NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ore no linazuke ni Natta Jimiko, Ie de wa Kawaii Shika nai Volume 6 Chapter 5

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 5 

Tunanganku Mengucapkan Selamat Tinggal pada Dirinya yang Lama


Setelah pergi berdoa di kuil pertama tahun ini, aku dan Yuuka kembali ke rumah keluarganya. Namun, sepertinya ayah mertuaku masih sibuk dengan pekerjaan dan belum pulang.


"Ahaha. Kalau ayah belum pulang, rasanya seperti digantung, ya, Yuu nii-san?"


"Jangan berkata begitu, Isami. Kata-kata seperti ‘gantung’ terdengar menakutkan... bagaimana kalau malah berbalik menyerangmu nanti..."


"Ibu! Jangan ngomong begitu!? Kau pikir Yuu-kun itu apa sih, aduh!!"


Di tengah suasana itu—aku duduk makan bersama Yuuka, Isami, dan ibu mertuaku di meja makan.


"E-ehm... bagaimana ya... Menurut ibu, Yuuichi-san adalah orang yang luar biasa. Sopan santun, ramah pada Yuuka maupun Isami... Bahkan bisa dibilang, terlalu baik untuk Yuuka."


"Fufufufu... iya kan? Yuu-kun milikku itu memang luar biasa, kan?"


"Yuuka, ini bukan saatnya untuk pamer wajah sombong... Lihat wajah Yuu nii-san deh? Saking bingungnya, wajahnya sampai kaku."


"Terlalu sempurna... Sampai ibu sempat berpikir, jangan-jangan dia punya sisi gelap tersembunyi...!!"


"Kenapa sih!? Ibu, imajinasinya kebablasan banget! Yuu-kun itu nggak punya sisi gelap! Dia selalu jadi seorang pria sejati yang... eheh. Selalu menjaga dan menyayangiku, tahu!?"

"...Iya, kau benar. Maaf ya, ibu terlalu banyak berpikir. Syukurlah... berarti tidak ada ‘Yuuichi-san yang tergoda melihat Yuuka berpakaian ala Santa saat Natal’, kan?"


"...Tidak ada, kok?—"


"ADA kan!? Dari reaksimu itu jelas sekali kan, Yuuka!?"


"Eh... em, kalian berdua. Kalian bikin Yuu nii-san repot sendiri, jadi tolong diam dulu sebentar, ya?"


...Apa-apaan sih percakapan ini.


Dengan ibu mertuaku yang suka ngawur, ditambah Yuuka yang polos berlebihan, Isami jadi terlihat seperti orang paling normal di ruangan ini... padahal Isami sendiri juga jauh dari kata normal.


Keluarga Watanue ini sungguh luar biasa. Tapi ya... keluarga Sakata juga sama anehnya, jadi kami imbang.


Hari di rumah Yuuka berlalu dengan hiruk pikuk, dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.


"Ayah barusan mengabari... sepertinya beliau akan lebih lama lagi, jadi pertemuan dengan Yuuichi-san diundur sampai besok. Maafkan kami ya, Yuuichi-san. Rasanya jadi merepotkan sejak awal tahun."


"Tidak apa-apa, itu urusan pekerjaan. Terima kasih sudah mengabari, Ibu."


Aku menjawab dengan tulus. 


Seperti kata Isami, rasanya memang digantung, tapi mau bagaimana lagi—ini pekerjaan, bukan salah siapa pun.


"Kalau begitu, waktunya tidur ya. Yuu nii-san mau tidur di mana?"


Isami yang sudah berganti kacamata dan memakai piyama bertanya pada Yuuka dan ibunya.


Berbeda sekali dengan gaya tomboy siang tadi, sekarang ia terlihat benar-benar seperti gadis biasa. Bahkan, dalam suasana rumah begini, Isami makin mirip Yuuka—entah kenapa itu membuatku agak gugup. Ditambah lagi, tubuh Isami... terutama bagian dadanya, sama sekali tidak bisa disembunyikan. Aku sungguh tidak mengerti bagaimana ia bisa menekannya saat bergaya tomboy di luar.


"...Eii!"


Tiba-tiba, Yuuka langsung meraih lenganku dan memeluknya erat.


"Yuu-kun tidur di kamarku. Kita tidur bareng. Titik. Tidak ada bantahan!"


