai dipaksa berjanji untuk berkonsultasi sejak tahap pembuatan draf untuk wawancara selanjutnya.


Aku sangat menyesal selalu merepotkanmu, Eva-san.


“Draf wawancara, ya…? Sebenarnya, kalau jawabannya jujur dari hati, aku rasa apa pun tak masalah… selama isinya memang pantas untuk seorang hunter level 8.”


Lagi-lagi Eva mengatakan hal tak masuk akal pada diriku, yang entah bagaimana bisa jadi level 8 hanya berkat dukungan rekan-rekanku.


Aku memiringkan kepala, mencoba merenungkan—sebenarnya, seperti apa hunter level 8 itu?


◇◇◇


──Bisakah Anda ceritakan apa yang membuat Anda ingin menjadi seorang a Hunter?


Dulu, saat aku masih kecil, kampung halamanku diserang oleh seekor naga. Saat aku tergeletak di tengah kota yang dilalap api, yang menyelamatkanku adalah seorang hunter level tinggi yang kebetulan sedang singgah di kota.


Melihat sosok pahlawan itu, aku pun berpikir, “Aku ingin menjadi hunter seperti dia.”


Sampai sekarang, bahkan setelah menjadi hunter dan mampu mengalahkan naga, aku masih berusaha untuk tidak melupakan perasaan waktu itu.


──Masa lalu yang luar biasa… Ngomong-ngomong, apakah kampung halaman Anda berhasil dibangun kembali?


Sayangnya tidak. Kerusakan akibat serangan naga terlalu parah, jadi kampung itu akhirnya ditinggalkan.


Sekarang bahkan sudah tak tercantum di peta. Tapi aku yakin para penduduknya hidup dengan baik di kota-kota lain.


──Apa musuh terkuat yang pernah Anda hadapi selama menjadi Treasure Hunter?


Aku sudah menghadapi berbagai macam monster dan phantom, tapi sejujurnya, aku belum pernah merasa bertemu musuh yang benar-benar kuat.


──Jadi maksudnya, sampai Anda mencapai level 8 pun, tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti?


Aku punya rekan-rekan yang hebat, dan meskipun ini terdengar sombong… aku juga punya bakat. Ditambah keberuntungan.


Pernah juga kami diserang gerombolan naga secara tiba-tiba, atau terkubur hidup-hidup di dalam Treasure Hall akibat gempa besar. Tapi aku tidak menganggap itu sebagai penderitaan.


──Begitu, ya… Tapi meskipun Anda tidak pernah merasa kesulitan, tentu ada perbedaan kekuatan antara para monster dan phantom. Menurut Anda, monster atau phantom terkuat yang pernah Anda lawan apa?


Hmm… Mungkin dewa terlarang yang tersegel di Treasure Hall, “Dewa Matsurowanu.”


──Gaya bertarung Anda dikenal tidak jelas. Bolehkah kami tahu seperti apa gaya bertarung yang Anda kuasai?


Semuanya.


──Semuanya… maksudnya?


Aku cukup percaya diri dalam menggunakan pedang, sihir, teknik bela diri, maupun artefak. Aku ini tipe serba bisa.


Dulu memang ada hal-hal yang tidak aku kuasai, tapi semua sudah kutaklukkan. Bahkan sekarang pun aku masih rutin berlatih agar kemampuanku tidak tumpul.


──I-itu luar biasa sekali…


Kalau tidak sampai sejauh itu, tidak mungkin bisa mencapai level 8.


──Kalau begitu, kami ganti pertanyaannya. Apa yang biasanya Anda lakukan di hari libur?


Latihan. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk bersantai.


◇◇◇


“…Apa ini, sebenarnya?”


“Aku mencoba membuat draf dengan memikirkan—menurut versiku—apa arti menjadi level 8.”


Eva, yang sedang memegang naskah yang kutulis, membelalakkan mata. Ia mengangkat wajah dan menatapku, lalu kembali melihat naskahnya dengan ekspresi bingung.


Isinya, tentu saja, sepenuhnya kebohongan. Kampung halamanku hanyalah kota kecil di pedalaman, tidak pernah diserang naga. Aku sendiri bukan pria berbakat, dan sebenarnya setiap hariku seperti hari libur. Aku bahkan merasa pantas dipuji karena mampu menulis kebohongan sehebat ini.


Sambil merasa puas dengan perasaan pencapaian yang aneh, aku menunggu tanggapan Eva yang sempat terdiam. Namun tak lama kemudian, ia mengangguk mantap—matanya sedikit berkaca-kaca.


“…Kurasa… tidak ada masalah.”


“Eh…?”


“Akan aku kirimkan ke Hunter’s Blade, ya. Terima kasih atas usahanya.”


Setelah mengangguk kecil, Eva meninggalkan ruang Master Klan, membiarkanku membeku di tempat. Begitu kudengar suara pintu tertutup, aku buru-buru mengejarnya.


“Itu fiksi! Itu cuma cerita fiksi, tahu!”


Pada akhirnya, setelah berbagai kejadian, halaman yang seharusnya menampilkan diriku justru diubah menjadi liputan tentang Eva, yang konon diam-diam menopang operasional Klan besar dari balik layar.


Tentu saja, halaman itu juga penuh fiksi.


Tapi, itu adalah cerita lain.















Krai Kebingungan 



“Kau tidak apa-apa, Krai-chan!?”


Kesadaranku kembali. Saat membuka mata, yang pertama kali muncul dalam pandanganku adalah wajah cemas teman masa kecilku.


Apa yang terjadi...? Aku mencoba mengingat, namun bagian belakang kepalaku berdenyut hebat seolah menolak pikiranku bekerja.


Ruang seakan terdistorsi. Pandangan bergoyang. Pikiran tak kunjung menyatu. Rasanya seperti terlempar ke dunia lain.


Liz menatapku dengan khawatir dan perlahan mengelus kepalaku dengan tangannya.


“Kau masih ingat aku? Sakit? Sit sedang pergi ambil potion, jadi... Krai-chan tadi jatuh dan kepalanya terbentur.”


“...Ah... Iya, aku tidak apa-apa... Mungkin.”


Aku benar-benar tidak ingat, tapi kalau Liz bilang begitu, pasti memang begitu. Kehilangan kesadaran hanya karena terbentur sedikit adalah kelemahan yang tak pantas bagi seorang pemburu.


Aku merasa malu, namun Liz justru tersenyum lega melihatku.


“Syukurlah... Tadi kau benar-benar tidak sadar, jadi aku panik.”


“Ah─!?”


Saat itu juga, aku menyadari sensasi lembut di bagian belakang kepalaku.


“Hm? Ada apa?”


Mata Liz menatapku bingung, sementara tangannya tetap menempel di pelipisku. Tubuhnya kecil, padahal dia kuat. Biasanya akulah yang menatap ke bawah, bukan sebaliknya.


Itu... adalah bantal pangkuan sempurna.


Meskipun Liz memang sering menyentuhku tanpa ragu karena kami sudah dekat sejak kecil, dan ini bukan kali pertama aku dijadikan bantal pangkuannya, entah kenapa kali ini membuatku gelisah luar biasa. Aku bahkan lupa dengan rasa sakit di kepala dan langsung bangkit dengan panik.


“?? Krai-chan?”


Itu adalah dorongan yang sangat kuat. Saat aku sadar, aku sudah berseru keras pada Liz.


“Apa yang kau lakukan, Liz! Ini... ini tuh adegan bonus, tahu!?”


“...Hah?”


“Dikasih bantal pangkuan, ditatap dengan ekspresi selembut itu... tapi tidak ada ilustrasinya! Tolong, perhatikan waktu dan tempat!”


“...Hah? Apa yang sebenarnya kau bicarakan?”


Sementara aku merasa lega setelah mengungkapkan unek-unekku, Liz hanya memiringkan kepalanya.


Bicarakan apa? A... aku bicara apa tadi? Saat aku mencoba mengingat apa yang barusan kuucapkan, semuanya terdengar tidak masuk akal.


Ilustrasi? Bonus?


Kenapa aku tiba-tiba bicara hal aneh seperti itu?


Kepalaku kembali berdenyut keras. Tapi entah kenapa, tadi aku merasa harus mengatakannya.


“Aduh, Krai-chan aneh deh. Nanti kalau Sit membawa potionnya, aku yang merawatmu ya.”


“Tunggu! Jangan dekat-dekat! Jangan peluk! Adegan seperti itu tolong lakukan di cerita utama saja!”


“Hah...? Tapi kan biasanya juga begitu?”


“...”


Liz melepaskan pelukannya, lalu menatapku dengan ekspresi sedikit tersakiti.


Memang benar. Bukan hal aneh kalau Liz memelukku. Meski jarang digambarkan di cerita, tapi cukup sering sampai Eva pernah mengomel karena terlalu sering bersentuhan.


...Tunggu. Cerita utama? Digambarkan?


Apa itu semua? Kenapa aku bisa berpikir seperti itu?


Saat itulah, Sitri berlari masuk ke ruangan. Tidak seperti biasanya yang mengenakan jubah hijau panjang, kali ini ia memakai pakaian seperti jas laboratorium berwarna putih panjang. Rambut dan matanya yang berwarna pirang-merah muda tampak bersinar lembut. Memang percuma menggambarkannya karena tidak akan ada ilustrasinya, tapi karena biasanya dia mengenakan pakaian longgar, penampilannya kali ini cukup segar.


Begitu melihatku sudah duduk, Sitri langsung memelukku sambil berlinang air mata. Lengannya melingkar ke punggungku, dan dada yang jauh lebih besar dari Liz menekanku dari depan.


“Syukurlah... Krai-san baik-baik saja!”


“Hey, Sit! Curang! Jangan peluk Krai-chan terus! Cepat kasih potionnya! Urusan peluk-memeluk biar aku saja yang urus!”


Liz melompat dari belakang. Aku jadi seperti sandwich di antara keduanya. Berat dan panas dari dua arah membuatku hampir pingsan lagi.


Aku buru-buru memprotes. Mereka berdua tidak menganggapku sebagai lawan jenis. Benar-benar merepotkan.


“Tunggu, Sitri, Liz! Jangan lakukan hal-hal seperti itu sekarang! Sekarang tuh bukan adegan ilustrasi! Simpan adegan seperti itu untuk cerita utama saja!”


“...Krai-san, apa yang sebenarnya kau bicarakan?”


“Entahlah. Mungkin karena baru terbentur, jadi lagi kacau pikirannya?”


Bahkan aku sendiri tak tahu apa yang sedang kukatakan. Tapi entah kenapa, aku merasa harus mengatakannya. Kalau bukan sekarang, aku tidak akan pernah bisa bilang seperti ini dalam cerita utama! Meski aku juga tidak tahu apa itu “cerita utama”!


Aku meminum potion yang dibawa Sitri. Rasa sakit di kepala menghilang, tapi pusing dan rasa bingung tak kunjung pergi.


Sitri lalu mengatupkan tangan sambil menawarkan sesuatu.


“Kalau masih tidak enak badan... bagaimana kalau berendam air panas? Ada pemandian air panas baru di dekat sini. Memang potion buatanku sempurna, tapi beristirahat perlahan lebih baik. Biar aku yang mengurusmu.”


Liz berseru gembira. Aku yang sudah tak tahan dengan dorongan dalam diriku pun berteriak:


“TIDAK BOLEH! Itu adegan untuk cerita utama! Kita akan buat adegan itu nanti di cerita utama, lengkap dengan sepuluh gadis cantik dan ilustrasi halaman berwarna penuh! Tidak lama lagi juga bakal muncul! JADI TOLONG JANGAN SEKARANGGGGGG!!”


TL/N: alamak apakah ini bocoran untuk volume selanjutnya? Kalo bener sih ehehehehe aku dah tak sabar boyy :)


Akhirnya, aku baru kembali normal keesokan harinya.


Tentu saja, semua kata-kata yang kuucapkan waktu itu tak bisa kupahami... tapi entah kenapa, aku merasa—saat itu aku sangat, sangat dekat dengan kebenaran.


Begitulah perasaanku.




















Teori Iman Tino Shade



“Master itu level 8. Kalau Master benar-benar menggunakan kekuatannya di Sarang Serigala Putih, jangankan monster—rumput pun tak akan tumbuh lagi.”


Tino menjelaskan hal itu kepada Gilbert, yang tampak tak berusaha menyembunyikan wajah kesalnya karena pekerjaan dilemparkan kepadanya oleh Senpen Banka.


“!?“


“Kalau sudah level 8, justru terlalu kuat sampai tak bisa sembarangan pakai kekuatan. Lagipula, walaupun pengakuan resminya level 8, sebenarnya kekuatan Master sudah lebih dari level 10. Dengan sekali ayunan tangan bisa membelah bumi dan memisahkan lautan, dan cukup dengan berpikir saja bisa memanggil badai serta menjatuhkan petir.”


“Jangan konyol…”


Greg menunjukkan ekspresi jengah. Tino hanya mengangkat bahu, memandang para hunter malang yang belum memahami kenyataan.


