-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 7 Chapter 5

Chapter 5 - 17 Februari (Rabu) - Perjalanan Karyawisata Hari Pertama - Asamura Yuuta


Aku mendengar suara yang menarikku keluar dari mimpiku dan kembali ke kenyataan di kamarku yang gelap. Alarm yang sudah kuatur sebelumnya berdering. Aku buru-buru menghentikannya dan menyalakan lampu di dalam kamarku. Kaki yang kubentangkan di balik selimutku langsung terasa dingin. Saat ini pukul 4 pagi pada pertengahan musim dingin.
Masih ada 2 jam lagi sampai matahari mulai terbit. Namun, kami harus bertemu di Bandara Narita pada pukul 7 pagi. Dengan kata lain, kami harus meninggalkan rumah pada pukul 5 pagi atau kami tidak akan sampai tepat waktu.

Hufft... Astaga, dingin sekali...

Karena aku menyetel alarm cukup awal untuk memberiku waktu luang atau itulah seharusnya.. Namun, tiba-tiba seseorang mengetuk pintuku. Ketukan itu ternyata datang dari Ayahku yang bertanya "Yuuta, apa kau sudah bangun?" yang membuatku terkesiap.

... Hampir saja. Aku hampir tertidur lagi.

"Ya, aku sudah bangun!" Jawabku.

Aku melompat dari tempat tidurku dan mulai berganti pakaian. Aku menerobos masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka. Di sana aku hampir menabrak Ayase-san. Juga, seperti yang kau harapkan dari Ayase-san, dia sudah menyelesaikan riasannya dan segalanya. Kami sempat bertukar salam secara singkat, sebelum dia meninggalkan kamar mandi. Aku selesai mencuci muka dan menyikat gigi dalam waktu sekitar 5 menit. Kami duduk di meja makan sekitar pukul setengah 4 pagi, tepat sesuai jadwal. Akiko-san, yang baru pulang belum lama ini, masih mengenakan pakaian kerjanya saat ia menyiapkan sarapan untuk kami.

"Bu, bukannya seharusnya kamu pergi tidur? kata Ayase-san, tetapi di jawab oleh Akiko-san dengan senyum.

"Jangan khawatir, Ibu bisa tidur setelah mengantar kalian berdua. Sebenarnya, hari ini Ibu pulang lebih awal dari tempat kerja karena Ibu ingin melihat kalian untuk terakhir kalinya karena tidak bisa bertemu dengan kalian tiga hari ke depan.." katanya, sambil mendorong piring besar ke arah kami.

Di atasnya terdapat 10 onigiri, semuanya dibungkus dengan rumput laut.

"Yup, ini dia. Onigiri. Ibu pikir sesuatu yang sederhana lebih baik dan praktis di bawa. Makanya, Ibu memilih onigiri. Mereka dikemas penuh dengan kebaikan yang lezat. Ibu akan mengeluarkan sup miso juga."

"Terima kasih, Akiko-san."

"Terima kasih, Bu."

Ayase-san dan aku mengucapkan terima kasih serempak saat kami mulai makan. Sementara itu, Ayahku duduk di seberang meja, sambil menelan ludah.

"Menurut kalian, bisakah kalian datang tepat waktu?" Mendengar hal ini, Ayase-san dan aku mengangguk sebagai jawaban.

Kami mengisi pipi kami dengan bola-bola nasi dan meminum sup miso. Tujuan kami adalah mengambil jalur Yamate yang melewati stasiun Shibuya sekitar pukul setengah 5 pagi. Setelah kami selesai sarapan, kami memeriksa barang-barang kami untuk terakhir kalinya dan kemudian meninggalkan apartemen.

"Jangan terlalu terburu-buru!"

"Hati-hati, oke?"

Ayahku dan Akiko-san mengantar kami dengan suara ceria saat kami melangkah masuk ke dalam lift. Aku mengeluarkan smartphoneku dan memeriksa waktu. Saat ini jam menunjukkan pukul 5 pagi. Jika tidak ada hal buruk yang terjadi, kami akan sampai tepat waktu. Saat lift perlahan-lahan turun, baik Ayase-san dan aku menghela napas serempak. Kami menyeret koper-koper berat kami ke stasiun Shibuya dan kemudian memeriksa diri kami sekali lagi saat kami duduk di dalam kereta.

"Hei, Asamura-kun. Menurutmu, bisakah kita datang tepat waktu?"

"Seharusnya...kita baik-baik saja," aku menjawab pertanyaan Ayase-san.

Kita harus berganti kereta sekali di Nippori, tetapi selama tidak ada yang menyebabkan keterlambatan, kita akan tiba di gedung ke-2 Bandara Narita pada pukul 6:40. Itu akan membawa kami ke titik kumpul tepat waktu.

Karena matahari bahkan belum mulai terbit, bagian dalam kereta benar-benar kosong. Kursinya masih dingin saat Ayase-san dan aku duduk bersebelahan. Biasanya, kami akan berpura-pura menjadi orang asing selama situasi seperti ini, tetapi dengan perjalanan pertama kami ke luar negeri yang akan terjadi, kami berdua tidak bisa bersantai-santai sebanyak ini. Pada saat yang sama, mungkin karena kami baik-baik saja jika orang-orang mengetahui bahwa kami adalah Kakak-adik... selama kami berhati-hati untuk tidak mengungkapkan bahwa hubungan kami lebih dari itu.

...Atau begitulah alasan yang kami buat saat kami bergerak bersama seperti ini saat kami duduk bersama sampai kereta mencapai Bandara Narita. Kami menarik koper-koper kami saat kami bergegas ke titik kumpul. Dari lift yang panjang, kami berjalan menyusuri lantai yang bersih berkilau yang menyala dari lampu langit-langit dan seterusnya ke ruang pertemuan. Dari jauh, kami bisa melihat seragam sekolah kami yang sudah tidak asing lagi. Jadi, kami berpisah di sini. Tentu saja, kami tidak keberatan jika orang lain mengetahuinya, tetapi kami juga tidak benar-benar mencoba untuk membantu mereka mengetahuinya.

