Chapter 141 – Suatu Hari antara Katsuya dan Michitaka
— Garis waktu α(alpha) ・ 13 tahun yang lalu ・ Sudut pandang
Katsuya —
Setelah ikut dalam upacara pemakaman Rika-chan, aku
janjian bertemu dengan sahabatku.
Di depan stasiun, Michitaka muncul dengan wajah
seperti orang mati. Tidak heran jika dia begitu jatuh. Dia baru saja kehilangan
ibu angkatnya, dan kemudian kehilangan juga kekasih yang selalu mendukungnya.
Ia menyaksikan Rika-chan terus melemah,
mendukungnya, dan akhirnya berada di sisinya sampai napas terakhir.
Mana mungkin dia tidak terluka? Mana mungkin dia
tidak hancur oleh rasa tak berdayanya?
Namun, meski begitu, Michitaka tetap memedulikanku
dan memaksakan diri tersenyum dengan mata kosong.
Kami masuk ke izakaya terdekat. Kebetulan ada ruang
pribadi, jadi kami duduk di sana.
Kami memesan bir dan camilan tanpa banyak bicara.
“Terima kasih ya, Katsuya. Kau pasti khawatir kan? Tapi, aku baik-baik saja. Rika sudah lama menderita… dan di saat
terakhirnya, dia tersenyum samar, terlihat begitu damai. Melihat itu, aku
merasa sedikit lega.”
“Soal Kaede-san juga… akan bohong kalau aku
bilang aku tak terpukul.”
“Tapi, aku masih punya Misato. Aku tak bisa
terus-terusan terpuruk. Dia masih kuliah, dan aku harus berusaha mencari uang
untuk biayanya. Makanya, hari ini mari minum banyak. Temani aku.”
Sahabatku yang terus berkata seolah membela diri itu
terlihat menyedihkan. Kenapa sih? Kau itu hebat! Dalam situasi yang benar-benar
putus asa, kau masih memikirkan aku dan Misato-chan, dan tetap bertindak. Itu
luar biasa.
Tapi…
Kalau begitu…
Kau bersandar pada siapa? Dua perempuan yang selalu
menjadi penopang hidupmu sudah tiada.
Jika kau bahkan tidak bisa menangis, apa yang akan
terjadi padamu?
Jika kau terus bertahan dengan wajah seperti ingin
mati itu, bagaimana dengan hatimu?
“Katsu… ya?”
Saat itu, pelayan yang datang membawa bir
memandangku dengan ekspresi terkejut. Lalu aku sadar… suara hatiku ternyata
meluncur keluar dari mulut.
Pelayan itu buru-buru meletakkan bir dan berkata,
“Mohon maaf,” lalu pergi.
Kalau sudah begini… aku akan bilang semuanya. Aku
pun memberanikan diri melanjutkan.
“Michitaka!! Setidaknya di
depanku kau tak perlu menahan diri! Kalau kau terus begitu, kau benar-benar
akan hancur!”
Mendengar itu, seolah tak mampu lagi menahan
perasaannya, air mata mengalir dari mata Michitaka.
***
— Garis waktu α ・ Masa kini —
Tanpa sadar, aku tiba di izakaya yang dulu kutemui
bersama Michitaka di depan stasiun hari itu.
Bedanya… kali ini aku sendirian.
“Kenapa kau tidak ada di sebelahku, dasar bodoh…”
Aku menenggak wiski dan berteriak dalam hati.
Chapter 142 – Keberanian
— Sudut pandang Rika —
Hari ini luar biasa. Pertama kalinya aku naik
limusin, lalu diajari cara membuat cerita oleh pengembang gim profesional.
“Begitu ya. Dalam kasus seperti itu, berarti
struktur cerita belum tersusun dengan baik. Misalnya, selain mengikuti gerakan
para tokoh utama, jika kamu membuat beberapa alur yang bergerak secara paralel,
maka poros cerita akan bertambah dan keseluruhan struktur menjadi lebih kaya.”
“Karena gim kalian memiliki unsur suspens yang kuat,
kalian harus memikirkan apa yang dilakukan pelaku pada saat itu, apa tujuannya.
Dengan begitu, pergerakan pelaku bisa menjadi foreshadowing yang kemudian
menciptakan katarsis besar di akhir cerita.”
Aku menuliskan banyak sekali saran yang kudapat hari
ini di buku catatanku. Dengan ini, sepertinya penyelesaian ceritanya akan
berjalan lancar.
Memang, para profesional yang berada di garis
terdepan itu luar biasa. Aku merasakan bahwa kemampuan diriku saat ini masih
jauh dari cukup.
“Kamu harus banyak mengalami dan belajar sejak
sekarang.”
Aku mengingat saran terakhir yang diberikan.
“Kamu masih SMA. Kamu bisa berkembang ke arah apa
pun. Karena itu, cobalah banyak hal—entah itu cinta, membaca, belajar,
olahraga, atau kegiatan klub. Sekarang aku sudah melewati usia 30, aku sadar
bahwa pengalaman yang dulu terasa sia-sia justru bisa berguna di saat tak
terduga. Jadi, aktiflah menyerap hal-hal baru.”
Itu sangat menyenangkan.
Hal yang ingin kulakukan… saat ini, tetap saja, aku
ingin berada di dekat senpai meskipun hanya sedikit.
Aku ingin pergi ke banyak tempat bersamanya, melihat
banyak hal bersama, dan berbagi perasaan. Kami memang sudah menjadi sepasang
kekasih, tapi aku tetap ingin menyampaikan perasaanku dengan benar kepadanya.
Karena itu…
“Ini kan cuma mengikuti nasihat, jadi tidak apa-apa,
kan?”
Aku mencoba berdalih. Padahal tidak ada siapa pun di
sini, jadi aku tak perlu mengucapkannya keras-keras… tapi aku memaksakan diri
berkata begitu demi menyemangati diriku sendiri.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku
meneleponnya.
Meskipun kami sudah jadi kekasih, aku tetap gugup.
Tapi tembok itu besar… untuk melewatinya, agar hubungan ini menjadi sesuatu
yang wajar bagiku, aku perlu keberanian.
Selama ini aku selalu menghindar. Aku pengecut.
Karena itu, aku sempat patah hati saat senpai punya kekasih.
Selalu, dialah yang mengusulkan sesuatu, dia yang
membimbing, mendengarkan keinginanku, dan merancang rencana kencan… aku
bahagia, tapi… kadang aku khawatir dia tidak bisa melakukan hal yang dia sukai
karena selalu mengutamakan diriku.
Karena itu, sejak dulu aku mencari tahu beberapa
hal. Aku hanya belum berani melangkah terakhir.
Tapi kalau tidak begitu, aku tidak akan
berkembang. Anggota klub kami semuanya berbakat, tapi di antara kami, kekasihku
berdiri sangat jauh di depan. Untuk sedikit saja mendekatinya, aku perlu punya
keberanian.
“Halo. Ada apa, Rika?”
Suaranya yang lembut seperti biasa membungkusku
dengan rasa aman.
“Senpai. Maaf mendadak… akhir pekan ini, apakah kamu
ada waktu?”
“Hm? Oh, tidak ada rencana khusus.”
“Kalau begitu… maukah kamu berkencan denganku!? Mari kita
berkencan lebih seperti pasangan pada umumnya!”
Meskipun aku tidak bisa melihatnya, aku tahu ia
tersenyum dari nada suaranya saat ia menjawab ceria, “Tentu. Ayo berkencan.”
Tanpa berkata apa-apa, aku melompat kegirangan, lalu
menguatkan tekad. Aku tidak akan lari lagi. Aku akan menyampaikan perasaanku
padanya dengan benar.
Chapter 143 – Obrolan Cewek?
— Sudut pandang Ketua Klub —
Kunjungan hari itu benar-benar menyenangkan. Seperti yang kuduga, dunia
kerja pembuatan gim itu luar biasa. Mungkin aku pun bisa menapaki jalan seperti
itu. Awalnya, kupikir masa depanku adalah mengambil jurusan informatika di
universitas lalu bekerja di perusahaan IT, tapi sekarang, aku mulai tertarik
pada arah yang berbeda.
Karena aku tidak bisa membuat cerita atau ilustrasi, bidang itu awalnya
tidak masuk dalam pilihanku. Namun, setelah benar-benar mencoba membuat gim,
aku merasa jadi lebih dekat dengan bidang tersebut ― toh tidak semua harus
kulakukan sendiri.
Aku jadi lebih bersemangat belajar. Memang,
rasanya berbeda setelah punya gambaran konkret tentang masa depan. Tugas
sekolah langsung selesai dengan cepat. Guru bahkan mengatakan bahwa aku bisa
menargetkan rekomendasi khusus untuk perguruan tinggi. Kalau bisa menentukan
universitas lebih cepat, mungkin aku bisa membuat lebih banyak gim bersama
Yaguchi dan yang lainnya.
“Eh? Ada telepon dari Rika-chan.”
Aku tak sadar karena sedang belajar. Aku menghubungi kembali panggilan yang masuk 15 menit lalu.
“Oh, Ketua! Maaf sudah membuatmu menelepon balik.
Kamu tidak sedang sibuk, kan?”
Nada suara Rika terdengar penuh semangat.
“Tidak apa-apa. Aku sedang mengerjakan tugas, baru
saja selesai. Maaf ya tidak sadar ada telepon.”
“Tidak, aku yang harus minta maaf karena mengganggu
saat kamu sedang belajar. Sebenarnya aku mau konsultasi.”
“Konsultasi? Tentu. Bilang saja.”
Aku sedikit senang. Mungkin karena posisiku sebagai
ketua, rasanya menyenangkan ketika junior bergantung padaku. Meski aku kurang
pandai berkomunikasi… semoga aku bisa membantu.
“Sebenarnya, aku mulai berpacaran dengan
Yaguchi-senpai… sejak festival budaya. Maaf karena tidak bilang dari awal.”
Mendengar pengakuan yang cukup mengejutkan itu, aku
menjawab lebih cepat dari yang pernah kulakukan sebelumnya.
“Oh, itu tidak apa-apa. Aku sudah tahu.”