Greg Zangief sudah lama menjadi hunter. Justru karena pengalamannya, ia tidak bisa langsung mempercayai kekuatan Master. Tapi itu bisa dimaklumi. Bahkan Tino sendiri, kalau mendengar semua itu tanpa tahu apa-apa sebelumnya, pasti juga takkan percaya.


Gilbert dan Rhuda pun terpana. Tino membusungkan dada dan memasang ekspresi serius.


Master itu luar biasa. Begitu luar biasa sampai tak ada yang bisa dibandingkan dengannya.


Misalnya, Ark Rodin—Treasure Hunter muda terkuat dari First Step, yang katanya paling hebat di ibu kota kekaisaran. Bahkan, kalau satu lawan satu, bisa menang dari kakaknya. Dari sudut pandang Tino yang pro-Master sepenuhnya, kekuatan Ark bisa dibilang sudah di level pahlawan.


Namun, Ark tak bisa menjatuhkan petir atau memanggil badai tanpa sihir. Dan tidak seperti Master, kekuatannya tidak terlalu besar sampai harus selalu berhati-hati agar tidak merusak lingkungan sekitar.


Kemampuan menyembunyikan kekuatannya pun masih kurang. Master bisa dengan mudah menyamar menjadi orang biasa, bahkan lebih lemah dari itu. Sementara si tampan palsu itu tetap bersinar walau berusaha meredam kekuatannya.


Yang membedakan mereka adalah jurang mutlak dalam talenta.


Ark Rodin hanya unggul dalam kemampuan tempur. Tidak seperti Master, yang bisa melihat jauh ke masa depan, memanfaatkan kekuatannya secara strategis, dan memberi cobaan berat yang membuat nyawa seperti di ujung tanduk—semua demi membentuk dan mengasah Tino dan anggota Klan lainnya, walau terkesan seperti menyiksa.


Katanya, kekuatan untuk membimbing adalah salah satu kualitas paling penting bagi seorang pemimpin.


Dengan kata lain, kemampuan Krai Andrey melampaui sekadar kekuatan individu.


Dan karena itulah, Tino yang bisa mengasah diri di bawahnya pasti sedang bahagia. Ya, pasti sedang bahagia!


Maka dari itu, Tino berbagi pengetahuan kepada para pemula malang di dunia Master. Agar mereka tidak patah semangat setelah pekerjaan selesai nanti.


“Monster akan menyerang secara berkelompok karena secara naluriah takut pada kekuatan Master. Padahal, Master bisa saja menghancurkan mereka semua sendirian, tapi dia malah menyuruh kami menghadapinya demi pertumbuhan kami.”


“Master juga jadi incaran para kriminal. Kadang-kadang ada yang meracuni makanannya. Tapi Master tanpa berkata apa-apa memberikannya padaku. Aku pernah nyaris mati, tapi berkat itu sekarang hampir semua racun tidak mempan padaku. Semua berkat Master.”


“Master bukan cuma mengancamku, tapi juga dunia. Saat Master pergi hanami (piknik sambil lihat bunga), Treasure Hall muncul tiba-tiba. Bahkan kalau tidak pergi pun, Treasure Hall yang datang menyerang. Kalau Master pergi ke Treasure Hall, Treasure Hall akan membangkitkan boss demi mempertahankan diri.”


“Dengan kekuatan seperti itu, Master tak peduli siapa musuh atau teman. Diserang seperti apa pun, Master tetap tak terluka. Dan hanya dengan tatapan, musuh langsung mati. Karena itu, Master tidak terlalu membedakan musuh dan sekutu. Sekalian saja, Master juga tidak bedakan antara kerja dan main. Buat Master, kerja itu semacam hiburan. Ya, mau bagaimana lagi.”


“Master sering menyerang saat lengah. Makanya, kita tidak boleh lengah. Tapi justru di saat seperti itu, dia tidak melakukan apa-apa. Intinya, kita harus selalu siap tempur. Meski berkali-kali diserang, tetap saja tidak terbiasa.”


“Master bukan menyiksa kami untuk kesenangan semata. Beliau menyiksa sambil menahan air mata untuk kesenangan.”


“…Tapi tidak apa-apa. Master itu hebat. Master itu mutlak. Master tidak pernah salah. Kalau ada yang tidak Master pahami… ya, mungkin hanya hati manusia saja.”


Master adalah dewa. Master adalah dewa. Dewa, tolong selamatkan aku.


Tino terus mengulang itu dalam hati seperti sedang menyihir dirinya sendiri, meneguhkan tekadnya.


Para hunter pemula yang belum mengerti seperti apa “Master” sebenarnya hanya bisa menatap Tino dengan penuh kekhawatiran.










Wawancara Eksklusif Hunters Blade: First Step 



──Hari ini, kami kedatangan tamu spesial, Eva Renfied, Wakil Master Klan First Step, Klan yang tengah berkembang pesat di ibu kota kekaisaran. Kami ingin mendengar pandangan beliau dari sudut pandang pengelola Klan besar. Senang bertemu Anda.


Senang bertemu Anda juga.


──Langsung saja, bisakah Anda ceritakan latar belakang berdirinya Klan First Step?


Tentu. Klan kami didirikan oleh sekelompok party muda yang berkumpul bersama. Di Zebrudia, banyak Klan tua dan bergengsi telah lama berdiri, namun iklimnya kurang mendukung bagi Klan baru untuk berkembang. Klan kami dibentuk untuk membawa angin segar ke dalam lingkungan tersebut.


──Dan hal itu tercermin dalam nama Klan Anda?


Benar sekali. Nama Klan ini menyimpan harapan besar agar menjadi “langkah pertama” bagi para party muda. Salah satu wujud dari tekad itu adalah sistem internal kami yang tertata rapi serta fokus besar kami pada kesejahteraan anggota. Prinsip ini juga telah mengakar kuat di kalangan anggota kami. Sebagian besar dana operasional Klan kami berasal dari iuran serta donasi para hunter berlevel tinggi yang tergabung dalam Klan.


──Itu luar biasa. Selanjutnya, cukup jarang ditemukan Wakil Master Klan yang bukan seorang hunter. Apakah ada alasan khusus di balik hal ini?


Ya. Saya direkrut langsung oleh Master Klan dan menjabat sebagai Wakil Master sejak Klan ini berdiri. Selain saya, ada puluhan staf non-hunter yang mengelola Klan ini. Mengelola organisasi sangat berbeda dari berburu; dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang berbeda pula. Maka dari itu, menurut saya bentuk organisasi seperti ini sangat masuk akal. Selain itu, struktur ini juga membantu menjembatani kesenjangan antara para hunter dan non-hunter secara mental. Karena kekuatan mereka, para hunter kerap kali dianggap menakutkan. Dalam arti tersebut, First Step juga merupakan langkah pertama bagi para staf non-hunter.


──Menarik, jadi nama itu punya dua makna. Apakah ada tantangan yang Anda alami sebagai Wakil Master Klan?


Tentu ada. Saat itu, saya sama sekali belum punya pengalaman mengelola Klan, juga pengetahuan tentang dunia hunter sangat minim. Selain itu, hampir tak ada contoh Klan yang dikelola oleh banyak non-hunter. Jadi bisa dibilang saya menghadapi banyak kesulitan. Namun kami memiliki sumber dana yang melimpah, dan yang paling penting, Klan ini dipimpin oleh hunter ternama. Saya pikir itu sangat membantu meringankan beban saya.


──Apakah sempat ada penolakan dari anggota karena Wakil Master bukan seorang hunter?


Tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Namun anggota awal Klan ini dipilih langsung oleh Master Klan, dan beliau menyelesaikan semuanya dengan baik. Sampai sekarang pun, proses seleksi anggota baru masih ditangani langsung oleh Master Klan. Saya percaya hal ini merupakan salah satu faktor yang membuat Klan kami bisa berkembang sejauh ini.


──Master dari Klan First Step adalah Senpen Banka, bukan? Bagaimana kesan Anda terhadap beliau sebagai Wakil Master?


Beliau benar-benar seperti julukannya. Saya rasa beliau adalah sosok yang sesuai dengan reputasinya di mata publik. Secara administratif, hampir seluruh wewenang pengelolaan Klan diserahkan kepada saya. Namun keputusan-keputusan penting tetap selalu diambil langsung oleh sang Master.


◇◇◇


Aku membaca sampai di situ, lalu mengangkat wajahku sambil gemetar.


“...Apa-apaan ini?”


“Itu wawancara yang aku lakukan untuk Hunter’s Blade...”


Eva menatapku dengan ekspresi bingung.


Luar biasa... Isinya hampir sama palsunya dengan wawancara yang pernah aku jawab dulu.


Asal-usul nama Klan sebenarnya karena aku ingin pensiun sebagai hunter, bukan karena aku memikirkan hunter lain. Eva pun aku rekrut karena aku sendiri tak sanggup menangani semuanya. Di artikel itu tertulis seolah-olah akulah yang membuat keputusan penting, padahal kenyataannya aku hanya mengangguk-angguk saja. Yang membesarkan Klan ini adalah Eva.


“Ada yang aneh, ya?”


“...Tidak. Bukan apa-apa.”


Tapi, sebagai seseorang yang tak punya kuasa, aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya menggeleng pelan dan menutup majalah itu.


























Cara Berinteraksi dengan Kaum Spirit



Keluhan terhadap Starlight baru saja masuk. Eva menyampaikan kabar itu padaku ketika aku sedang menjalani rutinitas harianku—mengilapkan artefak—di ruang Master Klan.


Starlight adalah party langka yang seluruh anggotanya berasal dari ras bangsawan tinggi yang disebut Noble (dan akan marah jika dipanggil selain itu). Kaum Noble secara alami meremehkan manusia yang memiliki bakat sihir (Mana) rendah, dan mereka tidak segan-segan menunjukkan sikap itu secara terang-terangan. Karena itu, mereka sangat tidak cocok dengan para hunter yang mudah naik darah.


Ditambah lagi, jika klien mereka adalah bangsawan atau tokoh penting dari serikat dagang, mereka bisa dengan mudah tersinggung, sehingga reputasi mereka buruk dan perkembangan levelnya pun lambat. Sampai-sampai membuat orang bertanya-tanya kenapa mereka memilih jadi hunter.


Yang lebih menyulitkan lagi, mereka tidak bermaksud jahat—itulah yang membuatnya lebih merepotkan. Dari semua party yang tergabung dalam First Step, Starlight adalah yang paling banyak menerima keluhan kedua (yang pertama tentu saja partyku).


“Baru diurus sekarang, ya...”


“Begini... Mereka ingin Anda, Krai-san, berbagi tips tentang bagaimana cara berinteraksi dengan kaum Noble. Karena mereka cukup langka di ibu kota, banyak orang yang tertarik.”


“Oh, soal itu ya. Tapi aku sendiri merasa tidak pernah punya trik khusus atau apa pun, sih...”


Mendengar ucapan Eva, aku menghentikan gerakan mengilap artefak. Memang benar, yang merekrut Starlight ke Klan ini adalah aku (lebih tepatnya, Sitri), dan di party Strange Grief, ada satu Noble bernama Eliza. Tapi aku tidak terlibat langsung dalam perekrutan mereka, dan Eliza sendiri adalah pengecualian langka bahkan di antara sesama Noble.


Mungkin Sitri lebih pandai dalam menghadapi mereka... Tapi, ya, begini saja:


“Mereka hidup di masyarakat manusia karena pilihan, jadi tak perlu terlalu tegang. Perlakukan saja seperti biasa.”


“Perlakukan seperti biasa... ya.”


Bukan berarti mereka membenci kita dan sengaja meremehkan kita.


Memang begitulah sifat ras mereka, sesederhana itu.


“Dasar komunikasi itu saling menghormati. Jangan lakukan hal yang kau sendiri tidak suka kalau dilakukan orang lain—itu saja.”


“Anda yang bicara seperti itu, Krai-san?”


Apa maksudnya? Dengan ekspresi agak rumit, Eva menatapku. Aku hanya mengangguk penuh percaya diri dan menjawab santai:


“Oke, kalau begitu, biar aku tunjukkan langsung.”


◇◇◇


“Manusia Lemah! Tanpa memberi alasan tiba-tiba memanggilku, apa maksudnya itu! Desu! Aku tidak ingat kita sudah sedekat itu! Desu!”


Orang yang kupanggil adalah Kris Argent. Dari semua anggota Starlight, dia adalah yang paling keras terhadapku.


Dengan wajah merah padam dan bahu tegang, Kris mendekat sambil memancarkan aura kemarahan.


Dia memang selalu ramai. Eva yang jarang berurusan langsung dengan kaum Noble menatap terbelalak.


Sementara itu, aku hanya mengangkat tangan dan tersenyum ramah.


Poin 1: Samakan level komunikasi.


“Heii, Noble Kuat! Maaf ya, tapi kita memang sudah seakrab itu, ya kan?”


“!? J-Jangan panggil aku dengan nama aneh seperti itu! Desu! Apa kau sedang mengejekku! Desu!”


“Tidak kok. Sebenarnya hari ini ada orang yang ingin berteman dengan Noble Kuat.”


