NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 5 Chapter 3

Chapter 3 – 20 Oktober (Selasa) Asamura Yuuta


Sejak pelajaran sore hari, aku merasa gelisah. Pelajaranku sore itu seharusnya bahasa Jepang modern. Tapi, teman sekelasku yang sedang membaca buku pelajaran terdengar seperti berbicara dalam bahasa asing. Seolah-olah, setiap kata yang mereka baca seperti masuk ke telinga kiri, lalu keluar ke telinga kanan. Saat ini, hanya ada satu hal yang bisa difokuskan oleh otakku yang sederhana—Kencan belanja dengan Ayase-san.

Pikiranku hanya terfokus pada menyusun rencana untuk menjadikan kencan itu menjadi menyenangkan. Aku sama sekali tidak cukup percaya diri untuk berharap dia akan bersenang-senang hanya dengan bersamaku. Tapi, setidaknya aku tidak ingin membuatnya terlupakan.

"Apa kau sedang memikirkan sesuatu, Asamura?"

Mengangkat kepalaku, aku bertemu dengan pemandangan Maru berbalik ke arahku.

“Oi, Maru. Kita masih berada di tengah pelajaran, tahu.”

Kupikir itu tidak terlihat di wajahku. Tapi, Maru memberiku tatapan lelah.

"Ngomong apa kau ini? Pelajarannya sudah selesai.”

"Apa?"

Aku dengan panik melihat sekeliling dan melihat bahwa teman-teman sekelasku sedang berkemas untuk pindah kelas.

Oh ya, hari ini pelajaran jam ke-6 adalah eksperimen kimia di kelas terpisah, kan?

“Sepertinya kau sedang dalam masalah. Aku tidak keberatan mendengarkanmu, kau tahu? Yah, meskipun aku tidak yakin aku bisa membantumu."

“Tidak menepati janjimu sama sepertimu, Maru.”

"Aku tidak akan berjanji untuk membantu dengan hal-hal yang tidak bisa kulakukan."

Inilah tepatnya mengapa aku percaya padanya. Selain itu, bagaimanapun…

"Apakah ini kelanjutan dari terakhir kali?" Dia bertanya.

"Nggak juga…"

Ketika aku melihat ekspresi ragu di wajahnya, aku teringat apa yang dia katakan sebelumnya.

"Kau pernah mengatakan bahwa sangat penting menunjukkan perhatianmu kepada orang yang kau sukai, kan?"

“Tentu saja, tapi yang penting adalah prosesnya. Kau tidak bisa mempercayai hasilnya sendiri.”

Sepertinya dia mengharapkanku untuk mengangkat topik itu lagi. Aku tidak bisa mengatakan kepadanya bahwa dia salah, sayangnya. Tapi, aku ingin. Lagipula, dia juga tidak sepenuhnya salah. Pada catatan yang berbeda…

"Apa maksudmu kau tidak bisa mempercayai hasilnya sendiri?"

“Ini datang dari seorang pria yang tidak tertarik pada hal seperti itu. Jadi, ambillah dengan sebutir garam. Katakanlah kau melihat seorang gadis yang menata dirinya dengan riasan. Bisakah kau benar-benar menilai sendiri bahwa dia bekerja keras untuk membuatmu terkesan?"

"Err…"

“Satu-satunya pria yang bisa dengan percaya diri mengatakan itu adalah mereka yang menggunakan riasan sendiri. Itulah yang kurasakan, setidaknya.”

“Hm, itu masuk akal.”

Aku memikirkan kembali tentang Ayase-san. Karena aku pernah melihatnya dalam keadaan tak berdaya, yaitu hanya dengan piyama dan rambut agak berantakan, aku sekarang mengerti betapa banyak usaha yang dilakukan untuk bangun seperti biasa.

“Hasilnya hanya … yah, hasil. Tidak lebih, tidak kurang. Itu sama dalam baseball.”

"Bukankah itu buruk dalam olahraga khususnya?"

“Ini akan mengayunkanmu dari suka ke duka. Sepuluh tahun terlalu dini bagiku untuk percaya diri dengan hasilku. Kalau kau bahkan tidak bisa melihat seberapa banyak usaha yang dilakukan lawanmu dalam latihan mereka, kau sendiri tidak akan membuat kemajuan apa pun. Aku tidak akan menurunkan kewaspadaanku bahkan untuk sesaat.”

Aku pikir, aku mengerti? Itu pandangan yang cukup tabah.

“Itu sebabnya, penting untuk melihat proses di balik upaya orang lain. Bahkan jika itu wanita yang kau kencani.” Aku mencoba merangkum argumennya.

"Tepat. Sekali lagi, hal yang sama berlaku untuk baseball. Aku tidak berniat memamerkan usahaku dalam keadaan normal apa pun, tetapi argumen berubah jika itu melibatkan orang yang kuminati. Bandingkan dengan makan makanan dari restoran dan makan makanan buatan sendiri yang dibuat pacarmu. Kau akan jauh lebih bahagia dengan masakannya karena dia melakukannya untukmu, bahkan jika itu tidak sebanding dengan rasa makanan restoran.”

Poin bagus, meskipun masakan Ayase-san lebih baik daripada kebanyakan makanan yang bisa aku makan di restoran...

“Bekerja keras itu sendiri juga membantu daya tarikmu. Yah, aku pribadi tidak akan memberitahumu untuk mengikuti saranku, kalau aku jadi dirimu."

“…Bukankah kau pada dasarnya bertentangan dengan dirimu sendiri? Memberitahuku untuk tidak mengikuti saranmu."

"Asamura, kau adalah pengecualian dari formula."

Aku sedikit memiringkan kepalaku untuk menekankan kebingunganku. Aku gagal memahami mengapa aku menjadi pengecualian.

“Kau pasti tidak tahu, kan?"

"Yah."

“Itu karena kau begitu jelas dan mudah dilihat, Asamura. Kau akan baik-baik saja.”

Untuk sepersekian detik, aku benar-benar kehilangan kata-kata. Aku mudah dibaca…?

“Jadi, jadilah dirimu sendiri. Bersikaplah normal dan itu akan berhasil.”

“Eh…?”

“Jangan khawatir, Asamura Yuuta, teman baikku. Kau terlalu kikuk untuk melakukan semua ini. Kau juga terlalu canggung untuk secara aktif menyembunyikan segala upaya yang kau lakukan untuk sesuatu—atau seseorang. Jangan mencoba untuk jujur, lakukan saja. Kekuatan penuh, tanpa rem.”

Apa kau pikir aku akan lega mendengar pernyataan seperti itu? Apa sih artinya 'normal'? Bersikap normal? Bagaimana aku biasanya bertindak?

"Sekarang aku malah lebih bingung..."

Maru, bagaimanapun, hanya menertawakan penderitaanku begitu lama sehingga kami hampir terlambat untuk pelajaran berikutnya.

* * *

Setelah pelajaran berakhir, aku kembali ke rumah untuk berganti pakaian. Kupikir jika aku pergi ke sana dengan seragam sekolah, itu hanya akan membuat kami menonjol. Meskipun, aku mungkin bukan casanova yang berpengalaman. Tapi, bahkan aku sadar bahwa seragam sekolah bukanlah pakaian yang pantas untuk kencan antara pria dan wanita. Tapi yang lebih penting… pakaian.

Setelah berjam-jam merenung, aku masih tidak bisa menemukan pakaian yang cocok untuk aku kenakan. Masalah lain yang baru kuketahui beberapa waktu yang lalu adalah memiliki pasangan kencanmu yang tinggal di apartemen yang sama membuat sangat sulit untuk memeriksa penampilanmu di cermin kamar mandi. Dia pasti akan mendengar langkah kakiku yang terus bolak balik dari kamar mandi.