Punggung Ayase-san mulai semakin menjauh dengan setiap langkahnya, saat aku berdiri diam untuk menciptakan sedikit jarak di antara kami. Murid-murid SMA Suisei berpisah ke dalam kelas mereka dan membentuk barisan dan aku melihat seorang anak laki-laki besar di barisan untuk kelasku sendiri. Orang Itu adalah temanku, Maru. Dia melihatku mendekat dan mengangkat tangannya untuk melambaikan tangan padaku.

* * *

"Pagi, Maru," aku menyapanya dan berhenti tepat di belakangnya dalam antrean.

"Yo! Butuh waktu lama untuk sampai sini, hm?"

"Tidak, kupikir aku masih punya banyak waktu.."

Ketika aku menjawab ucapannya, dia menunjuk ke luar ruang pertemuan.

"Ngoceh apa sih? Apa kau tahu berapa banyak pesawat yang lepas landas yang kau lewatkan sejauh ini?"

Sepertinya hati Maru tergelitik oleh romantisme bandara.

"Bung, matahari aja baru mulai terbit, kau tahu. Apa yang sedang kau lihat sih?"

"Asamura... Kau tidak mengerti keindahan dan keanggunan bandara di malam hari, bukan? Dua garis lampu pemandu berkedip seperti lampu Natal, saat hidung pesawat perlahan-lahan mendorong ke atas ke langit, dengan sayap dan lampu ekor pesawat secara bertahap semakin mengecil sampai mereka menghilang dari pandanganku. Dan pemandangan indah seperti itu telah berulang kali terjadi di sini."

"Sungguh seorang penyair. Itulah yang kau perhatikan selama ini?"

"Aku sedang menjaga garis agar aku tidak bisa menonton."

Lalu apa maksud dari komentar itu?

"Ngomong-ngomong, apa kau tahu film 'Airport '75'?"

"Belum pernah mendengarnya. Apakah itu berlatar belakang di bandara atau semacamnya?"

"Itu adalah film di mana pilot tidak bisa mengendalikan kemudi pesawat lagi dan mereka harus melakukan pendaratan darurat."

"Oi, bisakah kau tidak menceritakan itu?"

Aku lebih suka tidak mendengar tentang film bencana udara tepat sebelum naik pesawat. Setelah olok-olok singkat ini, kepala sekolah mengulangi peringatan keselamatan yang sama kepada kami tanpa henti dan akhirnya kami mulai naik ke pesawat. Kami bergerak melalui area pengujian kecil yang baru-baru ini dibangun untuk memeriksa penyakit apa pun dan kemudian menyebar di dalam bandara. Bagasi yang lebih besar diperiksa oleh petugas dan ditempatkan di jalur yang sesuai, yang sekarang akan dimuat ke pesawat. Ini adalah perpisahan untuk semua itu sampai kami mendarat kembali dengan selamat. Aku hanya berharap tidak berakhir sebagai bagasi yang hilang - pada dasarnya barang-barang atau benda-benda lain yang tidak dimuat ke dalam pesawat karena berbagai alasan.

Dan memikirkan hal itu, aku menyadari betapa gugupnya diriku tentang seluruh perjalanan ini. Apalagi, ini akan menjadi pertama kalinya aku pergi ke luar negeri, serta pertama kalinya aku naik pesawat ke suatu tempat. Pada saat kami selesai check-in, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kami memiliki waktu sekitar 1 jam lagi sampai keberangkatan. Setelah bagasi kabin kami melewati pemeriksaan x-ray, kami kemudian harus melalui detektor logam. Melepas sepatu kami untuk hal ini sejujurnya cukup menjengkelkan.

Bagaimana dengan orang-orang yang suka memakai sepatu bot besar yang sangat sulit diikat dalam perjalanan mereka? Dan mengapa aku mengkhawatirkan orang-orang itu?

Dengan semua itu, semua siswa/i kelas 2 SMA Suisei mulai berjalan menuju gerbang keberangkatan. Juga, dengan jumlah orang sebanyak ini, kami hanya bergerak dengan kecepatan siput. Tapi, kami perlahan-lahan berjalan menuju pesawat. Ayase-san seharusnya berada di suatu tempat di dalam kerumunan ini, tetapi karena kelas kami berbeda, aku tidak bisa melihatnya.

"Seperti yang kuduga, besar sekali.."

Salah satu anak laki-laki yang berjalan di sampingku-Yoshida, yang juga akan menjadi bagian dari kelompokku dalam karyawisata ini-berkomentar, yang membuatku menoleh ke samping dan melihat ke luar jendela. Matahari terbit hari ini sekitar pukul setengah 6 pagi, sekitar 90 menit yang lalu. Jadi, kami bisa melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi di luar. Di luar jendela, terbentang landasan pacu yang membentang tanpa henti. Melihat pesawat-pesawat yang biasanya kau saksikan membumbung tinggi di langit, bergerak seperti mobil di atas tanah, tentu saja terasa aneh. Bahkan pesawat yang paling dekat dengan kami tampak persis seperti yang kubayangkan, tetapi jauh lebih besar dari yang kubayangkan. Seperti yang dikatakan Maru. Benda-benda ini sangat besar. Para karyawan yang berjalan di samping pesawat hanya tampak seperti semut yang berkumpul di sekitar kue. Tapi ketika aku mengatakan itu dengan keras, Yoshida menatapku dengan ragu-ragu.

"Kue? Lu lapar, ya?"

"Bukan begitu pak, ini hanya pemikiran liarku saja. Jangan anggap serius."

"Asamura, terkadang kau mengatakan hal-hal yang random, ya.."

"Menurutmu begitu? Kupikir itu sangat normal."

Setelah berbicara dengan Yoshida dan orang-orang dari kelompokku lebih banyak lagi, aku menyadari bahwa menggunakan ucapan komparatif dan ekspresi metaforis bukanlah hal yang dilakukan kebanyakan orang. Beberapa teman yang kumiliki seperti Maru atau Yomiuri-senpai, semuanya jauh lebih pintar daripada diriku dan percakapan kami selalu berakhir seperti ini. Dan bahkan Ayase-san, yang mungkin sedikit kesulitan dengan bahasa Jepang di sana-sini, adalah tipe orang yang memiliki pemikiran psikologis dan etis. Jadi, cara kami berbicara dan apa yang kami bicarakan benar-benar mirip satu sama lain.