"Tunggu, tunggu, Yuuka!? Ingat dong, ini rumah keluargamu! Kalau kau mengucapkan hal seperti itu di depan ibumu, aku—"


"Hiiii... tidur bareng itu maksudnya gimana sih...?"


Lihat kan!? Ibu mertuaku yang gampang khawatir langsung panik besar!! Yuuka, tolong cepat jelaskan biar tidak salah paham... tapi—


"Yuuka? Kenapa kau masih menempel di lenganku sambil melirikku dengan tatapan sinis begitu?"


"Soalnya tadi Yuu-kun terus melirik dada Isami. Kau kelihatan banget, tahu!"


"...Yuuka, coba kita bicarakan dengan tenang dulu? Kalau dibahas baik-baik pasti—"

"Nggak mau! Pokoknya Yuu-kun tidur denganku. Kalau tidak... aku nggak tahu Isami bakal melakukan apa!"


"Eh!? Aku!? Itu tuduhan sepihak banget, Yuuka! Malah aku yang jadi korban, karena Yuu nii-san tadi melihatku dengan tatapan mesum!!"


"...Begitu ya."


Melihat pertengkaran sengit antar saudara itu, ibu mertua hanya bergumam dengan nada yang entah kenapa terdengar paling tenang sejak tadi.


"Jadi maksudnya, Yuuichi-san bukan hanya mendekati Yuuka, tapi juga Isami... begitu, kan?"


"Sama sekali bukan begitu!? Kenapa bisa disimpulkan seperti itu!?"


──Setelah itu, untuk beberapa waktu aku terpaksa berjuang sendirian demi menenangkan mereka bertiga.



"Haa... rasanya capek sekali, seperti mau mati..."


Begitu keributan akhirnya mereda, aku pindah ke kamar Yuuka dan menghela napas panjang.


"...Yuu-kun. Maaf ya?"


Nada suara Yuuka melembut, ia berkata penuh penyesalan.


Sambil membawa futon, ia menutup sebagian mulutnya lalu menatapku dari bawah dengan mata yang memohon.


"...Kau kira dengan memasang wajah manis begitu, aku langsung mau memaafkanmu?"


"...Unyu."


Aku sengaja menggoda dengan kata-kata nakal. Yuuka langsung menyelubungi kepalanya dengan futon, lalu jongkok di tempat.


Hasilnya, hanya bagian tengah futon yang menggembung, seperti slime yang sedang menggelembung.

"Yuuka-chan terlalu menyesal sampai-sampai meleleh. Deron~"


"Jadi ini ceritanya meleleh? Tapi meskipun sudah meleleh, kau masih bisa bicara, kan, Yuuka?"


"Ini adalah roh Yuuka-chan semasa hidup yang berbicara ke dalam hati Yuu-kun. Karena terlalu menyesal, Yuuka-chan pun meleleh... Yuu-kun, maaf ya? Tolong maafkan aku. Aku ingin tidur bareng~ Deron~"


Cara manja seperti itu benar-benar curang. Kalau dimanja seperti anak kecil begini, siapa pun pasti luluh. Padahal dari awal aku tidak benar-benar marah.


Seperti yang kuduga, Yuuka... setelah sekian lama hidup bertunangan, dia sudah jadi spesialis dalam hal manja-manjaan.


"Baiklah. Aku juga minta maaf, sudah membuatmu jadi panik."


"...Yatta! Aku juga bilang, nggak apa-apa! Deden~ Yuuka-chan, bangkit kembali!"


Dengan wajah berbinar, Yuuka menyingkap futon lalu melompat sekuat tenaga ke dadaku.


"...Fufufu. Yuu-kun, baunya enak~ Aku suka~"


"Aduh... kalau begini, aku malah jadi mengantuk, tahu, Yuuka? Ayo, kita pasang futonnya dulu."


Setelah itu, aku dan Yuuka bersama-sama menata futon. Yuuka bersikeras ingin futon kami disatukan agar bisa tidur berdampingan. Begitu semua siap, aku iseng menatap sekeliling kamar Yuuka. Kamar bergaya tatami itu nyaris kosong tanpa barang. Mungkin sebagian besar barangnya sudah ia bawa ke rumahku. Satu-satunya yang tersisa hanyalah rak tiga tingkat di pojok ruangan.

Di sana masih ada majalah shoujo manga beberapa tahun lalu, beberapa CD, dan album sekolah.


"Hei, Yuu-kun! Jangan menatap kamar orang dengan serius begitu!"