“Apa? Seseorang ingin berteman denganku? Hmph, rupanya masih ada juga manusia yang punya pandangan bagus, desu. Meskipun aku tak tertarik berteman dengan manusia, kalau dia sampai memohon sambil berlutut... ya mungkin bisa kupikirkan, desu!”


Ucapan itu membuat amarah Kris sedikit mereda. Lumayan.


Poin 2: Puji kelebihan mereka. Poin 3: Tanggapi dengan benar.


“Soalnya, penampilan Kris itu memukau, jadi banyak yang penasaran.”


“!? Kau barusan bilang penampilan? Desu! Maksudmu cuma penampilan saja? Desu! Noble itu unggul dalam segala aspek dibanding manusia, tahu! Desu!”


“Iya iya, betul sekali... desu!”


“...Hei, jangan meremehkanku, desu! Jangan lupa, satu-satunya alasan kau belum hangus terbakar adalah karena kau kakaknya Lucia, desu!”


“Iya iya, benar juga... desu!”


“Itu sikap seseorang yang ingin berteman? Desu!!”


“Iya iya, mungkin juga... desu!”


“Jangan main-main! Desu! Aku datang di hari liburku, tahu! Desu!”


Poin 4: Perhatikan perubahan pada lawan bicara. Tunjukkan ketertarikan.


“Ngomong-ngomong, Kris, gaya rambutmu berubah ya?”


“!? Mata manusia lemahmu buta, ya? Desu! Sama sekali tidak berubah! Desu! Seperti biasa! Desu!”


“Bajunya baru, mungkin?”


“Tidak baru! Desu!”


“...Parfumnya ganti?”


“Tidak! Desu! Apa yang sedang kau coba lakukan? Desu!”


Ternyata tidak ada yang berubah. Kupikir paling tidak satu hal akan tepat, tapi ya wajar saja, toh aku tidak bertemu Kris setiap hari.


Dengan wajah merah padam, dia membentak sambil membanting-banting meja.


Poin 5: Jangan menyerah saat gagal. Semua orang bisa salah.


“Sejak dulu aku sudah merasa, kau itu kurang menunjukkan rasa hormat padaku! Desu!”


“Iya iya, maaf ya.”


“Padahal aku sudah mengisi ulang energi untuk artefak dan membantumu banyak hal! Seharusnya kau lebih menghormatiku! Desu!”


“Iya iya, benar juga.”


“Bahkan sikapmu pada Lapis juga kurang sopan! Desu! Kau ini sudah lemah di antara manusia, jadi harus tahu diri! Desu!”


“Iya iya, bisa jadi.”


“Aku ini bicara demi kebaikanmu sebagai ras tinggi! Desu! Karena kau kakaknya Lucia, kalau kau mau belajar sihir, mungkin bisa sedikit berguna! Desu! Kalau kau bersujud dan memohon, aku mungkin akan membantumu! Desu! Dengan begitu, rasa malu yang kurasakan sebagai anggota klan yang sama denganmu bisa sedikit──”


Aku menerima wejangan tinggi nan nyaring itu dengan senyum hangat. Kurasa para hunter lain seharusnya belajar dari keluasan hati Ark.


Kalau semua orang seperti Ark, hubungan dengan kaum Noble pasti akan jauh lebih baik.


Lagipula, cukup didengarkan saja sambil santai.


“Hei! Manusia Lemah! Kau benar-benar mendengarku, kan! Desu!”


“Suaramu begitu indah dan isinya sangat menyentuh, aku sampai terpana.”


“Jangan bohong terang-terangan seperti itu! Desu! Karena kau terlalu payah, Lapis sampai memuji kalau aku jadi lebih sabar belakangan ini! Desu!”


“Wah, itu bagus.”


Padahal, keluhan dari pihak mereka justru masuk ke kita, lho.


Kris berdiri dengan tangan di pinggang, mengomel terus.


Eva sudah benar-benar tidak bisa mengikuti. Wajahnya penuh keheranan.


Tapi ini belum apa-apa. Kalau cuma segini sudah bikin frustrasi, mana bisa menjalin hubungan dengan Noble?


“Apa yang kau tertawakan! Desu! Aku sedang bicara serius! Desu! Dengarkan baik-baik! Desu!”


“Maaf, maaf... desu!”


Poin terakhir—Poin 6: Iming-imingi dengan hadiah.


Kepada Kris yang sudah hampir meledak karena kesal, aku memberikan usul.


“Kalau begitu, bagaimana kalau lanjut ngobrol sambil makan makanan manis? Aku yang traktir.”


“Apa? Aku tidak butuh ditraktir oleh manusia lemah! Desu! Justru aku yang akan traktir kau! Desu! Cepat siapkan semuanya! Desu! Hari ini aku akan memberikan ceramah panjang padamu! Desu!”


Lihat kan, berinteraksi dengan kaum Noble itu mudah sekali. Kenapa semua orang kesulitan?


Dengan tatapan yang penuh pesan, aku menoleh pada Eva.


Dia hanya membelalak dan berbisik dengan nada lelah:


“...Kuat sekali.”



Hubungan Hierarki Tino



“Sudah lama aku penasaran, Tino... sebenarnya, Liz memanggilmu dengan sebutan apa?”


“Eh...? Dari Onee-sama, maksudnya?”


Tino membelalakkan mata.


Aku memang sejak lama merasa curiga dengan loyalitas aneh Tino yang terlalu tinggi. Kali ini pun, dia dengan berani menghadapi seseorang yang levelnya jauh di atasnya hanya karena orang itu mengejekku. Karena aku sendiri tidak punya kharisma, kemungkinan besar dia diajari soal hubungan hierarki oleh gurunya, Liz, Tapi... ajaran seperti apa, sebenarnya?


Saat aku menanyakannya dengan nada halus, Tino langsung menegakkan badan dan memasang ekspresi serius.


“Di dunia ini, secara garis besar hanya ada dua jenis makhluk: dewa dan sampah.”


“!?!”


“Onee-sama adalah dewa. Aku adalah debu dan kotoran. Aku wajib patuh pada semua perintah Onee-sama. Meskipun tangan dan kakiku tercabik-cabik, aku tetap harus taat. Kalau tidak... aku akan dibersihkan.”


Aku belum pernah mendengar logika sekejam ini.


“...Kalau Tino itu debu dan kotoran, aku ini apa?”


Adakah yang lebih rendah dari debu dan kotoran...? Saat aku bertanya, mata Tino berbinar dan dia menjawab dengan penuh keyakinan:


“Master tentu saja... adalah Dewa Tertinggi.”


“……Dewa Tertinggi?”


“Master memberi cobaan kepada umat rendah, bersikap baik hati namun sangat keras, dan terkadang terlihat sedikit berubah-ubah. Semua itu adalah ciri-ciri dewa. Perintah Master memiliki prioritas lebih tinggi dari perintah Onee-sama. Jika aku melanggarnya... aku akan jadi debu dan kotoran di kehidupan berikutnya.”


Dewa Tertinggi, katanya...


Sepertinya aku harus bicara serius dengan Liz nanti.


Tino sempat ragu sejenak, lalu dengan mata berkaca-kaca, dia berkata:


“Tapi... hanya ada satu pengecualian. Meskipun aku yakin Master tidak akan pernah memerintahkan hal seperti ini... tapi kalau, andai saja, suatu saat Master memberi perintah untuk pelayanan seksual... aku diwajibkan untuk menolaknya.”


“……Aku tidak akan menyuruhmu untuk hal begitu.”


“Meski begitu... aku tak bisa membangkang kata-kata Dewa Tertinggi. Itu akan mengacaukan hukum alam. Silakan beri perintah apa pun. Aku ini murid Onee-sama. Aku sudah siap.”


Jangan siap dong.


Paksaan macam ini... dia mulai mirip Liz.


Kira-kira bagian mana dari dirinya yang harus diketuk agar bisa pulih, ya...






















Rapsodi Kelinci Pasir



“Meski begitu, cukup mengejutkan juga ya artefak ditemukan di Alain Column Ruins.”


“Eh...? Umm... Bukankah, maksudku, Master sudah memprediksinya?”


“...Ya, ya. Bisa dibilang begitu.”


Di ruang Master Klan, setelah kericuhan lelang selesai dengan damai, aku melontarkan komentar santai, dan Tino menatapku ragu-ragu dari bawah sambil bertanya.


Seperti biasa, aku menanggapinya dengan senyum setengah hati.


Alain Column Ruins adalah sebuah Treasure Hall level 1 yang terletak di tengah padang pasir.


Tempat itu hanyalah area kecil berdiameter sekitar 100 meter, dipenuhi belasan pilar batu yang berdiri—tidak lebih dari itu.


Karena letaknya di jalur aliran kecil Mana Material dan kadang memunculkan phantom lemah, tempat itu secara teknis dikategorikan sebagai Treasure Hall. Tapi karena jarang sekali muncul artefak, dan aksesnya sangat buruk, para hunter menganggapnya sebagai tempat yang tak layak dilirik.


Bahkan di sekitar ibu kota kekaisaran sendiri, ada banyak Treasure Hall level 1 yang jauh lebih menarik, jadi tak ada pemula pun yang akan memilih tempat seperti itu.


Saat kami baru saja menjadi hunter pun, tempat itu langsung dicoret dari daftar eksplorasi. Aku hanya pernah melihatnya sekilas dari kejauhan—dan benar-benar tak ada yang menarik.


Sebagai catatan, nama “Alain” berasal dari orang pertama yang mengidentifikasi tempat itu sebagai Treasure Hall.


Alasanku menyuruh Tino menjelajahi tempat itu pun semata karena aku tahu lokasinya aman dan mudah untuk dijelajahi—bukan karena aku sungguh-sungguh berharap akan menemukan artefak.


Menemukan artefak di tempat dengan aliran Mana Material yang lemah seperti itu sungguh keajaiban.


Berbeda denganku, tampaknya Tino sangat beruntung. Mungkin ini yang disebut “buah dari perilaku baik sehari-hari”?


Saat aku merenung begitu, Tino tiba-tiba menatapku dan berkata seolah baru mengingat sesuatu.


“Ngomong-ngomong, Master... Di tempat itu ada lubang besar di tanah. Itu... apa ya?”


“Lubang besar?”


“Iya. Tanahnya berlubang besar dan beberapa pilar hampir runtuh... Setahuku, kalau ingatanku benar, Alain Column Ruins seharusnya tidak punya lubang seperti itu, kan?”


Tino berkata dengan ekspresi tak percaya diri.


Memang benar, setahuku tempat itu hanya berisi pilar saja.


Meskipun aku ditanya “apa itu”, tentu saja aku tak tahu. Tapi mata Tino tampak yakin kalau aku pasti tahu jawabannya. Hasil pendidikan Liz, tanpa ragu.


Aku mencoba memikirkannya serius.


Treasure Hall dibentuk dari Mana Material. Wilayahnya menyerupai dunia lain, dan bahkan jika terjadi kehancuran besar akibat sihir masif, selama jalur aliran Mana masih utuh, tempat itu akan pulih seiring waktu.


Apakah ada sesuatu yang terjadi di Alain Column Ruins?


Dan mungkinkah hal itu ada kaitannya dengan artefak langka yang ditemukan Tino?


Kekaisaran Zebrudia sangat peka terhadap perubahan di Treasure Hall. Jika ada perubahan besar, mereka akan segera menyelidiki dan membagikan hasilnya pada para hunter. Tapi belakangan ini tak ada bencana besar yang mengubah jalur Mana, dan sangat mungkin tak ada yang menyadari perubahan di Treasure Hall level 1 yang bahkan para hunter anggap sepele.


Ini... mungkin adalah sebuah peluang.


Aku menatap Tino, yang kembali memandangku dengan penuh kepercayaan.


Ia tersenyum cerah seperti bunga yang mekar.


Orang pertama yang menemukan perubahan di Treasure Hall biasanya yang paling diuntungkan. Meski tentu saja, juga yang paling berbahaya. Tapi karena artefak muncul berdasarkan siapa cepat dia dapat, makin cepat bergerak akan lebih baik.


Mungkin sekarang di Alain Column Ruins telah terjadi sesuatu yang memicu kemunculan artefak langka.


Dan sejauh ini, hanya aku, Tino, dan Matthis-san yang sedang mengidentifikasi artefak itu, yang mengetahuinya.


Jika ingin bergerak, waktunya sekarang. Semakin lama menunggu, risikonya semakin tinggi.


Meskipun artefak yang ditemukan Tino masih dalam tahap identifikasi, kita tak punya waktu untuk menunggu.


Toh, kemungkinan muncul artefak baru rendah karena Tino baru saja menemukannya beberapa hari lalu. Tapi siapa tahu.


Kami sedang tidak sibuk, jadi setidaknya mengecek situasinya tidak akan merugikan.


“Di sekitar Alain Column Ruins itu ada monster kuat, tidak?”


“Eh? Umm... Seingatku, paling cuma Sand Rabbit saja... Karena di sana banyak lubang sarangnya.”


Tino menjawab sambil berkedip pelan.