Bagiku, Yoshida, yang berjuang untuk mengikuti ekspresi metafora, adalah pengecualian... Tapi itu mungkin benar untuk kami berdua. Bagaimanapun, kami mungkin tidak banyak berbicara satu sama lain secara normal, tetapi aku ingin mengambil kesempatan ini untuk mengenal orang yang jarang berbicara denganku. Dan ketika aku berpikir harus berbicara dengan orang asing yang akan aku temui, maka ini sama sekali bukan masalah besar.

"Sepertinya barang bawaan kita naik ke atas sana."

Komentar Maru membuatku mendongak dan aku melihat ruang bagasi di atas kami. Itu bukan sederetan pipa seperti yang kau lihat di kereta api, tetapi lebih seperti loker dengan pintu terpisah untuk itu. Dan aku tahu bahwa mengeluarkannya nanti akan sangat merepotkan. Tapi, aku menduga bahwa ini untuk menjaga koper tetap kencang dan aman jika pesawat berguncang. Tapi seberapa besar guncangan yang harus terjadi - adalah pikiran yang terlintas di benakku, namun aku segera menggelengkan kepala.

Aku ingin tahu apakah mereka akan membiarkan kita membuka loker ini di tengah penerbangan?

Aku agak meragukannya. Aku ingin menyimpan setidaknya smartphone dan obat mualku di dekatku.

Oh, ya. Aku punya ranselku.

Dikatakan dalam buku panduan bahwa menjaga kedua tangan tetap bebas sebagai turis jauh lebih nyaman. Sementara aku memikirkan hal ini, Maru menabrakkan bahunya ke bahuku.

"Hei, sini kopermu, aku akan menaruhnya di sana."

"Maaf, beri aku waktu sebentar."

Aku menyerahkan tas besarku padanya setelah mengeluarkan semua barang yang kubutuhkan, menempatkannya di dalam tas jinjing kecilku. Sekarang aku tidak perlu memeriksa barang bawaanku yang lain di tengah penerbangan. Dan dengan melihat sekilas ke sekelilingku, aku bisa tahu bahwa penumpang lain juga mempersiapkan diri dengan cara yang sama. Setelah kami bertukar tempat, Maru meletakkan koperku di dalam loker bagasi. Setelah itu, aku duduk di kursiku dan meletakkan tasku di atasku.

Tanpa sadar, desahan ku keluar dari mulutku saat aku tenggelam lebih dalam ke tempat dudukku, melirik ke luar dan mendengarkan suara-suara yang bisa kudengar di sekitarku. Suara gerutuan kecil yang bisa kudengar di antara celotehan teman sekelasku pastilah suara mesin. Benar-benar terasa seperti pesawat telah bergetar sepanjang waktu ini. Dan jika bisa membuat segumpal logam seperti ini terus berguncang, maka kekuatan yang dimilikinya pasti luar biasa-sebuah gumpalan logam, ya? Apakah benar-benar bisa terbang?

Sekali lagi, aku menemukan sarafku gelisah. Mungkin aku harus menutup mataku dan segera tidur. Aku memeriksa waktu yang tertera di dalam pesawat, yang mengatakan bahwa masih ada 15 menit lagi sampai lepas landas. Waktu sebanyak itu ditambah dengan kurangnya waktu tidurku yang parah, berarti aku mungkin benar-benar bisa tertidur. Aku mengeluarkan smartphoneku dari tas untuk memeriksa sesuatu dan saat itu Maru berbicara.

"Itu sia-sia, Asamura. Ini pertama kalinya kau akan melihat pesawat lepas landas. Jadi, pastikan kau tidak menyesal karena melewatkannya."

"Tapi, aku mungkin menyesal melihatnya juga."

"Kenyataan bahwa ini adalah pertama kalinya bagimu lebih penting. Sama halnya dengan anime dan novel, kan?"

Kurasa dia ada benarnya juga. Bahkan jika kau membaca novel dengan wahyu yang mengejutkan atau plot twist, dampaknya hanya benar-benar signifikan saat pertama kali kau membacanya.

"Setelah kau terbiasa, lepas landas dengan pesawat terbang hanya akan menjadi hal yang biasa. Dan pemandangan di luar hanya akan terlihat seperti Narita atau Haneda."

"Benarkah?"

"Setidaknya itu yang kupikirkan.."

Hei, sekarang.. jawabanmu sangat ambigu bung. 

Dan pernyataannya yang luas bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan terlihat sama dan dengan demikian menurunkan kekagumanmu terhadapnya, mungkin hanya penjelasan ulang tentang apa artinya terbiasa dengan sesuatu. Itu agak membosankan, sebenarnya. Normalnya, harus berbeda setiap saat. Seperti lepas landas di pagi hari harus memiliki keistimewaan dibandingkan dengan mendarat di malam hari dan seterusnya. Bahkan, berangkat dengan cuaca cerah seperti yang kita alami saat ini, seharusnya berbeda secara mendasar dengan lepas landas saat cuaca buruk.

Demikian pula, bahkan saat hari berganti dan waktu bergerak maju, tatapan yang kumiliki ketika melihat hal-hal di sekitarku pun berubah. Dengan demikian, setiap pemandangan yang kulihat seharusnya sedikit berbeda. Dan meski begitu, pada satu titik, kau mulai merasa bosan terhadap perubahan itu dan mulai mengatakan bahwa semuanya terasa sama. Jadi, menghargai 'pertama kali' ini mungkin lebih penting daripada yang kuberikan.

Akhirnya, sebuah pengumuman datang melalui pengeras suara pesawat, yang menyatakan bahwa kami akan segera lepas landas. Dengan alasan sekali lagi, aku melawan rasa takut yang merayap di dalam diriku dan melihat ke luar jendela. Karena kami duduk sedikit di belakang sayap, aku tidak bisa melihat terlalu jauh ke depan, tetapi jendela pesawat relatif kecil untuk memulainya. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Pada awalnya, ini seperti mobil yang sedang melaju kencang. Aku hanya bisa melihat lebih jauh di luar jendela. Jarak ke hutan kecil dan bangunan-bangunan kecil di kejauhan tidak terasa nyata.