Maru bilang bahwa aku harus menjadi diriku sendiri. Tapi tetap saja, itu tidak mungkin bagiku. Yah, karena aku hanyalah anak SMA biasa, aku juga tidak memiliki cermin dengan ukuran besar di kamarku. Setelah merenungkan dengan putus asa. Aku  memutuskan untuk menggunakan alat manusia yang paling banyak digunakan dan berguna di zaman modern—smartphoneku dan fungsi kameranya untuk mengambil foto narsis. Aku memasangnya setinggi mata dan berdiri cukup jauh dari smartphone agar memperlihatkan seluruh tubuhku.

"Ya, seharusnya ini cocock denganku."

Pada akhirnya, aku menemukan pakaian yang menurutku paling cocok. Masalahnya adalah pakaian itu ternyata sama dengan yang biasa aku pakai saat pergi keluar.

Ini benar-benar biasa, jaket hitam dengan sweater rajutan abu-abu muda dan jeans denim hitam yang serasi. Ini tidak buruk atau begitulah menurutku, tetapi aku tidak bisa yakin dengan seleraku sendiri.

“… Kebanyakan cowok juga sering pakai baju seperti ini, kan?"

Aku merenungkannya sejenak sebelum mengirimkan salah satu gambar yang telah aku ambil kepada Shinjou melalui LINE. Aku menambahkan pesan bahwa aku ingin pendapat halus adik perempuannya. Dalam keadaan normal, tidak mungkin aku mengandalkan metode seperti itu. Namun, mempertimbangkan dengan risiko Ayase-san yang berpotensi berpikir bahwa aku payah, aku lebih memilih diolok-olok oleh gadis SMP yang tidak aku kenal.

Dengan pemikiran itu, aku baru menyadari bahwa mungkin Shinjou sedang berada di tengah-tengah kegiatan klub saat ini dan aku ragu adik perempuannya memiliki waktu luang daripada dia. Aku tidak akan bisa mengeluh jika aku hanya mendapatkan jawaban setelah aku pergi dengan Ayase-san. Aku tidak percaya aku bahkan tidak berpikir sejauh itu ...Namun, segera setelah itu. Aku melihat bahwa pesan yang aku kirimkan telah dibaca. 

"Ah, dia menjawabku."

Hm, dia sedang istirahat 'ya? Belum lagi, aku mendapat tanggapan langsung.

Ketika aku membaca kata-kata itu, keringat dingin mulai mengalir di punggungku. Baru sekarang aku merasa malu mengirim selfieku ke seseorang yang sebenarnya orang asing, mencari evaluasi mereka. Tapi, yang bisa aku lakukan hanyalah mengetik jawaban dengan jari gemetar.

> (Yuuta): Apa yang dia katakan?

> (Shinjou): Itu normal.

> (Yuuta): Hah?

> (Shinjou): Hanya itu yang dia katakan 'Normal'

Dia mengirimiku tangkapan layar obrolannya dengan adik perempuannya.

Bukankah ini berarti dia tidak cukup tertarik untuk memberikan tanggapan yang sebenarnya? Mungkin pakaianku begitu biasa sehingga tampak hambar?

> (Shinjou): Maaf, istirahatku sudah selesai.

Dia meninggalkanku pesan terakhir itu. Aku mengiriminya emote untuk menyampaikan rasa terima kasihku dan menghela nafas pada diriku sendiri.

Aku benar-benar payah ....

Mendapatkan jawaban yang samar-samar seperti itu hanya membuatku semakin bingung. Jadi, tidak ada manfaatnya sama sekali. Yah, ini salahku karena aku mencoba mengandalkan orang lain dengan sedikit waktu yang telah diberikan kepadaku.

"Tapi, bukankah adik perempuannya dan dia agak terlalu dekat?" Aku bergumam pada diriku sendiri sambil memeriksa tangkapan layar obrolan mereka.

Mampu langsung terjun ke percakapan pada saat tertentu benar-benar menunjukkan seberapa dekat mereka sebagai saudara kandung. Lagipula, dia satu-satunya orang yang bisa aku ukur dalam hal itu. Jadi, tidak ada jaminan bahwa hubungan semacam ini normal atau tidak. Aku melanjutkan pemikiran itu dan membandingkannya dengan Ayase-san.

Jika seorang anak laki-laki yang aku kenal mengirimiku foto selfie, menanyakan pendapat Ayase-san, bisakah aku menyampaikan padanya?

Aku punya firasat bahwa aku mungkin tidak akan mau melakukan itu. Aku akan memikirkan semacam alasan untuk tidak melakukannya. Aku benar-benar tidak ingin mendengar pendapat Ayase-san tentang anak laki-laki lain, apa pun topiknya.

Sebagai perbandingan, Shinjou dan adik perempuannya telah mencapai ikatan di mana mereka saling percaya, memungkinkan dia untuk mengirim foto secara acak untuk persetujuan dan evaluasinya. Fakta bahwa tak satu pun dari mereka memiliki masalah dengan itu menunjukkan interaksi yang tepat antara sepasang saudara kandung.

Jadi mengingat hal itu, mungkin perasaanku berbeda dari konsep itu?

"Apa kamu sudah siap untuk pergi berbelanja?"

Ketika aku memikirkan hal ini, tiba-tiba sebuah suara memanggilku dari sisi lain pintu kamarku, yang mengganggu jalan pikiranku.

Sepertinya Ayase-san sudah bersiap-siap....

"Ya, tidak masalah... kurasa."

Aku masih tidak percaya diri dengan pakaianku. Tapi, berdiri di sekitar mengkhawatirkannya tidak akan ada gunanya bagi kita berdua. Aku harus menjalankannya dan berdoa itu berhasil. Saat membuka pintu, aku melihat Ayase-san bangun dari sofa ruang tamu. Dia berjalan di depanku dan aku langsung menelan ludahku saat aku menatap matanya. Yang bisa kupikirkan hanyalah—Itu Ayase-san untukmu.

Dia mengenakan atasan rajutan berwarna merah anggur dengan blazer hijau lumut yang menonjolkan perbedaan warna dengan cukup baik. Mereka adalah warna pelengkap, tetapi tidak terlalu cerah untuk dilihat. Sekali lagi, aku terkesan dengan selera fashion dan kombinasi pakaiannya yang mengagumkan. Aku juga bisa melihat liontin segitiga kecil tergantung di dadanya juga. Terlebih lagi, dia mengenakan rok hari yang memberinya citra tenang dan damai, suatu hal yang belum pernah aku lihat selain seragam sekolahnya. 

Persenjataannya yang biasa adalah sesuatu yang mirip dengan citra rata-rata siswi SMA. Namun, hari ini tampkanya dia sedikit melonggarkan pertahanannya...seolah-olah dia sedikit lebih mudah untuk didekati. Dia sama cantiknya dan imut seperti biasa… Sekali lagi, aku bukan kritikus fashion, ini hanya pendapat pribadiku.


“Kalau begitu, ayo pergi.”

“Ah…, tunggu sebentar.”

“Hm?”

Ayase-san hendak memakai sepatu botnya. Tapi, dia menghentikan langkahnya untuk berbalik ke arahku lagi.

"Apa kamu melupakan sesuatu?"

"Tidak, bukan itu. Hanya saja, apakah berjalan ke stasiun bersama itu pilihan yang tepat?"

“Mn, tenang saja. Hari ini, kita memakai pakaian kasual ... Jadi, kurasa tidak masalah. Lagipula, ini adalah sesuatu yang biasa dilakukan Kakak-adik. Dan, aku tidak terlalu keberatan.”

“Ah, benar juga. Um, maaf sudah menanyakan sesuatu yang aneh seperti itu.”

“Tidak apa-apa, hal seperti ini juga penting. Sebaliknya, aku senang kamu mengingatkanku. Setiap kali kita bermasalah dengan keputusan, mari kita menyesuaikan satu sama lain sama seperti biasanya.” kata, Ayase-san.

Kata-katanya itu membuatku merasa lega dari lubuk hatiku.

... Ini dia.. Inilah yang sangat aku suka dari dirinya.