Sand Rabbit, seperti namanya, adalah monster kelinci berwarna pasir. Tapi meski disebut monster, ukuran dan kekuatannya hampir tak berbeda dari kelinci biasa. Saking lemahnya, aku pun mungkin bisa menang jika duel satu lawan satu.


Mereka hidup menyebar di seluruh wilayah dekat ibu kota kekaisaran dan berada di dasar rantai makanan.


Karena jumlahnya sangat banyak, nilainya rendah dan tak menghasilkan uang. Tapi dagingnya enak jika disate dengan mentega. Dulu, Liz sering membawakan hasil tangkapan dan kami memakannya.


“Sand Rabbit ya... Kalau sampai kalah lawan kelinci itu, sungguh memalukan.”


“Eh...? Bagaimana caranya bisa kalah, Master?”


Mana kutahu. Tapi justru pikiran ‘pasti bisa menang’ seperti itulah yang berbahaya.


Aku menyahut ringan pada Tino yang tampak benar-benar heran.


“Kau yang bilang ya? Kalau kalah, ada hukuman.”


“Hukuman!? Meskipun aku hanya debu, aku tidak akan kalah, Master!”


Aku ingin mengecek Treasure Hall itu, tapi pergi hanya berdua dengan Tino ke luar kota terlalu berisiko.


Berbeda dengan Tino, aku tidak beruntung sama sekali. Lagipula, belum tentu Tino mau ikut...


Maaf karena harus terus mengandalkan, tapi mungkin aku akan meminta Sitri atau Liz ikut.


Tepat saat aku berpikir begitu, pintu ruangan terbuka dan Sitri masuk dengan wajah sangat ceria setelah berhasil mendapatkan barang incarannya dari lelang.


Sitri memang selalu datang di saat yang tepat.


Aku merapikan niatku dan menyapanya.


Kantong kertas bergoyang pelan. Di depan kami berjalan makhluk sihir Sitri—Kilkil-kun.


Tubuh besar berwarna abu seperti batu, dengan mata kosong mengintip dari rongga kantong kertas.


Meskipun ada monster lain selain Sand Rabbit di luar kota, tak ada yang berani mendekat karena sosok Kilkil-kun yang luar biasa aneh.


Bahkan Tino pun menunjukkan sikap takut dan hormat padanya, seperti binatang lainnya.


“Maaf merepotkan di tengah kesibukan.”


“Tidak apa-apa. Anggap saja jalan-jalan bersama.”


Sitri tetap ceria meskipun permintaanku mendadak. Entah kenapa, dia menggenggam tanganku dan pipinya memerah.


Tino, yang lemah terhadap Sitri, terus menoleh ke arah kami, tapi Sitri tak memperdulikannya.


Bersama Sitri yang berjalan riang seperti sedang piknik, kami akhirnya tiba di Alain Column Ruins.


Sepanjang perjalanan, monster yang muncul hanya Sand Rabbit, sesuai dengan perkataan Tino.


Kelinci berwarna pasir muncul dari berbagai lubang di tanah, memperlihatkan wajah lalu menghilang.


Kami mengabaikannya karena mereka tak menyerang, tapi jumlahnya benar-benar banyak.


Gerakan cepat dan posisi mereka yang berada di dasar ekosistem alam terasa menyedihkan... dan jujur, mirip denganku. Kalau lengah, aku bisa saja merasa simpati.


Alain Column Ruins tampak persis seperti dalam ingatanku: tempat yang tidak membangkitkan semangat.


Tujuh belas pilar batu berdiri di padang gurun yang terbuka. Meski terlihat seperti reruntuhan, pemandangannya terlalu terbuka untuk memunculkan nuansa mistis.


Tapi kini, di tengah lingkaran pilar-pilar itu, tampak lubang besar dengan diameter beberapa meter.


Kami mendekatinya dengan hati-hati, siap kabur kapan pun, dan mengintip ke dalam.


Lubangnya lebih dangkal dari yang dibayangkan, dasarnya terlihat.


Meski aku berharap sesuatu terjadi, sayangnya tak tampak artefak apa pun di dalam sana.


Aku memeriksa sekitar sedikit, tapi sejauh mata memandang, hanya ada padang rumput dan kami bertiga.


“Di dalam lubangnya memang tidak ada apa-apa... Mau diperiksa lagi, Master?”


“Hmm...”


“Kalau digali lebih dalam, mungkin ada sesuatu... Tapi sepertinya tanahnya mulai pulih, lebih baik dari saat aku pertama kali melihatnya. Jadi, mungkin lubang itu memang bukan fenomena alami, melainkan ada yang menggali.”


Siapa yang mau menggali tanah Treasure Hall yang tidak berguna seperti ini?


Artefak umumnya tidak muncul dari dalam tanah.


Sambil memandang lubang itu tanpa bicara, bahuku disentuh oleh Sitri.


“Krai-san, suruh Tii-chan saja yang masuk dan periksa.”


“...Baiklah. Tolong periksa sebentar saja ya.”


“Serahkan padaku!”


Dengan semangat tinggi, Tino melompat ringan ke dalam lubang. Gerakannya menunjukkan betapa ia sudah tumbuh sebagai seorang hunter.


Namun, aku tetap merasa perjalanan ini sia-sia. Tempat ini memang Treasure Hall yang mengecewakan.


Saat aku mengamati Tino sambil menguap, Sitri mendekat dan berbisik ke telingaku.


“Krai-san, tempat ini... adalah salah satu laboratorium milik Noctus Cochlear.”


“Eh...?”


Aku membelalakkan mata mendengar kata-kata tak terduga itu. Sitri melanjutkan.


“Golem itu disimpan di sini. Lubang besar itu... kemungkinan besar dibuat saat mereka mengeluarkan golem dari laboratorium bawah tanah.”


Nada suaranya penuh keyakinan.


Aku tidak ingat ada laporan tentang ini dalam rapat informasi. Tapi Sitri bukan orang yang suka bercanda di saat-saat seperti ini.


Lubang di hadapan kami memang cukup besar untuk memuat golem raksasa itu.


Jadi, apakah artefak langka yang ditemukan Tino itu hanya kebetulan?


“Pintu masuk ke laboratoriumnya... disamarkan sebagai lubang sarang Sand Rabbit. Lewat sini.”


“...Kau tahu banyak, ya.”


Aku mendengar bahwa Menara Akasha adalah kelompok sihir yang menakutkan. Tapi menyamarkan pintu masuk laboratorium sebagai sarang Sand Rabbit?


Apa yang sebenarnya mereka pikirkan? Dan... dari mana Sitri tahu semua ini...?


Karena sepertinya sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan, aku menyerahkan urusan penyisiran pada Tino dan mengikuti Sitri.


Yang ditunjukkan padaku adalah sebuah tempat di tengah padang rumput—sekitar 50 meter dari Treasure Hall.


Di tempat tanpa penanda apa pun, terdapat sebuah lubang yang hanya cukup dilewati satu orang. Itu adalah sarang Sand Rabbit.


Sand Rabbit hidup secara berkelompok dengan menggali lubang di tanah, jadi lubang serupa cukup banyak ditemukan di padang rumput ini.


Sitri memandang ke arah lubang itu sejenak, lalu menoleh padaku sambil tersenyum manis.


“Krai-san, apakah kau ingin masuk? Anak buah Noctus Cochlear sudah musnah, jadi tidak akan ada siapa-siapa di dalam.”


………Aku tidak begitu tertarik.


Lubangnya memang cukup besar, tapi manusia tetap harus memaksakan diri agar bisa masuk.


Aku tidak punya keinginan untuk bersusah payah merangkak ke dalam. Aku datang ke sini karena kupikir mungkin masih ada artefak langka yang bisa ditemukan, bukan untuk meninjau laboratorium organisasi sihir ilegal.


Kalau Sitri ingin melihat, aku akan menemaninya, tapi kalau tidak, aku ingin cepat-cepat pulang saja.


Lagipula, aku tidak bisa melihat apa bedanya lubang ini dengan lubang-lubang yang lain──.


Saat aku hendak mengatakannya, Sitri menarik lengan bajuku. Hampir bersamaan, sebuah tangan menyembul keluar dari lubang.


Tangan itu──memegang telinga Sand Rabbit yang masih hidup.


Aku spontan mundur selangkah. Sitri dengan wajah tegang berdiri di depanku untuk melindungi, sementara Kilkil-kun melangkah maju.


Apa masih ada sisa-sisa anggota Akasha?


Saat aku menahan napas, tangan itu menapak ke tanah, dan tubuh pemiliknya merangkak keluar dari lubang.


“……”


Yang muncul dari pintu masuk ke laboratorium bawah tanah milik Akasha bukanlah seorang Magi atau hunter.


Melainkan seorang pria berambut cokelat muda yang tampak baik hati, memakai kacamata besar.


Ia menatapku, menatap Sitri, lalu Kilkil-kun, dan terperangah dengan mata membelalak.


Tangannya terlepas, dan Sand Rabbit itu pun kabur.


“S-s-s-siapa kau!? Siapa kalian!?”


“…………Yaa… seharusnya kami yang bertanya begitu, sih… Oh, dia makhluk sihir, jadi tidak apa-apa. Dia tidak akan menyerang manusia tanpa perintah.”


Melihat pria itu yang tampak panik, ekspresi tegang di wajah Sitri sedikit melunak. Ia memang biasanya diam kalau sedang berpikir, tapi tampaknya menurut penilaian Sitri, pria ini bukanlah musuh.


……Yah, dia memang terlihat kaget dan ketakutan.


Meski takut pada Kilkil-kun, pria itu tetap merangkak keluar dari lubang dan memperkenalkan diri dengan suara sedikit gemetar.


“Aku… aku Alecco, dari Lembaga Penelitian Sand Rabbit──Labi-ken.”


“Labi… ken?”


Aku belum pernah mendengar istilah itu. Pemuda bernama Alecco itu tampaknya sudah menyadari bahwa kami tidak berniat menyerang, sehingga ia tampak sedikit lega dan mulai menjelaskan dengan suara yang lebih tenang.


“Ya. Kami meneliti tentang Sand Rabbit. Aku datang ke sini untuk melakukan survei lapangan.”


Eh? Jadi kau masuk ke lubang itu untuk survei? Tapi itu bukan sarang Sand Rabbit, melainkan fasilitas penelitian Akasha, lho?


………Aku tidak paham.


Saat kulirik Sitri, dia tampaknya juga belum pernah mendengar nama itu, karena ia menggeleng pelan.


Alecco tersenyum canggung, menepuk-nepuk debu di jubahnya, dan berkata,


“Yah, wajar jika kau belum pernah dengar. Kami… adalah sebuah organisasi rahasia.”


“…………”


Yang mereka lakukan memang aneh, tapi pria ini tampak terlalu cerah untuk ukuran anggota organisasi rahasia.


Apa-apaan Labi-ken itu. Kenapa harus terbatas pada Sand Rabbit? Setidaknya jadikan objeknya kelinci secara umum. Dan kenapa juga harus dilakukan secara rahasia? Banyak hal yang membuatku ingin mengomentari, tapi aku memilih diam karena malas.


Dengan suara penuh semangat, Alecco berkata,


“Sand Rabbit adalah makhluk luar biasa. Bisa dimakan, bisa dijadikan peliharaan, jumlahnya banyak, daya berkembang biaknya juga tinggi—mereka benar-benar pantas disebut sebagai tetangga umat manusia. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa daerah sekitar ibu kota ini ditopang oleh Sand Rabbit!”


Aku tidak bertanya, sih… Tapi, jangan-jangan orang ini tipe yang tidak bisa mendengar orang lain bicara? Aku tidak cocok dengan tipe seperti itu.


“Jadi, kau makan ‘tetanggamu’, ya?”


“Dan lagi, hari ini aku telah menemukan penemuan luar biasa yang layak dicatat dalam sejarah Sand Rabbit! Bertemu kalian di sini adalah takdir—mohon jadilah saksi hidup sejarah ini!”


Mengabaikan komentarku yang dingin, Alecco menatap kami dengan mata berbinar gila.


Alecco kembali ke lubang dengan penuh semangat. Kilkil-kun menyusul, disusul Sitri yang masih tersenyum tanpa kata, dan akhirnya aku pun ikut.


Sebenarnya aku malas, tapi dari pengalamanku, menolak di situasi seperti ini hanya akan membuat segalanya jadi semakin rumit.


………Kalau tahu begini, mending aku lihat-lihat hasil penyelidikan Tino saja tadi.


Bagian dalam lubang itu jauh lebih luas dari yang aku bayangkan, dan tampak buatan manusia. Bahkan Kilkil-kun yang paling besar pun bisa berjalan dengan leluasa. Dinding dan lantainya halus dan keras, sulit dipercaya mengingat betapa sempit pintu masuknya.


Tidak mungkin lubang ini dibuat oleh Sand Rabbit yang panjang tubuhnya hanya sekitar 30 sentimeter.


Saat aku mulai berpikir ingin cepat-cepat pulang, Alecco merentangkan kedua tangannya dan berteriak,


“Lihatlah! Sarang luar biasa ini! Ukuran sarang sebesar ini… bahkan aku yang sudah lama meneliti Sand Rabbit belum pernah melihat yang seperti ini!”