Aku mendengar bahwa kecepatan pesawat mencapai 3000km/jam ketika akan lepas landas, yang berarti kami mencapai kecepatan yang sama dengan kereta peluru dengan objek raksasa seperti itu.

Tapi, tetap saja terasa sangat gila. Astaga, aku bahkan terdorong kebelakang kursi... Oh? Apakah kita semakin cepat?

Aku melihat ke luar jendela lagi dan melihat bahwa tanah terbang melewatinya lebih cepat lagi.

Ini... agak terlalu cepat, kan?

Tanah tampak seperti baru saja meleleh menjadi butiran debu.

Sementara aku terdesak lebih jauh ke kursi, pemandangan di luar jendela berubah. Kepala pesawat telah naik ke udara, pemandangan di luar berubah menjadi hanya langit saja. Dengan punggung yang masih menempel di kursi, aku menyadari tekanan ini pasti lebih gila lagi jika aku berada di atas roket. Aku merasakan sensasi menjadi bagian dari novel fiksi ilmiah saat pesawat benar-benar lepas landas.

"Pemandangan di bawah sangat menakjubkan."

"Turun rendah?"

Mendengar komentar Yoshida, yang duduk di belakangku, aku melihat ke luar jendela di sisi kanan, yang menawarkan kami pemandangan tanah. Kewalahan, aku mengeluarkan suara kekaguman. Semua bangunan dan jalan telah menyusut sampai pada titik di mana mustahil untuk membedakannya. Hutan mengingatkanku pada brokoli dan lebih berubah menjadi gumpalan hijau, pohon-pohon di dalam jalanan seperti titik-titik kecil hijau pada peta besar. Perasaan soliditasku juga telah lenyap sepenuhnya. Aku menelan napas saat kami perlahan-lahan bergerak menjauh dari tanah yang kokoh. Bahkan jalan-jalan yang lebih kecil mulai lenyap karena hanya rel kereta cepat yang menonjol seperti pembuluh darah.

Dan setelah itu, seluruh pemandangan berubah menjadi putih, membuatku menyadari bahwa kami baru saja melewati awan. Pemandangan di kejauhan lenyap di dalam dunia kelabu ini dan sayap di samping jendela secara berkala menghilang dan muncul kembali. Hal ini terus berlanjut untuk beberapa saat dan akhirnya kami berhasil keluar dari bubur putih ini dan masuk ke dalam dunia seperti kami baru saja terjun langsung ke dalam air. Seluruh pemandangan di luar berubah menjadi biru. Pesawat telah menjadi jauh lebih stabil dibandingkan sebelumnya, tetapi kami masih terus naik. Saat pesawat bergerak menembus langit biru, pandangan ke bawah memperlihatkan Samudra Pasifik yang berdekatan dengan garis pantai. Ini biasanya sesuatu yang hanya bisa kau lihat di peta: Kontur kepulauan yang menjangkau dari Ibaraki ke Chiba, dengan Inubousaki sebagai puncaknya.

"Benar-benar... seperti di peta."

Ini benar-benar sesuatu yang baru pertama kali kulihat. Aku senang bisa melihatnya sendiri.

"Apa yang kau ocehkan sekarang, Asamura?"

"Itu loh, aku hanya terkesan bahwa bentuknya sama dengan semua peta yang pernah kulihat."

"Jika peta tidak mencerminkan keadaan geografis yang akurat, lalu apa lagi yang akan kita percayai...?"

"Sudah kubilang itu baru saja terjadi sekarang."

"Pengalaman yang luar biasa, kan?"

"Ya, itu benar. Aku akan ketinggalan jika aku tidak melihat ini."

Maru menyeringai seolah-olah ia telah terbukti benar, tetapi aku melirik ke luar jendela sekali lagi. Aku bersyukur aku bisa mengalami ini, tapi... Aku benar-benar berharap pesawat tidak terlalu bergetar selama lepas landas.

* * *

Setelah itu, aku bisa tertidur. Tapi, tak lama setelah itu Maru membangunkan ku dengan lembut mengguncangku. Saat aku membuka mata, aku menyadari bahwa pesawat yang kita naik sudah mendarat dan sudah meluncur di ujung landasan.

"Asamura. Kau mengenakan sabuk pengaman itu sepanjang waktu, bukan? Bukankah itu membuatmu merasa tidak nyaman?" Dia bertanya dengan desahan bingung.

"Yah, ini lebih seperti kebiasaanku. Aku sering tertidur di mobil Ayahku. Terkadang dia marah-marah karena melihatku tidur membuatnya mengantuk juga."

Kalau dipikir-pikir, ketika dalam perjalan pulang selama Tahun Baru, Akiko-san juga selalu mengobrol dengan Ayahku. Mungkin itu caranya agar Ayahku tidak mengantuk.

"Apa kau tahu? Kau itu sudah tidur selama 7 jam penuh."

"Selama itukah?"

"Ya, seperti batu."

Itu berarti aku sudah cukup tidur sepanjang penerbangan. Dan jika ingatanku benar, itu adalah berapa lama penerbangan yang seharusnya. Aku juga tidak ingat makan apa pun. Sayang sekali. Namun, aku mengeluarkan smartphoneku dan memeriksa waktu jam 3 sore.

Hm? Kami berangkat jam 9 pagi, jadi... baru 6 jam berlalu?

Tapi, kemudian aku ingat bahwa itu karena smartphoneku cocok dengan waktu lokal di Singapura dan ada perbedaan 1 jam antara Jepang dan di sini. Di Jepang, seharusnya jam 4 sore sekarang dan sore hari. Tetapi karena kami melakukan perjalanan ke barat, kami masih memiliki banyak sinar matahari yang tersisa.