Tidak mungkin aku tidak menyadarinya. Justru aku
tidak percaya fakta bahwa mereka baru mulai berpacaran sejak festival budaya.
Serius? Kalian belum pacaran waktu itu!? Bohong, kan!?
Sadar hampir blak-blakan, aku buru-buru menutup
mulut.
“Sepertinya memang ketahuan, ya…”
“Ya… sudah jelas.”
Jujur, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sama
sekali tidak tertarik pada cinta. Jadi, aku juga merasa iri melihat hubungan
mereka dari jauh. Dalam hal romansa, keduanya hanya melihat satu sama lain.
Tidak ada orang lain. Hubungan mereka begitu solid.
“Tapi, apa yang kamu khawatirkan? Bukankah baru
mulai pacaran dan ini masa paling menyenangkan?”
Aku menanyakan itu karena sungguh penasaran.
“Aku ini penakut. Aku ingin menyampaikan perasaanku dengan benar pada
senpai, tapi aku tidak bisa… bahkan waktu ingin mengaku pun, sebenarnya aku
ingin melakukannya sendiri, tapi akhirnya aku tidak bisa. Tapi aku ingin
berubah. Jadi, saat kencan nanti… aku ingin berusaha.”
Suara junior perempuan itu bergetar sedikit. Dia sangat
mencintainya. Aku iri. Apakah suatu hari aku juga akan bertemu seseorang yang
bisa kucintai sedalam itu? Apa arti menyukai seseorang dengan tulus…?
Pertanyaan itu selalu aku pikirkan, tapi saat ini, rasanya aku sedikit mulai
mengerti.
“Hihi…”
Tanpa sadar aku tertawa.
“Jangan diketawainnn…”
Ia terdengar seperti menggantungkan diri padaku,
suaranya melemah.
“Soalnya kamu terlalu khawatir.”
Aku mendadak merasa sayang pada gadis ini.
“Eh!?”
Meski sudah sejauh ini, rupanya dia tetap belum
paham. Aku tersenyum dan berkata:
“Tidak mungkin Yaguchi-kun menolak kata-katamu.
Kalau pun kamu tidak bisa mengungkapkannya dengan baik, aku bisa membayangkan
dia akan sangat senang sampai menangis. Jadi, tidak apa-apa. Meski kata-katanya
belum sempurna, jika kamu mengungkapkan apa yang muncul dari hatimu… aku yakin
perasaanmu akan tersampaikan.”
Dari seberang telepon, terdengar suaranya yang kini
lebih cerah, seolah sedikit keraguannya menghilang.
“Terima kasih banyak.”
Chapter 144 — Keseharian Kakak yang Diandalkan Sang
Adik
“Aku pulang. Oh, ini bau kari ya. Asik!”
Misato baru pulang. Karena hari ini panas, aku
memutuskan membuat kari setelah sekian lama.
“Oh, ini kari sosis dengan sayur musim panas.”
Kari sayur musim panas yang berisi banyak sayuran
memang cocok untuk mencegah kelelahan saat musim panas. Tentu saja, aku juga
memperhatikan kadar garamnya.
Dan, sedikit memberikan suasana seperti kemping.
Ngomong-ngomong, rencananya kami akan pergi ke villa
milik ketua klub saat latihan musim panas nanti, jadi kupikir akan menyenangkan
kalau di sana bisa makan kari atau barbeque di malam hari. Karena villanya
terletak di daerah pegunungan yang sejuk, mungkin bisa terasa seperti suasana
berkemah. Rasanya seperti masa-masa remaja yang menyenangkan.
“Memang, kari buatan kakak itu enak banget, ya.”
Misato, tanpa melepas seragamnya, berdiri di
belakangku sambil dengan senang melihat kari yang sedang direbus.
“Latihan klubnya lancar?”
Karena ia sebentar lagi akan pensiun dari klub, ia
sedang giat berlatih. Aku memasak kari juga sebagai bentuk dukungan untuknya.
“Bumbu hari ini?”
“Oh, yang manis, kesukaan Misato.”
Aku sebenarnya lebih suka yang pedas, tapi Misato
lebih suka kari manis untuk di rumah.
Karena hari ini aku memasaknya untuk Misato yang
sudah bekerja keras di klub, jadi kupilih yang sesuai seleranya.
“Yay!”
Jujur saja, aku lebih memanjakan Misato sekarang
dibandingkan di kehidupan sebelumnya.
Karena aku tahu betapa ia sangat menyayangiku di
dunia sana, dan juga betapa ia menyayangi Airi. Meski Misato di sini mungkin
bukan Misato yang dulu, tetap saja, keberadaan adik membuatku ingin menjaganya
lebih baik lagi.
Yah, hubungan kami memang sudah baik sejak dulu,
jadi rasanya seperti kami menjadi makin dekat.
“Hey, kak?”
“Hm?”
Saat aku sedang merebus kari, Misato yang baru
selesai berganti baju kini berkata dengan nada sedikit manja, seolah agak sulit
mengutarakannya.
“Temanku bilang ingin main ke rumah….”
Ia tampak sedikit malu-malu, sampai membuatku
tertawa.
“Jarang banget. Biasanya kamu main di luar.”
“Soalnya… aku bilang ke teman-temanku kalau
kakak selalu masak, dan itu enak banget. Terus mereka bilang ingin mencobanya…
karena aku udah terlanjur pamer, jadinya susah nolaknya.”
Jadi, itu yang membuatnya terlihat begitu kikuk.
Masih seperti anak-anak, ya.
Eh, tapi rasanya tak buruk juga kalau adik
membanggakan kakaknya pada teman-temannya.
“Minggu ini hari Sabtu aku gak bisa, tapi Minggu
atau minggu depan boleh.”
Setelah aku bilang begitu, wajah Misato langsung
bersinar, lalu dia berkata bersemangat, “Beneran!! Nanti aku tanya
ke temanku, ya. Kakak mau masak apa??”
Hmm, makanan apa ya… Sesuatu yang bisa memuaskan
anak SMP yang sedang dalam masa pertumbuhan, tapi juga disukai anak perempuan,
dan tampilannya menarik.
“Bagaimana kalau pesta sushi gulung?”
“Ehhhhh!! Keren banget!”
Melihat Misato begitu senang, aku jadi memikirkan
cara agar nanti bisa membuatnya makin bahagia.
Adikku mengandalkanku, lalu akhir pekan nanti aku
juga ada rencana berkencan dengan Rika.
Mungkin, kebahagiaan itu memang seperti ini. Aku
mulai merasakan kembali kebahagiaan yang kupikir tak mungkin kuraih lagi
sedikit demi sedikit.
Yang membuatku sedih hanyalah… aku tak bisa bertemu
Airi.
Chapter 145 — Cemburu?
“Ma-maaf….”
Sejak bereinkarnasi ke kehidupan ini, aku sedang menghadapi situasi
paling berbahaya.
Mungkin ini akhir hidupku. Pikiran semacam wasiat terakhir yang tidak
pantas terlintas di benakku…
Tekanan luar biasa yang bahkan melebihi insiden
kekerasan pria itu maupun aura Sugawara-san membuatku hanya bisa menangis
sambil terus meminta maaf.
Kepada smartphone.
“Hooo… Jadi demi menunjukkan sisi kerenmu pada
Misato-chan, kamu mengundang gadis-gadis manis yang lebih muda untuk pesta
sushi gulung, tanpa bilang apa pun pada pacarmu ini?”
Aku sedang dimarahi karena menyetujui permintaan
Misato tentang teman-temannya.
Ya, setelahnya aku sadar bahwa mungkin ini bisa jadi
masalah, jadi aku menghubungi Rika untuk berjaga-jaga… dan berakhir dalam
situasi seperti ini.
Yah, aku tahu seharusnya aku mengabari lebih dulu…
Hening berlangsung lama, sampai-sampai aku
khawatir dan berkata, “U-umm… Rika-san?”
Lalu dari ujung telepon terdengar suara tawa.
“Maaf ya, bercanda. Soalnya, karena senpai
terlihat sangat serius saat LINE tadi, aku jadi terbawa.”
Nada bicaranya kembali menjadi Rika yang lembut
seperti biasa.
“Hah?”
“Meskipun aku pacarmu, mana mungkin aku cemburu
hanya karena teman-teman adikmu datang ke rumah. Aku juga mengerti perasaan
Misato-chan… Lagipula, aku percaya kamu orang yang jauh dari kata selingkuh.”
Mendengarnya, aku menghela napas lega.
“S-syukurlah…”
“Maaf ya sudah menakutkan. Dan sebenarnya… aku sudah
dengar dari Misato-chan sebelumnya. Dia bahkan mengajakku untuk ikut datang…”
Serius… Jangan nakut-nakutin kayak gitu dong.
Setelah lega, kakiku benar-benar lemas. Ternyata Misato sudah memikirkannya
juga. Memang dia benar-benar adik yang perhatian… Ya, bukan ‘juga sih’, dia
memang baik dari sananya.
“Senpai lagi mikir hal-hal berbau siscon (abang
sayang adik), ya?”
Sepertinya langsung ketahuan. Hari ini Rika sangat
tajam.
“Enggak, kok. Lagipula…”
Aku berusaha mengalihkan sambil menyampaikan maksudku.
“Rika juga ikut ya nanti, pesta sushi gulungnya. Aku
ingin kamu datang.”
Rika sempat bertanya ragu, “Boleh aku ikut?”
“Aku justru ingin makan sushi gulung bareng kamu.
Pokoknya, aku ingin bersama kamu sebanyak mungkin.”
Mendengarnya, dari seberang terdengar teriakan kecil
tidak jelas seperti “au- au-”, lalu ia menggerutu manja, “Ngomong hal seperti
itu tiba-tiba… kakak jahat.”
“Aku menantikannya ya, pesta sushi gulungnya.”
Begitu katanya, lalu sambil menyembunyikan rasa
malunya dengan tawa kecil, ia menutup telepon.
Aku kembali larut menikmati kebahagiaan kecil yang
kurasakan.
***
— Sudut pandang Rika —
“Kayaknya dia belum sadar kalau aku sedikit cemburu,
kan…?”
Dengan jantung berdebar kencang, aku menekan
smartphone ke dadaku, lalu berguling-guling karena malu.