Dan dengan pemeriksaan terakhir, Ayase-san dan aku meninggalkan apartemen di belakang kami.

* * *

Saat menunggu kereta berikutnya di stasiun kereta Shibuya, aku dipenuhi dengan perasaan tidak nyaman yang kuat. Pada awalnya, aku bahkan tidak tahu persis apa yang membuatku begitu terganggu, tetapi kemudian aku menyadari bahwa tatapan kami terus bertemu saat kami berdiri bersebelahan. Itu wajah Ayase-san... atau lebih tepatnya, ekspresinya. Sepertinya dia berusaha menahan tawanya.

Setiap kali dia melirikku, mulutnya berkedut… kurasa, setidaknya. Apakah dia menertawakan pakaianku? Aku tidak berpikir dia tipe orang seperti itu… aku harap. Mungkin dia melihat bagian dari pakaianku yang membuatnya terkikik?

Jika aku bertanya tentang hal itu, aku mungkin akan meninggalkan percakapan dengan pisau yang ditusukkan ke dadaku. Jadi, aku tidak bisa. Mungkin dia hanya mencoba untuk menjadi perhatian dengan tidak menyebutkannya.

Semakin aku memikirkannya, semakin tampak realistis bagiku. Aku segera menggelengkan kepalaku untuk menyingkirkan pikiran negatif ini. Jawaban yang benar dan salah mungkin akan membuat segalanya menjadi canggung. Jadi, aku memutuskan untuk tidak membahasnya. 

Tapi meski begitu, pasti terasa aneh… Oke, cukup! Aku juga tidak harus terus-menerus melirik ekspresinya atau dia akan berpikir aku tidak sopan.

Aku mengalihkan perhatianku dari Ayase-san dan mencoba yang terbaik untuk tidak melihatnya saat kami naik kereta.

* * *

Setelah dua puluh menit, kami akhirnya sampai di stasiun Ikebukuro. Setelah menuruni tangga dari peron, kami melewati jalan bawah tanah sebentar dan menyelinap melewati gerbang tiket. Kami berjalan melewati patung batu terkenal di pintu masuk timur yang sering digunakan sebagai titik pertemuan, menaiki tangga lagi dan pergi ke luar. Saat kami berjalan menyusuri jalan Sunshine, kami disambut oleh pemandangan toko krep, kafe, toko sepatu, toko fashion antik, toko pakaian, pusat permainan, bioskop dan banyak tempat lainnya.

Seperti namanya, kawasan ini sangat ramai.. yang menjelaskan mengapa tempat ini dipenuhi orang, mulai dari kelompok teman biasa hingga pasangan. Kau bisa melihat semua jenis orang di mana pun kau melihat.

"Woah…"

Di sudut jalan, aku bisa melihat pasangan berbagi ciuman penuh gairah dan berpelukan, yang membuatku tanpa sadar mengeluarkan suara bingung. Ini tentu saja membuatku mendapat pukulan ringan di sisiku oleh Ayase-san.

"Tidak sopan menatap mereka seperti itu."

"Maaf, aku tidak sengaja melihatnya."

"Yah, aku mengerti perasaanmu.. kamu pasti terkejut melihat hal seperti itu tiba-tiba."

Kami berdua saling tersenyum masam dan menegur diri kami sendiri. Perasaan manusia benar-benar rumit dan aneh. Ini adalah kebebasan setiap orang apa yang mereka lakukan dan di mana, dan perspektif orang luar tidak dapat memengaruhi tindakan mereka. Itulah prinsip yang ingin aku jalani. Dan meskipun begitu, begitu aku bertemu dengan pemandangan ciuman yang ditampilkan tepat di depanku, aku menggigit filosofiku sendiri di leher.

Jika aku ditanya 'Jika pasangan berciuman di depanmu, bagaimana perasaanmu?' dalam sebuah survei, aku biasanya akan menjawab terus terang 'Aku tidak akan merasakan apa-apa,' namun pada saat itu, penilaianku kabur karena pemandangan tak terduga di depanku. Sebagian dari diriku mungkin mempertahankan filosofiku, sedangkan sebagian lainnya menyerah pada naluriku. Nilai-nilai sebagai bagian dari filosofiku yang telah kubangun selama bertahun-tahun dengan pengalaman dan pengetahuan sekarang telah hancur berkeping-keping ketika sel-sel otakku membeku di tempat, memungkinkanku untuk melihat melampaui fasad yang selama ini aku andalkan.

“Apa itu sesuatu yang ingin kau lakukan, Ayase-san?”

“Tidak, kurasa.. Dan juga, aku akan sedikit terkejut jika seseorang tiba-tiba bertanya kepadaku apakah aku mau atau tidak."

"Sepakat. Tidak perlu menyesuaikan dalam hal itu, kurasa."

"Tidak apa-apa. Itu juga pertanyaan penting.”

Berciuman di depan orang lain bukanlah sesuatu yang ingin kita lakukan, juga bukan sesuatu yang kita anggap diinginkan. Faktanya, jika saudara kandung melakukan itu di depan umum, itu akan menimbulkan kehebohan. Jadi, itu seharusnya bukan sesuatu yang layak dipertimbangkan, tetapi iblis ada dalam detailnya, seperti yang mereka katakan. Setelah aku mendapatkan kembali ketenanganku, Ayase-san dan aku terus berjalan menyusuri jalan, menuju jalan yang lebih kecil. Segera setelah itu, papan reklame biru raksasa menyambut kami dari atas. Itu sangat mencolok sehingga menonjol bahkan di tengah jalan Sunshine dan ada kerumunan orang di pintu masuknya.

"Oh? Apakah ini.."

"Benar, ini toko yang menjual berbagai merchandise anime. Toko ini cukup terkenal dan menyimpan banyak hal yang berbeda.”

Aku tahu yang ini. Cabang lain terletak di Shibuya dan Maru sudah menyeretku ke sana beberapa kali sebelumnya. Aku sedikit terkejut karena semua yang memenuhi pikiranlu. Jadi, aku perlu beberapa saat untuk mengingat mengapa kami datang ke sini sejak awal.

"Um, Ayase-san?"

“Hm?” Dia menatapku.

“Kita… sedang membeli hadiah untuk Narasaka-san, kan?”

"Iya..."

“…Kita akan membelinya dari sini?”

Aku merasa barang-barang yang dijual di sini tidak bisa jauh dari hadiah biasa yang kau dapatkan dari seorang gadis SMA di masa jayanya.

"Dia benar-benar menyukai hal-hal semacam ini." Ayase-san menunjuk karakter anime di poster yang tergantung di depan toko.

Untuk sesaat aku merasa bingung dengan jawabannya. Karena aku adalah orang yang membaca novel ringan di waktu luangku, aku tidak memiliki prasangka apapun terhadap hobi tertentu. Aku bukan tipe orang yang akan berkeliling membeli merchandise untuk apa saja. Tapi, kurasa aku mungkin terlihat sama saat mengobrak-abrik penjualan buku baru… tapi kasusku tidak penting sekarang. Lebih banyak fokus harus mengarah pada fakta bahwa gadis yang ramah dan normal seperti itu akan tertarik pada anime — dan ini bukan prasangka. Itu tidak terasa seperti itu setiap kali kami berbicara sampai titik ini, wajar kalau aku terkejut.

"Apa kamu masih ingat tentang adik laki-lakinya?"

“Ah, aku ingat setelah kau menyebutkannya."

“Dia bilang dia menonton anime dengan adik laki-lakinya di beberapa layanan streaming. Itu sebabnya, dia cukup berpengetahuan tentang anime baru dan sebagainya. Dan dia bisa menontonnya sambil mengerjakan tugas, yang juga merupakan nilai plus untuknya.”

“Jadi, dia dipengaruhi oleh adik-adiknya 'ya?”

“Mn, awalnya ... tapi, sekarang dia sendiri malah ketaagihan, katanya padaku.”