Aku mendengar bahwa suhu tertinggi yang tercatat di bulan Februari bisa di atas 30°C. Karena kami masih berada di dalam pesawat yang tebal, aku tidak merasakan banyak sinar matahari dari luar, tetapi aku merasakan kehangatan yang samar-samar. Mungkin karena kami datang dari Jepang, di mana saat ini sedang pertengahan musim dingin. Kami diberitahu bahwa kami bisa melepas sabuk pengaman kami lagi setelah pendaratan yang aman. Jadi aku melakukan hal itu, bangun dan melihat sekeliling. Semua orang bersiap untuk turun dari pesawat. Teman sekelas yang duduk di samping lorong di tengah pesawat sudah mengambil barang-barang mereka.

"Maru, Asamura, ini ambil."

Maru dan aku menerima tas olahraga kami dari orang yang duduk di dekat koridor.

"Oh, suwun."

"Sankyu."

Dan setelah kami mengumpulkan semua barang bawaan kami, kami berterima kasih kepada pramugari yang berdiri di samping gerbang yang mengantar kami dan masuk ke bandara di depan kami.

* * *

Bandara Changi Singapura-Apa perbedaan antara bandara yang menyambut kami pada pukul 3 sore waktu setempat ini dan Bandara Narita yang menyambut kami beberapa jam yang lalu?

Sejujurnya, aku tidak bisa membedakannya, sampai-sampai aku bertanya-tanya apakah kami benar-benar pergi ke luar negeri. Satu-satunya perbedaan adalah cahaya matahari yang kuat masuk melalui jendela.

"Kita benar-benar ada di Singapura, kan?"

"Apa kau masih setengah tertidur, Asamura?"

"Tapi..."

"Apa kau melihat orang Jepang di sekitarmu?"

...Ah. Itu benar. Kembali ke Bandara Narita, ada tanda-tanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa yang tak terhitung jumlahnya untuk benar-benar menunjukkan bahwa itu adalah bandara internasional, tapi tidak seperti di sana, aku tidak bisa menemukan tanda-tanda Jepang atau kanji di mana pun. Faktanya, sebagian besar tanda yang kulihat adalah dalam bahasa Inggris, diikuti oleh bahasa Mandarin. Melihat keduanya sebagai mayoritas mungkin juga menjadi alasan mengapa bandara ini dianggap sebagai bandara internasional. Tapi di sini, di Singapura, bahasa resminya adalah bahasa Inggris, Melayu, Cina dan Tamil. Jadi, mungkin hanya itu saja. Juga, selain alfabet dan kanji, aku tidak mengetahui sistem penulisan asing lainnya. Makanya aku tidak menyadarinya.

"Rasanya seperti kita berhasil sampai ke luar negeri," aku menyuarakan perasaanku yang tulus, tapi Maru hanya memberiku tatapan ragu-ragu seperti 'Baru sekarang?'.

Kami melakukan prosedur yang sama seperti saat proses boarding, tetapi secara terbalik, saat kami berbaris di ruang tunggu Bandara Changi. Setelah beberapa saat, kepala sekolah memandu kami ke hotel tempat kami akan menginap (dan untungnya semua siswa/i mendapatkan bagasi yang benar). Kami naik bus yang berangkat dari bandara, yang membawa kami menyusuri pantai selama 20 menit berikutnya.

Hotel tempat kami menginap memiliki tinggi sekitar dua lantai, terbagi menjadi bangunan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Dan satu kamar muat untuk tiga orang, yang berarti bahwa Maru, Yoshida dan aku akan sekamar. Itulah alasan utama kami disuruh membentuk kelompok enam orang yang terdiri dari tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Dan sementara kami melakukan perjalanan ke hotel dengan bus kami, aku akhirnya diizinkan untuk menikmati semua pemandangan di sekitar kami. Lebih dari segalanya, setiap negara memiliki aroma uniknya sendiri. Misalnya, tinggal di luar negeri untuk waktu yang lama hanya untuk kembali ke Jepang membuat aroma kecap asin dan miso semakin kuat.

Namun, jika kau baru pertama kali mengunjungi suatu negara, kau mungkin akan kesulitan untuk mencaritahu dari mana bau yang berbeda ini berasal. Kau hanya akan menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda dari negara asalmu. Dan karena indera penciumanmu adalah indera yang paling cepat menyesuaikan diri, perbedaan ini akan lenyap dengan cepat. Akhirnya, kami sampai di kamar hotel. Kami meletakkan barang-barang kami dan memindahkan semua yang kami butuhkan ke dalam tas pribadi kami yang lebih kecil.

"Pastikan untuk mendaftar Wifi gratis di sini," kata Maru, saat Yoshida panik dan bertanya bagaimana cara kerjanya. "Bukankah aku sudah menuliskannya untukmu di buku panduan?" Dia menggerutu, tapi Yoshida hanya memainkannya dengan senyum kikuk.

Aku sudah selesai menyiapkannya ketika kami tiba di bandara. Di Singapura, pemerintah menawarkan layanan wifi gratis. Sebagian besar digunakan untuk institusi publik, tetapi siswa/i yang bepergian seperti kami mungkin harus segera menyiapkannya.

"Pokoknya, ayo kita keluar, Yoshida, Asamura."

Dipimpin oleh pemimpin kelompok kami yang terhormat, Maru, kami kembali ke lobi, melihat pertemuan siswa/i kelas 2 SMA Suisei, kemudian bergabung dengan kelas kami sendiri dan akhirnya berpisah menjadi beberapa kelompok. Para guru kemudian memberitahu kami kapan waktu makan malam dan memberitahu kami kapan kami harus kembali paling lambat, semua hal yang biasa. Memang, aku ragu peringatan ini sampai ke sebagian besar siswa/i yang sudah tidak sabar dengan kegembiraan mereka, tetapi buku panduan telah menandai semua informasi terperinci. Jadi, seharusnya tidak menimbulkan masalah... mungkin.

Ditambah lagi, hari pertama terdiri dari seluruh siswa/i kelas 1 yang mengunjungi tiga tempat wisata yang ditawarkan sekolah sebagai pilihan. Jadi, kami juga tidak akan bergerak sendiri-sendiri. Dan untuk mencapai tempat-tempat ini, kami harus naik bus antar-jemput di sini. Pada dasarnya, kami akan menuju ke suatu tempat, kemudian kami memiliki waktu luang untuk melihat-lihat daerah tersebut dan kemudian kami akan berkumpul untuk naik bus lagi.