Chapter 146 — Yakisoba
Seusai jam pelajaran.
Jarang sekali semua orang berkumpul di rumahku untuk
melanjutkan pekerjaan.
Karena ketua klub ingin membaca buku-buku referensi
yang ada di rumahku, kami pun berkumpul di sini. Ketua dan Takuji sudah pulang
lebih dulu untuk mengambil laptop dan tablet mereka.
Katsuya dan Rika sedang memeriksa masalah pada
skenario.
Aku dan ketua mengecek script serta arahannya.
Sementara itu, Takuji menggunakan tablet untuk
menggambar rough illustration.
Berkat pekerjaan sampinganku di internet beberapa
bulan terakhir, aku bisa membeli berbagai buku referensi.
Katanya, koleksi buku di kamarku jauh lebih berguna
dibanding perpustakaan biasa untuk bidang ini.
Hasil kerja sampinganku hampir semuanya
diinvestasikan untuk buku-buku khusus, tapi jika nanti saat Comiket musim panas
mendapatkan respons besar seperti saat festival budaya, maka semua biaya akan
terbayar.
Uang sakuku hanya kusisakan sedikit untuk sesekali
kencan dengan Rika.
Sisanya hampir semua kuinvestasikan untuk hal-hal
terkait pengembangan game.
Yah, meskipun aku investasi besar, tetap saja tidak
akan bisa menandingi fasilitas milik Grup Hongo.
Tapi… untuk ukuran klub game kecil seperti kami,
rasanya ini cukup memadai.
“Sebentar lagi makan malam nih. Kalian mau makan di
sini?”
Hari ini hari Jumat, dan Kaede-san bilang beliau
akan makan di luar bersama rekan kerjanya.
Misato juga sebentar lagi pulang, jadi memang sudah
waktunya aku mulai memasak.
“Boleh?”
“Kalau tidak merepotkan.”
“Michitaka, tentu saja aku ikut!”
Aku tertawa melihat reaksi mereka.
“Baiklah, aku buat yakisoba.”
Untuk jumlah orang banyak seperti ini, makanan yang
cepat dan mudah itu yang terbaik.
Karena aku sudah tahu sebelumnya bahwa mereka bakal
datang, aku sudah membeli bahan bersama Rika.
Kubis, daging babi, tauge, wortel, dan tiga bungkus
mie yakisoba.
Kupikir tinggal dimasak semuanya sekaligus di hot
plate.
“Aku bantu.”
Seolah itu hal biasa, Rika pun ikut ke dapur
bersamaku.
“Kalau begitu, aku siapkan hot plate. Rika, kupas kulit wortelnya ya.”
“Baik!”
Aku memasang hot plate di meja dan menyalakannya.
Tak lama lagi aroma saus yang lezat akan memenuhi
ruangan.
***
― Sudut Pandang Ketua ―
“Takatsukasa-san langsung ikut bantu masak ya.”
Takuji terkekeh.
“Rika-chan tadi sigap merapikan bahan masakan. Dia
bahkan tahu di mana peeler dan pisau berada.”
Laporan dari Katsuya membuatku ikut tertawa.
“Rika-chan sudah seperti istri yang pulang-pergi
saja,” kataku sambil tersenyum kecut.
Keduanya tertawa dan menimpali, “Benar juga.”
Dari lantai bawah, tercium aroma saus
kecokelatan yang wangi.
Aku menyadari— Inilah yang disebut waktu yang
membahagiakan.
Chapter 147 — Kencan di Odaiba
Lalu, tibalah hari Sabtu.
Saat aku menunggu di depan stasiun, Rika datang
dengan dandanan modis.
Ia tampil sangat girly. Pasti ia sudah berusaha
keras memilihnya. Bahkan, jarang-jarang—ia terlihat memakai riasan tipis.
“Maaf membuatmu menunggu. Aku bingung memilih baju,”
katanya.
Karena ini Rika, pasti sebenarnya ia sudah
menyiapkannya sejak hari sebelumnya. Tapi mungkin, saat bangun pagi, ia mulai
ragu apakah itu pilihan yang tepat.
“Aku sama sekali nggak nunggu kok. Aku juga baru
tiba. Lagipula masih lima menit sebelum waktu janjian. Lebih dari itu… kamu
menyesuaikan semuanya—termasuk aksesori—dengan sangat imut hari ini. Aku
senang.”
Aku mengutarakan pendapatku dengan jujur.
Aku sudah ditempa oleh Rika dalam kehidupanku
sebelumnya soal etiket semacam ini.
Tetap saja, perempuan yang seharusnya menjadi
mentorku itu malah memerah wajahnya.
Senyum gugupnya tidak bisa ia sembunyikan.
Pita di rambutnya bergerak lembut tertiup angin.
“Kalau begitu, ayo berangkat.”
Sudah lama kami tidak pergi cukup jauh untuk
berkencan.
Kami menuju pusat kota dan naik Yurikamome menuju
Odaiba.
Rencananya, kami akan berbelanja, berjalan-jalan di
taman, dan mengobrol banyak.
Rika yang menyiapkan semuanya.
Rencana kencan yang sederhana, tapi ia memasukkan
hal-hal yang kusukai.
Tidak mungkin aku tidak bahagia.
Setelah tiba di pusat kota, kami naik Yurikamome.
Aku agak bersemangat.
“Yuk naik gerbong depan,” kata Rika.
Sepertinya ia tahu apa yang kutunggu-tunggu,
jadi ia menawarkannya dengan penuh perhatian.
Aku mengangguk, agak malu.
Yurikamome berjalan otomatis.
Karena itu, melihat ruang masinis tanpa awak
membuatku sedikit bersemangat.
Dulu, saat aku pergi ke Odaiba bersama keluarga Rika
waktu masih kecil, aku sempat melonjak kegirangan melihatnya.
Sepertinya ia masih mengingatnya.
Saat kami naik kereta, aku menatap ruang kemudi
kosong itu dengan mata berbinar-binar.
Rika pun tertawa.
“Meski sekarang kamu sudah jadi orang yang hebat,
matamu saat melihat hal seperti ini tetap sama seperti dulu.”
Raut wajahnya seperti seorang kakak perempuan yang
memandang adik kecilnya dengan penuh kasih.
“Rasanya aku belum jadi orang hebat, sih. Hatiku masih seperti anak SD.”
Yah, namanya juga laki-laki.
Bahkan ketika sudah dewasa, dari SD sampai usia
empat puluhan pun, tidak terasa banyak yang berubah.
“Hmmm, tetap saja kamu tidak menyadarinya. Padahal
kalau sedang serius, kamu selalu terlihat sangat keren.”
Rika hari ini terasa agak agresif.
“Kamu jadi ilfeel?”
Sedikit khawatir, aku bertanya.
Tapi ia langsung menggeleng sambil tersenyum.
“Tidak mungkin.”
Lalu ia berbisik pelan, agar hanya aku yang
mendengarnya.
“Bahkan… aku makin suka.”
Pipi Rika memerah.
Sepertinya hari ini akan jadi kencan yang
menyenangkan.
Chapter 148 — Mungkin Terlihat Pamer dari
Sudut Pandang Orang Lain
—Sudut pandang Rika—
Setelah turun dari kereta, kami masuk ke sebuah restoran Italia dekat
pusat perbelanjaan besar.
Masih sekitar jam 11, tapi karena ada acara berikutnya, kami memutuskan makan
siang lebih awal.
Biasanya kami hanya makan di family restaurant dengan menu seperti doria
ala Milan yang enak, tapi karena ini kencan, aku sedikit memaksakan diri dan
memesan restoran bergaya yang pernah direkomendasikan majalah.
Aku sangat gugup saat menelepon untuk reservasi,
tapi lega karena semuanya berjalan lancar.
Sebenarnya, dia bilang, “Biar aku saja yang
reservasi.”
Tapi aku tidak bisa terus bergantung padanya.
Jadi, aku berusaha melakukannya sendiri.
“Reservasi atas nama Takatsukasa.”
Saat aku mengatakan itu, pegawai restoran
menjawab, “Kami sudah menunggu kedatangannya,” dan aku benar-benar merasa lega.
Hanya untuk reservasi begini saja aku sudah
merasa seperti sedang ‘naik level.’
Kurasa aku masih harus banyak belajar.
Tapi, sedikit demi sedikit, aku terus maju.
Agar bisa sedikit saja mendekati sang jenius
yang berada di sampingku.
“Rika, terima kasih.”
Setelah kami duduk, dia mengatakan itu.
“Eh!?”
Aku tak mengerti kenapa dia berterima kasih, jadi
refleks bertanya balik.
“Kamu sudah berusaha untuk kencan kita kali ini,
kan? Padahal kamu suka gugup bertemu orang baru, tapi kamu memesan tempat
sekeren ini.”
Dia selalu mengatakan kata-kata yang ingin kudengar.
“Curang…”
Kata-kata itu lolos tanpa kusadari.
Karena aku tidak menyangka dia akan menyanjungku
seperti itu.
Benar-benar serangan tiba-tiba.
Aku belum siap.
Rasanya seperti jantung bisa copot.
Aku terlalu senang, sampai wajahku memerah sekali.
“Maaf, maaf.”
Fakta bahwa dia langsung menyadarinya saja sudah
membuatku lebih malu.
“Sudah… jangan lihat aku terus.”
Karena aku merasa dia bisa membaca seluruh isi
hatiku.
“Nggak bisa, sih. Soalnya reaksimu lucu…”
Wajahku makin panas.
Kenapa dia yang biasanya terlihat santai bisa
begini…
Aah… menyebalkan.
…tapi sebenarnya aku ingin dipuji lebih banyak lagi.
Diakui olehnya membuatku sangat bahagia.
“Terima kasih telah menunggu. Ini es teh dan salad
pembuka dari menu set.”
Aku merasa pelayan datang sebagai penyelamat.
Pelayan menuangkan dressing dengan nama sulit ke
atas salad, lalu meletakkan sirup untuk es teh.
Biasanya aku akan langsung menuangkan sirup itu, tapi
kali ini aku ragu.
Kalau melihat suasananya, mungkin lebih baik tanpa
sirup.
Lagipula es teh tanpa gula pun enak…
Sepertinya dia menyadari keraguanku.