Begitu, ya ... Jadi, Ayase-san datang dengan ide membeli barang anime untuk membuat Narasaka-san senang, yang sangat masuk akal bagiku. Kami entah bagaimana berhasil menyelinap melewati kerumunan di depan toko dan masuk ke dalam.

"Luas juga. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana mencarinya.”

“Hanya berjalan-jalan dan melihat apa pun yang kau sukai akan membawa kita ke suatu tempat. Yah, aku juga tidak tahu apa yang ingin kau cari. Laipula, aku tidak tahu hal yang disukai Narasa-san."

"Tidak apa-apa, kamu bisa menyerahkan bagian terakhir itu kepadaku."

Dalam pencarian kami untuk hadiah ulang tahun yang sempurna, Ayase-san dan aku perlahan berjalan melewati toko dari satu sudut ke sudut lain. Sementara kami melakukannya, aku belajar bagaimana barang-barang anime modern ditangani dalam hal setiap jenis kelamin. Area untuk barang-barang yang ditargetkan untuk wanita tidak seperti jenis tempat 'BARANG ANIME MUTLAK ' yang biasanya kau lihat. Sebaliknya, mereka menawarkan barang-barang tertentu untuk karakter favorit, sebagian besar dalam bentuk lencana siswa, gantungan kunci atau buku catatan. Karena mereka hanya memiliki desain yang terukir di sudut, mereka terlihat seperti aksesori yang benar-benar normal dalam sekejap.

"Ini cukup normal ..."

"Iya, tempat ini cukup bagus."

“Seperti itukah bagimu?”

“Ini—” kata Ayase-san dan menunjuk rak buku di sebelah kami.

Isinya mainan mewah dan gantungan kunci dari karakter bahkan aku tahu dari anime yang aku tonton ketika aku masih kecil.

“…Ini mungkin sedikit lebih sulit untuk digunakan.”

"Ah, aku tahu itu."

Dengan kata lain, komersialisasi barang-barang anime telah meningkat?

Sekarang aku memikirkannya, Maru pernah menyebutkan sesuatu yang mirip denganku sebelumnya. Pertumbuhan pasar barang otaku disebabkan oleh generalisasi budaya otaku, yang mengarah pada diversifikasi barang yang lebih besar. Meski begitu, karena aku tidak pernah memiliki persepsi bahwa menjadi otaku dan tampil gaya adalah ide yang bisa hidup berdampingan, aku sedikit terkejut dengan penemuan ini.

Aku melihat sekeliling dengan kaget, menyaksikan bahwa sebagian besar pelanggan di toko semuanya berpakaian normal bahkan bergaya. Aku bahkan bisa melihat jumlah pria dan wanita yang sama... 

Tidak, ada lebih banyak wanita daripada pria saat ini. Oh ya, beberapa waktu lalu, Ayase-san bilang kalau dia iri dengan bentuk alisku, meski aku tidak melakukan apa-apa...

Banyak pria di sekitarku terlihat sama dalam hal itu, bukan hanya wanita. Dan jika gen mereka tidak membantu penampilannya, kemungkinan besar mereka mencoba merapikannya.

Begitu. Itu sebabnya, Ayase-san dengan acuh berasumsi bahwa aku merawat alisku. Maru menyebutkan bahwa semakin banyak otaku yang lebih memperhatikan penampilan luar mereka akhir-akhir ini. Jadi, itu pasti bagian dari itu.

“Karena kita berurusan dengan seseorang yang terbuka secara sosial seperti Maaya, aku cukup yakin dia tidak akan terlalu peduli.”

"Masuk akal…"

Tidak peduli apa yang kita beli untuknya, semuanya terasa baik-baik saja karena itu Narasaka-san. Meskipun aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk. Pada akhirnya, kita masih harus memilih sesuatu untuknya. Sebagai sedikit hadiah, setidaknya aku ingin melihatnya tersenyum. Aku secara berkala mendengarkan pendapat Ayase-san tentang berbagai hal dan kami akhirnya mendapatkan mug dari anime yang baru-baru ini dia ikuti (yang target demografinya terutama anak-anak, yang menjelaskan mengapa aku belum pernah mendengarnya sebelumnya). Dalam hal ini, ada lambang anime yang terukir di cangkirnya.

Dengan keluarga besar seperti Narasaka-san, dia seharusnya baik-baik saja dengan beberapa peralatan makan lagi yang dia miliki dan karena itu dari anime yang mungkin ditonton adik laki-lakinya, dia selalu bisa membiarkan mereka menggunakannya jika dia tidak mau.

Phew. Terima kasih sudah membantuku, Ayase-san. Kau memberiku beberapa saran yang bagus.”

"Benarkah? Aku senang bisa membantumu."

Dengan kantong plastik berisi hadiah terbungkus di tangan, kami menyatakan keperluan kami di sini selesai dan meninggalkan toko di belakang kami. Waktu hari sudah mulai berganti malam, karena langit sudah mulai gelap meski baru pukul 5 sore.

“Oh, ya. Ayase-san, kau belum membeli hadiahmu 'kan? Apa kau sudah memiliki sesuatu?”

“Aku mengubah rencana awalku. Sebenarnya, aku akan pergi membeli sesuatu besok.”

Atau begitulah yang dia katakan. Tapi, dia tidak pernah memberitahuku apa sebenarnya yang dia rencanakan untuk dibeli pada akhirnya.

* * *

Kami berjalan pulang, dengan lembut terguncang dari kiri ke kanan di dalam kereta yang bergerak. Memikirkan kembali, hari ini benar-benar tidak terasa seperti kencan sama sekali.

Berjalan-jalan di sekitar toko sambil bertukar pendapat dan bercanda memang menyenangkan. Tapi, kami bahkan tidak berpegangan tangan. Saat mengevaluasi lokasi yang kami tuju, itu bukan tempat kencan bagi anak laki-laki dan perempuan untuk pergi bersama. Sebaliknya, itu adalah tempat yang sering dikunjungi orang seperti Maru. Sekarang kalau dipikir-pikir, ada pusat permainan dan toko pakaian yang bisa kami tuju, tetapi Ayase-san tidak menunjukkan minat pada keduanya, itulah sebabnya kami tidak repot-repot membuat pit-stop… meskipun tempat itu cocok untuk kencan.

Dan tepat setelah aku selesai membeli hadiah untuk Narasaka-san, kami berdua memutuskan untuk pulang hari itu. Itu seharusnya menjadi kencan antara kami berdua saja, tetapi aku merasa ada sesuatu yang kurang. Kalau dipikir-pikir, kami bisa saja mampir ke tempat makanan cepat saji untuk istirahat sebentar.

Yah, ada makan malam menunggu di rumah. Jadi, kurasa tidak perlu.

Aku juga menyadari bahwa, meskipun Ayase-san telah tersenyum hari ini dari awal sampai akhir, ada sesuatu yang terasa canggung tentang dirinya. Tentu saja, aku tidak tahu persis apa itu. Aku hanya terganggu oleh ketidaknyamanan samar yang tidak bisa kuungkapkan secara langsung. Jika aku tahu apa itu, aku bisa menyesuaikan diri dengannya. Tapi sebaliknya, aku di sini merenungkannya…

Sama seperti gerbong tempat kami duduk, perasaan batinku terguncang ke kiri dan ke kanan. Setelah menghabiskan menit demi menit menghitung lampu jalan sporadis yang berkedip saat kami melewatinya, aku memutuskan untuk melompati bayanganku sendiri dan bertanya padanya.

"Apa ada yang aneh dengan pakaianku?"

"Eh? Tidak, tidak sama sekali. Kenapa kamu bertanya?” Ayase-san tampak bingung dengan pertanyaanku, yang membuatku merasa lega—atau begitulah yang ingin kukatakan. Tapi, aku hampir tidak cukup percaya diri untuk melakukannya.