“……Hah?”


Aku melirik ke arah Sitri. Dia hanya mengangkat bahu dan menggeleng, tampaknya sudah tidak tertarik untuk berdebat.


“Kami di Labi-ken selama ini mengusung teori bahwa Sand Rabbit memiliki kecerdasan tinggi yang hampir setara manusia dan telah membangun peradaban. Dan teori itu kini terbukti! Lihatlah dinding dan lantai yang halus ini! Bukan hanya rapi, tapi juga dikeraskan dengan semacam zat kimia agar tidak mudah runtuh. Artinya, di antara kawanan Sand Rabbit… ada yang memiliki pengetahuan alkimia!”


“Wow, hebat juga ya, Sand Rabbit.”


Kalau itu benar, manusia mungkin akan punah karena kalah jumlah dari Sand Rabbit.


Mendengar komentarku yang tak bersemangat, Alecco mendekat dan berkata,


“Dan di bagian dalam, terdapat beberapa ruangan, dan beberapa di antaranya menyimpan alat-alat manusia. Tahukah kau apa artinya ini?”


“…………Sand Rabbit itu manusia?”


Menanggapi komentarku yang asal-asalan, Alecco mengedipkan sebelah mata, menjentikkan jarinya, dan berkata dengan suara bergetar,


“Hampir benar! Tapi bukan itu! Kemungkinan besar, Sand Rabbit memiliki kolaborator manusia!”


“…………Ya ya, masuk akal.”


Kalau memang ada kolaborator manusia, bukankah yang menggali lubang ini juga manusia?


“Ahh, kolaborator itu seperti apa ya orangnya! Aku sangat ingin bertemu dengan mereka. Pastilah mereka juga, seperti kami di Labi-ken, mengalami penganiayaan──”


Alecco mengatakan itu dengan wajah penuh kekaguman, tanpa peduli pandangan sinis yang tertuju padanya.


Menurut Sitri, tempat ini dulunya adalah laboratorium Akasha. Jika digabungkan dengan ucapan Alecco, maka kesimpulannya adalah: Akasha menggali sarang ini demi Sand Rabbit. Benar-benar kelompok yang aneh.


Saat itu, Sitri yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara.


“……Ngomong-ngomong, kenapa kau ingin menyelidiki sarang ini? Di sekitar ibu kota banyak juga sarang Sand Rabbit lainnya…”


Benar juga. Walaupun ada kemungkinan mengerikan bahwa Alecco memang menyusuri semua lubang yang ada satu per satu, lubang ini sama sekali tidak memiliki ciri khas yang mencolok.


Dengan wajah penuh senyum, Alecco menjawab Sitri yang tampak curiga.


“Ah, kalian belum melihatnya, ya? Lubang besar yang tiba-tiba muncul di Alain Column Ruins itu.”


“Ah, iya… kami memang datang untuk mengeceknya, tapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan.”


Mendengar jawabanku, Alecco mengangguk mantap, mendorong kacamatanya ke atas, lalu berkata dengan penuh keyakinan,


“Itulah! Jejak keluarnya raja legendaris Sand Rabbit yang disebut Arena Rex dalam legenda Labi-ken! Untuk membuktikan prediksi ini, aku menyelidiki sarang-sarang di sekitar, dan akhirnya menemukan bukti konkret ini!”


……Lembaga Penelitian Sand Rabbit. Mungkin mereka menjadi organisasi rahasia karena pemikiran mereka terlalu nyeleneh?


Berapa orang sebenarnya, anggotanya?


“Karena pertemuan ini juga adalah takdir, izinkan aku menghidangkan kalian Sand Rabbit tumis mentega terenak yang belum pernah kalian cicipi! Kami juga meneliti cara memasak Sand Rabbit, lho!”


“Yup, kalian jelas-jelas tidak waras.”


Sebenarnya posisi kalian di mana sih? Kalian bilang Sand Rabbit punya kecerdasan setara manusia, tapi kalian tetap memakannya?


Kami satu per satu keluar dari lubang, bergantian dengan susah payah.


Bahkan Sitri yang biasanya selalu tersenyum pun tampak murung kali ini.


Pasti dia juga merasa bertemu orang aneh. Aku pun sependapat.


Setelah keluar ke bawah sinar matahari, aku meregangkan badan.


Alecco juga meregangkan badan sambil tersenyum cerah padaku.


“Baiklah, mari kita kembali ke ibu kota. Aku harus segera melapor pada rekan-rekan seperjuangan──”


“Alecco-san, kau datang ke sini sendirian? Bahaya, lho… masih banyak monster berkeliaran.”


“Tak masalah! Aktivitas Labi-ken selalu bersisian dengan maut! Aku sudah siap menghadapi itu semua!”


…Orang ini, jangan-jangan memang mantan anggota Akasha? Dia terlalu tidak normal.


Matanya berkilat tajam. Dalam segala hal, dia lebih “kuat” daripada aku yang sudah level 8.


Yah, semuanya tinggal ditahan sampai tiba kembali di ibu kota. Sayangnya, aku rasa aku tidak akan bertemu dengannya lagi.


Benar, sebelum kembali ke ibu kota kekaisaran, aku harus menjemput Tino dulu──


Tanpa berpikir, aku menoleh ke arah Treasure Hall, lalu mengernyit. Aku mengucek mata dan memandang sekali lagi.


“Masterrrr! Kejam! Ini… ini terlalu kejam!”


Suara bercampur tangis itu menghilang ke langit biru. Tino sedang dikejar-kejar oleh seekor Sand Rabbit raksasa berwarna pasir.


Hanya tinggi tubuhnya saja sudah lebih dari dua kali lipat tinggi Tino, dan telinga panjang yang menjulang ke langit itu bergoyang-goyang hebat. Setiap kali kelinci itu berlari, debu pasir mengepul dengan luar biasa. Rupanya kelinci juga bisa menjadi ancaman jika ukurannya sebesar itu.


Tino, sambil melarikan diri, terus mencoba menendang dan memukul, tapi meski serangannya menghantam tubuh kelinci raksasa itu, tidak ada tanda-tanda geraknya akan terhenti. Tubuhnya yang tambun tampaknya jauh lebih tahan banting dari yang terlihat.


Cakar depannya terangkat tinggi dan menghujam tanah dalam-dalam. Tino memutar tubuhnya dengan lincah untuk menghindar.


“Ohh, itu… jangan-jangan, itulah Arena Rex! Bisa bertemu dengannya di tempat seperti ini── hari ini benar-benar hari yang luar biasa!”


Alecco berseru kegirangan saat melihat sosok itu. Aku hanya menghela napas panjang karena lelah dan berkata,


“…Jadi, Sand Rabbit bisa tumbuh sebesar itu, ya.”


“…Meski begitu, mereka tetaplah monster.”


Begitu ya… Aku sempat bingung apa yang membuat mereka masuk kategori monster, tapi kalau bisa tumbuh sebesar itu, memang pantas disebut begitu.


Atas perintahku, Kilkil-kun berlari ke arah Tino sambil mengayunkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu menendang kelinci raksasa itu seperti bola karet hingga terpental jauh.


“Dengan ukuran sebesar itu, bisa jadi berapa porsi butter saute, ya…”


Komentarku yang tidak lucu sama sekali karena suasana hati yang kacau hanya dibalas dengan helaan napas kecil dari Sitri.


Lihat kan, tetap saja kita tidak bisa lengah. Aku benar-benar bersyukur telah membawa Sitri bersamaku.















Majalah Bulanan Lost Inn – “Memburu Treasure Hunter Paling Misterius dan Terkuat!” Wawancara dengan Orang Terdekat



—Segala rumor biasanya mengikuti para Treasure Hunter yang luar biasa. Di segmen populer ini, kami menyelidiki kebenaran di balik rumor-rumor tersebut. Untuk edisi ke-25, kami akan membahas hunter yang penuh teka-teki, Senpen Banka, dan kali ini, kami secara khusus menghadirkan seseorang yang mengaku mengenalnya secara pribadi, yaitu S.S.-san! Terima kasih telah hadir hari ini.


Senang bisa di sini!


—Baiklah, langsung saja. Pertama-tama, bisakah Anda ceritakan hubungan Anda dengan hunter itu?


Kami teman masa kecil.


—Eh...? Teman masa kecil?


Aku sudah mengenal Senpen Banka bahkan sebelum dia datang ke Ibu kota Kekaisaran, sebelum dia menjadi hunter. Kami kenal sejak kecil. Aku tahu hampir segala hal tentangnya.


—Jadi Anda benar-benar mengenalnya sejak lama, ya. Karena itu, mari kita telusuri asal-usul Senpen Banka, yaitu Krai Andrey. Seperti apa dia saat masih anak-anak?


Ya. Sejujurnya, tidak banyak berubah dari sekarang. Pemberani, penuh rasa ingin tahu, cerdas, dan pantang menyerah.—Ya, bahkan waktu kecil, bagi dia naga itu cuma seperti camilan sore.


—Maksud Anda, naga sebagai camilan...?


Dia sering berburu naga untuk camilan sekitar pukul tiga sore. Kurasa, untuk melepaskan kekuatan sebesar itu, tubuhnya juga butuh energi besar. Darah, daging, dan hati naga adalah sumber energi terbaik, jadi masuk akal kalau dia memilih itu.


—S-saya mengerti... Jadi, dia memakan naga?


Iya, dimakan. Katanya yang paling enak adalah masakan buatan kekasih masa kecilnya, tapi kadang dia juga makan mentah, langsung dikunyah.


—Tapi, naga kan makhluk sihir yang tidak hidup sembarangan, bukan?


Tidak juga. Di tempat asal Krai, yaitu sebuah desa terpencil di pegunungan tempat para dewa tinggal, naga berkeliaran dan menguasai wilayah sekitarnya. Jadi menemukannya tidak sulit.


—Wah... Jadi, seseorang level 8 memang sudah luar biasa sejak lahir, ya.


Benar. Di sanalah Krai terkena cipratan darah naga dan dikutuk menjadi makhluk abadi.


—!? Anda baru saja mengatakan sesuatu yang luar biasa...


Abadi. Itulah alasan pertama kenapa Senpen Banka disebut yang terkuat. Tidak ada sihir, pedang, atau serangan apapun yang bisa melukainya. Faktanya, dia belum pernah terluka sekalipun sampai sekarang.


—Saya juga pernah mendengar rumor tentang Senpen Banka, tapi ini sulit dipercaya. Lalu, apakah dia punya kelemahan?


Secara fisik, Krai memang tak tertandingi. Tapi kalau harus menyebutkan satu kelemahan... Ini rahasia ya... kelemahannya adalah makanan manis.


—Makanan manis!? Dan kalau dia memakannya, apa yang terjadi?


Dia langsung sakit perut dan tumbang. Sejak dulu, Krai tidak tahan makanan manis, dan itu masih belum bisa dia atasi.


—Tapi katanya dia sering terlihat makan kue di kafe, ya?


Itu bagian dari latihannya.


—Latihan...?


Sebagai seorang hunter, wajar jika berusaha mengatasi kelemahannya. Dan melakukannya secara terbuka di depan umum justru menunjukkan betapa hebatnya dia sebagai seorang hunter.


—Saya mengerti. Itu memang masuk akal. Ngomong-ngomong, Senpen Banka dikenal bukan hanya karena kehebatannya, tapi juga karena metode serangannya yang hampir tidak pernah diketahui. Seberapa kuat sebenarnya kemampuan serangnya?


Ya. Tidak aneh kalau caranya tidak diketahui. Soalnya, hanya dengan pikirannya saja, makhluk hidup di sekitarnya bisa mati begitu saja...


◇◇◇


Aku menutup Majalah Bulanan Lost Inn begitu selesai membaca sampai bagian itu.


“Wah, ini keterlaluan sekali... Ya, begitulah Majalah Lost Inn.”


Majalah Lost Inn adalah majalah okultisme bertema Treasure Hunter. Terkenal karena artikel-artikelnya yang mengada-ada dan tidak dipercaya siapa pun, namun konon punya penggemar fanatik di kalangan tertentu.


Selama ini aku memang pernah beberapa kali jadi bahan liputan di berbagai majalah, tapi belum pernah diperlakukan seaneh ini. Siapa pula yang akan percaya artikel seperti ini? Terlalu banyak hal yang bisa dikomentari, sampai-sampai aku tak tahu harus mulai dari mana. Memakan naga mentah-mentah? Itu bukan manusia, itu monster. Bahkan ini tidak bisa disebut pencemaran nama baik—terlalu absurd.


Tapi kupikir bagian di mana pewawancara terlihat agak takut itu malah lucu dan mengundang tawa. Eva, yang membaca artikel ini bersamaku, pun tampak pasrah dan menggelengkan kepala.


“Ngomong-ngomong, siapa ya, si S.S. ini...? Kalau dibilang teman masa kecil, seharusnya pilihannya tidak banyak.”


Aku berpikir sejenak, lalu mengangkat bahu.


“Hmm... mungkin tokoh fiktif saja? Soalnya tidak ada orang yang kukenal yang akan ngomong seaneh itu.”