Dengan santai, dia menuangkan sirup ke es tehnya
sendiri.
Agar aku bisa melakukannya tanpa canggung.
“Itu dia… hal-hal seperti itu…”
Aku sangat menyukai kebaikannya yang seperti tak ada
batasnya.
Aku tak tahu seberapa banyak dia memikirkan
perasaanku.
Saking banyaknya ia memikirkan aku, aku takut dia
akan lelah.
Karena itulah…
“Senpai?”
Aku memanggilnya lembut.
“Hm?”
Dia menjawab dengan bingung.
“Hari ini, kita harus bermain banyak ya.”
Aku menyatakan itu dengan penuh tekad.
Chapter 149 — Berbagi Hidangan
“Enak sekali, ya.”
Kami sedang menyantap hidangan utama berupa pasta.
Aku memesan pasta dingin rasa lemon dan garam.
Sedikit memaksakan diri, karena sebenarnya aku belum pernah mencoba pasta
dingin. Biasanya aku hanya makan pasta yang umum seperti carbonara, bolognese,
atau mentaiko.
Pasta lemon ini berisi tuna dan gurita, dengan semacam kaldu seafood yang
meresap ke dalam pasta—rasanya benar-benar enak.
Sementara itu, senpai terlihat menikmati carbonara.
Kalau dipikir-pikir, dia selalu memesan carbonara.
Entah itu di Saizeriya atau restoran Italia mahal
seperti ini, pilihannya tidak berubah.
Mungkin bisa dibilang dia seseorang yang teguh
pada seleranya sendiri.
Entah kenapa, aku yang sedang berusaha tampil
sedikit beda malah merasa sedikit malu.
“Ada apa?”
Karena aku memandanginya terlalu lama, dia
terlihat heran dan bertanya sambil tersenyum kecut.
Aku terkejut dan buru-buru beralasan, “T-tidak…
aku cuma merasa carbonara-nya terlihat enak….”
“Oh, kalau begitu mau coba sedikit? Aku juga
penasaran dengan pasta lemon itu.”
Setelah berkata begitu, dia mengambil piring kecil
yang ada di samping meja, lalu membagi sedikit carbonara untukku sambil
berkata, “Nih.”
Rasanya seperti aku sedang minta dibagi, jadi aku
agak malu… tapi tetap saja aku menerima kebaikannya.
Tapi… ini kan rasanya seperti ciuman tidak
langsung.
Aku menyadarinya, tapi karena dia sudah
memberikannya dengan tulus, aku tidak bisa menyia-nyiakannya dan memasukkannya
ke dalam mulut.
Wajahku langsung terasa panas.
Namun, rasa creamy yang kaya dengan kelezatan
telur memenuhi mulutku—benar-benar enak.
Mungkin dia memilih carbonara sejak awal karena ingin membagi denganku.
Atau mungkin dia sadar aku sedang mencoba
sesuatu yang di luar kebiasaan dan ingin mengimbangi.
“Ah, pasta lemon ini juga enak. Aku biasanya selalu
makan menu yang itu-itu saja. Jadi aku senang kamu mencoba hal seperti ini.” Katanya sambil tersenyum.
Sampai sejauh mana dia sudah memikirkan perasaanku?
Dia terlalu baik.
Hatiku terasa sangat hangat.
Kebaikannya membuat hatiku semakin dipenuhi oleh
sosoknya.
Aku tahu aku adalah wanita yang ‘berat.’
Saat dia punya pacar pun, aku tidak bisa menyerah.
Aku tidak pernah berpikir untuk berpisah dengannya.
Dalam bayangan masa depanku, dia akan terus berada
di sampingku.
Entah kenapa, sejak kecil dia selalu ada di
sebelahku.
Bahkan saat aku menjadi nenek, dia pasti tetap ada
di sisiku.
Aku yakin.
Dan bahkan setelah kami menjadi sepasang kekasih,
perasaan ini terus menumpuk.
Aku sendiri takut membayangkan seberapa tinggi itu
akan bertumpuk.
Setelah selesai makan pasta, es sorbet jeruk yang
dipesan senpai dan kue cokelat pilihanku dibawakan ke meja.
Tentu saja, kami juga berbagi dessert itu sedikit
demi sedikit.
Chapter 150 — Setinggi Aslinya
Di kehidupan sebelumnya, aku pernah berbicara dengan Rika. Kami membahas
tempat yang ingin ia kunjungi setelah ia keluar dari rumah sakit.
Dengan senyum malu-malu, ia berkata ingin pergi ke Odaiba. Melihat robot
raksasa, berbelanja, dan jika memungkinkan, menginap di hotel mewah untuk
bersenang-senang sepuasnya. Aku sudah bertekad untuk mewujudkannya. Aku bahkan
sudah menabung, berkali-kali menyusun rencana dalam kepalaku, karena aku ingin
membuat Rika bahagia.
Meskipun begitu, pada akhirnya Rika meninggal tanpa
pernah sekali pun bisa keluar dari rumah sakit.
Sebenarnya, pernah ada saat seolah ia akan
diperbolehkan pulang, tapi tepat sebelum waktunya, hasil tes darah memburuk,
dan rencana itu pun batal. Aku masih mengingat wajah sedih Rika saat itu.
Padahal ia yang paling menderita, tetapi ia masih
sempat berkata, “Maaf ya.” Mengingat itu saja membuat dadaku terasa sesak.
Aku selalu… selalu dipenuhi penyesalan. Bahkan untuk
membawanya ke tempat yang tidak terlalu jauh pun aku tidak bisa. Rasa tidak
berdaya itu hingga kini masih membuat hatiku tercekik setiap kali kuingat.
“Wow, besar sekali!!”
Di depan patung besar Mobile Suit yang dipasang di halaman pusat
perbelanjaan, Rika berseru penuh keceriaan. Di zaman ini, ternyata itu adalah
model yang pertama. Meskipun terlambat, akhirnya aku bisa datang melihatnya. Karena selalu teringat Rika, aku tidak sanggup pergi ke Odaiba sejak hari
itu.
Saat Rika bilang ingin datang ke tempat ini, aku
merasa penyesalanku akhirnya bisa berakhir.
Rasa putus asa itu perlahan terurai, dan seakan-akan
masa depan cerah bagi kami berdua terbuka.
“Sebentar lagi ya.”
Mulai jam satu siang, acara di sekitar patung itu
dimulai. Cuplikan anime diputar, dan efek suara
terdengar. Hebat sekali— semuanya direproduksi dengan sangat sempurna.
“Keren banget…”
Di kehidupan kedua ini, barulah aku bisa datang
ke sini. Aku benar-benar terkesan. Mendengar kesan jujurku, Rika tersenyum
bahagia. Seperti yang kuduga… ia memilih tempat ini karena
tahu aku menyukainya.
Rika di kehidupan sebelumnya… dan Rika tepat di
hadapanku sekarang.
“Kamu tidak apa-apa? Apa mungkin kamu merasa kurang
enak badan?”
Menyadari keadaanku yang aneh, Rika menatapku dengan
cemas.
“Nggak apa-apa. Badanku baik-baik saja. Aku hanya
terpukau melihat ukurannya yang asli, sampai melongo. Ya kan, Rika?”
Mendengar itu, ia tersenyum lega.
“Syukurlah. Lalu, ada apa?”
“Terima kasih sudah mengajakku. Aku benar-benar
senang.”
“E-Eh, kenapa tiba-tiba? Mengatakan hal seperti itu
mendadak itu curang, tahu. Membuatku jadi panas saja.”
Melihatnya begitu, aku malah tertawa, membuat wajah
Rika semakin memerah.
“Aku senang bisa datang ke sini bersama Rika.
Dan aku sama sekali tidak menyangka kau yang akan mengajakku. Ini bakal jadi
kenangan terbaik.”
“T-Tidak… kamu berlebihan. Soalnya naik kereta
juga nggak sampai satu jam. Dekat… Ucapannya seperti itu harusnya untuk tempat
yang lebih spesial.”
Bagiku, datang ke sini bersama Rika sudah lebih
dari cukup spesial. Meski tak bisa mengatakannya, aku tersenyum tulus dari
hati.
Kencan ini baru saja dimulai.
Chapter 151 — Bermesraan Saat Mencoba Pakaian
—Sudut Pandang Rika—
Setelah acara di luar selesai, kami masuk ke dalam
pusat perbelanjaan.
“Karena kamu sudah membawaku ke tempat yang aku
suka, sekarang giliran kita pergi ke tempat yang ingin kamu kunjungi,” katanya.
Karena ia bilang begitu, aku memutuskan untuk
sedikit manja. Sebenarnya, hari ini aku berencana menghabiskan waktu di
tempat-tempat favoritnya… tapi aku menyukai sisi dirinya yang selalu
memedulikanku seperti ini.
“Kalau begitu… baju musim panas…”
Aku ingin melihat-lihat pakaian sebentar. Kalau ia
menyukai salah satu yang kupilih, aku ingin membelinya… lalu kupakai saat
kencan berikutnya. Aku merasa cukup tahu selera senpai, tapi tetap saja, aku
ingin mendengar langsung pilihan yang benar-benar tepat dan menyesuaikannya
dengan seleranya.
Kami masuk ke toko pakaian yang sudah kulirik
sebelumnya. Sesuai dugaan—ini Tokyo.
Banyak sekali pakaian bergaya kekinian.
Seorang pegawai mendekat dan bertanya, “Apakah
Anda mencari sesuatu?” Sebenarnya aku hanya ingin melihat-lihat karena tidak
ingin membuatnya menunggu terlalu lama, tapi senpai malah menjawab, “Ya. Boleh
mencoba pakaian di sini?”
“Eh?”
Aku menatapnya terkejut, dan ia berkata, “Nggak
apa-apa. Pilih saja dengan santai. Barang bawaanmu biar aku pegang.” Mendengar
itu, perasaanku padanya semakin tumbuh—padahal kupikir sudah tidak bisa
bertambah lagi. Kenapa sih dia bisa dengan alami membuatku bahagia
seperti ini?
Dan aku sedikit terkejut karena keinginanku tadi
mulai jadi kenyataan. Kalau aku mencoba pakaian, reaksinya pasti akan mudah
terlihat. A-Aduh… Baru saja aku menantikannya, tapi sekarang rasanya gugup
menguasai diri.