Tiba-tiba Yuuka menutup mataku dari belakang.


"Ya ampun! Memang sih aku sudah membawa sebagian besar barang ke rumahmu, jadi tidak kelihatan berantakan... tapi tetap saja, ini kamar gadis, tahu!"


"Jadi gadis itu menutup mata orang lain meskipun sebenarnya tidak ada yang memalukan untuk dilihat?"


"Meski tidak ada apa-apa, tetap saja rasanya memalukan kalau dilihat. Itu namanya hati seorang gadis, dasar... Yuu-kun, Baka."


Yuuka menggerutu seperti itu sambil merapatkan tubuhnya ke punggungku.


"...Yuu-kun, hangat sekali. Fufufu... enak rasanya, Yuu-kun..."


Hei, jangan bergumam sambil masih menutup mataku begitu! Lagipula, kalau kau menempel terlalu dekat begini... sesuatu yang lembut jadi mengenai punggungku. Awal tahun begini, jangan bikin aku gelisah begitu, dong.


"...Hei, Yuu-kun. Sebelum tidur, aku ingin menelpon satu orang dulu... boleh, kan?"


Ia berbisik pelan, lalu melepaskan tangannya dari mataku dan menatapku dengan senyum kecil.


...Kenapa dia perlu minta izin begitu? Biasanya dia juga sering telepon dengan Nihara-san atau teman-teman sesama pengisi suara.

"Tentu boleh... tapi siapa yang mau kau telepon? Nihara-san? Atau urusan seiyuu?"


Aku merasa jawabannya pasti bukan itu, tapi tetap bertanya. Yuuka menatapku dalam-dalam, lalu tersenyum lembut.


"Terima kasih, Yuu-kun. Orang yang ingin aku telepon... adalah teman semasa SMP."


"...Hah?"


Karena terlalu di luar dugaan, aku sampai mengeluarkan suara aneh. Soalnya, teman SMP bagi Yuuka... bukanlah orang yang bisa diajak bicara dengan gembira.


──Beberapa saat sebelum festival budaya, Yuuka pernah menceritakan padaku tentang masa lalunya. Sampai kelas dua SMP, Yuuka adalah gadis ceria yang suka bercanda dengan obrolan otaku. Ia menjalani hari-hari biasa bersama beberapa teman dekatnya. Namun, suatu hari, ada kelompok gadis lain yang tiba-tiba mulai mengganggunya hanya karena alasan sepele: "dia menyebalkan."


Pada akhirnya, teman dekatnya pun menjauh agar tidak ikut terseret. Kehidupan seperti itu membuat Yuuka lelah, hingga akhirnya, di musim dingin kelas dua, benang kesabarannya putus. Sejak itu ia memilih untuk mengurung diri di rumah untuk beberapa waktu.


"...Kau yakin sanggup, Yuuka?"


Karena aku tahu masa lalunya, aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Namun, Yuuka tetap menampilkan senyuman lembut seperti biasanya.


"Ya. Kalau aku yang sekarang, sudah... tidak apa-apa."


Lalu Yuuka menekan tombol panggil. Orang yang ia hubungi adalah seorang gadis yang dulu pernah menjadi sahabat terbaiknya.


『Halo...? Yuuka-chan?』


Dalam keheningan ruangan, suara samar dari seberang telepon terdengar.


"Halo. Lama tidak berjumpa, Sakura-chan."


『…Iya. Lama tidak berjumpa… bagaimana kabarmu? Kudengar kau bersekolah di SMA di Kanto…』


"Ya, benar! Aku meninggalkan kampung halaman, merantau ke Tokyo, dan sekarang aku sangat baik-baik saja!"


Ketika Yuuka menjawab dengan suara riang penuh semangat, gadis di seberang sana menjawab dengan suara yang bergetar.


『…Begitu ya. Jadi kau baik-baik saja, Yuuka-chan…』


"Iya! Aku sudah punya teman-teman dekat, dan sekolah juga sangat menyenangkan. Oh ya, sebenarnya… aku juga punya pacar sekarang! Hehe… tidak terduga kan, Sakura-chan? Gadis seperti aku bisa punya pacar."


『…Itu bukan hal yang aneh. Karena Yuuka-chan sejak dulu memang sangat baik hati, dan…』


Kalimat itu terputus di tengah. Beberapa saat kemudian, suara tangisan terdengar jelas dari seberang telepon.