Kami bertemu dengan tiga gadis dari kelompok kami dan kemudian naik bus. Perhentian pertama untuk hari ini adalah Museum Nasional Singapura. Itu adalah bangunan bertema barat yang terdiri dari dua lantai dengan kubah bundar besar di atas bangunan tengah. Bisa jadi itu adalah planetarium atau observatorium, tapi aku tidak terlalu yakin.

Atau hanya berbentuk seperti itu sebagai pilihan arsitektur?

Pada saat kami sampai di depan gedung, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Di Jepang, ini adalah sekitar saat matahari akan terbenam. Tetapi di Singapura, itu hanya terjadi sekitar pukul 7:20 malam. Jadi, kami masih memiliki banyak sinar matahari yang tersisa.

"Galeri sejarah tutup pukul 6. Jadi, kita harus memulainya terlebih dahulu," saran Maru, jadi kami pun mengikuti sarannya dan berjalan ke bagian sejarah.

Di pintu masuk, kami bertemu dengan kelompok lain dan tinggal bersama mereka. Pemandu yang baru saja mengusir sekelompok turis kemudian berbalik ke arah kami sambil tersenyum. Kupikir mereka akan mengajak kami berkeliling sambil berbicara bahasa Inggris, tapi...

"Selamat malam, semuanya. Kalian pasti para siswa/i dari Jepang, benar? Nama saya Wan, dan saya akan mengajak kalian berkeliling sekarang. Senang bertemu dengan kalian."

Yang mengejutkanku, pemuda itu menyapa kami dalam bahasa Jepang yang fasih saat ia memulai tur.

"Bahasa Jepangnya jauh lebih fasih daripada apa yang bisa kukelola dengan bahasa Inggrisku..."

Aku harus setuju dengan komentar Maru, tetapi itu bukanlah akhir dari kejutan. Setelah pemandu selesai menunjukkan kami berkeliling, dia kemudian menyapa sekelompok siswa/i lain dengan bahasa Mandarin yang sempurna, memulai penjelasannya dengan apa yang kupikir pasti adalah aksen asli. Setelah menyaksikan ini, bahkan Maru pun terkejut.

Berapa banyak bahasa yang digunakan legenda ini?

Setelah benar-benar menikmati galeri sampai waktu tutup, kami memiliki waktu 15 menit sampai bus antar-jemput berikutnya akan tiba. Kami pikir kami mungkin juga bisa melihat-lihat taman dalam museum. Jadi, kami berjalan-jalan di sana.

Sekitar waktu yang sama, langit mulai berubah menjadi oranye dari balik blok timur. Sinar matahari yang tajam telah melemah dibandingkan dengan hari sebelumnya, tetapi suhu udara tidak menunjukkan tanda-tanda mendingin dan aku bisa merasakan sedikit keringat mengucur di tubuhku hanya dengan berjalan kaki. Kelembapannya juga cukup tinggi. Meskipun tidak seburuk musim panas di Jepang, setidaknya. Para gadis dalam kelompok kami sibuk mendiskusikan tabir surya mana yang akan digunakan. Saat kami berhasil melewati jalan berumput dan kembali ke pintu masuk depan museum, kami melihat kerumunan orang. Ingin tahu ada apa, kami mendekati mereka dan kami mendengar seseorang bernyanyi dari tengah.

"Pertunjukan jalanan, ya." Kata Maru dan para gadis mengatakan bahwa mereka ingin melihatnya. "Yah, kita tidak punya banyak waktu tersisa. Jadi, lebih baik daripada pergi ke tempat lain."

Menerima izin dari pemimpin kelompok, kami memasuki kerumunan orang. Di dalam kerumunan itu ada seorang wanita dengan gitar di pangkuannya, duduk di kursi plastik. Sebuah kabel terhubung dari gitar ke speaker di dekatnya. Di kakinya, dia memiliki sebuah kotak kecil untuk uang, berisi koin dan uang kertas.

"Sungguh suara yang menenangkan..."

"Dan dia sangat cantik!"

Aku mendengar gadis-gadis berbisik di dekatnya dan aku harus setuju. Dia memiliki rambut pirang panjang dan mata hitam berbentuk almond. Fitur wajahnya sangat cantik, mungkin berasal dari Asia Selatan. Tubuhnya memiliki warna cokelat yang sehat dan alami, yang membuatnya dikagumi oleh pria dan wanita. Dan sepertinya dia bernyanyi dalam bahasa Inggris... Bahkan, aku merasa seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya. [TN: Nih Chara yang bakal ketemu sama Saki di next chapter]

"Dengan gitar akustik SG baru-baru ini, ini adalah tentang masuk ke dalam massa atau pergi dengan caramu sendiri. Dan dengan keakraban ini, itulah mengapa dia mendapatkan penonton seperti ini," komentar Maru.

"Apa kau tahu lagunya?"

"Lagu itu cukup terkenal, kau tahu? Cukup yakin kau pasti pernah mendengarnya sebelumnya. Lagu itu adalah 'El Cóndor Pasa,' yang dikenal di seluruh dunia oleh Simon & Garfunkel. Awalnya lagu ini adalah lagu rakyat Amerika Selatan, tetapi kau kadang-kadang mendengarnya dimainkan di sekolah-sekolah di Jepang ketika kelas berakhir."

Aku bersumpah, pengetahuan otaku Maru terkadang mencapai area spesifik yang paling aneh. Setidaknya, aku bisa tahu bahwa itu adalah musik rakyat dari Amerika Selatan. Sedangkan untuk wanita itu, dia memiliki jangkauan vokal yang bagus dan bahkan seorang amatir sepertiku pun bisa mengetahui seberapa bagusnya dia. Setelah lagu pertama itu berakhir, ia beralih ke lagu dengan irama yang lebih tajam.

"Apa kau tahu lagu ini juga?"

"Tidak tahu. Ini mungkin musik dari sekitar sini, bukan?"

Di sekitar sini... berarti Singapura, ya? 