Pertama, aku mengelilingi toko dan memilih beberapa
pakaian yang menarik. Walau membuatnya menunggu, aku tidak ingin memilih
sembarangan, jadi tanpa sadar aku menghabiskan waktu cukup lama.
Beberapa pakaian bergaya girly, lalu yang sedikit
dewasa, dan ada juga yang boyish—gaya yang biasanya tidak kupakai. Bahkan aku
mencoba sedikit bereksperimen dengan gaya gyaru…
Apa dia akan menyukainya…?
Pertama, aku mencoba atasan manis dengan frill dan
pita yang masih mirip dengan gaya biasanya kupakai. Rasanya mungkin terlalu
kekanak-kanakan. Dengan ragu, aku membuka tirai ruang ganti. Ia yang sedang melihat ponsel langsung menyadarinya dan mengangkat
wajah.
“Oh, itu sangat cocok. Membuat kesan lembutmu
terlihat semakin jelas. Benar-benar cocok sekali.”
“T-Terima kasih…”
Aku buru-buru menutup tirainya. Rasanya terlalu
membahagiakan sampai aku kewalahan… Hatiku penuh oleh rasa malu dan senang.
Bagaimana ini… Senpai ternyata jago memuji. Masih
ada beberapa baju lagi yang harus kucoba.
Apa aku bisa bertahan… akal sehatku…
Aku takut kalau aku akan melompat memeluknya karena
terlalu bahagia, tanpa peduli pegawai toko. Dengan tekad baru, aku beralih
mencoba pakaian berikutnya.
Chapter 152 — Fashion Show
Pakaian berikutnya adalah gaun bermotif bunga kecil dengan warna kusam
yang mirip dengan gaya biasanya kupakai. Gaunnya berkesan lembut dan anggun.
Panjang roknya sedikit pendek, tetapi masih terlihat cukup tenang untuk tetap
memberi kesan sopan.
“Yah… masih terlalu cepat kalau mau coba gaya yang terlalu berbeda.”
Sikapku yang sedikit konservatif membuatku tanpa sadar bicara dengan nada
agak pesimis.
“Bagaimana menurutmu?” Aku bertanya dengan suara bergetar karena masih
gugup.
Senpai menatapku sambil tetap tersenyum santai.
“Bagus sekali. Kesan yang manis, tapi tetap anggun. Rasanya seperti
putri dari keluarga terhormat.”
Uuh… komentarnya tepat sasaran lagi…
Aku bisa merasakan tingkat kepercayaan diriku
meningkat. Bagaimana dia bisa begitu pandai memuji?
Aku ingin dipuji lagi…
“Kalau begitu, aku coba yang berikutnya.”
Aku menutup tirai. Kali ini, aku memilih gaya yang
lebih dewasa. Masih gaun juga, tapi warnanya biru muda dan modelnya off-shoulder. Yang
berarti, bagian bahu terlihat cukup banyak—dan itu membuatku agak malu.
Tapi masih cukup anggun, jadi tidak apa-apa.
Pelan-pelan aku bisa melewati batasan ini…
Lagipula aku ingin ia melihat pakaian yang biasanya
tidak kupakai.
Aku melihat diriku di cermin. Memang terlihat
dewasa. Tapi memperlihatkan bahu sebanyak ini… agak menakutkan. Apa aku
terlihat aneh?
Dengan keberanian yang kupaksakan, aku keluar
dan berdiri di depannya.
Ia terlihat sedikit terkejut, lalu tersenyum
lembut seolah ingin menenangkanku.
“Sangat cocok. Terlihat dewasa… dan aku agak
deg-degan melihatnya.”
Kurasa ia sedikit kehilangan ketenangannya tadi.
Mendengarnya jujur merasa terkejut membuatku senang. Biasanya aku terlihat
terlalu kekanak-kanakan dibanding dia, dan itu pernah membuatku sedikit kesal
serta minder.
“Yatta!”
Aku menutup tirai lagi untuk memperlihatkan pakaian
berikutnya. Kali ini, sesuatu yang benar-benar tidak akan
pernah kupakai. Bagian bahu hingga dada terbuka cukup lebar, dengan kain yang
sangat minim.
Biasanya, hanya membayangkannya saja aku sudah
malu, tetapi hari ini… karena ini kencan jauh dari rumah dan karena aku
berhasil membuat Senpai deg-degan tadi, aku merasa bersemangat. Seakan-akan
penghalang yang biasanya menahan hatiku menghilang.
“Ba-bagaimana…?”
Senpai terkejut melihat pakaian super berani itu,
matanya membesar.
“S-sangat manis… tapi juga… sangat… berani…”
Ia berusaha bicara, tapi suaranya bergetar, dan ia
menundukkan wajah dengan malu.
Syukurlah—setidaknya itu berarti cocok. Begitu
merasa lega, barulah rasa sadar diri kembali, membuatku sangat malu.
“T-terima kasih…”
Rasanya kepalaku mau mendidih saking malunya. Aku
buru-buru menutup tirai.
Aku terlalu berlebihan… Tapi sudah terlambat. Saat
kulihat cermin, wajahku memerah seperti belum pernah kulihat sebelumnya.
Chapter 153 — Patung Liberty
Setelah “peragaan busana” selesai, suasana sedikit canggung. Jadi aku
mengajaknya, “Mau makan es krim?” dan ia menjawab dengan suara lantang, “Iya!”
Es krim memang luar biasa. Cukup dengan memakannya, senyuman
kembali muncul, dan rasa malu tadi seakan tersapu bersih.
“Kalau begitu, aku pilih vanilla dan sorbet jeruk.”
Ada promo diskon 100 yen untuk es krim double—penawaran terbaik—jadi kami
memutuskan untuk memilih double.
Sementara aku memesan, Rika tampak bingung memilih. Baju yang baru saja
ia beli kubawa, dan kantong kertasnya cukup tebal. Aku khawatir—jangan-jangan
dia membeli semua pakaian yang kupuji tadi.
Kalau kupikir ada juga pakaian yang sangat berani ada di dalamnya… entah
kenapa aku jadi gugup.
Boleh tidak ya kalau aku intip?
…Tidak, tentu tidak boleh.
Akal sehatku menang tipis dan membuatku menahan
diri.
“Kalau begitu, aku pilih choco-mint dan sorbet
apel.”
Padahal baru saja makan makanan manis saat makan
siang, tapi karena cuaca panas, rasanya tetap ingin makan es krim. Rika memandang cup es krimnya dengan serius.
Kami duduk di bangku dan mulai makan es krim.
Musim panas segera tiba. Entah karena
pemanasan global atau apa, rasanya makin panas setiap tahun.
“Menurut senpai, pakaian mana yang paling cocok
untukku?” tanya Rika, seolah baru teringat. Ia terlihat sedikit canggung.
“Hmm, semuanya cocok sih… tapi yang off-shoulder itu
paling aku suka.”
Tentu saja, yang gaya gal tadi itu terlalu mematikan
bagi jantungku, jadi kupilih yang sebelumnya.
“Kalau begitu, aku pakai itu saat kencan berikutnya,
ya.”
“Ya, aku tunggu.”
Janji berikutnya—hanya dengan memikirkannya saja aku
merasa bahagia. Terlebih jika mengingat hari-hari di rumah sakit…
Bisa membuat janji, dan bahkan berpeluang besar
untuk menepatinya, rasanya sungguh membahagiakan.
“Kalau begitu… mau lihat Patung Liberty?”
Setelah kami selesai makan es krim, aku mengiyakan
ajakan Rika dan kami pergi ke replika Patung Liberty terkenal di sana.
“Lebih besar dari yang kubayangkan, ya,” kata Rika
sambil tersenyum ceria.
“Katanya ukurannya satu per tujuh dari yang asli.
Jadi yang asli jauh lebih besar.”
“Jadi tujuh kali lebih tinggi? Pengen lihat juga~
Tapi Patung Liberty dengan Golden Bridge di belakangnya begini… kelihatan
cantik, ya.”
“Benar juga.”
Kami semakin bersemangat.
“Suatu hari nanti, ayo lihat yang asli bersama, ya.”
ucap Rika penuh harapan.
“Boleh juga. Kalau klub game kita berkembang jadi
perusahaan besar, mungkin aku bikin cabang di New York.”
“Aduh, apa sih. Tapi mimpinya… bagus juga.”
“Iya kan? Tapi, serius— suatu hari nanti kita pergi
bersama, makan hamburger dan steak asli, jalan-jalan di New York atau
Washington.”
Aku ingin pergi ke banyak tempat bersama Rika.
Itu adalah salah satu janji yang kubuat sejak kehidupan sebelumnya.
Kali ini, aku akan mewujudkannya.
“Janji ya.”
“Tentu. Aku janji.”
Untuk itu… aku harus menabung banyak.
Kemudian…
Saat sedang memikirkan mimpi-mimpi itu,
tiba-tiba sesuatu yang lembut menyentuh pipiku.
“Eh!?”
Aku langsung menoleh ke arah Rika, yang juga
buru-buru menjauh dan wajahnya memerah.
“Maaf… itu tidak sengaja menyentuh, ya…”
Chapter 154 – Rika di Garis Waktu α
— Garis waktu α (alpha)・ Sudut pandang Rika —
Perlahan, tubuhku semakin sulit digerakkan sesuai
keinginan. Waktu yang kuhabiskan untuk tidur semakin
banyak. Bahkan ketika terbangun, kesadaranku segera menjadi kabur. Lalu tanpa
kusadari, aku kembali tertidur.
Tubuhku berteriak karena rasa sakit dan lelah yang
tak tertahankan. Aku takut tidur. Tak ada yang tahu apakah akan ada
“berikutnya” untukku. Karena itu, aku begitu takut menghadapi kemungkinan bahwa
“berikutnya” takkan pernah datang.
Aku terbangun. Dia berada di sisiku. Seperti
biasa, aku membuatnya khawatir. Setiap kali aku membuka mata, dia menyapaku
dengan suara yang benar-benar terdengar bahagia. Aku ingin
membalas suaranya, menyahut… tapi sering kali aku tidak bisa mengeluarkan
kata-kata, dan itu sangat menyakitkan.