“Dibandingkan denganmu, aku cukup lalai dalam hal pakaian dan gaya rambutku, kan? Aku merasa tidak nyaman dengan fashionku sendiri, tahu.” Aku mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya.

“Tidak, menurutku itu bagus. Itu cocok untukmu.”

“Hm, terima kasih. Tapi—” Aku berharap dia mengatakan itu. Jadi, aku melanjutkan. “Daripada pakaianku, pakaian yang kau pakai hari in sangat bagus, Ayase-san. Itu membuat orang lain berkomentar tentang betapa bergayanya itu, kan?”

"Mungkin?"

“Jadi, setelah mempertimbangkan masalah ini dengan cermat, pakaian yang kau kenakan adalah yang menurutmu paling cocok untuk situasi tertentu, bukan?”

"Yang paling disukai."

"Aku juga berpikir kau terlihat hebat dalam hal itu, kau tahu."

Saat aku mengatakan itu, ekspresi Ayase-san sedikit melunak dan kupikir aku mendengar 'Ap...' samar datang darinya.

"…Terima kasih."

Ketika dia berterima kasih padaku, rasanya seperti senyumnya membeku dengan cara yang sangat canggung. Tapi, kepalaku penuh dengan terlalu banyak hal lain. Jadi, aku tidak bisa melacak perubahan ekspresinya kembali ke asalnya.

“Tapi, kau tahu, aku bahkan tidak tahu pakaian seperti apa yang cocok untukku. Aku tidak memiliki pengetahuan untuk menilai itu. Dan karena aku hampir tidak percaya diri dengan fashionku sendiri, aku tidak bisa mengikuti sama sekali ketika seseorang mengatakan itu 'sangat mirip denganku'.

“Erm… Jadi dengan kata lain, kamu ingin mencoba merubah fashionmu yang membuatmu terlihat gaya di mata orang? Kamu sepertinya bukan tipe orang yang sangat peduli tentang itu.”

“Aku merasa itu akan menjadi pelajaran penting untuk dilalui setidaknya sekali. Apa aku akhirnya suka atau tidak, aku ingin tahu aturan berpakaian formal untuk acara-acara seperti ini.”

“Ahh… begitu, ya. Kedengarannya seperti sesuatu yang kamu khawatirkan.”

Kupikir itu hanya ketidakamananku memainkan peran besar dalam semua itu.

“Pada dasarnya, kamu tidak memiliki pengetahuan untuk … pakaian kencan biasa atau pakaian secara umum dan meskipun kamu ingin mempelajari lebih lanjut tentang itu, kamu kurang percaya diri dengan penilaianmu sendiri?”

Inilah Ayase-san. Dia mengerti maksudku dengan cepat.

"Benar."

"Hmmm ..." Dia menundukkan kepalanya dan mulai berpikir.

Setelah melewati satu stasiun kereta selama perjalanan kami, dia tiba-tiba mengangkat kepalanya sekali lagi.

"Kita bisa mengambil jalan memutar dalam perjalanan pulang."

“Tunggu, sekarang?”

“Kalau kamu tidak keberatan dengan seleraku dan apa yang menurutku bergaya, maka aku tidak keberatan membantumu memilih sesuatu.”

Aku bahkan tidak memikirkan itu. Jika itu adalah pilihan pribadi Ayase-san, maka aku pasti bisa mempercayainya dan aku bahkan bisa mengetahui selera pribadinya dalam pakaian dan fashion. Maka, skenario ini akan membunuh dua burung dengan satu batu.

“Kalau begitu, tolong.”

“Jangan terlalu berharap padaku, oke? Aku hanya akan memilih sesuai seleraku sendiri."

Itulah yang aku harapkan....

"Jadi, kita akan pergi kemana?"

“Daikanyama cukup dekat. Jadi, itu akan menjadi pilihan pertamaku.”

“Baik… Dan, aku benar-benar minta maaf soal ini. Jika aku membicarakan ini lebih cepat, kita bisa pergi ke suatu tempat di Ikebukuro.” Aku berbicara dengan nada minta maaf, tetapi Ayase-san menanggapi dengan senyuman yang menenangkan.

"Tidak apa-apa. Jangan khawatir tentang itu. Kita berdua kehilangan waktu yang tepat untuk berbicara sepanjang waktu.”

“Ahaha, itu benar. Terima kasih."

Dan dengan keputusan itu, kami naik kereta lain di stasiun kereta Shibuya dan menuju Daikanyama. Mempercayai petunjuk arah Ayase-san, kami berjalan menyusuri jalan menuju toko yang dimaksud. Lampu toko di sekitar kami belum padam dan cahaya menyilaukan dari jendela menyinari aspal di depan kami. Setelah berjalan kaki singkat dari stasiun kereta, kami memasuki toko pakaian pria.

Segera setelah masuk, aku diingatkan bahwa ini tidak dapat dibandingkan dengan mengunjungi supermarket atau toserba dengan acuh tak acuh. Aku mencari keranjang belanja, tetapi sama sekali tidak menemukannya. Aku masih melihat sekeliling dengan bingung ketika seorang karyawan wanita dengan santainya mendekatiku.

"Apa ada yang bisa saya bantu, Tuan?" [TN: kata 'Tuan' disini artinya 'pelanggan'.]

“Ah, um.”

“Kami ingin melihat-lihat dulu.” Ayase-san muncul dari belakangku, menawarkan bantuan.

Karyawan itu tersenyum tipis, melihat ke arah Ayase-san dan aku dengan pandangan sekilas dan menundukkan kepalanya.

"Begitu, Ah.. jangan ragu untuk memanggil saya jika Anda membutuhkan bantuan.” Dia meninggalkan kata-kata ini dan berjalan pergi tanpa membuat suara apapun.

"Itu membuatku takut ..."

"Mungkin dia mengira kamu datang ke sini sendirian?"

Untuk beberapa alasan, nada suara Ayase-san terdengar agak aneh. 

Apakah ini karena pakaianku sama sekali tidak cocok dengan pakaiannya, yang membuat kami terlihat seperti pelanggan yang berbeda? 

Aku mulai merasa gugup dan terus terang hampir merasa terdampar di dunia asing. Aku tahu aku adalah satu-satunya orang yang memberikan tekanan sebanyak ini pada diriku sendiri, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan untuk itu. Berbeda dengan betapa bingungnya diriku, Ayase-san sangat percaya diri. Dia berjalan di depanku dengan sikap yang membuatmu berpikir dia pemilik tempat itu.

"Apa kau sering kesini?"

"Huh? Mana mungkin, kan?"

"Oh…"

“Mereka terutama menjual pakaian pria di sini, ingat?”

Yah, kurasa itu masuk akal.

“Maksudku, mengenakan pakaian yang dipadukan dengan pakaian pria lebih dari yang bisa dilakukan, tapi Asamura-kun… apa menurutmu itu akan terlihat bagus untukku?”

Pertanyaannya menggelitikku yang membuatku memikirkannya. Tadi malam, sebelum tidur, aku menyempatkan diri untuk melihat-lihat majalah fashion yang aku beli tempo hari. Namun terlepas dari itu, aku masih merasa kekurangan bahan referensi. Jadi, aku mencari "pakaian pria" dan "cocok", tetapi aku hanya mendapatkan foto model wanita sebagai hasilnya. Ketika aku melihat beberapa situs di hasil pencarian, aku menemukan bahwa itu adalah semacam genre yang berfokus pada fashion pria yang ditargetkan untuk wanita.