Namun, alih-alih terdengar seperti lagu populer yang bisa sampai ke luar negeri, lagu itu lebih terasa seperti musik rakyat. Volume suaranya nyaris terasa seperti menekanku, karena memenuhiku dengan semangat. Cara dia memainkan gitarnya juga lebih energik dari sebelumnya.

"Aku mengerti sekarang. Menarik perhatian orang dengan memainkan lagu yang sudah dikenalnya, lalu mengungkapkan tujuan yang sebenarnya," Maru berbicara seperti sedang menganalisa gerakan militer.

Tepuk tangan meriah datang dari semua orang, karena beberapa orang memasukkan sejumlah uang ke dalam kotak di depan wanita itu. Karena kau lebih suka melihat orang melakukan sesuatu yang serupa secara online untuk menerima sumbangan, rasanya agak jadul untuk menyaksikan pertunjukan jalanan seperti itu. Tapi, aku senang tradisi ini belum mati.

"Melissa... ya?" Maru menyipitkan matanya saat ia menggumamkan sesuatu pada dirinya sendiri.

Kedengarannya seperti nama asing.

"Nama penyanyi itu?"

"Ya. Meskipun aku tidak sepenuhnya yakin."

Menelusuri tatapan Maru, dia melihat sebuah tanda yang berdiri di samping wanita itu, yang memiliki sedikit informasi tentang wanita itu tertulis di atasnya. Aku terkejut dia bisa membaca sesuatu yang sekecil itu.

"Maksudmu teks kecil di atas sana?"

"Tidak, itu terlalu kecil. Aku menduga itu semacam izin untuk tampil di sini. Kalau kau tidak menunjukkannya di tempat-tempat seperti ini, kau akan ditangkap oleh polisi. Tapi yang di bawahnya ada namanya, lihat?"

"Ya."

Jadi dia berbicara tentang tanda itu. Aku ingin sekali mendengarkan lebih banyak lagi, tetapi karena bus kami akan segera tiba, kami harus kembali ke tempat parkir. Dan pada saat seluruh langit telah berubah menjadi oranye, kami berhasil kembali ke hotel.

* * *

Malam hari.

Makan malam hari ini direncanakan di restoran yang terletak di area lobi di lantai 4. Karena kau bisa sampai di sana dari kedua hotel, di sinilah anak laki-laki dan perempuan berkelompok lagi. Itu adalah prasmanan, yang juga memiliki makanan Jepang, tetapi aku ingin mengambil kesempatan ini untuk mencoba beberapa hidangan asing. Yang paling enak adalah hidangan buah selatan. Mereka memiliki banyak buah-buahan yang belum sampai ke Jepang. Meskipun kurasa mangga sudah menjadi lebih umum selama beberapa tahun terakhir. Aku menggunakan wifi di dalam hotel untuk mencari bahan-bahannya sambil mengisi piringku. Persik pipih, rambutan, manggis dan apel... Aku bertanya-tanya apakah mereka akan pernah menemukan jalan ke Jepang.

"Semuanya, sambil makan malam. Tolong dengarkan apa yang akan Bapak sampaikan. Bapak ingin mengulangi lagi perintah keselamatan-" Suara kepala sekolah menyela semua percakapan pribadi.

Tidak seperti hari ini, besok kita tidak akan pergi ke tempat-tempat yang disarankan sekolah. Sebaliknya, kami akan dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk memeriksa tempat-tempat yang sudah kami putuskan sebagai kelompok, itulah sebabnya mengapa para guru sangat memaksa dengan peringatan mereka. Setelah kami selesai makan malam, kami bebas untuk kembali ke kamar dan mandi, lalu tidur. Sampai tiba waktunya mati lampu, Maru dan Yoshida pergi berpetualang di dalam hotel.

Orang-orang sporty itu benar-benar memiliki daya tahan yang tak ada habisnya, serius.

Aku, salah satunya, merasa lelah. Jadi, aku memilih untuk tinggal di kamar. Aku membiarkan AC dalam ruangan mendinginkan tubuhku sambil menatap pemandangan di luar jendela.

Aku menduga ini karena hari mulai gelap, tetapi lampu-lampu di kota sebagian besar masih menyala. Melihat ke bawah seperti ini, pemandangannya tidak terlalu berbeda dari kota-kota besar di Jepang, namun saat ini aku berada di negara yang benar-benar asing. Sejujurnya, hal ini tidak terasa nyata. Kurasa Ayahku menyebutkan sesuatu seperti ini sebelumnya. Sesuatu seperti dia tidak akan pernah mengharapkanku, anaknya sendiri, untuk pergi ke luar negeri untuk karyawisata. Pada generasi mereka, sekolah-sekolah di wilayah Kanto umumnya pergi ke Kyoto atau Nara, kurasa. Aku diberitahu bahwa transportasi dan komunikasi jauh lebih terbatas saat itu, tetapi menurutku baginya, dia tidak akan pernah membayangkan bahwa kami akan melakukan perjalanan sejauh ini untuk karyawisata sekolah.

"Kalau begitu, itu berarti..."

Generasi setelah kita - anak-anak kita - akan melakukan perjalanan lebih jauh lagi. Bahkan lebih dari sekedar ke luar negeri... Di langit yang jauh, aku bisa melihat bulan perlahan-lahan mulai terbit. Tapi meskipun begitu, aku tidak berpikir kita akan bepergian ke sana dalam waktu dekat. Meskipun itu adalah tempat terdekat di luar angkasa dari sudut pandang kita. Atau mungkin umat manusia akan melampaui semua ekspektasiku dan aku akan duduk bersama anak-anakku untuk menceritakan kepada mereka betapa "sederhananya" hal-hal yang terjadi di masa lalu.

Tunggu, kenapa aku berasumsi bahwa aku akan memiliki anak dalam waktu dekat?

Ada banyak hal lain yang harus diurus sebelum aku bisa memikirkan hal itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan pikiran-pikiran itu dan memikirkan kembali hari ini.