Tidak ada jaminan bahwa akan ada kesempatan
berikut—bagi dia maupun bagiku. Jadi, setidaknya… saat aku terbangun, aku ingin
bisa bicara dengannya. Kenyataan bahwa aku bahkan tidak bisa melakukan itu
membuatku benar-benar merasa tak berharga.
Maaf… Andai saja bukan aku. Kalau saja yang
bersamamu bukan aku, kamu tidak akan terluka seperti ini. Kamu tidak perlu
menanggung semua penderitaan ini. Maaf. Maaf karena aku mencintaimu.
Aku tak pernah bermaksud membuatmu menderita seperti
ini…
Kenapa… kenapa aku jatuh cinta padamu…
Masih banyak tempat yang ingin kukunjungi bersamamu.
Masih banyak hal yang ingin kulakukan. Setidaknya, sepuluh tahun lagi… tidak,
satu tahun pun sudah cukup. Aku ingin tetap tersenyum di sampingmu. Tapi Tuhan
yang kejam mungkin tidak akan mengizinkannya.
Syukurlah aku sempat menulis surat selagi masih bisa
bergerak.
Setidaknya, aku bisa menyampaikan perasaanku di
akhir.
Sorbet dari buah persik kalengan yang terakhir
kau suapkan itu benar-benar enak. Aku hanya bisa menjilat esnya, tapi aku
merasakan cintamu… dan itu membuatku bahagia.
Aku punya banyak mimpi, dan semua mimpi itu tak
terwujud… tapi dalam sekejap itu, aku merasa menjadi orang paling bahagia di
dunia.
Itu satu hal yang bahkan Tuhan tidak boleh sangkal.
Dia pasti yang paling menderita, tapi di depanku,
dia selalu tersenyum. Semata-mata untuk menenangkanku. Dan itu membuatku sangat
bahagia hingga tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Kekuatan mulai hilang dari tubuhku. Aku tidak
merasakan sakit. Mungkin karena pengaruh obat.
Alangkah bahagianya… jika pemandangan terakhir yang
kulihat, apa pun alasannya, adalah dirinya yang tersenyum. Mungkin, aku akan
segera bisa membuatnya lebih tenang.
Hei, Michitaka-kun…
Kalau saja aku bisa terlahir kembali… sekalipun masa
depan yang menyakitkan ini menantiku sekali lagi…
Maukah kau menyapaku lagi? Maukah kau menjadi
kekasihku lagi?
Maaf karena mengajukan permintaan egois seperti ini
di akhir…
Jika kita bisa bertemu sekali lagi…
Kali ini, aku ingin membuatmu bahagia…
Chapter 155 – Pria Selingkuh di Bawah Terik Matahari
— Gurun Sahara ・ Sudut pandang Pria Selingkuh —
Panas. Kenapa aku harus bekerja berat di gurun negara asing seperti ini…
Aku hampir dipaksa naik pesawat menuju Afrika.
Kukira ini akan jadi pelatihan untuk karyawan baru lagi, tapi hampir tidak ada
yang seperti itu. Hanya ada pelajaran bahasa sederhana, dan aku hanya belajar
sedikit bahasa lokal yang patah-patah.
Yang diajarkan pun hanya nama-nama arah dan bahan
bangunan. Selain itu, aku hanya diajarkan kata “mengerti.” Mereka bahkan tidak mengajariku cara mengatakan “tidak mengerti” atau
“tidak.” Itu sangat menakutkanku. Aku hanya bisa berpikir bahwa aku sedang
dipaksa bekerja di perusahaan gelap seperti apa…
Begitu keluar dari bandara, aku dimasukkan ke
dalam mobil HiAce tua. Rasanya hampir seperti penculikan.
Orang-orang yang menatapku sambil cekikikan
dengan bahasa lokal seolah sedang menilai harga diriku terlihat sangat
mengerikan. Aku benar-benar datang ke tempat yang mengerikan. Tapi demi
melunasi utangku, aku tidak punya pilihan lain.
“Pekerjaanmu adalah mengangkut itu.”
Bahan bangunan yang bahkan terlihat sangat
berat. Dan tempat ini ada di tengah gurun. Aku diberi helm,
sabuk keselamatan, juga pakaian kerja. “Ayo, ganti bajumu,” kata seseorang
sambil menunjuk ke arah bangunan prefab. Aku tidak bisa berkata apa-apa dan
hanya mengangguk.
Dan sekarang, inilah keadaanku.
Berat. Apa-apaan ini. Kenapa tidak diangkut memakai
mesin? Apa yang sedang mereka bangun di sini? Ketika
aku meletakkan barang di tanah untuk beristirahat, mandor yang merupakan orang
lokal tiba-tiba berteriak dengan wajah menyeramkan.
Aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Tapi aku tahu dia memerintahkanku untuk segera kembali bekerja.
Kenapa aku harus melakukan ini? Aku dulu adalah anak
pewaris perusahaan besar di Jepang.
Aku dulu seorang elit. Di kehidupan sebelumnya, aku
tidak pernah mengalami penghinaan yang menyedihkan seperti ini. Dan satu hal
lagi — dibandingkan para pekerja lain, aku sangat payah.
Pekerja lain, meski di lingkungan seburuk ini,
dapat mengangkat dan mengangkut bahan bangunan dengan mudah. Jika dibandingkan
dengan jumlah kerjaku, mereka bekerja beberapa kali lebih efisien. Karena
itulah aku makin mencolok dan makin sering dimarahi. Sambil hampir menangis,
aku bekerja mengangkut barang sekuat tenaga.
“Sial… sial… sial…”
Memang tidak ada kekerasan fisik, tetapi hatiku
sudah hancur. Memang ada istirahat singkat, tetapi waktu istirahat
itu sama sekali tidak cukup untuk menghilangkan rasa lelah.
Menyedihkan. Terhina. Aku bukan tipe orang yang
seharusnya melakukan pekerjaan seperti ini.
Kenapa aku bisa seperti ini? Bahkan hidup di pulau
tak berpenghuni masih lebih baik dari ini.
Atau… benarkah lebih baik? Pulau tak berpenghuni
tanpa tempat untuk melarikan diri mungkin masih dihuni monster itu. Sedangkan
ini gurun panas yang seperti neraka. Keduanya sama-sama buruk. Kenapa? Karena
aku terobsesi dengan Yaguchi Michitaka? Kalau saja aku tidak berhubungan
dengannya, aku tidak akan berakhir seperti ini.
Tolong… seseorang tolong aku…
Chapter 156 – Tekad Rika dan Wajah Sedih Michitaka
— Sudut pandang Rika —
Di dalam kereta saat perjalanan pulang pun, kami
terus mengobrol. Sebagian karena rasa malu akibat tindakan berani
yang kulakukan barusan… Soalnya, kalau kami tidak terus berbicara, aku takut
akan teringat kembali dan menggeliat sendiri karena malu. Rasanya seperti momen
bahagia itu akan kembali menyerang dan membuatku kewalahan — dan itu sedikit
menakutkan.
Kami terus tertawa bersama. Mungkin inilah yang
disebut kebahagiaan. Kami membicarakan masa depan — melihat Patung Liberty yang
asli. Kalau dipikir-pikir, itu terdengar seperti bulan madu. Sejenak, aku
bahkan berpikir, apakah itu semacam lamaran terselubung? Pikiranku langsung
panas karena malu. Semakin kupikirkan, semakin terasa memalukan, sampai wajahku
makin panas.
“Ada banyak tempat lain yang ingin kita kunjungi
juga ya.”
Baik di dalam maupun luar negeri. Kami masih
siswa SMA. Jadi kami hampir tidak tahu dunia.
Masih banyak tempat yang belum kami kenal.
Karena itu, kami punya banyak mimpi.
“Benar juga. Aku juga ingin ke Eropa. Seperti
Jerman atau Italia.”
Hanya dengan membayangkan kota-kota kuno di
Eropa atau pemandangan indah Laut Mediterania saja rasanya sudah membahagiakan.
Kalau bisa melihatnya bersamanya…
“Nanti saat sudah dewasa, kita minum bir atau wine
sambil makan malam di restoran keren di sana. Kayaknya seru banget~”
Aku berkata sambil melayang dalam mimpi romantisku. Senpai mengangguk dengan senang.
“Sebentar lagi ya.”
Kencan menyenangkan ini sebentar lagi akan
berakhir. Perasaanku dipenuhi sedikit rasa sedih tapi juga kebahagiaan yang
hangat.
Tapi ada satu hal yang masih mengganjal. Hari ini
pun, aku belum menanyakannya. Kenapa sesekali, ketika dia menatap wajahku, dia
terlihat sangat sedih?
Saat kami mendirikan klub bersama, meraih banyak
pencapaian, dan menghabiskan waktu bersama, wajahnya selalu terlihat begitu
bahagia. Namun, entah kenapa sesekali ia menunjukkan ekspresi yang seolah
berada di sisi berlawanan dari kebahagiaan itu — wajah yang begitu sedih.
Hubunganku dengannya semakin dalam. Tapi aku masih
belum punya keberanian untuk menanyakan alasan wajahnya yang sedih itu.
Bagaimana kalau… aku telah membuatnya menderita karena diriku?
Kalau memang begitu… rasanya menakutkan sekali, dan
aku merasa sangat bersalah.
Tapi, jika aku lebih kuat, mungkin dia akan
menceritakannya padaku. Mungkin aku belum berdiri sejajar dengannya. Itulah
sebabnya dia belum mau berbagi.
Aku ingin berkembang. Aku ingin menjadi seseorang
yang dapat dibanggakan saat berada di sampingnya. Kalau tidak, aku khawatir
suatu saat aku tidak bisa lagi berada di sisinya.
“Senpai!”
Saat kupanggil, dia menoleh dengan ekspresi
bingung.
Aku melanjutkan.
“Aku akan menjadi jauh lebih hebat, lho. Baik
sebagai pribadi maupun sebagai partnermu. Aku akan jadi orang yang bisa kamu
banggakan.”
Dia tersenyum begitu bahagia.