Rencana Pengasuhan “Nomimono”



Lantai bawah tanah pertama tempat pelatihan Klan First Step. Di salah satu sudut ruangan, kini telah dipasang sebuah kandang baja raksasa.


Awalnya, kandang ini digunakan untuk menangkap binatang buas. Setiap jerujinya setebal pergelangan tangan manusia, dan bahkan bagi seorang hunter, tak mudah untuk menghancurkannya. Namun, meski kandang ini tampak kokoh dan tangguh, wajah para pria dan wanita, tua dan muda—para hunter yang berkumpul di depannya—tidak menunjukkan rasa percaya diri.


Para hunter dari Klan First Step adalah pasukan elit yang telah melewati berbagai cobaan. Mereka tak pernah menjadi tinggi hati oleh pengalaman mereka, dan justru itu yang memperkuat reputasi mereka. Namun ekspresi wajah mereka saat ini jauh dari kesan anggota Klan ternama. Beberapa bahkan terlihat memegangi perut mereka, menahan mual.


Satu-satunya yang tampak ceria adalah Sitri Smart, orang yang mengumpulkan mereka semua.


“Baiklah. Sekarang aku akan menyampaikan beberapa hal penting bagi kalian yang akan mengurus Nomimono. Tolong dengarkan baik-baik. Kalau tidak, kalian bisa mati.”


Tentu saja. Para hunter ini akan mengurus seekor chimera muda—makhluk kuat yang sebelumnya nyaris membunuh mereka. Bagi mereka, Nomimono—nama yang dengan enteng diberikan oleh Senpen Banka—bukanlah ‘yang diminum’, tapi lebih tepat disebut sebagai ‘yang meminum’. Dan para hunter hanyalah korban berikutnya.


Bukan lelucon. Semua sudah merasakan sendiri. Meskipun masih kecil, gigi dan cakar Nomimono cukup tajam untuk mencabik jari hunter dengan mudah. Ada kelas hunter bernama pengguna monster, yang melatih dan bertarung bersama binatang buas. Tapi mereka pun selalu penuh luka.


Namun kali ini, tak ada jalan untuk lari. Para hunter yang dikumpulkan ini semuanya, dalam satu dan lain cara, telah berutang pada Sitri. Mereka adalah korban—kambing hitam yang tak beruntung.


Salah satu hunter wanita dengan ragu mengangkat tangan.


“Tapi, Sitri. Dengan ukuran kandang ini... kalau Nomimono berusaha, bukankah dia bisa kabur?”


“Pertanyaan bagus. Tenang saja, dia akan segera tumbuh besar. Yah, kandang ini mungkin memang akan dihancurkannya sih…”


“!?”


“Dengar baik-baik, Nomimono ini adalah jenis Malice Eater berdarah murni. Para peneliti seperti Noctus Cochlear membesarkan Malice Eater dengan metode sistematis sebagai bagian dari riset mereka. Tapi jika Nomimono dibesarkan dengan penuh perhatian, dia akan melampaui Malice Eater itu setidaknya dua kali lipat. Chimera memang umumnya lebih kuat dari monster biasa. Untuk Nomimono, kandang ini bagaikan kertas tipis saja.”


Mendengar ucapan yang tak bisa diabaikan itu, seorang hunter pria bertubuh besar di barisan depan buru-buru angkat tangan. Banyak hal ingin ia tanyakan—kenapa Sitri tahu banyak soal Malice Eater, misalnya—tapi ada hal yang lebih mendesak.


“Itu... tidak berbahaya, kan?”


“Berbahayalah. Hadapi dengan tekad hidup atau mati.”


“...Kita seharusnya pakai kandang yang lebih kuat.”


“Dari semua yang tersedia, ini yang paling kuat. Monster milik para pengguna biasanya lebih jinak dan kemampuannya tidak setinggi itu, jadi kandang ini cukup bagi mereka.”


“…………”


Dia tidak mendengarkan. Pantas saja pekerjaan merawat ‘hewan peliharaan’ ini melibatkan lebih dari sepuluh hunter. Para hunter saling berpandangan, terkejut dengan informasi ini. Sitri lalu bertepuk tangan sambil tersenyum.


“Baiklah, semuanya. Ini adalah... ‘Seribu Ujian’”


“!? Tidak ada yang memberitahu itu!”


“Pernahkah ujian ini diumumkan sebelumnya...?”


Sungguh kalimat yang mengandung kekuatan luar biasa. Wajah para hunter tampak menegang. Sitri melanjutkan dengan suara ceria.


“Tapi tenang saja! Kalau kalian bisa melewati ujian ini, kalian akan merasa: ‘monster sehebat apa pun, masih lebih mending daripada Nomimono’. Jangan pernah berpikir bisa menjinakkannya. Sepertinya, dia cuma bisa akrab dengan aku dan Krai-san. Ingat ya, jangan mati. Kalau cuma kehilangan lengan, bisa minta Onee-chan buat sembuhin. Tapi kalau mati... tidak bisa dibangkitkan lagi, ya.”


Tatapan mata Nomimono yang sedang digendong Sitri jelas-jelas tak bisa disebut ramah. Begitu dilepaskan, dia pasti akan langsung menerkam leher salah satu hunter.


“Bekerjalah sama-sama, ya. Soalnya kalau sendiri, kemungkinan besar kalian akan mati. Untuk makanan, masukkan satu monster agresif tiap hari—itu juga bisa jadi latihan bertarung. Jalan-jalan? Jangan bawa keluar, bisa-bisa dia memakan warga sipil. Tapi biarkan dia lari-lari sepuasnya di tempat latihan tiga kali sehari. Kalau merasa mampu, bawa saja dia berburu. Kecepatan tumbuhnya cukup tinggi, jadi dia akan cepat besar. Tapi meskipun kecil, dia tidak akan kalah dari monster biasa.”


Ini pekerjaan gila. Seharusnya mereka tidak berutang apa-apa pada Sitri. Para hunter kini benar-benar menyesal, tapi sudah terlambat. Sambil masih menggendong Nomimono, Sitri mengeluarkan beberapa lembar dokumen dan membagikannya. Lalu, dengan senyum manis yang menusuk, ia berkata:


“Untuk jaga-jaga, ini surat perjanjian. Isinya: bila kalian sampai dimakan, aku tidak bertanggung jawab sedikit pun. Oke? Aku sudah menjelaskan semuanya dengan jelas. Sudah, kan?”




Pengalaman Sitri dengan Topeng



“…………”


Sitri menatap diam-diam ke arah topeng daging itu.


Topeng bernama Over Greed adalah salah satu dari artefak yang paling menjijikkan yang pernah dilihat Sitri. Namun kemampuannya telah terbukti.


Menurut Tino, topeng ini adalah semacam alat penguat.


Kekuatan Tino saat mengenakan topeng itu memang luar biasa, tetapi yang paling menarik perhatian Sitri adalah perubahan fisiknya.


Tino mengalami pertumbuhan di berbagai aspek saat memakai topeng itu. Tingginya bertambah, rambutnya memanjang, dan—ya, dadanya juga membesar. Banyak artefak yang dapat meningkatkan kemampuan, tapi sangat jarang ada yang bisa mengubah penampilan secara fisik. Kakaknya tidak bisa memakainya karena terlalu kuat, tetapi mungkin… kalau dirinya, bisa jadi berhasil.


Lagipula, kalau keadaan darurat terjadi, Krai atau kakaknya pasti bisa membantu melepaskannya. Setelah mantap dengan tekadnya, Sitri mengangkat topeng itu dan menempelkannya ke wajahnya. Ujung-ujung tentakel dari topeng itu menjulur dan melingkar ke belakang kepalanya.


Sebuah suara terdengar. Tapi tidak seperti Tino yang merasakan guncangan hebat saat pertama kali memakainya, Sitri tak merasakan apa pun.


“Uu... u-uhm... ini pertama kalinya ada yang memakai diriku untuk tujuan asmara.”


Suara itu terdengar bingung. Saat Tino mengenakan topeng ini, topeng langsung menyatu dengan wajahnya dan membuat tubuhnya tumbuh. Tapi Sitri tak merasakan efek apa pun. Suara itu lalu berbicara dengan nada menegur:


“Menurutku… kau terlalu tak pilih-pilih cara. Jangan hanya fokus menjatuhkan orang lain—pikirkan juga untuk mengubah dirimu sendiri.”


“Bukan berarti aku tak menghargai usahamu. Tapi aku tahu… di dasar hatimu, ada rasa rendah diri yang sangat kuat. Dan karena itu, kewaspadaanmu terhadap orang lain malah membuatmu menempuh cara-cara licik.”


“Aku bisa memperkuat kekuatanmu, tapi aku tidak bisa menghapus rasa rendah dirimu. Ingat, itu adalah sesuatu yang harus kau hadapi sendiri.”


“Apa pun yang kau hadapi, hadapilah dengan percaya diri. Seperti kakakmu… mulailah dari sana. Meski secara fisik kau tak sehebat dia, itu tak ada kaitannya dengan kemenangan yang kau inginkan.”


“Penampilan luar dan isi hati adalah dua sisi dari satu koin. Pancaran batin akan terlihat di permukaan. Mengandalkan parfum atau masakan favorit untuk menutupi kekurangan adalah tindakan pengecut! Perbaiki isi hatimu! Hentikan cara-cara licikmu! Kau terlalu jahat! Aku memang bukan senjata militer, tapi lagipula—Over Greed ini bukan alat untuk memperbesar payudara!!”


Dengan wajah datar, Sitri melepas topeng itu dan melemparkannya ke lantai.


“Krai-san, topeng ini... sudah rusak berat.”




























Pekerjaan Seorang Master Klan



Hari ini cuacanya cerah juga, ya.


Aku menahan rasa kantuk sambil menikmati sinar matahari yang masuk dari jendela besar yang dipasang di lounge milik Klan First Step.


Klan kami memang sangat serius dalam hal fasilitas kesejahteraan. Klan, pada dasarnya, adalah organisasi yang dibentuk untuk saling membantu antar sesama hunter. Umumnya, Klan menyediakan sistem untuk membantu jual-beli material dan pertukaran informasi yang berguna. Tapi Klan yang menyediakan makan dan minum gratis itu sangat jarang.


Pendapatan dari iuran anggota yang terus meningkat serta keahlian Eva—yang dulunya adalah pedagang—(ditambah lagi sumbangan tak jelas dari para hunter kaya seperti Sitri), membuat keuangan First Step sangat sehat. Reputasi Klan yang terus menanjak menarik lebih banyak hunter berbakat yang mengajukan permohonan untuk bergabung. Bisa dibilang kami sedang berada dalam siklus yang sangat baik.


Namun, makin banyak anggota, makin banyak juga ikatan dan beban sosial yang harus ditanggung.


Berdasarkan hukum di Zebrudia dan peraturan dari Asosiasi Penjelajah, semakin banyak anggota dan semakin tinggi peringkat resmi sebuah Klan, maka semakin besar pula kekuasaan yang dimiliki. Sebagai gantinya, pajak yang harus dibayar pun meningkat.


Masalah uang masih bisa diatasi kalau kami berusaha lebih keras, tapi menerima lebih banyak anggota baru adalah hal yang sebisa mungkin ingin kuhindari.


Di Klan kami, setiap party yang ingin bergabung harus menjalani wawancara langsung dengan Master Klan.


Karena reputasi Klan sangat tergantung pada tindakan anggotanya, maka keputusan akhir diserahkan kepada Master Klan—yang artinya, aku lah yang melakukan wawancara itu.


Di Klan ini, akulah yang mewawancarai mereka! Bahkan saat awal Klan ini dibentuk, aku sudah bertemu langsung dengan semua anggota. Jadi, secara formal, tidak ada satu pun orang yang tidak pernah melalui wawancaraku.


Tambahan lagi, hampir semua pelamar yang ingin bergabung ke First Step, yang dikenal sebagai Klan terbaik untuk hunter muda, adalah orang-orang berbakat dan penuh ambisi. Harus mewawancarai—dan kadang menolak—orang-orang yang jelas lebih hebat dariku itu… rasanya membuatku ingin muntah. Tapi bukan karena bahaya, melainkan karena tekanan psikologis.


Selain itu, syarat lain untuk bergabung ke Klan kami adalah adanya surat rekomendasi dari anggota Klan. Ini dilakukan sebagai penyaring agar tidak sembarangan orang bisa masuk. Tapi justru karena ada anggota yang merekomendasikan, menolak kandidat menjadi lebih sulit. Apalagi, kadang mereka datang lagi beberapa waktu setelah ditolak.


Kali ini pun, yang datang untuk wawancara adalah hunter muda yang cerdas dan berbakat. Mereka bahkan sudah membawa surat rekomendasi dari anggota Klan. Jadi tak ada alasan untuk tidak bertemu.


Di ruang wawancara, wajah cerdas milik pemuda itu menatapku tajam saat aku berusaha menahan kantuk.