Itu bukanlah pakaian yang akan dikenakan seorang pria, melainkan pakaian yang memiliki "getaran" pria, jadi banyak dari pakaian itu terlihat jauh lebih santai dan dingin daripada pakaian bergaya dengan sepatu hak tinggi dan semacamnya. Aku ingat melihat jas dan jaket di sana juga. Seharusnya ada sesuatu yang mirip di sini yang bisa menjawab pertanyaan Ayase-san…

Jaket denim berwarna terang yang menonjolkan bahunya... Ya, kira-kira seperti itu di sana. Aku melihat manekin mengenakan jaket hitam dengan ikat pinggang pria tebal dan membayangkannya pada Ayase-san. Rasanya seperti aku telah membeli mata uang untuk game seluler untuk mendandani karakter dalam gameku. Aku masih benar-benar bermasalah dalam hal selera fashion. Tapi, berkat manekin yang didandani dengan benar mungkin berkat karyawan toko, aku bisa dengan mudah membayangkannya dengan Ayase-san yang sebenarnya berdiri di depanku. Menggunakan imajinasiku, aku mendandani Ayase-san seperti yang aku bayangkan. Jaket hitamnya tergantung di bahunya, dia meregangkan punggungnya saat berpose seperti model di atas catwalk.

"Kupikir kau akan terlihat keren."

Segera setelah aku mengatakan itu, aku mendengar suara seperti kucing yang diinjak dan aku dengan cepat melirik ke arah itu. Tepat pada saat itu, aku melihat Ayase-san memalingkan kepalanya.

"A-Aku tidak memakai pakaian seperti itu."

"Eh? Ah, ya, tentu saja. Aku yakin kau tidak akan melakukannya. Tapi, kalau kau bertanya kepadaku apakah kau terlihat keren atau tidak… maka aku yakin kau akan terlihat menakjubkan. Khususnya dalam hal seperti itu—” Aku menunjuk ke manekin yang mengenakan jaket hitam sambil melanjutkan. “Aku yakin kau bisa dengan mudah melakukan sesuatu seperti itu… Tunggu, ada apa?”

Ayase-san dengan panik melambaikan tangannya di depanku.

"Muu, cukup 'oke? Kita datang ke sini untuk memilih pakaian untukmu, Asamura-kun. Bukan aku!"

"Ah, k-kau benar. Jadi, apa kau punya rekomendasi?" Aku ingat alasan awal kami datang ke sini.

“Astaga, kamu ini… Um, biarkan aku berpikir sejenak.”

Ayase-san mengambil beberapa pakaian secara acak, mengangkatnya di depanku dan membandingkannya dengan pakaianku saat ini. Dia kemudian membuatku membalikkan punggungku ke arahnya dan dia memeriksa lebar bahu serta panjangnya.

"Hmmm. Asamura-kun, lewat sini.”

“Mm, hm? Kau sudah menemukannya?"

"Aku sudah selesai memilihnya."

“B-Begitu …”

Itu satu set pakaian, kan?

Setelah kejadian awal itu, Ayase-san menyeretku berkeliling toko, berhenti pada interval tertentu untuk mengambil satu atau dua set pakaian, memeriksanya di tubuhku. Hal ini terjadi berulang-ulang. Mungkin dia mencoba memeriksa pakaian seperti apa yang cocok untukku. Dia akan mengambil pakaian dengan gantungan, menahannya di dadaku, lalu menariknya lagi dalam siklus tanpa akhir. Setiap kali tangannya menabrak dadaku, aku diserang oleh sensasi menggelitik.

"Nee, jangan bergerak."

“Ah, maaf.”

"Hmm? Ah, tidak ..  bukan begitu maksudku.. Um, tolong diam dulu."

“Y-Ya.”

Mengikuti perintah Ayase-san, aku sendiri sepertinya telah berubah menjadi manekin. Pelanggan lain yang berjalan melewati kami semua menyeringai karena suatu alasan. Ayase-san begitu fokus memilih pakaian yang bahkan tidak dia sadari. Aku mulai merasa ini lebih seperti kencan.

Berbelanja di Ikebukuro sangat menyenangkan, tempat yang kami kunjungi baik-baik saja, suasana yang kami jalani baik. Tapi, ini sangat berbeda dari gambaran klasik tentang kencan yang ada dalam pikiranku. Yah, skenario saat ini yang telah mencapai titik di mana kami cukup dekat untuk kadang-kadang bertemu satu sama lain ... saat ini terasa lebih seperti sesuatu yang dapat kau kategorikan sebagai kencan.

… Tapi, apakah ini benar? 

Hubungan Shinjou dengan adiknya melintas dalam pikiranku. Mereka juga akan pergi berbelanja bersama, dengan adik perempuannya yang memilihkan pakaian untuknya, aku yakin. Intinya adalah, itu hal yang sama persis yang aku dan Ayase-san lakukan sekarang. Itu adalah sesuatu yang bahkan saudara kandung biasa akan lakukan. Kami memutuskan bahwa tindakan ini akan menjadi yang terbaik untuk saat ini. Namun, rasanya seperti ada tulang kecil yang tersangkut di tenggorokanku, membuatku gelisah.

Apakah aku puas hanya dekat dengannya sebagai saudara tiri atau apakah aku diam-diam mengharapkan sesuatu yang melampaui apa yang kita miliki saat ini? Lebih dari segalanya, apa yang ingin aku lakukan dengan Ayase-san? Seberapa jauh aku ingin bersamanya? …Dan kenapa aku terus-menerus memikirkannya seperti ini?

Jika orang tahu apa yang aku pikirkan saat ini, mereka mungkin akan berpikir aku bajingan. Menyadari bahwa aku telah terperangkap dalam labirin pikiranku sendiri, darah di seluruh tubuhku mulai mendidih, mengalir ke kepalaku. Aku mulai berkeringat meskipun di luar cukup dingin. Jadi, aku yakin pemanas di tempat ini terlalu panas.

"Yup," Ayase-san angkat bicara, mengambil dua potong pakaian. "Aku akan memilh ini.."

“Um…"

“Jaket yang kamu kenakan saat ini sangat bagus, tetapi yang disesuaikan ini sepertinya cocok juga.”

Bertemu dengan kosakata asing ini, tanpa sadar aku mendapati diriku mundur selangkah.

"Ayase-san ... itu?"

“Kamu tidak tahu? Ini adalah jenis tailored jacket.”

“Ahh, begitu.."

“Jadi, kamu tahu 'kan?"

"Aku rasa, aku pernah membaca sesuatu seperti itu di buku."

Aku membaca sebuah novel yang terjadi di Inggris selama tahun 1870-an, pada dasarnya selama zaman Victoria. Itu adalah kisah seorang gadis yang bekerja sebagai penjahit. Itu sebabnya aku pernah mendengar kata itu sebelumnya. Jaket khusus yang dipegang Ayase-san berwarna abu-abu muda dan kerahnya tampak agak tipis. Jika kau membandingkannya dengan jaket biasa yang kau kenakan di atas jas, itu lebih menekankan bahu, sekaligus memberikan suasana yang menyenangkan berkat warna-warna terangnya.

“Aku membuatnya tetap polos sehingga lebih mudah untuk dicocokkan.”

“Bukankah tetap polos itu buruk?”

“Saat kamu memiliki satu dengan pola atau desain yang aneh, kamu harus mencocokkannya dengan yang lain, dan… Oh, kurasa aku sudah mencapai titik di mana penjelasan diperlukan.”

"Permintaan maafku yang tulus."

“Dan inilah yang akan kamu kenakan di bawahnya. Aku tidak akan merekomendasikan memakai ini selama pertengahan musim dingin. Ah, tapi ... kurasa tidak apa-apa memakai ini untuk bulan November." katanya, sambil menyerahkan sebuah t-shirt putih sederhana yang dia bawa di lengannya.

Yang itu, seperti jaketnya, tampak polos dan sederhana tanpa desain atau gambar atau apapun di atasnya. Saku dada sangat kecil dan tidak menarik sehingga aku harus melihat dua kali bahkan untuk melihatnya. Selain jaket, kemeja juga memiliki bahu miring sebagai bagian dari desainnya. Itu sangat sederhana, tetapi karena harganya setidaknya dua kali lipat dari t-shirt biasa yang kumiliki, kualitas dan desainnya seharusnya berada pada tingkat yang sama sekali berbeda.