Chapter 157 – Perubahan Sejak Kehidupan
Sebelumnya
— Sudut pandang ??? —
Aku memainkan demo game yang kutemukan di internet.
Game doujin buatan klub sekolah menengah. Normalnya,
aku tidak akan pernah memainkannya. Sekelompok otaku SMA yang hanya meniru
pembuatan game impian mereka — kupikir pasti hasilnya hanya game kepuasan diri
belaka.
Sebenarnya, aku sudah tahu tentang keberadaan game
ini sejak beberapa waktu lalu, tapi karena prasangka, aku meremehkannya dan
tidak peduli. Namun, setelah dirilis, perlahan arah angin mulai berubah.
Awalnya, game ini diperlakukan sama seperti banyak
game gratis yang muncul lalu lenyap begitu saja.
Seminggu kemudian. Berkat seorang YouTuber terkenal
yang memainkannya, perhatian mulai mengarah pada game tersebut.
Ilustrasi yang indah. Skenario yang penuh kejutan. Dan BGM yang terasa dekat dengan hati.
Hanya dengan menonton gameplay-nya saja, daya
tarik game ini sudah tersampaikan ke banyak orang.
“Tapi, pada akhirnya game ini cuma akan jadi
tren internet sesaat.”
Sikap negatifku langsung menghunus kata-kata
itu. Aku tidak mau melihat hasil kerja keras orang lain. Karena itu seperti
memperlihatkan betapa buruknya diriku. Seolah-olah memperlihatkan bahwa aku
kurang berusaha.
Makanya… aku tidak ingin permata masa muda,
karya yang dibuat para pelajar SMA ini, menjadi sesuatu yang dipuji banyak
orang. Karena aku hidup di sisi yang gelap.
“Lihat. Rankingnya sudah mulai turun. Sepertinya
lapisannya terkelupas, atau mungkin karena hanya demo, jadi sudah tidak
diperbincangkan.”
Aku merasa lega melihat game yang sempat populer itu
perlahan turun peringkat. Sudah kuduga. Baguslah. Di dunia sekarang, topik
populer cepat berganti.
Setelah ini pasti akan dilupakan. Hanya permainan
anak SMA. Demi menjaga harga diriku, aku mengucapkannya begitu saja.
Namun, keesokan harinya—
“Kenapa…”
Game itu kembali naik ke puncak ranking. Padahal
seharusnya tinggal jatuh saja. Kenapa…
Setelah kuusut, penyebabnya ternyata SNS para
pembuatnya menjadi viral. Kualitas gambar yang melampaui level pelajar SMA,
cerita di balik pengembangan, dan kisah tentang kesulitan yang mereka alami.
Begitu detailnya, hingga para pembaca SNS merasakan
seolah ikut membuat game itu bersama mereka.
“Gila… Siapa produser jenius di belakang ini…”
Aku sampai berpikir pasti ada orang dewasa di
belakang layar. Karena mustahil anak SMA bisa mengatur promosi dengan
sedemikian baik.
Kalau sudah begini… aku harus memainkannya dan
mencari celah. Lalu akan kutulis di akun anonim dan kusebar—
Benar-benar sifat terburuk. Hatiku yang rusak akibat
kebencian di internet selalu mencari korban serupa. Untuk meyakinkan diriku
bahwa aku bukan satu-satunya.
Namun… perasaan hitam itu tersapu seketika oleh
gemerlap dunia dalam game. Setiap klik membuat dunia dalam layar menjadi lebih
berwarna. Begitu hidup… seolah menyentuh luka kegagalan masa laluku. Rasanya
seperti kisah seseorang yang mencoba memperbaiki hidupnya.
Dan gairah yang dulu pernah kumiliki, kembali
bangkit. Aku ingin tenggelam lebih lama dalam cerita ini. Tapi, harapan itu
pasti cepat berakhir. Pesannya jelas: manusia bisa memulai kembali.
Kali ini, ia akan melindungi orang-orang berharga
yang dulu harus ia lepaskan. Gairah sang kreator tersampaikan lewat layar.
“Benar. Aku pun bisa memulai kembali.”
Hatiku terasa kembali memiliki cahaya. Mustahil
rasanya aku ingin menjatuhkannya seperti sebelumnya.
Aku mengeluarkan buku catatan ide yang sudah
berkali-kali ingin kubuang tapi tak pernah jadi.
Mungkin karena selama ini idenya terus matang di
kepalaku… gagasan baru pun terus bermunculan.
Merasa tersentuh oleh karya orang lain — bagi
seorang kreator, itu bisa dibilang kekalahan.
Tidak, mungkin aku sudah kalah sejak lama. Karena
selama ini aku hanya hidup seperti zombie.
Tapi, aku belum kalah sepenuhnya.
“Aku juga masih bisa!!”
Aku menyatakan itu dengan lantang pada diriku
sendiri lalu masuk kembali ke akun SNS yang sudah berhenti update sejak dua
tahun lalu, setelah aku mengumumkan pensiun.
***
— Sudut pandang Michitaka —
Saat berselancar di SNS pada malam hari, terjadi
sesuatu yang mengejutkan.
“Hah, ‘Circle: Shylock’ aktif lagi! Aku menyukai mereka bahkan sejak
kehidupan sebelumnya, tapi setelah hiatus, mereka tidak pernah kembali ke
panggung publik. Gila, aku senang banget. Kalau nanti kita sekantor di event,
aku mau menyapa!”
Di luar lingkaranku sendiri, nyaris tidak ada perubahan dari kehidupan
sebelumnya. Tapi ini jelas perubahan yang dapat diamati. Berarti, masa depan
bisa diubah.
Aku merasakan kepuasan yang tenang dan mulai membayangkan karya-karya
masa lalu circle tersebut. Game baru yang bahkan di kehidupan sebelumnya tak
sempat kumainkan.
Tak sabar rasanya.
Chapter 158 — Kehidupan
Ketua Klub yang Mulai Berubah
— Kafe dekat sekolah —
Hari ini aku dipanggil oleh ketua klub lewat LINE.
Katanya, “Ada hal yang ingin kudiskusikan tentang klub ke depannya.”
Ketua jarang sekali memanggil seperti ini, jadi
aku menjawab, “Baik.”
Ya juga sih. Sebentar lagi liburan musim panas.
Proyek pembuatan gim berjalan lancar, tapi ketua
juga harus mempersiapkan ujian masuk perguruan tinggi.
Pasti banyak hal yang harus dipertimbangkan.
Untuk berjaga-jaga, aku sudah memberi tahu Rika,
“Aku ingin bicara soal klub dengan ketua setelah pulang sekolah, jadi kamu
pulang duluan, ya.”
Rika sempat terlihat bingung, tapi kemudian
berkata, “Kalau begitu aku pulang dulu. Tapi bolehkah aku main ke rumah nanti?”
Aku pun menjawab, “Makan malam di rumahku, ya.”
Ahh… aku benar-benar bahagia… kehidupan seperti
ini…
Di kehidupan sebelumnya, aku tak bisa merasakan
masa SMA yang manis seperti pacaran dengan Rika, jadi rasanya semua ini begitu
baru.
Memiliki waktu menyenangkan dengan pacar saat
SMA itu benar-benar membahagiakan.
Karena aku pernah menjadi orang dewasa, aku jauh
lebih mengerti hal itu.
Kenangan bersama Miyabi di masa lalu adalah
sejarah kelam, maka kebahagiaan yang sekarang terasa semakin berarti.
“Yaguchi-kun!”
Ketua sudah tiba lebih dulu dan membooking tempat duduk.
Kafe terasa sejuk karena AC-nya menyala.
“Maaf menunggu.”
“Tidak apa-apa. Aku yang memanggilmu, kok… Aku sudah
memesankan es teh, tidak apa?”
Selama tiga bulan ini, aku jadi jauh lebih dekat
dengan ketua.
Padahal awalnya ia sangat pemalu sampai menolak aku
masuk klub.
Tapi sekali ia dekat dengan seseorang, ia bisa
membangun hubungan kepercayaan yang sangat dalam.
“Terima kasih.”
Sepertinya dia sudah tahu apa minumanku.
Setelah es teh datang dan aku menyesap sedikit, dia
mulai masuk ke inti pembicaraan.
“Setelah musim panas nanti… soal kegiatan klub…”
Memang. Biasanya, siswa kelas 3 akan pensiun dari
klub setelah musim panas.
Meski ada pengecualian, seperti klub sepak bola.
Tapi sebelumnya ketua pernah bilang bahwa ia merasa
aktivitas klub kita bermanfaat
dan mendukung masa depannya.
Karena itu, kupikir ini bukan kabar buruk.
Aku pun ingin terus belajar banyak darinya dan
melakukan banyak kegiatan bersama.
“Baik.”
“Aku ingin menunjuk Yaguchi-kun sebagai ketua
berikutnya. Kamu kan sudah jadi wakil ketua,
dan selama ini kamu sudah banyak melakukan tugas seperti ketua, karena aku
kurang pandai mengatur.”
Jadi aku dipanggil untuk serah terima jabatan, huh.
Kalau ketua pergi, itu akan menyulitkan.
Aku bisa menggantikan beberapa hal, tapi aku tidak
bisa meniru kemampuan kreatif dan teknis yang luar biasa darinya.
Kalau bisa, aku ingin dia tetap lanjut di klub. Tapi
tentu saja, dia juga punya kehidupannya sendiri.
“Baik, aku akan berusaha menjadi ketua yang baik. Meskipun
aku sedih…”
Namun ketua menggeleng. Tanggapan tak terduga itu
membuatku terkejut.
“Tapi ya… Aku tidak ingin berhenti berkarya. Jadi
meskipun aku pensiun, bolehkah aku datang ke klub sekitar tiga kali seminggu?”
“Benarkah!? Tentu saja kami
sangat senang, bahkan kami ingin memohon hal itu…”
“Syukurlah. Tidak apa-apa kok. Waktu pertemuan orang
tua-guru kemarin, aku berkonsultasi dengan guru. Katanya, prestasiku dan hasil
kegiatan klub sejauh ini sudah cukup untuk membuatku diterima di universitas
pilihanku melalui jalur rekomendasi. Aku ingin masuk jurusan informatika, jadi
ikut terus kegiatan klub akan bermanfaat. Guru dan Ibu juga bilang begitu.”