Penampilan dan aura mereka benar-benar berbeda dariku—mereka terdiri dari satu party beranggotakan lima orang. Tatapan tajam penuh tekad dan ambisi yang mencoba menilai diriku, ketegangan yang menyelimuti suasana, dan ekspresi gugup dari pemuda di ujung sana... entah kenapa semuanya terasa begitu akrab.


Mereka mulai menjadi hunter dua tahun lalu. Bahkan sebelum itu, mereka sudah menjalani pelatihan dengan serius dan membawa surat rekomendasi dari dojo ternama di ibu kota kekaisaran. Aktivitas mereka sebagai hunter juga berjalan mulus dan mereka tampaknya cukup beruntung.


Rekam jejak di dokumen dan informasi yang dikumpulkan Eva sangat sempurna, sampai-sampai sulit dipercaya bahwa rata-rata usia mereka baru 18 tahun.


Mereka adalah party muda level 4. Sang pemimpin dari party bernama Kagayaki no Ya (Panah Cemerlang) berbicara padaku dengan nada percaya diri, tanpa sedikit pun menunjukkan keraguan:


“Dengan kekuatan kami, kami yakin bisa menjadi kekuatan besar bagi First Step. Kami juga siap menghadapi yang disebut ‘Seribu Ujian’.”


“Kami memang baru level 4, tapi kami sudah pernah mengalahkan Goblin King, monster dengan tingkat kesulitan level 5! Kalian takkan menyesal jika menerima kami!”


Pemuda bertubuh besar di samping sang pemimpin menyeringai sambil berkata begitu.


Sikap mereka yang tidak meremehkan lawan meskipun lebih lemah, serta kepercayaan diri yang tak goyah itu membuatku hampir terintimidasi. Tapi aku cukup sering merasa begitu, jadi aku hanya mengangguk dengan gaya yang sedikit dibuat-buat.


Hmmm... bagaimana, ya... aku mengucapkan kata-kata sambil berpikir.


“Goblin King, ya... Hebat juga. Aku sendiri belum pernah mengalahkan makhluk itu.”


“Krai-san, mengalahkan Goblin King adalah salah satu syarat kenaikan Anda ke level 5, lho.”


Eva yang kupaksa duduk di sampingku langsung menyela dengan komentar tajam.


Syarat untuk naik peringkat memang beragam. Bisa berupa ujian tertulis, atau pertimbangan atas prestasi masa lalu. Eva tahu latar belakangku lebih baik dariku sendiri. Jadi kalau dia bilang aku pernah melawan Goblin King, ya mungkin memang begitu. Tapi waktu kupikirkan lagi, itu sudah lama sekali... dan seingatku yang melawan saat itu adalah Liz dan kawan-kawan, bukan aku.


Para kandidat yang sedang diwawancarai juga mulai melihatku dengan tatapan dingin.


“…Ya, yah, mungkin aku memang pernah bertarung melawan monster itu, tapi tetap saja, kalian luar biasa.”


“Bagi level 8 mungkin itu bukan apa-apa, tapi bagi kami itu adalah pertarungan hidup dan mati. Kami takkan berhenti sampai di sini—”


Pemimpin mereka bicara dengan penuh semangat, menyampaikan mimpi dan tujuan hidupnya sebagai hunter.


Aku tersenyum sambil berpikir dalam hati.


Sejujurnya, Klan kami tidak berniat menambah anggota baru dalam waktu dekat. Kalau ditanya apakah kami butuh orang baru, aku tak bisa memikirkan siapa.


Mereka memang hebat, tapi kurasa masih belum melebihi Ark.


Aku pun memutuskan untuk menolak mereka. Saat keputusan sudah dibuat, tinggal mencari cara menolak tanpa menyinggung perasaan.


Setelah mendengarkan seluruh presentasi penuh semangat sang pemimpin, aku menyilangkan kaki dan memiringkan kepala dengan gaya sok keren.


“Semangat kalian benar-benar terasa. Prestasi dan kemampuan kalian juga luar biasa. Jika terus mengasah kemampuan, kalian pasti akan menjadi hunter papan atas di Zebrudia.”


Aku memang lemah. Siapa pun bisa melihatnya. Tapi ini markas besarku, dan banyak anggota Klan lain sedang memperhatikan dari lounge. Mereka pasti penasaran jika ada kandidat baru yang datang.


Aku memang sengaja melakukan wawancara di tempat umum seperti lounge, untuk berjaga-jaga kalau kandidat bertindak kasar (karena hunter itu kadang memang agak barbar).


Lalu aku pura-pura berpikir sejenak dan berkata kepada para pemuda yang menatapku penuh harapan:


“Tapi… menurut penilaianku… masih ada sesuatu yang kalian kurang untuk menjadi bagian dari First Step.”


Eva terbelalak. Sepertinya dia tak menyangka aku akan berkata begitu. Wajah para anggota Kagayaki no Ya pun langsung tegang.


Ya, wajar saja. Riwayat mereka tak bercela sedikit pun.


Pemimpin mereka mencondongkan tubuh ke depan dan bertanya dengan penuh semangat:


“Kurang... dalam hal apa?”


Itu tak boleh kujawab. Karena aku sendiri juga tidak tahu jawabannya.


Dulu saat Chloe datang juga aku melakukan hal serupa. Aku memang suka mengambil keputusan secara asal saat wawancara.


Belakangan ini aku hanya menerima lamaran jika aku sedang benar-benar berminat atau ada alasan kuat lainnya.


Aku mengernyitkan dahi, menutup mata sejenak, menghela napas, dan menjawab:


“Menemukan jawabannya adalah bagian dari keterampilan yang perlu dimiliki seorang hunter. Aku tidak bilang kalian ditolak, ya. Kalian ini hunter berbakat. Jadi ketika kalian sudah mengasah kemampuan lebih jauh, datanglah lagi ke sini. Saat itu, aku akan dengan senang hati menerimamu sebagai teman seperjuangan.”


Maaf, ya. Aku memang tidak punya kemampuan menilai orang. Semua yang berjalan lancar sejauh ini lebih karena keberuntungan dan kerja keras Eva, bukan karena kemampuanku.


Tapi tidak apa-apa. Dengan rekam jejak seperti milik kalian, Klan manapun pasti akan berebut untuk merekrut kalian.


Saat aku hendak berdiri, aku baru sadar.


Para anggota Kagayaki no Ya tampak sangat terkejut.


Dengan semua pencapaian dan bakat yang mereka miliki—dan tentunya kerja keras yang mereka lakukan hingga sekarang—mereka mungkin belum pernah mengalami kegagalan.


Tapi membiarkan mereka pergi begitu saja tanpa alasan jelas juga terasa kurang bijak. Mereka bisa saja menyimpan dendam karena ditolak tanpa alasan.


Aku memandang sang pemimpin dan berkata dengan nada yang dibuat-buat meyakinkan:


“Tapi... kalau harus memilih satu orang saja, ada satu yang sebenarnya sudah cukup pantas untuk bergabung ke First Step saat ini. Anak di ujung sana… siapa namanya?”


“!? Maksudmu… Terran!?”


Aku menunjuk pemuda yang sejak tadi tampak gugup. Pemimpin mereka langsung terkejut dan menyebut namanya.


Terlihat bahwa anak bernama Terran ini adalah satu-satunya anggota Kagayaki no Ya yang tidak aktif berbicara.


Dia bahkan nyaris tak mengeluarkan sepatah kata pun selama wawancara. Tapi dari sorot matanya yang tampak tidak percaya diri, aku justru merasa sangat relate.


Ya, kalau hanya dia sendiri, sepertinya tidak masalah kalau diterima di Klan.


Pemimpin mereka terdiam, bahkan si pemuda bertubuh besar yang tadi bersemangat soal Goblin King pun tampak kebingungan.


Tapi yang paling bingung adalah Terran sendiri. Dipilih justru saat yang lain ditolak, tentu membuatnya sangat terkejut.


Apa tadi aku salah ngomong? Tapi sudahlah, aku sudah ingin menyudahi ini dan lanjut makan camilan.


Dengan gaya hard-boiled, aku menyelesaikan sesi wawancara.


“Tapi, dia pun pasti takkan mau masuk sendirian ke First Step. Sebuah party itu, ibarat keluarga. Ketika kalian sudah tahu apa yang kurang dan berhasil memperolehnya, datanglah kembali kapan pun kalian mau.”


◇◇◇


Beberapa waktu kemudian, saat aku bahkan sudah lupa kalau pernah mewawancarai mereka, kelompok Kagayaki no Ya kembali menemuiku dengan membawa jawaban atas pertanyaan yang seharusnya tak memiliki jawaban.


Jawaban yang disampaikan oleh pemuda pemimpin mereka adalah: “ikatan antar rekan.” Rupanya, Terran tidak terlalu bisa menyesuaikan diri dengan partynya, dan pertanyaanku waktu itu menjadi pemicu bagi mereka untuk berdiskusi dan memperkuat hubungan satu sama lain.


Sebagai catatan tambahan, mereka yang cukup nekat untuk membawa jawaban atas pertanyaan asal-asalan dariku biasanya akan membawa hal-hal yang berkilau dan ambigu seperti “ikatan persahabatan” atau “kemauan baja.” Karena sejak awal itu pertanyaan tanpa jawaban pasti, maka kalaupun mereka bersikeras mencari jawabannya, hasilnya pasti semacam itu.


Melihat party muda itu bersinar jauh lebih terang dibanding saat wawancara sebelumnya, aku mengangguk-angguk sambil tersenyum. Lalu, sebagai ujian kedua, aku memerintahkan mereka untuk bermain—eh, maksudku, bertarung melawan Luke yang belakangan ini tampak bosan.

Kolom Buletin Asosiasi Penjelajah: “Keseharian Para Hunter Berlevel Tinggi”



“Sekarang buletin Asosiasi Penjelajah, ya... Banyak juga yang diminta kepadamu,”


ucap Eva dengan nada heran. Aku pun sependapat.


Asosiasi Penjelajah adalah organisasi yang mendukung para Treasure Hunter, tapi pada saat yang sama juga berperan sebagai jembatan antara para hunter dan orang-orang biasa. Buletin yang diterbitkan Asosiasi ini memiliki banyak pembaca dari kalangan umum, dan selama ini telah memenuhi berbagai permintaan dengan menyampaikan beragam informasi.


Selama ini aku sudah sering diwawancarai oleh berbagai majalah dan surat kabar yang ditujukan untuk para hunter, dan tampaknya kali ini giliranku lagi. Dan tentu saja, ini bersifat sukarela.


“Kalau yang minta langsung itu Gark-san, ya mau bagaimana lagi…”


“Ah... Pantas saja Anda terlihat antusias, ternyata karena itu...”


Padahal aku sama sekali tidak menunjukkan rasa antusiasme, tapi sepertinya itu tidak berlaku di mata Eva.


Seorang hunter berlevel tinggi memiliki tanggung jawab tersendiri. Aku bisa saja menolak, tapi aku lebih memilih menjaga hubungan baik dengan Gark-san.


Lagi pula, kalau dibandingkan dengan biasanya—di mana aku sering tiba-tiba dilemparkan misi berlevel tinggi—pekerjaan seperti ini sama sekali bukan masalah.


“Lagipula, target kali ini bukan aku, kan...”


Tugas yang diminta kepadaku hanyalah mengumpulkan informasi.


Subjeknya adalah Strange Grief, atau yang lebih kukenal sebagai teman masa kecilku.


Aku memang kurang begitu pandai dalam urusan wawancara, tapi karena posisiku sebagai Master Klan, aku sudah beberapa kali menerima wawancara. Tapi tidak begitu dengan Luke dan yang lainnya.


Mereka sama sekali tidak tertarik dengan wawancara. Mereka keras, tidak suka diatur siapa pun, dan tak ragu untuk menebas orang lain. Tidak heran jika para jurnalis majalah pun tak sanggup menghadapi mereka. Sepertinya itulah yang dilirik oleh Gark-san.


Memang, hunter berlevel tinggi adalah semacam ikon dari Asosiasi Penjelajah. Wajar kalau mereka mendapat banyak sorotan. Meski mereka biasanya menolak semua wawancara, mereka mungkin akan menerima jika yang datang adalah aku—teman masa kecil mereka.


Pekerjaan yang mudah. Bisa dianggap sebagai “membalas budi” hanya dengan hal sesederhana ini—mungkin aku sebaiknya jadi pewawancara saja.


“Topiknya tentang keseharian hunter berlevel tinggi, ya... Tapi keseharian Luke dan yang lainnya itu…”


“Kalau begitu, langsung saja kita selesaikan. Tangan sudah gatal ingin bekerja…”


Eva mengerutkan alis. Aku pun bangkit berdiri, bersiap menunaikan tugas.


◇◇◇


“Kerja keras, ya.”


“Iya benar-benar merepotkan. Cuma Gark-san saja yang bisa minta urusan remeh ke hunter level 8.”


“Jangan begitu. Aku juga tidak bisa minta tolong ke orang lain.”


Setelah menyelesaikan wawancara, aku duduk berhadapan dengan Kepala Cabang Gark-san di ruang tamu Asosiasi Penjelajah.


Biasanya kalau aku dipanggil ke Asosiasi, tujuannya adalah untuk minta maaf, jadi sudah lama aku tidak diperlakukan seperti tamu.