“Untuk jeans, kamu bisa mengenakan yang saat ini kamu pakai. Lagipula, akan lebih mahal kalau kamu membeli yang baru."

"Terima kasih."

"Sekarang, Asamura-kun. Bisakah kamu mencobnya? Lalu, beritahu aku kesanmu tentang itu."

"Mengerti."

Aku menerima pakaian dari Ayase-san dan menyerahkan kantong plastik hadiah Narasaka-san. Setelah itu, aku berjalan ke ruang ganti dan melihat tampilan baruku di cermin. Aku masih kurang kosa kata untuk menggambarkannya dengan benar. Tapi, rasanya aku terlihat cukup bagus dengan pakaian baru ini. Rasanya seperti pakaian musim gugur yang dingin, tetapi bergaya. Karena tidak menekankan bahu lebarku, itu menciptakan kesan yang jauh lebih damai, yang tidak aku miliki sebelumnya. Kain jaket terasa bagus dan sepertinya kokoh melawan angin sepoi-sepoi. Sekarang aku harus bersiap untuk musim saat ini.

Namun, terlepas dari semua yang disebutkan sebelumnya, aku masih gagal melihat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan apa yang biasanya aku pakai.

Apakah ini… cukup baik? Entahlah ...

Saat berbicara tentang suatu hal yang tidak terlalu kau kuasai, hampir tidak mungkin untuk membedakan perbedaan kecil. Sebaliknya, itu mengurangi tekadku. Ini seperti orang tua di generasi yang lebih tua yang menyuruh anak mereka untuk tidak menggunakan ponsel mereka, karena mereka mengelompokkan game seluler, musik, LINE dan aplikasi pembelajaran ke dalam kategori yang sama. Mereka hanya tidak tahu lebih baik. Aku mungkin telah meningkatkan penampilanku sebelumnya, tetapi aku tidak melihat cukup banyak perbedaan untuk dapat dengan percaya diri mengatakan ya atau tidak.

"B-Bagaimana menurutmu?" Aku melangkah keluar dari ruang ganti dan menunjukkan padanya penampilanku saat ini.

"Mn, kupikir itu terlihat bagus."

“Umm… apa ini benar-benar cocok untukku? Seperti, mungkin aku harus mewarnai rambutku saat aku melakukannya?" Aku berbicara dengan nada khawatir.

Karena adik perempuan Shinjou menyebut penampilanku sebelumnya “normal”, mau tak mau aku berpikir bahwa sedikit gangguan ini mungkin tidak akan banyak berubah. Mungkin diperlukan perubahan yang lebih drastis. Namun, Ayase-san mengejutkanku dengan berbicara seperti guru TK saat menegur anak kecil.

"Nee, kesan siapa yang perlu kamu puaskan?”

"Eh?"

“Kalau kamu ingin pamer kepada orang asing secara acak di jalan, maka selera fashionku sendiri seharusnya membuatmu khawatir. Apakah itu jenis fashion yang ingin kamu capai?"

"Tidak, tidak sama sekali…"

“Syukurlah,” kata Ayase-san sambil tersenyum. “Lalu mungkin kamu bisa percaya padaku? Aku memilihnya untukmu dan kupikir kamu terlihat keren."

“Begitu, ya… Maaf, menanyakan sesuatu yang tidak sopan."

“Tidak, kamu sepenuhnya benar. Semua orang akan khawatir tentang bagaimana penampilan mereka di mata orang lain.”

Dia kemungkinan besar setuju denganku dari lubuk hatinya dan ketika aku melihat ekspresinya yang lembut, sesuatu akhirnya muncul di kepalaku. Aku terjebak dalam lingkaran tak berujung dari pikiran dan standarku sendiri. Keinginan pribadiku untuk menjadi seorang pria yang bisa dengan bangga berdiri di samping Ayase-san bukanlah sesuatu yang dekat dengan kepedulian terhadap perasaan orang lain. Mencoba untuk tidak jatuh ke dalam jurang kebencian diri, aku membangun barikade mental untuk melindungi pikiranku, hanya mengandalkan penilaian pihak ketiga daripada penilaianku sendiri.

Aku bahkan tidak tahu bagaimana penampilan atau tindakan adik perempuan Shinjou, namun aku memiliki niat untuk menerima pendapatnya dengan penuh terima kasih, kemungkinan besar karena keinginanku yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan pendapat dari seseorang yang cukup dekat untuk mendapatkan pendapat, tetapi juga cukup jauh dariku untuk tidak kecewa dengan tanggapan mereka.

Yomiuri-senpai sudah memberitahuku hal seperti ini sebelumnya, bukan?

'Selain itu, tidak perlu baginya untuk berdandan berlebihan. Hanya mengetahui bahwa dia mencoba membuatku bahagia dengan memberiku waktu yang lebih mudah sudah cukup untuk membuatku merasa diperlakukan dengan benar.'

Kesan, dalam hal ini, bukan dari pihak ketiga yang hampir tidak kupedulikan, itu dari pasanganku sendiri. Maru dan Shinjou juga membicarakannya. Yang penting niat berusaha tampil gaya. Hasil sebenarnya adalah sekunder. Orang-orang di sekitarku terus mengarahkanku ke arah yang benar. Tapi, aku pergi ke luar jalan begitu lama sehingga sekarang aku merasa malu. Tidak peduli apa yang orang lain pikirkan selama Ayase-san menyukai caraku berpakaian. Itulah jenis fashion terbaik yang ada.

* * *

Setelah membayar pakaian, kami berdua meninggalkan toko di belakang kami. Dalam perjalanan pulang ke stasiun kereta, Ayase-san tiba-tiba angkat bicara.

“Asamura-kun, bisakah kita berhenti sebentar di toserba dalam perjalanan pulang?”

"Aku tidak keberatan."

“Supermarket mungkin lebih murah dan memiliki banyak pilihan. Tapi, itu akan membuang-buang waktu saja. Lagipula, aku hanya ingin membeli beberapa mustard karena kita kehabisan beberapa waktu yang lalu.”

“Kenapa mustard?”

“Aku sedang berpikir untuk membuat oden |1| malam ini.”

“Ahhh… Yah, beberapa hari terakhir ini agak dingin. Jadi, itu masuk akal.”

“Mn, begitulah. Kita memang memiliki bahan-bahannya, tetapi itu akan lebih seperti hot pot vegetarian daripada apa pun."

"Tapi jika ada hal lain yang perlu kita beli, beri tahu aku. Aku akan membawa barang-barangnya.”

“Terima kasih…… Um, apa aku baru saja mengatakan sesuatu yang aneh?” Ayase-san mengedipkan matanya padaku dengan bingung.

Mungkin karena aku mencibir sedetik sebelumnya.

“Tidak tidak, tidak sama sekali. Maaf." aku meminta maaf dan menjelaskan diriku sendiri. “Sampai saat ini, fashion dan pencocokan pakaian dan semua hal aneh itu terasa seperti dimensi yang sama sekali berbeda. Seperti aku telah dipindahkan ke dunia yang berbeda.”

“Itu tidak terlalu buruk, kan?”

"Aku serius. Itulah yang aku rasakan. Tapi. kita sekarang tiba-tiba berbicara tentang makan malam hari ini. Itu membuatku merasa seperti kembali ke kenyataan yang paling aku tahu.”

"Tinggal di aftertaste?"

"Nggak juga. Aku sudah muak dengan dunia yang berbeda itu untuk hari ini. Saat ini, aku hanya ingin pulang dan makan oden panas yang mengepul. Sejujurnya, aku sedikit lelah.”

"Yah, aku tahu. Tapi, aku harap kamu mendapatkan banyak kesempatan untuk mengenakan pakaian barumu.”

“Kurasa .., mengingat kaulah yang memilihkannya untukku.”

Untuk kematianku, aku hanya menyadari apa yang kukatakan setelah fakta.