Mendengar itu, aku tak kuasa menahan rasa senang—aku
sampai bersorak kecil di dalam hati.
“Yatta.” Ucapan itu lolos tanpa sengaja.
Membuat Ketua tertawa kecil.
“Dan setelah aku lulus, aku juga ingin tetap
berkegiatan bersama kalian. Kurasa, bahkan di universitas, aku tidak akan mudah
menemukan orang-orang yang bisa membuatku berkembang sejauh ini. Aku ingin
terus tumbuh bersama kalian.”
Hatiku dipenuhi rasa bahagia.
“Tentu saja. Kalau begitu, bagaimana kalau nanti
kita buat circle (komunitas) juga? Dengan begitu, kita tak hanya terikat aturan
klub sekolah dan bisa berkegiatan lebih luas.”
“Syukurlah. Aku masih tidak begitu berpengalaman, tapi
mohon kerja samanya ke depannya.” Ketua tersenyum anggun.
Es teh tanpa gula hari ini terasa manis.
Setelah itu, kami menikmati waktu untuk merencanakan
kegiatan, seperti rencana menginap di villa milik ketua saat liburan musim
panas.
Aku sempat berpikir, andai saja di kehidupan
sebelumnya aku bisa bertemu dengan ketua…
mungkin hidupku akan jauh berbeda.
Chapter 159 — Katsuya dari Sudut Pandang
Michitaka
“Oi, Michitaka. Main gim, yuk.”
Hari ini kegiatan klub diliburkan.
Sepertinya Rika sedang minum teh bersama ketua klub,
sementara aku berencana pulang sendirian, mengerjakan sedikit pekerjaan, lalu
tidur lebih cepat.
Tapi ya, jadinya begini.
“Kamu pikir aku ini Sazae-san apa.”
“Bukan baseball, woi. Gim! Klub band juga libur hari ini. Mumpung
liburnya bareng, rugi kalau nggak main.”
Memang benar, sejak aku masuk klub, kesempatan untuk menghabiskan waktu
berdua dengannya jadi jarang.
Kalau aku tidak bisa akrab dengan Katsuya, hidup
pasti akan membosankan.
Karena di kehidupan sebelumnya, Katsuya selalu
mendukungku sampai akhir.
Tapi, perkataan itu agak menyesatkan. Kalau
dipikir-pikir, lebih tepatnya aku yang menjaga dan mengarahkan bakat luar
biasanya.
Skenario dan musik buatan Katsuya memikat banyak
orang.
Kesuksesan perusahaan kami waktu itu sebagian besar
karena bakat Katsuya.
Karena itu, ia selalu menjadi pusat perhatian.
Aku yakin dia bisa sukses bahkan tanpa aku.
Namun… ini mungkin hanya ego pribadiku, tapi aku
ingin terus bersama Katsuya.
Mengerjakan proyek bersama dengannya, lalu setelah
selesai, kita makan karaage dan gyoza
di restoran Cina dekat stasiun, ditemani bir atau highball— itu adalah
kenikmatan tertinggi.
“Boleh juga. Sesekali kita main di kamarku. Kita
beli cola dan kentang goreng di McD depan stasiun.”
Sekarang kami belum bisa minum alkohol, jadi cola
dan kentang goreng jadi penggantinya.
“Wah, boleh tuh. Emang lu mantap, Michitaka. Jangan
lupa chicken nugget. Dan kentangnya pakai saus BBQ.” Ucapnya sambil tertawa.
Ahh… saat kami bercanda seperti ini, aku merasakan
nostalgia, seolah aku kembali ke masa lalu, atau pulang ke rumah.
Akhirnya aku sadar, di mana pun berada, Katsuya
tetaplah Katsuya.
Dan itu sungguh membahagiakan.
“Enak banget ya… Sudah lama rasanya kita nggak
begini.”
“Aneh banget sih lu.”
Dia bilang begitu, dan aku hanya bisa tersenyum
hambar.
Siapa yang menyangka saat SMA, bahwa suatu hari
kami akan membangun perusahaan bersama, lalu menjalankannya berdua selama lebih
dari 10 tahun.
Kalau kukatakan itu sekarang, pasti dianggap omong
kosong.
Meski begitu… aku tetap…
Aku ingin kali ini, kita membuat sesuatu yang luar
biasa bersama.
Sampai bisa mengejutkan Sugawara-san dan Presiden
Hongo.
Rika dan Ibuku adalah orang yang harus kulindungi, tapi
Katsuya adalah orang yang akan berjuang bersamaku.
Bahkan setelah datang ke dunia ini, aku tidak pernah
membayangkan Katsuya akan pergi meninggalkanku.
Sudah terlanjur terasa wajar bagiku bahwa dia selalu
ada di sisiku, bertarung bersama.
“Kita sebenarnya bisa main gim online bareng, tapi
kita nggak pernah ya?” Saat aku bergumam begitu, Katsuya tertawa.
“Ya iyalah. Yang paling seru itu main sambil
ribut-ribut langsung gini!”
“Bener juga.”
Mungkin, kalimat itu adalah cerminan hubungan kami.
Memikirkan hidup tanpa Katsuya… rasanya tak
terbayangkan.
Chapter 160 — Sarapan Bersama Takuji
“Haaah…”
Ngantuk sekali.
Sebenarnya karena ini hari libur, aku bisa saja
tidur lebih lama.
Tapi Misato ada latihan klub, jadi aku bangun pagi
untuk menyiapkan sarapan.
Hari ini, kegiatan klub kami berjalan mandiri,
masing-masing melanjutkan pekerjaan.
Rika bilang ia akan datang ke rumah sore nanti, jadi
sepertinya aku punya banyak waktu luang.
Pekerjaanku sejauh ini berjalan sangat lancar, dan
mungkin bisa kuselesaikan sedikit pekerjaan lagi nanti sore.
Skenario Rika sudah selesai, pekerjaan Takuji juga
berjalan baik.
BGM buatan Katsuya agak terlambat, tapi karena musik
bagian akhir itu penting, biar dia mengerjakannya dengan santai saja.
“Mungkin aku bisa sedikit mempercepat pekerjaan dan
membuat video pengumuman juga.”
Bahannya sudah lengkap, dan kalau kubuat dengan gaya
MAD memakai BGM Katsuya, pasti menyenangkan.
Sarapan hari ini sederhana: roti panggang dengan
telur mata sapi.
Roti dioles sedikit mayones lalu dipanggang, di
atasnya dipasang ham-egg. Lalu salad selada dan sup rumput laut ala Tiongkok dengan
aroma minyak wijen.
Memang sederhana, tapi kupikir ini cocok untuk
mengisi tenaga sebelum latihan.
“Wah—makasih, Kak! Walau hari libur, Kakak tetap
masakin aku sarapan, aku senang banget!”
Kalau dibilangi seperti itu, rasanya usahaku
terbayar.
Misato makan sarapan, lalu pergi dengan penuh
semangat. Ibu masih tidur. Hari ini biarkan beliau beristirahat lebih lama.
Setelah melepas kepergian Misato, aku jadi punya
waktu kosong. Kupikir akan baca buku sebentar lalu mulai bekerja lagi.
Tapi tepat saat itu, ada pesan dari Takuji.
“Sebenarnya aku sedang sarapan di dekat rumah senpai.
Kalau boleh, bagaimana kalau minum kopi bersama?” Begitu bunyi ajakannya.
Terus terang, aku senang.
Waktu SMA aku tidak ikut klub apa pun, jadi jarang
punya kesempatan akrab dengan adik kelas laki-laki.
“Boleh. Aku segera ke sana.”
Baru makan roti panggang sedikit, jadi aku
menantikan ini. Cowok SMA bisa makan banyak.
***
Tempat yang dipilih Takuji adalah kafe terkenal
bergaya rumah kayu. Yang menyajikan roti katsu dan sandwich berukuran besar
itu.
Tak kusangka anak keluarga berada seperti Takuji juga
mau ke tempat seperti ini.
“Michitaka-san!”
Takuji melambaikan tangan.
“Terima kasih sudah mengundang.”
“Tidak, tidak. Sesekali aku ingin berbincang santai
dengan Michitaka-san. Semoga tidak merepotkan?”
“Sama sekali tidak.”
Sepertinya Takuji sudah memesankan minuman untukku.
Di sini, saat jam sarapan, kalau memesan minuman, kita
mendapat roti panggang gratis.
Sebelumnya aku sudah bilang lewat pesan untuk
memesan kopi hitam dan roti panggang ogura.
“Pesanannya Baru saja datang.”
Sepertinya aku tiba di waktu yang tepat.
“Terima kasih.”
Takuji memilih paket roti panggang dan telur rebus. Minumnya
café au lait.
Setelah minum sedikit dan memakan setengah roti, Takuji
masuk ke pokok pembicaraan.
“Sebenarnya, aku ingin mengucapkan terima kasih
dengan benar pada Anda.”
“Terima kasih?”
“Ya. Selain karena Anda menyelamatkankku dari ulah
kakak tiriku— yang terpenting, senpai membuatku kembali menghadapi dunia
menggambar.” Ia tersenyum. Senyuman yang menyilaukan.
Hanya dengan mendengar anak muda berkata bahwa
nasihatku membantunya, bagian diriku yang dulu seorang om-om rasanya ingin
meloncat gembira.
“Sayang kalau bakatmu disia-siakan.”
“Terima kasih. Aku yakin, kalau tidak bertemu senpai,
aku mungkin akan terus menyesal dan akhirnya menyerah pada dunia seni. Aku
benar-benar merasa hidup saya berubah karena bertemu senpai.”
Aku hampir menangis saking senangnya.
“Aku juga senang. Aku yakin Takuji akan menjadi
seniman hebat.”
“Aku akan berusaha. Setelah gim ini selesai pun, kita
masih akan terus menciptakan sesuatu bersama, kan?”
“Ya. Ketua klub bilang setelah lulus pun dia tetap akan membantu.”
Takuji mengepalkan tangan dengan semangat.
Aku merasa dadaku bergetar karena aku bisa menjadi saksi paling dekat atas lahir dan tumbuhnya seorang dewa ilustrasi.



Post a Comment