Sambil menyeruput teh yang disajikan, aku memandangi Gark-san yang sedang memeriksa laporan hasil wawancaraku.


Untuk beberapa saat, Gark-san membaca laporan itu sambil terus mengangguk-angguk. Namun, tak lama kemudian, keningnya berkerut.


“Oi, Krai. Apa ini, semacam lelucon?”


“Hah? …Aku tidak pernah main-main dalam menerima tugas.”


“Hmm………”



Gark-san mengerang pelan, lalu membacakan hasil wawancaraku dengan suara yang terdengar seperti menahan sesuatu.


“Kehidupan Luke, Senken: Latihan.”


Ya, memang begitu. Luke memang selalu latihan. Kapan pun, dia pasti sedang berlatih.


“Kehidupan Liz, Zetsuei: Latihan.”


Benar. Liz juga terus berlatih. Kadang dia melatih Tino juga, tapi menurut Liz itu juga bagian dari proses belajarnya.


Lalu, dengan suara pelan seperti kehabisan tenaga, Gark-san melanjutkan membacakan laporan itu.


“Kehidupan Lucia, Bansho Jizai: Penelitian dan latihan.”


“Kehidupan Sitri: Penelitian dan berdagang.”


“Kehidupan Ansem, Fudou Fuhen: Latihan dan pengobatan──”


Benar semuanya. Mereka memang keras dan disiplin—sangat stoic.


Mereka bisa saja menebas atau memukul orang semaunya dan hidup seenaknya, tapi sebagai seorang hunter, mereka sangatlah teladan.


Saat melakukan wawancara, aku sampai berpikir mungkin semangat peningkatan diri yang seharusnya aku miliki justru berpindah ke mereka.


Mendengarkan cerita mereka, aku jadi benar-benar paham betapa besar keinginan mereka untuk terus menjadi lebih kuat.


Dengan wajah cemberut, Gark-san akhirnya mengangkat kepala, menatap tajam ke arahku dan berkata:


“Yang aku maksud itu… bagaimana mereka menghabiskan hari libur. Hobi mereka, atau hal-hal yang bisa membuat masyarakat umum merasa lebih dekat dengan para hunter──”


Ya, aku paham maksudnya. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa.


“Gark-san, itu memang cara mereka menghabiskan hari libur.”


“…………”


Untuk pertama kalinya, Gark-san menjatuhkan bahunya dalam keputusasaan.


Pada akhirnya, informasi yang kukumpulkan dianggap tidak sesuai dengan konsep kolom tersebut, dan akhirnya dibatalkan.


Karena terlalu “kering” dan tidak ada sisi hiburan, aku kemudian diundang liburan oleh Gark-san sebagai bentuk permintaan maaf.


Namun, di sana aku malah terlibat dalam sebuah insiden besar lagi.


Tapi, itu adalah cerita lain.




























Strange Grief Ingin Berlatih!



“Uoooooohhhh! Latihan di pemandian air panasssss!”


Di pemandian umum besar yang baru selesai dibangun, Luke mengaum dengan semangat. Aku hanya bisa menghela napas panjang menghadapi ide liarnya yang seperti biasa melompat jauh dari nalar.


Bagi seorang hunter, latihan rutin adalah hal yang mutlak. Party Strange Grief, yang dipenuhi orang-orang berbakat, bukanlah pengecualian.


Bahkan, bisa dibilang tingkat sertifikasi seorang hunter sebanding dengan jumlah latihan yang dijalaninya. Teman-teman masa kecilku pun, tanpa terkecuali, semuanya adalah maniak latihan.


Kejayaan memang ada alasannya. Satu-satunya yang tidak nyambung dengan latihan hanyalah aku. Walau aku sudah tahu sejak sebelumnya, dari keinginan Liz dan yang lain untuk tetap latihan bahkan saat liburan, tampaknya bagi mereka latihan sudah menjadi bagian dari hidup.


Luke, seperti biasa, masih penuh energi. Dengan mata berbinar, ia mengayunkan pedang kayu buatan Lucia tanpa terlihat sedikit pun rasa enggan untuk berlatih.


Sempat terpikir untuk menghentikannya, tapi karena dia terlihat sangat menikmati, aku mengurungkan niat. Sebagai gantinya, aku menguap lebar dan bertanya:


“...Latihan macam apa yang kau lakukan?”


“Yaah tentu saja... Kalau latihan, ya pasti... air terjun!”


Luke memang suka sekali dengan air terjun, ya... Tapi dia sudah sangat sering latihan di bawah air terjun, apa itu masih ada gunanya? Aku sendiri belum pernah melatih diri di bawah air terjun, jadi tidak tahu. Tapi rasanya, untuk Luke yang bisa bertarung melawan phantom level 8, itu sudah tidak ada efeknya.


Melihatku yang berkedip bingung, Luke menyeringai liar penuh percaya diri dan berkata,


“Dengan menyatu bersama alam dan terkena guyuran air terjun, aku bisa membelah dunia!”


“Be-begitu ya. Senang untukmu...”


Meskipun seperti ini, dia tetap salah satu swordsman terkuat di ibu kota kekaisaran. Kecintaan bisa melampaui segalanya, rupanya.


Saat aku tak bisa berkata apa-apa, Luke tiba-tiba menyatakan,


“Hari ini... suhunya 100°C!”


“!? Seratus derajat?”


“Kecepatannya juga, jangan setengah-setengah! Naikkan sekencang-kencangnya! Sampai tanahnya bolong karena panas! Buat latih daya tahan tubuh!”


Itu... rasanya sudah bukan air terjun lagi? 100° itu sudah titik didih, kan?


Lucia yang mendengarkan dari tadi memegang keningnya dan berkata,


“Latihanku adalah menciptakan suhu itu dalam waktu lama.”


“Te-terima kasih atas kerja kerasmu...”


“Selama pemimpin santai berendam, disabunin, dan menguap, aku terus-terusan mengendalikan sihir dengan presisi tingkat tinggi loh, terus-menerus!”


“I-iya ya, benar juga... Hebat sekali, Grand Mage! Hidup Lucia, nomor satu di dunia!”


“Mouu!”


Magi memang pada dasarnya serbabisa, tapi ternyata memang ada alasan kenapa seseorang bisa disebut Grand Mage...


Lalu, Liz menepuk-nepuk bahuku dari samping.


“Krai-chan, Krai-chan. Aku dan Tii... mau latihan lari di atas air panas ya!”


“Eh!? A-a-aku juga!? B-baik... a-akan kuusahakan.”


“Karena ini di atas air mendidih, kau harus serius ya.”


“!?”


Tidak usah bersaing juga…


Tino tampak ketakutan pada Liz yang seenaknya sendiri. Latihan lari di atas air mendidih... entah apakah itu akan berguna suatu hari nanti, atau bahkan bagaimana caranya itu bisa dilakukan. Tapi kenapa mereka terlihat senang sekali?


Saat itu, Sitri mendekat dengan langkah halus dan wajah tersenyum cerah.


“Aku mau memperbaiki Onsen Golem.”


“Kenapa?”


“Soalnya, aku tidak kepikiran latihan khusus yang cocok buat di pemandian air panas. Jadi... untuk sementara, aku akan latihan tahan napas saja.”


Kenapa coba... Ya sudahlah. Tidak perlu sampai memaksakan diri buat latihan juga.


Ayolah, lebih santai sedikit menikmati pemandian air panasnya. Aku baru pertama kali dengar ada orang bilang mau latihan tahan napas.


“Ah, itu ide bagus! Aku juga tahan napas!”


“Sit, itu ide yang cemerlang! Ayo kita juga, Tii!”


“!?”


“Kilkil juga ikut tahan napas.”


“Kill kill...”


Entah bagian mana yang membuat mereka tersentuh. Aku hanya bisa merasa kasihan pada Tino. Bahkan Kilkil, yang biasanya selalu patuh pada Sitri, hari ini tampak agak lesu.


“Kalau Ansem... kau mau berlatih apa?”


Akhirnya aku bertanya pada Ansem, yang sejak tadi diam saja.


Berbeda dari kedua adik perempuannya, Ansem adalah pria pendiam. Bukan cuma pendiam, tapi juga punya aura tenang yang tidak terganggu meski dalam keheningan.


Julukannya, Fudou Fuhen benar-benar cocok dengannya, tapi karena aku teman masa kecilnya, aku tahu dia bukan orang yang menolak komunikasi.


“......Humu...”


Ansem mendesah. Walau ekspresinya tak berubah, aku bisa merasakan dia agak kebingungan.


Sitri langsung menyelamatkan situasi dengan berkata,


“Onii-chan sudah selesai semua jenis latihan yang bisa dilakukan di tempat seperti ini.”


“Kalau ada yang nekat menyerang dia, bisa-bisa pemandian yang baru selesai ini langsung hancur~”


“Ansem juga sudah bisa tahan tanpa bernapas lama-lama, kok.”


“......Humu.”


Orang paling bisa diandalkan ini ternyata yang paling mirip monster... Dunia ini memang aneh.


Tahan napas bukan masalah? Itu pertama kali kudengar...


Tapi... Ansem, dia kelihatan agak sedih. Apa dia juga sebenarnya ingin latihan?


Lucia mengangkat bahu dan berkata,


“Kalau begitu, bagaimana kalau kita buat latihannya semakin ekstrim, lalu saat ada yang tumbang, kita bantu dengan sihir penyembuh?”


“Itu dia!!”



Sudahlah... Aku menyerah. Tapi... kalau ada yang tumbang, yang paling mungkin adalah... Tino, kan?


“Humu!”


Ansem mengangguk penuh semangat. Tino menjerit kecil dan langsung bersembunyi di belakangku.






Semangat, Sitri-chan! ②

※Bagian (1) dimuat dalam catatan penutup volume 4.



“Fiuh... kali ini juga cukup merepotkan, ya...”


Aku berendam di pemandian air panas sambil menguap lebar. Karena Liz dan yang lainnya mulai perang bantal habis-habisan, aku jadi satu-satunya yang tersisa di pemandian besar yang baru saja dibangun ini.


Cahaya bulan menerangi pemandian yang kosong. Para Underman juga sudah kembali ke bawah tanah, dan meskipun belum tahu apa yang akan terjadi dengan kota Suls setelah ini, untuk sementara bisa dibilang semuanya sudah selesai.


“Yah, yang penting semuanya berjalan lancar...”


Banyak yang terjadi, tapi kalau akhirnya baik-baik saja, maka semua bisa dianggap baik. Meski mungkin itu hanya bentuk pelarian dari kenyataan.


Aku memang suka suasana ramai, tapi berendam santai dalam kelompok kecil seperti ini juga sangat kusukai. Saat sedang menikmati pemandian dengan santai, tiba-tiba terdengar suara dari belakang.


“Ryuu...”


!? Jangan-jangan, masih ada yang belum pulang? Dengan setengah sadar, aku menoleh ke belakang.


Dan di sanalah—Sitri, hanya mengenakan handuk, berdiri dalam keadaan telanjang.


Aku yang tak bisa langsung memproses apa yang kulihat hanya bisa terpaku, sementara Sitri berbicara dengan suara manja.


“Ryu-ryuu...”


Tentu saja, aku tak tahu dia sedang bilang apa. Aneh sekali sampai aku tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.


Sitri itu bukanlah seorang Underman, jadi seharusnya dia tidak mengeluarkan suara “ryuu-ryuu”. Artinya, jika dia bersuara seperti itu, maka sosok yang tampak seperti Sitri di depanku ini bukanlah Sitri, melainkan seorang Underman.


“Ryuu-ryuu.”


Underman yang menyerupai Shitori itu masuk ke dalam air dengan cipratan, lalu mendekat. Wajahnya tampak memerah, mungkin karena uap panas. Tapi dia terlihat sangat bahagia.


“Ryuu-ryuu-ryuu.”


Underman mirip Sitri itu memeluk lenganku dan menyandarkan kepala di pundakku. Aku kebingungan dan hanya bisa ikut bersuara, “ryuu...”


Karena dia cuma Underman, aku tidak terlalu terganggu meski dia telanjang. Tapi karena penampilannya sangat menyerupai Sitri, aku jadi tidak tahu harus bereaksi seperti apa.


Dadanya menekan erat ke tubuhku, kakinya melilit. Kulit yang menyentuhku terasa lembut dan hangat. Sitriman mendekatkan bibirnya dan berkata pelan,


“Ryuu-ryuu.”


Saat itu juga, topeng yang tergeletak di sampingku berbicara.


“Aku terkejut dengan caramu yang tak memilih cara! Astaga, memalukan sekali! Bahkan di zamanku, tidak ada yang seputus asa itu!”


“!?”


Senyuman Sitri langsung membeku. Pikiranku yang mulai mengambang karena terlalu lama berendam, akhirnya bisa merespons.


“Tidak, tidak mungkin Sitri melakukan hal yang tak tahu malu seperti ini!”


“Ryu────!!”


Sitriman menjerit seperti menangis, meraih topeng itu, lalu melemparkannya keluar dengan sekuat tenaga.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close