Pernyataan itu membuatnya terdengar seperti aku berharap kita akan sering pergi kencan lebih banyak mulai sekarang, bukan?

Aku panik secara internal, tetapi Ayase-san menunjukkan senyum canggungnya yang biasa dengan singkat 'Kamu benar,' jadi kemungkinan besarku hanya khawatir tanpa alasan. Dan dengan pernyataan memalukan itu sebagai penutup, kencan pertamaku dengan Ayase-san berakhir.

* * *

Sekitar jam 7 malam, kami menyelesaikan perjalanan belanja kami di toserba terdekat, lalu pulang ke apartemen kami. Kami menyelinap melalui pintu masuk yang diterangi dan menekan tombol untuk naik lift.

“Ngomong-ngomong, bagaimana tentangku hari ini?”

Ayase-san menggumamkan kata-kata ini dengan sangat pelan sehingga pada awalnya aku gagal menyadari pertanyaan ini ditujukan kepadaku.

"Tentangmu?"

“Apa aku lebih mudah diajak bicara, lebih mudah diajak bergaul atau apakah kamu memperhatikan hal lain yang berbeda dari diriku?”

Aku menghentikan langkahku dan berbalik ke arahnya. Berkat lampu LED dari langit-langit, aku bisa dengan mudah melihat seluruh penampilannya. Hanya untuk memastikan, aku sekali lagi mengamatinya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia masih mengenakan pakaian yang sama dari sebelumnya: Atasan rajutan dengan jaket hijau lumut. Karena cuaca menjadi jauh lebih dingin beberapa jam terakhir, dia terus mengancingkan jaketnya. Dengan kata lain, dia mungkin tidak berbicara tentang aksesori yang ada di dadanya.

Gaya rambutnya juga sama seperti biasanya. Dia tidak mengubahnya sama sekali, dia juga tidak mengikatnya dengan ikat rambut. Aku juga tidak bisa melihat ekstensi apa pun. Jadi, dia seharusnya tidak bertanya tentang rambutnya. Tapi, dia membuatnya terdengar seperti ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya hari ini…

Dimana? Kukunya? Parfum?

Aku sudah memperhatikannya saat kami pertama kali meninggalkan apartemen. Kuku merah muda pucatnya tampak bagus untuknya, tetapi itu sepertinya tidak ada hubungannya dengan isyarat 'Lebih mudah untuk diajak bicara', Jadi, aku bisa mengesampingkannya.

Adapun parfumnya… Tidak, tunggu. Tidak mungkin aku bisa mendekatinya dan mencium bau parfumnya..

Parfumnya mungkin lebih dari tipe yang menenangkan hari ini. Tapi mengingat kepribadian Ayase-san, sepertinya terlalu mengada-ada untuk bertaruh pada itu. Terlebih lagi, aku tidak ingat Ayase-san adalah tipe orang yang menanyakanku pertanyaan "Temukan perbedaannya".

Apa sih? Sesuatu yang berbeda… Ah. Mungkinkah itu hal yang menggangguku sepanjang hari?

“Ekspresimu, mungkin?”

"Tepat."

“Kau menahan tawamu, kan?” Aku bertanya.

“Aku mencoba untuk lebih ramah.”Dia berkata pada saat yang sama.

Kami berdua berbicara pada saat yang sama, namun mengatakan dua hal yang sama sekali berbeda. Tatapan kami mengarah satu sama lain.

Apa yang baru saja dia katakan?

“Aku khawatir sepanjang waktu, berpikir bahwa ada sesuatu tentang pakaianku yang salah. Ekspresimu sepertinya kau mencoba menahan diri untuk tidak tertawa."

Mencoba menutupi emosi dan pikiranku hanya akan mengarahkan skala situasi ke arah yang salah. Sirene alarm di kepalaku berdering seperti kebakaran yang terjadi. Sebuah getaran merayap di punggungku, mendesakku untuk segera membahas ini sebelum kesalahpahaman yang mengerikan bisa menimpa kami. Pertukaranku sebelumnya dengan Ayase-san adalah dasar dari pengalaman untuk itu.

“Bukan itu… sudah kubilang, kan? Kamu baik-baik saja apa adanya.”

"Maaf, tapi aku tidak cukup percaya diri."

“Jadi, seperti itu bagimu…” Ayase-san menjatuhkan bahunya karena kekalahan, membuatku merasa bersalah yang tak bisa dijelaskan. “Aku mencoba untuk terlihat lebih mudah didekati… menjadi lebih menyenangkan untuk dimiliki…”

“Oh, itu… Maaf.”

“Kurasa hal semacam ini terlalu sulit bagiku… Dan sekarang kita berdua mengatakan sesuatu yang tidak mirip dengan kita, ya?” Ayase-san berkata dan mengembalikan ekspresinya seperti yang biasa dia lakukan.

Ketika kami sedang membicarakan ini, liftpun tiba, lampu menyala dan pintu terbuka. Ayase-san melangkah ke masuk lebih dulu, dengan aku mengikutinya karena aku membawa semua yang kami beli di kedua tangan. Dia menekan tombol lantai kami dan aku angkat bicara saat pintu-pintunya tertutup.

“Tapi, kupikir kau baik-baik saja seperti biasanya. Lagipula, itulah yang aku suka darimu."

"Apa…?"

Cara dia mempertahankan ekspresi dan sikapnya adalah semua hal yang dia lakukan dengan susah payah. Jadi, akan sia-sia untuk mencoba mengubahnya. Tanpa respon dari Ayase-san, lift perlahan bergerak ke atas.

* * *

Malam itu, ketika aku sedang mengerjakan beberapa soal matematika, aku menerima pesan LINE dari Shinjou. Dari segi konten, sepertinya ini merupakan kelanjutan dari pertukaran yang kami lakukan sore ini.

'Aku berbicara dengannya lagi saat makan malam dan dia benar-benar sangat memikirkan pakaian yang kau pakai. Dia berkata bahwa sebagian besar temanku mencoba berdandan sampai-sampai itu membuatnya terlihat keren dan dia suka kau tidak melakukan semua itu.'

Tampaknya kata 'normal' dalam kosakatanya tidak berarti 'ngeri' atau 'payah', dan malah memiliki arti yang lebih positif. Sebagian dari diriku berharap dia menjelaskannya sejak awal, karena itu bisa menyelamatkanku dari banyak rasa sakit dan penderitaan. Tapi, aku menyimpan keluhanku untuk diriku sendiri dan mengiriminya pesan singkat 'Terima kasih.' Kupikir hasil ini adalah sesuatu yang aku peroleh berkat tersesat dan mengambil jalan memutar. Terkadang itu lebih baik daripada mengambil jalur langsung.




|| Previous || Next Chapter ||

¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
|1| Hidangan musim dingin Jepang yang terdiri dari beberapa bahan seperti telur rebus, lobak daikon, konnyaku dan kue ikan olahan yang direbus dalam kaldu dashi rasa kedelai yang ringan.
7 comments

7 comments

  • N0 Name
    N0 Name
    5/5/22 14:56
    Baca santai > tiba² baper sendiri > santai sambil bareng mikir > baper lagi > baper sambil merenung + berfikir...kira² itulah yg saya rasakan pada chapter ini,emng best dah
    Reply
  • Tayo
    Tayo
    4/5/22 13:42
    Nabung chap dulu
    Reply
  • Udin
    Udin
    4/5/22 10:44
    Gasss troosss
    Reply
  • Lana
    Lana
    3/5/22 15:08
    Rilis juga. Sbr beberapa hari ga baca dri inggris. Ga sia² walau ada yg di skip wkwk
    • Lana
      elcha
      3/5/22 16:53
      Rawnya baca dmna emang?
    Reply
  • Anonymous
    Anonymous
    3/5/22 14:02
    Semangat min
    Reply
  • Rofiko
    Rofiko
    3/5/22 11:32
    Lanjot
    Reply
close