Ini adalah hari yang menegangkan, itu sudah pasti. Bersama dengan penerbangan pesawat pertamaku, aku menemukan begitu banyak hal aneh yang membuatku berhenti dan berpikir, dan tidak hanya sekali. Meski begitu, kami hanya pergi dari titik A ke titik B dan berjalan-jalan di antara gedung-gedung dan kendaraan. Jadi, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sudah mengenal Singapura. Jika ada perbedaan dibandingkan dengan Jepang yang kurasakan, maka itu pasti tanaman dan vegetasi yang tumbuh di sini. Bentuk dan warna bunga, pertumbuhan tanaman hijau di sekitarku dan cara pohon-pohon terbentuk, semuanya memiliki sedikit perbedaan dibandingkan dengan apa yang biasa kualami di Jepang.

Dan ini adalah perbedaan terbesar secara keseluruhan yang kudapatkan sepanjang hari. Mungkin karena letaknya jauh lebih jauh ke selatan daripada tempat yang biasa kukunjungi. Selain itu, kupikir aroma udaranya berbeda. Dan suara-suara lingkunganku ketika berjalan di jalan, serta musik yang diputar di depan umum. Dan huruf-huruf pada papan reklame di sekitarku. Mobil-mobil yang melaju di jalan, bangunan modern dan desain interior rumah-rumah tidak terlalu besar perbedaannya.

.... Bagaimana dengan smartphone?

Turis bukan satu-satunya yang datang ke museum dan aku yakin banyak orang dari Singapura juga datang berkunjung ke sana, tetapi mereka semua menggunakan smartphone mereka sebagai kamera atau kamus, yang membuatku menyadari bahwa beberapa hal tidak pernah berubah ke mana pun kau pergi. Saat ini, perangkat elektronik seperti smartphone adalah suatu keharusan di mana pun kau tinggal. [TN: True, bangun tidur yang dicari pasti HP wkwk]

Dan selama berpikir seperti itu, pandanganku tertuju ke smartphoneku. Ikon LINE memasuki pandanganku. Sejak kami berpisah pagi ini, Ayase-san dan aku belum pernah bertemu satu sama lain. Kami mungkin tinggal di tempat yang sama, tetapi kelas kami berbeda, begitu juga dengan kegiatan kami. Karena aku bisa melihat wajahnya setiap hari, aku sekarang mulai merasa ada sesuatu yang hilang.

Aku mengetuk jariku pada ikon LINE dan membuka aplikasinya. Aku mengklik foto profil Ayase-san di dalam deretan chat, membaca pesan terakhir yang kami kirimkan satu sama lain.

Aku ingin tahu apa yang sedang dia lakukan sekarang?

Karena kami memiliki wifi gratis di sini, aku bermain-main dengan ide untuk mengiriminya pesan. Tetapi aku menghentikan diriku sendiri, memikirkan bahwa dia mungkin sedang bersenang-senang mengobrol dengan Narasaka-san dan yang lainnya di kamar mereka.

Mendapatkan pesan selama waktu itu mungkin membuat yang lain curiga... atau mungkin aku hanya berpikir terlalu banyak? Bisa saja itu hanya dari orang tuanya atau temannya, kan?

Dan di atas semua itu, aku teringat apa yang baru saja kita lakukan kemarin.

'Kita mungkin tidak bisa bertemu satu sama lain selama 4 hari ke depan, kan? Jadi, yah...'

Kami menggunakan fakta bahwa orang tua kami tidak akan bisa melihat kami sebagai alasan, penuh dengan rasa bersalah, tetapi kami masih tidak bisa menahan keinginan kami. Jika demikian, maka mungkin Ayase-san mungkin merasa kesepian karena aku tidak mengiriminya satu pesan pun sepanjang hari... Dan lebih dari itu, aku hanya ingin mendengar suaranya. Jika aku bahkan tidak bisa mendapatkannya, maka setidaknya aku ingin berbicara sebentar. Ketika kami semua berjalan-jalan bersama sore ini, aku tidak benar-benar memiliki banyak waktu untuk memikirkan semua itu. Tapi, sekarang aku duduk di sini sendirian seperti ini, keinginan ini muncul dalam diriku.

Namun, dia bersama Narasaka-san. Dan mengingat betapa tajamnya dia, dia mungkin akan melakukan mode detektif penuh, mengatakan hal-hal seperti 'Nee, siapa itu? Oh, pasti dari Onii-chan, ya? Pasti, kan! Oh, Saki. Kamu benar-benar disayang, adik perempuan sialan!' hanya dengan mendengar notifikasi dari smartphone Ayase-san. Dan kemudian dia masuk ke mode menggoda penuh.

"Itu... sepenuhnya mungkin."

Aku bisa dengan mudah melihatnya mengatakan itu. Terlebih lagi , tidak mengiriminya pesan untuk alasan itu agak aneh. Aku tidak bisa terpaku pada Narasaka-san jika itu berarti membuat Ayase-san merasa kesepian. Jadi untuk alasan itu, aku harus benar-benar mengambil inisiatif di sini. Tepat saat aku mulai mengetik pesan, pintu berayun terbuka, dengan Maru dan Yoshida menerobos masuk ke dalam ruangan bersama dengan suara keras 'Kami pulang!'.

"O-Oh, aku pulang..."

Maru memberiku tatapan ragu-ragu saat melihatku bertingkah bingung.

"Itu kalimat kita, kan?"

"Maaf, aku salah bicara. Selamat datang kembali."

"Ya, memang begitu."

"Kau seharusnya ikut dengan kami, Asamura. Minimarket di sini sangat menarik!" Yoshida berkata, sambil mengayunkan kantong plastik.

Sepertinya mereka mengunjungi toserba di sekitar hotel. Sedikit konyol bahwa tujuan akhir mereka untuk berpetualang di dunia baru ini adalah minimarket biasa. Mereka kemudian pergi ke meja di dalam kamar dan membentangkan isi tas, yang ternyata adalah permen.

"...Bukankah kita memiliki sebagian besar dari ini di Jepang?"

"Mereka sebenarnya sedikit berbeda."

Sejak saat itu, Maru dan Yoshida bercerita tentang semua penemuan menarik yang telah mereka buat di hotel asing ini, tidak memberiku kesempatan untuk kembali mengetik pesanku. Akhirnya, tiba waktunya untuk mematikan lampu dan hari pertama karyawisata pun berakhir.





|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close