『Maafkan aku… Yuuka-chan, maafkan aku…! Aku ingin meminta maaf sejak dulu… Saat kau sedang menderita, aku… aku lari karena takut ikut di-bully…!!』

Dengan napas terengah-engah, ia terus mengucapkan kata-katanya.


『…Sekarang aku minta maaf pun, itu pengecut ya. Aku tidak pantas dimaafkan. Aku sudah mengkhianatimu, Yuuka-chan…』


"Ya. Aku sudah menduga, kalau Sakura-chan pasti menyalahkan dirimu sendiri. Karena itu… aku benar-benar ingin menelponmu."


Kali ini suara Yuuka pun bergetar. Namun ia tetap berusaha menyusun kata-kata, dengan sungguh-sungguh, untuk sahabatnya di seberang telepon.


"Selama ini aku juga tidak punya keberanian… untuk menghubungimu. Maaf, aku terlambat."


『…Kenapa Yuuka-chan yang minta maaf? Kau sama sekali tidak salah… Yang salah itu para pelaku bullying, dan kami… kami yang lari darimu…!!』


"Aku, ya… sampai sekarang pun masih menyukai Sakura-chan. Aku masih sangat menyayangi masa-masa ketika kita semua bisa tertawa bersama… aku masih menyayangi semuanya."


Tetes demi tetes air mata jatuh di kaki Yuuka. Namun, dengan senyum seindah bunga yang merekah, ia berkata:


"Aku baik-baik saja. Aku benar-benar sangat bahagia sekarang… Jadi, tolong, jangan menyalahkan dirimu sendiri lagi. Aku sungguh berharap Sakura-chan dan yang lain bisa menjalani hari-hari yang bahagia. Jadi… ya? Mari kita tersenyum bersama lagi."



"…Terima kasih, Yuu-kun. Sudah menunggu sampai aku selesai menelpon."


Setelah mematikan lampu dan menyelinap ke dalam futon, Yuuka menggaruk pipinya dengan canggung. Melihat Yuuka yang tetap sama seperti biasanya itu, entah kenapa aku merasa semakin menyayanginya.


"Eh!?"


"Kerja bagus, Yuuka."


Saat kusadari, aku sudah memeluk Yuuka erat-erat. Yuuka sempat panik, tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah sambil berkata, "E-ehhh, umm…"


Namun akhirnya, ia pun memelukku kembali dengan erat.


"…Yuu-kun. Malam ini, bolehkah aku tidur sambil dipeluk seperti ini?"


"Ya, boleh. Yuuka, kau sudah berusaha keras hari ini."


Ketika kuusap kepalanya, Yuuka tertawa kecil, seolah merasa geli. Lalu ia menyembunyikan wajahnya di dadaku.


"…Waktu festival budaya, aku sempat berpikir begini. Kenangan-kenangan indah yang seharusnya bisa kubuat saat SMP, biarlah tetap tinggal di dalam kelas. Mulai sekarang, aku hanya ingin menikmati masa kini sebaik mungkin."


"Ya."


"Tapi, ya… study tour, Instore live, Natal, juga hari-hari biasa yang tidak istimewa. Semua terasa begitu menyenangkan, membuatku merasa sangat bahagia… hingga muncul keinginan untuk menyampaikan salam perpisahan dengan baik. Perasaan itu muncul begitu saja."


"Kepada teman-teman SMP-mu?"

"Iya. Memang benar banyak hal yang menyakitkan, tapi kenangan menyenangkan saat tertawa bersama Sakura-chan juga bukanlah kebohongan. Jadi aku ingin berkata: aku baik-baik saja, jangan khawatir… selamat tinggal. Aku ingin mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Mungkin ini hanya egois dari pihakku."


Aku tidak bisa melihat ekspresi Yuuka yang sedang menundukkan wajah. Namun aku bisa merasakan, mungkin saat ini ia hampir menangis. Karena itu, aku terus mengusap kepalanya dengan lembut.


"…Mm. Aku sayang sekali padamu, Yuu-kun…"


Mengucapkan selamat tinggal pada masa lalunya. Mendoakan agar sahabat lamanya bisa tetap tersenyum bahagia. Sikap Yuuka itu—tanpa berlebihan, sungguh-sungguh—tidak lain adalah sosok seorang malaikat. Karena itu, aku hanya ingin Yuuka beristirahat dalam pelukanku malam ini.


──Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku sungguh merasa begitu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close